1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit gigi dan mulut yang terbanyak dialami masyarakat di Indonesia adalah karies gigi. Penyakit tersebut menyerang semua golongan umur, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Presentase tertinggi pada golongan umur lebih dari 55 tahun sebesar 92%. Penduduk usia 12 tahun prevalensi karies aktif adalah 43,4% dan prevalensi yang pernah mengalami karies sebesar 67,2%. Indeks DMFT mencapai rata-rata 4,85 dapat diartikan jumlah kerusakan gigi per orang yaitu lebih dari 5 gigi (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Berdasarkan data tersebut prevalensi karies gigi tinggi terutama disebabkan oleh kebersihan rongga mulut yang buruk (Sasmita dkk., 2009). Karies gigi menimbulkan kerusakan jaringan keras gigi yang bersifat ireversibel. Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya kavitas pada permukaan gigi sehingga tidak memungkinkan terjadi pembentukan struktur gigi kembali (Roeslan, 2001). Karies gigi terjadi secara multifaktorial yang melibatkan beberapa faktor yaitu host, karbohidrat sebagai substrat, mikroorganisme dari plak serta waktu. Interaksi dari faktor-faktor tersebut secara bersamaan menyebabkan terjadinya karies gigi (Samaranayake, 2002). Plak gigi merupakan penyebab utama karies gigi (Roeslan, 2002). Plak gigi adalah deposit lunak yang berupa lapisan tipis melekat pada permukaan gigi, restorasi, dan gigi tiruan (Axelsson, 2002). Komposisi plak gigi terdiri dari bakteri
2
yang bercampur musin, sisa-sisa makanan dan bahan lain yang melekat erat pada permukaan gigi di daerah yang tidak dibersihkan (Newman dkk., 2006). Terdapat berbagai spesies bakteri yang berkoloni di dalam plak antara lain spesies Streptococcus mutans dan Lactobacillus. Bakteri tersebut dapat mengubah karbohidrat terutama sukrosa menjadi produk asam yang mengakibatkan penurunan pH yang berpengaruh terhadap kelarutan email sehingga terjadi proses demineralisasi (Kidd dan Bechal, 1992). Menurut Guyton
(1994) sekresi saliva berperan penting dalam
mempertahankan kesehatan mulut. Saliva merupakan cairan yang disekresikan dalam rongga mulut oleh kelenjar parotis, submandibularis dan sublingualis serta beberapa kelenjar minor. Saliva berfungsi sebagai mekanisme pertahanan kesehatan jaringan di dalam mulut, baik jaringan lunak maupun jaringan keras. Saliva turut berperan dalam menjaga kebersihan mulut melalui mekanisme self cleansing dan menetralkan produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri (Amerongen, 1991). Derajat keasaman (pH) saliva dalam keadaan normal antara 5,6-7,0 dengan rata-rata pH 6,7 (Linder, 1991). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pH saliva antara lain kecepatan sekresi saliva, mikroorganisme rongga mulut, dan kapasitas bufer saliva. Derajat keasaman (pH) saliva rendah antara 4,55,5 akan memudahkan pertumbuhan bakteri asidogenik seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus (Nolte, 1982). Akumulasi plak mengakibatkan pH saliva menjadi relatif asam karena adanya peningkatan produk asam hasil metabolisme karbohidrat oleh bakteri dalam plak (Marcotte dan Lovoie, 1998).
3
Kontrol plak merupakan kunci dalam pencegahan karies gigi (Shinada dkk., 2007). Pengendalian plak sebagai upaya mencegah penumpukan dan menghilangkan plak pada permukaan gigi (Sasmita dkk., 2009). Upaya tersebut dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Kontrol plak secara mekanis dilakukan dengan menyikat gigi dan pemakaian dental floss. Kontrol plak secara kimiawi mengunakan obat kumur khlorheksidin maupun obat kumur lain yang mengandung senyawa antibakteri (Sriyono, 2011). Banyaknya produk obat kumur yang beredar di pasaran dapat menjadi pilihan masyarakat. Sejauh ini, salah satu obat kumur yang dinilai paling efektif dalam mengontrol plak ialah khlorheksidin (Fedi dkk., 2005). Pemakaian jangka panjang khorheksidin menimbulkan efek yang merugikan yaitu diskolorisasi gigi dan perubahan sensasi rasa (Wilson dan Kornman 2003). Saat ini, konsep pola hidup kembali ke alam atau lebih popular dengan istilah back to nature tampaknya semakin digemari masyarakat. Alasannya lebih aman dan minimal efek samping. Salah satunya penggunaan sirih sebagai pengobatan tradisional (Juliantina dkk., 2009). Bagian tanaman sirih dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah daunnya (Poeloengan dkk., 2005). Sirih mempunyai jenis yang beragam seperti sirih gading, sirih hijau, sirih hitam, sirih kuning dan sirih merah. Tanaman ini banyak tumbuh di daerah tropis (Hidayat, 2013). Dibandingkan jenis sirih lainnya, sirih hijau dan sirih merah lebih dulu dikenal dalam pengobatan tradisional Indonesia (Sari dan Isadiartuti, 2006). Sirih hijau dan sirih merah memiliki berberapa perbedaan. Daun sirih hijau berwarna hijau sampai hijau tua (Moeljanto dan dan Mulyono, 2003), sedangkan
4
