BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi (basic economic and economic life of the nation) dan transnasional crime, 1 disamping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik, korupsi moral dan korupsi demokrasi. Stephen D, Plats dalam Ethic Secience mengemukakan bahwa korupsi dapat terjadi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang sosial, In economic term, corruption misdirect resources and discourage investement by the privat sector...corruptions also has significant social cost, corruption creates a culture of privat and crime and deprives the neediest element society on the benefits of government resources. Futhermore the political cost of corruption can be ruinous, corruption destroys the confidence of people in their government and under mines the very legitimacy of political institutional. 2 Secara umum pengertian korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu.3 Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang
1
Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah Seminar di Unsoed, Purwokerto, 1999 bahwa The Asian Wall Street Journal pada Tahun 1997 saja sudah menuliskan corruption ranking in 1996, based on the level of corruotion in a country. Indonesia masuk 2 Stephen D, Plats, dalam Triaji, Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Seminar di Unsoed, 1999, hal. 3 3 Bandingkan, Malaysia Emergency (essential power) Ordonance No. 22 of 1970. Section 2 (1), dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 54 beberapa negara memberikan defenisi yang berbeda tentang korupsi. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). 4 Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:5 1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent). 2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim). 3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation). Keseriusan pemerintah untuk membahas dan menanggulangi tindak pidana korupsi6 adalah dilahirkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pengertiannya didasarkan atas pertimbangan kebutuhan negara yang bersangkutan. Malaysia: any members of administration or any member parliament or the state legislative assembly or any public officer, who while being such a member of offence commits any corrupt practical shall be guilty of an offence and shall exceeding fourteen year aa to a fine not exceeding twenty thousand ringgit or to both such imprisonment and fine. 4 Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 12 5 Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 5-6 6 Keseriusan pemerintah Indonesia untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dengan melahirkan dan memperbaharui undang-undang adalah untuk merespon perkembangan yang Internasional yang membahas strategi pemberantasan dan penanggulangan kejahatan korupsi seperti dalam resolusi Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 8 Tahun 1990 tentang Corruption in Government antara lain merekomendasi agar negara anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi (improved banking and financial regulation to prevent capital flight of fund accuires throught corrupt activities). Hasil kongres perserikatan bangsa-bangsa itu direspon oleh negara anggota dan dimulai oleh apa yang disebut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for economic cooperaties and development (OECD). Organisasi ini terlah berhasil menyamakan visi dan misi para anggotanya dalam memberantas korupsi dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut “The OECD Anti Corruption Treaty”. Organisasi pada langkah berikutnya telah mengadakan konvensi pemberantasan penyuapan pejabat pemerintah asing dalam transaksi perdagangan Internasional atau The Convention on Combating Bribery of Foreign Public Official in Internasional Business Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi. Ditinjau dari sisi materi muatannya membawa perubahan yang cukup substansial, sehingga secara filosofis, sosiologis, dan yuridis diharapkan mampu memberikan daya laku yang kuat, dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Karakteristik tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan sistem hukum yang
dianut
oleh
pertanggungjawaban
kaedah 7 pelaku
KUH
Pidana,
kejahatan,
terutama
dalam
tindak
yang
menyangkut
pidana
korupsi
pertanggungjawaban pidana adalah lebih luas daripada tindak pidana umum, yaitu: a. Adanya kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (tanpa hadirnya terdakwa). Hal ini telihat dalam pasal 38 ayat 1 s/d 3 UUPTPK.
