BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Program Keluarga Berencana (KB) International Conference on Population and Development (ICPD) pada tahun 1994 di Kairo telah merubah paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan, yang semula berorientasi kepada penurunan fertilitas (manusia sebagai obyek) menjadi pengutamaan kesehatan reproduksi perorangan dengan menghormati hak reproduksi setiap individu (manusia sebagai subyek). Program keluarga berencana memiliki makna yang sangat strategis, komprehensif dan fundamental dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera. UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyebutkan bahwa keluarga berencana adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Terdapat tiga indikator tambahan yang berkaitan dengan KB dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 target KB (Akses Universal terhadap Kesehatan Reproduksi) yang diharapkan akan memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kesehatan ibu. Indikator tersebut adalah Contraceptive Prevalence Rate (CPR), Age Specific Fertility Rate (ASFR), dan unmet need. Target nasional indikator tersebut pada tahun 2015 adalah CPR sebesar 65%, ASFR usia 15-19 tahun sebesar 30/1000
13
perempuan usia 15-19 tahun dan unmet need 5%. (Pusat data dan informasi kementerian kesehatan, 2013) Program keluarga berencana dilaksanakan atas dasar suka- rela serta tidak bertentangan dengan agama, kepercayaan dan moral Pancasila. Dengan demikian maka bimbingan, pendidikan serta pengarahan amat diperlukan agar masyarakat dengan kesadarannya sendiri dapat menghargai dan, menerima pola keluarga kecil sebagai salah satu langkah utama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu pelaksanaan program keluarga berencana tidak hanya menyangkut masalah tehnis medis semata-mata, melainkan meliputi ber-bagai segi penting lainnya dalam tata hidup dan kehidupan masyarakat.
2.2. Tujuan Program Keluarga Berencana (KB) Kebijakan Keluarga Berencana (KB) bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui usaha penurunan tingkat kelahiran. Kebijakan KB ini bersama-sama dengan usaha-usaha pembangunan yang lain selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Upaya menurunkan tingkat kelahiran dilakukan dengan mengajak pasangan usia subur (PUS) untuk berkeluarga berencana. Sementara itu penduduk yang belum memasuki usia subur (Pra-PUS) diberikan pemahaman dan pengertian mengenai keluarga berencana. Untuk menunjang dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan KB telah ditetapkan beberapa kebijakan, yaitu perluasan jangkauan, pembinaan terhadap peserta KB agar secara terus menerus memakai alat kontrasepsi,
pelembagaan dan pembudayaan NKKBSserta peningkatan keterpaduan pelaksanaan keluarga berencana. Hartanto (2004) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan KB yaitu mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) penggarapan KB diarahkan pada dua bentuk sasaran, yaitu : 1) sasaran langsung, yakni Pasangan Usia Subur (PUS) usia 15 – 49 tahun, dengan jalan mereka secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari, sehingga memberi efek langsung penurunan fertilitas dan 2) sasaran tidak langsung, yaitu organisasi-organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan,
instansi-instansi
pemerintah
maupun
swasta,
tokoh-tokoh
masyarakat (alim ulama, wanita dan pemuda) yang diharapkan dapat memberikan dukungannya dalam pelembagaan NKKBS.
2.3. Visi dan Misi Keluarga Berencana (KB) Visi KB berdasarkan paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional adalah untuk mewujudkan ”Keluarga berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggungjawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Visi “Keluarga berkualitas 2015” dijabarkan dalam salah satu misinya kedalam peningkatan kualitas pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (BKKBN, 2007).
2.4. Sasaran Program Keluarga Berencana (KB) Sasaran program KB dibagi menjadi 2 yaitu sasaran langsung dan sasaran tidak langsung, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Sasaran langsungnya adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran dengan cara penggunaan kontrasepsi secara berkelanjutan. Sedangkan sasaran tidak langsungnya adalah pelaksana dan pengelola KB, dengan tujuan menurunkan tingkat kelahiran melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang berkualitas, keluarga sejahtera (Diah, 2012).
2.5. Kontrasepsi Kontrasepsi berasal dari kata Kontra yang berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang
mengakibatkan
kehamilan,
Maksud
dari
kontrasepsi
adalah
menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur matang dengan sel sperma tersebut (Prawirohardjo,2012). 2.5.1. Cara Kerja Kontrasepsi Umumnya mempunyai fungsi sebagai berikut : 1.
Mengusahakan agar tidak terjadi evolusi
2.
Melumpuhkan sperma
3.
Menghalangi pertumbuhan sel telur
2.5.2. Metode Kontrasepsi Pada umumnya metode kontrasepsi dapat dibagi menjadi : 1. Metode efektif jangka panjang
2.
3.
a.
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
b.
Implan/susuk KB
c.
Kontrasepsi Mantap
d.
Metode Operasi Wanita (MOW / Tubektomi)
e.
Metode operasi Pria (MOP / Vasektomi)
Metode Efektif a.
Pil KB
b.
Suntik KB
Metode Sederhana a.
b.
Dengan Obat 1.
Kondom
2.
Diafragma
3.
Krim, Jelli dan cairan berbusa
4.
Tablet berbusa (Vaginal tablet)
5.
Intravag (Tissue KB)
Tanpa Alat / Obat 1.
Seggama terputus
2.6. Implan Implan yang hanya mengandung progestin merupakan kontrasepsi baru pertama tersedia di Amerika Serikat, sejak kontrasepsi oral diperkenalkan dan IUD ditemukan pada tahun 1960-an. Norplant merupakan suatu sistem “lepaslambat” yang menggunakan pipa silatic yang permeabel terhadap molekul steroid, untuk memberikan kadar progestin sintetik yang stabil didalam sirkulasi selama penggunaan bertahun-tahun (Speroff dan Darney, 2005). Sistem ini semuanya terbuat dari polimer yang tidak terurai secara hayati, misalnya polidemetil siloksan atau polietilen vinil asetat, dengan progestogen aktif terkandung di bagian tengah kapsul atau tersebar merata di batang polimer. Implan memiliki durasi kerja yang sangat panjang (1 sampai 5 tahun) dan efektivitas kontrasepsi yang sangat tinggi tanpa memerlukan tindakan dari pihak pemakai. Pemasangan dan pengeluaran implan memerlukan operasi kecil di bawah anestesia lokal dan biasanya implan dimasukkan tepat di bawah kulit lengan atas, sistem tersebut dapat dipalpasi untuk pengeluarannya tetapi tidak terlalu jelas bila diinspeksi. Implan menghasilkan kadar steroid kontrasepsi yang rendah dan konstan dalam darah, melalui difusi dari batang atau kapsul secara terus-menerus, yang menurun secara perlahan sepanjang usia alat tersebut. Implan dapat dikeluarkan apabila diperlukan dan kesuburan akan pulih dengan cepat (Glasier dan Ailsa, 2006). Alat kontrasepsi yang disisipkan dibawah kulit lengan atas sebelah dalam berbentuk kapsul silastik (lentur) panjangnya sedikit lebih pendek dari pada batang korek api dan dalam setiap batang mengandung hormon levonorgestrel yang dapat
mencegah terjadinya kehamilan (BKKBN, 2006). Kontrasepsi implan merupakan kontrasepsi yang berbentuk batang kecil yang mengandung hormon progestin. Setelah bidan mematikan rasa di kulit dengan menggunakan anastetik, kemudian alat seperti jarum (trocar) digunakan untuk menempatkan implan di bawah kulit pada lengan bagian atas. Pemasangan implan tidak memerlukan jahitan pada kulit. Secara perlahan, implan akan melepaskan progestin ke dalam aliran darah. 2.6.1. Macam-macam Kontrasepsi Implan Menurut Saifuddin (2003), jenis-jenis kontrasepsi implan adalah sebagai berikut: 1. Norplant terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3,4cm dengan diameter 2,4 mm, yang berisi dengan 36 mg levonorgestrel danlama kerjanya 5 tahun. 2. Implanon terdiri dari 1 batang putih lentur dengan panjang kira-kira 40mm, dan diameter 2 mm, yang berisi dengan 68 mg 3 keto desogestrel dan lama kerjanya 3 tahun. 3. Jadelle dan Indoplan terdiri dari 2 batang yang berisi dengan 75 mglevonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun. 2.6.2. Mekanisme Kerja Kecepatan pelepasan kapsul ditentukan oleh daerah permukaan total dan ketebalan dinding kapsul. Levonorgestrel berdifusi melalui dinding pipa ke dalam jaringan di sekitarnya, tempat levonorgestrel diabsorpsi oleh sistem sirkulasi dan secara sistematis didistribusi, menghindari kadar awal yang tinggi di dalam sirkulasi
seperti yang terjadi pada steroid yang diberikan per oral atau suntikan. Dalam 24 jam setelah penyisipan, konsentrasi levonorgestrel dalam plasma berkisar antara 0,4 sampai 0,5 ng/mL, cukup tinggi untuk mencegah konsepsi. Kapsul melepas kira-kira 80 µg levonorgestrel per 24 jam selama 6-12 bulan pertama penggunaan. Angka ini menurun secara bertahap sampai 50 µg setiap hari pada 9 bula sisa, dan 30 µg per hari selama hari-hari penggunaan yang tersisa. Sejumlah 80 µg hormon yang dilepas oleh implan selama beberapa bulan pertama penggunaan adalah kira-kira sama dengan dosis harian levonorgestrel yang diberikan oleh kontrasepsi oral pil mini yang hanya mengandung progestin, dan 25%-50% dosis yang diberikan oleh kontrasepsi oral kombinasi dosis rendah. Mean konsentrasi plasma di bawah 0,20 ng/mL berkaitan dengan angka kehamilan yang meningkat. Setelah digunakan selama 6 bulan, konsentrasi harian levonorgestrel adalah kira-kira sebesar 0,35 ng/mL, setelah digunakan selama 2,5 tahun, kadar menurun menjadi 0,25-0,35 ng/mL. Sampai penggunaan tahun ke lima, kadar mean bertahan diatas 0,25 ng/mL. Menurut Medforth dan Susan, (2012), ada tiga model kerja yang mungkin berlangsung, yang serupa dengan model kerja yang menyebabkan efek kontraseptif pada pil yang hanya mengandung progestin, pil mini. 1.
Levonorgestrel menyebabkan supresi terhadap lonjakan hormon luteinisasi(LH, luteinizing hormone), baik pada hipotalamus maupun hipofisis, yangpenting untuk ovulasi. Sebagaimana ditentukan oleh kadar progesteron banyak pengguna selama bertahun-tahun, kira-kira sepertiga dari semua siklus merupakan siklus
ovulatorik. Pada 2 tahun pertama penggunaan, hanya sekitar 10% wanita mengalami ovulasi, tetapi per 5 tahun penggunaan, lebih dari 505 wanita mengalami ovulasi. 2.
Kadar
levonorgestrel
yang
konstan
mempunyai
efek
nyata
terhadap
mukusserviks. Mukus tersebut menebal jumlahnya menurun, yang membentuk sawar untuk penetrasi sperma. Levonorgestrel menyebabkan supresi terhadap maturasi siklik endometrium yang diinduksi estradiol, dan akhirnya menyebabkan atrofi. Perubahan ini dapat mencegah implantasi sekalipun terjadi fertilisasi, meskipun demikian tidak ada bukti mengenai fertilisasi yang dapat dideteksi pada pengguna Norplant. 2.6.3. Keuntungan dan Kerugian Merupakan metode kontrasepsi berkesinambungan yang aman dan sangat efektif, yang membutuhkan hanya sedikit upaya atau motivasi dari pengguna dan tidak seperti kontrasepsi yang dapat disuntikkan, bersifat cepat reversibel. Karena merupakan metode yang hanya mengandung progestin, dapat digunakan oleh wanita yang mempunyai kontraindikasi untuk kontrasepsi oral yang mengandung estrogen. Dosis rendah progestin yang dihantarkan oleh bahan-bahan yang dapat disuntikkan, serta mencegah ledakan hormon harian yang terkait dengan kontrasepsi oral. Norplant bukan merupakan metode kontrasepsi yang berhubungan dengan senggama. Efektifitas penggunaan sangat mendekati efektivitas teoritis. Implan merupakan pilihan yang sangat baik bagi wanita yang menyusui (tidak ada efek terhadap menyusui) dan dapat disisipkan segera Postpartum (Medforth dan Susan, 2012).
Ada beberapa kerugian yang berhubungan dengan penggunaan sistem Implan antara lain: 1.
Norplant
menyebabkan
kekacauan
dalam
pola
perdarahan
hingga
80%pengguna,terutama selama tahun pertama penggunaan, dan beberapawanita atau pasangannya tidak dapat menerima perubahan ini. Estrogenendogen hampir normal, dan tidak seperti kontrasepsi oral kombinasi,progestin tidak secara teratur diputus untuk memungkinkan pengelupasanendometrium. Akibatnya, pengelupasan endometrium terjadi pada intervalyang tidak dapat diramalkan. 2.
Implan harus dipasang (disisipkan) dan diangkat melalui prosedur pembedahan yang dilakukan oleh personel terlatih. Wanita tidak dapat memulai atau menghentikan metode tersebut tanpa bantuan klinis. Insidenpengangkatan yang mengalami komplikasi adalah kira-kira 5%, suatuinsiden yang dapat dikurangi paling dikurangi paling baik dengan carapelatihan yang baik dan pengalaman dalam menyisipkan Norplant.
