BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman, bahasa menjadi sangat penting dalam kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi tidak hanya dalam bahasa lisan, namun juga bahasa tulis. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan media bertukar informasi dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Terkait dengan hal tersebut, sumber informasi dan penerima informasi tidak selamanya memiliki ragam bahasa yang sama. Oleh karena itu, dalam pengalihan informasi perlu memanfaatkan kegiatan penerjemahan. Penerjemahan merupakan akses terhadap inovasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta media strategis dalam komunikasi global. Kegiatan penerjemahan memegang peranan penting dalam menyalurkan ilmu pengetahuan, sehingga penerjemahan harus mampu menyampaikan amanat dari bahasa sumber. Produksi amanat harus mampu menawarkan padanan yang paling dekat dan wajar dalam bahasa sasaran, baik dilihat dari segi arti maupun gaya. Suatu terjemahan dipandang baik, paling tidak, manakala memenuhi dua aspek:ketepatan dan keterpahaman (Al Farisi, 2011:174). Pengalihbahasaan ini dapat terjadi dalam sebuah wacana, paragraf, kalimat, klausa, dan seterusnya. Terkait dengan hal tersebut, dalam semua bahasa pasti terdapat satu bentuk yaitu klausa pasif. Struktur klausa pasif memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) untuk menghindari subjektivitas, (2) untuk menghindari subjek yang
1
2
sebenarnya sudah jelas atau tidak perlu, (3) menitik beratkan pada perbuatan, dan (4) untuk menghindari kekakuan gaya tutur (Fahrurrozi, 2003:87). Klausa pasif merupakan sebuah konstruksi yang dapat ditemukan dalam semua bahasa di dunia. Pembahasan mengenai klausa pasif memiliki banyak ragam dan pembahasan khusus. Sebagaimana dikatakan oleh Purwo (1989:ix) bahwa klausa pasif, di dalam pelbagai bahasa merupakan lahan yang menantang dan persoalan yang memikat untuk digarap para ahli bahasa. Segala teori bahasa yang pernah muncul tidak ada yang melewatkan diri untuk tidak mengutik-utik ihwal konstruksi pasif. Klausa pasif memiliki perbedaan bahkan berbanding terbalik dengan klausa aktif dalam hal pelaku kegiatan. Klausa pasif merupakan bagian yang paling penting, karena dalam klausa pasif dapat memainkan peran subjek atau pelaku serta posisi pelaku kegiatan. Kesalahan dalam penerjemahan klausa pasif dapat berakibat salahnya penafsiran dan rujukan pada pelaku. Al-Khulli (1982:203) berpendapat bahwa:
) فعل ذو صيغة ختتلف عن الفعل املعلوم و تدل على أن الفاعلpassive verb( الفعل اجملهول It was broken: مثل،الظاهري أو املبتدأ ليس فاعال حقيقيا al-fiʻlul-majhu>l fiʻlin dzu> shi>ghatin takhtalifu ʻanil-fiʻlil-maʻlu>m wa tadullu ʻala> annal-fa>ʻili’zh-zha>hiriy awil-mubtada’ laisa fa>ʻilan chaqi>qiyyan, mitslu: It was broken ‘Kata kerja pasif adalah kata kerja yang memiliki bentuk berbeda dengan kata kerja aktif dan menunjukkan keberadaan subjek atau mubtada’ tanpa subjek sejati’ Penelitian ini dikhususkan pada teks terjemah Maulidul-Barzanjiy karya Sidqi dan Anwar (2013), karena dalam teks terjemah ini memiliki banyak klausa pasif BSa yang sepadan dengan pola penyusun klausa BSu yang bermacam-macam. Barzanjiy
3
disebut juga dengan Maulidul-Barzanjiy atau Barzanjiyyu’n-natsr yang merupakan salah satu genre sastra Arab yang cukup banyak diminati oleh masyarakat muslim. Pengarang mengungkapkannya secara liris, sebagai suatu biografi perjalanan hidup kelahiran Nabi Muhammad SAW, sampai beliau meninggalkan dunia yang tidak kekal ini (Bua, 2004:58). Adapun klausa pasif dalam teks terjemah MaulidulBarzanjiy dapat dilihat dalam kutipan berikut:
)٢٣ : ٣١٠٢ ،ض َعْتهُ اْل َفتَاةُ َحلِْي َمةُ ال مس ْع ِديمةُ (صدق َ ثُم أ َْر Tsumma ardhaʻathul-fata>tu Chali>matu’s-saʻdiyyah (Sidqi, 2013:37) ‘Setelah itu Nabi SAW disusui oleh seorang wanita muda yang bernama Halimatus Sa’diyah’ (Sidqi, 2013:37) Sementara itu, pada klausa
)٧٣ : ٣١٠٢ ،َوَيَْ ِشى َم َع اْأل َْرَملَ ِة َو َذ ِوى اْ ُلعبُ ْوِديمِة (صدق
Wa yamsyi> maʻal-armalati wa dzawil-ʻubu>diyyah (Sidqi, 2013:87) ‘Dan selalu berupaya menolong para janda dan orang-orang yang terbelenggu oleh perbudakan’ (Sidqi, 2013:87) Kedua contoh di atas menunjukkan adanya hasil terjemahan klausa pasif BSa yang berasal dari pola penyusun klausa yang berbeda-beda. Pada contoh pertama, klausa pasif BSa disusun oleh fiʻl maʻlu>m BSu. Adapun pada contoh kedua, klausa pasif BSa disusun oleh ism BSu. Perbedaan komponen penyusun klausa pasif dan pemilihan kosa kata dalam BSa dapat menyebabkan penerjemahan MaulidulBarzanjiy menjadi bermacam-macam versi. Selain menganalisis hasil terjemahan klausa pasif, penelitian ini juga mengukur hasil terjemahan pada tingkat keakuratan hasil terjemahan. Hal ini perlu
4
dilakukan karena terjemahan yang baik adalah terjemahan yang berkualitas. Kualitas hasil terjemahan harus memenuhi tiga aspek, yaitu aspek keakuratan, aspek keberterimaan dan aspek keterbacaan (Nababan, 2012:44). Bahkan menurut beberapa pakar terjemah, penilaian hasil terjemahan meliputi beberapa aspek. Sebagaimana Larson (1984:485) menilai kualitas hasil terjemahan dengan aspek akurat, jelas, dan wajar. Adapun menurut Suryawinata (2003:97) berpendapat bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mencakup aspek keberterimaan, keterpahaman, dan keterbacaan. Dengan demikian peniliaian terhadap hasil terjemahan sangat perlu dilakukan karena pada dasarnya penilaian terhadap hasil terjemahan meliputi banyak aspek dan penilaian tersebut sebagai media untuk mengetahui kualitas hasil terjemahan . Dari beberapa uraian di atas, maka dapat diketahui bahwasannya latar belakang penelitian ini adalah untuk menganalisis pola penyusun klausa pasif pada teks Maulidul-Barzanjiy dan menilai keakuratan hasil terjemahan klausa pasif tersebut. Penilaian hasil terjemahan dikhususkan pada teks Maulidul-Barzanjiy karena teks tersebut merupakan karya sastra yang sering dibaca oleh masyarakat muslim. Selain itu, teks Maulidul-Barzanjiy merupakan teks yang berisikan pesan moral karena teks ini
mengisahkan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW
semenjak kecil hingga beliau wafat. Dengan demikian, perilaku terpuji dari Nabi Muhammad SAW dapat diangkat dan dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Teks Maulidul-Barzanjiy juga merupakan teks yang berisikan ungkapan cinta umat Nabi Muhammad SAW, sehingga jika teks ini dibaca berulang-ulang serta memahami maknanya maka akan menambah kecintaan pembaca kepada Nabi Muhammad SAW. Teks Maulidul-Barzanjiy karya Sidqi dan Anwar (2013) ini memiliki banyak jumlah
5
klausa pasif dari pola penyusun klausa yang bervariasi dalam BSu. Adapun pola penyusun klausa pasif BSa berjumlah 156 data. B.
Pembatasan Masalah
Penelitian ini termasuk dalam kajian studi penerjemahan deskriptif kualitatif (Sutopo, 2006:40), yang memusatkan perhatian pada produk naskah terjemahan . Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa data yang berupa produk atau karya terjemahan dapat diperoleh dengan mudah dan satuan lingual yang dapat dikaji beragam, mulai dari tataran kata hingga tataran tekstual. Penelitian ini akan membahas macammacam penerjemahan pola penyusun klausa pasif dan akurasi hasil terjemahan klausa pasif pada teks Maulidul-Barzanjiy. Berdasarkan perbandingan teks terjemah Maulidul-Barzanjiy pada karya Muhammad (1983), Asrori (2009), serta Sidqi dan Anwar (2013) maka peneliti menemukan 156 data klausa pasif terdapat dalam hasil terjemahan Sidqi dan Anwar (2013) yang diterbitkan oleh Sinar Baru Algesindo. C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dapat ditarik dalam teks MaulidulBarzanjiy antara lain: 1. Bagaimana penerjemahan pola penyusun klausa pasif dalam teks terjemah Maulidul-Barzanjiy? 2. Bagaimana akurasi hasil terjemahan klausa pasif dalam teks terjemah MaulidulBarzanjiy?