Transaction. Peserta konvensi telah menyatakan persetujuannya untuk menyusun undang-undang khusus sebagai bagian hukum internasional yang disebut Foreign Corrupt Practies Act (FCPA). 7 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal, 67 bahwa di dalam penbicaraan mengenai tata kaedah hukum telah disinggung mengenai tujuan kaedah tersebut, yakni kedamaian hidup antar pribadi. Kedamaian tersebut meliputi dua hal yaitu ketertiban ekstern antar pribadi, ketenangan intern pribadi. Kedua hal tersebut ada hubungannya dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi tunggal yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang bersitegang, yaitu memberikan kepastian dalam hukum (“certainty”: “zekerheid”) dan memberikan kesebandingan dalam hukum (“equity”: “billijkheid”; “evenredigheid”). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, kecuali yang telah disinggung di atas, masih ada dua pasang lagi, yakni: a. Nilai kepentingan rohaniah/keakhlakan (spiritualisme) dan nilai kepentingan jasmaniah/kebendaan (materialisem). b. Nilai kebaruan (inovatisem) dan nilai kelanggengan (konservatisme) Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
b. Adanya kemungkinan perampasan barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum adanya putusan dari pengadilan yang tidak dapat diubah lagi (pasal 38 ayat 5 UUPTPK). Putusan perampasan barang terhadap terdakwa yang telah meninggal dunia tidak boleh banding (pasal 38 ayat 6 UUPTPK). c. Perumusan tindak pidana korupsi dalam UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya terutama unsur ketiga pada pasal 2 s/d 13 UUPTPK. Unsur tersebut ialah "yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya, bahwa perbuatan teraebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. UUPTPK pada dasarnya mengacu kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUH Pidana, sehingga kerangka hukum yang dijadikan sebagai dasar penindakan pelaku kejahatan korupsi sebagai tindak pidana 8 menggunakan norma hukum KUH Pidana (lex generalis). 9 Ketentuan yang mengatur di dalam UUPTPK hanya
8
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 84, bahwa tindak pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu: a. melawan hukum; b. merugikan masyarakat; c. dilarang oleh aturan pidana; d. pelakunya diancam dengan pidana. 9 Ibid, hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
beberapa pasal saja hasil rumusan dari pembuat UUPTPK sendiri (lex spesialis), sedangkan yang lain adalah menarik dari perumusan KUH Pidana. Adapun pasalpasal itu antara lain yaitu Pasal 1, 2, 3, 4, 13, 18, 19, 20. 21, 22, 41, 42 dan 43. Tetapi Pasal 21, 22 dan 24 tidak mengenai korupsi dalam arti materiil dan keuangan, karena ketiga pasal itu mengenai perbuatan yang mempersulit pemeriksaan perkara pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Tindak Pidana dalam arti materiil dan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UUPTPK. Pasal 2 ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundangundangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain. Begitu juga halnya undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 selain merumuskan perbuatan apa sajakah yang termasuk tindak pidana korupsi, macam pidananya (hukumannya) juga memuat tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi di muka pengadilan. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Bunyi pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam penerapannya menjadi permasalah di dalan praktek sistem peradilan tindak pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil. Konsepsi perbuatan melawan hukum materiil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia dengan pertimbangan sebagai berikut: 10 Pertama, perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara formil (wederwettelijk) telah mengalami pergeseran dan yang dianggap sebagai terobosan baru dalam hukum pidana, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat, sehingga terjadi perubahan arti menjadi wederrechtelijk, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana hukum pidana. Kedua, wederrechtelijk mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 1 ayat 1 huruf (a) maupun Penjelasan Umumnya
10
Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 13 April 2009 Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
erat kaitannya antara penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiil dengan arrest Cohen-Lindenbaum. 11 Ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana khususnya perbuatan melawan hukum materil dibatasi penggunaannya melalui fungsi negatifnya sebagai alasan peniadaan pidana, dengan maksud untuk menghindari pelanggaran asas legalitas sekaligus dapat menghindari penggunaan analogi dalam hukum pidana dimaksudkan adalah perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. Contohnya yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. 12 Permasalahannya adalah bagaimana terhadap perbuatan dengan tipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif tercela yang merugikan Masyarakat Negara dalam skala yang sangat besar, tetapi tidak terjangkau peraturan perundang-undangan tertulis (perbuatan melawan hukum formil)? Apakah pelaku dapat berkeliaran secara
11 12
Ibid Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
bebas dengan berlindung dibalik asas legalitas? Dengan disandarkan dari aspek pendekatan sejarah pembentukan undang-undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan legislatif maka sepatutnyalah untuk mempertimbangkan penerapan fungi positif dari perbuatan melawan hukum materiil, dengan kriteria yang tegas dan ketat serta kasuistis, yaitu apabila perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat dan negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materil (materiele wederrechtelijkheid). Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum di dalam tindak pidana korupsi khususnya perbuatan melawan hukum materil mulai diperhatikan kembali oleh sistem peradilan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006, di dalam putusannya yang menyatakan bahwa: “Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tidak sesuai dengan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “ Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam praktek penerapan ajaran perbuatan melawan hukum ternyata dimensi perbuatan melawan hukum materil baik fungsi positif maupun fungsi negatif dalam tindak pidana korupsi mengalami keadaan mati suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Tegasnya, putusan Mahkamah Konstitusi telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hukum materil. Apabila dideskripsikan secara global ada beberapa argumentasi sebagai ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan nuansa perbuatan melawan hukum materil sebagai berikut: 13 1. Penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama UU Nomor 31 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, hakikatnya penjelasan pasal tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Konsekuensi logis dimensi demikian maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil dalam pengertian bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela sehingga telah melanggar kepatutan, kehatihatian dan keharusan dalam masyarakat maka dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rectsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup menjadi kretaria perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya dikaji dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis penjelasan UU tersebut telah melahirkan norma baru 13
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2007), hal. 78
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
karena digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Selain itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kretaria perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan hukum. 2. Dikaji dari praktik pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Ketentuan Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundangundangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh sehingga penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan. 3. Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu perundangundangan yang tertulis (lex scripta) yang telah ada terlebih dahulu. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat UU untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah bestimmheitsgebot. 4. Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materil (materiele wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat pertama UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dikaji dari dimensinya maka perbuatan melawan hukum khusunya perbuatan melawan hukum materil di dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi mati suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi dikaji dari praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung RI hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan melawan hukum materil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit pula ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif maupun konservatif.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Selanjutnya, maksud dari unsur melawan hukum diartikan bahwa tersangka/terdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai suatu benda, dalam hal ini berupa uang. Selanjutnya dalam buku-buku hukum pidana yang dimaksud dengan melawan hukum terdapat perbedaan pendapat antara para pakar misalnya ada yang memakai istilah bertentangan dengan hak orang lain, ada yang memakai istilah tanpa hak, dan lain-lain. 14 Yurisprudensi Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis yang meliputi baik melawan hukum yang formal (tertulis) maupun yang materil (tertulis dan tidak tertulis). Dari penjelasan umum UUPTPK dapat dikontruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam hukum perdata yang pengertiannya meliputi sebagai perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau pertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Penjelasan dari UUPTPK Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa yang
14
Lihat, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990), hal. 78, di dalam bukunya membagi 2 (dua) sifat melawan hukum yakni: a. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil. Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). b. Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil. Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undangundang (yang tertulis) saja, akantetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (iibergesetzlicht). Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dimaksud dengan "secara melawan hukum" adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan; namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Perumusan tentang perbuatan korupsi sebagai perbuatan tercela yang disebabkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial di masyarakat menjadi permasalahan terutama menyangkut tentang penerapan Pasal 2 ayat (1) UUTPK yakni perbuatan melawan hukum materil. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 dalam perkara tindak pidana korupsi dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan terdakwa dengan cara melakukan penunjukan langsung pengadaan tinta sidik jari yang digunakan pada Pemilu legislatif 2004, kerugian keuangan negara sebesar Rp. 1.382.367.515,- (satu milyar tiga ratus delapan puluh dua juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus lima belas rupiah). Terdakwa merupakan sekretaris pengadaan tinta sidik jari yang digunakan dalam Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2004. Pengadaan tinta sidik jari tersebut menggunakan dana yang bersumber dari APBN Tahun 2004. Adapun permasalahan dalam perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung sebagai berikut: 15
15
Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 pada intinya menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa. Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
1. Alasan pemohon kasasi bahwa dengan tidak dapat dibuktikan adanya perbuatan pemohon kasasi/terdakwa yang memperkaya orang lain dengan merugikan keuangan negara maka judex facti keliru menerapkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk menghukum pemohon kasasi/terdakwa. 2. Mahkamah Agung berpendapat di dalam pertimbangannya bahwa dinyatakannya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesi Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat 1 undang-undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya,
pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.09/Pid/TPK/2006/PT.DKI tanggal 9 Agustus 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1. Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 16 Mei 2006 No.16/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.PST yang dimintakan banding dengan perbaikan amar putusan sekedar pidana tambahan uang pengganti. 2. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. 3. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. 4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. 5. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
oleh karena itu berdasarkan doktrin “sens-clair” (Ia doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan: 16 a. Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperhatikan doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dengan tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya. b. Tujuan diperluasnya unsur perbuatan melawan hukum yang tidak lagi dalam pengertian formal namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil adalah untuk mempermudah pembuktian dipersidangan, sehingga suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya,
16
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 bahwa berdasarkan pengertian “melawan hukum” dalam arti materiil tersebut, Mahkamah Agung berpendapat perbuatan-perbuatan terdakwa sebagai berikut: 1. Merahasiakan nilai total HPS (Harga Perhitungan Sendiri) kepada calon-calon rekanan. 2. Menerima uang saku dari saksi padahal sudah mendapatkan uang perjalanan dinas dari KPU. 3. Telah mengajukan surat permohonan pembebasan biaya masuk yang harus dibayar oleh rekakan Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepatuhan masyarakat, oleh karena itu perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positifnya. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil. c. Sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No. 275 K/Pid/1983 untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materiil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak dengan memakai tolak ukur asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat. d. Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain undang-undang dan kebiasaan serta traktak yang telah digunakan oleh Mahkamah
Agung
dalam
kasus
konkrit
yang
dihadapinya,
Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Unsur melawan hukum yang diputus oleh Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 dapat dikontruksikan bahwa hakim memutus dengan ketentuan tidak hanya menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dihukum, melainkan melawan hukum itu adalah untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini dengan "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan atau korporasi" dan dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh Penjelasan Umum UUPTPK menyatakan bahwa: ”Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”. Pengertian tentang perbuatan melawan hukum ini dalam praktek sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006 menjadi permasalahan untuk diterapkan, hal ini dapat dilihat pada perkara dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mantan Direktur Bank Mandiri atas nama EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE, dimana terdakwa dituntut oleh penuntut umum telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri. 17 Adapun pledoi terhadap tuntutan penuntut umum sebagai berikut: “Bahwa perkembangan hukum pidana modern pada dewasa ini tidak lagi
terpaku kepada asas legalitas secara absolut sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi asas legalitas tersebut telah bergeser/dinegatifkan berlakunya sejak dianut asas melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) di dalam praktek peradilan pidana, yang ditandai dengan arest water en milk pada tahun 1919. Hal ini membawa 17
Lihat, Pledoi / Nota Pembelaan Terhadap Requisitoir / Surat Tuntutan Jaksa Nomor Reg. Perkara: PDS-08/JKT.SL/Ft.1/09/2005. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dampak, bahwa praktek peradilan pidana telah meninggalkan asas melawan hukum formil (formiele wederrechtelijkheid) yang berarti asas nullum delictum tidak absolut lagi berlaku namun tetap wajib memegang teguh asas geen straf zonder schuld.. Berdasarkan hal tersebut, pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan peran hukum pidana melalui asas materiele wederrechtelijkheid yang diintroduksikan ke dalam UU No. 31 tahun 1999 merupakan penafsiran yang keliru, karena asas materiele wederrechtelijkheid ini tidak hanya sebatas pengenalan (introduksi) tetapi sesungguhnya telah diadopsi (diakomodir) ke dalam UU No. 31 tahun 1999. Sebagai isyarat, secara faktual penerapan asas melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid), bertujuan agar penegakan hukum tidak membatasi diri pada kajian-kajian yang formalitis legalistis semata. Oleh karena itu, harus beralih pada kesediaan untuk mengakui bahwa apa yang disebut norma-norma hukum itu sebenarnya harus mencakup pula asas-asas hukum. Dalam pengertian ini, tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan asas materiele wederrechtelijkheid dalam fungsi positif, menunjukkan tidak konsisten. Bahwa dengan diakomodirnya asas materiele wederrechtelijkheid ke dalam UU No. 31 tahun 1999, maka substansi normatif yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 tersebut harus menjiwai asas melawan hukum materiil, sehingga meskipun suatu perbuatan tidak dengan tegas dicantumkan dalam undang-undang, perbuatan tersebut tetap dapat dituntut berdasarkan undangundang yang tidak tertulis (living law). Begitu juga alasan-alasan untuk pengecualian hukuman terhadap terdakwa harus pula dicari berdasarkan hukum tertulis (positif) maupun hukum tidak tertulis. Sejalan dengan dianutnya asas melawan hukum materiil tersebut, membawa konsekwensi bagi Jaksa Penuntut Umum harus mampu bertindak secara professional untuk membuktikan dakwaannya, sehingga terdakwa dapat dikatakan bersalah atau tidak. Oleh sebab itu, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, harus dapat dibuktikan secara profesional dan proporsional, baik berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999, raison d’etre-nya adalah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, Jaksa Penuntut Umum harus mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum, yang memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahwa secara yuridis, substansi norma hukum yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 adalah merupakan delik materiil, yang ditandai dengan dicantumkannya akibat kongkrit dari perbuatan yang dilarang berupa memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Oleh sebab itu, Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan terjadinya akibat dari Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
