BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyakit yang masih menjadi suatu masalah utama terutama di negara tropis seperti Indonesia. Hal ini ditunjang oleh iklim tropis dimana keadaan udara lembab dan temperatur hangat menyebabkan mikroba dapat tumbuh subur. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, riketsia, jamur, dan protozoa (Gibson, 1990). Berkembangnya resistensi oleh mikroorganisme target menjadi masalah yang terus meningkat (Tortora, 2010). Resistensi mikroba adalah keadaan dimana mikroorganisme berubah sedemikian rupa sehingga menyebabkan obat-obat yang dahulu digunakan untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif. Pendekatan antimikrobial konvensional yang bersifat membunuh (cidal) atau menghambat pertumbuhan (static) cenderung memicu terjadinya mutasi mikroba yang selanjutnya menghasilkan mikroba resisten (Hentzer & Givskov, 2003). Pengembangan obat-obat baru untuk menggantikan obat-obat yang telah ada menjadi sangat dibutuhkan (Pelczar & Chan, 1986). Pada penelitian ini bahan alam yang digunakan adalah minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back) yang merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Secara tradisional, kemangi telah digunakan dalam penyembuhan pusing, batuk, diare, konstipasi, cacingan,
1
2
gagal ginjal, dan kutil (Simon et al., 1999). Pada penelitian sebelumnya, telah dilaporkan bahwa kemangi menunjukkan aktivitas antibakteri dengan nilai hambat minimum 50 persen (MIC50) terhadap S. aureus sebesar 0,5% v/v, terhadap P. aeruginosa sebesar 0,5%, dan terhadap C. albicans sebesar 0,06% v/v (Pratiwi, 2014). Di samping khasiat yang dimiliki, minyak atsiri kemangi diketahui bersifat iritatif setelah diujikan ke dalam hewan uji kelinci (Anonim, 2010). Penelitian sebelumnya oleh Amber et al., (2010) membuktikan bahwa kandungan minyak atsiri tanaman Ocimum sanctum dapat menyebabkan hemolisis pada penggunaan kadar 0,2 µL/mL. Atas dasar tersebut, pada penelitian ini dilakukan uji iritasi primer yang bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan minyak atsiri kemangi dengan konsentrasi sesuai nilai hambat minimum 50 persen (MIC50) terhadap S. aureus, P. aerugonisa, dan C. albicans yaitu sampai kadar 0,5% v/v, dapat menyebabkan iritasi, serta uji hemolisis eritrosit untuk mengetahui tingkat toksisitas minyak atsiri kemangi terhadap eritrosit sebagai salah satu syarat kelayakan pengembangan sediaan farmasi yang akan digunakan secara topikal maupun oral. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi pengembangan minyak atsiri kemangi sebagai alternatif antibakteri yang potensial.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
3
1. Apakah penggunaan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back) pada konsentrasi sampai dengan 0,5% v/v (MIC50) dapat menimbulkan efek iritasi akut dermal? 2. Apakah penggunaan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back) pada konsentrasi sampai dengan 0,5% v/v (MIC50) dapat menimbulkan efek hemolisis terhadap eritrosit manusia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum) pada konsentrasi sampai dengan 0,5% v/v (MIC50) dapat menimbulkan efek iritasi akut dermal dan efek hemolisis terhadap eritrosit manusia.
D. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back) Kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back) adalah tanaman semak, semusim, tingginya ± 1,5 meter. Batang berkayu, bulat, bercabang, berwarna hijau. Daun berbentuk tunggal, berhadapan, bulat telur, panjang 1-5cm, lebar 6-30 mm, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi, berbulu, pertulangan menyirip, berwarna hijau (Gambar 1). Bunga merupakan bunga majemuk, berbentuk malai. Daun pelindung berbentuk elips, lebar 5-10 mm, berwarna hijau. Kelopak bunga berbentuk ginjal, berambut. Kelopak tambahan berbentuk tabung, berambut lebat, bertajuk empat, memiliki panjang ± 5 mm. Buah berwarna coklat,
4
berbentuk kotak. Biji berbentuk bulat telur, keras, diameter ± 1 mm, berwarna hitam. Akar tunggang dan berwarna putih kotor (Depkes RI, 2001).
Gambar 1. Tanaman kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back) Sumber: Depkes RI, 2001
Taksonomi dari tanaman kemangi adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Labiatae
Marga
: Ocimum
Species
: Ocimum basilicum L.
Forma
: citratum
Nama umum
: kemangi
Nama Lain
: Selaseh (Melayu), Solanis (Sunda), Amping (Minahasa)
(Depkes RI, 2001). Kemangi (Ocimum basilicum) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang mempunyai banyak kegunaan diantaranya merangsang faktor kekebalan
5
tubuh, mencegah kemandulan, menurunkan kolesterol, mencegah ejakulasi prematur dan dapat mengatasi masalah reproduksi. Daun kemangi berkhasiat sebagai karminatif, laksatif, emenegog, antipiretik, antiskorbut, dan antiemetik. Daun kemangi juga berkhasiat sebagai peluruh kentut, peluruh haid, peluruh air susu ibu, obat demam, obat sariawan, dan obat mual. Secara tradisional, Ocimum sp. digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti demam, mengurangi rasa mual, sakit kepala, sembelit, diare, batuk, penyakit kulit, penyakit cacing, gagal ginjal, epilepsi dan digunakan sebagai penambah aroma pada makanan (Hutapea, 1994; Maryati et al., 2007; Nurcahyanti et al., 2011). Kandungan di dalam tanaman kemangi adalah saponin, flavonoida, tanin dan minyak atsiri (Kardinan, 2008). Ekstrak etanol, metanol dan n-heksana dari Ocimum basilicum memiliki sebagai sebagai antimikroba (Adiguzel et al., 2005), ekstrak petroleum eter, kloroform, alkohol, air dan minyak atsirinya memiliki aktivitas antioksidan dan hepatoprotektif (Meera et al., 2009).
2. Minyak atsiri kemangi Kandungan kimia minyak atsiri tanaman kemangi adalah metil eugenol, linalool, geraniol, dan metil chavicol. Dilihat dari kandungan minyak atsirinya yang berupa eugenol dan linalool maka kemangi juga mempunyai sifat repelan terhadap serangga (Kardinan, 2008). Dari literatur disebutkan bahwa minyak atsiri kemangi (O. basilicum) mengandung komponen utama yaitu senyawa citral yang merupakan golongan aldehid. Citral, atau 3,7-dimetil-2,6-octadienal atau lemonal merupakan senyawa
6
monoterpen dengan rumus molekul C10H16O. Senyawa tersebut mempunyai isomer ikatan rangkap. E-isomer dikenal sebagai geranial atau citral A (Gambar 2). Sedangkan Z- isomer dikenal sebagai neral atau citral B (Gambar 3) (Ganjewala, et al., 2012).
Gambar 2. Geranial
Gambar 3. Neral
Toksisitas akut citral rendah pada hewan pengerat karena nilai LD50 oral maupun kulit lebih dari 1.000 mg/kg BB. Namun citral menyebabkan iritasi pada kulit tetapi tidak mengiritasi pada mata kelinci. Ada bukti bahwa bahan kimia ini sensitif terhadap kulit manusia. Beberapa studi dosis berulang menunjukkan tidak ada efek buruk maupun perubahan histologis pada rongga hidung atau perut dari penggunaan citral dengan dosis kurang dari 1.000 mg/kg/hari. Pada paparan pertama menyebabkan iritasi jika dosis lebih dari 1.000 mg/kg/hari (OECD, 2001). Minyak atsiri daun kemangi memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli dengan nilai Minimum Inhibitory Concentration 50% (MIC50) berturut-turut 0,5% v/v dan 0,25% v/v (Maryati et al., 2007). Untuk nilai MIC50 minyak atsiri kemangi terhadap S. aureus dan P. aeruginosa adalah 0,5% v/v (Pratiwi, 2014).
7
3. Uji toksisitas Bahaya akibat pemaparan suatu zat pada manusia dapat diketahui dengan mempelajari efek kumulatif, dosis yang dapat menimbulkan efek toksik pada manusia, efek karsinogenik, teratogenik, dan mutagenik. Pada umumnya informasi tersebut dapat diperoleh dari percobaan menggunakan hewan uji sebagai model yang dirancang pada serangkaian uji toksisitas yang meliputi uji toksisitas akut oral, toksisitas subkronis oral, toksisitas kronis oral, teratogenisitas, sensitisasi kulit, iritasi mata, iritasi akut dermal, iritasi mukosa vagina, toksisitas akut dermal, dan toksisitas subkronis dermal. Pemilihan uji tersebut tergantung dari tujuan penggunaan suatu zat dan kemungkinan terjadinya risiko akibat pemaparan pada manusia. Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia. Uji ini menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan atau sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia. Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat dipercaya adalah pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan; cara pemberian
8
sediaan uji; pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan (BPOM, 2014).
4. Kulit dan iritasi Kulit merupakan organ yang menutupi seluruh permukaan tubuh manusia. Kulit memiliki fungsi yang sangat penting untuk perlindungan organ bagian dalam tubuh terhadap rangsangan dari luar, baik rangsangan mekanis, kimia, maupun radiasi. Kulit terdiri atas epidermis atas dan dermis, yang terletak di atas jaringan
subkutan.
Epidermis
itu
relatif
tipis,
rata-rata
0,1-0,2
milimeter tebalnya, sedangkan dermis sekitar 2 milimeter. Dua lapisan ini dipisahkan oleh suatu membran basal (Frank, 2006). Berbagai jenis efek dapat terjadi akibat pejanan kulit itu sendiri, tetapi ada beberapa
yang
mempengaruhi
unsur
tambahan
kulit
seperti
rambut,
kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat (Frank, 2006). Beberapa sediaan obat digunakan untuk tujuan terapi lokal seperti kulit. Obat lokal adalah zat yang kerjanya berdasarkan aktivitas lokal secara fisik dan kimia. Banyak obat dalam kelompok ini digunakan dalam klinik. Obat untuk penyakit kulit yaitu demulsen yang merupakan suatu obat yang digunakan untuk meringankan adanya iritasi terutama pada membran mukosa atau kulit lecet maupun terjadi inflamasi (Anief, 2000). Selain menyebabkan efek lokal di tempat kontak, suatu zat toksik akan menyebabkan kerusakan jika diserap oleh organisme. Absorpsi bisa terjadi lewat kulit, paru-paru dan beberapa jalur lain. Salah satu jenis efek yang terjadi akibat
9
pejanan kulit terhadap zat toksik adalah iritasi primer kulit. Iritasi adalah suatu reaksi kulit terhadap zat kimia misalnya alkali kuat, asam kuat, pelarut, dan detergen. Iritasi primer terjadi di tempat kontak dan umumnya pada sentuhan pertama (Anief, 2000). Iritasi adalah suatu reaksi kulit terhadap zat kimia misalnya alkali kuat, asam kuat, pelarut, dan detergen. Beratnya bermacam-macam dari hyperemia, edema, dan vesikulasi sampai pemborokan. Iritasi primer terjadi di tempat kontak dan umumnya pada sentuhan pertama. Karenanya, ini berbeda dengan sensitisasi. Eritema adalah suatu reaksi kulit yang timbul berupa kemerahan pada kulit akibat efek samping dari penggunaan sediaan topikal. Eritema juga merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya bercak-bercak kemerahan yang menonjol dan biasanya tersebar secara simetris di seluruh tubuh. Gejalanya eritema (kemerahan) dan vesikulasi (berair), disertai rasa gatal dan panas (Loomis, 1978). Edema merupakan suatu reaksi kulit yang timbul berupa pembengkakan akibat efek samping dari penggunaan sediaan topikal. Edema ditandai dengan meningkatnya volume cairan di luar sel (ekstraseluler) dan di luar pembuluh darah (ekstravaskuler) disertai dengan penimbunan di jaringan serosa. Pembengkakan (edema) dapat diamati dari akumulasi cairan dalam jaringanjaringan tubuh (Loomis, 1978).
10
5. Uji iritasi akut dermal Tujuan uji iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit serta untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit (BPOM, 2014). Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino) untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area kulit yang tidak diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu yaitu pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji dan untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari (BPOM, 2014).
6. Eritrosit dan hemoglobin Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut hemoglobin yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1995). Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel tersebut (Palmer & Williams, 2007). Eritrosit berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 μm, dan tebal 2 μm namun dapat berubah bentuk sesuai diameter kapiler yang akan dilaluinya, selain
11
itu setiap eritrosit mengandung kurang lebih 29 pg hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit normal sekitar 5,4jt/μl didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl (Ganong, 1999). Hemoglobin merupakan protein yang berperan paling besar dalam transport oksigen ke jaringan dan karbondioksida ke paru-paru. Hemoglobin merupakan protein heme sama seperti myoglobin, myoglobin yang bersifat monomerik (mengandung satu subunit) banyak ditemukan di otot, sedangkan hemoglobin yang ditemukan di darah memiliki empat subunit polipeptida maka disebut tetramerik (Murray et al., 2003). Masing-masing subunit dari hemoglobin mengandung satu bagian heme dan suatu polipeptida yang secara kolektif disebut globin, terdapat dua pasang polipeptida dalam setiap molekul hemoglobin dimana 2 dari subunit tersebut mengandung satu jenis polipeptida dan 2 lainnya mengandung polipeptida jenis lain. Pada orang dewasa normal 2 subunit mengandung polipeptida rantai α sedangkan subunit lainnya mengandung polipeptida β, sehingga hemoglobin jenis ini disebut hemoglobin A dengan kode α2β2. Namun pada darah orang dewasa ditemukan sekitar 2,5% hemoglobin dengan polipeptida rantai β yang disubtitusikan polipeptida rantai δ (Ganong, 1999). Heme yang terkandung dalam hemoglobin merupakan tertrapirol siklik dengan empat molekul pirol yang terhubung oleh jembatan α-metilen. Stuktur ikatan ganda pada heme menyerap spektrum warna tertentu dan memberi warna merah gelap khas pada hemoglobin maupun myoglobin (Murray et al., 2003).
12
7. Uji hemolisis eritrosit Hemolisis yang terjadi pada eritrosit disebabkan oleh kehadiran tiba-tiba larutan merah cerah yang berasal dari hemoglobin keluar dari eritrosit, dan sering digunakan untuk mengukur kecepatan penetrasi suatu komponen masuk ke dalam eritrosit (Girrese, 1979). Parameter-parameter yang penting dan dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan akibat toksik pada membran eritrosit antara lain adalah hemolisis, kehilangan ion potasium, autooksidasi membran lipid, perubahan fluiditas eritrosit, perubahan bentuk membran, pengendapan protein membran, dan perubahan rasio volume terhadap luas permukaan membran sel (Luke & Betton, 1987). Eritrosit sangat mudah mengalami lipid peroksidasi dikarenakan kandungan lemak tidak jenuh ganda yang sangat tinggi, kandungan oksigen yang tinggi, dan keberadaan logam transisi. PUFA (Poly Unsaturated Faty Acids), fosfolipid, dan kolesterol bebas adalah dasar dan konstituen permanen bagi membran seluler. Membran-membran seluler ini terbentuk dalam lapisan bilayer dimana senyawa makromolekul protein seperti reseptor, pembawa spesifik, dan enzim dimasukkan. Pada sistem biologis, UFA (Unsaturated Faty Acids) merupakan komponen esensial dari biomembran, yang bersifat sangat rentan terhadap peroksidasi (Bermond, 1990). Eritrosit merupakan media yang tepat untuk menganalisa kapasitas antioksidan ataupun daya toksik suatu zat tertentu secara in vitro, terutama terhadap stabilitas biomembrannya. Reactive oxygen species (ROS) yang
13
terbentuk pada fase air atau lipid dapat menyerang membran eritrosit yang mengakibatkan oksidasi lipid dan protein, memicu kerusakan membran yang berakibat pada terjadinya hemolisis (Zhu et.al.,, 2002). Eritrosit memiliki berberapa sistem membran yang dapat melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air (berada di plasma) dan tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yan terdapat di membran eritrosit (Zhu et al., 2002). Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah serta adanya radikal bebas yang berinteraksi dengan membran. Membran eritrosit tersusun atas polisakarida dan protein spesifik yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2007) yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2002) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH (2,2 azobis2-aminodipropane dihydroxychloride), Suwalsky (2007) yang mengukur sifat
14
antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. Untuk melakukan uji menggunakan eritrosit suhu dipertahankan 370C dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer (Freshney,1994).
E. Landasan Teori Tanaman kemangi mengandung minyak atsiri yang banyak dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Minyak atsiri ini telah digunakan sebagai bahan pembuatan minyak wangi, lotion, sabun, sampo, atau kosmetik (Kardinan, 2008). Aktivitas minyak atsiri daun kemangi sebagai antibakteri telah diteliti oleh Maryati et al., (2007). Suppakul et al. (2003) menyebutkan bahwa minyak atsiri daun kemangi menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap sebagian besar bakteri gram positif dan gram negatif, jamur, dan kapang. Menurut Pratiwi (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai MIC50 minyak atsiri kemangi terhadap S. aureus dan P. aeruginosa adalah 0,5% v/v. Pada hasil analisis GC-MS diperoleh informasi bahwa pada minyak atsiri daun kemangi terdapat 4 jenis komponen utama yaitu berupa 6-Methyl-5-hepten2-one (5,33%), Alpha-terpinolene (3,84%), Z-citral (29,22%), dan 2,6-Octadienal,
15
3,7-dimethyl-, (E)-(CAS) Geranial (36,85%) (Pratiwi, 2014). Geranial dan Zcitral (neral) merupakan komponen penyusun citral. Jadi, komposisi terbanyak dari minyak atsiri kemangi adalah senyawa citral. Dalam literatur disebutkan bahwa citral terbukti dapat mengiritasi kulit kelinci, namun belum ada penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang efek toksik senyawa citral terhadap hemolisis eritrosit manusia. Atas dasar tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah penggunaan minyak atsiri kemangi pada konsentrasi sampai dengan 0,5% v/v (MIC50) mempunyai efek iritasi pada kulit maupun hemolisis eritrosit manusia.
F. Hipotesis 1. Penggunaan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum) pada konsentrasi sampai dengan 0,5% v/v (MIC50) tidak menimbulkan iritasi akut dermal. 2. Penggunaan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum) pada konsentrasi sampai dengan 0,5% v/v (MIC50) tidak menimbulkan efek hemolisis terhadap eritrosit manusia.