BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan hidup adalah dengan peningkatan ekonomi. Didalam orang yang sudah berkeluarga tentunya mempunyai berbagai macam kebutuhan keluarga. kebutuhan yang semakin banyak ini membuat setiap orang untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dengan bekerja individu akan memenuhi kebutuhannya, Dengan bekerja juga individu dapat member makan keluarga dan dirinya sendiri, serta dapat membeli sesuatu dan memenuhi kebutuhan yang lain ( Satiadarma dan Wirawan, 2008 ). Dengan bekerja dapat dikatakan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan individu dalam aktualisasi. Seiring dengan munculnya tuntutan dari pekerjaan yang ditekuni, misalnya dimana seseorang harus meluangkan waktu lebih banyak meluangkan waktu daripada dirumah yang memungkinkan timbulnya konflik dari pasangan perkaawinan. Dimana pada zaman dahulu seorang wanita selalu diidentikan dengan aktivitas ibu rumah tangga yaitu melahirkan, membersihkan rumah, serta mengurus anak. Dengan seiringnya perkembangan zaman wanita memilih untuk bekerja di luar rumah dengan seiringnya kesetaraan gender. Seorang ibu rumah tangga tidak akan merasa dilema antara pekerjaan rumah dengan kantor, karena hanya fokus pada pekerjaan rumah. Akan tetapi,
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
pada wanita karir dituntut pada dua hal pekerjaan yaitu pekerjaan rumah dan kantor yang membuat tidak mudah dilakukan oleh wanita karir. Pandangan tradisional juga menjadi sulit dilepaskan oleh sebagian laki – laki karena banyak menguntungkan bagi mereka terutama dalam hal bidang power. Menurut teori Resource dengan bekerja berarti istri mempunyai penghasilan sumber power. Hal ini mempengaruhi istri untuk meningkatkan power dan pengaruhnya dalam proses pengambilan keputusan keluarga. Maka, suami tidak lagi berkuasa sepenuhnya dalam pengambilan keputusan dan para suami sangat mencemaskan akan kemandirian seorang istri yang bekerja. suami yang mempunyai prinsip peran tradisional laki – laki sebagai pelindung akan berkurang atau bahkan tidak lagi dibutuhkan seorang istri,padahal itu merupakan persepsi dari pihak suami ( Soekarsono, 1994 ). Individu pada masa dewasa awal beranjak dari masa-masa sekolah yang masih bergantung pada orang tua ke masa mencari pekerjaan dan mandiri secara financial, selain mencari pekerjaan, individu dewasa awal juga mempunyai tugas perkembangan lainnya yaitu membentuk kehidupan sosialnya. Individu dewasa awal dapat memilih untuk tetap single (tidak menikah), tinggal dengan pasangan dengan pernikahan yang sah atau pernikahan yang tidak sah (cohabitation), tinggal dan hidup dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama (gay dan lesbian) atau berbeda, bercerai, menikah lagi setelah perceraian, menjadi orang tua tunggal, atau tinggal tanpa anak; pilihan individu mudah berubah selama periode masa dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Individu masa dewasa awal yang telah mendapatkan pekerjaan dan mulai merancang perekonomian juga perlu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
memasuki kehidupan pernikahan dan diikuti dengan rencana memiliki keturunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Havighurst bahwa tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup dan mulai menikah (Hurlock, 1990). Hurlock (1990) juga menyatakan bahwa tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi. Pernikahan dan keluarga memberikan motivasi serta beban bagi individu masa dewasa awal untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pendidikan dan perkembangan dunia pekerjaan yang semakin maju membuat pria dan wanita sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengembangkan karir dan pekerjaan. Sejak semakin banyak wanita yang bekerja dan mempunyai pendidikan yang tinggi, secara alami juga menghasilkan pasangan dengan karir yang berbeda (dual-career couples)(Sarah Muterko, 2007). Setiap
orang
yang
berada
dalam
suatu
hubungan
perkawinan
