BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengawasan makanan di Indonesia terkait kehalalan, keamanan, dan kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran dalam hal produksi makanan masih sering terjadi.(Yasmin, 2013).Bakso merupakan salah satu makanan favorit di Indonesia, dan yang paling digemari adalah yang terbuat dari daging sapi. Di sisi lain, daging sapi harganya cukup tinggi di pasaran. Kenyataan ini mendorong para pedagang yang tidak bertanggungjawab untuk mengganti daging sapi dengan daging lain untuk mengurangi biaya produksi, dankasus yang paling ekstrem adalah menggantinya dengan daging tikus. Beberapa contoh kasus bakso yang dicampur daging tikus pernah ditayangkan di televisi maupun di media internet(Harahap, 2012). Bagi negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Indonesia, pencampuran daging tikus ke dalam bakso dapat menjadi masalah. Hal ini disebabkan karena umat muslim dilarang untuk mengonsumsi tikus. Penjelasan pada beberapa hadits menyebutkan bahwa tikus merupakan hewan yang haram untuk dimakan (Al-Jauzaa’, 2013). Isu pemalsuan bakso sapi ini tidak hanya menjadi masalah bagi para masyarakat Muslim di Indonesia, namun juga dapat menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia pada um umnya, terutama dalam hal kesehatan. Tikus sering diidentikkan dengan hewan yang kotor dan dapat menularkan berbagai penyakit. Menurut Center for Disease Control and Prevention (2011), tikus merupakan vektor dari berbagai penyakit, antara lain,
1
2
pes, leptospirosis, murin typhus, dan plague. Selain itu, ada pula masalah ekonomi dan sosial terkait kerugian konsumen dalam hal materi serta penipuan konsumen. Berdasarkan hal ini, maka penjaminan keaslian bakso mutlak diperlukan untuk menjamin bahwa bakso yang diperdagangkan sesuai dengan yang terlabel. Perkembangan ilmu pengetahuan terkait analisis kehalalan produk makanan telah berkembang pesat. Beberapa di antaranya adalah metode analisis untuk identifikasi babi dalam makanan, sepertikromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Rashood dkk., 1996); kromatografi gas (Marikkar dkk., 2005); pembau elektronik (electronic nose) (Che Man dkk., 2005); Differential scanning calometry
(Marikkar,
Chromatography
2001);
Fourier Transform-Infra
Red
(FT-IR);Gas
– Mass Spectroscopy(GC-MS) (Afriliana, 2009); serta
analisisberdasarkan DNA menggunakan metode Restriction Fragment Length Polymorphism - Polymerase Chain Reaction (RFLP-PCR) (Raharjo dan Sismindari, 2010); danPolymerase Chain Reaction(PCR) (Che Man dkk., 2007). Metode analisis berdasarkan DNA, salah satunya PCR, merupakan metode identifikasi makhluk hidup yang cukup sensitif dan keakuratannya tinggi. Hal ini disebabkan karena setiap spesies memiliki sekuens DNA khasnya sendiri.Telah banyak diciptakan metode pengembangan dari PCR, salah satunya adalah Real-time PCR. Real-time PCR memiliki keunggulan dibandingkan PCR konvensional karena amplifikasi dapat dimonitor menggunakan fluoresensi dan amplikon cukup dianalisis menggunakan Melting Curve Analysis (MCA) tanpa perlu dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarosa (Atlas dan Bey, 1994). Umumnya para pedagang tidak bertanggungjawab yang memalsukan produk makanannya dengan daging tikus tidak spesifik menggunakan satu jenis
3
spesies tikus saja, melainkan berbagai spesies tikus yang dapat mereka temukan di kehidupan sehari-hari seperti Rattus rattus (tikus rumah) danRattus argentiventer (tikus sawah). Hal tersebut menyebabkan diperlukannya primer spesifik yang dapat mengamplifikasi DNA semua jenis tikus. Dalam studi taksonomi (pengklasifikasian makhluk hidup) beberapa spesies Rattus,seringkali digunakan target amplifikasi DNA mitokondria gen Cytochrome
b.
Pada
penelitian
Balakirev
dan
Rozhnov(2012)dilakukan
amplifikasi target DNA tersebutmenggunakan primer CytbRglu2Ldan primer CytbRCb9H untuk kepentingan studi klasifikasi dan persebaran spesies-spesies Rattus di Asia Tenggara. Dari penelitian itu, diketahui bahwa sepasang primer tersebut dapat mengamplifikasi semua spesies tikus dengan hasil amplifikasi yang tidak terlalu berbeda pada tiap spesiesnya. Diharapkan target amplifikasi dan primer-primer ini dapat diadaptasi dalam analisis makanan yang diduga tercemar daging tikus. Penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan metode Real-time PCR untuk analisis daging tikus dalam bakso daging sapi menggunakan primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H yang spesifik untuk semua spesies tikus. Dengan menggunakan metode Real-timePCR, diharapkan analisis dapat lebih cepat karena tidak memerlukan analisis lanjutan menggunakan elektroforesis gel agarose. Primer-primer tersebut diharapkan dapat mengamplifikasi DNA semua jenis tikus secara spesifik tanpa terjadi amplifikasi pada DNA sapi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu batu loncatan untuk tercapainya penjaminan keaslian terhadap produk bakso.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat mengidentifikasi cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara spesifik?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Dengan dikembangkannya metode Real-Time PCR diharapkan analisis produk makanan yang cepat dan spesifik dapat semakin diaplikasikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan oleh pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) demi mendukung terciptanya penjaminan keaslian, kehalalan, kesehatan, dan keamanan produk makanan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.
D. Tujuan Penelitian
Mengetahui apakah primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat mengidentifikasi cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara spesifik.
E. Studi Pustaka 1. Bakso Sapi Bakso merupakan olahan daging yang dibentuk menyerupai bola dengan ukuran tertentu. Pembuatan bakso sendiri diolah dengan berbagai bumbubumbuan, garam dapur, dan tepung tapioka. Ada berbagai macam daging yang
5
bisa digunakan dalam proses pembuatan bakso, seperti daging ayam, ikan, udang, babi, dan yang paling populer di Indonesia adalah daging sapi (Purnomo dan Rahardiyan, 2008). Seperti yang telah diketahui masyarakat pada umumnya, daging sapi termasuk ke dalam kelompok daging yang harganya cukup tinggi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, selalu terjadi kenaikkan harga daging sapi yang menyebabkan produk-produk olahannya juga mengalami kenaikkan harga. Berdasarkan pantauan Liputan 6, harga daging sapi di pasar tradisional masih berkisar antara Rp 80.000,- hingga Rp 100.000,- dengan rincian harga daging sapi untuk sop masih Rp 100.000,-/kg, tetelan R p 80.000,-/kg dan harga daging khas dalam masih lebih dari Rp 100.000,-/kg (Nurmayanti, 2014). Variasi harga daging, terutama daging sapi yang harganya tinggi dan selalunaik dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya praktik pencampuran daging sebagai bahan baku bakso. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh pedagang nakal dalam pembuatan bakso sapi untuk menekan harga produksi, salah satunya adalah dengan mencampurkan daging tikus ke dalam bakso sapi. Para pedagang yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan daging tikus, karena banyaknya tikus rumahmaupun tikus sawah yang berkeliaran. Beberapa contoh kasus bakso yang dicampur daging tikus pernah ditayangkan di media televisi maupun beberapa situs berita di media internet, namun karena dinilai merugikan pihak pedagang bakso, berita-berita tersebut mulai ditekan penyebarannya di masyarakat. Salah satu contoh kasus bakso yang dicampur daging tikus terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tahun
6
2012 silam (Harahap, 2012). Selain itu, Reportase Investigasi Trans TV juga menemukan kasus serupa di kawasan Jakarta (Yasmin, 2013). Dalam produksi makanan, daging tikus sendiri dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek religi (agama), ekonomi, dan kesehatan. Dari aspek agama, adanya komponen tikus dalam produk makanan merupakan masalah yang serius karena agama Islam yang merupakan agama yang paling banyak penganutnya di Indonesia, mengharamkan pemeluknya untuk mengonsumsi produk makanan yang mengandung tikus (Anonim, 2009).Larangan tersebut tercantum dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy (no. 1829 & 3314), Muslim (no.1198), dan At-Tirmidziy (no. 837) yang menyebutkan bahwa tikus masuk ke dalam jenis hewan yang boleh dibunuh, dan menurut hadits yang diriwayatkan oleh An-Nawawiy rahimahullah (kitab Al-Majmuu’, 9/22), semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh hukumnya haram untuk dimakan (Al-Jauzaa’, 2013). Selain masalah agama, isu pemalsuan bakso sapi ini pun tidak hanya menjadi masalah bagi para masyarakat Muslim di Indonesia, namun juga dapat menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Bagi kebanyakan orang, tikus diidentikkan dengan gambaran hewan yang jorok dan kotor, serta dapat menularkan berbagai penyakit. Menurut Center for Disease Control and Prevention (2011), tikus merupakan vektor dari berbagai penyakit, antara lain, pes, salmonellosis, leptospirosis, murin typhus, plague, dan tularemia Adanya pemalsuan ini tidak hanya merugikan konsumen karena konsumen tertipu, melainkan juga pedagang bakso lain yang sebenarnya tidak berbuat curang dengan mencampurkan daging tikus ke dalam bakso dagangannya. Selain itu, di samping masalah agama tentang hukum kehalalan seperti yang telah
7
dipaparkan sebelumnya, ada pula permasalahan lain yang tidak kalah besar yaitu tentang kesehatan konsumen yang memakan bakso yang dicampur dengan daging tikus. Berdasarkan hal inilah maka penjaminan keaslian bakso mutlak diperlukan, untuk menjamin bahwa bakso yang diperdagangkan sesuai dengan yang terlabel. Kandungan unsur sapi dalam produk olahan seperti bakso didasarkan pada pengujian jenis daging yang dijadikan bahan baku dalam pengolahannya. Hal ini mendapat perhatian utama dalam pengawasan makanan, baik pada daging segar maupun daging olahan, dengan dasar pertimbangan agama, kesehatan, ekonomi, sosial, dan kepentingan nasional. Identifikasi makanan olahan seperti bakso sapi ini perlu dilakukan untuk menguji adanya pencampuran daging sapi untuk bakso yang harganya relatif mahal dibandingkan dengan daging tikus yang lebih murah dan mencegah penggunan daging yang tidak halal dan tidak sehat dikonsum si.
2. DNA mitokondria dan gen cytochrome b Genom dapat diartikan sebagai informasi keturunan (genetik) yang diturunkan oleh suatu organisme dan biasanya dikode oleh DNA untai ganda. Genome yang berdasarkan DNA ini secara khusus tersusun sebagai kromosom dan tiap-tiap kromosom menjadi tempat regulasi dari berbagai gen (Walsh, 2007). Eukaryot memiliki banyak kromosom linear (lurus) yang terletak di dalam nukleus (inti sel) dan umumnya kromosom-kromosom ini berhubungan dengan protein histon. Selain DNA kromosomal, eukaryot juga memiliki sekuens DNA yang terdapat di dalam mitokondria (pada sel hewan) atau di dalam
8
kloroplas (pada sel tanaman). Sekuens DNA bentuk sirkular yang biasa disebut DNA mitokondria ini jauh lebih pendek dan kerap muncul dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan DNA kromosomal. DNA mitokondria (selanjutnya disebut mtDNA) cenderung lebih berperan dalam pengkodean protein yang dibutuhkan dalam pembentukan organel sel (Walsh, 2007). Dalam hal informasi hereditas, mtDNA hanya merepresentasikan sejumlah kecil ukuran genom organisme karena hanya diturunkan dari ibu, namun dalam tiga puluh tahun terakhir sekuens ini cukup populer digunakan sebagai marker molekular dalam studi keragaman hewan (taksonomi). Kurang lebih, hampir seluruh studi taksonomi
hewan di lapangan melibatkan mtDNA
haplotyping dalam tahapannya (Galtier dkk., 2009). Alasan penggunaan mtDNA sebagai marker molekular di kalangan peneliti sudah cukup terkenal, antara lain karena mtDNA relatif lebih mudah diamplifikasi sebab jumlah duplikatnya dalam satu sel lebih banyak dibandingkan DNA kromosomal. Hal ini dikarenakan dalam satu sel terdapat banyak organel mitokondria. Selain itu, mtDNA juga sangat khas antara satu dan lain spesies, jumlah pengulangan basanya sangat sedikit, tidak memiliki intron, dan daerah antargennya sangat pendek (Gissi dkk, 2008 dalam Galtier dkk., 2009). Gen Cytochrome b merupakan gen pada tikus berperan dalam mengkode enzim Cytochrome b. Gen ini terletak pada mtDNA tikus, yang pada spesies Rattus rattus, lokasinya berada pada sekuens nukleotida nomor 14127-15269 dari total panjang mtDNA tikus yang ukurannya 16305 pasang basa (base pair/bp) (Robins dkk., 2008). Gen ini biasa digunakan dalam pengklasifikasian (taksonomi) spesies tikus berikut persebarannya, sebagaimana dalam Chinen dkk.
9
(2005) yang meneliti keragaman genetik dari genus Rattus di daerah Asia-Pasifik (Balakierev dan Rozhnov, 2012). Belum ada catatan penggunaan sekuens gen ini dalam hal analisis cemaran tikus pada produk olahan makanan sebagai upaya penjaminan kualitas, keamanan, dan kesehatan produk makanan yang rentan terhadap pemalsuan menggunakan daging tikus.
3. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan teknik amplifikasi potongan DNA yang diinginkan secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida dengan bantuan enzim polymerase (Pelt-Verkuil dkk.,2007). Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diamplifikasi adalah suatu sekuens DNA untaitunggal yang urutannya komplemen dengan DNA targetnya. Primer yang berada sebelum daerah target disebut primer forwarddan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Dalam teknik PCR juga dibutuhkan dNTP sebagai bahan penyusun DNA serta enzim DNA polymerase (contohnya Taq
DNA
polymerase)untuk
mensintesis
fragmen
DNA
(Somma
dan
Querci,2000). Proses dalam PCR dibagi menjadi tiga langkah, yaitu denaturasi DNA pada suhu tinggi, penempelan (annealing) primer pada DNA target, serta sintesis DNA (extension/elongation). Satu kali putaran denaturasi, annealing, dan elongation disebut dengan siklus (cycle).Reaksi amplifikasi fragmen DNA dengan PCR terjadi secara berulang dalam 30-45 siklus. Denaturasi DNAuntai ganda menjadi DNA untai tunggal dilakukan pada suhu 95 o C. Suhu kemudianditurunkan
10
saat proses annealing menjadi sekitar 40-60 o C. Optimasi suhu untuk tahap annealing sangat penting karena jika suhu terlalu rendah, primer akan menempel pada daerah yang tidak spesifik (non target). Di sisi lain jika suhu yang dipakai terlalu tinggi, primer tidak akan dapat menempel pada DNA target (Walker dan Rapley, 2009). Untuk proses annealing yang efisien, penentuan suhuannealing yang tepat merupakan tahap yang penting dalam metode PCR. Salah satu teknik yang sering dipakai untuk optimasi suhuannealing adalah metode Touchdown PCR. Dalam metode ini, digunakan suhu gradient untuk annealing dengan cara menggunakan suhu dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Suhu annealing yang tidak optimal akan terlihat pada produk amplifikasi yang tidak spesifik (lebih dari satu produk) jika suhunya terlalu rendah, atau sama sekali tidak terbentuk produk amplifikasi karena suhunya terlalu tinggi (Walker dan Rapley, 2009). Tahap PCR terakhir adalah tahap elongation (sintesis fragmen DNA) pada suhu 68-72 o C. Pada tahap ini, enzim penyintesis DNA yang termostabil, umumnya yang paling sering dipakai adalah enzim Taq polimerase, akan m ulai bekerja. Pada umumnya suhu optimal Taq polimerase untuk dapat aktif bekerja adalah pada suhu 68-72 o C. Ketiga tahap utama dalam proses amplifikasi tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 1. Setelah proses PCR selesai, amplikon (fragmen DNA produk amplifikasi) PCR dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarose (Pelt-Verkuil dkk., 2007).
11
Gambar 1. Tahapan Am plifikasi PCR (Walker dan Rapley,2006)
Saat ini berbagai tipe PCR telah dikembangkan untuk berbagai keperluan yang memerlukan kerja lebih spesifik. Beberapa contoh tipe PCR yang telah dikembangkan adalah Nested PCR, Multiplex PCR, Reverse Transcriptase PCR, dan Real-Time PCR. Dalam Nested PCR digunakan dua set primer dengan satu set primer yang lebih panjang untuk amplifikasi awal dan satu set primer yang lebih pendek untuk mengamplifikasi kembali amplikon dari amplifikasi oleh primer yang lebih panjang. Nested PCR digunakan untuk meningkatkan sensitivitas serta spesifitas dari amplifikasi DNA(Newton dan Graham, 1994). Dalam Multiplex PCR digunakan banyak pasangan primer dalam satu tube reaksi PCR untuk mengamplifikasi banyak sekuen target secara simultan. Reverse Transcriptase PCR digunakan untuk amplifikasi mRNA spesifik, misalnya pada diagnosis virologi (Atlas dan Bey, 1994). Dalam Real-Time PCR, amplifikasi DNA dapat berjalan lebih cepat,
12
lebih akurat, dan lebih sensitif dibandingkan dengan metode PCR konvensional. Selain itu, kemungkinan terjadinya kontaminasi dapat diminimalisasi karena sistemnya yang tertutup. Selain itu analisisnya tidak memerlukan elektroforesis karena amplikon hasil Real-time PCR dimonitor dengan sinyal fluoresens sehingga hasil analisa dapat dilakukan secara langsung (Camma dkk., 2011).Spesifitas fragmen DNA produk amplifikasi Real-time PCR dapat diketahui dengan Melting C urve Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah melting temperature suatu fragmen DNA dipengaruhi oleh panjang dan sekuens dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis fragmen DNA untai ganda, maka hanya akan muncul satu melting curve (Lyon, 2001). Analisis kandungan
daging
tikus dalam
produk bakso
daging
sapimenggunakan PCR konvensional dan primer spesifik tikus rRNA 16S telah dilakukan oleh Faizah (2013). Sayangnya, primer yang digunakan hanya dapat mendeteksi tikus spesies Rattus norvegicus (tikus putih/ tikus laboratorium), dan tidak dapat mengidentifikasi tikus spesies Rattus argentiventer dan Rattus rattus (tikus sawah dan tikus rumah). Padahal kedua spesies tikus tersebut adalah spesies tikus yang paling sering digunakan untuk pemalsuan bakso daging sapi. Selain itu, metode
PCR
konvensional
membutuhkan
waktu
yang
panjang
karena
membutuhkan analisis lanjutan menggunakan elektroforesis gel agarose.