3.
Karena penyisipan dan pengangkatan Implan membutuhkan prosedurbedah minor, biaya pemulaian dan penghentian akan lebih tinggidibandingkan dengan kontrasepsi oral atau metode perintang.
4.
Implan dapat dilihat dibawah kulit. “Tanda bukti” penggunaan kontrasepsiini mungkin tidak dapat diterima oleh sebagian wanita, dan oleh beberapapasangan.
5.
Norplant tidak diketahui memberikan perlindungan terhadap penyakit menular seksual seperti herpes, papilomavirus manusia, HIV, gonore, atau klamidia. Pengguna
yang
beresiko
menderita
penyakit
menular
seksual
harus
mempertimbangan untuk menambahkan metode perintang gunamencegah infeksi. 2.6.4. Efek Samping dan Komplikasi Implan Efek samping yang serius sangat jarang terjadi, tanpa ada perbedaan insiden dengan populasi umum. Di samping perubahan haid, nyeri kepala, jerawat, perubahan berat badan, mastalgia, hiperpigmentasi di atas tempat implan, hirsutisme, depresi, perubahan mood, cemas, tegang, pembentukan kista ovarium, dan galaktore. Sulit untuk memastikan efek-efek ini disebabkan oleh levonorgestrel. Walaupun pada dasarnya ringan, tetapi sebagian besar efek samping ini dapat menyebabkan pasien menghentikan pemakaian. Sebagian besar efek samping yang dialami oleh pengguna adalah nyeri kepala, kira-kira 20% wanita menghentikan penggunaan karena nyeri kepala (Medforth dan Susan, 2012). 1.
Perubahan berat badan Wanita yang menggunakan implan lebih sering mengeluhkan peningkatan berat badan dibandingkan penurunan berat badan, tetapi temuan yang ada bervariasi. Di Republik Dominica, 75% wanita mengalami penurunan berat badan, sementara di San Fransisco, dua pertiga wanita mengalami peningkatan berat badan. Penilaian perubahan berat badan pada diet dan penuaan. Walaupun peningkatan nafsu makan dapat dihubungkan dengan aktivitas androgenik levonorgestrel, kadar rendah implan tidak mempunyai dampak klinis apapun.
2.
Mastalgia Mastalgia bilateral, yang sering terjadi sebelum haid, biasanya dikaitkan dengan keluhan retensi cairan. Penenteraman hati dan terapi yang ditujukan bagi kelegaan simtomatis dianjurkan setelah kehamilan disingkirkan. Gejala ini berkurang seiring meningkatnya durasi penggunaan implan.
3.
Galaktore Galaktore lebih sering ditemukan pada wanita yang melakukan penyisipan implan pada penghentian laktasi. Kehamilan dan penyebab yang lain mungkin harus disingkirkan dengan melakukan uji kehamilan dan melalui pemeriksaan payudara. Pasien harus diyakinkan bahwa hal ini merupakan kejadian yang umum diantara pengguna implan dan kontrasepsi oral. Mengurangi jumlah stimulasi pada payudara dan puting selama hubungan seksual mungkin dapat mengurangi gejala, tetapi jika amenore menyertai suatu galaktore yang menetap, pemeriksaan kadar prolaktin harus dilakukan.
4.
Jerawat Jerawat dengan atau tanpa peningkatan produksi minyak, merupakan keluhan kulit yang paling umum diantara pengguna implan. Jerawat disebabkan oleh aktivitas androgenik levonorgestrel yang menghasilkan suatu dampak langsung dan juga menyebabkan penurunan dalam kadar globulin pengikat hormon seks (SHBG, sex hormone binding globulin), menyebabkan peningkatan kadar steroid bebas (baik levonorgestrel maupun testosteron). Hal ini berbeda dengan kontrasepsi oral kombinasi yang mengandung levonorgestrel, yang efek estrogen
pada kadar SHBG nya (suatu peningkatan) menghasilkan penurunan dalam androgen bebas yang tidak berikatan. Terapi umum untuk keluhan jerawat mencakup pengubahan makanan, praktik higiene kulit, dan pemberian antibiotik topikal (misalnya larutan atau gel klindamisin 1% atau reitromisin topikal). Penggunaan antibiotik lokal membantu sebagian besar pengguna untuk terus menggunakan implan. 5.
Kista ovarium Tidak seperti kontrasepsi oral, kadar progestin yang rendah di dalam serum yang dipertahankan oleh implan tidak mensupresi FSH yang terus menstimulasi pertumbuhan folikel ovarium pada sebagian besar pengguna. Di sisi lain, puncak LH pada dua tahun pertama penggunaan biasanya hilang sehingga folikel ini tidak mengalami ovulasi. Meskipun demikian, beberapa folikel tetap melangsungkan pertumbuhan dan menyebabkan nyeri, atau dapat dipalpasi pada saat pemeriksaan panggul. Masa adneksa kira-kira 8 kali lebih sering ditemukan pada pengguna implan dibandingkan dengan wanita yang mempunyai siklus normal. Karena kista ini merupakan kista sederhana dan sebagian besar mengalami regresi spontan dalam satu bulan deteksi, tidak perlu dilakukan pemeriksaan sonografi atau laparaskopi. Evakuasi lebih lanjut diindikasikan jika kista menjadi lebih besar dan nyeri atau gagal mengalami regresi. Wanita yang berevolusi teratur lebih jarang membentuk kista, sehingga keadaan ini cenderung membaik setelah dua tahun penggunaan implan.
6.
Herpes simpleks Beberapa pengguna telah mengeluhkan kemunculan lesi herpes simpleks genital dalam frekuensi yang lebih sering, dibandingkan dengan sebelum penyisipan. Lesi paling sering timbul dalam periode spotting atau perdarahan yang memanjang dengan pemakaian pembalutg)
7.