6
D.
Tujuan Penelitian
Penelitian terhadap hasil terjemahan Maulidul-Barzanjiy memiliki tujuan: 1. Mendeskripsikan penerjemahan pola penyusun klausa pasif dalam teks terjemah Maulidul-Barzanjiy. 2. Mengukur keakuratan hasil terjemahan klausa pasif dalam teks terjemah Maulidul-Barzanjiy. E.
Manfaat Penelitian
Secara garis besar, penelitian penerjemahan pada Maulidul-Barzanjiy ini memiliki dua manfaat utama, yaitu: 1.
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan gambaran lengkap kepada pembaca tentang klausa pasif bahasa Arab beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, memperkenalkan klausa pasif bahasa Indonesia yang berasal dari fiʻl majhu>l, fiʻl maʻlu>m, shi>ghah mafʻu>l, ism mashdar, serta ism zama>n, maka>n dan cha>l dalam bahasa Arab, serta menilai kualitas terjemahan klausa pasif dalam teks Maulidul-Barzanjiy.
2.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan tentang teori penerjemahan, khususnya penerjemahan klausa pasif. Selain itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi atau bahan pertimbangan untuk menerjemahkan klausa pasif dan menilai kualitas terjemah.
7
F.
Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan peneliti, penelitian yang berkaitan dengan Akurasi Hasil Terjemahan Klausa Pasif dalam Maulidul-Barzanjiy cukup banyak. Dalam hal ini, hasil penelitian yang telah ditemukan oleh peneliti dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1.
Penelitian tentang akurasi hasil terjemahan a. Penelitian akurasi hasil terjemahan juga dilakukan oleh Fauziyah (2008) dari Universitas Negeri Malang dalam skripsinya yang berjudul Akurasi Hasil Terjemah Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia dengan Aplikasi Google Translate. Penelitian ini menganalisis akurasi penerjemahan ism, fiʻl, dan charf. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidak akuratan hasil terjemahan dengan aplikasi Google Translate, karena tidak mampu menggambarkan konteks dan istilah khusus dalam bahasa sumber.
2.
Penelitian Tentang Klausa Pasif Sejauh pengamatan peneliti, penelitian tentang klausa pasif antara lain: a. Penelitian klausa pasif yang dilakukan oleh Munif (2008) dari Universitas Sebelas Maret dalam thesisnya yang berjudul Pergeseran dalam Penerjemahan Klausa Pasif dari Novel The Lord of The King Karya JRR oleh Gita Yuliani K. Penelitian ini menganalisis pergeseran bentuk dan pergeseran makna klausa pasif. Pergeseran yang terjadi dalam hasil terjemahan
digunakan untuk
mendapatkan hasil terjemahan yang wajar dan setia makna. b. Penelitian ihwal pasif dilakukan oleh Darheni (2010) dengan judul Analisis Kontrastif Klausa Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda:Tinjauan
8
Morfosintaksis. Penelitian ini membandingkan klausa pasif bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan perbedaan konstruksi klausa pasif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga tipe klausa pasif, yaitu pasif kanonis, pengedepanan objek, dan pasif bentuk lain. Adapun dalam bahasa Sunda tipe klausa pasif ada dua, yaitu pasif kanonis dan tipe pasif lain. c. Penelitian yang dilakukan oleh Pebrianawati (2013) dari UIN Sunan Kalijaga dengan judul Analisis Kontrastif Kalimat Aktif-Pasif dalam Bahasa Arab dan Bahasa Jepang. Penelitian ini membandingkan kalimat aktif - pasif dalam bahasa Arab dan Jepang, dari segi struktur dan komponen makna yang mendukung, serta menganalisis kesulitan dalam menyusun kalimat pasif karena perbedaan struktur kalimat pasif bahasa Jepang dengan bahasa Arab dan mencari solusinya. 3.
Penelitian tentang Maulidul-Barzanjiy a. Penelitian tentang Maulidul-Barzanjiy oleh Wildah (2011) dengan judul Analisis Isi Pesan Dakwah dalam Naskah Drama Qasidah Barzanjiy karya W.S. Rendra. Penelitian ini membahas tentang pesan dakwah yang terkandung dalam Maulidul-Barzanjiy, bahwasannya terdapat 44 pesan yang terangkum dalam tiga tema besar pesan yang disampaikan, yang meliputi aqidah, syariah, dan akhlak. Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, maka dapat diketahui bahwa
penelitian-penelitian tentang akurasi hanya menyampaikan ketidakakuratan dan
9
ketidakwajaran hasil terjemahan, akan tetapi belum memberikan data ketidak akuratan itu secara detail dan terhitung bahkan sampai mendeskripsikannya. Terakhir, penelitian terhadap Maulidul-Barzanjiy baru dikaji dengan pendekatan sastra, adapun dengan ilmu penerjemahan belum dilakukan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap akurasi hasil terjemahan klausa pasif dalam MaulidulBarzanjiy belum pernah dilakukan. G.
Landasan Teori
Penelitian ini terpusat pada penilaian akurasi hasil terjemahan klausa pasif dalam teks Maulidul-Barzanjiy. Landasan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah landasan teori tentang klausa pasif bahasa Indonesia dan bahasa Arab, penerjemahan klausa pasif, kesepadanan makna, serta akurasi hasil terjemahan. Landasan teori tentang klausa pasif bahasa Indonesia dan bahasa Arab serta penerjemahan klausa pasif digunakan untuk menyelesaikan rumusan masalah pertama, yaitu masalah yang berkaitan dengan penerjemahan pola penyusun klausa pasif dalam teks Maulidul-Barzanjiy. Adapun landasan teori tentang kesepadanan makna dan akurasi hasil terjemahan digunakan untuk menyelesaikan rumusan masalah kedua, yaitu masalah penilaian kualitas terjemahan klausa pasif khususnya pada tingkat akurasi hasil terjemahan. Penelitian ini merupakan penelitian yang berorientasi pada produk terjemah. Hal ini sesuai dengan pendapat Machali (2009:144) bahwa menilai kualitas terjemah termasuk dalam penilaian produk, bukan proses. Sebagaimana dikatakan Holmes
10
(1996:21 dalam Nababan, 2007:15) yang membagi studi penerjemahan menjadi dua, yaitu studi teori penerjemahan dan deskriptif. Studi teori penerjemahan beorientasi pada produk, fungsi, dan proses. Pendapat ini sejalan dengan Toury (1995:3) bahwa penelitian terjemah merupakan kajian penerjemahan tulis yang berorientasi pada produk terjemah karena fokus penelitian penerjemahan adalah produk, bukan proses. Banyak pakar linguistik dan terjemah yang mengemukakan tentang definisi terjemah. Menurut Catford (1965:20) dalam buku A Linguistic Theory of Translation terjemah merupakan penggantian padanan teks asli (replacement of textual material) suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Catford menekankan permasalahan utama dalam praktek menerjemahkan adalah menemukan bahasa sasaran secara akurat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Nida (1982:33) juga memberikan definisi bahwasannya penerjemahan adalah proses produksi padanan kata terdekat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, pertama dalam hal makna (meaning) dan kedua pada gaya (style). Sama halnya dengan pendapat di atas, Kridalaksana (2009:181) juga memberikan definisi bahwa (1) penerjemahan adalah pengalihan amanat antar budaya dan/atau antar bahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan maksud, efek, atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan; (2) penerjemahan merupakan bidang linguistik terapan yang mencakup metode dan teknik pengalihan amanat dari satu bahasa ke bahasa lain. Sehubungan dengan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan mengalihbahasakan pesan atau menyampaikan
11
amanat dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) dengan mencari padanan terdekat dalam bahasa sasaran, baik dalam bentuk maupun makna. 1.