mengharapkan adanya kebahagiaan atau kepuasan dalam hubungan tersebut, akan tetapi kondisi ini tidak selalu mudah untuk diwujudkan. Dalam kehidupan perkawinan akan timbul berbagai masalah karena perkawinan melibatkan hubungan antar manusia akan timbul berbagai macam masalah ( Landis dan Landis, 1959). Seiring dengan dampak ekonomi dan tuntutan wanita bekerja, ada beberapa aspek yang muncul dalam kehidupan keluarga itu sendiri yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
berpengaruh pada perceraian yaitu kepuasan pernikahan, penyesuaian pernikahan, dan kualitas pernikahan.Kepuasan pernikahan menurut Schoen, Astone, Rothert, Standish, dan Kim (2002) adalah penilaian keseluruhan pada keadaan pernikahan dan refleksi untuk kebahagiaan dan fungsi perkawinan. Selanjutnya, penyesuaian pernikahan merupakan proses dimana seseorang atau pasangan membatasi, memakai,
atau
mengubah pola
perilaku
dan
interaksi
mereka
untuk
mengembangkan kepuasan yang maksimal dalam hubungan (Ghoroghi, Hassan, & Baba,2012). Sedangkan kualitas pernikahan adalah konsep yang multidimensi yang
didalamnya
termasuk
pengalaman
positif
(perasaan
dicintai
dan
diperhatikan) yang menghasilkan kepuasan hubungan, serta pengalaman buruk hasil tuntutan antar pasangan dan menghasilkan konflik pernikahan (Debra & Kristi, 2005). Dalam penelitian ini hanya ingin dilihat hasil penilaian pasangan terhadap kehidupan pernikahannya maka yang akan diukur berfokus pada faktor kepuasaan pernikahan. National Center of Healthy Statistic (dalam Kurdek, 2002) memaparkan bahwa kepuasan perkawinan berpengaruh hampir setengah dari keseluruhan pernikahan yang berakhir dengan perceraian. Pekerjaan dan penghasilan mempengaruhi kehidupan keluarga sehingga memunculkan beberapa bentuk kehidupan keluarga dengan pasangan yang bekerja misalnya pasangan yang lebih mementingkan karir, sehingga tidak begitu memperhatikan kehidupan keluarga, akhirnya kehidupan keluarga pun menjadi terancam kemudian berakhir pada perceraian. Ada pasangan yang mementingkan kehidupan keluarga, sehingga salah satu dari pasangan itu, baik suami atau istri rela meninggalkan pekerjaan untuk mengurusi kehidupan keluarga. Ada juga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
pasangan yang sama-sama mementingkan kehidupan karir dan keluarganya, dimana suami dan istri sama-sama mempunyai pekerjaan, namun tetap memperhatikan keluarganya. Pasangan suami istri yang mengembangkan karir mereka pada saat yang bersamaan dalam suatu pernikahan disebut sebagai dualcareer couples ( Hall & Moss, 2001 ). Ada beberapa hal yang menguntungkan dalam kehidupan pasangan dualcareer misalnya dukungan emosional dari pasangan ketika salah satu pasangan mempunyai masalah, karir istri dan suami sama-sama membantu menguatkan keuangan keluarga. Selain menguntungkan, kehidupan keluarga dual-career juga mempunyai kerugian misalnya kurang fleksibelnya waktu bekerja sehingga mengganggu acara keluarga ataupun kadang-kadang acara keluarga mengganggu waktu kerja. Kepuasan pernikahan seesorang yang rendah akan meningkatkan stress dan menurunkan Kesejahteraan Psikologisnya ( Ross et al, dalam Prasetya, 2005). Dengan Banyaknya pasangan Suami- Istri dengan karir ganda ( Dual Career Couples) dianggap sebagai “Biang keladi” atau penyebab utama meningkatnya angka perceraian secara drastic (Hall & Moss, 2001). Ada juga beberapa hal yang sekaligus memberikan keuntungan dan kerugian dalam kehidupan keluarga dual-career misalnya pembagian pekerjaan rumah dan letak geografis. Pembagian pekerjaan rumah dirasakan sebagai keuntungan ketika pembagian tugas yang sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan rumah sehingga pasangan tidak merasa memiliki pekerjaan yang lebih berat dari pasangan lainnya karena harus mengurusi rumah selain pekerjaan. Pembagian tugas pekerjaan rumah dirasakan sebagai hal yang merugikan yaitu pembagian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
tugas rumah yang tidak merata sehingga menyebabkan salah satu pasangan umumnya istri merasa bahwa suami menghambat perkembangan karirnya dengan tidak bersedia membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Letak geografis penempatan pekerjaan juga dapat mendukung atau bahkan mempersulit keadaan pasangan dual-career. Dunia pekerjaan saat ini semakin dipengaruhi oleh proses globalisasi dan berbagai aktivitas pekerjaan yang tidak dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah (Gustafson, 2006). Beberapa pekerjaan menempatkan individu dekat dengan tempat tinggal dan keluarganya, namun ada juga pekerjaan yang menempatkan individu jauh dari tempat tinggal dan keluarga. Kesempatan karir bagi wanita yang semakin tinggi dan adanya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di satu daerah geografis menyebabkan munculnya konflik untuk memilih karir mana yang harus didahulukan (Anderson,1992 dalam Rhodes, 2002). Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) dalam Republika (2012) menyatakan bahwa di tahun 2011 tingkat perceraian di Indonesia akan meningkat seperti di tahun sebelumnya yaitu yang tercatat selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Oleh karena selalu adanya kenaikan lebih dari 10 persen di setiap tahun, sehingga tidak dipungkiri bahwa angka perceraian akan meningkat. Hal ini terlihat jelas lewat tulisan Rahman (2012) dalam kolom opini Kompasiana bahwa Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah melaporkan adanya 3007 perkara perceraian dari awal tahun 2011 hingga Juni 2012.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Eksposnews (2012) dihadirkan data yang dirilis Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI bahwa pada tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia yang menikah adalah sebanyak 2 juta orang, sementara itu 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian. Hal ini berarti 8% dari pernikahan berakhir dengan perceraian. Sedangkan Berita Satu (2012) mencatat dalam BkkbN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) ada lebih dari 200.000 kasus perceraian di Indonesia setiap tahun, dan angka perceraian tersebut membuat Indonesia mencapai rekor tertinggi se-Asia Pasifik. Olson dan DeFrain (2006) berusaha menjelaskan penyebab perceraian keluarga dengan memaparkan beberapa permasalah dari lingkungan sosial, yaitu: perubahan sosial yang cepat terutama terkait masalah ekonomi dan teknologi, persaingan ekonomi, tuntutan untuk bekerja sehingga waktu bertemu semakin sedikit, perubahan peran gender dan kekuasaan dalam keluarga yang diakibatkan oleh mulai banyak wanita bekerja, dan permasalahan keuangan keluarga akibat bergejolaknya perekonomian. Dari beberapa permasalahan yang dimunculkan oleh lingkungan sosial, dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan ekonomi penyebab perceraian adalah kondisi yang sangat sesuai untuk mengambarkan pasangan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dari pernyataan Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Prof Dr Meutia Hatta dalam Pos kota (2012) bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab terbanyak. Berdasarkan Data tersebut adalah 70 persen yang mengajukan cerai adalah istri, dengan alasan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Senada dengan itu, Neng Dara Affiah selaku
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
Komisioner Komnas Perempuan dalam Sindo Weekly (2012) melihat ada sejumlah faktor yang menyebabkan peningkatan angka perceraian dan terutama dari faktor ekonomi, karena ketidakmampuan suami untuk menafkahi keluarga. Faktor ekonomi yang lainnya, yaitu: inflansi, tingginya biaya hidup, dan keinginan untuk hidup lebih baik mempengaruhi semakin tingginya tuntunan untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Tuntutan ini yang menjadi alasan utama wanita memilih untuk bekerja, meskipun sebenarnya alasan wanita untuk bekerja bisa juga disebabkan karena masalah di luar ekonomi (DeGenova, 2008). BPS Provinsi DKI Jakarta (2011) mencatat bahwa dibulan Februari 2011 angka wanita bekerja sebesar 1.671.010 orang dan ditahun berikutnya yaitu Februari 2012 terjadi peningkatan hingga mencapai 1.803.530 orang. Glass (dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa dari penelitiannya dihasilkan ada perbedaan antara wanita