4. Real-timePolymerase Chain Reaction (RT-PCR) Real-timePolymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah salah satu teknik yang paling banyak digunakan dalam biologi molekuler modern. Beberapa contoh
13
aplikasinya adalah dalam kuantifikasi pathogen, kuantifikasi kanker, determinasi spesies transgenik, dan verifikasi dalam jumlah mikro (microarray) (Yuan dkk., 2006). Secara prinsip, real-time PCR maupun PCR konvensional merupakan proses yang dilakukan berulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap utama yaitu denaturasi, annealing, dan elongation (Pestana dkk., 2010). Proses amplifikasi menggunakan real-timePCR memiliki prinsip yang sama dengan proses amplifikasi PCR secara konvensional. Perbedaannya hanya terletak pada penambahan pelacak berfluoresensi (fluoresence dye) dalam RealTime PCR yang nantinya bisa menghasilkan data fluoresensi secara real time untuk kuantifikasi sehingga penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR standar. Maksud dari kata real time pada metode ini adalah data fuoresensi yang dihasilkan dari proses amplifikasi dapat diamati secara langsung pada saat proses amplifikasi masih berjalan dan tanpa harus menunggu seluruh siklus amplifikasi selesai. Terdapat dua jenis pelacak berfluoresensi yang umum digunakan dalam proses real-time PCR, diantaranya adalah pelacak yang berinterkalasi dengan DNA (DNA binding dyes) dan pelacak yang berbasiskan probe atau label (Probe-based chemistries) (Johansson, 2006). Baik pada pelacak berbasiskan label maupun pelacakyang berinterkalasi dengan DNA, keduanya akan menghasilkan fluoresensi yang proporsional dengan jumlah DNA yang ada pada sampel (Dooley dkk., 2004 dalam Santos dkk., 2012). Salah satu contoh pelacak berupakomponen kimia yang berbasiskan probeatau label (Probe-based chemistries) adalah TaqMan, Molecular Beacon, dan Scorpion.Probe merupakan primer yang diberi label dye, terdiri dari reporter
14
dan peredam warna (quencher). Fluoresensi dari reporter hanya dilepaskan ketika dua pewarna terpisah melalui hibridisasi atau aktivitas nuklease. Standar posisi label dye, yaitu quencher berada pada 3' dan reporter pada 5' probe (Johansson, 2006). Penggunaan pelacak berbasiskan probe merupakan pendeteksian yang lebih spesifik karena jenis fluoresensi tersebut menggunakan pemeriksaan atau penyelidikan internal disamping penggunaan sepasang primer yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu. Sayangnya, pelacakberfluoresensi jenis ini lebih mahal dan perlu dilakukan perancangan sekuen nukleotida agar sekuen pada probe tersebut sesuai dengan sekuen pada gen target (Pestana dkk., 2010). Contoh pelacak yang berikatan atau berinterkalasi dengan DNA (DNA binding dyes) adalah SYBR ® green I. Pelacak SYBR ® green I merupakan pealacak yang berikatan dengan semua jenis DNA untai ganda (tidak spesifik) tetapi tidak berikatan dangan DNA untai tunggal.Pelacak SYBR ® green I memberikan fluoresensi dengan intensitas yang cukup tinggi (lebih dari 1000 kali lipat) saat berinterkalasi denga DNA untai ganda (Pestana dkk., 2010). Gambar 2 menunjukkan mekanisme SYBR ® green I secara sederhana.
Gambar 2. Mekanism e SYBR® Green I (Xu, 2011)
15
Label SYBR ® green Imerupakan label fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label probe dan juga lebih mudah digunakan. Hal ini disebabkan karena tidak diperlu dilakukan desain sekuens probe dan optimasi sebelum label digunakan (Fajardo et al., 2008 dalam Santos dkk., 2012). Selain itu, penentuan konsentrasi primer yang optimum dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan SYBR ® green Isebagai bahan fluoresen dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan Molecular Beacon (Pestana dkk. 2010). Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak digunakan label interkalasi DNA baru yang dinamakan EvaGreen ® . Prinsip kerja dari label ini tidak jauh berbeda dengan SYBR ® green I, yaitu EvaGreen ® dapat berinterkalasi dengan DNA untai ganda dan tidak bereaksi dengan DNA untai tunggal. Perbedaan keduanya terletak pada performa kerjanya. Label EvaGreen® diklaim lebih stabil dan sensitif dibandingkan dengan
SYBR ® green I, serta tidak menyebabkan
penghambatan (inhibisi) pada proses amplifikasi (Wang dkk., 2006). Selain itu, EvaGreen ® dapat digunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi sehingga dapat menghasilkan sinyal fluoressensi yang lebih kuat. Sinyal fluoresensi yang lebih kuat dapat menghasilkan sensitifitas yang lebih tinggi. (Chen dkk., 2009). Akumulasi dari produk amplifikasi (amplikon) PCR meningkat seiring dengan meningkatnya siklus reaksi sehingga intensitas fluoresens juga akan meningkat karena molekul EvaGreen ® berikatan dengan DNA untai ganda. Akumulasi dari produk yang dihasilkan dapat diukur dalam real-time PCR dan dapat dimonitor secara langsung dalam bentuk kurva intensitas fluoresensi
16
terhadap jum lah siklus. Gambar 3 menunjukkan garfik amplifikasi yang merupakan kurva intensitas fuoresensi terhadap jum lah siklus.