Klausa Pasif dalam Bahasa Indonesia Sebelum masuk ke dalam pembahasan klausa pasif, perlu diketahui dahulu tentang pengertian klausa. Menurut Kridalaksana (2009:124) klausa atau clause adalah satuan gramatika berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Sejalan dengan pendapat Kridalaksana, Chaer (2009:150) mengartikan klausa sebagai satuan sintaksis yang bersifat predikatif, artinya di dalam satuan atau konstruksi itu terdapat sebuah predikat. Apabila dalam satuan itu tidak terdapat predikat, maka satuan itu bukan sebuah klausa. Alwi (1998:311) memberikan definisi, klausa merupakan satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung unsur predikasi. Dilihat dari struktur internalnya, klausa harus terdiri dari predikat dan subjek dengan pelengkap atau keterangan. Dengan kata lain, klausa minimal terdiri dari predikat dan subjek. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa klausa adalah gabungan kata yang merupakan satuan gramatika yang memiliki satu predikat. Unsur terpenting dalam klausa adalah subjek dan predikat dan belum memiliki intonasi akhir atau tanda baca titik tertentu. Adapun hadirnya pelengkap dan keterangan adalah manasuka, yaitu boleh ada, boleh tidak.
12
Klausa dibagi menjadi dua, yaitu klausa aktif dan klausa pasif. Menurut Kridalaksana (2009:125) klausa pasif (passive clause) adalah klausa transitif yang menunjukkan bahwa subjek merupakan tujuan dari pekerjaan dalam predikat verbalnya. Dalam bahasa Indonesia predikat verbal itu ditandai oleh prefiks di-, ter-, konfiks ke-an, atau diawali oleh kata kena; misal:Buku itu dibaca semua orang; Rumahnya kemasukan pencuri; Pesuruh itu kena marah. Dalam klausa, dua komponen penyusun klausa yaitu subjek dan predikat memiliki suatu hubungan yang dinamakan diatesis (Kridalaksana, 2009:49). Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh kata kerja dalam klausa. Oleh karena itu, dalam pembahasan klausa, diatesis selalu muncul sebagai suatu hubungan keterkaitan antara subjek dan predikat. Adapun diatesis pasif adalah diatesis yang menunjukkan bahwa subjek adalah tujuan dari perbuatan, misal:Ia dipukul (Kridalaksana, 2009:49). Klausa dan kalimat memiliki kesamaan pada unsur penyusunnya, keduanya harus memiliki dua unsur pokok yaitu subjek dan predikat. Oleh karena itu, ciri-ciri klausa dan kalimat pasif juga hampir sama. Adapun ciri-ciri kalimat pasif (Putrayasa, 2009:94) antara lain: a. Terdiri dari kata kerja transitif dan kata ganti persona, contoh:Silakan kau layani pembeli itu! Kaidah tersebut tidak memperbolehkan adanya sisipan kata apapun, contoh: Akan kita perdalam galian itu. (betul)
13
Kita akan perdalam galian itu. (salah) b. Kata kerja pasif transitif dengan afiks di-, contoh:Tata tertib sekolah itu banyak dilanggar oleh siswa. c. Kata kerja pasif yang tidak terikat persona, tetapi menggunakan afiks teratau konfiks ke-an, contoh:Gelas di atas meja itu tersenggol Rumahnya kemasukan pencuri Senada dengan pendapat tersebut, Alwi (1998:345) menyatakan bahwa ciri-ciri klausa pasif adalah (1) menggunakan awalan di-, (2) menggunakan awalan pronomina ku-, kau, dan akhiran pronomina –nya, dan (3) menggunakan awalan ke- dan akhiran –an. Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa klausa pasif dalam bahasa Indonesia adalah sebuah satuan gramatika yang terdiri dari dua unsur penting yaitu subjek dan predikat, yang subjek tersebut menjadi sasaran dari predikatnya. Adapun klausa pasif bahasa Indonesia, predikatnya ditandai dengan prefiks di-, ter-, konfiks ke-an, atau diawali oleh kata kena, serta dapat ditunjukkan dengan kata ganti persona (ku atau kau). 2.
Klausa Pasif dalam Bahasa Arab Klausa merupakan satuan lingual dalam sintaksis yang berada satu tingkat di bawah kalimat. Dalam bahasa Arab, klausa disepadankan dengan ُُجَْي لَة jumailah.
14
ِ َاْلملَةَ ِِف عن ِ ٌّ تَركِْيب لُغَ ِو:ُُجَْي لَة )٢٣ : ٠٨٧٣ ،اص ِرهِ إِمَّل أَنمهُ يُ َش ِّك ُل ُج ْزأً ِم ْن ُجُْلَة (اخلل َ ْ ُْ ُي يُ ْشبه ُ ْ Jumailah:tarki>bun lughawiyyun yusybihul-jumlata fi> ʻana>shirihi illa> annahu yusyakkilu juz’an min jumlah. (Al-Khulli, 1982:42) ‘Klausa adalah susunan bahasa yang bagian unsur-unsurnya menyerupai kalimat.’ Klausa pasif dapat ditemukan dalam semua bahasa di dunia ini termasuk bahasa Arab. Adapun klausa pasif dalam bahasa Arab dalam kitab Ja>miʻud-
ِ ِ Duru>sil-ʻArabiyyah karya Ghula>yaini (2005:41) disebut dengan ج ُه ْوِل ْ بِنَاءُ الْ َم ْعلُ ْوم ل ْل َم bina>’ul-maʻlu>mi lil-majhu>l, sebagaimana definisinya berikut ini:
ِ ِ َ ِِ بِنَاء الْمعلُوِم لِْلمجهوِل مت ح ِ ص ْوَرةَ اْ ِلف ْع ِل الْ َم ْعلُ ْوِم ُ ب أَ ْن تَتَغَيم َر ُ ََ ُْ ْ َ ْ َْ ُ َ َ اْل َفاع َل م َن اْل َك َالم َو َج )٣۰۰٥:٢٠ ،(الغالييىن
bina>’ul-maʻlu>mi lil-majhu>li mata> chudzifal-fa>ʻila minal-kala>mi wajaba an tataghayyara shu>ratal-fiʻlil-maʻlu>m (Sidqi, 2013:41) ‘bina>’ maʻlu>m lil-majhu>l yaitu suatu gramatika yang ketika fa>ʻil dibuang dari kalimat maka wajib untuk mengubah bentuk kata kerja pasif tersebut’ Pendapat tersebut memiliki kesamaan dengan pendapat El-Dahdah
ِ (2000:287) bahwa klausa pasif disebut dengan ج ُه ْوِل ْ صْي غَةُ الْ َمshi>ghatul-majhu>l yang didefinisikan dengan
ِ اعلُه و ُُيعل الْم ْفعو ُل بِِه نَائِب الْ َف ِ ُ َِ ُُي اع ِل ْ ْ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ََ ف َ yuchdzafu fa>ʻiluhu wa yujʻalul-mafʻu>lu bihi na>ibal-fa>ʻil ‘suatu bentuk gramatika yang membuang fa>ʻil dan menjadikan mafʻul> sebagai na>ibul-fa>ʻil atau pengganti subjek.’
15
ِ Akan tetapi Chacra (2007:128) mengatakan bahwa the passive verb, ل ُ الْف ْع
الْ َم ْج ُه ْو ُلal-fiʻlul-majhu>l, is used in Arabic when the performer of the action is not named. Pernyataan tersebut bermakna bahwa kata kerja pasif digunakan dalam bahasa Arab ketika pelaku dari aksi tidak dinamai (not named). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa klausa pasif dalam bahasa Arab disebut dengan
ِصْي غَةُ الْ َم ْج ُه ْوِلshi>ghatul-majhu>l yaitu suatu klausa yang dengan sengaja tidak ِ menampakkan subjek kalimat (ل ُ )اْل َفاعdengan cara membuangnya dan merubah ِ kedudukan objek ( )الْ َم ْفعُ ْو ُلmenjadi pengganti subjek (ب اْل َفاعِ ِل ُ )نَائ. Berdasarkan
beberapa definisi tersebut, penulis menyepadankan istilah klausa pasif dengan
ِصْي غَةُ الْ َم ْج ُه ْوِلshi>ghatul-majhu>l. Hal ini dikarenakan istilah ُ ِصْي غَةshi>ghah merupakan istilah yang umum dan dapat dipakai untuk menyebut bentuk dan konstruksi kata. Adapun ciri-ciri klausa pasif bahasa Arab secara lebih rinci disebutkan
ِ ِ الْمبal-mabniyyu lil-majhu>li oleh Muhammad (2006:26) bahwa ج ُه ْوِل َْ ي ْ ن ل ْل َم
ِ ِ ِ mengikuti wazn ل َ فُعfuʻila seperti kata ُرم َيrumiya berarti dilempar, إنْ َف َع َلinfaʻla ِ ِ ِ seperti kata ب َ َ إنْ َكتinkataba berarti tertulis, إنْ َف َه َمinfahama berarti faham dan إتْ َف َع َل ِ itfaʻala seperti kata ل َ َ إتْ َقتitqatala berarti dibunuh. Hampir
sama
dengan
wazn-wazn
di
atas,
Wright
(1996:269)
menyebutkan bentuk-bentuk klausa pasif dalam bahasa Arab mengikuti wazn: a. الصْي غَةُ الْ َم ْف ُع ْو ُل ِّ a’sh-shi>ghatul-mafʻu>l (the patient where or from of the patient), objek yang berwazn الْ َم ْف ُع ْو ُلal-maf’u>l.
