BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa tahun terakhir, di Indonesia terjadi banyak fenomena yang mencerminkan adanya degradasi moral seperti banyaknya tindak pidana korupsi selama sepuluh tahun terakhir (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014), tradisi tawuran antar pelajar yang diwariskan dari generasi ke generasi (Rudi, 2013), dan intoleransi terhadap keberagaman (Ramadhiani, 2014).Hal-hal tersebut sama sekali tidak merefleksikan jati diri bangsa Indonesia yang selama ini diidentikkan sebagai bangsa yang santun dan berketuhanan. Terkait
fenomena
tersebut,
pemerintah
merumuskan
Kebijakan
Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025 yang diimplementasikan di bidang pendidikan. Kebijakan tersebut menyebutkan bahwa secara sosiokultural, pembangunan karakter atau jati diri bangsa adalah kebutuhan asasi dari suatu bangasa yang multikultural. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa adalah upaya pengejawantahan ideologi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Dalam rumusan rencana pembangunan tersebut, salah satu ruang lingkup pembangunan karakter bangsa ada pada lingkup satuan pendidikan yang berjenjang dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi (Pemerintah Republik Indonesia, 2011). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sendiri mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana beajar dan proses agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Definisi tersebut menyiratkan keharusan untuk membentuk manusia indonesia yang memiliki karakter atau watak yang sesuai dengan akar budaya nasional yang terangkum dalam pancasila. 1
2 Rilis lembar Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025, turut menyebutkan bahwa teladan dari para pendidik dan tenaga kependidikan adalah kunci keberhasilan pengembangan karakter di lingkungan satuan pendidikan. Teladan ini sekaligus menjadi penguat moral bagi peserta didik dalam berperilaku. Terkait hal tersebut, bila kita merunut jauh dalam arsip sejarah, sebenarnya sudah ada konsep pendidikan yang berbasis pembangunan karakter yang didukung dengan keteladanan yang menguatkan moral peserta didiknya di nusantara ini. Pendidikan karakter, seperti dalam konsep tersebut, sudah berlangsung di lingkungan pesantren jauh sebelum masa kemerdekaan. Pesantren, adalah lembaga pendidikan Islam yang sudah ada sejak 300-400 tahun lampau (Mastuhu, 1994). Pesantren bermakna tempat tinggal para santri, berakar dari kata santri, yang berarti orang yang ahli di bidang agama Hindu yang kemudian berubah makna menjadi orang yang mendalami agama Islam di bawah bimbingan kiai (Ziemek, 1986). Di daerah Jawa dan Madura, pesantren lebih dikenal dengan sebutan pondok, yang merujuk pada bangunan-bangunan tempat santri tinggal (Dhofier, 1982). Abdurrahman Wahid (2001) menyebut pesantren sebagai subkultur, sebab pesantren memiliki keunikan tersendiri dalam tiga aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, dan hierarki kekuasaan intern yang ditaati sepenuhnya. Keunikan ini berakar dari prinsip pendidikan pesantren adalah mengedepankan pembelajaran agama yang diimplementasikan secara langsung. Segala macam aspek kehidupan santri di pesantren didasarkan pada nilai agama yang ditransformasikan dalam interaksi para penghuni pesantren. Pendidikan pesantren menekankan bahwa segala macam aspek kehidupan bisa bernilai ibadah bila dilandasi niat yang tepat dan ikhlas. Konsep seperti ini tentu mendukung pembentukan karakter individu. Dhofier (1982) menjelaskan bahwa secara umum, dalam sebuah pesantren terdapat lima elemen pokok: (1) pondok, (2) masjid, (3) santri, (4) pengajaran kitab-kitab Islam
3 klasik, dan (5) kiai. Pondok menjadi asrama tempat para santri tinggal dalam komplek pesantren. Biasanya, para santri tinggal dan belajar secara bersama, sekaligus tempat mereka berinteraksi dalam keseharian meraka. Sistem pondok inilah yang menjadi penopang utama bagi perkembangan pesantren. Dalam pesantren, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) menjadi materi pembelajaran utama. Dhofier (1982) menjelaskan bahwa kitab Islam klasik yang diajarkan antara lain tergolong dalam delapan kelompok: nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, dan cabang lain semisal tarikh dan balaghah. Dari delapan kelompok kitab Islam klasik tersebut ada beberapa tingkatan kitab yang dipelajari santri. Ada kitab dasar, kitab menengah, dan kitab besar. Pengajaran kitab-kitab ini berlangsung hingga khatam-nya kitab tersebut. Saat ini pesantren sudah mengadopsi sistem pembelajaran dalam kelas, pengajaran kitab-kitab tersebut tetap lestari. Bahkan di pesantren khalaf, kitab-kitab Islam klasik ini diajarkan dalam kelas menjadi suatu mata pelajaran. Para kiai mengajarkan isi kitab berikut komentar, pemahaman pribadi mereka terhadap isi ataupun bahasa dari kitab yang diajarkan, tidak sekedar membaca dan menerjemahkan kitab kepada para santri. Dari sini, santri selalu mendapatkan pembelajaran dari kiai dengan dasar yang jelas. Santri hidup bersama sesama santri lainnya selama 24 jam penuh, sehingga mereka seakan tinggal dalam miniatur masyarakat. Materi pembelajaran dari kitab-kitab klasik yang sudah dipelajari bisa secara langsung dipraktekkan oleh santri dalam kehidupan sosialnya di asrama. Ketika ada kesalahan, mereka pun langsung mendapatkan koreksi dari para guru dan kiai. Terlebih, santri mendapatkan teladan perilaku yang dapat mereka temui dalam kehidupan sehari-hari pada figur kiai dan guru. Hal-hal seperti inilah yang membuat pesantren berhasil membentuk manusia yang berkarakter kuat.