Gam bar 3.Grafik Am plifikasi (Kurva Intensitas Fluoresensi terhadap Jum lah Siklus)(Lappin dkk., 2012)
Sensitifitas deteksi dengan menggunakan EvaGreen ® dipengaruhi oleh pembentukan primer-dimer, spesifisitas primer yang rendah, konsentrasi primer (dapat membatasi), dan terbentuknya struktur sekunder pada produk PCR. Semua faktor tersebut dapat mengarahkan pada terbentuknya produk DNA untai ganda yang tidak diharapkan dan dapat berikatan dengan EvaGreen ® sehingga menghasilkan sinyal fluoresen. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa EvaGreen ® tidak dapat membedakan satu DNA dengan DNA yang lainnya, oleh karena itu penting untuk menganalisis kurva pelelehan (Melting Curve Analysis)pada akhir pengujian dengan real-time PCR (Pestana dkk., 2010).
17
Dibandingkan dengan metode PCR konvensional, real-time PCR memiliki berbagai keunggulan. Selain amplifikasi atau perbanyakan DNA fragmen yang dapat diamati secara langsung pada saat amplifikasi masih berjalan (Real-Time), teknik ini juga dapat menentukan konsentrasi DNA (kuantifikasi DNA) yang terdapat pada sampel. Kuantifikasi DNA dapat dilakukan dengan melihat sinyal fluoresens yang besar intensitasnyasebanding dengan jumlah produk amplifikasi yang dihasilkan. Kurva amplifikasi Real-time PCR terdiri dari tiga fase, yaitu fase eksponensial (exponential), fase linier, dan fase melandai (plateau). Ketiga fase tersebut nantinya akan berhubungan dengan teknik kuantifikasi menggunakan kurva hasil amplifikasi Real-timePCR. Teknik kuantifikasi ini biasa disebut Quantitative PCR (qPCR) (Yuan dkk., 2006). Pada fase eksponensial, produk amplifikasi meningkat jumlahnya secara eksponensial karena jumlah reagen yang tersedia masih berlebih. Saat jumlah reagen mulai berkurang, maka kurva akan memasuki fase linier. Fase Linier adalah fase pada saat jumlah produk amplifikasi bertambah secara linier. Fase melandai mulai terjadi ketika jumlah reagen semakin sedikit sehingga jumlah produk amplifikasi tidak berubah signifikan(Yuan dkk., 2006). Gambar 4 menunjukkan kurva amplifikasi berupa kurva jumlah siklus versus jumlah produk amplifikasi (fluoresens/RFU) dan gambar 5 menunjukkan kurva jumlah siklus versus log jumlah produk amplifikasi (fluoresens/RFU).
18
Gam bar 4.Kurva Am plifikasi Berupa Kurva Jum lah Siklus PCR Versus Jum lah Produk Am plifikasi (dalam Unit Fluoresens/RFU) (Yuan dkk., 2006)
Gam bar 5. Kurva Jum lah Siklus PCR Versus Log Jum lah Produk Am plifikasi (dalam Unit Fluoresens/RFU) (Yuan dkk., 2006)
Seperti yang ditampilkan pada gambar 4 dan gambar 5, kurva amplifikasi dapat disajikan dalam bentuk aritmatik biasa maupun dalam bentuk logaritmik. Kurva amplifikasi dalam bentuk logaritmik lebih menguntungkan karena fase eksponensial dapat tergambarkan lebih jelas (lebih panjang) dibandingkan pada kurva aritmatik dan bentuknya seolah-olah menjadi linier. Fase eksponensial cukup
penting
dalam
proses
penentuan
garis
ambang
garis
ambang
19
(threshold)karena pada umumnya garis ambang dibuat pada fase eksponensial. Garis ambang yang dibuat pada fase eksponensial menghasilkan data yang lebih representatif dibandingkan jika garis ambang dibuat pada fase lain. Garis ambang ditentukan untuk menentukan nilai Ct (Ct value) (Yuan dkk., 2006). Nilai Ct adalah jumlah siklus yang harus dilalui untuk mendapatkan jumlah respon fluroresensi (RFU) tertentu. Nilai Ct dapat ditentukan dengan bantuan garis ambang (threshold) pada tingkat respon fluoresensi tertentu. Misalnya, pada suatu kurva amplifikasi, dibuat garis ambang (threshold) pada respon fluoresensi sebesar 100. Selanjutnya dilihat bagian kurva yang dilewati garis ambang tersebut sedang berada di siklus ke berapa (Yuan dkk., 2006). Ilustrasi penentuan garis ambang (threshold) dan penentuan nilai Ct ditampilkan pada gambar 6.
Gam bar 6.Ilustrasi Garis Am bang (Threshold) dan Penentuan Nilai Ct (Santos dkk., 2012) Garis hijau merupakan garis ambang (threshold) dan titik merah merupakan nilai Ct.
20
Analisis kandungan daging babi dalam campuran bakso ayam dengan Real-Time PCR telah dilakukan oleh Siti Fatimah (2013). Belum ditemukan adanya penelitian terkait analisis kandungan daging tikus dalam campuran bakso sapi dengan menggunakan Real-Time PCR, sedangkan yang sudah banyak dilakukan adalah menggunakan PCR konvensional (Faizah, 2013). Padahal, metode PCR konvensional membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode Real-Time PCR karenaPCR konvensional membutuhkan analisis lanjutan menggunakan elektroforesis gel agarose.
5. Melting Curve Analysis (MCA) MCA
adalah
suatu
analisis untuk
memperkirakan
karakteristik
denaturasi DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal selama mengalami pemanaasan.Suhupada saat 50% dari DNA terdenaturasi dikenal sebagai titik leleh (melting point). Nilai suhumelting point ini sangat bergantung dari panjang sekuens DNA dan komposisi dari basa Guanin dan Cytosin pada DNA . Pada dasarnya, spesifitas primer dapat ditingkatkan dengan optimasi suhu leleh (melting temperature) dari fragmen DNA. Optimasi dapat dilakukan dengan Melting C urve Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah melting temperature suatu fragmen DNA dipengaruhi oleh panjang dan sekuens dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis fragmen DNA untai ganda, maka akan muncul 1 melting curve (Lyon, 2001). Bentuk kurva suhu lebur dapat dilihat pada Gambar 4.
21
Gam bar 7. Grafik Kurva Leleh dari Produk PCR yang Menunjukkan H ubungan antara Intensitas Fluoresensi dan Suhu dalam Melting-Curve Analysis(Santos dkk., 2012). Grafik tersebut didapatkan dari amplifikasi gen Cytb terwelu (kelinci hutan) dengan metode Realtime PCR menggunakan label interkalasi DNA jenis EvaGreen dalam penelitian tentang identifikasi daging kelinci hutan menggunakan marker spesifik DNA mitokondria (Identification of hare meat by a species-specific marker of mitochondrial origin)
6. Primerspesifik, primer CytbRglu2L, dan primer CytbRCb9H Primer adalah sepasang DNA untai tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Primer merupakan komponen PCR yang sangat menentukan akurasi sekuen DNA yang ingin diamplifikasi. Urutan nukleotida primer akan menjadi penentu pada bagian mana primer akan menempel (anneal) pada genom. Jika urutan nukleotidanya tidak sesuai dengan kode gen yang kita inginkan, dapat dipastikan produk PCR yang dihasilkan akan keliru. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA target, sehingga dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang diinginkan (Pestana dkk. 2010).
22
Sekuens dari gen Cytochrome b (Cyt b) dan gen Cytochrome Oxidase I (COI) dalam DNA mitokondria kerap dipakai untuk menyelidiki taksonomi dari kelompok spesies dari tikus (Rattus) dan menghasilkan hubungan yang actual antara mtDNA haploid yang terlihat dengan kelompok spesies Rattus tersebut (Balakirev dan Rozhnov, 2012). Sekuens gen Cyt b (1143 bp) dari spesies Rattus tersebut dapat diamplifikasi dengan metode PCR menggunakan pasangan primerCytbRglu2L (5’-CAGCATTTAACTGTGACTAATGAC-3’) dan primer CytbRCb9H(5’-TACACCTAGGAGGTCTTTAATTG-3’) (Kocher dkk., 1989 dalam Balakirev dan Rozhnov, 2012). Berdasarkan perhitungan software penghitung suhu leleh yang diakses dari
//www6.appliedbiosystems.com/support/techtools/calc/,
primer
tersebut
memiliki kisaran suhu leleh (Tm) 54,45 dan 53,19 o C, sedangkan menurut perhitungan rumus (2 x jum lah AT + 4 x jumlah GC) adalah 66°C dan 64°C.Suhuannealing pada umumnya sebesar 3-5°C dibawah suhu leleh primer (Walker dkk., 2009). Dengan mengacu pada kaidah tersebut, maka kisaran suhuannealing yang dipakai berdasarkan suhu leleh hasil perhitungan software dan perhitungan rumus adalah 48-63°C.Pada studi taksonomi yang telah dilakukan, kisaran suhuannealing optimal yang digunakan adalah 48-56°C (Balakirev dan Rozhnov, 2012). Telah banyak literatur yang mengungkapkan primer CytbR glu2L dan primer CytbRCb9H dapat digunakan untuk studi taksonomi. Namun, penggunan primer tersebut dalam deteksi cemaran daging tikus dalam produk makanan menggunakan Real-timePCR belum pernah dilaporkan. Padahal, primer tersebut
23
berpotensi untuk digunakan dalam analisis makanan guna menjaga kualitas dan kebersihan produk makanan yang beredar di pasaran. Sebagai contoh, jika primer tersebut digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus dalam produk makanan berbahan daging sapi, tentu DNA dari spesies tikus yang tercampur dalam produk tersebut dapat terdeteksi karena DNA tikus dapat termplifikasi secara sempurna. Namun hal lain yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa primer CytbRglu2L dan Primer CytbRCb9H hanya dapat spesifik mengamplifikasi daging tikus tanpa mengamplifikasi DNA sapi dalam produk makanan tersebut. Hal tersebut dapat diperkirakan dengan menggunakan software Blast Primer dalam website NCBI (National Centre for Biotechnology Information).
