BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian mengenai bahaya kesehatan pekerjaan powder coating belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai powder coating lebih banyak dilaporkan di luar Indonesia. Laporan kasus di Montreal Canada, menyebutkan seorang pekerja (39 tahun) dapat mengalami episode batuk, sesak napas, berkeringat dalam waktu 2-3 minggu ketika bekerja pada pada bagian pengecatan papan logam yang dicat dengan metode electrostatic powder paint yang terbuat dari epoxy resin dan carboxylated polyester. Pekerja mengalami obstruksi jalan napas dan mengalami penurunan 20% pada volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) setelah dua minggu kemudian (Cartier, dkk, 1993). Laporan kasus di Eropa, seorang pekerja yang terpapar triglycidylisocyanurate (TGIC) yang terkandung dalam serbuk cat pelapis mengalami dermatitis kontak dan juga asma kerja, yang nampak dari penurunan VEP1 sebesar 31% setelah 4 jam pemaparan dan 22% setelah 6 jam pemaparan (Meuleman, dkk, 1999). Laporan kasus lain di Eropa menyebutkan seorang pekerja usia 22 tahun, merokok 12 batang rokok per hari dalam 1 tahun mengalami episode berulang demam, batuk, sesak napas, menggigil, berkeringat setelah 4 bulan bekerja di pabrik powder coating dalam sistem 8 jam kerja. Pekerjaan di pabrik berupa penyemprotan elektrostatik powder coating pada papan logam kemudian papan logam dipanaskan. Hasil spirometri menunjukkan kapasitas vital paksa (KVP) 80% prediksi, VEP1 83% prediksi dan
1
2
VEP1/KVP 88% (Quirce, dkk, 2004). Penelitian di Swedia menyatakan bahwa pekerja powder coating dilaporkan lebih mengalami gejala pernapasan hubungan kerja dibanding yang tidak terpapar. Prevalensi gejala sebesar 46% terjadi pada pekerja yang terpapar serbuk cat pelapis pada proses powder coating. Gejala mungkin disebabkan oleh bagian iritatif dari debu serbuk cat pelapis (Blomqvist, dkk, 2005). Powder coating adalah proses dimana serbuk cat pelapis yang diberi muatan elektrostatis diaplikasikan pada obyek yang telah dibumikan. Secara sederhana, teknik powder coating dapat dijelaskan sebagai berikut, serbuk cat pelapis yang terbuat dari partikel halus pigmen dan bahan lain diberi muatan elektrostatis dan disemprotkan pada permukaan obyek logam yang sudah dihubungkan dengan tanah (dibumikan). Adanya perbedaan muatan elektrostatis tersebut membuat serbuk cat pelapis yang telah disemprotkan akan menempel pada permukaan obyek logam, dan setelah menutup sempurna, obyek dipanaskan dalam ruangan oven. Suhu tinggi akan membuat serbuk cat pelapis lumer dan menutupi permukaan obyek logam (Safe Work Australia, 2013). PT X Surakarta merupakan perusahaan yang memproduksi berbagai macam barang dari logam, seperti peralatan kantor, filling cabinet, kursi; peralatan tempat tidur rumah sakit; spare part dari plastik; jasa molding dan stamping. PT X Surakarta melayani kerjasama produksi dan desain teknik dengan beberapa perusahaan terkemuka di Indonesia. Industri barang dan jasa yang dihasilkan PT X Surakarta merupakan pendukung finansial institusi pendidikan yang berada dalam satu yayasan yang sama.
3
Sumber bahaya K3 dapat terjadi dibagian produksi PT X Surakarta. Pada survei awal, peneliti bersama Petugas K3 melakukan survei jalan selintas untuk mengetahui potensi bahaya kesehatan dari faktor fisika dan faktor kimia yang ada dibagian produksi. Hasil survei jalan selintas diperoleh potensi sumber bahaya faktor fisika berupa bahaya bising, bahaya radiasi sinar ultra ungu dari pekerjaan pengelasan, bahaya iklim kerja dari adanya oven di proses powder coating. Potensi sumber bahaya kimia berupa debu logam pada pekerjaan pengelasan dan debu serbuk cat pada pekerjaan powder coating. Bahaya dari faktor kimia belum teridentifikasi dan terukur di PT X Surakarta. Populasi pekerja terpapar debu powder coating PT X Surakarta sebanyak 20 orang, sedangkan populasi pekerja pengelasan sebanyak 8 orang. Pengecatan powder coating di PT X Surakarta menggunakan bahan kimia berupa campuran 3 serbuk cat pelapis (Serbuk A, Serbuk B, Serbuk C) dari 3 produsen yang berbeda. Menurut Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) yang dimiliki PT X Surakarta, komponen serbuk cat pelapis A terdiri dari Barium Sulfate 5-10% dan Nitrilotriacetic 3-5%; komponen serbuk cat pelapis B terdiri dari Polyester Resin 60-70%, Additives (non hazardous) 1-10%, Pigment 1-25% ( tanpa nomor CAS- Chemical Abstract Service);
serbuk cat pelapis C tidak
menyebutkan komponen, hanya sebagai inert dust. Serbuk cat pelapis A mengandung barium sulfat dan nitrilotriacetic. Barium Sulfat dapat masuk tubuh melalui inhalasi dan kontak kulit atau mata. Inhalasi barium sulfat pada manusia dapat menyebabkan iritasi fisik dan pnemokoniosis (baritosis). Pekerja di Itali, German, Chekoslovakia dan Amerika,
4
yang terkena debu barium sulfat mengalami pengembangan tumor jinak, bentuk non kolagen dari pnemokoniosis yang biasanya hilang jika paparan dihilangkan. (CDC, 2011). LDKB dari produsen serbuk cat pelapis A menyatakan bahwa nitrilotriacetic bersifat berbahaya bila tertelan dan mengiritasi mata. Informasi toksikologi LDKB serbuk A menyatakan serbuk cat pelapis dapat menyebabkan iritasi kulit lokal dalam lipatan kulit atau dibawah pakaian ketat. Penanganan dan pemrosesan material dapat menyebabkan debu serbuk cat pelapis mengiritasi mata, kulit, hidung dan tenggorokan. Inhalasi berulang dari debu dapat menimbulkan berbagai iritasi pernapasan atau kerusakan paru. Penelanan bahan dapat menyebabkan mual, muntah, diare dan iritasi gastro intestinal. Serbuk A dapat menimbulkan reaksi alergi. Serbuk cat pekapis B berisi Polyester Resin 60-70%, Additives (non hazardous) 1-10%, Pigment 1-25% (tanpa nomor CAS- Chemical Abstract Service). Informasi toksikologi pada LDKB serbuk cat pelapis B menyebutkan bahwa serbuk cat pelapis dapat menyebabkan iritasi lokal pada lipatan kulit atau dibawah baju ketat. Pencegahan penghirupan debu harus dilakukan. Bila memungkinkan, disarankan untuk menggunakan ventilasi keluar setempat dan ventilasi umum yang bagus. Bila tidak memungkinkan untuk memelihara konsentrasi debu dibawah batas paparan kesehatan kerja, peralatan pelindung pernapasan harus digunakan. Informasi toksikologi serbuk cat pelapis C dengan komponen inert dust dalam LDKB menyebutkan bahwa serbuk cat pelapis dapat menyebabkan iritasi lokal pada lipatan kulit atau dibawah baju ketat. Pencegahan harus dilakukan
5
untuk mencegah formasi debu menjadi konsentrasi diatas batas paparan kesehatan kerja. Batas paparan kesehatan kerja untuk debu respirabel 4 mg/m3 dan debu inhalable 10 mg/m3 Proses penyemprotan serbuk cat pelapis pada kabin penyemprotan terbuka dan conveyor terbuka di PT X Surakarta dapat mencemari kualitas udara lingkungan kerja. Kualitas debu udara tempat kerja menjadi penting karena diketahui berasosiasi dengan berbagai macam penyakit paru kerja seperti pnemokoniosis. Proses identifikasi bentuk, sumber, mekanisme pelepasan partikel, kondisi paparan dan kemungkinan efek penyakit yang muncul perlu dilakukan. Menurut International Standardization Organization (ISO 4225 - ISO, 1994) “Debu adalah partikel padat kecil, diameter partikel dibawah 75 μm, akan mengendap berdasarkan berat dengan sendirinya tapi kadang dapat tergantung di udara untuk beberapa waktu“. Pengukuran diameter debu dilakukan karena berhubungan erat dengan kemampuan debu untuk menembus dan mengendap di berbagai lokasi saluran pernapasan. Secara ilmu pengetahuan, dapat diterima bahwa partikel dengan diameter >50 μm tidak berada lama diudara, karena memiliki kecepatan >7cm/detik untuk mengendap. Bagaimanapun juga, tergantung dari berbagai kondisi, partikel dengan ukuran > 100 μm dapat (walau jarang) berada di udara lingkungan. Selanjutnya, partikel debu banyak ditemukan dalam dimensi ukuran <1 μm, dan untuk itu, pengendapan berdasarkan gravitasi dapat diabaikan. Kecepatan partikel <1 μm sekitar 0,03 mm/detik, sehingga pergerakan udara lebih penting daripara sedimentasi. Debu dapat merupakan partikel padat, dengan rentang ukuran dari 1 μm - 100 μm, yang dapat menjadi
6
udara lingkungan, tergantung dari bentuk asal, karakteristik fisik dan kondisi ambien (WHO, 1999). PT X Surakarta belum pernah melakukan pengukuran partikel debu di lingkungan kerja powder coating. Partikel berdasarkan ukuran dibagi menjadi dua: (1) Partikel Respirabel, yaitu partikel yang berukuran <10 Partikel Inhalabel, yaitu partikel yang berukuran > 10
m, dan (2)
m (Lestari, 2010).
Parikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0.1 mikron sampai dengan 10 mikron (Kurniawidjaja, 2011). Pada survey awal, diperoleh informasi bahwa PT X Surakarta masih dalam taraf membangun Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (SMK3) dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Petugas Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di PT X Surakarta berjumlah satu orang, berada dibawah departemen personalia, dan mendapat tambahan tugas khusus untuk menangani K3. Petugas K3 ini yang akan bekerjasama dengan kepala departemen lain di PT X Surakarta dalam melaksanaan persyaratan K3 ditempat kerja. Observasi dan wawancara pendahuluan oleh peneliti kepada Petugas K3 di PT X Surakarta, diperoleh informasi mengenai ketersediaan data: a. Dokumen Kebijakan K3 masih dalam bentuk rancangan. b. Identifikasi bahaya disebut Analisis Bahaya Proses Kerja tanpa dilengkapi penilaian tingkatan risiko. Identifikasi bahaya masih fokus pada kejadian cidera atau kecelakaan. Faktor bahaya yang telah teridentifikasi lebih banyak pada faktor bahaya mekanik seperti terjepit, terpotong, tersandung, bahaya listrik, tertabrak, terantuk. Faktor bahaya dari higene industri yang berasal
7
dari faktor fisik seperti ikllim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, medan magnet dan faktor bahan kimia belum teridentifikasi, terukur dan teranalisis. c. Belum terbentuk Panitia Pembina Keselamatan Kesehatan Kerja (P2K3). d. Standard Operating Procedure (SOP) sudah tersedia. e. Pelatihan K3 yang sudah dilaksanakan berupa pelatihan pemadaman kebakaran. Hasil wawancara peneliti pada petugas K3 mengenai aspek kesehatan kerja di PT X Surakarta, diperoleh informasi: 1. PT X Surakarta tidak menyediakan klinik atau dokter praktek di tempat kerja, apabila ada cidera yang perlu pelayanan kesehatan, maka akan dibawa ke Rumah Sakit (RS) Swasta yang telah bekerja sama dengan PT X Surakarta dengan sistem asuransi. Data kunjungan tenaga kerja PT X Surakarta ke RS pada periode tertentu (bulanan atau kuartal) masih belum dilakukan sehingga belum diketahui tren penyakit yang paling sering diderita pekerja. 2. PT X Surakarta menyediakan peralatan kotak Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) diarea kerja. 3. Pemeriksaan Kesehatan Kerja di PT X Surakarta. a. Penerimaan calon karyawan disertai dengan Surat Keterangan Sehat dari Dokter. Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja ini belum meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin dan pemeriksaan kesehatan lain yang dianggap perlu seperti yang tertera pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja
8
(Permenaker) no 02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. b. Pemeriksaan kesehatan berkala belum diregulasikan secara teratur. Pemeriksaan kesehatan biasanya dilakukan tergantung usia karyawan atau apabila mendekati masa pensiun dan jenis pemeriksaan kesehatan sesuai dengan petunjuk dokter. c. Pemeriksaan Kesehatan khusus yang dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja belum dilakukan, misalnya pemeriksaan spirometri untuk pekerja yang terpapar debu atau pemeriksaan audiometri untuk pekerja yang terpapar kebisingan. d. Pemeriksaan kesehatan khusus telah dilakukan untuk tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan, tenaga kerja yang berusia diatas 40 (empat puluh tahun) dan tenaga kerja yang terdapat gangguan kesehatan seperti kadar gula tinggi dan kolesterol.
B. Rumusan Masalah Efek kesehatan metode pengecatan powder coating belum banyak diteliti dan belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penelitian dan laporan kasus kesehatan berkaitan dengan powder coating telah muncul di luar negeri, diantaranya di Canada, Swedia, dan di 2 negara di Eropa lainnya. Powder coating dilaporkan menimbulkan efek kesehatan pada pekerja berupa obstruksi paru, asma kerja, hipersensitivitas pnemonitis dan gejala pernapasan pada pekerja powder coating. Kualitas udara tempat kerja powder coating PT X Surakarta belum teridentifikasi
9
dan terukur. Kualitas debu udara tempat kerja menjadi penting karena diketahui berasosiasi dengan berbagai macam penyakit paru kerja seperti pnemokoniosis. Parikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0.1 mikron sampai dengan 10 mikron. Partikel debu banyak ditemukan dalam ukuran <1 μm, bagaimanapun juga, tergantung dari kondisi, partikel dengan ukuran > 100 μm dapat (walau jarang) berada di udara lingkungan. Partikel debu serbuk cat pelapis yang dipakai di PT X Surakarta mengandung, barium sulfat, nitrilotriacetic, polyester resin. Barium sulfat dapat menyebabkan pnemokoniosis (baritosis). Penggunaan polyester dan resin dilaporkan pernah menyebabkan pekerja mengalami obstruksi jalan napas, penurunan VEP1, alergi, dan asma kerja. Dari rumusan masalah diatas, maka masalah yang timbul adalah sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara kadar debu respirabel dengan parameter uji fungsi paru pekerja powder coating PT X Surakarta?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kadar debu respirabel dengan parameter uji fungsi paru pekerja powder coating PT X Surakarta.
10
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada: 1. PT X Surakarta. Menjadi sumber informasi bagi pekerja dan manajemen perusahaan mengenai potensi bahaya kesehatan proses powder coating dan membantu pembangunan program K3. 2. Program Studi S2 Kesehatan Kerja. Menambah informasi bagi kasanah ilmu pengetahuan mengenai paparan debu pada proses pengecatan metode powder coating dengan parameter uji fungsi paru pekerja. 3. Bagi Peneliti. Memperdalam ilmu kesehatan kerja, menambah wawasan serta menerapkan ilmu yang telah dipelajari pada tempat kerja.
11
E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Penelitian berkaitan dengan powder coating No Judul Penelitian Nama Rancangan Peneliti Penelitian 1 Respiratory and Cartier., Case systemic reaction Vandeplas., Report following exposure Grammer., to Shaughnessy., heated and Malo electrostatic (1994) polyester paint
2
Sensitization to triglycidylisocyanu rate (TGIC) with cutaneous and respiratory manifestations.
3
Hypersensitivity Quirce., pneumonitis caused Fernandezby triglycidyl Nieto., de isocyanurate (TGIC) Gorgolas., Renedo., Carnes., and Sastre (2004) Airways symptoms, Blomqvist., immunological Duzakinresponse and Nystedt., exposure in powder Ohlson., painting Jonssnon.,N ielsen., Welinder and Andersson. (2005)
4
Meuleman., Case Goossens., Report Rochette., Nemer., and Linders., (1999)
Case Report
Case Control
Hasil Pekerja alami obstruksi sedang (FEV1/KVP =54%) setelah terpapar polyester selama 4 jam. Dilakukan pengamatan 9 bulan dan menunjukkan kejadian berulang bila terpapar polyester. Pekerja mengalami asma kerja dan reaksi tipe-alveolitis setelah terpapar polyester Paparan triglycidylisocyanurate (TGIC) yang terkandung dalam serbuk cat pelapis tidak hanya menyebabkan dermatitis kontak, tapi juga asma kerja yang tampak setelaj 4 jam pemaparan, penurunan maksimal VEP1 31% Pekerja mengalami hipersensitivitas pneumonitis karena sensitisasi terhadap TGIC yang terkandung dalam polyester serbuk cat
Pekerja powder painting dilaporkan lebih mengalami gejala pernapasan hubungan kerja dibanding yang tidak terpapar. Prevalensi gejala sebesar 46% pada pekerja yang terpapar powder painting. Gejala mungkin disebabkan oleh bagian iritatif dari debu powder paint.