Kanker Efek karsinogenik levonorgestrel dan silstic telah dievaluasi secara menyeluruh pada hewan dan manusia, dan tidak ada satu pun yang ditemukan. Evaluasi epidemiologik masih menunggu penggunaan jangka panjang oleh sejumlah besar wanita. Kita dapat berspekulasi mengenaiefek yang mungkin dapat disebabkan oleh implan berdasarkan pengalaman kita dengan kontrasepsi oral dan depoprover. Resiko kanker endometrium seharusnya berkurang. Penelitian mengenai efek implan terhadap endometrium gagal menemukan bukti adanya hiperplasia, bahkan pada kadar levonogestrel yang rendah dan produksi estradiol endogen normal. Resiko kanker ovarium juga mungkin berkurang, tetapi tidak sebesar pengurangan yang terjadi pada metode yang pensupresian ovulasinya berlangsung sempurna. Efek berupa kanker payudara dan kanker serviks akan sama sulitnya dinilai karena variabel yang membingungkan, sebagaimna pada kontrasepsi oral dan depo provera. Meskipun demikian, dosis rendah implan cenderung tidak memberikan efek berbeda dari kontrasepsi hormonal lain. Masa pakai implan 5 tahun, dipasang pada hari 1-7 haid, nifas, pasca abortus. Kontraindikasinya antara lain: hamil atau diduga hamil, perdarahan melalui
vagina yang tidak diketahui sebabnya, tumor atau keganasan, penyakit jantung, penyakit hati, darah tinggi, dan kencing manis. Kembali kesuburan 90% dalam setahun (BKKBN,1991). Sedangkan menurut Baziad (2008), kontraindikasinya adalah: sersivitis, endometritis, mioma submukosum, erdarahan vagina yang belum jelas asalnya, anomalia uterus, keehamilan, uterus yang sulit digerakkan, radang panggul, dan riwayat kehamilan ektopik dan indikasinya terutama pada wanita dengan nyeri haid atau bagi wanita yang haidnya banyak. Meskipun kadar progesteron yang berada didalam darah jumlahnya sangat kecil, pada penggunaan jangka panjang tetap saja terjadi peningkatan kadar gula dan kadar insulin, sehingga perlu hati-hati pemberiannya pada wanita yang toleransi gula darah yang terganggu. Indikasi pencabutan setelah batas waktunya habis, atas permintaan yang disebabkan ada keluhan, keinginan hamil lagi, dan timbulnya banyak efek samping (Baziad, 2008). Pola perdarahan haid sangat bervariasi di antara pengguna implan. Sejumlah perubahan dalam pola haid akan terjadi pada tahun pertama penggunaan, pada kira-kira 80% pengguna. Perubahan tersebut meliputi perubahan pada interval antar perdarahan, durasi dan volume aliran haid, serta spotting (bercak-bercak perdarahan). Oligomenore dan amenore juga terjadi, tetapi tidak sering, kurang dari 10% setelah tahun pertama. Perdarahan tidak teratur dan memanjang biasanya terjadi pada tahun pertama. Walaupun terjadi jauh lebih jarang setelah
tahun kedua, masalah perdarahan dapat terjadi pada waktu kapanpun (Speroff dan darney, 2005). Pada penyisipan implan bisa terjadi infeksi, pembentukan hematoma, iritasi lokal atua ruam di atas implan, keluarnya salah satu implan taua lebih, dan reaksi alergi terhadap plester atau balutan. Insiden komplikasi dapat diminimalisasi dengan pelatihan dan pengalaman klinisi serta penerapan teknik yang benarbenar aseptik (Speroff dan Darney, 2005).
2.7. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hambatan dalam Penggunaan Kontrasepsi Implan Banyak ibu lebih memilih kontrasepsi non MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) dari pada kontrasepsi Implan yang efektifitasnya lebih tinggi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hambatan dalam penggunaan kontrasepsi Implan, antara lain : 2.7.1. Umur Umur adalah usia individu yang terpenting mulai saat di lahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang bertambah dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seorang yang lebih dewasa akan lebih di percaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Azwar, 2009).
Menurut Hanafi (2004), dalam program KB Nasional untuk menyelamatkan ibu dan anak akan melahirkan pada usia muda dan melahirkan pada usia tua, maka ditempuh kebijaksanaan yang dikategorikan dalam 3 fase yaitu : a. Fase menunda atau mencegah kahamilan bagi pasangan usia subur dengan istri berumur < 20 tahun, dianjurkan untuk menunda kehamilannya. b. Fase menjarangkan kehamilannya bagi pasangan usia subur dengan istri berumur 20 – 35 tahun yang merupakan masa paling baik untuk melahirkan dengan jumlah anak 2 orang dan jarak kelahiran antara 2 sampai 4 tahun. c. Fase menghentikan/mengakhiri kehamilan bagi pasangan usia subur dengan istri berumur >35 tahun, dianjurkan untuk mengakhiri kehamilan setelah mempunyai 2 orang anak. Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam pemakaian alat kontrasepsi. Wanita berumur muda mempunyai peluang lebih kecil untuk menggunakan metode MKJP dibandingkan dengan yang tua. Periode umur wanita di atas 30 tahun sebaiknya mengakhiri kehamilan setelah mempunyai 2 orang anak. Penelitian Fienalia (2011) memperlihatkan ada hubungan secara signifikan antara umur ibu dengan penggunaann metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) dengan p value 0.007. Reponden yang berumur > 30 tahun memiliki peluang sebesar 2,5 kali lebih besar untuk menggunakan MKJP. Uji logistik pengaruh umur responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP menunjukkan nilai p= 0,005 < α= 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh umur responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP (Dewi dan Notobroto, 2013). 2.7.2. Pendidikan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Sehingga tingkat pendidikan dapat diartikan sebagai jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh seseorang. Siagian (2002) dalam Murdaningsih (2014) mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan dari seseorang ke orang lain. Seseorang yang telah menerima pendidikan yang lebih baik atau lebih tinggi biasanya akan lebih mampu berfikir secara rasional, maka dia akan lebih mudah menerima hal-hal baru yang akan dianggap menguntungkan bagi dirinya. Sebaliknya jika pendidikan seseorang itu
rendah maka dia akan lebih sulit untuk menerima hal-hal yang baru dibandingkan mereka yang berpendidikan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan minat ibu terhadap pemakaian alat kontrasepsi implant di Puskesmas Ome Kota Tidore Kepulauan 2013 menunjukkan bahwa hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pendidikan dengan pemakaian kontrasepsi implant (Susanti, 2013). 2.7.3. Pekerjaan Pekerjaan secara umum didefinisikan sebagai sebuah kegiatan aktif yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan sebuah karya bernilai imbalan dalam bentukuang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah pekerjaan dianggap sama dengan profesi (Wikipedia, 2014). Pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian masyarakat yang sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan memiliki waktu yang lebih untuk memperoleh informasi (Depkes RI, 2009). Faktor pekerjaan juga mempangaruhi pengetahuan. Seseorang yang bekerja pengetahuannya akan lebih luas dari pada seseorang yang tidak bekerja, karena dengan bekerja seseorang akan banyak mempunyai informasi. Menurut Sakernas (Notoatmodjo, 2012) jenis pekerjaan yaitu : 1. Pedagang 2. Buruh/Tani
3. PNS 4. TNI/ Polri 5. Pensiunan 6. Wiraswasta 7. IRT 2.7.4. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Secara konkritnya pendapatan keluarga berasal dari : 1. Usaha itu sendiri : misalnya berdagang, bertani, membuka usaha sebagai wiraswastawan 2. Bekerja pada orang lain: misalnya sebagai pegawai negeri atau karyawan 3. Hasil dari pemilihan: misalnya tanah yang disewakan dan lain-lain. Pendapatan bisa berupa uang maupun barang misal berupa santunan baik berupa beras, fasilitas perumahan dan lain-lain. Pada umumnya pendapatan manusia terdiri dari pendapatan nominal berupa uang dan pendapatan riil berupa barang. (Gilarso, 2008) Menurut hasil penelitian Wahyuni (2011) menjelaskan bahwa Dari Hasil uji Chi Square diperoleh nilai x2 = 24,564, p = 0,017 (0,017 < 0,05) menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur di Kelurahan Karanganyar Kabupaten Kebumen.
2.7.5. Jumlah Anak Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu. Gerakan Keluarga Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran. Nilai dan jumlah anak sangat mempengaruhi dalam mencapai terwujudnya NKKBS dimana salah satu Norma dalam NKKBS adalah norma tentang jumlah anak yang sebaiknya dimiliki yaitu 2 anak cukup, dan laki-laki atau perempuan sama saja (Fazidah, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Wahidin (2005) menunjukan adanya hubungan antara jumlah anak hidup dengan pemilihan metode kontrasepsi suntik di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu. Akseptor akan menggunakan metode kontrasepsi sebagai suatu cara untuk mengatasi kelahiran anak yang tidak diinginkan, apabila jumlah anak hidup yang dimilikinya telah cukup. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Fienalia (2011) dimana didapatkan hubungan secara signifikan antara jumlah anak hidup dengan penggunaan kontrasepsi jangka panjang, responden yang memiliki anak≥ 3 orang memiliki peluang 3,9 kali lebih besar untuk menggunakan kontrasepsi jangka panjang dibandingkan dengan yang mempunyai anak 0-2 orang. 2.7.6. Jumlah Anak yang Diinginkan Salah satu faktor yang paling mendasar mempengaruhi perilaku pemakaian kontrasepsi adalah jumlah anak yang diinginkan PUS. Jumlah anak yang diinginkan
sebetulnya bukan merupakan variabel yang langsung berhubungan dengan fertilitas, namun berhubungan dengan variabel yang mempengaruhi salah satu variabel antara, yaitu pengaturan kelahiran. Sejalan dengan konsep keluarga kecil, yang saat ini dikenal dengan pesan “dua anak lebih baik”, maka konsep jumlah anak yang diinginkan PUS akan berpengaruh terhadap tercapainya konsep keluarga kecil. (Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, 2009). Hasil uji statistik kolerasi rank spearman diperoleh gambaran bahwa ada hubungan yang signifikan antara jumlah keluarga yang diinginkan dengan pemilihan alat kontrasepsi, dengan p value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000<0,05), sehingga Ha diterima berarti menunjukan ada hubungan antara jumlah keluarga yang diinginkan dengan pemilihan alat kontrasepsi di Desa Tuwel Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal( Maula, 2014). Sejalan dengan Hartanto (2004), yang menyatakan bahwa jumlah anak yang diinginkan mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi. 2.7.7. Pengambil Keputusan Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapi dengan tegas. Pengambilan keputusan merupakan suatu pendekatan terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat (Levany, 2011). Penelitian kwalitatif tentang pengambilan keputusan pemakaian kontrasepsi pada ibu grande multipara di Kabupaten Tangerang memperlihatan bahwa proses pengambilan keputusan pemakaian kontrasepsi pada ibu grande multipara sangat
dipengaruhi oleh adanya bias gender yang ditunjukkan dengan keyakinan peran gender tradisional ibu grande multipara, kurangnya partisipasi suami dalam upaya mencegah terjadinya kehamilan, dominasi suami dalam pengambian keputusan kontrasepsi yang kurang berpihak pada perempuan, dan adanya hambatan keluarga bagi ibu grande multipara untuk memakai kontrasepsi tertentu (Juliastuty, 2008). 2.7.8. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan terbagi atas 6 (enam) tingkat, sebagai berikut: 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. 2.
Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya) 4.
Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5.
Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. 6.
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan Hasanah (2013) menunujukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan wanita pasangan usia subur dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang Di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni I Tahun 2013.
Hasil penelitian uji Chi Square didapat nilai Chi Square sebesar 11,971 dengan p-value 0,003. Oleh karena p-value = 0,003 < α (0,05) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan pemakaian kontrasepsi implant pada WUS di Desa Jimbaran, Kec.Bandungan, Kab. Semarang (Dini, 2014). 2.7.9. Norma Menurut Iswantara (2004), aturan atau ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat disebut norma, sedangkan adat istiadat adalah norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapat sanksi keras yang secara langsung dikenakan kepada pelanggaran adat tersebut. Hasil penelitian Yanti (2012) tentang pengaruh budaya akseptor KB terhadap penggunaan kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang menunjukkan budaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi IUD. Dan variabel tersebut bernilai positif menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai hubungan yang searah positif) terhadap penggunaan kontrasepsi IUD. 2.7.10. Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Akses merupakan pemanfaatan layanan kesehatan tepat waktu untuk mencapai status kesehatan yang baik dan yang paling memungkinkan. Dengan demikian, akses mengandung arti layanan kesehatan tersedia kapanpun dan dimanapun diperlukan oleh masyarakat. Hal ini meliputi keterjangkauan/jarak lokasi tempat pelayanan, jenis dan kualitas pelayanan yang yang tersedia, serta
keterjangkauan informasi. Aksesibilitas dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan, seperti jenis pelayanan, tenaga kesehatan dan jam buka. Keterjangkauan masyarakat termasuk jarak akan mempengaruhi pemilihan pelayanan kesehatan. Selain itu, jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan pengobatan (Retnaningsih, 2013). Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara jarak ke tempat pelayanan KB (p value = 0,001 dan OR sebesar 4,3), biaya penggunaan alat kontrasepsi (p value = 0,000 dan OR sebesar 2,6) dengan pengggunaan metode kontrasepsi jangka panjang di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas (Fienalia, 2012). 2.7.11. Biaya Penggunaan Kontrasepsi Hartanto (2004) mengatakan bahwa metode kontrasepsi tidak dapat dipakai istri tanpa kerja sama suami dan saling percaya. Keadaan ideal bahwa pasangan suami istri harus bersama memilih metode kontrasepsi yang terbaik, saling kerja sama dalam
pemakaian,
membayar
biaya
pengeluaran
untuk
kontrasepsi
dan
memperhatikan tanda bahaya pemakaian. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan biaya alat kontrasepsi dengan penggunaan kontrasepsi hormonal yaitu (p = 0,001, φ = 0,288). Hasil analisis dapat dilihat bahwa lebih banyak responden yang menyatakan biaya alat kontrasepsi hormonal murah, dan lebih banyak juga yang menyatakan bahwa alat kontrasepsi non hormonal mahal. (Arliana, 2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryanti (2010) yang menunjukan adanya hubungan antara biaya kontrasepsi dengan pemilihan kontrasepsi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fienalia di wilayah kerja Puskesmas Pancoranmas Kota Depok tahun 2011 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara keterjangkauan biaya kontrasepsi dengan penggunaan MKJP. 2.7.12. Dukungan Suami Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihah penerima. Sarafino (2006) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Saroson (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umunya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Pendapat Sheridan & Radmacher (1992) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan aspek- aspek informasi, perhatian
emosi, penilaian dan bantuan instrumental. Ciri- ciri setiap aspek tersebut oleh Smet (1994) dan Taylor (1995), dijelaskan sebagai berikut ; 1. Informasi dapat berupa saran- saran, nasihat dan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh korban dalam mencari jalan keluar untuk pemecahan masalahnya. 2. Perhatian emosi berupa kehangatan, kepedulian dan dapat empati yang meyakinkan korban, bahwa dirinya diperhatiakan orang lain. 3. Penilaian berupa penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu lain. 4. Bantuan instrumental berupa dukungan materi seperti benda atau barang yang dibutuhkan oleh korban dan bantuan finansial untuk biaya pengobatan, pemulihan maupun biaya hidup sehari- hari selama korban belum dapat menolong dirinya sendiri. Dukungan suami sangat diperlukan. Seperti diketahui bahwa di Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan istri adalah pedoman penting bagi si istri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau mendukung, hanya sedikit istri yang berani untuk tetap memasang alat kontrasepsi tersebut. Dukungan suami sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan atau tidak dan metode apa yang akan dipakai (Suprayatno, 2011). Dari hasil penelitian yang dilakukan Dini (2014) berdasarkan uji Chi Square didapat nilai Chi Square sebesar 8,262 dengan p-value 0,004. Oleh karena p-value = 0,004 < α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan
suami dengan pemakaian kontrasepsi implant pada WUS diDesa Jimbaran, Kec.Bandungan, Kab.Semarang. 2.7.13. Peran Petugas Kesehatan Peran merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, di mana dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2008). Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan dimana jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Uliyah, 2010). Peran tenaga kesehatan dalam merealisasikan program KB di tengah masyarakat salah satunya adalah sebagai konselor. Ketika tenaga kesehatan berperan sebagai konselor diharapkan membimbing wanita pasangan usia subur untuk mengetahui tentang KB dan membantu wanita pasangan usia subur untuk memutuskan alat kontrasepsi yang akan digunakan (Ita, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan Zuhriyah, Lailatuz, (2012) dengan judul Revitalisasi Peran Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Dalam Meningkatkan Peserta Kelurga Berencana (KB) bahwa ada hubungan yang signifikan antara peran tenaga kesehatan dalam memberikan konseling KB dengan penggunaan alat kontrasepsi.
2.7.14. Kepercayaan kepada Petugas Kesehatan Kepercayaan yaitu sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian, tanpa menunjukkan sikap pro atau anti kepercayaan. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan pembuktian terlebih dahulu. Kepercayaan dapat tumbuh bila berulang kali mendapat informasi yang sama (Notoatmodjo, 2007). Pengalaman menunjukkan, lebih sulit untuk mengubah kepercayaan kelompok dari pada kepercayaan individu, karena kepercayaan individu sifatnya lebih subjektif dan relatif, sedangkan kepercayaan kelompok memiliki intensitas yang lebih kuat karena di dukung oleh individu-individu lain yang besar jumlahnya, apalagi jika kepercayaan tersebut di dukung oleh tokoh-tokoh masyarakat (Sarwono, 2004). Dari beberapa kasus yang ada, diperoleh alasan keengganan seseorang untuk menggunakan alat kontrasepsi yaitu yang disebabkan karena takut akan efek sampingnya atau prosedurnya, hingga takut kepada tenaga medis yang menangani (BKKBN, 2012). 2.7.15. Kenyamanan terhadap Penggunaan Kontrasepsi Keuntungan menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang dapat dilihat dari sisi kenyamanan, kepraktisan, kecocokan, keamanan dan keefektifan dari alat kontrasepsi yang digunakan. Setiap orang memiliki kesibukan yang berbeda dengan orang yang lain. Tingkat aktifitas yang tinggi dengan kebutuhan yang berbeda. Lokasi, jenis pekerjaan, kepribadian, tingkat ekonomi dan mindset yang berbeda. Semua itu menunjukkan keragaman. Begitupun dalam mengikuti Keluarga Berencana
(KB), orang akan memilih alat kontrasepsi yang sesuai dengan kepribadiannya, sesuai dengan tubuhnya, dan kebutuhannya (Istantri, 2013). 2.7.16. Takut Efek Samping Menurut KBBI (2014), takut artinya merasa cepat dan mengerti terhadap sesuatu yang dianggap membahayakan; merasa gentar terhadap sesuatu yang diyakini menimbulkan bencana; segan dan hormat; tidak berani berbuat atau melakukan sesuatu; khawatir,cemas, gelisah, dan gamang. Efek samping dalam dunia kedokteran adalah suatu dampak atau pengaruh yang merugikan dan tidak diinginkan, yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau intervensi lain seperti pembedahan. Suatu pengaruh atau dampak negatif disebut sebagai efek samping ketika hal itu timbul sebagai efek sekunder dari efek terapi utamanya. Jika efek itu muncul sebagai hasil dari dosis atau prosedur yang tidak tepat maka disebut sebagai kesalahan medis (Wikepedia, 2014).
2.8. Analisis Faktor 2.8.1. Pengertian Analisis Faktor Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variabel) (Supranto, 2010).
Menurut Puwanto (2007), analisis faktor merupakan usaha penyederhanaan kerumitan dengan meringkas kerumitan yang sangat banyak unsurnya ke dalam faktor yang sederhana dan mudah dipahami. Analisis faktor merupakan analisis multivariat yang dirancang untuk meneliti sifat hubungan antara variabel-variabel dalam satu perangkat tertentu yang pada dasarnya menunjukkan pola hubungan tertentu. Menurut Suryanto (1988) dalam Purwanto (2007), analisis faktor adalah kajian tentang kesalingantergantungan antara variabel-variabel dengan tujuan untuk menemukan himpunan variabel baru yang lebih sedikit jumlahnya dari variabel semula dan menunjukkan variabel-variabel mana dari variabel semula tersebut yang merupakan faktor persekutuan. 2.8.2. Tujuan Analisis Faktor Pada dasarnya tujuan analisis faktor menurut Hardjodipuro (1988) dalam Purwanto (2007) adalah menentukan apakah satu perangkat variabel dapat digambarkan berdasarkan jumlah “dimensi” atau “faktor” yang lebih sedikit dari pada jumlah variabelnya. Selain itu untuk menemukan himpunan baru yang lebih sedikit jumlahnya dari variabel semula dan menunjukkan variabel-variabel mana dari variabel semula tersebut yang merupakan faktor persekutuan. Analisis faktor juga membantu menemukan dan mengidentifikasikan keutuhan-keutuhan atau sifat-sifat mendasar yang mendasari tes dan pengukuran. Dengan demikian tujuan analisis faktor adalah mengekplorasi wilayah variabel guna mengetahui dan menunjukkan faktor-faktor yang diduga melandasi variabel tersebut dan menguji hipotesis tentang relasi antara variabel-variabel.