yang bekerja di luar rumah dengan yang tidak. Wanita yang tidak bekerja di luar rumah akan fokus pada pekerjaan rumah tangga dan kehidupan seksualnya, sehingga bagi wanita bekerja, pekerjaan membuat mereka merasa terbebani, karena diharuskan bekerja dan mengurusi pekerjaan rumah tangga (DeGenova, 2008). Bagi individu yang sedang mengejar karir, konflik untuk memilih karir atau keluarga mungkin menjadi tantangan yang berat, apakah berhenti dari pekerjaan, atau mengambil kesempatan tersebut untuk memperoleh tingkatan karir yang lebih tinggi. Idealnya, tentu saja mencari pekerjaan yang menempatkan kedua pasangan pada satu wilayah, namun kenyataannya belum tentu pasangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
dual-career dapat memilih penempatan pekerjaan jika penempatan kerja di wilayah lain memberikan keuntungan bagi karir pasangan. Salah satu solusi tradisional adalah salah satu pasangan, khususnya istri, atau bahkan kedua pasangan untuk memilih dan mencari pekerjaan yang kurang menarik supaya dapat tetap tinggal dalam satu rumah (Anderson & Spruill,1993 dalam Rhodes, 2002). Pada keluarga yang menganut peran yang tradisional, biasanya karir suami dianggap lebih penting daripada karir istri sehingga istri harus mengikuti suami untuk pindah ke wilayah lain. Dapat disimpulkan bahwa perekonomian merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi keluarga masa kini, karena kondisi ini mengharuskan keduanya untuk bekerja dan disisi lain menjadikan waktu bersama pasangan berkurang. Minimnya waktu bersama pasangan ini yang kemudian menurunkan kepuasan pernikahan dan memunculkan peluang perceraian dalam rumah tangga. Pasangan bekerja kebanyakan adalah pasangan muda yang berada pada usia 20-40 tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Hal ini dikarenakan pada rentang usia tersebut merupakan usia yang produktif. Pasangan muda ini rata-rata berada di tahap awal pernikahan dimana baru beradaptasi dan menyesuaikan diri yaitu 1-5 tahun pernikahan (Sadarjoen, 2012). Pasangan muda di tahap awal pernikahan akan mengalami banyak perubahan dan hal-hal yang tidak diduga terutama mengurus anak, bekerja, dan rumah tangga sehingga kepuasan pernikahan menurun (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006). Sesuai dengan pernyataan Musdalifah dalam artikel Kementrian Agama Republik Indonesia (2012) bahwa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
80% penyumbang terbesar perceraian adalah pasangan muda (usia perkawinan di bawah 5 tahun). Dari fenomena yang ada yaitu tingginya angka perceraian yang utamanya disebabkan karena situasi perekonomian yang makin buruk, tuntutan bagi pasangan untuk keduanya bekerja, tantangan mengatur waktu untuk bersama pasangan, serta mengurus pekerjaan, rumah tangga, dan anak menjadi sorotan utama yang digunakan untuk usaha peningkatan kepuasan.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka, dapat dirumuskan permasalahan: 1. Bagaimana GambaranKepuasan Pasangan Dengan Pendapatan Istri Lebih Besar Daripada Suami? 1.3 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu: Untuk mengetahui bagaimana Gambaran Kepuasan Pernikahan Pasangan dengan pendapatan Istri Lebih Besar Daripada Suami. Dimana penelitian sebelumnya terdapat ketidakpuasan di dalam waktu luang sehingga peneliti ingin melihat lebih jauh apakah terdapat ketidakpuasan lainnya di dalam aspek-aspek kepuasan pernikahan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
1.4 ManfaatPenelitian Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi ranah psikologi klinis terutama yang terkait dengan keluarga dan pernikahan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pengembangan disiplin ilmu psikologi lainnya, misalnya: psikologi sosial . 2. Manfaat Praktis Memberi pengetahuan bagi pasangan suami-istri yang keduanya bekerja bahwa terdapat Konflik di dalam Kepuasan Pernikahan. Memberikan pengetahuan bagi para ahli konseling atau pun terapi bahwa terdapat Konflik yaitu Kepuasan Pernikahan pasangan dengan Pendapatan Istri Lebih Besar Daripada Istri.
http://digilib.mercubuana.ac.id/