daun sirih merah pada bagian atas daun berwarna hijau dengan bercak keabuabuan, bagian bawah daun berwarna merah tua keunguan (Sudewo, 2010). Apabila disobek daun sirih merah akan berlendir dan menimbulkan aroma yang lebih wangi serta berasa pahit. Daun sirih hijau mengandung minyak atsiri 0,11,8% dan kavikol 5,1-8,2% (Agustin, 2005), sedangkan daun sirih merah mengandung 1-4,2% minyak atsiri dan kavikol sebesar 7,2-16,7% (Pradusuara, 2009). Pawestri (2010) melaporkan berkumur ekstrak daun sirih merah konsentrasi 6,25% dapat menurunkan akumulasi plak supragingiva lebih banyak daripada ekstrak daun sirih hijau konsentrasi 6,25%. Selain sebagai tanaman hias ternyata sirih merah juga mampu mengobati berbagai jenis penyakit yang telah terbukti secara empiris dan praklinis (Moerfiah dan Supomo, 2011). Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai penyakit antara lain diabetes melitus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, radang liver, radang prostat, radang mata, keputihan, nyeri sendi, dan memperhalus kulit. Berkumur dengan rebusan daun sirih merah bermanfaat mengobati sakit gigi, radang gusi dan sariawan (Sudewo, 2010). Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak sirih merah hingga dosis 20g/kg berat badan menunjukkan aman dikonsumsi dan tidak bersifat toksik (Hidayat, 2013). Pemanfaatan daun sirih merah sebagai obat kumur karena adanya kandungan antibakteri (Poeloengan dkk., 2006). Daun sirih merah mengandung senyawa fitokimia yaitu alkaloid, tanin, flavonoid, dan minyak atsiri (Sudewo, 2010). Minyak atsiri daun sirih diketahui memiliki daya antibakteri, karena
5
adanya senyawa fenol yang bersifat bakterisid. Minyak atsiri daun sirih dapat mengubah sifat protein sel bakteri. Salah satu senyawa turunan fenol adalah kavikol memiliki daya antibakteri lima kali lebih kuat daripada fenol dan menimbulkan aroma khas pada sirih merah. Adanya fenol yang merupakan senyawa toksik mengakibatkan struktur tiga dimensi protein sel bakteri terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Hal ini mengakibatkan protein sel berubah sifat. Deret asam amino protein tersebut tetap utuh setelah berubah sifat, namun aktivitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein sel bakteri tidak dapat melakukan fungsinya (Agustin, 2005; Pratiwi, 2005). Masyarakat masih mengolah sirih merah dengan cara perebusan. Tujuan merebus untuk mengeluarkan zat-zat berkhasiat yang ada pada daun sirih merah ke dalam larutan air, kemudian digunakan berkumur (Mahendra, 2006). Pembuatan rebusan daun sirih merah biasanya dilakukan oleh masyarakat dengan merebus 5 lembar daun sirih merah segar ditambahkan air sebanyak 400 ml sampai air mendidih dan tersisa 200 ml (Sudewo, 2010). Sirih merah dimanfaatkan oleh masyarakat berdasarkan pengalaman yang dilakukan secara turun temurun. Pemanfaatan sirih merah sampai saat ini masih sangat kurang terutama dalam pengembangan sebagai bahan baku obat kumur. Adanya obat kumur herbal serta memperhatikan masih tingginya prevalensi karies gigi di Indonesia, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh berkumur rebusan daun sirih merah terhadap perubahan derajat keasaman (pH) saliva. Berkumur dengan sirih merah kemungkinan akan mempengaruhi
6
rangsangan mekanis dan kimiawi. Rangsangan mekanis berupa gerakan berkumur sedangkan rangsangan kimiawi berupa rasa pahit dari rebusan daun sirih merah yang mempengaruhi kenaikan kecepatan sekresi saliva sehingga meningkatkan konsentrasi bikarbonat dan pH saliva juga meningkat.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah terjadi perubahan derajat keasaman (pH) saliva setelah berkumur rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi 10%?
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh pasta gigi yang mengandung ekstrak daun sirih hijau dalam mengurangi plak dan gingivitis pada penderita gingivitis marginalis kronis telah dilakukan oleh Mutmainnah (2013). Hasil penelitian menunjukkan pengurangan indeks plak dan indeks gingiva yang signifikan setelah 21 hari menggunakan pasta gigi yang mengandung ekstrak daun sirih hijau. Juliantina dkk. (2009) meneliti tentang pengaruh sirih merah sebagai agen antibakterial terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Hasil penelitian diketahui etanol sirih merah memiliki efek antibakteri terhadap bakteri gram positif pada konsentrasi 25% dan bakteri gram negatif pada konsentrasi 6,25%. Selain itu, Dhika (2007) melakukan penelitian tentang perbandingan efek antibakterial berbagai konsentrasi daun sirih hijau terhadap Streptococcus mutans.
7
Konsentrasi 25% memiliki efek bakteriostatik terhadap S. mutans, sedangkan pada konsentrasi
100%
berefek
bakterisid.
Penelitian
lain
dilakukan
oleh
Hidayaningtias (2008) menunjukkan bahwa pada konsentrasi 100% dengan waktu kontak 30 detik, air seduhan daun sirih memberi efek antibakteri yang optimal terhadap S. mutans. Namun sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang perubahan derajat keasaman (pH) saliva setelah berkumur rebusan daun sirih merah belum pernah dilaporkan.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan derajat keasaman (pH) saliva setelah berkumur rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi 10%.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjadi sumber informasi ilmiah tentang daun sirih merah yang berpotensi sebagai obat kumur herbal. 2. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut dalam usaha mengembangkan sirih merah sebagai obat kumur dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat.