1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep profesionalisme dan perilaku profesional (PP) mendapatkan perhatian lebih dalam literatur pendidikan profesi kesehatan termasuk isu unprofessional behavior tenaga kesehatan sama seperti isu komersialisme dalam praktik pelayanan kesehatan (Aguilar, 2011). Profesionalisme kedokteran merupakan dasar untuk kontrak sosial antara profesi dokter dengan masyarakat, sehingga profesionalisme termasuk perilaku profesional sangat penting untuk dimasukkan dalam kurikulum kedokteran tahap sarjana (Passi et al., 2010; Whitcomb, 2007). Berdasarkan evaluasi tentang kondisi mahasiswa yang dalam proses pendidikan terpapar dalam kondisi yang tidak semestinya (advers climate) serta pemikiran bahwa bidang kedokteran sudah menjadi bisnis, sehingga menurunkan harga diri profesi dokter di mata masyarakat, maka Brater (2007) melakukan perubahan budaya institusinya secara menyeluruh dengan menentukan core value institusi sebagai langkah pertama. Core value dituangkan dalam dokumen panduan menyebutkan bahwa setiap anggota civitas akademik intitusi mempunyai kewajiban untuk menerapkan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut selain masuk dalam kurikulum formal, juga diterapkan dalam pelayanan kesehatan bahkan pada seleksi mahasiswa baru (student admission). Isu komersialisme berkaitan dengan salah satu klaster (entrepreneurial professionalism) dari tujuh klaster perkembangan profesi dokter dan bidang pekerjaannya ditinjau dari aspek sosial (Castellani, 2006). Tujuh klaster tersebut
2
muncul sebagai respon langsung terhadap kekuatan desentralisasi organisasi kedokteran yang berkembang dua dekade terakhir. Adapun tujuh klaster tersebut, adalah: 1) nostalgic professionalism and the ruling class; 2) academic professionalism;
3) entrepreneurial professionalism; 4) lifesyle professionalism;
5) empirical professionalism; 6) unreflective professionalism; dan 7) activist professionalism. Berkembangnya tujuh klaster bidang profesi dokter ini tentunya membawa implikasi pada teaching dan evaluation profesionalisme pendidikan dokter, termasuk kurikulum, literatur, dosen dan mahasiswa serta residen. Pendidikan perlu melakukan
rekonseptualisasi
dan
peninjauan
kembali
instrumen
penilaian
profesionalisme sesuai dengan berkembangnya tujuh klaster tersebut dan isu komersialisme. Dalam good medical practice tentang tomorrow doctor, disebutkan bahwa perilaku profesional harus dikembangkan oleh dokter sebagai tanggung jawab kepada pasien, sejawat dan masyarakat. Teaching learning profesionalisme lebih ke arah formal dan eksplisit daripada hidden curriculum, dengan alasan antara lain, yaitu: proses seleksi mahasiswa kedokteran lebih banyak menggunakan tes akademik, sedangkan PP yang dibutuhkan bagi profesi dokter tidak termasuk dalam proses seleksi tersebut; proses pendidikan dokter yang cenderung mengarah ke orientasi bisnis; reward system yang dikembangkan pada institusi kedokteran lebih memperhatikan pada hal ilmiah seperti publikasi hasil penelitian dibandingkan dengan etika dan profesionalisme. Pengelompokan pasien sesuai dengan strata dapat membatasi interaksi dengan senior, sehingga supervisi atau mentoring menjadi
3
berkurang dan semua ini berakibat menurunnya standar profesionalisme (Sivalingan, 2004). Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa kejadian medical error di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor manusia semakin bertambah. Hal ini berhubungan dengan perilaku profesional dokter atau tidak, memang belum ada studi yang membuktikannya. Menurut Cohen (2001), unprofessional behavior merupakan masalah yang lebih sering dijumpai dibandingkan dengan masalah keterampilan klinis terhadap dokter praktik yang terkena sanksi disiplin. Residen mempunyai risiko tinggi terkait dengan hal ini dengan akar permasalahan dalam hal interpersonal, perilaku profesional, dan atau masalah etik. Data-data yang berkaitan dengan masalah unprofessional behavior profesi dokter di Indonesia sebagai berikut. Menurut Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), kejadian malpraktik di Indonesia sebesar 60% hingga 65% dan bersumber dari dokter (Kompas, 2009). Kasus malpraktik, menurut YPKKI, sampai dengan tahun 2004 sebanyak 255 kasus dan naik menjadi 296 kasus pada tahun 2006. Kasus yang dapat diselesaikan sampai dengan tahun 2004 sangat sedikit, yaitu hanya 18 kasus dan 35 kasus yang dapat diselesaikan di pengadilan pada tahun 2006, sedangkan 37 kasus sedang dalam proses di pengadilan (Hatta, 2008). Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
telah
menangani 127 kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi. Pelanggaran disiplin yang oleh masyarakat disebut dengan malpraktik, tiga
4
terbanyak berturut-turut dilakukan oleh dokter umum, yaitu 48 kasus, dokter ahli bedah, yaitu 33 kasus, dokter ahli kandungan dan kebidanan, yaitu 20 kasus. Untuk dokter gigi sebanyak sepuluh kasus (Kemkes, 2011). Gagalnya komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan 80% penyebab kasus pelanggaran disiplin yang paling banyak (119) dilaporkan oleh masyarakat. Pada kejadian medication error, profesi dokter memberikan kontribusi yang paling tinggi di antara profesi kesehatan lain, yaitu sebesar 39%, sedangkan profesi perawat 38% dan apoteker 13% (Prahasto, 2012). Menurut Sjamsuhidayat (2012), perilaku yang merupakan perilaku profesional tercela (professional misconduct) adalah kolusi dengan industri farmasi secara berlebihan, menetapkan honorarium terlalu tinggi, tidak mengindahkan etika berkonsultasi, tidak mampu berkomunikasi secara profesional, tidak menepati janji dengan pasien/keluarganya, memiliki profesionalisme tanpa dasar altruisme (skindeep professionalism, Cohen, 2007). ketidakjujuran dalam berpraktik, membuat laporan medis yang tidak benar, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan pasien/keluarga, bekerja tidak sesuai dengan standar asuhan medis, merupakan bagian dari pelanggaran disiplin kedokteran (KKI, 2011). Salah satu tugas dokter adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan pasien yang baik tidak hanya tergantung pada kompetensi kognitif dan psikomotor saja, tetapi juga membutuhkan kompetensi afektif atau perilaku profesional (Luijk, 2005). Sementara, kebanyakan komplain terhadap dokter dinyatakan berhubungan dengan adanya isu tidak kompeten. Hal ini disebabkan
5
antara lain oleh kurangnya kompetensi dokter dalam domain afektif atau perilaku profesional, karena pendidikan dokter selama ini lebih menekankan pada pembelajaran kognitif dan psikomotor. Kompetensi afektif, meskipun penting, belum diajarkan secara eksplisit dan dinilai secara sistematis (Korszun et al., 2005). Pengembangan kompetensi domain afektif, yaitu karakter, sikap dan perilaku yang berhubungan dengan profesionalisme menjadi area penting dalam pendidikan dokter untuk melengkapi kompetensi kognitif dan psikomotor sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Wagner, 2007 & Hays, 2006). Teaching dan assessment profesionalisme secara formal menjadi hal penting untuk menyampaikan nilai-nilai institusi dan menyiapkan mahasiswa kedokteran untuk kontrak sosial mereka nantinya (AAMC, 2002). Menurut Jha et al. (2007), mahasiswa perlu mengembangkan sikap profesionalismenya selama proses pendidikan, bahkan mulai awal masuk pendidikan dokter.
Perilaku
profesional
mahasiswa
selama
proses
pendidikan
dapat
menginformasikan perilaku profesional mereka pada waktu praktik nantinya. Dengan menilai perilaku profesional mahasiswa selama proses pendidikan, dapat menjamin lulusan yang dihasilkan akan menunjukkan karakter profesionalisme yang tepat. Perilaku profesional merupakan perilaku yang dapat diamati dari seorang dokter dalam menangani masalah kesehatan pasien dan mencerminkan nilai-nilai profesional sebagai dasar munculnya kepercayaan pasien kepada dokter (Luijk, 2005). Dalam pengertian PP tersebut terdapat unsur-unsur standar, nilai dan profesi. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara PP dengan standar
6
kompetensi dokter tahun 2006, yaitu pada area tujuh kompetensi etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien (KKI, 2006) dan standar kompetensi dokter tahun 2012, yaitu area pertama, profesionalitas yang luhur (KKI, 2012). Mengingat profesionalisme dan PP ini menjadi salah satu aspek penting dalam standar kompetensi dokter, maka hal ini perlu dikembangkan dalam arti perlu diajarkan dan dinilai secara formal dalam kurikulum pendidikan dokter. Menyikapi hal ini, institusi kedokteran perlu menyesuaikan atau merevisi kurikulumnya agar lebih menekankan pada pentingnya profesionalisme, karena pendidikan dokter di masa lampau dengan metode konvensional lebih bersifat teacher centered dan discipline based. Pada metode konvensional, profesionalisme dan perilaku belum diajarkan secara eksplisit, terintegrasi dengan ilmu-ilmu kedokteran, belum dinilai secara sistematis dan terus menerus. Dalam World Federation Medical Education atau WFME (2003) disebutkan bahwa kurikulum inti dalam pendidikan dokter meliputi prinsip teori dan praktik kedokteran, biomedik, sosial perilaku dan ilmu klinis, komunikasi dan etika kedokteran. Penyusunan standar pendidikan profesi dokter yang ditetapkan oleh KKI juga dikembangkan dari WFME tersebut. Kurikulum pendidikan pada institusi kedokteran di Indonesia dikembangkan berdasarkan standar pendidikan profesi dokter dan standar kompetensi dokter. Dalam standar kompetensi dokter edisi pertama tahun 2006 terdapat kompetensi inti yang harus dikuasai oleh lulusan dokter Indonesia dan disebut dengan tujuh area kompetensi. Tujuh area kompetensi tersebut meliputi: 1) komunikasi efektif; 2) keterampilan klinis; 3) landasan ilmiah ilmu
7
kedokteran; 4) pengelolaan masalah kesehatan; 5) pengelolaan informasi; 6) mawas diri dan pengembangan diri; dan 7) etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien. Standar kompetensi dokter yang telah diterapkan selama lima tahun ini telah direvisi dan ditetapkan oleh KKI pada akhir tahun 2012. Pada edisi ke-2 standar kompetensi dokter terdapat perubahan area kompetensi, yaitu: area 1) profesionalitas yang luhur; 2) mawas diri dan pengembangan diri; 3) komunikasi efektif;
4)
pengelolaan
informasi;
5)
landasan
ilmiah
ilmu
kedokteran;
6) keterampilan klinis; dan 7) pengelolaan masalah kesehatan. Di sini nampak bahwa kompetensi profesionalitas yang luhur yang erat berkaitan dengan domain afektif menempati area pertama, bersama-sama dengan kompetensi mawas diri dan pengembangan diri serta kompetensi komunikasi efektif menjadi landasan kompetensi yang mencerminkan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia. Kondisi pembelajaran PP secara formal atau eksplisit
pada institusi
kedokteran di Indonesia masih belum lama berkembang. Ditetapkannya standar kompetensi dokter dan standar pendidikan profesi dokter edisi ke-2 oleh KKI pada akhir tahun 2012 menjadi landasan penting untuk lebih memantapkan pengembangan isu profesionalisme dan PP yang erat kaitannya dengan area pertama, yaitu profesionalitas yang luhur. Pembelajaran PP merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari etika, sehingga etika atau dalam hal ini etika kedokteran menjadi panduan dalam pembelajaran PP ini. Pembelajaran etika dan bioetika yang berkaitan dengan area pertama standar kompetensi dokter yang baru pada institusi kedokteran di Indonesia sebetulnya sudah
8
dimulai sebelum ditetapkannya standar kompetensi dokter ini. Profesionalisme dan isu etika menjadi penting dan dominan bagi institusi kedokteran agar menghasilkan lulusan yang kompeten dalam domain afektif atau PP untuk melengkapi kompetensi kognitif dan psikomotor sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pertemuan di tingkat nasional tentang pembelajaran bioetika pada setiap tahapan pendidikan dokter termasuk profesi dokter berupa seminar dan workshop sudah dilakukan secara regular setiap dua tahun sekali mulai tahun 2000 oleh jaringan bioetika dan humaniora (Sastrowijoto, 2009). Pertemuan-pertemuan tersebut pada prinsipnya mengarah pada konsensus di antara semua institusi kedokteran di Indonesia dalam mengajarkan sekaligus menilai bioetika untuk mahasiswa kedokteran. Seminar dan workshop terakhir tentang bioetik dilaksanakan pada 13 – 15 Agustus 2009 dengan tema teaching bioethics in clinical setting in Indonesia. Bioetika yang mempelajari isu-isu etika dan pembuatan keputusan tentang organisme hidup menunjukkan keterkaitan yang erat dalam tujuannya dengan domain afektif atau PP, yaitu personal moral development (Macer, 2008). Dari pengalaman yang disampaikan oleh beberapa institusi kedokteran yang sudah lama berdiri pada pertemuan ini (UGM, UNAIR, UI, dll.), nampak bahwa sebagian institusi sedang dalam proses pengembangan pembelajaran bioetika yang terintegrasi. Dalam diskusi di antara semua institusi kedokteran, menunjukkan sebagian besar belum mengembangkan pembelajaran yang formal, eksplisit dan sistematis dalam kurikulumnya. Metode penilaian yang dikembangkan dalam mengajarkan bioetik juga masih belum jelas dilakukan. Dari pertemuan terakhir ini, ternyata metode
9
pembelajaran dan penilaian terhadap bioetika bagi mahasiswa kedokteran masih menjadi masalah bagi sebagian besar institusi kedokteran. Bahkan masih sangat terbatas data atau informasi yang menunjukkan dampak pembelajaran bioetika yang sudah dilakukan pada sikap dan perilaku mahasiswa kedokteran ataupun dokter. Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni 1945, mengandung tuntunan dinamis pada perkembangan pendidikan dan kebudayaan Indonesia (Wuryadi, 2006).
Bagi
perguruan tinggi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia harus menjadi dasar dan pedoman bagi pengembangan ilmu (Sutaryo, 2006). Peran Pancasila dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebagai landasan kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai landasan etika ilmu pengetahuan dan teknologi (Sastrapratedja, 2006). Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan, ketika Pancasila masuk dalam keyakinan dan nilai yang dianut, menjadi konsensus seluruh ilmuwan dan mempengaruhi cara kerja ilmu pengetahuan tersebut. Karakter dasar sebagai bangsa yang disusun dari karakter individual yang diturunkan dari sila-sila Pancasila, yaitu berakhlak mulia, berbudi luhur dan bermoral utama (Ali, 2010), perlu diajarkan tidak hanya formal di sekolah tetapi juga melalui keluarga dan masyarakat. Pembelajaran di sekolah sebagai trigger atau awalan saja, sedangkan pengisian substansi pada keluarga dan masyarakat. Pelaksana langsung pendidikan karakter adalah tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat), sehingga hubungan interaktif yang harmonis perlu diciptakan di antara ketiganya. Berdasar uraian di atas, dalam mengembangkan pembelajaran PP pada pendidikan dokter di Indonesia terlihat pentingnya kembali kepada nilai-nilai yang
10
terkandung dalam Pancasila. Pancasila yang menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia mempunyai peran sebagai landasan untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Selain itu, Pancasila juga sebagai filter terhadap pengaruh globalisasi yang merugikan. Karakter bangsa Indonesia yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila selain gotong royong, yaitu berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan bermoral utama, perlu dikembangkan dalam pendidikan dokter. Pembelajaran budi pekerti yang dalam pendidikan temasuk domain afektif atau PP, menurut Dewantara (1977) perlu dilakukan dengan metode ngerti-ngrasa-nglakoni, artinya menyadari, menginsyafi dan melakukan. Dalam proses pembelajaran budi pekerti perlu diberikan pengetahuan agar mengerti tujuan dan menyadari baik buruknya suatu perilaku dan dapat melakukannya, sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia serta area pertama standar kompetensi dokter, yaitu profesionalitas yang luhur (KKI, 2012), pembelajaran PP untuk membangun karakter anak didik atau mahasiswa menjadi tuntutan sekaligus kebutuhan dalam pendidikan dokter. Hal ini untuk mengantisipasi kondisi yang berkembang di era global, yaitu kemajuan teknologi dan semakin meningkatnya kejadian pelanggaran kejujuran atau integritas akademik dan etika, seperti uraian berikut. Kemajuan teknologi memberikan kontribusi yang besar dalam pendidikan baik untuk tingkat sarjana, master dan doktor dengan ketersediaan akses informasi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Informasi yang dapat diakses melalui
11
internet dan web secara online dengan menggunakan berbagai media seperti komputer, PDA, handphone, netbook dan sejenisnya yang semakin canggih ini dapat mendukung untuk kepentingan riset, pembelajaran, kuliah, tugas, dll., namun kemajuan ini ternyata memiliki problem etika, yaitu cheating dan plagiarism (Mayville, 2011). Menurut Hejri et al. (2013), komitmen terhadap integritas akademik mempunyai peran penting dalam pendidikan dokter karena cheating dapat berpengaruh terhadap pembelajaran pengetahuan dan keterampilan mereka dan membuat mereka akan lebih mudah melanggar kejujuran, menyalahgunakan kepercayaan dalam menjalankan tugas profesinya.
Beberapa bentuk academic
disintegrity yang paling sering terjadi antara lain plagiarisme, ketidakhadiran di kelas, memalsukan tanda tangan, menyuap, memalsukan atau mengarang data, menyontek dalam ujian atau memberikan contekan teman dalam ujian, dll. Studi yang bervariasi di beberapa negara menunjukkan bahwa cheating atau menyontek dalam ujian merupakan perilaku yang salah (misbehavior) yang umum dilakukan oleh mahasiswa kedokteran. Bentuk academic disintegrity atau academic dishonesty lainnya adalah memalsukan sebagian atau semua histori pasien, pemalsuan data lebih jarang diteliti. Kejadian cheating atau academic dishonesty pada mahasiswa di perguruan tinggi menunjukkan angka yang tinggi, dengan variasi antara 30% sampai dengan 96%. Menurut American Council on Higher Education, cheating semakin meningkat dengan variasi antara 40% sampai dengan 60% bahkan 80%. Prevalensi cheating menurut Mayville (2011 cit education portal, 2007), 75% sampai dengan 98% pada
12
mahasiswa. Studi yang dilakukan oleh Hejri et al. (2013) tentang frekuensi kejadian academic disintegrity atau academic dishonesty pada 124 mahasiswa clerkship dan internship menunjukkan bahwa menyamar atau berkedok sebagai mahasiswa yang tidak hadir di kelas merupakan kejadian yang paling banyak dilakukan, yaitu 93% dan menyontek atau memberikan contekan dalam ujian pada urutan kedua, yaitu 67%. Cheating yang dilakukan dalam pendidikan dokter di perguruan tinggi, ternyata juga pernah dilakukan pada pendidikan sebelumnya atau waktu SMA. Studi pada profesi dokter juga menunjukkan bahwa cheating merupakan best predictor, dishonesty yang dilakukan pada waktu menjadi mahasiswa di perguruan tinggi juga menyebabkan dishonesty pada waktu bekerja (Nonis & Swift, 2001; Harper, 2006). Menurut Bolin (2004), academic dishonesty menjadi masalah besar dan persisten dalam pendidikan, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Integritas akademik merupakan jantungnya misi pendidikan, sehingga pelanggaran atau ketidakjujuran akademik merupakan masalah serius pendidikan yang perlu diatasi. Salah satu universitas terkemuka di US (Harvard University) menemukan bahwa separuh kelas mahasiswanya (125) pada ujian akhir mata kuliah menyontek atau memplagiat jawaban teman. Hal ini merupakan masalah serius yang melanggar kepercayaan terhadap intelektualitas dalam pendidikan, sehingga dekan salah satu fakultas di Harvard mengatakan bahwa mahasiswa yang terbukti menyontek akan mendapatkan hukuman, bahkan skorsing selama satu tahun (Nurfuadah, 2012).
13
Masalah pendidikan di Indonesia sangat kompleks, baik pada aspek kebijakan maupun pelaksanaannya, baik untuk meningkatkan kuantitas apalagi kualitas. Ketidakjujuran dalam pendidikan, seperti pemalsuan nilai, ijazah, kenaikan kelas yang dipaksakan, dll. masih merupakan salah satu problem utama pendidikan. Perilaku ketidakjujuran ini menunjukkan kemorosotan moral dan akhlak yang tidak bisa dilepaskan dari hubungan manusia dengan Allah SWT. Nafsu cinta terhadap duniawi masih mengalahkan idealisme dalam pendidikan dan memaknai arti kehidupan atau spiritualisme (Erhamwilda, 2004). Sekelompok atribut atau elemen PP telah diidentifikasi oleh beberapa institusi atau organisasi untuk pendidikan dokter seperti menurut American Board of Internal Medicine (ABIM) ada enam atribut PP dokter, yaitu: 1) altruism; 2) accountability; 3) excellence; 4) duty; 5) honor and integrity dan 6) respect (Arnold, 2002); menurut American Association of Medical Council (AAMC, 2002) ada delapan atribut PP, yaitu: 1) altruism; 2) honor and integrity; 3) caring and compassion, 4) respect; 5) responsibility;6) accountability; 7) excellence and scholarship; dan 8) leadership; menurut Castellani (2006) ada sepuluh atribut, yaitu: 1) autonomy; 2) altruism; 3) interpersonal competence; 4) personal morality; 5) professional dominance; 6) technical competence; 7) social contract; 8) social justice; 9) lifestyle; dan 10) commercialism. Meskipun sudah ada atribut-atribut PP tersebut, institusi atau wilayah perlu untuk mengidentifikasi atribut PP yang dinilai penting dan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi masing-masing institusi atau wilayahnya (Luijk, 2004). Demikian pula untuk metode pembelajaran PP sangat bervariasi, seperti kuliah
14
interaktif, diskusi kelompok atau tutorial, problem based learning, bedside teaching, workshop, konferensi, penugasan, dll. (Passi, 2010), namun belum ada satu metode yang dinilai paling efektif dalam proses pembelajaran PP. Beberapa model pembelajaran untuk atribut PP tertentu telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya. Mengajarkan humanisme dengan role model dan self reflection, dilakukan oleh Weissmann et al. (2006), mengajarkan altruism dilakukan oleh Gedeit (2001) dengan workshop, mengajarkan professional responsibility dengan kuliah singkat dilanjutkan dengan diskusi kelompok dengan cased based teaching menggunakan video sebagai trigger dan penugasan oleh Rhodes et al. (2001). Profesionalisme secara formal diajarkan dengan pendekatan cased based life cycle menggunakan metode kuliah, diskusi kelompok serta patient-centered clinical interactions oleh Fincher et al. (2001). Mengajarkan respect for patient, dengan metode interview dengan pasien (mendengarkan keluhan pasien) secara rutin pada rawat jalan, role model dan refleksi kasus oleh Branch (2006). Atribut dan model pembelajaran dalam pendidikan dokter di Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Karakter yang dimiliki bangsa Indonesia sesuai dengan ideologi Pancasila adalah berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan bermoral utama (Ali, 2010). Pancasila menjadi ideologi bangsa bisa menyatukan kondisi beragam atau pluralisme Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk mengantisipasi pengaruh negatif iptekdok dan kondisi yang berkembang dalam proses pendidikan dan profesi dokter, maka perlu
15
diidentifikasi atribut PP untuk pendidikan dokter di Indonesia dan dikembangkan dalam suatu model pembelajaran B. Perumusan Masalah Berdasar latar belakang di atas, dirumuskan masalah penelitian, yaitu: Bagaimanakah model pembelajaran perilaku profesional (PP) dalam pendidikan dokter di Indonesia? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran perilaku profesional (PP) dalam pendidikan dokter di Indonesia. 2. Tujuan khusus Penelitian ini bertujuan untuk: a. mengidentifikasi atribut PP dalam pendidikan dokter di Indonesia. b. mengembangkan disain model pembelajaran PP dalam pendidikan dokter dan validasi. c. melakukan uji coba penerapan disain model pembelajaran PP dan evaluasi. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pendidikan dokter di Indonesia tentang pengembangan model pembelajaran perilaku profesional (PP) dan alternatif model untuk mengajarkan PP. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kompetensi kognitif dan psikomotor pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dengan kompetensi afektif atau PP.
16
E. Keaslian Penelitian Penelitian serupa yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dapat dilihat pada uraian sebagai berikut. Studi kualitatif dilakukan oleh Weissmann et al. (2006) tentang teaching humanism untuk mahasiswa kedokteran dilakukan pada 12 dosen klinik dari empat fakultas kedokteran. Dosen klinik terbaik yang dipilih oleh residen diamati dengan standardized field notes dalam berinteraksi dengan pasien. Kemudian, pasien, mahasiswa, dokter dan residen diwawancara dengan semi structure interview untuk diminta pendapatnya tentang performance dosen tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa setiap dosen klinik mengajarkan aspek humanisme untuk mahasiswa dengan cara unik, yaitu dengan role model dan menggunakan self reflection untuk memperbaiki strategi mengajarnya. Selain itu, hasil studi tersebut juga menyatakan bahwa identifikasi the best practices of effective teacher merupakan langkah pertama bagi institusi kedokteran dalam mengembangkan kurikulum berbasis bukti yang berkaitan dengan teaching etika, value dan humanisme. Pengalaman tentang teaching altruism dilakukan oleh Gedeit (2001) dengan mengadakan workshop. Sebuah workshop mengenai altruism dengan video role play diberikan kepada separuh mahasiswa tahun ke tiga yang sedang rotasi di bagian pediatri, sedangkan separuhnya tidak mengikuti atau terpapar dengan workshop ini. Kemudian, mahasiswa dinilai dengan OSCE, kemampuan pengetahuan klinis dan komunikasi fokus pada perilaku/behavior yang berkaitan dengan altruism. Pembelajaran
professional
responsibility
diberikan
pada
mahasiswa
kedokteran tahun pertama. Konten materi antara lain mengenai sikap dan perilaku
17
dokter dalam interaksi dengan pasien dan teman sejawat, termasuk pengambilan keputusan, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, penalaran klinis, dan mengaplikasikan basic knowledge pada kondisi praktis. Metode dengan kuliah singkat dilanjutkan dengan diskusi kelompok dengan cased based teaching menggunakan video sebagai trigger. Penugasan berupa membaca artikel mengenai etika, sumpah dokter dan menuliskan kasus diskusi sebagai refleksi untuk bahan dalam diskusi on line dalam web (Rhodes et al., 2001). Profesionalisme secara formal diajarkan pada mahasiswa kedokteran tahun ke dua dengan pendekatan cased based life cycle integrasi dengan ilmu penyakit, pemeriksaan fisik, dll. Kuliah, diskusi kelompok serta patient-centered clinical interactions menjadi trigger untuk belajar. Tutor atau fasilitator menilai professional behavior mahasiswa dengan menggunakan standar penilaian profesionalisme (papadakis) yang sudah divalidasi (Fincher et al., 2001). Mengajarkan respect for patient, diberikan pada mahasiswa tahun pertama dengan metode interview dengan pasien (mendengarkan keluhan pasien) secara rutin pada rawat jalan. Mahasiswa dihadapkan pada kasus tertentu (penyalahgunaan obat dan menolak tindakan medis), dokter yang merawat memberikan informed consent dihadapan mahasiswa, untuk tindakan medis yang akan dilakukan tersebut hingga pasien bersedia (berhasil). Pada proses pembelajaran ini nampak adanya aspek role model. Kemudian, mahasiswa ditugasi untuk membuat refleksi kasus secara formal termasuk laporan critical incidentsnya. Refleksi kasus dilakukan bersama-sama dengan diskusi kelompok (Branch, 2006).
18
Penelitian tentang model pembelajaran PP ini berbeda dari penelitian serupa yang sudah dilakukan. Penelitian ini mencoba mengembangkan model pembelajaran PP pada pendidikan dokter dengan atribut atau elemen PP yang didapatkan dari tiga metode pengumpulan data, yaitu: FGD, wawancara mendalam dan studi pustaka. Atribut PP yang didapatkan dari FGD yang juga didapatkan dari wawancara dan studi pustaka, serta yang spesifik untuk kondisi Indonesia dipilih sebagai atribut PP yang akan dikembangkan dalam disain pembelajaran PP. Aspek religiositas (agama Islam) dan spiritualitas dimasukkan untuk mewarnai dalam disain pembelajarannya. Hal ini sebagai ciri khusus penelitian ini, yang sejauh peneliti ketahui belum pernah dilakukan dalam pendidikan dokter. Metode yang dikembangkan meliputi kombinasi antara diskusi kelompok dengan trigger film mengandung nilai-nilai PP bermuatan Islami dan spiritual sebanyak tiga kali disertai refleksi dan panel ahli sebagai intervensi terakhir. Diskusi kelompok dengan trigger film dalam penelitian ini berbeda dengan yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Naranchimeg, 2008; Ber & Alroy, 2002; Rhodes, 2001), yang lebih menekankan pada interaksi dokter pasien (doctor – patient encounter). Panel ahli melibatkan empat pakar dalam bidang etika, antropolog, dokter dan psikolog. Dokter dan psikolog yang dipilih keduanya juga sebagai ustadz, dengan harapan dapat lebih menekankan pada kaitan nilai-nilai PP yang diajarkan dengan agama Islam.