16
ِ َ الْ ِفعل ما ََل يس مم فal-fiʻlu ma> lam yusamma fa>ʻiluhu (the doing, or being done, b. ُاعلُه َُ ْ َ ُ ْ of that, where of the agent has not been named), al-fiʻlu atau predikat yang tidak diketahui al-fa>ʻil atau subjeknya. c. ُس مم فَاعِلُه َ ُ الْ َم ْف ُع ْو ُل َما ََلْ يal-mafʻu>lu ma> lam yusamma fa>ʻiluhu (the patient where of the agent has not been named, i.e. the passive subject), mafʻu>l atau objek yang tidak diketahui fa>ʻil atau subjeknya. d. الفعل اجملهولal-fiʻlul-majhu>l (the passive of directly transitive verbs may be used either personally or impersonally), yaitu verba transitif langsung yang dapat
ِ digunakan baik secara pribadi atau impersonal. Contoh:ب َ ُكتkutiba yang berarti it was written. Adapun menurut Yahya (1965:11) dalam nadhamnya kitab Al-ʻImrithi bab Na>ʻibul-fa>ʻil, kata kerja pasif dalam bahasa Arab memiliki dua rumus yang terbagi dalam dua kata kerja yaitu al-fiʻlul-ma>dhi dan al-fiʻlul-mudha>riʻ. Pada alfiʻlul-madhi, bentuk majhu>l memiliki rumus, dhammah pada awal kata dan kasrah sebelum akhir kata, contoh ا يد ِعىudduʻi. Sedangkan pada al-fiʻlulmudha>riʻ, kata kerja pasif berumuskan, dhammah pada awal kalimat dan fathah sebelum akhir kata, contoh يُ ْكَرُمyukramu. Dari beberapa pengertian di atas, maka menurut peneliti klausa pasif dalam bahasa Arab merupakan susunan gramatika yang hanya terdiri dari subjek dan predikat. Bentuk klausa pasif dalam bahasa Arab dapat diketahui apabila dalam satuan gramatika tersebut hanya memiliki subjek dan predikat yang predikat verbalnya berupa kata kerja pasif, dengan ciri-ciri kata kerja pasif yang telah dikemukakan di atas.
17
3.
Penerjemahan Klausa Pasif Klausa merupakan struktur gramatika yang berada satu tingkat di bawah kalimat. Sementara keduanya harus memiliki dua unsur penting yaitu subjek dan predikat, sehingga penerjemahan klausa pasif dan kalimat pasif tidak banyak memiliki perbedaan. Klausa pasif dalam bahasa Arab menurut Chacra (2007:130) mempertimbangkan tentang impersonal atau keberadaan orang, karena keberadaan orang tidak dinyatakan oleh suatu tindakan (not express the performer of the action). Oleh karena itu, klausa pasif biasanya diekspresikan dengan menggunakan preposition atau kata depan, yaitu by yang menunjukkan passive agent. Pernyataan demikian juga dinyatakan oleh Dickins (2002:191) dalam bukunya Arabic Translation bahwa klausa pasif dalam bahasa Arab diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan menggunakan to be+V3 atau to be + kata kerja bentuk ketiga. Pada beberapa contoh dalam bahasa Inggris penerjemahan klausa pasif dicontohkan dengan menggunakan are caused by yang berarti ‘disebabkan oleh’, caused by yang berarti ‘disebabkan oleh’, is seen berarti ‘dilihat’, are obscured berarti ‘digelapkan’, belong to yang berarti ‘dimiliki’, has been berarti ‘telah di-‘, hal itu terjadi apabila pelaku tampak. Akan tetapi apabila pelaku dihilangkan, maka hanya menggunakan kata kerja bentuk ketiga, seperti involve yang berarti ‘terlibat’, appear berarti ‘terlihat’, dan may form berarti ‘terbentuk’ (Dickins 2002:192).
18
Klausa pasif dalam bahasa Arab memiliki perbedaan yang sangat tajam dalam hal penyebutan pelaku dan kata sambung. Dalam beberapa bahasa seperti bahasa Indonesia dan Inggris, pelaku kegiatan ditandai dengan adanya kata sambung berupa ‘oleh’ atau by. Akan tetapi menurut Al Khafaji (1976:9) bentuk pasif dalam bahasa Arab cukup melihat tanda harakat yang melekat pada kata tersebut dan ada tidaknya objek yang menyertainya. Jika dalam sebuah konstruksi itu objek jelas disebutkan, maka konstruksi pasif dalam bahasa Arab menggunakan wazn ل ُ يَ ْف ُع- فَ َع َلfaʻala-yafʻulu. Akan tetapi jika objek tidak ada,
maka konstruksi pasif dalam bahasa Arab menggunakan صيغة اجملهولshi>ghatul-
ِ majhu>l yaitu dengan mengikuti wazn ل ُ يُ ْف َع- فُع َلfuʻila-yufʻalu. Senada dengan pendapat tersebut, Khalil (1999:169) menambahkan tentang permasalahan penerjemahan klausa pasif. Dalam bahasa Arab-bahasa Inggris permasalahan penerjemahan klausa pasif adalah agen (pelaku kegiatan), bahasa Inggris memiliki ‘agentive’ dan ‘agentless’, sedangkan bahasa Arab hanya memiliki ‘agentless’. Hal ini membuat bahasa Arab memiliki struktur yang kurang lengkap apabila dibandingkan bahasa Inggris. Beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan klausa pasif dalam bahasa Arab tidak menyebutkan subjek/pelaku kegiatan, sehingga penerjemahannya dalam bahasa Indonesia hanya terdiri dari subjek (yang berasal dari objek) dan predikat. Salah satu ciri perubahan pasif dalam bahasa Arab adalah dengan mengubah harakat pada fiʻl atau kata kerja sehingga memiliki makna pasif, -di atau ter-, serta tidak ada perubahan posisi antara subjek dan objek, namun ada pembuangan subjek (yang sudah pasti diketahui
19
secara umum) dan memiliki istilah na>ibul-fa>ʻil yang berfungsi untuk menggantikan subjek atau fa>ʻil yang dibuang. 4.
Kesepadanan Makna Kesepadanan merupakan bagian inti dari teori penerjemahan dan praktek menerjemahkan merupakan realisasi dari proses penerjemahan yang selalu melibatkan pencarian padanan (Barnstone dalam Nababan 2003:93). Konsep kesepadanan dalam penerjemahan telah banyak diperbincangkan oleh pakar seperti Vinay dan Darbelnet, Nida dan Taber, Catford, dan Mona Baker. Menurut Vinay dan Darbelnet dalam bukunya Comparative Stylistics of French and English (1995:255) menyebutkan: equivalences are created shows that in these cases the complexity of the SL with respect to the situation is such that it cannot be translated by the habitual methods of translation. ‘bahwa kesepadanan adalah menampilkan sesuatu dari kasus yang kompleks dari BSu dengan memperhatikan situasi serupa yang tidak dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan.’ Mereka juga memandang penerjemahan yang beorientasi pada mencari padanan (equivalence-oriented translation) sebagai suatu prosedur menciptakan rekaman situasi yang sama dengan menggunakan ungkapan yang berbeda. Masalah kesepadanan tidak hanya terjadi dalam aspek leksikal, namun juga pada aspek gramatikal karena setiap bahasa mempunyai kaidah gramatikal khas. Menurut Baker (1992:11), perbedaan gramatika dapat mengakibatkan perubahan bentuk pada saat pengalihan pesan. Perbedaan kaidah gramatikal
20
terdapat dalam jumlah, gender, persona, kala, aspek, dan kalimat aktif-pasif. Oleh karena itu, kaidah gramatikal BSu tidak dapat dipaksakan ke dalam BSa atau not strictly accurate. Jika tetap dipaksakan, terjemahan nya menjadi tidak wajar dan pesan dalam BSu tidak dapat dialihkan dengan baik ke dalam BSa. Begitu juga Machali (2009:185) menambahkan tentang kesepadanan bahwasannya bentuk dan makna sering tidak berada dalam kesejajaran penuh (one-to-one correspondence). Bahkan dalan satu bahasa pun, sering kali bentuk dapat diubah dengan maknanya tetap, misalnya dalam bahasa Inggris Robert gives the rice to Nina dan Nina was given the rice by Robert mempunyai pragmatis (maksud dan konteks situasi) yang sama tetapi bentuk gramatikalnya berbeda. Sedangkan Robert gives the rice to Nina dan Robert was given the rice by Nina lebih berdekatan dalam hal bentuk tetapi maknanya berbeda. Menemukan padanan yang akurat merupakan cara untuk mencapai ketepatan (correctness). Menurut Nida & Taber (1982:1), ketepatan dapat dicapai jika pembaca sasaran mampu memahami terjemahan
dengan baik. Terkait
dengan hal tersebut, Nababan (2003:94) berpendapat bahwa padanan yang sempurna itu tidak ada, baik ditinjau dari segi bentuk, makna, maupun fungsinya karena perbedaan struktur BSu dengan BSa serta latar belakang sosio-budaya kedua bahasa tersebut. Akan tetapi, hal itu bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak menghasilkan terjemahan
yang berkualitas, karena meskipun terdapat
beberapa kekurangan dalam karya terjemahan, pasti ada kesamaan atau kemiripan antara konsep BSu dengan BSa.