perbuatan tersebut sebagaimana perintah Undang-undang. Hal tersebut telah diatur secara khusus dalam Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999, yang intinya Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Artinya, beban pembuktian tidak semata-mata berada di tangan terdakwa, tetapi Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan ini mengandung asas lex specialis derogat legi generali dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bahwa berdasarkan ilmu hukum pidana, penerapan asas melawan hukum materiil dalam suatu tindak pidana, mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya terbatas pada hukum tertulis, tetapi juga meliputi hukum tidak tertulis serta asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat (algemene beginselen van recht). Terhadap asas melawan hukum materil, banyak keberatan dikemukakan oleh para sarjana dengan alasan: Pertama, kepastian hukum akan terabaikan (rechtszekerheid); Kedua, terdapat kecenderungan bagi hakim untuk melakukan tindakan sewenang-wenang; Ketiga, kemungkinan akan lebih dominan terjadinya “main hakim sendiri” (eigenrichting). Namun demikian, dalam perkembangan hukum pidana dewasa ini, keberadaan asas melawan hukum materiil perlu dianut khususnya dalam delik-delik kolektif, tetapi penerapannya harus benar-benar didukung oleh profesionalisme dan pengetahuan yang mendalam tentang disiplin ilmu hukum pidana. Apabila Jaksa Penuntut Umum tetap berfikir secara konvensional, maka akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dakwaannya. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan dakwaannya, demi hukum terdakwa harus dibebaskan sesuai dengan asas geen straft zonder schuld, yaitu terdakwa hanya bisa dihukum apabila dapat dibuktikan adanya kesalahan yang sekecil-kecilnya.Bahwa dalam kaitannya dengan tindak pidana yang didakwakan kepada saya, Jaksa Penuntut Umum terkesan ragu-ragu dalam mencari alasan apakah saya bersalah atau tidak. Hal ini dibuktikan dari tidak konsistennya Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan analisa yuridis yang menjadi dasar Tuntutan kepada saya.Bahwa Jaksa Penuntut Umum menguraikan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU no. 31 tahun 1999 adalah delik formil sedangkan dalam melakukan pembuktian adanya unsur Melawan Hukum pada diri saya, menggunakan argumentasi pembuktian melalui adanya Perbuatan Melawan Hukum Materiil dalam fungsi positif. Menurut teori dan asas-asas hukum pidana yang diterima secara universal, argumentasi yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut diatas, adalah sangat keliru, karena asas melawan hukum materiil adalah berkualitas abstrak yang tidak mungkin dikaitkan dengan fungsi positif. Seharusnya jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan asas Melawan Hukum Materiil harus memahami keberadaan hukum yang tidak tertulis atau norma-norma serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktek perbankan yang dapat menentukan apakah saya bersalah atau tidak. Ternyata Jaksa Penuntut Umum melakukan penerapan asas melawan hukum materiil dengan fungsi positif Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
yang sebenarnya merupakan khasanah delik formil. Dengan demikian, sangat jelas adanya nuansa keragu-raguan (dubious) dari Jaksa Penuntut Umum.
Pemberlakuan ajaran perbuatan melawan hukum khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus dugaan korupsi terhadap Mantan Direktur Bank Mandiri atas nama EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE tidak dapat dipisahkan dari sistem pembuktian untuk meminta pertanggungjawaban pelaku korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mencantumkan mengenai sistem pembuktian yaitu pembuktian terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian). Pembuktian terbalik ini yaitu pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa, terdakwa sudah dianggap terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi kecuali ia mampu membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berkenaan dengan sistem Pembalikan Beban Pembuktian tersebut, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang degan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Ini diatur dalam pasal 37 A, 38 A, dan 38 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjamin adanya keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumpation of innonce) dan asas bersalah dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang. Dalam rangka upaya mendukung penerapan sistem pembuktian terbalik dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah ditetapkan perluasan mengenai Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Khusus dalam Tindak Pidana Korupsi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 180 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Asas tindak pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku dalam hukum pidana selama ini menghambat penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi yang melakukan tindak pidana khususnya menyangkut tentang pembuktian pelaku, oleh karenanya pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi harus melakukan pendekatan dengan menerapkan asas diduga melakukan tindak pidana (praduga bersalah) yang selanjutnya hasil tindak pidana tersebut ditelusuri keberadaannya, apabila transaksi yang dilakukan di luar kewajaran dan diidentifikasi sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan maka pelaku kejahatan tersebut dalam diidentifikasi sebagai pelaku jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) 18
18
Clarke dalam Edi Setiadi, Op.cit, hal. 25, mempergunakan istilah Business Crime, ke dalam istilah ini termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan dan terjadi di dalam kegiatan perdagangan, keuangan, perbankan dan kegiatan perpajakan. Clarke telah memperluar pengertian business crime yaitu suatu kegiatan yang (selalu) memiliki konotasi legitimate business dan tidak identik dengan Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
yang sulit untuk dideteksi, penyebabnya adalah perangkat hukum perundang-undang khususnya hukum pidana materil masih mengalami kelemahan karena adanya prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan (shuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, 19 berbeda dengan tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi, 20 sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh kealpaan; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf.
kegiatan suatu sindikat krimal. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang termasuk business crime di satu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat kriminal yang juga bergerak di dalam kegiatan perdagangan. Clarke telah mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dari suatu business crime, yaitu pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang bersifat eksploitasi, dan kedua, suatu akibat khas ialah sifat kontestabiliti dari kegiatannya dalam arti kegiatan yang dipandang ilegal menurut undang-undang masih dapat diperdebatkan oleh para pelakunya. 19 Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, 1987/1988), hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. 20 Lihat, Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, (Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994), hal. 7 bahwa apabila kita menggunakan pendekatan teknis maka kejahatan ekonomi lebih menampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Dalam hal ini batasan yang dapat dikemukakan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum tanpa menggunakan kekerasan bersifat melawan hukum yang hakekatnya mengandung unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
B. Rumusan Masalah Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian 21 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ajaran dan konsep tentang perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum (materiele wederrechtelijkheid)? 3. Bagaimana pembuktian unsur melawan hukum pada kasus korupsi sebagaimana di putusan oleh Mahkamah Agung RI No. No. 2608 K/Pid/2006?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:
21
Lihat, Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,(Jakarta: PPM, 2003), hal. 35 bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variabel atau mempersoalkan hubungan antara variabel pada suatu penomena. Variabel merupakan suatu arti yang dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Untuk membedakan antara manusia dalam wujud pria dan wanita dengan manusia dalam wujud yang lulus SD, SMU atau Sarjana, diberikan suatu arti pada wujud pertama di atas sebagai “jenis kelamin” (variabel Pertama) dan kedua sebagai tingkat pendidikan (variabel kedua). Jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah dua variabel yang berbeda. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
1. Untuk mengetahui ajaran dan konsep tentang perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana. 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum (materiele wederrechtelijkheid). 3. Untuk mengetahui pembuktian unsur melawan hukum pada kasus korupsi sebagaimana di putusan oleh Mahkamah Agung RI No. No. 2608 K/Pid/2006.
D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu: “…… to discover answers to questions through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased. 22
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum ekonomi mengenai penerapan asas perbuatan melawan hukum materil 22
Calire Seltz et.,al: 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hal. 9 Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dalam perspektif tindak pidana korupsi dan pengaturan perbuatan melawan hukum materil yang diatur di dalam undang-undang tindak pidana korupsi dalam rangka penanggulangan kejahatan korupsi. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi dalam mengambil beberapa tindakan untuk menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum materil,
sehingga
dapat
mengantisipasi
implikasi tindakan yang
menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misalnya Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang ajaran perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama walapun ada beberapa judul yang membahas tentang tindak pidana korupsi namun pendekatan yang digunakan sangat Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional
objektif
dan
terbuka.
Sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Penerapan aturan hukum yang berdaya guna tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia yang menyelaraskan dan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan perkatan lain hukum yang dibuat haruslah disesuaikan dengan perkembangan dinamika masyarakat dan memperhatikan aspek keadilan 23 dan memberikan perlindungan untuk menciptakan tertib hukum, di sinilah fungsi hukum sebagai aturan. Hal ini sesuai dengan landasan teori sociological jurisfrudence dari Roscoe Pound yang menekankan bahwa hukum merupakan alat untuk membangun masyarakat (law as a tool of social engineering), sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound ini maka Eugen Erlich mengajukan suatu konsepsi tentang hukum yang hidup dengan arti hukum yang demikian tidak ditemukan di dalam bahan-bahan hukum 23
Lihat, John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3, bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi tidak pedui betapapun efesien dan rapinya harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
formal melainkan dalam masyarakat. Untuk melihat hukum yang hidup dan dipakai dalam menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak hanya memandang kepada bahan-bahan dan dokumen formal saja melainkan perlu terjun sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatanya. 24 Prinsip teori ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsep teori ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 25 Aktualisasi dari living law tersebut bahwa hukum tidak dilihat dalam wujud kaidah melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Elaborasi dari sistem hukum hukum yang tertulis dengan konsepsi living law inilah yang melahirkan suatu sistem hukum yang rasional. 26 Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil pada tindak pidana 24
Ibid Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 79 26 Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Eonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8 bahwa untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat didalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang kharismatik yang disebut sebagai “law prophet”. Sistem hukum rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik. 25
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
korupsi sebagai perluasan perbuatan melawan hukum, misalnya menurut hukum positif di Indonesia, perbuatan melawan hukum pada dasarnya memang termasuk bidang hukum perdata. Namun dalam praktek bisnis dan ekonomi, apabila terdapat elemen-elemen telah terjadinya kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian kenyataan (conceeltment of facts), akal-akalan (subterfuge), pengelakan peraturan (illegal circumventment of facts) atau manipulasi, penanggaran kepercayaan (breach of trush) maka perbuatan tersebut telah dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana (fraud) atau kejahatan bisnis, 27 perluasan perbuatan melawan hukum ini secara jelas terlihat di dalam tindak pidana korupsi28 yang selanjutnya terjadi perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, 29 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi menunjukan fungsi hukum sebagai sarana dan 27