7. Basic Local Alignment Searching Tool (BLAST) BLAST atau Basic Local Alignment Search Tool dalam bioinformatika, adalah algoritma untuk membandingkan informasi urutan primer biologis, seperti urutan asam amino dari protein yang berbeda atau nukleotida dari urutan DNA. Sebuah pencarian BLAST memungkinkan peneliti untuk membandingkan urutan query dengan perpustakaan atau database dari urutan, dan mengidentifikasi urutan perpustakaan yang menyerupai urutan query di atas ambang tertentu. Program BLAST ini dirancang oleh Stephen Altschul, Warren Gish, Webb Miller, Eugene Myers, dan David J. Lipman di NIH dan telah diumumkan dalam Journal of Molecular Biology pada tahun 1990 (Altschul dkk., 1990)
24
Berbagai jenis BLAST yang tersedia sesuai dengan urutan permintaan. Misalnya, mengikuti penemuan gen yang sebelumnya tidak diketahui dalam tikus, seorang ilmuwan biasanya akan melakukan pencarian BLAST dari genom manusia untuk melihat apakah manusia membawa gen yang sama; BLAST akan mengidentifikasi urutan dalam genom manusia yang menyerupai gen tikus berbasis pada kesamaan urutan (Oehmen dan Nieplocha, 2006). Melalui software BLAST ini juga dapat dicek apakah sepasang primer dapat atau tidak dapat mengamplifikasi suatu gen. Misalnya ingin diketahui apakah primer CytbR glu2L dan primer CytbRCb9H dapat mengamplifikasi gen selain dari sekuens gen Cyt b milik spesies tikus. Jika hasil Blast menyatakan bahwa primer tersebut hanya dapat spesifik mengamplifikasi gen Cyt b milik spesies tikus, maka primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat digunakan untuk deteksi cemaran daging tikus dalam produk makanan.
F. Landasan Teori Metode PCR dapat digunakan dalam deteksi cemaran daging tikus dalam produk bakso sapi. Prinsip dari metode ini adalah penggunaan sepasang primer spesifik yang hanya dapat menempel pada DNA target spesifik dan kemudian sekuens DNA tikus tersebut diamplifikasi menggunakan enzim polymerase selama beberapa siklus. Pada metode Real-Time PCR, dapat dipantau proses amplifikasi yang sedang terjadi pada sampel. Hasil pembacaan Real-Time PCR adalah berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari pendaran fluoresen label yang digunakan. Ada tidaknya cemaran daging tikus dalam bakso sapi akan ditunjukkan dari kurva fluoresensi tersebut.
25
Optimasi
suhu
untuk
tahap
annealing
sangat
penting
untuk
menghasilkan produk amplifikasi yang spesifik. Untuk proses annealing yang spesifik dan efisien, dilakukan optimasi suhuannealing dengan metode Touchdown PCR. Dalam metode ini, digunakan suhu gradient untuk annealing dengan cara menentukan kisaran suhuannealing dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Suhu annealing yang tidak optimal akan terlihat pada produk amplifikasi yang tidak spesifik jika suhunya terlalu rendah, atau sama sekali tidak terbentuk produk amplifikasi karena suhunya terlalu tinggi. PrimerCytbRglu2L dan CytbRCb9H dapat mengamplifikasi sekuens gen Cytochrome b pada mtDNA genusRattus. Agar primer dapat menempel secara spesifik, suhuannealing yang digunakan adalah 3-5 o C dibawah Tm primer yang dipakai. Tm dari primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H menurut software perhitungan Tm adalah 54,45°C dan 53,19 o C, sedangkan menurut perhitungan rumus (2 x jumlah AT + 4 x jumlah GC) adalah 66°C dan 64°C.Perkiraan suhu optimal yang dapat digunakan untuk annealing secara spesifik pada sekuens target adalah sekitar 49,45-63°C. Suhu annealing yang optimal akan membuat primer tersebut hanya mengamplifikasi DNA tikus saja, tanpa mengamplifikasi DNA sapi sehingga primer tersebut dapat digunakan dalam identifikasi cemaran tikus dalam bakso sapi. Hasil pembacaan menggunakan Real-Time PCRadalah berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari pendaran fluoresen label yang digunakan (dalam hal ini EvaGreen ® ). Ada tidaknya cemaran daging tikus dalam bakso sapi akan ditunjukkan dari kurva fluoresensi tersebut. Namun sinyal fluoresensi dari EvaGreen ® tidak spesifik karenaEvaGreen ® berinterkalasi
26
denagan semua dsDNA yang ada. Untuk membedakan satu dsDNA dengan dsDNA yang lainnya, harus dilakukan analisis kurva pelelehan (Melting Curve Analysis)pada
akhir
pengujian
dengan
Real-Time
PCR.
MCA
dapat
membedakanproduk yang spesifik dengan produk nonspesifik.Apabila hanya dihasilkan satu puncak suhu leleh pada hasil amplifikasi DNA, maka primer dapat dikatakan spesifik.
G. Hipotesis
Primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat digunakan untuk mengidentifikasi cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara spesifik.