21
Adapun pakar penerjemah Arab, Dickins (2002:19) menambahkan dua kategori definisi ekuivalensi yaitu descriptive dan prescriptive. Descriptively adalah hubungan istimewa antara ST dengan TT dengan adanya kecocokan atau kesamaan langsung, tanpa menghiraukan kualitas TT, seperti contoh:يخ ْوِل ُ َمَْنُ ْو ُ ع الد mamnu>ʻu’d-dukhu>l yang diartikan forbidden is the entrance maksudnya dilarang masuk dan س َال َم ِة َم َع ال مmaʻa’s-sala>mah diartikan with the well-being maksudnya hati-hati. Adapun prescriptively adalah hubungan ekspresif dan resmi bahasa sasaran, seperti contoh:يخ ْوِل ُ َمَْنُ ْوmamnu>ʻu’d-dukhu>l yang diartikan no entry dan ُ ع الد
َم َع ال مس َال َم ِةmaʻa’s-sala>mah diartikan goodbye. Oleh karena itu, prinsip kesepadanan menurut
Dickins
(2002:20) adalah
sameness
(kesamaan),
normatively (berdasarkan norma), banyak masalah yang dapat terselesaikan, teoritis, dan mendidik. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam kegiatan menerjemah penerjemah harus
memperhatikan
kesepadanan,
baik
kesepadanan
makna
(lexical
equivalence) maupun kesepadanan bentuk (grammatical equivalence). Kedua hal tersebut merupakan syarat penting terhadap penilaian kualitas terjemah, karena terjemah yang baik adalah terjemah yang dapat dipahami oleh pembaca BSa dengan tetap memperhatikan kaidah BSu dan BSa. Akan tetapi, pada kondisi tertentu kesepadanan tidak bisa dipaksakan karena susunan gramatikal BSu sulit untuk disepadankan dalam BSa atau pada konteks tertentu sehingga penerjemah perlu sedikit merubah makna leksikal maupun gramatikal. Namun demikian perubahan gramatika hanya diperbolehkan jika masih dalam taraf wajar, tidak berlebihan, serta tidak membuat distorsi makna.
22
5.
Akurasi Hasil Terjemahan Menilai hasil terjemahan merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengukur kualitas hasil penerjemahan. Machali (2009:143) memberikan alasan bahwa penilaian hasil terjemahan penting (1) untuk menciptakan hubungan dialektik antara teori dan praktik penerjemahan, (2) untuk kepentingan kriteria dan standar dalam menilai kompetensi penerjemah, terutama menilai beberapa versi teks BSa dari teks BSu yang sama. Adapun menurut Nababan (2009:86) penilaian terhadap kualitas terjemahan terfokus pada tiga hal, yaitu (1) ketepatan pengalihan pesan, (2) ketepatan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, dan (3) kealamiahan bahasa terjemahan . Menurut Larson (1998:529) ada tiga hal yang digunakan untuk mengukur kualitas terjemah yaitu accurate, clear, dan natural. Oleh karena itu, menurut Larson (dalam Said, 2002:2), paling tidak ada tiga alasan menilai terjemahan, yaitu: a. Penerjemah hendak meyakini bahwa terjemahan-nya akurat. Terjemahan nya mengkomunikasikan makna yang sama dengan makna dalam BSu. Makna yang ditangkap pembaca BSu sama dengan makna yang ditangkap pembaca BSa. Tidak terjadi penyimpangan atau distorsi makna. b. Penerjemah hendak mengetahui bahwa terjemahan-nya jelas. Artinya, pembaca sasaran dapat memahami terjemahan itu dengan baik. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang elegan, sederhana, dan mudah dipahami. c. Penerjemah ingin menguji apakah terjemahan nya-wajar. Terjemahan nya mudah dibaca dan menggunakan tata bahasa dan gaya yang wajar atau lazim
23
digunakan oleh penutur BSa, alami atau tidak kaku. Penerjemah mungkin mengkomunikasikan pesan secara akurat. Dia memahami BSu dengan baik, mengalihkan pesan dengan akurat, dapat dipahami oleh pembaca, tetapi dalam memindahkan pesan ke dalam BSa, dia menggunakan bahasa yang tidak wajar, sehingga terkesan bahwa naskah adalah naskah terjemahan . Mempertahankan makna ditegaskan oleh Nida dan Taber (1982:13) sebagai berikut: meaning must be given priority for it is the content of the message which is of prime importance for Bible translating. This mean that certain rather nay even be highly desirable. Pendapat tersebut mempunyai pengertian bahwa makna harus diutamakan untuk menerjemahkan pesan yang melibatkan konteks pesan yang penting dalam menerjemahkan Kitab Injil. Ketentuan ini kadang sangat diperlukan. Terkait penilaian hasil terjemah, Machali (2009: 154-156) berpendapat bahwa (1) tidak ada penerjemahan yang sempuna karena penerjemahan yang paling bagus adalah penerjemahan yang hampir sempurna, (2) penerjemahan semantik dan komunikatif adalah reproduksi pesan yang umum, wajar, dan alami dalam BSa, (3) penilaian penerjemahan di sini adalah penilaian umum dan wajar. Oleh karena itu, beberapa nilai yang dipaparkan Machali adalah rambu-rambu bukan harga mati. Adapun rambu-rambu penilaian terjemahan yaitu: Kategori
Nilai
Indikator
Terjemahan hampir
86-90
Penyampaian wajar, hampir tidak terasa
sempurna
(A)
seperti terjemahan , tidak ada kesalahan
24
ejaan, tidak ada kesalahan/penyimpangan tata
bahasa,
tidak
ada
kekeliruan
penggunaan istilah. Tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada Terjemah sangat bagus
76-85
kekeliruan penggunaan istilah, ada satu-
(B)
dua kesalahan tata bahasa/ejaan (untuk bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan). Tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks, sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan ,
Terjemahan baik
61-75
kesalahan tata bahasa dan idiom relatif
(C)
tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks, ada satu-dua penggunaan istilah yang tidak baku/umum, ada satu-dua kesalahan tata ejaan (untuk bahasa Aab tidak boleh ada kesalahan ejaan).
Tabel 5 Parameter Penilaian Keakuratan Terjemahan Menurut Machalli Bersamaan dengan penilaian di atas, Nababan (2012:50) menambahkan teori bahwa teknik penilaian akurasi pertama kali dikenalkan oleh Nagao, Tsuji dan Nakamura (1988) yang diadaptasi oleh Nababan (2012). Dalam penerapannya strategi ini menggunakan penilaian angka skala 1-3. Keakuratan hasil terjemahan dibagi menjadi akurat, kurang akurat, dan tidak akurat. Angka-
25
angka yang digunakan dalam Parameter ini ialah sebagai nilai kecenderungan untuk menilai suatu teks. Adapun menurut Nababan (2012:50) Parameter penilaian keakuratan hasil terjemahan dapat menggunakan skala 1 sampai 3, yang dapat dilihat dalam tabel berikut: Kategori
Skor
Parameter Kualitatif
3
Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau
Terjemahan
teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam
Akurat
bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi distorsi makna 2
Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran.
