1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan Reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo Mesir, pada tahun 1994.
Indonesia menyepakati definisi
kesehatan reproduksi sejak tahun 1996 yaitu suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Namun luasnya ruang lingkup kesehatan reproduksi menuntut penanganan secara lintas program dan lintas sektor serta keterlibatan LSM, organisasi profesi dan semua pihak yang terkait. Adapun ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk HIV/AIDS, Pencegahan dan Penanggulangan Komplikasi Aborsi, Kesehatan Reproduksi Remaja, dan berbagai aspek kesehatan reproduksi lainnya (BKKBN, 2005). Saat ini kesehatan reproduksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar skalanya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data dan fakta pada beberapa komponen kesehatan reproduksi, salah satunya adalah masalah kesehatan reproduksi pada remaja. Masalah kesehatan reproduksi remaja
1
2
selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada akhirnya. Fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja dan seks pra nikah pada remaja terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dan survei yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2010 sebanyak 51% remaja di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), pernah berhubungan seks. Surabaya tercatat 54%, di Bandung 47%, dan 53% di Medan. Angka tersebut naik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja di berbagai kota di Indonesia hampir sama. Menurut World Health Organization (WHO) remaja adalah penduduk lakilaki atau perempuan yang berusia 10-19 tahun (BKKBN, 2005; UNHCR, 2012). Saat ini komposisi penduduk remaja di dunia mencapai sekitar 1,3 miliar (UNFPA, 2009). Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah remaja Indonesia usia 10-24 tahun sekitar 67 juta atau 29% dari total seluruh populasi (Badan Pusat Statistik, 2013). Jumlah remaja yang hampir sepertiga jumlah penduduk Indonesia ini merupakan modal untuk menciptakan generasi penerus bangsa berkualitas yang dibutuhkan untuk membangun suatu bangsa. Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus kehidupan manusia. Pada masa ini, remaja mengalami perubahan yang mendasar dalam sikap dan perilaku. Remaja indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Remaja yang dahulu terjaga
3
kuat oleh sistem keluarga, adat budaya, serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir. Berbagai hal tersebut mengakibatkan peningkatan kerentanan remaja terhadap berbagai macam penyakit terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk ancaman yang meningkat terhadap HIV/AIDS akibat perilaku seksual. (Suryoputro et al., 2006). Permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut: Perilaku berisiko; kurangnya akses pelayanan kesehatan; kurangnya informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan; banyaknya akses pada informasi yang salah tanpa tapisan; Masalah IMS; Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial; kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko terhadap kematian ibu dan bayi; dan kehamilan yang tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus pada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya (BKKBN, 2005). Salah satu masalah yang cukup mengkhawatirkan di kalangan remaja adalah seks pranikah. Selama bertahun-tahun program keluarga berencana telah menolak ajakan untuk menyediakan layanan klinis untuk remaja yang aktif secara seksual. Ada keyakinan mendalam bahwa Pengetahuan Kontrasepsi akan mendorong moral perilaku di kalangan remaja, dan bahwa satu-satunya intervensi yang tepat harus sepenuhnya ''berbasis Pengetahuan''. Dengan ini, remaja sebaiknya diberitahu tentang kontrasepsi, tapi mereka tidak harus ditawarkan layanan apapun, bahkan jika mereka aktif secara seksual (Hull et al., 2004).
4
Perilaku seksual adalah tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Perilaku seksual remaja yang melewati batas dari kewajaran yang dilakukan remaja mempunyai dampak besar bagi remaja dan pasangannya (UNFPA, 2009). Perilaku seksual yang dilakukan remaja dengan pasangannya mulai dari ciuman bibir sampai dengan hubungan seksual merupakan perilaku seksual berisiko, yang mengakibatkan peningkatan masalah-masalah seksual seperti unprotected sexuality, penyakit kelamin, HIV AIDS, kehamilan tidak dikehendaki, aborsi dan tingkat mortalitas ibu dan bayinya (Sarwono, 2011; UNFPA, 2009). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menilai, perkembangan isu remaja khususnya perilaku remaja akhir-akhir ini sudah mengindikasi ke arah perilaku berisiko. Hal tersebut terlihat berdasarkan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja (SKKR) tahun 2012 yang dilakukan oleh BKKBN. Beberapa
perilaku
berpacaran
remaja
yang
belum
menikah
sangat
mengkhawatirkan. Sebanyak 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya. Sebanyak 48,1 persen remaja laki-laki dan 29,3 persen remaja wanita pernah berciuman bibir. Sebanyak 79,6 persen remaja pria dan 71,6 persen remaja wanita pernah berpegangan tangan dengan pasangannya. Bahkan dalam survei tersebut juga terungkap, umur berpacaran pertama kali paling banyak adalah usia 15-17 tahun, yakni pada 45,3 persen remaja pria dan 47,0 persen remaja wanita. Dari seluruh usia yang disurvei yakni 10-24 tahun, hanya 14,8 persen yang mengaku belum pernah pacaran sama sekali (BKKBN, 2012).
5
World Health Organization (WHO) memperlihatkan bahwa semakin meningkat pula aktivitas seksual di antara kaum muda di kawasan Asia-Pasifik. Hasil
RISKESDAS tahun 2010 diketahui bahwa Indonesia termasuk negara
dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37). Tertinggi kedua ASEAN setelah Kamboja. Pada tahun 2010, terdapat 158 negara dengan usia legal minimum menikah adalah 18 tahun ke atas, dan Indonesia masih di luar itu. Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7 % P : 1,6 % L). Diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun lebih dari 56,2 persen sudah menikah. Provinsi dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9%), Jawa Barat (7,5%) serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5 persentase. Provinsi dengan persentase perkawinan dini (15-19 tahun) tertinggi adalah Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat ( 50,2%) serta Kalimantan Selatan (48,4%) Bangka Belitung (47,9%), dan Sulawesi Tengah (46,3%) (BKKBN, 2012). Hal ini dikhawatirkan akan menghambat pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan kualitas hidup masyarakat dunia termasuk kesehatan reproduksi remaja (UN, 2013). Green et al. (2005) menyatakan bahwa model Preced-Proceed dapat menjelaskan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor penguat, dan faktor pemungkin. Faktor predisposisi
6
merupakan faktor internal yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan sikap. Faktor penguat dan faktor pemungkin merupakan faktor eksternal. Faktor penguat berasal dari keluarga, teman sebaya, dll. Sedangkan faktor pemungkin merupakan karakteristik lingkungan yang memfasilitasi tindakan dan keterampilan atau sumber yang dibutuhkan untuk mencapai perilaku tertentu yang meliputi aksesibilitas, ketersediaan fasilitas, dll. Morton dan Farhat, 2010 dalam Dewi, (2012) menyatakan bahwa teman sebaya mempunyai kontribusi sangat dominan dari aspek pengaruh dan percontohan (modelling) dalam berperilaku seksual remaja dengan pasangannya. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwarni (2009) yang menyatakan bahwa pengaruh teman sebaya terbukti menjadi yang paling dominan dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja baik langsung dan tidak langsung. Selain dari teman sebaya, remaja dapat belajar tentang seksualitas dari observasi yang digambarkan oleh media. Pesan tersembunyi dalam media yang merangsang birahi akan menjadi kuat manakala peserta menjadi tertarik, digambarkan sebagai hal yang penuh kekuatan, disuguhi beberapa jalan alternatif tindakan atau menghadirkan karakter yang mengidentifikasi sebagai remaja (Bandura, 1997; Tonburg & Lin 2002 dalam Dewi, 2012). Paparan pornografi dan efeknya pada remaja merupakan masalah serius karena dapat berdampak pada masalah kesehatan reproduksi remaja seperti kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, infeksi menular seksual dan HIV-AIDS
(Supriati et al., 2009).
Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa media yang sering
7
digunakan untuk melihat konten pornografi antara lain yaitu internet dan handphone (Mariani & Bachtiar, 2010). Hasil penelitian L’Engle et al. (2004) menunjukkan bahwa remaja yang lebih banyak terpapar konten seksual di media, mempunyai keinginan yang lebih besar untuk melakukan hubungan seksual. Dalam hal ini media lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor sosial seperti keluarga, sekolah, teman sebaya dan agama. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mariani & Bachtiar (2010) yang mengungkapkan bahwa hasil penelitiannya tidak menunjukkan bukti yang kuat adanya hubungan sebab akibat antara paparan pornografi dengan perilaku seksual siswa. Berdasarkan hasil wawancara saat studi pendahuluan pada bulan Januari 2014 kepada salah satu guru di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Subang serta guru Bimbingan dan Konseling (BK) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tunas Bangsa kabupaten Subang, diperoleh informasi bahwa perilaku berpacaran siswa saat ini memang cukup mengkhawatirkan, mereka sudah tidak segan-segan lagi berpegangan tangan dan berangkulan di depan umum (khalayak ramai). Menurut keterangan guru BK SMK Tunas Bangsa, setiap tahunnya memang selalu ada beberapa siswi yang terpaksa dikeluarkan dari sekolah sebagai konsekuensi dari perilaku seksual tersebut, bahkan pada tahun 2013, jumlah siswi yang dikeluarkan meningkat seratus persen dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu mencapai tujuh siswi. Hasil pendekatan dengan dua orang siswa laki-laki didapatkan informasi bahwa mereka pernah melihat konten pornograpi bersama teman melalui handphone dan Internet. Saat ini di kabupaten
8
Subang tercatat 634 warga yang terjangkit HIV-AIDS, sebagian diantaranya juga para remaja yang masih berstatus pelajar (Zakaria, 2012). Dengan semakin meningkatnya jumlah remaja dan diikuti permasalahan remaja yang sangat kompleks, terutama yang paling menonjol adalah masalah perilaku seksual remaja, yang merupakan awal terjadinya permasalahan kesehatan reproduksi remaja, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang peran teman sebaya dan paparan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja di SMK Tunas Bangsa kabupaten Subang. Pemilihan lokasi ini karena berdasarkan informasi yang diperoleh saat studi pendahuluan, bahwa perilaku berpacaran siswa-siswi SMK ini cukup mengkhawatirkan dibandingkan dengan Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan lainnya.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan antara peran teman sebaya dan paparan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja di SMK Tunas Bangsa kabupaten Subang?”
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan antara peran teman sebaya dengan perilaku seksual remaja di SMK Tunas Bangsa kabupaten Subang. 2. Untuk mengetahui hubungan antara paparan media pornografi dengan perilaku seksual remaja di SMK Tunas Bangsa kabupaten Subang.
9
3. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk: 1. Bagi Dinas Kesehatan Sebagai informasi data yang dapat dijadikan acuan untuk pembentukan dan meningkatkan program-program promosi kesehatan, pendidikan kesehatan dan konseling kesehatan reproduksi remaja di wilayah kabupaten Subang. 2. Bagi Dinas Pendidikan Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memasukkan program kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan dasar. 3. Bagi Pihak Sekolah Dapat memberikan gambaran tentang kesehatan reproduksi remaja, khususnya tentang perilaku seksual remaja dan dapat meningkatkan pengawasan serta pendidikan moral pada siswa-siswinya.
E. Keaslian Penelitian 1. Cecilia et al. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul Consumption of Pornographic Material in Early Adolescents in Hongkong. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perubahan-perubahan dalam jangka panjang terhadap konsumsi pornografi dan terkait hubungannya dengan psikososial diantara remaja awal di Hongkong. Desain dalam penelitian ini adalah kohort
10
prospektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa internet adalah media yang paling umum digunakan untuk mengkonsumsi bahan pornografi. Anak laki-laki lebih banyak mengkonsumsi materi pornografi dibandingkan dengan anak perempuan. Studi ini menyoroti pentingnya mengembangkan kompetensi remaja dan membangun suasana yang dapat mengurangi penggunaan bahan pornografi di kalangan remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah terletak pada desain penelitian. 2. Banun et al. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Semester V STIKes X Jakarta Timur 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa semester V STIKes X Jakarta Timur 2012. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2012 s/d Januari 2013 dengan responden sebanyak 261 orang yang diambil secara simple random sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa semester V STIKes X Jakarta Timur meliputi tempat tinggal (p-value 0,05%), keharmonisan keluarga (p-value 0,04) dan gaya hidup (p-value 0,001). Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada fokus penelitian dan sampel penelitian pada remaja SMK. 3. Dewi. (2012), dalam penelitiannya tentang Hubungan Karakteristik Remaja, Peran Teman Sebaya dan Paparan Pornografi dengan Perilaku Seksual Remaja di Kelurahan Pasir Gunung Selatan Depok. Penelitian ini bertujuan untuk
11
mengidentifikasi hubungan karakteristik remaja, peran teman sebaya dan paparan pornografi terhadap perilaku seksual remaja. Desain penelitian ini deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional, dengan jumlah sampel 280 remaja berusia 14 sampai 18 tahun . Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur pertama berpacaran, frekuensi pacaran, norma agama, norma keluarga, pengaruh teman sebaya dan media massa internet dengan perilaku seksual remaja (p<0,05). Selain jenis kelamin yang paling dominan, faktor lain yang berhubungan adalah norma agama, pengaruh teman sebaya, sumber informasi dan media massa. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah terletak pada usia responden, tempat penelitian di SMK dan variabel luarnya. 4. Mariani & Bachtiar. (2010), dalam penelitiannya tentang Keterpaparan Materi Pornografi terhadap Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang epidemi (wabah) pornografi pada anak sekolah. Penelitian ini menggunakan metode survei dan alat ukurnya adalah kuesioner. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 1415 responden yang terdiri dari siswa kelas 7-9 di empat SMP Negeri di kota Mataram. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sekitar 92% siswa telah terpapar pada materi pornografi. Proporsi siswa yang terpapar pada pornografi berbeda antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan. Media yang paling sering digunakan untuk melihat konten pornografi adalah telepon genggam (handphone). Awal pemaparan pornografi pada siswa SMP dimulai pada kelas 5 SD, dengan indikasi kuat semakin hari semakin dini terjadi
12
pemaparan. Perilaku seksual siswa SMPN menunjukkan bahwa 14% siswa telah melakukan mastrubasi, 45% siswa telah berpacaran dan 13% siswa pernah berciuman mulut. Tidak ada responden yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Pola perbedaan perilaku seksual (mastrubasi, berpacaran, atau berciuman mulut) antar tingkatan kelas mengikuti pola perbedaan keterpaparan pornografi. Proporsi siswa yang berpacaran lebih tinggi pada siswa perempuan daripada siswa laki-laki. Penelitian ini tidak menunjukkan bukti yang kuat adanya hubungan sebab akibat antar pemaparan pornografi dengan perilaku seksual siswa. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada fokus penelitian dan subyek penelitiannya. 5. Supriati & Fikawati. (2009), dalam penelitiannya tentang Efek Paparan Pornografi Pada Remaja SMP Negeri Kota Pontianak Tahun 2008. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis paparan pornografi, efek yang terjadi serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efek paparan pornografi pada remaja. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 83,3% remaja SMPN di Pontianak telah terpapar pornografi dan 79,5% sudah mengalami efek paparan. Dari responden yang mengalami paparan, 19,8% berada pada tahap adiksi. Dari responden yang adiksi 69,2% berada pada tahap eskalasi, dan dari responden yang eskalasi 61,1% berada pada tahap desensitisasi. Tahap act out telah dialami oleh 31,8% remaja yang berada pada tahap desensitisasi. Faktor dominan yang mempengaruhi efek paparan pornografi adalah jenis kelamin (laki-laki), Kelas (tiga),