4 Santri dididik untuk taat kepada kiai dan para guru. Filosofi tersebut diperkuat dengan adanya konsep etika belajar dari kitab klasik karya Az-Zarnuji(1995). Kitab yang membahas metode belajar ini membekali santri dengan nilai-nilai etika belajar dan berperilaku di pesantren. Di antara nilai etis tersebut adalah penghormatan dan ketaatan pada guru dan kiai. Prinsip-prinsip yang diproyeksikan di dalam kitab inilah yang agaknya menimbulkan persepsi penyerahan total santri kepada guru dan kiainya, agar ilmu santri tersebut kelak bisa bermanfaat. Santri melihat kiai sebagai figur yang memiliki berbagai kelebihan, sehingga santri merasa bahwa ilmu yang dimilikinya tidak ada apa-apanya di hadapan kiai. Apapun akan dilakukan santri asal ia mendapat keridaan kiai, agar ia mendapat berkah. Akan tetapi, ketaatan santri terhadap kiai ini dikritik sebab seakan-akan santri kehilangan daya kritisnya terhadap figur yang memiliki otoritas dalam pesantren, dalam hal ini kiai dan guru. Namun demikian, pada prinsipnya, kiai selalu terbuka terhadap diskusi apapun. Kiai menganggap dirinya sebagai orang tua dan rekan dari santri, yang siap membimbing dan menampung keluh kesah santri (Asy'ari, 1995). Ada banyak hal yang melatarbelakangi santri untuk belajar di pesantren. Adakalanya ia ingin mempelajari Islam dari kitab-kitab kuning dengan bimbingan kiai, adakalanya seorang santri ingin mendapat pengalaman kehidupan pesantren, adakalanya santri juga ingin mendapatkan berkah dari kiai. Kiai adalah pertimbangan utama seorang santri untuk belajar di pesantren. Kedalaman pengetahuan agama Islam kiai berpengaruh pada perkembangan pesantren. Istilah kiai awalnya adalah gelar terhadap sesuatu yang memiliki kelebihan khusus. Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian identik dengan gelar yang diberikan masyarakat sebagai pengakuan atas keahlian dan kealiman seorang ulama, serta pengaruhnya pada masyarakat. Semakin lama, makna kiai semakin menyempit dan merujuk pada ulama yang memimpin suatu pesantren(Dhofier, 1982; Mas'ud, 2004).