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis (Bisnis Crime ), (Bogor: Kencana, 2003), hal. xiii 28 Lihat, Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006, di dalam putusannya menyatakan bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tidak sesuai dengan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “ Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materiel (materiele wederrechtelijkheid) 29 Donald Haris, Remedies in Contract and Tort Law (London: Weidenfeld and Nicolson, 1998), hal. 192 bahwa selanjutnya pada perkembangannya di Indonesia berdasarkan Article 11 (2) Universal Declaration of Human Right (1984) juga menegaskan bahwa No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, unde national or international law, at the time when it was commited . Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003. Apabila dibandingkan di Negara yang menganut sistem hukum common law menyatakan bahwa Tort sebagai alat untuk melindungi seseorang dari kebebasan individu, kebebasan ini harus dibatasi apabila menimbulkan kerugian atau kerusakan terhadap orang lain. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
alat pembaharuan masyarakat, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa: “…Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena disini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun yang dalam defenisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi yang demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitiberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap hukum tidak memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan. Ucapan bahwa dengan ahli hukum orang tidak dapat membuat revolusi menggambarkan anggapan demikian. Kesulitan dalam menggunakan hukum sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita harus berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat”. Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil pada pekara korupsi tentunya tidak dapat dipisahkan dari efektivitas suatu kaedah hukum pada sistem peradilan pidana. Menurut Soerjono Soekanto bahwa untuk melihat suatu efektivitas kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit), hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound. 30 Hukum dapat dikatakan
30
Lihat, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 7 Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
sebagai rules of conduct for men bahavior in a society 31 dan hukum menghilangkan ketidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial. Berkaitan dengan hal ini maka Dardji Darmodihardjo dan Sidharta 32 mengatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai fungsi yakni fungsi hukum sebagai kontrol sosial, disini hukum membuat norma-norma yang mengontrol perilaku individu dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentinan individu dan fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement) serta berfungsi untuk memperbaharui masyarakat. Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat mengggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang. 33 Paradigma konsep teori ini dapat dilihat di dalam undang-undang tindak pidana korupsi yakni untuk menyesuaikan perangkat hukum yang ada dengan kebutuhan pemberantasan dan penanggulangan serta perkembangan tindak pidana korupsi diadakan beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan. Pokokpokok perubahan tersebut sebagai berikut: 31
Dimyati Hartono, Ketidak Mandirian Hukum Mempengaruhi Reformasi di Bidang Hukum, dalam Edi Setiadi, Op.cit, hal. 7. 32 Dardji Darmodihardjo, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 159-161. 33 Lihat, Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia: Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu, 14 Agustus 2004. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
a. Penyebutan secara langsung unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu. Pasal 5,6,7,8,9,10,11,12 dan pasal 13 rumusannya diubah sehingga tidak mengacu pada pasal 209, 210, 387, dan 388, 415 dari KUHP 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 atau pasal 435 KUHP, tetapi langsung menyebutkan Unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP seperti pemberian atau menjanjikan sesuatu kepada PNS atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum, hakim, kontraktor, pengusaha atau pemborong yang berbuat curang. Perubahan tersebut memudahkan pemahaman terhadap lingkup atau objek yang diaturnya. b.
Penghapusan ketentuan minimum denda dan pidana penjara. Pasal 12 A dinyatakan bahwa (1) ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan dipidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Perumusan pasal 12 A didasarkan pada pertimbangan bahwa pidana sebagai yang dimaksud dalam pasal 415 KUHP dan pasal 8 UndangUndang 31 Tahun 1999 yang mana pengenaan pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dengan denda paling sedikit
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) kurang efektif sehingga pidana tersebut menimbulkan rasa kekurangadilan dalam hal pelaku Tindak Pidana yang menimbulkan kerugian negara relatif kecil. Selanjutnya dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum pidana dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). 34 Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh
34
Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.cit Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materil. Pergeseran perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. 35 Landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata. Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi
ternyata 35
menimbulkan
kerugian
yang
jauh
tidak
seimbang
Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
bagi
masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi (kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977)9 dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa adanya 3 (tiga) sifat hilangnya unsur (bestandellen) melawan hukum materiil sebagai alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung. 36 Selain itu, Mahkamah Agung berpendirian dengan membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi bahwa hilangnya sifat melawan hukum dapat juga dikarenakan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis sebagaimana pertimbangan itu disebutkan dengan redaksional sebagai berikut: 37 “bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa.”