waktu keterpaparan (baru) dan frekuensi paparan
13
(sering). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor paling dominan yang berhubungan dengan efek paparan adalah frekuensi paparan (sering) dengan Odds Ratio 5,02 (95% CI: 1,39-18,09). Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada fokus penelitian atau variabel penelitian, dan responden yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah remaja SMK. 6. Suwarni. (2009), dalam penelitiaannya tentang Monitoring Parental dan Perilaku Teman Sebaya terhadap Perilaku Seksual Remaja SMA di Kota Pontianak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari pemantauan orang tua dan pengaruh teman sebaya dengan sikap seksual remaja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, dengan sampel sebanyak 348 siswa dari 50 SMA di Pontianak. Hasil penelitian ini menemukan adanya dampak langsung (10,6%) dan dampak tidak langsung (9,28%) dari pemantauan orang tua terhadap perilaku seksual remaja. Pengaruh teman sebaya terbukti menjadi yang paling dominan dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja baik langsung (20,2%) dan tidak langsung (14,24%). Pemantauan orang tua dalam penelitian ini memiliki dampak lebih lemah untuk perilaku seksual remaja daripada pengaruh teman sebaya. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada fokus penelitian. 7. Suryoputro et al. (2006), dalam penelitiannya tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja dan kebutuhan akan layanannya, dalam
14
rangka memberikan arahan kebijakan untuk meningkatkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja. Jenis penelitian menggunakan explanatory research (penelitian penjelasan) dengan pendekatan cross sectional dengan melibatkan 2000 sampel remaja perkotaan usia 18-24 tahun yang berasal dari dua latar belakang sosial demografi yang berbeda di Propinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data menggunakan metode survei (wawancara dan angket/self administered). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum pola risiko terhadap kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini diantaranya berhubungan dengan adanya karakter budaya di Jawa Tengah yang positif. Penelitian ini juga menunjukan bahwa faktor percaya diri merupakan faktor pengaruh yang paling kuat terhadap perilaku seksual remaja. Pengembangan kebijakan dan program yang mendatang seyogyanya ditunjukkan untuk mempertahankan nilai dan norma yang positif dari remaja, dengan meningkatkan rasa percaya diri mereka melalui layanan dan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang berbasis pada sekolah. Perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada fokus penelitian dan tempat penelitian. 8. Le et al. (2004), dalam penelitiannya The role of peer, parent, and culture in risky sexual behavior for Cambodian and Lao/mien adolescents. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki peran antara usia, jenis kelamin, teman sebaya, keluarga dan budaya dalam perilaku seksual berisiko pada remaja di Kamboja dan Laos. Metode dalam penelitian ini menggunakan cross sectional, dengan sampel terdiri dari remaja-remaja yang direkrut dari 2 sekolah
15
sebanyak 179 responden, sebagian besar remaja Kamboja (112 responden). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia remaja, peran orang tua, peran teman sebaya dan budaya berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku seksual berisiko pada remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada variabel, dan tempat penelitian. 9. L’Engle et al. (2004). Dalam penelitiannya tentang The mass media are an important context for adolescents sexual behavior. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan pengaruh media massa (televisi, musik, film, majalah) terhadap niat/keinginan dan perilaku seksual remaja dalam konteks sosialisasi lainnya termasuk keluarga, agama, sekolah dan teman sebaya. Metode penelitian ini adalah survei pada 1011 remaja kulit hitam dan kulit putih dari 14 sekolah menengah Southeastern Amerika Serikat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang lebih banyak terpapar konten seksual di media, mempunyai keinginan yang lebih besar untuk melakukan hubungan seksual. Dalam hal ini media lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor sosial seperti keluarga, sekolah, teman sebaya dan agama. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada desain penelitiannya.