5 Dalam pesantren, kiai menjadi sumber otoritas yang mutlak, dalam batas yang sesuai dengan agama. Kiai menjadi panutan dari para santri sekaligus dipandang sebagai figur yang penuh berkah, lantaran penguasaan ilmu agama Islamnya. Umumnya, santri akan sangat segan dan menghormati kiai. Penghormatan ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti keengganan santri menatap wajah kiai secara langsung saat bercakap-cakap, cara berjalan di hadapan kiai, perlakuan santri terhadap keluarga kiai, serta kesediaan santri untuk membantu keperluan rumah tangga sang kiai tanpa pamrih. Dalam struktur masyarakat, kiai berada pada strata atas, sebab kiai memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Pengaruh kuat ini muncul lantaran pandangan masyarakat yang meyakini bahwa kiai adalah seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang masalah yang berkaitan dengan Tuhan dan masyarakat itu sendiri. Dengan modal tersebut, simpati santri dan masyarakat terhadap kiai dapat muncul dalam beberapa wujud: (1) kesetiaan dan pengabdian kepada kiai dan keluarganya; (2) kepercayaan dan keyakinan tentang apa yang dimiliki dan diberikan oleh kiai memberikan pengaruh dalam hidup seseorang; dan (3) penghormatan kepada kiai karena jasa yang diperbuatnya. Gejala-gejala tersebut bisa diamati di sekeliling lingkungan pesantren dan perilaku santri yang ada dalam pesantren (Muchtarom, 1988). Di dalam lingkungan pesantren, ada dua macam santri: santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh dari pesantren, dan mereka menetap di pondok-pondok dalam komplek lingkungan pesantren.Semakin lama santri menetap di suatu pondok, biasanya ia akan mendapatkan tanggung jawab untuk mengurus tanggung jawab sehari-hari di pesantren, seperti mengajar kitab-kitab dasar, mengurusi keperluan rumah tangga keluarga kiai, bahkan bila kemampuan keilmuan si santri sudah mumpuni, ia bisa menjadi orang kepercayaan dari sang kiai. Selain santri mukim, di pesantren juga terdapat santri kalong yakni santri yang berasal dari desa atau
6 wilayah yang relatif dekat dengan pesantren, dan biasanya tidak menetap di pesantren. Mereka melakukan perjalanan pergi-pulang untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di pesantren (Dhofier, 1982). Nugroho (2010) menjelaskan bahwa kiai dan santri (baik santri mukim maupun santri kalong) saling memberi makna dalam perilaku masing-masing. Polakomunikasi antara kiai-santri mukim lebih efektif dibandingkan dengan kiai-santri kalong, karena interaksi kiai-santri mukim lebih intens. Berdasarkan data awal yang penulis dapat dari salah satu staf pengajar salah satu madrasah di lingkungan pesantren di pesisir utara Jawa tengah, di antara banyaknya santri mukim, ada beberapa santri yang mengabdikan dirinya di dalem kiai. Selain belajar seperti santri mukim lainnya, mereka memiliki tugas tambahan untuk mengurusi kebutuhan harian dari keluarga dalem. Entah itu menjadi tukang ambil air, menggembalakan ternak, mengurus keperluan dapur sang kiai, menyiapkan masakan untuk santri lainnya, atau menjadi supir sang kiai. Santriyang menjadi abdi dalem ini memiliki karakter yang relatif lebih santun dibandingkan santri mukim umumnya, lantaran lebih banyak bersinggungan dengan lingkungan kiai dan keluarganya sehingga santri yang menjadi abdi dalem relatif lebih taat pada tata krama dalam menghormati orang yang lebih tua. Selain itu, umumnya santri yang menjadi abdi dalem berasal dari keluarga yang secara sosial ekonomi kurang mampu. Banyak pula kisah santri yang menjadi abdi dalem kiai menuai kesuksesan dalam bermasyarakat selepas mondok yang kian memperkuat niat santri untuk menjadi abdi dalem kiai. Pengabdian santri kepada kiai ini analog dengan tradisi pengabdian dalam keraton dalam sejarah Jawa. Abdi dalem keraton mengabdi atas dasar keyakinan bahwa mereka akan mendapat berkah, ketenteraman, dan ketenangan. Keyakinan merupakan salah satu pendorong yang kuat dalam melakukan suatu pengabdian sehingga pendapatan tidak menjadi pertimbangan utama bagi abdi dalem keraton (Allimin, Taufik, & Moordiningsih,
7 2007). Selain itu, menurut wawancara peneliti di pertengahan Mei 2014 dengan Ustadz Jazilus Sakho, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, bahwa struktur sosial pesantren analog dengan keraton, sebab kiai beserta keluarganya menempati strata sosial yang paling tinggi dalam hierarki intern pesantren.Keberadaan santri yang menjadi abdi dalem kiai pun sudah ada semenjak sejarah kemunculan pesantren. Misalnya, sejarah berdirinya Pesantren Al-Hikmah 2 Bumiayu, yang diawali oleh beberapa wali santri yang menitipkan putri-putri mereka untuk belajar secara khusus di dalem KH. Masruri Abdul Mughni, yang waktu itu, tahun 1965, mulai membantu mengajar di Pesantren Al-Hikmah (Ridlwan, 2014). Peserta didik dalam lingkungan pesantren dapat dikatakan cukup besar. Pendataan Pondok Pesantren yang dilakukan Kementerian Agama RI pada tahun 2011-2012 menyebutkan bahwa ada 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia dan 78,60% ada di Pulau Jawa. Jumlah santri yang terdata sebanyak 3.759.198. Dari jumlah santri tersebut, sebanyak 