Kurang Akurat
Namun,
masih
terjemahan
terdapat
distorsi
makna
atau
makna ganda (taksa) atau ada makna
yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan 1 Tidak Akurat
Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted)
Tabel 6 Parameter Akurasi Hasil Terjemahan Menurut Nababan Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan oleh Nababan dan Machalli, maka penilaian yang paling penting dalam menilai kualitas terjemahan adalah pada tingkat akurat atau ketepatan pengalihan pesan. Adapun parameter ketepatan diukur berdasarkan kealamiahan dalam menyampaikan pesan, tidak
26
ada penambahan dan pengurangan yang dapat merusak makna BSu dan menimbulkan makna ganda atau ambigu. Adapun perbedaan kedua pendapat tersebut, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Skor
Parameter kualitatif
Machalli
Nababan
Nilai yang digunakan antara
Nilai yang digunakan
61-90
antara 1-3
Menggunakan parameter
Menggunakan parameter
kewajaran dan keberterimaan
ketepatan pengalihan
pengalihan pesan
pesan
Tabel 7 Perbedaan Parameter Penilaian Keakuratan Terjemahan Berdasarkan perbedaan tersebut, maka peneliti akan menguji keakuratan hasil terjemahan berdasarkan teknik penilaian yang disampaikan oleh Nababan. Hal ini dikarenakan teori tersebut lebih sesuai diterapkan dalam penelitian ini serta mudah dipahami oleh responden yang akan menilai akurasi hasil terjemah. Adapun dalam teknik yang disampaikan Machalli melibatkan aspek kewajaran dan keberterimaan pengalihan pesan, yang dibuktikan dengan kalimatnya penyampaian wajar (dalam kategori terjemah hampir sempurna) dan kalimat tidak ada kesalahan/penyimpangan tata bahasa (dalam semua kategori). Oleh sebab itu, peneliti hanya akan menggunakan aspek kesepadanan makna dalam mengukur akurasi hasil terjemah, sehingga teknik penilaian kualitas terjemah Nababan lebih sesuai diterapkan dalam penelitian ini.
27
Adapun dalam teknis pelaksanaan peneliti akan menyebarkan angket kepada pembaca terpilih dan meminta untuk memberikan tanda check (√) pada salah satu kolom nilai 1 sampai 3 pada hasil terjemahan serta memberikan komentar pada kolom yang telah disediakan. H.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian mencakup beberapa aspek yaitu metode penelitian data, objek penelitian, sumber data, data, teknik pengumpulan data, teknik sampling, teknik analisis data, triangulasi penelitian, dan sistematika penulisan. 1) Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sutopo (2006:35) menyatakan bahwa jenis penelitian kualitatif menekankan pada deskripsi data, artinya data yang dikumpulkan dapat berupa kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekadar angka atau frekuensi. Penelitian kualitatif memiliki daya analisis data yang kuat, tidak menerima hipotesis, akan tetapi analisis yang dilakukan berupa deskripsi gejala-gejala yang diamati dengan teknik kuesioner dan angket. Sejalan dengan pendapat tersebut, Zuriah (2009:114) berpendapat bahwa metode kualitatif berkembang dalam ilmu sosial yang peralatan utamanya berupa kuesioner atau angket (wawancara) secara akurat. Sesuai masalah yang diteliti, yaitu penerjemahan pola penyusun klausa pasif yang memiliki variasi pola dari bahasa Arab, maka data yang dikumpulkan adalah klausa pasif BSa yang diambil dari fiʻl majhu>l, fiʻl maʻlu>m, shighah
28
mafʻu>l, ism mashdar, serta ism zama>n, ism maka>n dan cha>l. Penelitian deskriptif kualitatif ini menganalisis data secara induktif dikarenakan penelitian ini melibatkan hubungan peneliti-responden dan dapat ditemukannya kenyataan jamak dalam data (Moloeng, 2007:10). Oleh karena itu peneliti dapat menggali informasi dari responden dan menemukan data-data yang bervariasi sebagai bahan analisis. 2) Objek Penelitian Sesuai dengan jenis penelitian yang dikemukakan di atas, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif, maka yang menjadi objek dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material dalam penelitian ini adalah teks Maulidul-Barzanjiy karya A’s-Sayyid Jaʻfar al-Barzanj yang diterjemahkan oleh Muhammad Sidqi dan Anwar Abubakar (2013) yang diterbitkan oleh Sinar Baru Algesindo, Bandung. Adapun objek formal dalam penelitian ini adalah klausa pasif dan akurasi hasil terjemahan. 3) Sumber Data Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2006:129). Dengan demikian, sumber data penelitian ini terdiri dari dua sumber data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer penelitian ini yaitu teks Maulidul-Barzanjiy dan terjemahan-nya karya A’s-Sayyid Jaʻfar alBarzanj yang diterjemahkan oleh Sidqi dan Anwar (2013) yang diterbitkan oleh
29
Sinar Baru Algesindo. Adapun sumber sekunder adalah responden yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan serta data-data lain yang mendukung. Responden yang dipilih adalah (1) Sirojjudin Azizi pengasuh Ponpes Sedan Rembang, (2) Ahmad Hudayah Dosen Usluhuddin IAIN Surakarta, (3) Shuyadi dosen bahasa Arab Universitas Nahdhatul Ulama Surakarta, (4) Mustaqim pengajar Metode Amtsilati di Ponpes Da>ru’s-Sala>m Magelang, (5) Muhammad Hasanuddin pengajar bahasa Arab di Ponpes El-Bayan Cilacap. Informasi dari responden digunakan untuk mendapatkan nilai hasil terjemahan berdasarkan tingkat akurasi dalam penyampaian pesan pada klausa pasif. Adapun kriteria pemilihan responden adalah (1) responden mengetahui teks Maulidul-Barzanjiy, (2) responden memahami dengan baik bahasa Arab khususnya klausa pasif, dan (3) responden memiliki pengalaman dalam penerjemahan. Dengan demikian, informasi yang didapatkan dari responden diharapkan dapat dipertanggungjawabkan. 4) Data Data dalam penelitian ini diambil dari beberapa hasil terjemahan klausa pasif, baik klausa pasif dari bahasa Arab, maupun klausa pasif dalam bahasa Indonesia. Adapun klausa pasif dalam hasil terjemahan Maulidul-Barzanjiy
)٢٣ : ٣١٠٢ ،ض َعْتهُ اْل َفتَاةُ َحلِْي َمةُ ال مس ْع ِديمةُ (صدق َ ثُم أَْر
30
Tsumma ardhaʻathul- fata>tu chali>matus-saʻdiyyah (Sidqi, 2013:37) ‘Setelah itu Nabi SAW disusui oleh seorang wanita muda yang bernama Halimatus Saʻdiyah’ (Sidqi, 2013:37). Kata yang dicetak miring tersebut menunjukkan hasil terjemahan klausa pasif yang didapatkan dari pola mashdar+dhami>r dalam bahasa Arab. Sementara itu pada data
ِ )73 : ٣١٠٢ ،ح َكاهُ (صدق َ ت اْخلِ َال ْ َسلَ َم َ َت أَثْب ْ َوقْي َل أ َ َ ابْ ُن َمْن َدهُ َو Wa qi>la aslamat atsbatal-khila>fab-nu mandahu wa chaka>hu (Sidqi, 2013:37) ‘Tetapi menurut pendapat yang lain, ia masuk Islam. Perbedaan pendapat ini dapat dibuktikan oleh Ibnu Mandah dalam riwayat yang dikemukakannya’ (Sidqi, 2013:37). Klausa yang digaris bawahi tersebut, menunjukkan hasil terjemahan
ِ اْ ِلف ْعل الْ َمal-fiʻlul-ma>dhi mabniyyun lilklausa pasif yang berasal dari ن لِْل َم ْعلُ ْوِم ٌّ ِ اض َمْب ُ maʻlu>m. Pada kata tersebut juga menunjukkan adanya perubahan makna, kata
ت َ َ أَثْبatsbata yang seharusnya kata dimaknai ‘tetapnya’, menjadi ‘dibuktikan’. Serta kata ُح َكاه َ chaka>hu yang diartikan ‘dikemukakannya’, klausa pasif ini berasal dari al-fi’lul-ma’lu>m+dhami>r muttashil atau kata kerja aktif+kata ganti persona, berupa ُه َوhuwa yang berarti ‘dia’. Hal ini jelas menunjukkan adanya perbedaan antara BSu dengan BSa, selain itu bentuk konstruksi pasif dalam BSu adalah sesuai dengan rumus konstruksi pasif, bukan berasal dari الفعل املعلومalfiʻlul-maʻlu>m.
31
Beberapa fenomena penerjemahan tersebut merupakan sampel dari keseluruhan fenomena dalam Maulidul-Barzanjiy. Sementara itu, pembahasan lebih mendalam akan diuraikan dalam BAB II. 5) Teknik Sampling Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan (sampling ) yang
bersifat
selektif
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan
berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empiris, dan lain-lain (Sutopo, 2006:138). Dalam penelitian kualitatif, sampel yang diambil lebih bersifat selektif, artinya data yang dipilih lebih cenderung mewakili informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Adapun kriteria sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah klausa pasif bahasa Indonesia. Dengan kata lain, kriteria sampel dalam penelitian ini adalah hasil terjemahan berupa klausa pasif yang berasal dari bermacam-macam pola yang menyusun klausa. Teknik sampling ini digunakan untuk mengumpulkan datadata sebagai suatu masalah yang akan dipecahkan oleh dua masalah yang dipilih peneliti. Berdasarkan teknik sampling ini maka data-data yang didapatkan adalah klausa pasif dalam teks terjemah Maulidul-Barzanjiy. 6) Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dibagi menjadi dua, yaitu metode noninteraktif dan metode interaktif (Sutopo, 2006:58). Metode noninteraktif meliputi observasi tidak berperan serta, partisipasi tidak berperan, pencatatan dokumen dan kuesioner, sedangkan metode interaktif meliputi wawancara dan observasi berperan serta (Sutopo, 2006:61). Dengan demikian,
32
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan catat, kuesioner, dan wawancara mendalam. Kedua metode pengumpulan data tersebut digunakan untuk mengumpulkan data pada dua rumusan masalah. Adapun untuk mengumpulkan data pada rumusan masalah pertama yang berkaitan dengan penerjemahan klausa pasif dalam teks terjemah Maulidul-Barzanjiy adalah metode noninteraktif. Metode noninteraktif yang diterapkan adalah dengan menggunakan teknik pencatatan dokumen, dengan langkah-langkah: 5.1 Menyaring data-data BSa yang memiliki konstruksi klausa pasif, seperti klausa dan pintu langit diperketat penjagaannya. Klausa ini berasal dari
ِ فَ ِزي َدfa zi>dati’s-sama>u chifzhan konstruksi BSu س َماءُ ِح ْفظًا ت ال م ْ 5.2 Mengelompokkan data-data yang terjaring tersebut menjadi lima pola
ِ penyusun klausa pasif BSa, yaitu pola ل ُ يُ ْف َع- فُع َلfuʻila-yufʻalu, pola ِ ض ِمْي ر+ َ اْلف ْع ُل الْ َم ْعلُ ْومal-fiʻlul-maʻlu>m+dhami>r, pola صيغة املفعولshi>ghatul-mafʻu>l, pola ض ِمْي ر+ اسم ismul-mashdar+dhami>r, dan pola َ ص َدر ْ الْ َم ضمري+ إسم الزمان و املكان و احلالismu’z-zama>n wal-maka>n wal-cha>l+dhami>r.
5.3 Menganalisis masing-masing penerjemahan pola penyusun klausa pasif. Adapun metode interaktif digunakan untuk menyelesaikan rumusan masalah kedua yang berkaitan dengan akurasi hasil terjemahan dalam teks Maulidul-Barzanjiy. Metode tersebut dilakukan dengan langkah-langkah: a) Pencatatan Dokumen Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data pada rumusan masalah kedua, karena rumusan masalah kedua berkaitan dengan pelibatan responden dalam menilai kualitas hasil terjemahan. Adapun langkah-langkahnya adalah:
33
a.1 Membaca keseluruhan teks tejemahan Maulidul-Barzanjiy dengan teliti. a.2 Membaca dengan teliti kata, kelompok kata, klausa, kalimat, atau paragraf dalam teks Maulidul-Barzanjiy, sehingga dalam hal ini peneliti memilih klausa pasif dalam BSu sebagai objek penelitian. a.3 Mencatat semua klausa pasif dari bahasa Indonesia, baik yang memiliki penanda pasif berupa konfiks di-, ter-, maupun konfiks ke-an sehingga didapatkan data yang berjumlah 156 klausa pasif, seperti: ‘Mengingat hal tersebut, maka dianjurkan berdiri’ Klausa tersebut didapatkan dari teks BSu berikut:
ِ استَ ْح َس َن اْ ِلقيَ َام ْ َه َِا َو قَد Ha>dza> wa qadis-tachsanal-qiya>ma (Sidqi, 2013:26) a.4 Membuat kartu data dengan cara memberi kode pada data klausa pasif, serta mengklasifikasikan data berdasarkan pola penyusun klausa pasif. Contoh: 01/01/FU/04 01
:Nomor urut data
02
:Nomor urut kategori pola atau wazn
FU
ِ :Data yang termasuk dalam kategori pola ل ُ يُ ْف َع- فُع َلfuʻilayufʻalu. Begitu juga singkatan-singkatan seperti MAD, INF, FA, FIʻL, AF, IFT, MF, MSD, dan ISM. Pada data MAD akan ditemui pula singkatan tambahan, yang merupakan singkatan yang menunjukkan spesifikasi wazn dari fiʻl maʻlu>m.
04
:Halaman data pada teks Maulidul-Barzanjiy
34
b) Kuesioner Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden (Arikunto, 2006:151). Kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Parameter atau alat pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaanpertanyaan yang harus dijawab atau direspon oleh responden (Sutopo, 2006:82). Responden mempunyai kebebasan untuk memberikan jawaban atau respon sesuai dengan persepsinya. Pengumpulan data melalui kuesioner dilakukan secara tertulis dengan pendistribusian daftar data klausa pasif BSa kepada responden. Dalam kuesioner tersebut responden diminta untuk mengisi data diri dan responden memberikan tanda check (√) pada kolom yag sesuai. Dalam kuesioner ini juga diberi ruang yang cukup yaitu kolom komentar untuk memberikan kesempatan kepada responden untuk menulis alasan mengapa responden menjawab demikian, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah yang ditanyakan. c) Wawancara Mendalam Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dari responden. Informasi tersebut berkaitan dengan penerjemahan klausa pasif dan penilaian yang diberikan oleh responden. Wawancara mendalam (in-depth
35
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang relatif lama (Sutopo 2006:72). Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau informan hunter) dengan sumber informasi (interviewee) (Sutopo 2006:74). Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur (Esterberg dalam Sugiyono, 2015:319). Dalam penelitian ini, kegiatan wawancara dilakukan secara tidak berstruktur, karena peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara lengkap dan sistematis. Peneliti melakukan
wawancara
untuk
menanyakan
permasalahan
mengenai
ketidakakuratan hasil terjemahan dan penerjemahan klausa pasif yang didapatkan pola penyusun klausa yang bermacam-macam. 7) Teknik Analisa Data Teknik analisis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu teknik analisis data deskriptif komparatif dan teknik analisis data model interaktif. a) Teknik Analisis Data Deskriptif Komparatif Teknik analisis data model ini digunakan untuk menganalisis data pada rumusan masalah pertama yang berkaitan dengan penerjemahan pola
36
penyusun klausa pasif dalam teks Maulidul-Barzanjiy. Pada teknik ini, peneliti menggunakan dua langkah analisis data, yaitu: a.1 Analisis komparatif Analisis komparatif dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan data, menganalisis kesalahan-kesalahan
struktur
bahasa,
dan
pembenaran pada kesalahan hasil terjemahan
terakhir
menyiapkan
(Winarno, 1994:139).
Analisis ini digunakan untuk membandingkan dua struktur bahasa yang berbeda
yaitu
bahasa
Arab
dan
bahasa
Indonesia.
