BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Postingan Kompasianer di Kompasiana pada 15 September 2012 dengan nama akun Mcdamas menarik untuk dicermati1, pasalnya Mcdamas menulis isu kampanye putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012. “Isu” ini dihembuskan dan coba dipopulerkan oleh Foke. Saat dia berkampanye dihadapan warga Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, hari ini, Foke mengatakan bahwa Kartu Sehat dan Kartu Pintar yang selalu dibawa Jokowi saat kampanye adalah “Pepesan Kosong”. “Ada yang kemana-mana bawa kartu, ternyata kartunya pepesan kosong,” kata Foke.“Doyan pepesan kosong apa kagak?” tanya Foke ke warga yang langsung menjawab, “Tidak!“ Rupanya “emosi” Foke belum mereda sejak Debat Kandidat di JakTV tadi malam. Saat itu Jokowi “meledek” Foke: “Kalau sejak lima tahun kemarin pak Foke sudah menerapkan Kartu Sehat dan Kartu Pintar, di putaran 1 kemarin pak Foke bisa menang 90%” kata Jokowi. Karena tidak punya kesempatan untuk merespon ledekan tersebut saat acara debat, Foke melampiaskan “dendam”nya di hadapan warga. “Jadi kalau ada yang bawa pepesan kosong, bilangin jangan bawa kesini,” tegas Foke. Realitasnya, selama 5 tahun Foke memimpin Jakarta, selama itu pula warga disuguhi pepesan kosong sesungguhnya oleh Foke. Kartu Jamkesda, program pengobatan gratis a la Foke, dan sekolah gratis 12 tahun justru baru gencar dibagikan kepada warga saat Foke maju di putaran 2 pilkada DKI tahun ini. Itupun karena dia merasa “terdesak” oleh kepopuleran Jokowi dengan 2 Kartu Saktinya tersebut.”
Apa yang diungkapkan Mcdamas menunjukkan bahwa warga Jakarta menerima secara kritis segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh kandidat. Tidak berhenti sampai di situ, dengan penuh kesadaran Mcdamas mencoba mengungkapkannya kepada warga lain lewat tulisan di Kompasiana. Kebetulan Mcdamas merupakan Kompasianer, yakni anggota komunitas Kompasiana2. Mcdamas mengkritisi gubernur petahana, Foke. Sebagai warga Jakarta, Mcdamas mengetahui bahwa program Foke di bidang kesehatan belum berjalan maksimal. Sehingga ketika Foke mencerca materi kampanye Jokowi soal Kartu 1
Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/isu-menarik-di-kampanye-hari-kedua-493176.html Kompasiana adalah blog para jurnalis dan publik yang beralamat di http://kompasiana.com, diluncurkan pada 22 Oktober 2008. Saat acara berlangsung tercatat lebih dari 1.800 posting atau tulisan, baik dari para jurnalis Kompas atau jurnalis di lingkungan Kelompok Gramedia, blogger tamu, maupun blogger publik dengan lebih dari 12.000 komentar (Nugraha, 2013: 70). Keterangan lebih lengkap soal Kompasiana akan dipaparkan dalam keterangan objek penelitian. 2
Sehat, Mcdamas angkat bicara. Pilihan Mcdamas untuk bicara dan melemparkan informasi politik semacam ini tentu tidak lepas dari latar belakang sosialnya sebagai guru, tepatnya guru bahasa Inggris di suatu lembaga kursus ternama di Jakarta. Praktis posisi ini juga menempatkannya di level kelas menengah3. Kelas ini cenderung memberi tingkat perhatian yang tinggi terhadap masalah kesehatan, termasuk jaminan kesehatan untuk warganya4. Lain lagi dengan tulisan Kompasianer bernama Febrian Arham yang diposting pada tanggal 15 September 20125. Lewat tulisannya Arham mengkritik Ahok yang tidak memiliki kejelasan sistem transparansi anggaran: “Di berbagai pernyataan baik media cetak maupun elektronik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selalu mengkampanyekan mengenai transparansi anggaran sebagai janji yang akan ditepatinya jika ia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta nanti. Pernyataannya diperkuat dengan pernyataan lainnya mengenai pengalamannya sebagai Bupati Belitung Timur yang telah pernah melaksanakan model janji tersebut, Dan kemudian menjadi pejabat Negara yakni sebagai anggota DPR … Ahok lupa menceritakan mengenai Transparansi Anggaran dan disiplin administrasi yang mengikutinya yang diterapkan di Kabupaten Belitung Timur, yang sesungguhnya lebih relevan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi DKI. Inilah yang memperjelas bahwa, ide Ahok mengenai Transparansi Anggaran adalah tidak jelas. Pengelolaan Keuangan atau pengelolaan anggaran sector public dibedakan menjadi Pengelolaan Keuangan Negara dan Pengelolaan Keuangan Daerah, yang keduanya secara sederhana meliputi Perencanaan, pelaksanaan dan pertanggunjawaban dalam satu tahun anggaran. Dari „Pengalamannya” yang hanya berlangsung dalam satu tahun dari 2005-2006 dapat dipastikan bahwa Ahok pernah, belum mengalami, salah satu proses dari pengelolaan anggaran yang disebutkan di atas. Ahok belum cukup menguasai mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah.”
Lebih lanjut Arham justru memuji Foke. Nampaknya Arham merupakan pendukung Foke. Secara terbuka Arham mengungkapkan bahwa Fokelah yang justru memiliki kejelasan konsep mengenai transparansi anggaran. Tidak hanya itu, selama menjabat sebagai petahana, menurut Arham Foke sudah melaksanakan transparansi anggaran dengan sangat baik. 3
Asia Development Bank (ADB, 2010) mendefinisikan kelas menengah sebagai warga yang memiliki pengeluaran $2-20 sehari, atau sekitar 20-200 ribu sehari, dan tersebar di kota-kota besar Indonesia teristimewa Jakarta. Kelas menengah ditandai dengan profesi-profesi yang erat dengan dunia pendidikan, memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan berani mengemukakan pendapat (CMCS, 2013) 4 Ketika bicara soal kesehatan, kelas menengah memiliki orientasi preventif ketimbang kuratif. Dengan demikian mereka (baca: kelas menengah) memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta makin banyak informasi yang membuatnya kritis dan tidak gampang percaya, termasuk kepada tenaga kesehatan. Mereka cenderung menempuh jalan sehat yang makin personal namun sarat tuntutan fasilitas kepada pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi kesadaran hak-hak politik yang sedemikian tinggi dimiliki oleh kelas menengah. 5 Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/transparansi-anggaran%E2%80%93nya-ahok-vseducating-the-stakeholdersnya-foke-493166.html
2
“Lebih besar dari ketololan itu, rasanya ide Foke mengenai Educating the Stakeholdersnya pada debat di atas adalah nyata lebih baik dan sejalan dengan ide utama dari tulisan ini. Dokumen Perencanaan maupun Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang merupakan Dokumen lebih rinci dari Peraturan Presiden tentang APBN dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD adalah Dokumen yang dapat terdiri dari Ribuan Halaman yang dikompilasi sejalan dengan APBD/APBN. Kita dapat melihat bahwa misalnya APBN adalah sekian atau APBD adalah sekian. Namun, masalahnya, masyarakat pada dasarnya emoh untuk mengetahui lebih lanjut bentuk rincian anggaran yang termuat dalam dokumen pelaksanaan Anggaran diatas. Ada juga rincian yang lebih rinci dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran yaitu Term of Reference (TOR) yang memuat Rincian Anggaran Belanja yang membentuk suatu Dokumen Pelaksanaan Anggaran, namun pada hakikatnya lebih dekat dengan Dokumen Perencanaan Anggaran. Kata Kunci Educating the stakeholders seperti yang disebutkan Foke dalam Debat semalam adalah lebih penting agar para stakeholders Pemerintah DKI Jakarta.”
Sama seperti Mcdamas, Arham bagian dari warga kelas menengah Jakarta yang juga anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini bekerja sebagai analis pajak. Arham menyukai Foke dan cenderung meragukan Jokowi-Ahok. Pendapat berbeda ditunjukkan oleh Usman Kusmana6. Usman tidak dalam posisi mendukung salah satu kandidat, baik Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, namun melihat dari sudut pandang yang lebih kritis mengenai proses kampanye putaran kedua yang sedang berlangsung. “Membaca berbagai informasi dan artikel di media seputar Pilkada DKI Jakarta sungguh membuat merinding bulu kuduk. Terakhir saya membaca tulisannya Bung Daniel Ht tentang Deklarasi Pilkada Damai Yang hanya jadi olok-olok bagi Ahok. Informasi dan deskripsi seputar suasana acara tersebut sungguh membuat kita miris dan prihatin. Judulnya deklarasi damai, tapi justru malah mencerminkan deklarasi perang dan permusuhan. Ketidakhadiran Cagub Jokowi dalam acara tersebut karena belum mendapatkan izin cuti daru Gubernur Jateng menjadi bahan sindiran dari lawannya Fauzi Bowo dan juga Ketua DPR RI Marzuki Ali. Saat Ahok berpidato massa meneriakan hal-hal yang sungguh mengerikan. Menyangkutpautkan dengan peristiwa Mei „98, mengejek dan mengolok-olok Ahok, dan berbagai teriakan massa lainnya yang tidak etis dalam judul acara yang bernama deklarasi Pilkada damai. Saya sampai berfikir, pada akhirnya proses pilkada DKI Jakarta akan penuh dengan teror dan intimidasi. Ormas keagamaan tertentu menduduki daerah-daerah yang menjadi korban kebakaran dengan membuat posko disana, beberapa ormas kesukuan yang notabene jelas menjadi pendukung Cagub/Cawagub tertentu juga diduga keluar masuk kampung dengan gaya jagoan dan intimidatif. Saya menduga, pada akhirnya model penekanan politik dengan teror dan intimidasi akan terus dijalankan sampai menjelang hari-H pencoblosan. Etnis tertentu yang pada putaran pertama begitu antusias menggunakan hak pilihnya boleh jadi akan menjadi sasaran pertama model ini. Agar mereka memilih Foke atau tidak menggunakan hak pilihnya, yang penting tidak memilih Jokowi-Ahok.
6
Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/14/memilih-dalam-bayang-bayang-teror-dan-intimidasi493004.html
3
Semua potensi dan kekuatan calon incumbent, baik dari unsur parpol, kekuatan rezim pemerintahan, ormas keagamaan tertentu, ormas kedaerahan akan terus di push untuk memperkecil ruang gerak konsolidasi Jokowi dan tim relawannya. Mereka akan menggunakan berbagai cara agar Foke yang didukung oleh kekuatan mayoritas parpol bisa memenangkan pertarungan. Karena kalahnya Calon petahana akan mempermalukan eksistensi parpol-parpol yang menjadi pengusungnya. Masyarakat Jakarta sepertinya akan memilih dalam bayang-bayang teror dan intimidasi. Tentu kita berharap, masyarakat Jakarta tak lagi bisa ditekan dengan pola-pola seperti itu. Jakarta sebagai pusat segala-galanya sangatlah tidak beradab jika mempertontonkan politik demokrasi ala barbar yang tak berbudaya seperti itu.”
Usman justru melihat bahwa proses perebutan kekuasaan sudah sampai pada hal yang mengkhawatirkan. Masing-masing pihak mulai menggunakan cara yang tidak beretika, saling menjatuhkan, bahkan saling serang satu sama lain. Kesadaran politik Usman menuntunnya menulis di Kompasiana, memberikan warna informasi yang berbeda, tidak sekadar mendukung salah satu kandidat namun juga mengkritisi bagaimana dukungmendukung itu dilangsungkan di ruang publik Jakarta. Mcdamas, Arham, dan Usman merupakan potret warga kelas menengah Jakarta yang memiliki kesadaran politik untuk menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang Pilkada DKI Jakarta, khususnya seputar karakter kandidat dan program-program yang ditawarkan. Mcdamas, Arham, dan Kusmana mengawali perbincangan panjang mengenai kelas menengah dan bagaimana pertukaran informasi dilangsungkan di Kompasiana, khususnya dalam peristiwa Pilkada DKI Jakarta. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa terjadi perubahan mendasar di masyarakat dimana aktor demokrasi tidak hanya negara namun juga masyarakat sipil, termasuk kelas menengah. Tahun 2011 IMF menetapkan bahwa GDP per kapita Indonesia sebesar $2,963 dan tahun 2011 mencapai $3,270. Kondisi tersebut istimewa bagi Indonesia sebab Indonesia memiliki modal ekonomi yang cukup untuk tumbuh dan besar seperti negara maju; Cina, India, Brasil, atau Rusia. Indonesia memiliki kesempatan memperbesar konsumsi dalam negeri yang mampu menarik pertumbuhan ekonomi. Satu hal yang menarik dari fakta tersebut adalah tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Tercatat oleh Susenas Tahun 2011, kelas menengah Indonesia telah mencapai 134 juta atau hampir 60% dari jumlah penduduk Indonesia dan bertambah 8-9 juta setiap tahun. Mcdamas, Arham, dan Kusmana masuk dalam kategori ini. Kelas
menengah
memiliki
keunikan
dalam
menyalurkan
aspirasi
dan
kepentingannya. Dengan daya kritis dan pengetahuannya, mereka mengakrabi saluran-
4
saluran baru dalam menyampaikan kepentingannya, yakni new media, khususnya social media. Media berbasis teknologi ini mampu membuat urusan politik “turun gunung” jadi urusan personal. Mengkritik, menyampaikan ide, mencerca pemerintah, atau sebaliknya memuji kebijakan pemerintah, kini dilakukan dengan mudah dan cepat dengan bantuan social media. Pada titik inilah Indonesia memasuki gerbang demokrasi digital, ketika segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemenuhan kepentingan bersama sebagian besar disampaikan lewat media baru (berbasis teknologi) 7. Sampai di sini terlihat bahwa dalam kelas menengah demokrasi yang terjadi adalah demokrasi horizontal, semua pihak memiliki kesempatan dan ruang yang sama untuk mengemukakan pendapat. Sebagaimana dilaporkan oleh Majalah Tempo (Edisi Liputan Khusus: Kelas Konsumen Baru, 20-26 Februari 2012, hal 100-101), bahwa terdapat jutaan orang dari kelas konsumen baru Indonesia di dunia maya. Lewat berbagai situs media sosial -blog, Facebook, dan Twitter- sumpah serapah, keluhan, dan protes digelontorkan tanpa henti. Macet, banjir, sampah, apapun, semua ditumpahkan lewat internet. Ketidakpuasan terhadap layanan pemerintah dicurahkan lewat media sosial. Kasus yang disebut-sebut menggambarkan kekuatan kelas menengah Indonesia via media sosial adalah Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit pada Oktober 2009 serta Koin Keadilan untuk Prita pada akhir 2009. Kedua gerakan itu sama-sama dibangun dari media sosial, yang kemudian direspon secara masif oleh publik. Jakarta menjadi kota penting dalam gerakan ini, tidak hanya karena inisiatornya berasal dari Jakarta, namun tercatat oleh Socialbaker.com (2012), pengguna Facebook di Jakarta pada tahun 2012 saja sudah mencapai 11,658,760 orang (23.21% dari total pengguna Facebook di Indonesia). Sedangkan Alexa.com memberikan informasi lain mengenai jumlah pengguna Facebook di Indonesia. Dikatakan bahwa Indonesia adalah negara terbanyak ke-10 yang penduduknya 7
Perbincangan ini mengingatkan kita pada pemikiran Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa di banyak negara berkembang masyarakat justru semakin banyak kehilangan kekuatannya ketika demokratisasi itu dijalankan dengan serampangan. Bahkan lembaga-lembaga pendukung suatu pemerintahan, yang dalam hal ini berarti kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak mampu memaksa pemerintahannya untuk tunduk terhadap kepentingan warga masyarakat. (Journal World Politics, Political Development and Political Decay; 1965: 386-430 dalam Agustino, 2007). Akhirnya warga mengambil jalan pintas, yakni berpolitik, berdemokrasi, lewat saluran yang mereka ciptakan sendiri. New media mewadahi ini. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, proses penyampaian pesan/informasi politik tidak lagi lewat jalur formal tetapi personal. Hacker & Van Dijk menyebut kondisi ini sebagai suatu pelengkap demokrasi dimana aktivitas warga berdemokrasi dapat disampaikan melalui media-media baru. We define digital democracy as a collection of attemps to practise democracy without the limits of time, space and other physical conditions, using ICT or CMS instead, as an addition, not a replacement for traditional „analoque‟ political practices (Hacker & Van Dijk, 2000: 1-2).
5
mengunjungi laman Facebook. Walau demikian, laman Facebook menjadi favorit ke-2 situs yang dikunjungi orang Indonesia setelah Google.com. Jakarta merupakan lokomotif pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Selain sebagai ibukota negara (pusat pemerintahan), Jakarta merupakan kota bisnis terbesar di Indonesia. Semuanya berawal dari Jakarta. Termasuk tumbuhnya kelas konsumen baru (kelas menengah) sekaligus gaya hidupnya yang memikat8. Hal ini tentu berpengaruh juga pada dinamika kehidupan masyakatnya termasuk di bidang politik. Sebagaimana pernah dilakukan survei oleh Pew Research Center (The Pew Global Attitude Project, 2009) di 13 negara
berpendapatan
menengah
menunjukkan
bahwa
kelas
menengah
sangat
mementingkan institusi dan praktek demokrasi yang bebas dan jujur, kebebasan berpendapat, serta sistem peradilan yang adil. Dalam konteks kelas menengah di Jakarta, apakah hal tersebut juga nampak muncul di daerah yang dulunya bernama Batavia? Fenomena pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 menunjukkan hal tersebut. Kembali kepada perbincangan awal, fenomena Mcdamas, Arham, dan Kusmana menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan beberapa latar belakang berikut: Pertama, jika terjadi pertukaran informasi di Kompasiana pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012, maka perlu diketahui lebih lanjut informasi apa yang dipertukarkan oleh para Kompasianer tersebut. Kedua, bagaimana pertukaran informasi Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif. Hal-hal di atas sekiranya dapat memberikan latar permasalahan penelitian ini. Fenomena pertukaran informasi Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 hendaknya diteliti, untuk mengetahui lebih lanjut informasi apa saja yang dipertukarkan dan sejauh mana informasi tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.
B. RUMUSAN MASALAH Fenomena yang telah terjabarkan dalam latar belakang ini mendorong peneliti untuk menjawab pertanyaan berikut: informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012? 8
Majalah Tempo (edisi 20-26 Februari 2012, hal 64-65) memaparkan bagaimana pergeseran perilaku konsumsi kelas menengah terekam paling awal di Jakarta. Mulai dari menjamurnya pusat belanja, klinik kecantikan, restoran makanan organic, butik-butik mancanegara, hingga konsumsi gadget yang menggila.
6
Kemudian pertanyaan pengembangan sebagai berikut: bagaimana pertukaran informasi tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif?
C. TUJUAN PENELITIAN Paparan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas memberikan gambaran mengenai tujuan penelitian ini, sebagai berikut: 1. Mengetahui informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012. 2. Mengetahui sejauh mana informasi yang dipertukarkan Kompasianer memenuhi indikator kondisi deliberatif.
D. MANFAAT PENELITIAN Paparan tujuan penelitian di atas memberikan gambaran mengenai manfaat penelitian ini, sebagai berikut: 1. Penelitian dapat menggambarkan informasi apa saja yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012. 2. Penelitian dapat memperlihatkan sejauh mana informasi yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" saat masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012 memenuhi indikator kondisi deliberatif.
E. OBJEK PENELITIAN 1. Kompasiana Sebagaimana diungkapkan Pepih Nugraha9, Kompasiana adalah sebuah media warga (citizen media). Lewat Kompasiana, setiap orang yang menjadi anggotanya dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video. Pepih Nugraha mengungkapkan jati diri Kompasiana dengan menyebutkan bahwa: 9
Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 1-8. Pepih Nugraha merupakan pendiri Kompasiana, berprofesi sebagai wartawan surat kabar harian Kompas.
7
“Kompasiana adalah etalase. Kalau saat pertama kata etalase ditemukan punya pengertian tempat memajangkan barang dagangan atau benda-benda seni, saya menggunakan etalase Kompasiana sebagai tempat untuk menampilkan berbagai jenis tulisan warga biasa; baik berupa berita warga, opini warga, catatan harian warga, dan bahkan fisik warga. Di dalam etalase ini, warga biasa bisa menampilkan kemampuannya dalam menulis yang diharapkan kualitasnya tidak kalah dengan karya tulis para penulis atau jurnalis professional.”10
Kompasiana menampung beragam tulisan yang menarik, bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan dari semua lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Walau demikian, Kompasiana sejak awal keberadaannya memang pertama-tama diperuntukkan bagi pembaca Kompas. Keterlibatan warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kompasiana juga melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi, pendapat dan gagasan. Lewat Kompasiana, setiap anggota didorong untuk menulis tentang peristiwa yang terjadi di sekitarnya, pendapatnya tentang peristiwa tersebut, serta mengomentari pendapat orang lain mengenai peristiwa tersebut. Kompasianer (sebutan orang-orang yang menjadi anggota Kompasiana) juga diberi kebebasan menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan maupun tanggapan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang tayang di Kompasiana menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya. Apakah dengan demikian Kompasiana merupakan citizen journalism? Harry Surjadi, mantan wartawan harian Kompas, pemenang kategori individu Penghargaan Komunikasi bagi Perubahan Sosial (Communications for Social Change Award) yang diberikan oleh Universitas Queensland di Brisbane akhir Maret 2013, mengkritik Kompasiana bukan media citizen journalism sebab minim berita warga yang melaporkan kejadian/peristiwa yang terjadi di sekeliling mereka.11 Sebagaimana konsep citizen journalism, media ditujukan semata-mata untuk menghasilkan ruang yang mampu memfasilitasi warganya melaporkan segala kejadian/peristiwa yang terjadi di sekitar mereka secara independent dan merdeka. Terhadap kritik di atas Pepih Nugraha berdiplomasi: 10
Ibid., hlm. xi Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 205-206. 11
8
“Tentu saja saya harus mendengar kritik rekan saya itu … Saya harus tetap membuka lebar-lebar telinga untuk menerima kritik itu. Di newsroom Kompas apa yang dikemukakan Harry menjadi kajian serius. Saya punya jawaban pasti untuk kritik ini. Tidak keliru memang kalah Kompasiana dikatakan bukan media citizen journalism, meski tidak seluruhnya benar. Saya ingin sejak awal platform Kompasiana adalah menulis. Ya, menulis pada media sosial yang memungkinkan para penulisnya tersambung satu dengan yang lainnya … Dalam hal ini, melaporkan peristiwa dalam bentuk berita warga juga termasuk kegiatan menulis, bukan? Walaupun minim namun tulisan Kompasianer yang mengangkat kejadian atau peristiwa di sekitar mereka tetap ada.”12
Jadi Kompasiana bukan media citizen journalism, melainkan media partisipasi warga. Titik tekan Kompasiana adalah menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antaranggota. Setiap Kompasianer bisa menjalin pertemanan dengan Kompasianer lain. Mereka juga dapat berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur interaktif lainnya. Fasilitas dan fitur Kompasiana hanya bisa digunakan oleh pengguna internet yang telah melakukan registrasi di www.kompasiana.com/registrasi. Begitu proses registrasi selesai, pengguna akan mendapatkan blog pribadi dengan alamat http://kompasiana.com/namapengguna. Tanpa registrasi, pengguna hanya bisa membaca konten Kompasiana. Dengan beragam fitur dan fasilitas interaktif tersebut, Kompasiana yang mengusung semangat berbagi dan saling terhubung (sharing. connecting.) telah berwujud menjadi sebuah media sosial yang informatif, interaktif, komunikatif dan mencerahkan bagi setiap orang. Jati diri Kompasiana tersebut dikuatkan oleh Rikard Bagun. Dalam suatu kesempatan Rikard, demikian ditulis Pepih Nugraha dalam bukunya, menjelaskan bahwa media sosial seperti Kompasiana adalah suatu keniscayaan dalam atmosfer media kontemporer, khususnya di tengah perkembangan media digital dan online yang semakin pesat, dibarengi dengan kecepatan internet yang makin bertambah. Ada “keresahan” warga berupa opini dan gagasan yang tidak tertampung oleh media-media di arus utama. Kompasiana menurut Rikard menjadi pelarian bagi netizen, supaya tetap bisa mencurahkan ide dan gagasannya 13. Nama Kompasiana diusulkan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas yang biasa menulis kolom "Politika". Nama ini pernah digunakan untuk kolom khusus yang dibuat pendiri Harian Kompas, PK Ojong, berisi tulisan tajam mengenai situasi mutahir pada masanya. Kumpulan rubrik Kompasiana yang ditulis PK Ojong itu sendiri sudah dibukukan. 12
Ibid., hlm. 206. Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 3. 13
9
Ide pendirian Kompasiana awalnya berangkat dari dari fakta tidak semua jurnalis akrab dengan blog. Jangankan punya, membaca blog orang barangkali belum pernah. Jadi, merupakan langkah maju dan terobosan tak terduga manakala sejumlah jurnalis Kompas menyatakan diri ingin menjadi bagian dari Kompasiana dan bahkan sudah langsung mencurahkan pandangan dan gagasannya. Pada tanggal 1 September 2008, Kompasiana mulai online sebagai blog jurnalis. Pada perjalanannya, Kompasiana berkembang menjadi social blog atau blog terbuka bersama para jurnalis harian Kompas dan Kompas Gramedia (KG) serta beberapa orang penulis tamu dan artis. Tercatat nama-nama jurnalis Kompas seperti Ninok Leksono, Budiarto Shambazy, James Luhulima, Myrna Ratna, Agus Hermawan, Rakaryan Sukarjaputra, Mohammad Nasir, Imam Priyadiyoko, Ichwan Susanto, Janes Eudes Wawa, Dahono Fitrianto, Joice, Sonya Helen Sinombor, Didit Putra, Ingki Rinaldi, Kris Razianto Mada, Robert Adhi KSP, Syamsul Hadi, Ambrosius Harto, dan lain-lain. Karena para jurnalis Kompas itu biasanya “sukar disentuh” dan sulit diajak bicara di dunia nyata, maka warga pembaca Kompasiana pun tak kalah antusias menyapa dan menyambut mereka14. Antusiasme para blogger dan netizen untuk ikut membuat blog di Kompasiana sangat besar sehingga dibuatkan satu menu khusus bernama Public. Pada 22 Oktober 2008, Kompasiana sebagai social blog resmi diluncurkan.
2. Kompasianer Sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, Kompasianer adalah sebutan bagi anggota Kompasiana. Tercatat pada September 2013, jumlah anggota Kompasiana (Kompasianer) sudah di atas 200.000 orang. Jumlah yang fantastis untuk sebuah media sosial lokal yang umurnya baru 5 tahun. Akun pertama tercatat si pembuat mesin Kompasiana, yakni Kandar dari teknologi informasi Kompas.com. Ia beralamat di http://kompasiana.com/k4. Sedang akun Pepih Nugraha selaku founder Kompasiana tercatat
sebagai
akun
kedua
Kompasiana,
dengan
alamat
http://kompasiana.com/pepihnugraha15. Dalam rentang waktu 5 tahun, setidaknya dari Oktober 2008 sampai September 2013, telah lahir dan tayang 866.767 tulisan dengan jumlah komentar nyaris mencapai 9 juta atau persisnya 8.951.395. Meski tidak ada batasan 14
Ibid., hlm. 18-19. Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 251. 15
10
usia namun Kompasiana terisi oleh orang-orang dengan rentang usia yang cukup lebar, antara
yang
termuda
sekitar
17
http://kompasiana.com/ammarmahardika
tahun sampai
seperti yang
Ammar paling
Mahardika
senior
Sutardi
di di
http://kompasiana.com/sutardi yang berusia 73 tahun. Kompasianer pemecah rekor dengan tulisan
terbanyak
dipegang
oleh
Katedra
Rajawen
di
http://kompasiana.com/katedrarajawen dengan jumlah 7.349 tulisan, sedang pemegang rekor
satu
tulisan
paling
banyak
dibaca
masih
dipegang
Seand
Munir
di
http://kompasiana.com/seand_munir di mana satu postingnya berjudul “Ternyata Para Penumpang Sukhoi itu Mengaktifkan Hpnya di Pesawat” dibaca oleh satu juta lebih pembaca, tepatnya 1.052.55216. Masing-masing Kompasianer ada yang fokus menulis pada satu bidang, tetapi tidak sedikit pula yang menulis sesuai kata hati, atau sesuai hobi yang beragam dengan satu fokus bahasan utama yang sangat mereka kuasai. Dalam konteks kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012, Kompasianer yang menulis rata-rata berdomisili di Jakarta, atau setidaknya berasal dari Jakarta sehingga tulisan maupun komentar yang dibuat mewakili ide dan aspirasi politiknya 17. Salah satu hal yang menghubungkan antara Kompasianer dengan kategori kelas menengah adalah profesinya, yakni pekerjaan sehari-hari yang dijalani oleh Kompasianer. Setiap Kompasianer wajib memberikan keterangan kepada admin, dalam hal ini Pepih Nugraha, profesi yang sedang digelutinya. Terhadap hal ini Pepih memberikan keterangan: “Keterangan profesi diperlukan untuk memperjelas identitas Kompasianer, siapa dia dan untuk apa tujuannya ikut di Kompasiana. Selain itu juga untuk mengidentifikasi fokus tulisan. Kira-kira dengan profesi tersebut jenis tulisan apa yang bisa dihasilkan oleh Kompasianer yang bersangkutan.”18
Profesi Kompasianer memang beragam, namun jika ditilik lebih lanjut maka profesinya masuk dalam kategori profesi kelas menengah yang setiap harinya mengeluarkan uang
16
Ibid., hlm. 252. Mengenai ide dan gagasan Kompasianer di bidang lain bisa dilihat di buku kolaborasi yang dihasilkan oleh Kompasianer, admin Kompasiana, dan pihak penerbit mainstream. Setidaknya terdapat dua buku yang masuk dalam kategori ini yakni berjudul Jokowi (bukan) untuk Presiden berkerja sama dengan Penerbit Elex Media dan Mencintai Indonesia Setengah Hati berkolaborasi dengan Penerbit Bentang Pustaka. Terbitnya kedua buku ini semakin memperjelas posisi Kompasiana dan Kompasianer, yakni berada di level tengah masyarakat Indonesia, atau dalam teks penelitian ini disebut sebagai kelas menengah. 18 Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013) hlm. 34. 17
11
sejumlah $2-2019. Jika dibuat daftarnya maka bentangan profesi kelas menengah yang masuk menjadi Kompasianer adalah sebagai berikut: penyair, karyawan teknologi informasi, wartawan, karyawan/karyawati, penulis, blogger, pengamat HAKI, fotografer, insinyur, pekerja buku, mahasiswa, dosen, swasta, novelis, dokter, peneliti, pustakawan, diplomat, wiraswasta, arsitek, praktisi periklanan, analis ekonomi, guru, pengusaha, LSM, hingga purnakarya Polri. 3. Kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 Pemilihan
Umum
Gubernur
dan
Wakil
Gubernur
DKI
Jakarta
2012 diselenggarakan pada Rabu, 11 Juli 2012 dan Kamis, 20 September 2012 untuk memilih Gubernur Jakarta untuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Hasil Pilkada DKI Jakarta putaran 1 diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta pada tanggal 20 Juli 2012. Memasuki putaran kedua, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan memberikan dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Sementara, hasil pemilukada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan pada Sabtu, 29 September 2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi sehari sebelumnya. Pasangan Jokowi-Ahok meraih 2.472.130 (53,82%) suara, sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315 (7,65%) suara, Ketua KPUD DKI Jakarta Dahliah Umar menyatakan, "Pasangan nomor urut 3 meraih suara terbanyak dalam putaran kedua" Hal yang menarik dari Pilkada DKI Jakarta adalah munculnya pasangan JokowiAhok. Sebagai pasangan yang relatif baru bagi warga Jakarta, Jokowi-Ahok mampu merangsek naik dalam waktu singkat, menciptakan persepsi positif, dan memenangkan pertarungan. Keberadaan pasangan ini juga mampu memicu perbincangan politik secara lebih intensif di kalangan warga Jakarta, tak terkecuali via media sosial. Perbincangan yang sedemikian masif dan menarik di sosial media inilah yang dalam banyak kesempatan dijadikan ukuran majunya iklim demokrasi Jakarta, termasuk salah satunya di Kompasiana.
19
Lihat definisi kelas menengah menurut ADB di Yuswohady, Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) hlm. 23.
12
F. PENELITIAN TERDAHULU Penelitian mengenai praktek demokrasi di media sosial pernah dilakukan oleh Anthony G. Wilhelm pada Oktober 199620. Wilhelm meneliti pengiriman pesan-pesan politik warga Amerika khususnya mengenai berbagai aspek karakter dari para kandidat, posisi pada permasalahan, dan sebagainya dalam konteks pemilihan umum Amerika tahun 1996.. Karena informasi yang dicari terutama pada penyatuan pesan-pesan, pengiriman pesan tunggal adalah unit analisis. Dengan demikian, jumlah yang cukup dari pesan-pesan tersebut
dimasukkan dalam
sampel
untuk
menggeneralisirisasikan
karakteristik-
karakteristiknya (N=500). Sebagai tambahan pada pengiriman pesan individu, hubunganhubungan pesan diteliti, seperti hubungan antar pesan, homogenitas newsgroup, dan jumlah urutannya. Dengan demikian, newsgroup menjadi unit analisa yang tepat 21. Untuk mengukur informasi itu, sebuah sampel mengenai newsgroup-newsgroup politik diseleksi. Total ada 57 newsgroup yang dideskripsikan sebagai newsgroup yang politis, dan 14 kelompok-kelompok diskusi pada Washington Connection. Untuk lebih spesifiknya, prosedur berikut dijalankan untuk sampai pada sampel acak dari pesan-pesan yang dianalisis: (1) Jumlah yang seimbang dari pesan-pesan terpilih di-download dari 10 newsgroup (6 dari newsgroup Usenet dan 4 dari AOL). (2) Sebuah sampel dari 500 pesan dibutuhkan untuk meyakinkan sebuah interval kepercayaan diri yang memuaskan (± 4,4%). (3) Karenanya, 50 pesan diseleksi secara acak dari 10 kelompok untuk jumlah keseluruhan dari 500 pesan. (4) Periode waktu diseleksi supaya menghasilkan kontinuitas dalam tema-tema yang ada di daftar. Setelah keempat prosedur dijalankan, maka penelitian tersebut bergerak ke kategori-kategori kamus isi dari pesan politik yang dianalisis. Wilhelm menyebut kategori tersebut terdiri dari: menyediakan, mencari, menyebarkan benih, menggabungkan, membalas, homogenitas, valid, tidak valid, pengarang, panjang, pesan, waktu, dan rangkaian22. 20
Lihat Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 146-147. Ibid., hlm. 151. 22 Ibid., hlm. 155-157. 21
13
Sementara dari hasil penelitiannya Anthony Wilhelm membuat suatu pernyataan sebagai berikut: “… individu-individu cenderung bergerak ke kelompok-kelompok yang menyetujui sudut pandang mereka sendiri. Dan mereka yang terlibat dalam aktivitas politik di newsgroup adalah mereka yang kelihatannya memang sudah berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik yang non virtual.”23
Tampak bahwa hasil dari penelitian ini masih sebatas mendeskripsikan bagaimana pertukaran informasi dilakukan di media sosial oleh warga, dan belum menghubungkannya dengan fenomena apapun, misalnya bagaimana peran kelas menengah Amerika dalam peristiwa tersebut. Walau demikian penelitian Wilhelm penting sebagai referensi karena menunjukkan bahwa perbincangan warga mengenai proses pemilihan umum mulai dilakukan lewat dunia maya/media sosial24, warga memperbincangkan karakter kandidat, posisi terhadap program yang ditawarkan, dan sebagainya. Sementara itu penelitian yang dipaparkan dalam proposal ini tidak hanya membahas bagaimana pertukaran informasi dilakukan, namun juga membahas siapa yang melakukan dan bagaimana pengaruhnya terhadap keberadaan kelas menengah. Penelitian ini menghubungkan antara praktek berdemokrasi di media sosial (bertukar informasi sosial-politik) dengan kelas menengah. Mengenai kelas menengah, khususnya yang ada di Jakarta dan umumnya Indonesia, pernah dilakukan penelitian yang komprehensif oleh Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS) pada November 201225. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia berada pada angka 135 juta jiwa, atau sekitar 56% dari total penduduk Indonesia26. Dari total jumlah kelas menengah tersebut, hampir 40% posisinya ada di Jakarta. Kelas ini menjadi kelas yang paling berpengaruh dalam menumbuhkan konsumsi domestik, juga dalam meningkatkan taraf pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena itu, kehadiran kelas menengah ditandai dengan kesadaran politik yang baik dengan cara mementingkan institusi dan praktek demokrasi yang bebas dan jujur, kebebasan berpendapat, serta sistem peradilan yang adil. Penelitian yang dilakukan CMCS bersumber pada sebuah model yang tersusun atas tiga parameter psikografis/perilaku konsumen kelas menengah Indonesia, yaitu 23
Lihat Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm., 170-171. Khususnya dalam konteks ini berlangsung di Amerika pada 1996. 25 Penelitian ini dijadikan referensi karena menunjukkan data secara riil kondisi existing kelas menengah Jakarta pada masa terjadinya peristiwa yang diteliti, yakni Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. 26 Lihat Majalah Swa 02, no. XXIX, edisi 23 Januari-6 Februari 2013 24
14
kepemilikan
sumber
daya
(ownership
of
resources),
tingkat
pengetahuan
(knowledgeability), dan tingkat koneksi sosial (social connection). Tiga parameter ini kemudian diturunkan menjadi model proposisi nilai kelas menengah Indonesia dan model segmentasi yang menghasilkan delapan segmen pasar kelas menengah Indonesia yakni expert, aspirator, settler, trendsetter, climber, performer, flow-er, dan follower27. Hal yang menarik adalah penemuan karakteristik dari 8 segmen kelas menengah Indonesia. Terdapat beberapa karakteristik khas di bidang politik, khususnya bagaimana mereka berelasi sosial. Ada yang aktif dan terlibat dengan isu-isu publik dan bersifat modern, namun ada yang cenderung mengelompok dan feodal. Berikut tabel karakteristik relasi sosial28:
Segmen The Aspirator The Performer The Expert The Climber The Trendsetter The follower
The Settler The Flow-er
Karakteristik Relasi Sosial Terhubung dengan isu universal, terlibat dan aktif dalam isu-isu publik Bergabung dalam suatu komunitas, dalam rangka aktualisasi diri Cenderung menjalin jaringan profesional untuk mempertajam keahlian Menjaga keharmonisan dalam keluarga Berusaha menjadi pusat perhatian Menjaga agar tetap relevan di tengah-tengah teman dan komunitas sosialnya, termasuk afiliasi dalam politik Bergabung dalam kegiatan adat, keagamaan, dan kemasyarakatan Menjaga kebersamaan keluarga besar dan kerabat
Tabel 1. Tabel Karakteristik Relasi Sosial 8 Segmen Kelas Menengah Indonesia
Temuan menarik lain yang muncul dalam penelitian ini adalah dalam alokasi pengeluaran per bulan, rata-rata keluarga kelas menengah mengeluarkan anggaran sebesar 11,1% dari total pengeluaran untuk kebutuhan telekomunikasi, 6,3% untuk telepon dan 4,8% untuk internet. Jumlah yang signifikan mengingat jumlah ini lebih besar daripada yang mereka keluarkan untuk investasi, asuransi, cicilan hutang, zakat, atau hiburan. Pengeluaran di bidang telekomunikasi menduduki peringkat ke-3 setelah kebutuhan 27 28
Ibid., hlm. 44. Ibid., hlm. 32.
15
keluarga dan tabungan29. Hal ini menunjukkan bahwa kelas menengah Jakarta melek informasi. Bagi mereka informasi penting dalam hidupnya, termasuk dalam hal politik. Kelas menengah menganggap informasi seputar politik berguna sebab rata-rata dari mereka melek politik, sadar akan haknya sebagai warga negara dan menyuarakannya dalam media sosial. Hal inilah yang menyambungkan antara kelas menengah dengan media sosial. Bahwa media sosial menjadi sarana komunikasi yang paling efektif bagi kelas menengah untuk bertukar informasi, termasuk informasi politik. Melek politik ala kelas menengah dalam penelitian ini dikuatkan dengan beberapa pertanyaan seputar politik, yakni tokoh-tokoh pilihan di masa kini dan di masa lalu. ketika responden disuguhi pertanyaan “Tokoh politik nasional yang dianggap bisa membawa perubahan”, jawabannya Jokowi (37,9%), Prabowo Subianto (25,1%), Megawati (16,9%), Jusuf Kalla (16,4%), Dahlan Iskan (16,0%), Amien Rais (13,3%), Aburizal bakrie (10,9%, Surya Paloh (7,5%), dan Wiranto (6,0%). Naiknya pamor Jokowi diyakini sebagai hasil penetrasi media terhadap benak audiens, terutama ketika berbicara mengenai langkah positif Jokowi mengelola Jakarta30. Lalu, bagaimana dengan Pilkada DKI Jakarta 2012 sendiri? Penelitian yang pernah dilakukan oleh Prisma Resources Center dan Media Nusantara Citra (MNC) tbk pada bulan Juli 2012 berjudul “Suara Kelas Menengah dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 201: Beberapa Catatan Hasil Survei” menunjukkan bahwa Pilkada DKI Jakarta merupakan pilkada yang memiliki tingkat perbincangan politik yang tinggi diantara warganya. Hasil penelitian dirujuk untuk menunjukkan bahwa warga kelas menengah Jakarta memiliki kepedulian terhadap isu-isu kebijakan dalam kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta, seperti akses terhadap sumber daya produktif, kenyamanan serta keamanan. Lebih lanjut terungkap dengan detail bahwa informasi-informasi politik yang dipertukarkan oleh responden mengerucut menjadi beberapa tema saja yakni biaya pendidikan dasar, biaya berobat, kemacetan, kenyamanan sarana umum, penanganan banjir, dan pelayanan administrasi Pemda (KTP, IMB, izin kegiatan) 31. Hal menarik dari penelitian Prisma ini justru terletak di tarikan kesimpulan atas data yang ada, dikatakan bahwa: 29
Lihat Majalah Swa 02, no. XXIX, edisi 23 Januari-6 Februari 2013, hlm. 34. Ibid., hlm. 43. 31 Lihat Prisma Vol. 31, No. 1, 2012, hlm 77. 30
16
“…kebawelan dan kerewelan kelas menengah semacam itu justru terasa sebagai gagasan transformatif bagi kota Jakarta. Keluh-kesah kelas menengah yang telah mengkristal menjadi kejengkelan mereka terhadap kondisi Jakarta saat ini bisa dikatakan mewakili, setidaknya untuk sebagian, apa yang selama ini juga menjadi persoalan warga Jakarta secara keseluruhan. Memang tidak semua persoalan warga Jakarta identik dengan persoalan kelas menengah Jakarta. Begitu pula sebaliknya. Bagaimanapun juga, sebagaian persoalan kelas menenga Jakarta sudah menjadi “irisan” dari persoalan yang dihadapi semua warga Jakarta.”32
Lebih lanjut diungkapkan bahwa dilihat dari jumlahnya, penghuni Jakarta yang masuk dalam kategori kelas menengah tentu tidak sebanyak kelas yang ada di bawahnya. Kelas bawah tidak punya akses informasi dan komunikasi yang memadai untuk menyampaikan keluh kesahnya. Lebih jauh, kemampuan mereka mempengaruhi proses politik yang sedang berjalan juga kecil. Apalagi di Jakarta, kesenjangan kelas yang sedemikian besar membuat kelas bawah hanya menjadi sarana legitimasi politik sesaat saja, tidak pernah benar-benar diperjuangkan oleh komponen politik yang ada di Jakarta. Lain halnya dengan kelas menengah, kemampuan mereka mempengaruhi proses politik tidak bisa diremehkan. Tidak hanya karena mereka mampu mengakses berbagai informasi publik tanpa batas, tetapi juga mampu “menguasai” saluran dan isi informasi publik dan mempergunakannya sebagai sarana artikulasi kebawelan dan kerewelan kelas mengenah untuk memengaruhi berbagai segmen sosial lainnya dalam rangka mengubah wajah kota Jakarta melalui momentum Pilkada. Kembali pada penelitian “Kelas Menengah & Kondisi Deliberatif”, bahwa belum pernah dilakukan penelitian yang secara khusus menghubungkan perbincangan kelas menengah seputar kebijakan di media sosial dengan kualitas demokrasi. Bahwa terdapat hubungan di antara keduanya dan saling mempengaruhi. Penelitian “Kelas Menengah & Kondisi Deliberatif”, ingin menjelaskan posisi kelas menengah di Jakarta saat kampanye Pilkada DKI Jakarta. Apa hal yang didiskusikan, dan bagaimana diskusi tersebut mampu menunjukkan kondisi-kondisi tertentu dalam konteks demokrasi33. Pilkada DKI Jakarta 2012 dipakai sebagai objek penelitian, sebab diyakini dalam pilkada ini peran dan pengaruh kelas menengah sangat signifikan, khususnya dalam tukar-menukar informasi politik yang nantinya menjadi referensi warga dalam menentukan pilihan politik. Dalam konteks ini, Kompasianer dipilih untuk mewakili kelas menengah Jakarta, yang menuangkan segala ide dan gagasan politiknya mengenai Pilkada Jakarta lewat tulisan di 32
Ibid., hlm. 79. Kondisi-kondisi inilah yang kemudia dijabarkan lebih lanjut lewat teori kondisi deliberatif James S. Fishkin. 33
17
blog sosial Kompasiana. Hasil-hasil penelitian terdahulu akan dijadikan referensi dalam mengolah dan menganalisis data.
G. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran ini berisi teori-teori yang dipilih oleh peneliti untuk memperjelas pokok permasalahan yang diangkat, yakni demokrasi di era digital, demokrasi deliberatif, partisipasi demokrasi, dan demokrasi kelas menengah. Teori yang muncul di sini akan dipilih oleh peneliti untuk dijabarkan menjadi unit analisis yang selanjutnya digunakan untuk meneliti informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" saat masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012 serta sejauh mana pertukaran tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif. 1. Kelas Menengah dan Demokrasi Sebagaimana diungkapkan oleh Max Weber tentang terminologi kelas 34, bahwa membicarakan kelas bukan semata-mata membicarakan sebuah komunitas tetapi setidaknya ada tiga hal berikut: pertama, adanya bagian dari masyarakat yang memiliki spesifikasi kesadaran yang khas, yang mempengaruhi pola kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, adanya unsur kepemilikan terhadap modal dan barang, serta pengaruhnya terhadap pendapatan sehari-hari. Ketiga, adanya pekerjaan/profesi yang dimunculkan di sana. Penjelasan Weber mengenai terminologi “kelas” di atas memperjelas apa dan siapa kelas menengah. Artinya pembagian kelas menjadi kelas atas, tengah/menengah, dan bawah tidak semata-mata berdasarkan komunitas yang memiliki ciri pendapatan tertentu, namun juga pola pikir, serta profesi yang dilaksanakannya. Lebih lanjut Weber berpendapat mengenai kelas menengah. Menurutnya kelas menengah atau middle classes dapat disebut juga sebagai commercial classes35. Commercial classes ini dibagi dalam dua bagian besar yakni entrepreneurs dan laborers. Mereka yang disebut sebagai entrepreneurs adalah yang bekerja sebagai merchants, shipowners, industrial, bankers, financiers, lawyer, physicians, artists, dan sebagainya. Sedangkan mereka yang disebut
34
Lihat Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic History dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 61. 35 Lihat Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic History dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 70.
18
sebagai laborers adalah mereka yang bekerja dengan pendapatan tetap dengan kategori skilled, semi-skilled, dan unskilled36. Hal yang menarik adalah tarikan Weber terhadap kesadaran politik yang dimiliki kelas tipe ini. Dikatakan bahwa kelas menengah cenderung memiliki kesadaran politik yang baik. Pertanyaannya kemudian mengapa? Karena kelas menengah membutuhkan kondisi politik yang ideal untuk melangsungkan pekerjaan/bisnis mereka. Dengan kata lain Weber memberi pondasi relasi antara kelas menengah dengan demokrasi, bahwa dengan segala pekerjaan/bisnisnya, kelas menengah akan selalu mengusahakan situasi yang demokratis demi kelangsungan hidup mereka. Hal ini dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Michael Mann terhadap literatur sosiologi klasik yang berbicara mengenai kelas sosial37. Disimpulkannya bahwa stabilitas politik dan sosial merupakan suatu kondisi pra-politik yang diinginkan oleh kelas menengah. Mereka memerlukan kondisi yang stabil demi tercapainya cita-cita hidup mereka masing-masing. Lalu apakah dalil-dalil di atas bisa juga diterapkan di Indonesia? Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya kita melihat sejarah kelas menengah di Asia. Richard Robison38 & David S.G. Goodman 39, bersama lembaga The Asia Research Centre on Social, Political, and Economic Change yang didirikan di Murdoch University, melakukan penelitian mengenai kemunculan kelas baru di Asia. Kelas ini unik karena memiliki kemampuan finansial cukup kuat dan menjadi faktor penting dalam proses pembangunan di asia. Hasil penelitian dituangkan dalam buku berjudul The New Rich in Asia, terbit pada 1996. Tumbuhnya kelas baru di asia, sebagaimana dinyatakan oleh Robison & Goodman, telah menumbuhkan ekspektasi besar bangsa barat terhadap Asia. Kelas ini memberikan kepastian bahwa asia perlahan-lahan akan tumbuh menyerupai Eropa, yang mengagungkan rasionalitas, modernitas, dan demokrasi: “For western liberals, there is an expectation that the rise of the “new rich” in Asia will be, in cultural terms, a process of convergence. The burgeoning middle classes and entrepreneurs are seen as embodying universal interest which will create an Asia
36
Ibid., hlm. 71. Lihat Michael Mann, The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 387. 38 Professor of Southeast Asian Studies and Director of the Asia Research Centre, Murdoch University. 39 Director of the Institute of International Studies at University of Technology, Sydney. 37
19
more like the liberal stereotypes: more rational, individualistic, democratic, secular, and concernedwith human rights, the environment and the law.”40
Robison & Goodman mengingatkan bahwa kelas baru ini -sebagian besar kelas menengah- memiliki pengaruh yang signifikan bersekutu dengan pemodal besar dan mampu membawa gerbong kapitalisme ke daerahnya. Kelas ini juga bisa tentara yang bersekutu dengan pemodal besar untuk memunculkan investasi besar di negaranya. Implikasinya praktek-praktek otoritarianisme harus dihilangkan dari muka asia, khususnya negara-negara yang bertumbuh ekonominya. Seperti yang terjadi di Indonesia pada 1966, Thailand pada 1973, dan Filipina pada 1986. Pemerintahan otoriter digulingkan lewat persekutuan tentara, kelas borjuis-menengah, dan pemodal besar. Di saat bersamaan, kapitalisme masuk dan tumbuh berkembang di negara-negara tersebut41. Masuknya kelas menengah dalam usaha penggulingan otoritarianime tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Artinya kelas ini membutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif agar usaha yang dijalankannya berhasil. Kelas menengah bergerak selama kepentingan ekonomi mereka terganggu 42. Kelas menengah menghindari terlibat langsung dalam gerakan politik, seperti diungkapkan dalam keterangan Robison & Goodman berikut ini: “The lessons for the political role of the middle class are far from clear. it may signify that the middle class is congenitally unable to hold real power in its own right, and is forced to rely on alliances or coincidences of interest with other social groups. alternatively, it may be that the middle class, in situations where it still fears mass radical movements or social chaos, is interested only in reforming authoritarianism.” 43
Maka keterkaitan antara kelas menengah dengan tumbuhnya kapitalisme sangat erat. Namun perlu dicatat bahwa kapitalisme yang menumbuhkan kelas menengah bukan kapitalisme wirausaha, melainkan kapitalisme berbasis korporasi. Walau akhirnya para entrepreneurship juga bisa masuk kategori kelas menengah, namun pertama-tama kelas menengah bertumbuh secara signifikan di Asia pada periode 1990-an karena derasnya kapitalisme korporasi, sehingga muncul jenis-jenis profesi baru berbasis keahlian.
40
Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 2. 41 Ibid., hlm. 2-4. 42 Sepintas asumsi ini mirip dengan pemikiran yang diusung oleh Max Weber dan Michael Mann tentang kelas menengah. Bahwa mereka membutuhkan jaminan kondisi yang stabil guna melangsungkan usaha ekonominya. 43 Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 8.
20
Keahlian ini didapat dari pendidikan dan pelatihan profesional. Dalam hal ini Robison & Goodman menyatakan: “The new middle class is the result of the demise of entrepreneurial capitalism and the rise of corporate capitalism with its army of managers, technocrats, marketers, and financiers. The middle class is therefore the skilled workforce of capitalism and expands with it. Giddens differentiates the middle class from the bourgeoisie on the basis of market capacity: ownership of property versus possession of qualifications.” 44
Kelas menengah orientasinya berbeda dengan kaum borjuis. Kaum borjuis cenderung memupuk modal untuk pengembangan usaha yang tidak terbatas (khas kaum kapitalis), sedangkan kelas menengah cenderung menginginkan suatu kondisi yang ideal dalam hidupnya terutama dari sisi ekonomi: karir cemerlang, finansial kuat, tingkat konsumsi tinggi, keluarga sejahtera, dan terdapat kepastian hukum bagi hidupnya. Soal ini Robison & Goodman menambahkan: “Clearly the middle classes represent a new set of social interests that regimes must take into account. what now becomes critical for these new social interest are living standards that include high levels of consumption and a greater emphasis on leisure; a greater concern for education as a central mechanism for securing position and wealth; a desire for predictability and certainty of laws; and access to information and analysis. As the skills and, indeed, the purchasing power of the new middle classes become more essential to industrial capitalism, the state and capital are increasingly driven to accommodate this social force, whether it be within a conservatism that offers stability and protection, or a liberalism that offers more direct participation in the process of government.”45
Pada titik inilah singgungan antara kelas menengah dengan negara berlangsung. Dan pilihan yang paling rasional, sebagaimana nampak dalam kecenderungan negaranegara Asia di masa kini (termasuk Indonesia) adalah memilih jalan demokrasi untuk mewujudkan kondisi yang menawarkan “stabilitas dan perlindungan” tersebut. Otoritarianisme tidak lagi jadi pilihan bagi kelas menengah. Demokrasi menyuburkan perilaku kelas menengah dalam mengonsumsi gaya hidup. Demokrasi memberikan ruang yang sangat lebar bagi kelas menengah untuk bekerja sekaligus bersenang-senang. Work hard play hard. Ariel Heryanto ketika menyoroti soal tumbangnya otoritarianisme di Asia, khususnya Asia Tenggara, menyinggung soal kelas menengah. Baginya kelas menengah adalah kelas yang unik sebab bukan kelas atas namun memiliki kekuatan konsumsi yang signifikan, sekaligus pengaruh sosial-kultural yang besar: 44
Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 8-9. 45 Ibid., hlm. 11.
21
“What all variants of the middle class share common (without which they cannot be designated as middle classes at all) are their orientation towards any combination of these: urban residence; modern occupation dan education; and cultural tastes, which manifest most vividly, but not exclusively, in consumer lifestyle. Economically, these people occupy positions distinct from those that roughly fit the general conception of the working classes, as well as those who extract the greatest advantage in the existing social order by virtue of their enormous economic or bureaucratic power. The majority of journalist, university students and lecturers, artist, lawyers, non governmental organization (NGO) activists, and many others in conTemporary Indonesia-Malaysia have been frequently identified as middle classes.” 46
Disebut sebagai kelas tengah karena kelas ini bukan kelas pekerja, bukan pula kelas borjuis. Tingkat pendidikan dan ketrampilannya menyerupai kelas borjuis, namun kepemilikan modalnya minim seperti kelas bawah. Tingkat konsumsi yang besar hanya untuk barang-barang yang mendukung gaya hidupnya. Kelas ini menyukai demokrasi, karena baginya demokrasi memberi kepastikan hukum. Rata-rata dari komponen kelas ini juga melek politik. Sebab itulah mereka berada di balik usaha reformasi Indonesia 1998 (dalam konteks negara Indonesia). Segera setelah pemerintah orde baru membredel Majalah TEMPO, Editor, dan Detik, maka saat itu pula genderang perang kelas menengah terhadap kekuasaan otoriter dimulai47. Secara lebih detail Ariel masuk dalam konsepsi kelas menengah yang berbeda dengan yang didefinisikan Robison & Goodman, dan juga kelak William Liddle. Robison & Goodman cenderung memposisikan kelas menengah, di Asia umumnya dan Indonesia khususnya, sebagai kelas menengah yang bergantung pada negara. Kelas ini umumnya oportunis dan egois. Kalaupun kelas ini menghendaki demokrasi, maka demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang disokong penuh oleh negara yang kecenderungannya militeristik. Dengan demikian kelas menengah Indonesia secara politis tidak bisa diharapkan berbuat lebih karena kelahiran mereka disokong pemerintah orde baru. Selain itu, cukup banyak masyarakat yang masuk kelas ini beretnis Cina yang kurang tertarik atau kurang terlatih pemahamannya tentang politik48. Ariel pun sempat memperbincangkan ini konteks budaya popular di Indonesia, Ariel menulis demikian: It is useful to begin the question of what being “Chinese” meant under the New Order (1966-98).Most writing on the subject emphasize the series of discriminations against this minority group. Althought most observers have commented on their
46
Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 27. 47 Ibid., hlm. 33. 48 Lihat Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics (London & New York: Routledge Media, 2008), hlm. 53.
22
economic prominence, few has taken seriously the seeming contradictory phenomena (political and cultural repression versus economic favouritism) 49.
Pendapat Robison & Goodman ini dikuatkan oleh pemikiran R. William Liddle mengenai kelas menengah di Indonesia. Liddle berpendapat bahwa kelas menengah di Indonesia berkembang pesat saat orde baru50. Walau akhirnya ikut menumbangkan namun kelas menengah di Indonesia kelahirannya banyak dibantuk oleh orde baru. Dijelaskan oleh Liddle bahwa ideologi pembangunan di era orde baru telah memunculkan kelas baru, yakni kelas menengah, yang pada era Soekarno masih sangat abu-abu. Namun di era orde baru kelas ini menyeruak ke permukaan. Apa hubungannya dengan pembangunan? Pembangunan menciptakan birokrasi, dan birokrasi menciptakan birokrat. Birokrat inilah yang pertama-tama mengisi tampuk kelas menengah Indonesia, antara lain adalah pegawai negeri sipil di berbagai tingkatan. Kelas ini menyukai stabilitas sosial-politik, sebab dengan demikian kehidupan mereka tidak terganggu. Walau demikian Liddle memberi catatan kecil, bahwa kelas menengah juga tumbuh seiring masuknya kapitalisme global ke Indonesia. Gelombang ini menciptakan ribuan pekerjaan baru yang tingkat kesejahteraan sosial-ekonominya setara, atau bahkan lebih, dibandingkan dengan pegawai negeri sipil. Dalam perkembangannya justru kelompok inilah yang mendorong terbukanya era politik baru di Indonesia, dimana demokrasi semakin kuat dan dijunjung. Puncaknya adalah tahun 1998 ketika rezim orde baru & Soeharto tumbang. Kembali pada pernyataan di depan bahwa Ariel memiliki konsepsi yang berbeda mengenai kelas menengah (di Indonesia). Ariel sependapat bahwa kelas menengah pada umumnya memiliki unsur-unsur berikut: tinggal di perkotaan, memiliki pekerjaan dan pendidikan modern, serta selera budaya. Secara ekonomi kelas ini menduduki posisi yang jelas berbeda dengan mereka yang lazim disebut sebagai kelas pekerja, namun tidak seluruh bagian dari kelas menengah dapat diseragamkan. Artinya ada unsur kelas menengah yang cenderung apolitis dan oportunis, seperti pejabat negara peringkat tengah da perwira menengah, dan ada kelas menengah yang cenderung politis dan kritis, seperti
49
Ibid., hlm., 73. Lihat R. William Liddle, The Middle Class and New Order Legitimacy dalam The Politics of Middle Class Indonesia (Victoria: Monash University Press, 1992), hlm., 50-52. 50
23
jurnalis, akademisi, dan seniman51. Secara kultural dan politik dinamika diantara dua unsur ini berbeda. Ariel cenderung meyakini kelas menengah yang memainkan peran penting dalam peta politik Indonesia dewasa ini adalah kelas menengah golongan kedua, yakni kaum cerdik pandai, jurnalis, dan seniman. Mereka bekerja dengan otonomi, inovasi, integritas, dan kreativitas, serta terkadang subversi. Mereka berbeda, dan membedakan diri, dari sosok pejabat militer, pejabat negara, atau kaum profesional dalam dunia usaha. Jadi kelas menengah Ariel adalah kelas menengah yang menguasai produksi karyakarya intelektual dan kultural, dan menguasai posisi sebagai intelektual publik. Dengan demikian bahasan kelas menengah dan intelektual dalam bahasannya Ariel memiliki posisi yang sama, yakni berwujud konsep-konsep diskursif, ideologis, dan mitis ketimbang sebagai deskripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis ada dengan nama, profesi, pola-pola konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik52. Konsepsi Ariel ini sejalan dengan Gerry van Klinken yang meneliti kelas menengah di provinsi/kota non-Jawa di Indonesia: “The natural setting for the middle classes who provided the political steam pressure for both democracy and decentralization was not the globalized metropolis, but the provincial town – a place that foreign researchers rarely visit. The selfemployed medium scale entrepeneurs, the private and public sector clerks, the Golkar apparatchiks, the teachers – and the youth aspiring to these positions – who populate this book, belong to a world of their own. They are only partly assimilated with the national bourgeoisie. They may share elite global consumerist aspirations, but their economic interests differ. Their incomes are less secure, their networks of relations more local (where they may be more intense than in the big city), their religion more conservative – in short, their horizon is more parochial. Yet their control of the towns gives them a national clout that belies their relative lack of affluence 53.”
Dalam desain penelitian ini, nampaknya pendekatan kelas menengah versi Ariel lebih tepat dipilih ketimbang sarjana-sarjana lainnya, sebab dalam paparan selanjutnya kelas inilah yang ingin diuji kualitas demokrasinya, dengan cara menguji bagaimana mereka mempertukarkan/bertukar informasi politik di media sosial, dalam hal ini Kompasiana.
51
Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 54-55. 52 Ibid., hlm., 56-57. 53 Lihat Gerry van Klinken & Ward Berenschot (ed.), In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns (Leiden-Boston: KITLV-Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 2014), hlm. 6.
24
2. Media Sosial dan Demokrasi Hakikat politik adalah penciptaan kehidupan bersama yang lebih baik (Aristoteles). Lewat politik kekuasaan diabdikan bagi kepentingan masyarakat. Politik adalah hakikatnya, teknologi adalah sarananya, dan social media adalah salah satu aplikasinya. Rogers (1986: 238) menyatakan bahwa internet memampukan seorang kandidat mengirimkan pesan personal kepada konstituennya dengan cepat, tepat, dan efisien lewat surat elektronik. Internet mengubah “lapangan” politik dari bersifat nyata menjadi maya. Sebagai perwujudan dari demokratisasi di internet, media sosial menjadi kunci penting bertumbuhnya mutu demokrasi di suatu negara. Media sosial mampu memfasilitasi diskusi antarawarga negara, terutama soal politik. Hal ini sekaligus menandai karakteristik new media, atau media-media baru dalam kaitannya dengan demokrasi. Rogers menegaskan hal ini sebagai berikut: “Interactive media can also facilitate citizen-to citizen communication about political issue; these new can help individuals locate others with whom they exchange information and opinions.”54 Selain tingkatan warga, new media juga dapat menghubungkan para politikus, membuat jejaring komunikasi dan menciptakan ruang diskusi mengenai isu-isu politik. Tidak hanya itu, jejaring juga dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dalam menggolkan suatu rancangan undang-undang. Sebagaimana penelitian yang diadakan di Amerika Serikat, para politikus/legislator saling terhubung, beberapa diantara bahkan masuk kategori politisi terkenal seperti Tom Delay, Bob Dole, Jesse Helms, John Kerry, dan Ted Kennedy. Mereka berjejaring satu sama lain dan memiliki pengaruh kuat dalam proses legislasi di AS. Artinya mereka bisa menggerakkan jaringan mereka untuk menekan legislator lain menyetujui suatu rancangan undang-undang yang diusung partainya (Partai Republik atau Partai Demokrat). Beberapa nama lain adalah Hillary Clinton, Ron Paul, Tom Tancredo, Dennis Kunichi, dan John McCain55. Dengan demikian media sosial memfasilitasi negara dan masyarakat sipil untuk saling terhubung dan berdiskusi, bahkan menciptakan pergerakan politik. Soal ini Timothy W. Luke menambahkan sebagai berikut:
54
Everett M. Rogers, Communication Technology: The New Media in Society (New York: The Free Press, 1986), hlm., 237-238). 55 Christakis M.D. & James H. Fowler, Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup Kita (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm., 239.
25
“The Net also provides modes of action and types of artifacts to organize their cultural interactions, institutionalize political movements, and advance economic demands on a derritorialized metanational basis in 24/7 time frames. The networks are operational venues whose assignment, sale and use generate a new governance challenge; how to create, border, police and use virtual spaces.”56
Hill dan Sen, akademikus yang memberikan perhatian luas pada kajian internet dan demokrasi di Indonesia, juga menegaskan hal ini, pernyataannya menguatkan pemikiran bahwa internet telah memproduksi satu saluran komunikasi baru yang lebih egaliter, dengan demikian informasi dapat dipertukarkan dengan bebas, dua arah, dan kritis, termasuk informasi politik: “The internet shifted the terms of the media-democracy debate in a number of ways. The new medium of communication had obliterated the distinction between producer and consumer, a dichotomy that was at the heart of the leftist and politicaleconomy critique of the old media‟s anti democracy design. If every individual consumer could also produce and distribute information, ideas and later images, then the question of “who owned what” mattered little or not at all.” 57
Sebagai bagian dari internet, media sosial memiliki semua karakteristik media yang berpengaruh positif bagi internet. Dan Indonesia memiliki kasus-kasus yang sangat riil mengenai social media dan pengaruhnya terhadap demokrasi politik. David T. Hill dan Krishna Sen (2005: 11) mencatat bahwa internet memungkinkan terjadinya penggulingan kekuasaan Soeharto serta pemerdekaan Timor-Timur. Di sisi lain Hill dan Sen mengungkapkan pula bahwa media sosial memungkinkan terjadinya kampanye virtual, lewat perang website dan pesan-pesan politik di dunia maya (2005: 79).
3. Informasi Politik Studi perilaku memilih yang dilakukan oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi (2012) telah memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena pemilihan umum. Studi ini pertama-tama mencoba menguak partisipasi politik, dengan beberapa pertanyaan utama: Seberapa banyak warga negara yang berpartisipasi? Mengapa seseorang memutuskan ikut serta atau absen dalam pemilu? Partisipasi politik menjadi hal penting untuk dijelaskan di sini. Partisipasi politik: (1) tindakan, (2) oleh orang biasa, (3) dilakukan secara sukarela, (4) untuk mempengaruhi kebijakan publik (Brady 1999; 56
Timothy W. Luke, Power and Political Culture dalam Leah A. Lievrouw & Sonia Livingstone, Handbook of New Media: Social Shaping and Social Consequences of ICTs (London: Sage Publications, 2006), hlm., 164. 57 David T Hill & Krishna Sen, The Internet in Indonesia‟s New Democracy (New York: Routledge, 2005) hlm. 10.
26
Conway 2000 dalam Mujani dkk, 2012). Jadi partisipasi politik merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh orang biasa, dilakukan secara sukarela, dan bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Ketika publik berpartisipasi, maka hal riil yang muncul adalah keikutsertaannya untuk memilih dalam suatu pemilihan umum. Dari studi ini pula ditemukan 3 model perilaku memilih, yakni model sosiologis, model psikologis, dan model pilihan rasional/ekonomi-politik. Dalam model sosiologis perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa. Sedangkan dalam model psikologis, seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi, karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy). Model ini memperkenalkan budaya demokrasi atau civic culture. Terakhir model pilihan rasional, Orang memilih partai atau calon tertentu apabila partai atau calon tersebut dipandang dapat membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya: kehidupan ekonomi. Pemilih mempersepsikan keadaan ekonomi dirinya (egosentrik) di bawah sebuah pemerintahan (partai atau calon) tertentu sekarang ini dibanding sebelumnya (retrospektif), dan yang akan datang dibanding sekarang (prospektif); dan evaluasi umum seorang pemilih atas keadaan ekonomi nasional (sosiotropik) di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun sebelumnya (retrospektif), dan keadaan ekonomi nasional di bawah pemerintahan sekarang di banding tahun-tahun yang akan datang (prospektif) (Dawns 1956; Wheaterford dan Kiewiet, 1980; Fiorina, 1981; Lewis-Beck, 1998 dalam Mujani, dkk, 2012) Dalam ketiga model tersebut, informasi politik atau pengetahuan politik menduduki tempat yang penting. Mengapa? Sebab semakin mempunyai informasi lebih banyak tentang masalah publik, maka dirinya cenderung lebih mampu menentukan sikap dan melakukan tindakan politik (political interest). Lalu, apa itu informasi politik? Informasi yang dimiliki seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik atau yang berkaitan dengan kepentingan umum. Demokrasi menuntut keterbukaan informasi58.
58
Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi. Kuasa Rakyat : Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Order Baru (Jakarta: Mizan, 2012), hlm. 13-14.
27
Dalam keterkaitannya dengan kelas menengah dan media sosial, informasi politik inilah yang diusahakan oleh kelas menengah bisa dipertukarkan dengan bebas dengan bantuan media sosial. Pada sub-bab terdahulu telah dipaparkan dengan detail keterkaitan diantara ketiganya, bahwa kelas menengah menggunakan media sosial sebagai sarana untuk melakukan pertukaran informasi politik. Terhadap hal ini, jika ditelusuri lebih jauh, terlihat bahwa internet dan media sosial tidak selalu menjadi ruang yang positif bagi pertukaran informasi. Artinya banyak literatur yang menunjukkan soal pertukaran informasi di internet dan media sosial sungguh problematik. Gary D. Rawnsley misalnya, mengungkapkan bahwa informasi yang dibagi oleh para blogger59 merupakan informasi yang tidak termediasi dan terkontrol. Artinya apa yang ditulis sebagai informasi di sana oleh para blogger merupakan informasi yang keluar dari seseorang tanpa melewati mekanisme verifikasi60. Namun di sisi lain justru karena tidak ada kontrol maka blogger mampu memunculkan sebuah propadanda yang memberikan alternatif lain dalam memandang persoalan sosial politik. Lebih lanjut Rawnsley mengungkapkannya demikian: “This is realized most dramatically in the rapid emergence of the blogger culture, the posting by anyone with access to the internet of on-line diaries that allow readers a glimpse into the lives of their authors. Bloggers can undermine tives of events from those provided by other media following their own news agendas and reporting stories according to particular framing devices … Hence, the most attractive about blogging is that it represent a genuine bottom up process of unmediated and unfiltered communication.”61
Alternatif lain yang ditawarkan oleh blogger menjadi dasar suatu komunikasi yang demokratis. Artinya masyarakat tidak hanya menerima begitu saja segala hal yang disuguhkan oleh negara, atau bahkan pasar, lewat media konvensional, namun mampu mengkritisinya secara konstruktif. Secara lebih jelas Rawnsley menyatakannya sebagai fenomena psikologi berpendapat, bahwa ada kecenderungan bagi seseorang untuk mencari pembanding informasi dari sumber lain, termasuk sumber-sumber yang sifatnya personal:
59
Sebutan bagi orang yang memiliki akun di situs blooger.com, yakni situs web yang dibuat oleh Pyra Labs dan diakuisisi oleh Google pada 2013. Situs ini sangat popular karena menyediakan sarana web gratis untuk menciptakan ruang tulis-menulis pribadi. 60 Verifikasi merupakan salah satu disiplin kerja dalam jurnalisme yang mensyaratkan adanya cek ulang informasi/data yang diperoleh dari narasumber. Jadi wartawan tidak menulis begitu saja informasi/data yang didapat tetapi melakukan cek-ricek kebenarannya lewat pengamatan langsung, konfirmasi narasumber lain, dan membandingkan dengan data tertulis lain. 61 Lihat Gary D. Rawnsley, Political Communication and Democracy (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 179.
28
“In psychology-speak, ICTs are increasing „selective avoidance‟ and thus undermining the need to consider alternative views (and reconsider one‟s own) to achieve consonance (see Chapter 3 this volume). The liberal educative function of communication via interaction with alternative ideas, information and sources breaks down, and we can no longer claim that the more one participates, the more knowledgeable one becomes about political issues. Rather, the filtration mechanisms that allow users to choose the information they receive and the sources from which they receive it, means that even citizens of democracies are no longer forced to confront challenging ideas, thus limiting our knowledge and understanding of politics, and undermining the principles of free speech. From Athens on, democratic political communication is based on open dialogue between citizens allowing the competition of ideas.”62
Dengan kata lain jelaslah bahwa internet dalam hal ini memberdayakan dan mendemokratisasi masyarakat, sebab internet mampu menampung keinginan warga untuk berpartisipasi dalam proses politik (partisipasi politik)63. Walau demikian soal kredibilitas informasi yang dibagikan di internet atau media sosial dipertanyakan. Apakah informasi yang dibagikan akurat dan kredibel? Rawnsley menuliskan: “Let us begin with the idea that everyone can be publisher and recipient. If this the case, we are confronted not only with an explosion in the amount of information we must confront, sift and process (Neumann, 1986) but with a fundamental question that defines the democratic approach to political communication: whose truth are we receiving? How can we check and guarantee the accuracy of the information? Does this mean that the responsibility for determining the truth falls to the consumers rather than producers? If we are already concerned with how the traditional media have the capacity to distort the truth and present a one-dimensional, biased or superficial picture of political issues, processes and institutions, won‟t we become more anxious with information that is unmediated, unedited and unverifiable? The Internet provides more information, but it does not guarantee the quality of information. Perhaps this really is a case of better the devil you know…?”64
Ahli lain, John C. Tedesco dari Virginia Tech. berpendapat sama kurang lebih dengan Rawnsley, bahwa informasi yang ada di internet haruslah dicek ulang sebab banyak yang isinya hanya propaganda tidak berdasar dan cenderung berbahaya bagi demokrasi. Tedesco mensyaratkan bahwa informasi yang dibagikan oleh warga biasa, politisi, atau partai politik harulah informasi yang kredibel dan berkualitas, sehingga sungguh-sungguh menjadi referensi warga lain dalam berdemokrasi: “Credibility of on-line information is at the source of much academic controversy and inquiry (Whillock, 1997). Whillock argues that verifying the validity of on-line information is very difficult to do without searching multiple sources for confirmation and support of claims posted by candidates or other politically interested 62
Lihat Gary D. Rawnsley, Political Communication and Democracy (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 185. 63 Ibid., hlm., 183. 64 Ibid., hlm., 183
29
parties or groups. As Glass (1996) acknowledges, the “Internet offers far fewer clues to its users to help them discern the good from the ugly” (p. 140).” 65
Klaim kebenaran menjadi persoalan penting di sini, manakala internet atau media sosial hanya menjadi ajang klaim, maka akan jauh dari fungsi sebagai jembatan informasi yang menghubungkan satu warga dengan warga lain, antara warga dengan politisi, dan warga dengan partai politik.
4. Demokrasi Deliberatif Telaah mengenai informasi politik yang ada di internet akan membawa diskusi pada demokrasi. Sebagaimana dinyatakan dalam suatu studi perilaku memilih yang dilakukan oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi (2012: 13-14), informasi politik yang benar mendorong warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Dengan demikian adanya arena/ruang bagi warga untuk bertukar informasi politik menjadi penting, lalu mendiskusikan dan akhirnya menentukan pilihan. Ruang dimana warga berada dalam posisi yang setara dan dapat mendiskusikan pandangan-pandangannya mengenai masalah sosial politik yang ada di sekitar mereka. Ruang ini oleh James S. Fishkin, seorang professor komunikasi dan ilmu politik dari Stanford University, disebut sebagai kondisi deliberatif. Informasi yang ada di kondisi deliberatif merupakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan karena bermuara pada nalar yang rasional dan tidak menyesatkan. “In a deliberative democracy everyone‟s views are considered equally under good conditions for the participans to arrive at their views. The process is deliberative in that it provides informative and mutually respectful discussion in which people consider the issue on its merits. The process is democratic in that it requires the equal counting of everyone‟s views as we will see below.”66
Proses pertukaran informasi dalam kondisi deliberatif menjadi penting, sebab dalam proses inilah ide atau pemikiran orang mengenai kondisi ideal masyarakat dapat muncul. Tidak hanya itu, Fishkin menegaskan bahwa orang harus berada dalam sebuah kondisi yang setara. Dalam konteks ini orang sama-sama menjadi warga negara yang memiliki hak berpendapat. Maka suatu komunitas warga dapat berfungsi menjadi ruang bagi proses tersebut, yakni proses pertukaran informasi. Dan sebagaimana dinyatakan di atas bahwa 65
Lihat John C. Tedesco, Changing the Channel: Use of the Internet for Communicating About Politics dalam Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2004) Hlm., 522. 66 James S. Fishkin, When The People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation (New York: Oxford University Press, 2009) hlm. 11
30
dari proses tersebut akan muncul referensi otentik yang bisa digunakan orang untuk mengambil keputusan politik. Tentu saja deliberasi yang terjadi dalam suatu komunitas harus dipastikan dalam kondisi baik, dengan kata lain berkualitas. Masih tentang kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan ke dalam kondisi yang deliberatif apabila terdapat lima hal berikut (Fishkin 2009): “By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the merits of competing arguments in discussions together. We can talk about the quality of a deliberative process in terms of five conditions: (a) Information: The extent to which participants are given access to reasonably accurate information that they believe to be relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent to which arguments offered by one side or from one perspective are answered by considerations offered by those who hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in the public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The extent to which participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal consideration: The extent to which arguments offered by all participants are considered on the merits regardless of which participants offer them.”67
Lima kondisi di atas bisa dijadikan ukuran bagi suatu pertukaran informasi, mulai dari apakah informasinya berkualitas sampai tingkat mempengaruhi pemilih. Maka kembali pada diskusi awal mengenai kredibilitas informasi politik di internet, dalam hal ini informasi politik yang dipertukarkan Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DI Jakarta 2012. Sebagaimana diungkapkan James S. Fishkin, jika ingin dinyatakan sebagai sebuah informasi yang berkualitas maka setidak-tidaknya informasi di internet, khususnya informasi politik68, harus mengandung lima hal yakni information, substantive balance, diversity, conscientiousness, dan equal consideration. Desain penelitian ini menetapkan bahwa setidaknya kedelapan hal ini yang akan digunakan sebagai alat ukur untuk melihat informasi-informasi dalam yang ditulis oleh Kompasianer pada masa Pemilukada DKI Jakarta 2012.
H. UNIT ANALISIS Unit analisis merupakan bagian tersendiri yang diberi kode dan kemudian dihitung. Pada proses ini unit analisis menyediakan cara yang standar untuk menjabarkan teks menjadi elemen-elemen yang hendak dianalisis. Berger (1998), sebagaimana dikutip oleh 67
James S. Fishkin, When The People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation (New York: Oxford University Press, 2009) hlm. 33-34, 126, 160. 68 Disebut sebagai informasi politik karena hal yang dimuat dalam informasi tersebut merupakan hal yang berhubungan dengan politik, baik dari sisi warga, negara, maupun partai politik.
31
Keyton (2006: 236) menyebutkan pentingnya membuat unit analisis. Tanpa unit analisis yang standar atau seragam, analisis data tidak akan valid dan teks-teks yang dianalisis kemudian tidak bisa diperbandingkan. Berdasarkan teori-teori yang dimunculkan dalam kerangka pemikiran, khususnya mengenai informasi politik, peneliti menyusun unit analisis. Unit analisis ini disusun berdasarkan indikator kondisi deliberatif yang diungkapkan oleh Fishkin yakni information, substantive balance, diversity, conscientiousness, dan equal consideration.
Unit Analisis Information
Kategori
Sub-Kategorisasi
Keakuratan informasi; apakah
Akurat
informasi disertai dengan data,
Tidak akurat
undang-undang, atau detail peristiwa yang relevan dan terkait dengan isu yang dibicarakan yakni Pilkada DKI Jakarta 2012 Substantive balance
Sejauh mana argumen yang ditawarkan oleh seseorang dari satu perspektif dijawab oleh mereka yang
Ada dialog yang bersifat substantif Tidak ada dialog
memegang perspektif lain hingga
yang bersifat
memunculkan kesempatan untuk
substantif
berdialog diantara Kompasianer Diversity
Sejauh mana Kompasianer
Informasi mewakili
merepresentasikan pilihan politiknya
representasi politik
(Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnana
Kompasianer
atau Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli)
Informasi tidak
dalam berdiskusi di masa kampanye
mewakili
Pilkada DKI Jakarta 2012
representasi politik Kompasianer
Conscientiousness
Sejauh mana Kompasianer tulus
Informasi jadi
mempertimbangkan manfaat dari
referensi untuk
argumen-argumen yang muncul dalam
memilih
32
diskusi
Informasi tidak jadi referensi untuk memilih
Equal consideration
Sejauh mana informasi ditanggapi satu
Informasi ditanggapi
sama lain
Informasi diabaikan
I. DEFINISI OPERASIONAL Pada bagian definisi oprasional peneliti hendak menjelaskan masing-masing bagian dari unit analisis dan kategori yang dibuat. Singarimbun dan Effendi (ed.) (1989:46) menjelaskan: “Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.”
Maka selain digunakan sebagai pedoman peneliti untuk tahap analisis, definisi operasional ini dibuat sebagai referensi penelitian-penelitian dengan tema serupa. Berikut penjelasan mengenai masing-masing bagian dari unit analisis dan kategori yang digunakan dalam penelitian: a. Information Keakuratan informasi; apakah informasi disertai dengan data, undang-undang, atau detail peristiwa yang relevan dan terkait dengan isu yang dibicarakan yakni Pilkada DKI Jakarta 2012. b. Substantive balance Sejauh mana argumen yang ditawarkan oleh seseorang dari satu perspektif dijawab oleh mereka yang memegang perspektif lain hingga memunculkan kesempatan untuk berdialog diantara Kompasianer. c. Diversity Sejauh mana Kompasianer merepresentasikan pilihan politiknya (Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnana atau Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli) dalam berdiskusi di masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012. d. Conscientiousness Sejauh mana Kompasianer tulus mempertimbangkan manfaat dari argument-argumen yang muncul dalam diskusi
33
e. Equal consideration Sejauh mana informasi ditanggapi satu sama lain.
J. METODOLOGI PENELITIAN Ketika penelitian berfokus pada pesan-pesan politik, maka metode penelitian yang digunakan adalah analisis isi kualitatif. Pilihan seperti ini dapat pula diterapkan untuk semua jenis isi pesan, termasuk yang ditulis atau dicetak dalam bentuk dokumen, pesan, film, dan kaset audio yang direkam. Pesan bahkan mungkin dianalisis seketika jika peneliti hadir pada saat pesan tersebut diproduksi. Menggunakan coders manusia yang terlatih untuk mengidentifikasi elemen tekstual masih merupakan langkah paling umum dalam pendekatan analisis isi.
1. Metode Penelitian Analisis isi dipakai sebagai metode utama untuk mengungkap makna yang terkandung dalam tiap tulisan politik yang dibuat oleh Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012, yang terbagi dalam dua putaran yakni putaran pertama (24 Juni -7 Juli 2012) dan putaran kedua (14-16 September 2012). Makna yang ingin diungkap dengan kata lain merupakan komponen-komponen substansif dari pesan-pesan politik69. Dari komponen substantif tersebut dapat dilihat lebih lanjut perilaku tukar-menukar informasi yang ada apakah sudah mengandung unsur-unsur demokrasi atau tidak, khususnya dalam tulisan/perbincangan yang ada. Selain itu, metode ini dipilih oleh penulis sebab analisis isi mampu memberikan gambaran yang sederhana terhadap makna tanpa narasumber (baca: Kompasianer) tahu bahwa tulisan mereka sedang dianalisis. Sehingga penelitian analisis isi mampu menekan bias yang mungkin muncul dalam proses penelitian. Jika para responden diminta penulis untuk mengisi survei, dari perspektif analisis isi, hal ini adalah penciptaan teks-teks baru yang kemungkinan besar bias oleh kepentingankepentingan peneliti dan tekanan-tekanan yang muncul dalam proses penelitian tersebut 70. Selanjutnya pendekatan analisis isi yang dipilih oleh penulis adalah analisis isi deskriptif, yakni analisis isi yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran detail suatu pesan, atau suatu teks tertentu. Dari aspek-aspek yang ditampilkan detail tersebut, sesuai 69 70
Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 148. Idem., hlm. 150.
34
dengan tema yang dipilih, akan didapatkan data yang mampu dianalisis lebih lanjut untuk memunculkan makna71. Makna inilah yang kemudian diinterpretasikan hingga kemudian memperlihatkan ukuran untuk melihat mutu demokrasi, khususnya dalam melihat perilaku Kompasianer bertukar informasi politik. 2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini utamanya dilakukan melalui metode analisis isi, selain juga wawancara mendalam yang dilakukan untuk menajamkan analisis yang dilakukan terhadap teks yang ada 72. Analisis isi akan dilakukan pada tulisan-tulisan yang diposting oleh Kompasianer antara tanggal 24 Juni -7 Juli 2012 dan 14-16 September 2012, khususnya yang bertema politik dalam rangka kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 baik putaran pertama maupun kedua. Analisis ini diterapkan untuk mengetahui sejauh mana subtansi demokrasi muncul dalam tiap tulisan Kompasianer, baik dalam frekuensi maupun pola penyampaikan informasi, juga sifat dari informasi politik yang dipertukarkan: apakah memberi, mencari, menegaskan, atau mencaci informasi seputar kandidat. 3. Analisis dan Interpretasi Teknik analisis dalam penelitian komunikasi kualitatif pada dasarnya terdiri dari tiga komponen: reduksi data, penyajian data, dan penarikan serta pengujian kesimpulan. Ketiganya akan dilakukan dalam penelitian ini dalam konteks metode analisis isi kualitatif. Oleh karena itu mengawali proses reduksi dan penyajian data akan dilakukan proses coding (koding) dan categorization (kategorisasi) terlebih dulu terhadap data yang masuk ke peneliti. Koding akan dilakukan terhadap postingan masing-masing Kompasianer yang muncul dalam kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012, berdasarkan lima kriteria kualitas pertukaran informasi yang disampaikan oleh James S. Fishkin, yakni information, substantive balance, diversity, conscientiousness, dan equal consideration. Peneliti akan mengidentifikasi tiap tulisan dan diskusi yang muncul apakah memuat lima kriteria kualitas proses deliberasi (pertukaran informasi) dari James S. Fishkin. Tulisan yang tidak memuat hal-hal tersebut akan
71
Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 47. 72 Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods: An Intriduction to Qualitative and Quantitatives Approaches 2nd Edition (California: Sage Publications, 2011), hlm. 216-217.
35
diabaikan, sedangkan yang memuat akan dilihat lebih lanjut menggunakan kategorisasi yang ada (lihat tabel unit analisis di atas). Selanjutnya pada tahap analisis dan interpretasi, peneliti akan menulis hasil analisis terkait data yang sudah dikoding dan dikategorisasi. Data akan dibandingkan dengan konsep dan teori yang sudah dipilih dalam penelitian ini, sebagaimana termuat dalam kerangka pemikiran yang berisi teori-teori yang dipilih oleh peneliti untuk memperjelas pokok permasalahan yang diangkat, yakni tentang kondisi deliberatif.
36