3.004.807 (79,93%) adalah santri mukim sedangkan sisanya adalah para santri kalong. Para santri mukim tersebut bila ditinjau dari jenis kelamin, jumlahnya relatif berimbang yakni 50,5% adalah santri putra dan sisanya (49,5%) adalah santri putri (Direktorat Pendidikan Islam, 2012). Dengan potensi yang demikian besar tersebut, kajian tentang santri menurut peneliti akan bermanfaat, paling tidak di kalangan pesantren sendiri, khususnya santri. Santri yang tidak mengabdi di dalem kiai pun bisa belajar dari pengabdian para santri di dalem kiai, sehingga mereka bisa meneladani hal-hal baik terkait pengabdian di dalem kiai. Selain itu, kajian tentang santri yang menjadi abdi dalem kiai juga bermula dari kegelisahan peneliti, yakni apakah memang santri masih perlu bersusah payah membantu kiai dan keluarganya, padahal di era ini mereka bisa memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut tentu menarik bila dilihat dalam konteks relevansinya dengan
8 perkembangan zaman.Bermodal keunikan proses pendidikan yang ada di dalamnya, pada masa mendatang pesantren tentu berpotensi menjadi sumber pengembangan konsep pendidikan karakter khas nusantara yang telah dicanangkan pemerintah. Penelitian ini turut diilhami dari beberapa penelitian lain yang berfokus pada kebermaknaan hidup. Penelitian-penelitian tersebut mencoba untuk mengetahui lebih jauh tentang dinamika rasa keberagamaan dengan proses pemaknaan hidup seperti Andrea Lusi Anari (1996) dengan judul penelitian Hubungan Aktualisasi Diri dan Religiusitas dengan Kebermaknaan Hidup pada Perempuan; Pihasnawati (1998)dengan judul penelitian Pengaruh Pelatihan Penghayatan Al-Quran terhadap Kebermaknaan Hidup; Rani Nover Ginting (2001) dengan judul penelitian Hubungan Saat Teduh pada Mahasiswa yang Beragama Kristen; dan Mochammad Maola Nasty Gansehawa
(2014) dengan judul
penelitian Makna Hidup Pelaku Tasawuf. Selain penelitian-penelitian tersebut, penelitian dari CandraIndraswari (2014) dengan judul penelitian Makna Hidup Pada Abdi Dalem Keparak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat: Pendekatan Fenomenologi juga turut mengilhami peneliti terkait struktur sosial pesantren yang menurut peneliti analog dengan struktur sosial pesantren. Penelitian ini akan mencoba mengkaji pemaknaan hidup dari santri yang menjadi abdi dalem kiai, sebab santri yang menjadi abdi dalem kiai memiliki sebuah perbedaan dengan santri mukim lainnya. Perbedaan tersebut berupa kerelaan mengabdi kepada kiai dan kedekatan lebih dibandingkan santri lainnya terhadap figur kiai yang notabene adalah figur utama di dalam lingkungan pesantren. Selain itu, penelitian tentang kebermaknaan hidup santri diharapkan bisa menggambarkan pembentukan karakter dari santri, sehingga akan menjadi relevan bagi kajian pendidikan karakter yang didengungkan pemerintah.
9 B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang tersebut, dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti dan memahami gambaran kebermaknaan hidup santri yang menjadi abdi dalem kiai. Santri yang menjadi abdi dalem kiai, sebagai anggota masyarakat pesantren, tentu memiliki nilainilai kebermaknaan hidup tertentu. Dengan demikian, untuk meneliti dan memahami kebermaknaan hidup santri yang menjadi abdi dalem kiai tersebut, maka dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan utama sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1) Bagaimanakah para santri yang menjadi abdi dalem kiai memaknai kehidupannya? 2) Seperti apakah kebermaknaan hidup yang dipahami dan dihayati oleh para santri yang menjadi abdi dalem kiai? 3) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kebermaknaan hidup para santri yang menjadi abdi dalem kiai ini sehingga mereka merelakan dirinya untuk menjadi abdi dalem kiai? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami kebermaknaan hidup para santri yang menjadi abdi dalem kiai dan berbagai faktor yang berpengaruh pada kebermaknaan hidup mereka, dalam konteks fenomena kerelaan mereka untuk mengabdi (ngawulo) pada kiai dan orang-orang yang dekat dengan sang kiai tersebut. Sehingga dengan adanya pemahaman tentang kebermaknaan hidup tersebut, bisa menjadi masukan bagi pemerintah terkait penguatan pendidikan karakter bangsa dan memahamkan masyarakat luas tentang berbagai sisi positif dari santri. D. Manfaat Penelitian Peneliti berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
10 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi indigenous, serta penelitian selanjutnya mengenai kebermaknaan hidup santri yang menjadi abdi dalem kiai. 2. Manfaat Praktis Selain memberikan manfaat teoretis, peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan pandangan positif tentang karakter santri kepada masyarakat luas. Selain itu, penulis juga berharap penelitian ini dapat memberi pemahaman, terkait nilai-nilai Islam Indonesia, yakni nilai-nilai keislaman yang moderat dan membawa kedamaian, yang selalu diajarkan oleh para ulama pesantren selama ini. Terlebih, penelitian ini juga diharapkan bisa menyumbangkan bahan kajian terkait pendidikan karakter yang mulai digalakkan oleh pemerintah.