36 37
Ibid Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas “perbuatan melawan hukum materiil” (materiele wederrechtelijkheid) dalam fungsi negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995).10 Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut:38 “Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.” Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian
38
Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
melawan hukum materil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut: 39 “Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.” Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materil telah mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas. Konklusi dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila dijabarkan, walaupun yurisprudensi tersebut bertitik tolak kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, ajaran perbuatan melawan hukum materil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan.
39
Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
2. Landasan Konsepsional Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Pertama: Perbuatan Melawan Hukum Materil. Kedua: Tindak Pidana Korupsi. Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut: 1. Pengertian ajaran adalah asas sebagai sesuatu hal yang sifatnya sangat mendasar yang bernuansa filsafat. 40 Asas yang sifatnya sangat mendasar dimaksud pada hakekatnya adalah bertujuan untuk menjawab beberapa keraguan 41 yang muncul di lapangan kemudian dengan menggunakan asas dimaksud diupayakan menemukan
jalan penyelesaiannya.
Dengan
pendekatan
yang
demikian
diharapkan terhadap keraguan yang muncul itu dapat dicapai sesuatu kebenaran yang hakiki yang sekaligus memberikan faedah atau manfaat bagi kehidupan dalam masyarakat. Sifat asas pada umumnya tidak dituangkan dalam peraturan atau pasal yang konkrit sehingga asas tersebut tidak dapat diterapkan secara langsung kepada peristiwa konkrit walapun ada asas hukum yang bersifat abstrak maka tidak dapat langsung diterapkan pada peristiwa konkrit. Peraturan hukum konkrit dapat secara langsung diterapkan kepada peristiwa yang konkrit. Fungsi asas hukum bersifat mengesahkan karena berdasarkan pada eksistensi rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim, mempunyai pengaruh yang normatif
40
Dalam hubungan ini M. Solly Lubis, mengetengahkan pendapatnya berfilsafat, ialah mencari kebenaran, dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan, dengan berpikir secara radikal sistematik dan universal. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 2. 41 Ibid. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dan mengikat para pihak, berdasarkan pada fungsi asas hukum seperti ini maka asas hukum itu bersifat mengatur dan eksplikatif. 2. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 42 3. Perbuatan melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya. 43 Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar, maka alasanalasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Ajaran yang materil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela, karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar
42
Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia, Suatu Kajian Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia Dalam Putusan Pengadilan di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, 2002), hal. 38-39. 43 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
undang-undang. Dengan pekataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. 44 4. Tindak pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatanperbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu: 45 a. melawan hukum; b. merugikan masyarakat; c. dilarang oleh aturan pidana; d. pelakunya diancam dengan pidana. 5. Tindak pidana korupsi diartikan sebagai perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian ada tiga fenomena yang mencakup dalam istilah korupsi yakni penyuapan (bribery), extraction
44
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 25 45 Mulyanto dalam Faisal Salam, op.cit, hal. 84 Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
(pemerasan) dan nepotism (nepotisme). Selanjutnya bisa diidentifikasikan anatomi kejahatan korupsi: 46 1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. 2. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang. 4. Perbuatan terselubung di balik pembenaran hukum. 5. Pelaku biasanya mempunyai pengaruh yang kuat baik status ekonomi maupun status politik yang tinggi. 6. Mengandung unsur tipu muslihat. 7. Mengandung unsur penghianatan kepercayaan. 8. Perbuatan tersebut melanggar norma, tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan peneltian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu
46
Edi Setiadi, Loc.cit
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Pengumpulan data dengan cara
deskriptif ini dilakukan pendekatan
yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini. Penelitian seperti ini menurut Ronald Dworkin disebutnya dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judical process). 47
47
Ronald Dworkin sebagaimana dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
2. Sumber Data Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, KUH Pidana, KUHAP, Putusan Mahkamah Agung No.2608 K/Pid/2006, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006. 2. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan ajaran perbuatan melawan hukum materil, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 48 Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang ajaran perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. Data primer berupa wawancara kepada informan digunakan sebagai data pelengkap dan pendukung dari data skunder. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapatpendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahanbahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini. Keseluruhan data ini kemudian 48
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 41. Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi.
4. Analisis Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang penerapan asas perbuatan melawan hukum materil dalam perspektif tindak pidana korupsi, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.