Setelah
membandingkan dua struktur bahasa tersebut, peneliti mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa. Peneliti menemukan 156 klausa pasif BSa, akan tetapi dalam BSu konstruksi pasif hanya berjumlah 45 data. Klausa pasif BSa ternyata tidak hanya berasal dari konstruksi pasif, tetapi juga berasal dari konstruksi aktif dan kata benda. a.2 Analisis deskriptif Pada
tahap
ini,
peneliti
menganalisis
data
dengan
mendeskripsikan masing-masing pola yang menyusun klausa pasif. Pada analisis deskriptif ini langkah yang dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusun data, kemudian data dianalisis, diklasifikasikan, dan ditafsirkan (Winarno, 1994:140). Data-data dalam penelitian dapat dibahas dengan menggunakan pola pikir induktif dan deduktif. Pola pikir induktif adalah pola pikir yang bersandar pada fakta yang bersifat
37
khusus,
kemudian
dianalisis
dan
dipahami
untuk
menemukan
pemecahan masalah yang bersifat umum, sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang bersandar pada fakta yang bersifat umum, kemudian dianalisis dan dipahami untuk menemukan solusi dari permasalahan yang bersifat khusus (Winarno, 1994:140). Dalam penelitian ini, analisis data menggunakan pola pikir induktif, karena fakta penerjemahan klausa pasif yang berasal dari berbagai pola BSu hanya terdapat dalam teks Maulidul-Barzanjiy. b) Teknik Analisis Data Model Interaktif Teknik analisis data model interaktif digunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua yang berkaitan dengan akurasi hasil terjemahan Maulidul-Barzanjiy. Adapun langkah analisis ini meliputi tiga hal yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi (Miles dan Huberman, 1994:10). b.1 Data Reduction (Reduksi Data) Reduksi data meliputi proses seleksi, fokus pada masalah yang diteliti, dan mentransfer data pada turunan yang paling dekat (Miles dan Huberman, 1994:10). Pada tahap ini, peneliti harus melakukan seleksi dan penyederhanaan. Proses ini dilakukan secara terus-menerus sebelum kegiatan di lapangan. Adapun proses yang dilakukan peneliti adalah menyaring data-data yang berupa klausa pasif bahasa Indonesia. Klausa pasif dalam bahasa Indonesia ini merupakan hasil terjemahan. Oleh karena itu data yang diambil dari penelitian ini adalah klausa pasif
38
bahasa Indonesia yang disusun oleh fiʻl majhu>l, fiʻl maʻlu>m, shighah mafʻu>l, ism mashdar, serta ism zama>n, ism maka>n dan cha>l. Setelah data disaring, data dikelompokkan berdasarkan pola yang menyusun klausa pasif tersebut. Dalam pengelompokan ini, peneliti membuat coding (pengkodean) pada data-data yang ditemukan. b.2 Data Display (Penyajian Data) Penyajian data adalah suatu proses organized (pengelompokan) dan compressed (meringkas) informasi-informasi yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan (Miles dan Huberman, 1994:11). Pada tahap ini, peneliti mulai mengumpulkan data-data klausa pasif BSa dalam polapola tertentu kemudian data tersebut diberi kode-kode tertentu. Kode yang dicantumkan dalam data, seperti FU, MAD, MF, MSD, dan ISM. Setelah data dikelompokkan berdasarkan pola, selanjutnya data-data tersebut disajikan dalam tabel, diurukan berdasarkan pola yang sejenis dan halaman data pada teks Maulidul-Barzanjiy. b.3 Conclusion Drawing/Verification (Kesimpulan/Verifikasi) Verifikasi adalah membuktikan kebenaran data berdasarkan hasil penelitian di lapangan (Miles dan Huberman, 1994:11). Pada tahap ini, peneliti melakukan penelitian untuk menguji kebenaran hasil terjemahan klausa pasif berdasarkan pola-pola yang telah dikelompokkan. Pengujian data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner kepada
39
responden yang telah ditentukan untuk mengukur kualitas hasil terjemahan teks Maulidul-Barzanjiy. 8) Validitas Data Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus dipastikan kemantapan dan kebenaranya. Oleh karena itu, setiap peneliti harus mampu memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang telah diperoleh. Sutopo (2006:70) menyatakan, cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif adalah triangulasi. Penelitian ini menggunakan empat triangulasi.
a.
Triangulasi Data Teknik triangulasi data juga sering disebut sebagai triangulasi sumber. Cara ini mengarahkan peneliti agar pada saat mengumpulkan data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda (Sutopo, 2006:72). Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan data dari teks sumber yaitu teks Maulidul-Barzanjiy yang berupa klausa pasif. Akan tetapi sebelum peneliti memastikan sumber data untuk penelitian, peneliti membandingkan hasil terjemahan teks Maulidul-Barzanjiy dari sumber lain, yaitu teks yang diterjemahkan oleh Muhammad (1983) dan Asrori (2009). Dengan demikian, peneliti dapat memastikan bahwa hasil terjemahan Maulidul-Barzanjiy yang digunakan adalah teks yang diterjemahkan oleh Sidqi dan Anwar (2013)
40
dikarenakan pada hasil terjemahan tersebut ditemukan klausa pasif yang cukup banyak yaitu sejumlah 156 klausa. Selain penggalian data dari sumber asli untuk melihat hasil terjemahan
pada klausa pasif, peneliti juga
melakukan kegiatan penilaian akurasi pada hasil terjemahan. b. Triangulasi Metodologis Selain menggunakan triangulasi sumber, peneliti dalam penelitian kualitatif juga dapat menggunakan triangulasi metode untuk meningkatkan validitas data. Sutopo (2006:72) mengatakan, jenis triangulasi metode bisa dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan data sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya menggunakan metode pencatatan dokumen untuk melihat hasil penerjemahan pola penyusun klausa pasif dalam teks Maulidul-Barzanjiy, tetapi juga menggunakan teknik wawancara mendalam kepada para responden untuk mendapatkan keterangan dan data hasil terjemahan yang lebih valid dan akurat. Dalam hal ini, teknik triangulasi metodologis beriringan dengan teknik triangulasi sumber, namun yang ditekankan adalah teknik pengumpulan datanya, bukan pada sumber datanya. Teknik pengumpulan data dibagi menjadi dua, yaitu dengan teknik interaktif dan non-interaktif (Sutopo, 2006:72). Teknik non-interaktif digunakan untuk mengumpulkan data terkait dengan rumusan masalah pertama yaitu penerjemahan pola penyusun klausa pasif. Pada tahap ini, peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data dengan cara mencatat klausa pasif BSa kemudian memberikan tanda dengan garis bawah. Setelah data digaris
41
bawahi, peneliti meninjau ulang klausa pasif tersebut pada predikatnya. Dalam hal ini, peneliti menemukan beberapa fenomena, seperti klausa pasif BSu predikat verbalnya berasal dari fiʻl majhu>l, fiʻl maʻlu>m, shi>ghah mafʻu>l, ism
mashdar, ism zama>n, ism maka>n dan cha>l. Adapun
teknik
pengumpulan
data
interaktif
digunakan
untuk
menyelesaikan rumusan masalah kedua terkait akurasi hasil terjemahan klausa pasif dalam teks Maulidul-Barzanjiy. Pada tahap ini, data-data dalam teks Maulidul-Barzanjiy dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner kepada lima orang responden terpilih. Selama dua satu sampai dua hari responden diminta untuk memberikan nilai akurasi pada hasil terjemahan teks MaulidulBarzanjiy beserta komentar pada kolom yang telah disediakan. Pada hari selanjutnya, peneliti kembali mendatangi responden untuk melakukan wawancara mendalam.
c.
Triangulasi Peneliti Triangulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data ataupun kesimpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhan data tentang akurasi hasil terjemahan
teks Maulidul-Barzanjiy bisa diuji validitasnya dari
beberapa peneliti. Sutopo (2006:72) menyatakan, dari pandangan dan tafsiran beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan tersebut diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil penelitian. Dalam penelitian ini, triangulasi peneliti yang digunakan adalah para pakar bahasa Arab sebagai responden dan narasumber untuk mengecek
42
keabsahan data dan akurasi hasil terjemahan. Pemilihan para pakar atau responden didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan dalam pemilihan sumber data responden. Responden diminta bantuannya untuk memeriksa hasil terjemahan klausa pasif, memberikan penjelasan, komentar dan saran tentang akurasi penerjemahan. Teknik ini digunakan agar informan dapat memberikan jawaban dan uraian yang luas dan lengkap tentang penerjemahan klausa pasif tersebut. d. Triangulasi Teoritis Triangulasi teoritis digunakan untuk menguji validitas teori dan hasil temuan peneliti selama kegiatan di lapangan. Sutopo (2006:73) menyatakan bahwa hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Dalam kegiatan penelitian pada teks Maulidul-Barzanjiy ini peneliti menggunakan lima macam teori untuk mendalami kegiatan pengambilan data dan analisis data. Berdasarkan teori-teori yang digunakan, peneliti menemukan data-data yang tidak sesuai dengan teori, misalnya peneliti menemukan data berupa klausa pasif yang biasanya disusun oleh predikat
43
verba berupa kata kerja pasif, akan tetapi dalam teks Maulidul-Barzanjiy ini, klausa pasif yang disusun oleh verba pasif ternyata berasal dari ism (kata benda), dan fiʻl maʻlu>m (verba aktif) pada teks BSu. 9) Sistematika Penulisan Sistematika penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi empat bab. BAB I, yaitu PENDAHULUAN. Pada bab ini, terdapat latar belakang penulisan laporan penelitian, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan laporan. BAB II, yaitu PENERJEMAHAN POLA PENYUSUN KLAUSA PASIF DALAM TEKS MAULIDUL-BARZANJIY. BAB III, yaitu AKURASI HASIL TERJEMAHAN KLAUSA PASIF DALAM TEKS MAULIDUL-BARZANJIY. BAB IV, yaitu PENUTUP yang berupa kesimpulan dan saran.