2.8.3. Penggunaan Analisis Faktor Ditinjau dari penggunaannya, terdapat dua macam analisis faktor, yaitu : 1.
Analisis Faktor Eksploratori (Exploratory Factor Analysis) Analisis faktor eksploratori adalah penggunaan analisis faktor untuk
mengetahui faktor-faktor yang melandasi sehimpunan variabel atau sehimpunan ukuran. Analisis faktor eksploratori tidak menghipotesiskan adanya sejumlah faktor dari
butir-butir pengukuran variabel. Butir-butir dibiarkan membentuk polanya
sendiri dan menginformasikan ditemukannya faktor-faktor. Peneliti berusaha merangkum data dengan cara mengelompokkan variabel yang saling berinterkorelasi yang mana variabel-veriabel tersebut dipilih tanpa praduga adanya struktur dasar potensial (Purwanto, 2007). Analisis faktor ekploratori merupakan analisis awal untuk digunakan pada analisis lanjutan dari suatu rangkaian analisis dalam suatu penelitian. Dalam melakukan reduksi data atau mengurangi jumlah variabel, maka dilakukan proses analisis eksploratori untuk membuat set variabel baru, atau variabel komponen, atau faktor, atau konstruk yang menggantikan sejumlah variabel asal, atau item atau demensi penyusunnya. Analisis faktor ekploratori bersifat mengeksplor data empiris untuk menemukan dan medeteksi karakteristik dan hubungan antar variabel tanpa menentukan model pada data. Pada analisis ini peneliti tidak memiliki teori a priori untuk menyusun hipotesis. Mengingat sifatnya yang ekplorasi inilah, hasil analisis faktor ekploratori ini lemah. Hasil analisis, yang menjelaskan hubungan antar variabel semata, juga tidak didasarkan teori yang ada. Hasil analisis juga sangat
tergantung data empiris, dan jika variabel terobservasinya banyak, hasil analisis akan sulit dimaknai (Stapleton, 1997 dalam Retnawati, 2006). Biasanya analisis faktor terkait erat dengan pertanyaan tentang validitas. Ketika faktor-faktor teridentifikasi dihubungkan, analisis faktor eksploratori menjawab pertanyaan tentang validitas konstruk, apakah suatu skor mengukur apa yang seharusnya diukur (Nunally, 1978 dalam Retnawati, 2006). 2.
Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis) Analisis faktor konfirmatori adalah penggunaan analisis faktor untuk
menguji hipotesis mengenai struktur faktor dalam sehimpunan data. Analisis faktor konfirmatori menghipotesiskan telah ditemukannya sejumlah faktor dari variabel dan analisis dilakukan untuk menegaskan kemandirian faktor dan menguji kontribusi butir kepada faktor-faktornya. Selain itu analisis faktor konfirmatori menguji hipotesishipotesis mengenai struktur dasar faktor. Faktor-faktor tidak dicari tapi telah lebih dulu dihipotesiskan (Purwanto, 2007). Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk menguji model yang telah diasumsikan untuk dideskripsikan, dijelaskan untuk model data empiris dengan menggunakan parameter yang lebih sedikit dibandingkan dengan variabel terobservasi. Model yang dibangun didasarkan pada informasi a piori
tentang
struktur data dalam bentuk teori khusus atau hipotesis. Teori khusus atau hipotesis yang dibangun didasarkan pada teori yang telah ada atau hasil penelitian sebelumnya (Garson, 2006 dalam Retnawati, 2006).
2.8.4. Proses Dasar Analisis Faktor Proses utama analisis faktor meliputi hal-hal berikut : 1. Menentukan variabel apa saja yang akan di analisis. 2. Menguji variabel-variabel yang telah ditentukan, dengan metode Bartlett test of sphericity serta pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy), melakukan penyaringan terhadap sejumlah variabel, hingga didapat variabel-variabel yang memenuhi syarat untuk di analisis. 3. Proses Faktoring, proses yang mengekstrak satu atau lebih faktor dari variabelvariabel yang telah lolos pada uji variabel sebelumnya (Santoso, 2010). 2.8.5. Tahap Analisis Faktor Menurut Supranto (2004), langkah-langkah yang diperlukan dalam analisis faktor adalah : 1. Merumuskan Masalah Merumuskan
masalah
analisisfaktor
dan
mengidentifikasi/mengenali
variabel-variabel asli yang akan dianalisis faktor. Merumuskan masalah meliputi beberapa hal: a. Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi. b. Variabel yang akan dipergunakan di dalam analisis faktor harus dispesifikasi berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan dari peneliti. c. Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau rasio. d. Banyaknya elemen sampel (n) harus cukup/memadai, sebagai petunjuk kasar, kalau k sebagai banyaknya jenis variabel (atribut) maka n = 4 atau 5 kali k.
Artinya kalau variabel 5, banyaknya responden minimal 20 atau 25 orang sebagai sampel acak. 2. Membentuk Matriks Korelasi Martiks korelasi menyajikan interkorelasi antarbutir. Matriks diperlukan untuk mengetahui butir-butir yang saling berkorelasi tinggi dan rendah. Butir yang saling berkorelasi tinggi bearti mengukur dimensi yang sama dan sebaliknya (Purwanto, 2007). Agar analisis faktor bisa tepat dipergunakan, variabel-variabel yang akan dianalisis harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar-variabel terlalu kecil, hubungan lemah, analisis faktor tidak tepat. Statistik formal yang tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu bartlett’s test of sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis nol harus ditolak (berarti ada korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel). Kalau hipotesis nol diterima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan. Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur kecukupan sampling (sampling adequacy). Indeks ini membandingkan besarnya koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat. a.
Harga KMO sebesar 0,9 adalah sangat memuaskan
b.
Harga KMO sebesar 0,8 adalah memuaskan
c.
Harga KMO sebesar 0,7 adalah harga menengah
d.
Harga KMO sebesar 0,6 adalah cukup
e.
Harga KMO sebesar 0,5 adalah kurang memuaskan
f.
Harga KMO sebesar 0,4 adalah tidak dapat diterima Angka Measure of Sampling Adequacy (MSA)dihitung untuk seluruh matriks
korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada analisis faktor. a.
MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain.
b.
MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut.
c.
MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
3. Menentukan Metode Analisis Faktor Segera setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan tekhnik yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara metode yang bisa digunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk menghitung timbangan atau koefisien skor faktor, yaitu principal components analysis dan common factor analysis. Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam datayang terkandung dalam semua variabel asli dipertimbangkan. Principal component analysis direkomendasikan kalau tujuan utama ialah menentukan banyaknya faktor yang diekstraksi minimum (sedikit mungkin) tetapi menyerap sebagian besar informasi yang terkandung pada semua variabel asli atau menyumbang sebagian besar varian pada data untuk analisis multivariat selanjutnya.
Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi didasarkan pada common variance. Metode ini tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/ mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying dimensions) dan kalaucommon variance yang menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring. 4. Rotasi Faktor-Faktor Rotasi adalah proses memutar sumbu mendekati koordinat titik butir/variabel. Proses ekstraksi hanya menentukan jumlah faktor yang meringkas keseluruhan butir, namun belum menentukan distribusi butir-butir ke dalam faktor-faktor yang meringkasnya (Purwanto, 2007). Rotasi dipergunakan untuk mengubah (mentransformasi) matrix factor menjadi matrik yang sederhana yang lebih mudah untuk diinterprestasikan. Metode rotasi yang paling banyak digunakan adalah varimax procedure. Matrix factor yang dirotasi membentuk dasar untuk menginterpretasi faktor. 5. Interpretasi Faktor atau Memberi Nama Faktor Interpretasi faktor dipermudah dengan mengenali/mengidentifikasi variabel yang muatannya (loading) besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan, dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi (high loading). Variabel-variabel yang berkorelasi kuat (nilai factor loading yang besar) dengan faktor tertentu akan memberikan inspirasi nama faktor yang bersangkutan.
6. Menghitung Skor atau Nilai Faktor Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu variabel oleh masing-masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu data mewakili karakteristik khusus yang dipresentasikan oleh faktor. Nilai faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan. Sebenarnya, analisis faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor atau nilai faktor, sebab tanpa menghitungpun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel aslinya. Namun, kalau tujuan analisis faktor untuk mencari variabel baru yang independen (bebas satu sama lain) yang disebut faktor untuk dipergunakan dalam analisis multivariat lainnya seperti analisis regresi linear berganda, maka perlu dihitung skor atau nilai faktor bagi setiap responden. a.
Memilih Surrogate Variables Surrogate Variables yaitu suatu subset (bagian dari) variabel asli yang dipilih
untuk digunakan didalam analisis selanjutnya. Pemilihan Surrogate Variables meliputi sebagian dari beberapa variabel asli untuk dipergunakan didalam analisis selanjutnya. Hal ini memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis lanjutan dan menginterprestasikan
peneliti
untuk
melakukan
analisis
lanjutan
dan
menginterprestasikan hasilnya dinyatakan dalam variabel asli bukan dalam skor faktor. Dengan meneliti matriks faktor, kita bisa memilih untuk setiap faktor variabel dengan muatan tinggi pada faktor yang bersangkutan.
2.9. Landasan Teori Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Secara lebih terinci perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2007), meliputi: a.
Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yang meliputi: a) peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior) misalnya berperilaku hidup sehat makan makanan bergizi, olahraga, b) perilaku terhadap pencegahan penyakit (health prevention behavior) yang termasuk didalamnya imunisasi, perilaku pemeriksaan kehamilan, c) perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior), d) perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior).
b.
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan.
c.
Perilaku terhadap makanan.
d.
Perilaku terhadap lingkungan kerja. Kerangkan teori pada penelitian ini adalah modifikasi dari beberapa landasan
teori perubahan perilaku kesehatan. Green and Kruiter dalam Glanz (2005), mengemukakan ada 3 faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu: 1.
Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor antesenden terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi perilaku dan yang termasuk
didalamnya adalah: pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai-nilai, norma serta persepsi individu untuk melakukan tindakan. 2.
Faktor pemungkin (Enabling factor), merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan motivasi atau aspirasi terlaksana dan yang termasuk dalam faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana kesehatan.
3. Faktor penguat (reinforcing factor), adalah konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah pelaku menerima umpan balik yang positif atau negatif dan mendapatkan dukungan sosial setelah perilaku dilakukan. Faktor penguat mencakup: dukungan sosial dari tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, keluarga, pengaruh sebaya. Menurut Anderssen (1995), ada 3 kategori utama dalam health system model (model kepercayaan terhadap penggunaan pelayanan kesehatan). Karakteristik predisposisi (presdisposing characteristics), bahwa semua individu mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam tiga kelompok yakni: ciri demografi (umur, jenis kelamin), struktur sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, ras), serta mempunyai keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan. 1.
Karakteristik pendukung (enabling characteristics), hal ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, ia tidak akan bertindak menggunakan kecuali bila ia mampu menggunakannnya.
Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung kepada kemampuan konsumen untuk membayar. 2.
Karakteristik kebutuhann (need characteristics) Kebutuhan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan bila faktor predisposisi dan pendukung. Karakteristik ini terbagi dua yaitu perceived (persepsi seseorang terhadap kesehatannya) dan evaluated (gejala dan diagnosis penyakit). Adapun skema modifikasi teori Green and Kruiter dalam Glanz (2008), dan teori Andersen (1995), dipaparkan dan dirangkum dalam suatu landasan teori berikut ini:
Predisposing Faktor Knowledge Beliefs Values Attitude Confidance Capacity Enabling Factors Availability of health resources Accesibility of health resources Community / goverment laws priority Commitment to health Health related skills
Reinforcing Factors Family Peers Tescher Employers Health provider Decision making
Perdisposing Characteristics Demographic Social
Specific behavior by individuals or organizations
Enabling resources Personal/ Family
Need Perceived (subject assessment) Evaluated (clinical
Gambar 2.1. Skema Modifikasi Teori Green and Kruiter dalam Glanz (2008) dan Teori Andersen (1995)
2.10. Kerangka Konsep Variabel Independen -
Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan keluarga, Jumlah anak Jumlah anak yang diinginkan Pengambil keputusan Pengetahuan Norma Akses terhadap pelayanan kesehatan Biaya penggunaan kontrasepsi Dukungan suami Peran petugas kesehatan Kepercayaan kepada petugas kesehatan Kenyamanan terhadap penggunaan kontrasepsi Takut efek samping
Variabel Dependen
Hambatan Dalam Penggunaan Kontrasepsi Implan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian