BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Novel adalah salah satu karya sastra fiksi yang isinya berupa alur cerita atau sebuah kisah dengan segala permasalahannya yang cukup banyak dan kompleks. Di dunia sastra yang modern ini, dapat ditemukan banyak sekali novel yang sudah beredar di pasaran. Mulai dari novel yang ditulis pengarang terkenal maupun mereka yang masih pemula, dan dengan berbagai genre serta ciri khas tertentu dari pengarangnya. Menganalisis sebuah novel merupakan salah satu cara untuk memahami novel tersebut secara lebih dalam dan mendetail. Secara umum, terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis atau mengkaji sebuah novel, yaitu pendekatan ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif. Menurut Abrams ( 1979 : 3-29), pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra; pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada peranan pembaca sebagai penyambut atau penghayat sastra; pendekatan mimetik adalah pendekatan yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata; sedangkan pendekatan objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai sesuatu struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik. Novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” merupakan salah satu karya sastra yang menarik yang ditulis oleh sastrawan terkenal AA. Navis. Di dalam novel ini mengandung banyak nilai-nilai kehidupan yang pantas untuk dipelajari oleh pembaca. Oleh karena itu, penulis memilih novel ini untuk dianalisis dan dikaji lebih dalam.
B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan objektif ? 2. Bagaimana penerapan pendekatan objektif untuk mengkaji novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” karya AA. Navis ?
C. Metode Pendekatan Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan objektif untuk menganalisis atau mengkaji novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” karya AA. Navis,
1
untuk memaparkan secara lebih mendetail mengenai struktur pembangun (unsur instrinsik) novel tersebut.
D. Tujuan 1. Memenuhi tugas mata kuliah Fiksi. 2. Menambah pengetahuan mengenai pendekatan kajian fiksi. 3. Menambah pengetahuan mengenai hakikat fiksi dan unsur-unsurnya. 4. Mengkaji lebih dalam unsur-unsur pembangun (intrinsik) dalam novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” karya AA. Navis.
E. Manfaat 1. Memberikan pengetahuan mengenai pendekatan kajian fiksi. 2.
Memberikan pengetahuan mengenai hakikat fiksi dan unsur-unsurnya.
3. Memberikan pengetahuan mengenai unsur-unsur pembangun (intrinsik) dalam novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” karya AA. Navis. 4. Mengetahui nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” karya AA. Navis.
2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pendekatan Kajian Sastra 1. Pendekatan mimetik Pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaa karya sastra yang akan dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak bercerita tentang "kawin" paksa. Maka dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun tersebut yang berupa latar belakang sumber penciptaannya. 2. Pendekatan ekspresif Pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran atau perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra, dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan, seperti kapan dan di mana dia dilahirkan, pendidikan sastrawan, agama, latar belakang sosial budayannya, juga pandanga kelompok sosialnya. 3. Pendekatan pragmatik Pendekatan
yang
memandang
karya
sastra
sebagai
sarana
untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 1994). Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung
3
dalam karya sastra makan semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi pembacannya. 4. Pendekatan objektif Pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca. Pendekatan ini juga disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. 5. Pendekatan struktural Pendekatan yang memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1984). Dalam penerapannya pendekatan ini memahami karya sastra secara close reading. Atau mengkaji tanpa melihat pengarang dan hubunga dengan realitasnya. Analisis terfokus pada unsur intrinsik karya sastrra. Dalam hal ini setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur yang lain. 6. Pendekatan Semiotik Pendekatan semiotik memandang sebuah karya sastra sebagai sebuah sistem tanda.Secara sistematik, semiotik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem lambang, dan proses-proses perlambangan. Pendekatan ini memandang fenomena sosial dan budaya sebagai suatu sistem tanda. Tanda tersebut hadir juga dalam kehidupan sehari misal: bendera putih di depan gang, maka orang akan berpikir ada salah satu keluarga yang sedang ada yang berduka. contoh lain adalah mendung: orang akan berpikir hujan akan segera turun sebentar lagi. Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan tentang latarbelakang sosial-budaya karya sastra tersebut dibuat. Tanda, dalam pendekatan ini terdiri dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu). 7. Pendekatan Sosiologi Sastra Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik. Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatannya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh fakta
4
bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu masyarakat (Sapardi Djoko Damono 1979). 8. Pendekatan Resepsi Sastra Resepsi berarti tanggapan. Dari pengertian tersebut dapat kita pahami makna resepsi sastra adalah tanggapan dari pembaca terhadap sebuah karya sastra. Pendekatan ini mencoba memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembacanya. 9. Pendekatan Psikologi Sastra Wellek & Waren (1990) mengemukakan empat kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebgai tipe atau pribadi. Kedua studi proses kreatif. Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Pengertian keempat menurut Wellek & Waren (1990) terasa lebih dekat pada sosiologi pembaca. 10. Pendekatan Moral Di samping karya sastra dapat dibahas dan dikritik berdasrkan sejumlah pendelatan yang telah diuraikan sebelumnnya, karya sastra juga dapat dibahasa dan dikritik dengan pendekatan moral. Sejauh manakah sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas epada pembacanya. Yang dimaksudkan dengan moral adalah suatu norma etika, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnnya. Moral berkaitan erat dengan baik dan buruk. Pendekatan ini masuk dalam pendekatan pragmatik 11. Pendekatan Feminisme Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis. Pendekatan feminisme ialah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandan eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra (Djananegara, 2000:15).
B. Hakikat dan Unsur-unsur Fiksi Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 2) dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan – hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan 5
tujuannya yang sekaligus memasukan unsur hubungan dan dengan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 2) istilah fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah tetapi suatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi yaitu tokoh, peristiwa dan tempat yang disebut – sebut dalam karya fiksi bersifat imajinatif sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual. Jadi, secara ringkasnya, fiksi adalah karya sastra yang bersifat imaginatif atau khayalan. Secara umum fiksi dibagi menjadi tiga, yaitu novel, novelet, dan cerpen. Di dalam ketiganya berisi alur cerita yang ditulis oleh pengarang yang berupa imajinasi pengarang. Yang membedakan antara ketiganyanya yaitu panjang cerita dan banyak serta kerumitan konflik yang ada di dalamnya. Novel memiliki alur cerita yang panjang dan banyak konflik yang kompleks di dalamnya. Novelet memiliki alur cerita yang sedang dan jumlah konflik dan kerumitan yang sedang pula. Sedangkan cerpen, memiliki alur cerita yang pendek dan biasanya hanya memiliki satu konflik saja. Cerpen biasa disebut dengan karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Fiksi dibangun dengan dua unsur, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur Ekstrinsik. Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2009: 23) adalah unsur yang berada di luar karya fiksi yang mempengaruhi lahirnya karya namun tidak menjadi bagian di dalam karya fiksi itu sendiri. Sebelumnya Wellek dan Warren (1956) juga berpendapat bahwa unsur ektrinsik merupakan keadaan subjektivitas pengarang yang tentang sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang melatarbelakangi lahirnya suatu karya fiksi, dapat dikatakan unsur biografi pengarang menentukan ciri karya yang akan dihasilkan. Unsur Intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu sendiri. Secara umum, unsur intrinsik dibagi menjadi tema, fakta cerita (latar, tokoh, alur), dan sarana cerita (judul, sudut pandang, gaya & nada), ditambah dengan amanat. 1. Tema Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009 : 70). Stanton menjelaskan bahwa tema dapat juga disebut ide utama atau tujuan utama. Berdasarkan dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan cerita tersebut. Penggolongan tema dibedakan atas tradisional dan non tradisional; tingkatan tema (fisik, organik, sosial, egoik, dan divine); dan utama dan tambahan. 6
2. Fakta Cerita a. Latar Latar menurut Abrams adalah landasan atau tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Siswandarti (2009: 44) juga menegaskan bahwa latar adalah pelukisan tempat, waktu, dan situasi atau suasana terjadinya suatu peristiwa. Berdasarkan pengertian tersebut latar dapat disimpulkan sebagai pelukisan tempat, waktu, dan suasana pada suatu peristiwa yang ada di cerita fiksi. Secara singkat, latar terdiri dari latar tempat, waktu, suasana, sosial budaya, dan alat. Fungsi dari latar antara lain sebagai atmosfer, pengedepanan, dan metafora. Latar sebagai atmosfer berarti latar dilihat dari apa yang disarankan, bukan apa yang dinyatakan. Latar sebagai pengedepanan berarti latar tersebut hanya menonjolkan waktu atau tempat tertentu saja. Sedangkan latar sebagai metafora berarti latar tersebut dilihat dari pembandingan cara pandang sesuatu melalui hal atau sesuatu yang lain. b. Tokoh Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita rekaan. Menurut Aminudin (2002: 79) tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165). Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995:165) tokoh cerita merupakan orangorang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita. Sedangkan yang dimaksud dengan penokohan adalah sifat atau watak dari tokoh itu sendiri. Penggambaran tokoh dapat dilakukan dengan teknik ekspositori atau dramatik. Teknik Ekspositori adalah teknik pendeskripsian, uraian, maupun penjelasan pada suatu tokoh yang diberikan secara langsung oleh pengarang. Pelukisan terhadap tokoh dijelaskan oleh pengarang dengan sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca. Sedangkan pada teknik dramatik, pendeskripsian 7
sifat dan tingkah laku tokoh digambarkan tidak secara langsung, melainkan dengan aktivitas atau tindakan verbal melalui kata-kata (percakapan dan katakata dalam pikiran), tindakan nonverbal atau tindakan fisik, dan melalui setiap peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut atau mengacu pada latar. c. Alur Alur merupakan hubungan antarperistiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya jalinanperistiwa secara kronologis (Nurgiyantoro, 2009: 112). Stanton juga berpendapat bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang di dalamnya terdapat hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Alur juga dapat berupa cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan mengambil sikap terhadap masalah yang dihadapi. Pengembangan alur dalam cerita didasarkan pada peristiwa, konflik, dan klimaks. Tiga unsur penentu alur ini memiliki keterkaitan yang rapat. Kemenarikan cerita tergantung dari ketiga unsur ini. Terdapat empat kaidah dalam alur. Kaidah alur yang pertama adalah plausibilitas. Plausibilitas adalah sifat cerita yang disajikan dalam novel atau karya fiksi yang dapat dipercaya oleh pembaca. Sifat plausibilitas muncul jika hal-hal yang ada dalam cerita dapat diimajinasikan dan dipertanggungjawabkan. Plausibilitas dalam cerita bisa didapatkan dengan mengaitkan realitas di kehidupan nyata atau kreativitas imajinatif pengarang tetap dengan syarat, dapat dipertanggungjawabkan. Suspense dalam alur merupakan unsur yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca terhadap novel atau karya fiksi. Ketika pembaca menikmatai kisah yang disajikan dan enggan berhenti, hal itu menandakan unsur suspense dalam karya fiksi tersebut terjaga dan selalu menarik keingintahuan pembacanya. Unsur suspense biasanya berada pada perasaan pembaca yang tidak mengetahui atau bimbang dalam menentukan kelanjutan cerita Unsur surprise dalam alur merupakan unsur yang berdampingan dengan suspense. Abrams (1981: 138) menyatakan bahwa surprise adalah unsur yang bersifat mengejutkan dan pada umumnya menyimpang atau bertentangan dengan harapan pembaca. Berdasarkan hal tersebut pembaca akan tetap setia dan menyelesaikan karya fiksi tersebut.
8
Unsur yang terakhir dalam kaidah alur adalah unity. Unity atau kesatupaduan kaidah alur adalah aspek keterjalinan yang padu antara unsur-unsur yang disajikan, seperti peristiwa-peristiwa, konflik-konflik, dan seluruh pengalaman kehidupan yang harus memiliki keterkaitan satu sama lain. 3. Sarana Cerita Sarana cerita adalah teknik yang dipergunakan oleh pegarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. (Nurgiyatoro, 1995 : 25). Sarana cerita terdiri atas judul, sudut pandang, dan gaya serta nada. a. Judul Pada hakikatnya judul merupakan hal yang pertama dibaca oleh pembaca fiksi. Judul merupakan elemen lapisan luar suatu fiksi. Oleh arena itu, ia merupakan elemen yang paling mudah dikenali oleh pmbaca. Kita biasanya mengharapkan agar judul suatu fiksi menjadi acuan yang sejalan dengan cerita secara keseluruhan. Walaupun demikian, jika banyak judul yang tampil tanpa mewakili suatu acuan yang jelas perlu kita sadari pula. (Suminto, 2000 : 147) b. Sudut Pandang Nurgiyantoro (2009: 246) berpendapat bahwa sudut pandang adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di dalam cerita. Siswandarti (2009: 44) juga sependapat bahwa sudut pandang adalah posisi pengarangdalam cerita fiksi. Sudut Pandang Persona Ketiga: Dia Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga adalah penceritaan yang meletakkan posisi pengarang sebagai narator dengan menyebutkan nama-nama tokoh atau menggunakan kata ganti ia, dia, dan mereka. Sudut pandang persona ketiga dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu “dia” mahatahu dan “dia” terbatas, “dia” sebagai pengamat. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Sudut pandang persona pertama “aku” merupakan sudut pandang yang menempatkan pengarang sebagai “aku” yang ikut dalam cerita. Kata ganti “dia” pada sudut pandang ini adalah “aku” sang pengarang. Pada sudut pandang ini kemahatahuan pengarang terbatas. Pengarang sebagai “aku” hanya dapat mengetahui sebatas apa yang bisa dia lihat, dengar, dan rasakan
9
berdasarkan rangsangan peristiwa maupun tokoh lain (Nurgiyantoro, 2009: 262). c. Gaya & Nada Gaya merupakan cara pengungkapan seseorang yang khas bagi seorang pengarang. Sering dikatakan bahwa gaya adalah orangnya : gaya pengarang adalah suara-suara pribadi pengarang yang terekam dalam karyanya. (Suminto, 2000 : 173). Secara ringkas, unsur-unsur yang membangun gaya seorang pengarang meliputi diksi, imajeri, dan sintaksis. Diksi secara sederhana dapat diartikan sebagai pilihan kata yang digunakan pengarang, baik bersifat denotasi atau konotasi. Imaji dibedakan menjadi imaji literal dan figurative. Imaji literal adalah kata-kata yang tidak menimbulkan perubahan atau perluasan makna. Sedangkan imaji figurative adalah kata-kata yang menimbulkan perubahan atau perluasan makna, yang biasanya dikenal dengan istilah majas. Sintaksis adalah cara pengarang menyusun kalimat-kalimat dalam karyanya, misal panjang-pendeknya atau sederhana-majemuknya. (Suminto, 2000 : 174-175). Nada “tone” adalah hal yang dapat terbaca dan terasakan melalui penyajian fakta cerita dan sarana sastra yang terpadu dan koheren. Nada “tone” ini sering diidentikkan dengan suasana, missal bersemangat, romantic, sedih, senang, gelisah, takut, dll.
4. Amanat Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, 1966: 89 via Nurgiyantoro, 2009: 321). Amanat menurut Siswandarti (2009: 44) adalah pesan-pesan yang ingin disampaikanpengarang melalui cerita, baik tersurat maupun tersirat. Berdasarkan pengertian tersebut Amanat merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui keterjalinan peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun bahan perenungan oleh pembaca.
10
BAB III PEMBAHASAN A. Pendekatan Objektif Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca. Pendekatan ini juga disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. (Wiyatmi, 2009 : 47) Jadi pada dasarnya, mengkaji suatu novel dengan pendekatan objektif berarti menganalisis unsur-unsur intrinsik dari novel tersebut. B. Analisis Novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” Sinopsis secara umum : Saraswati adala gadis remaja yang sedikit berbeda dengan remaja lainnya. Ia bisu dan tuli. Saat itu, ia kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam kecelakaan. Saraswati menjadi anak sebatang kara. Ia pun harus pinda dari Jakarta ke Padang untuk tinggal bersama Angah dan kedua putranya, Busra dan Bisri. Awalnya, Saraswati yang merasa nyaman bersama mereka, menjadi sangat kesal kepada mereka. Ia diminta untuk mengurus itik, menggmbala kambing, dan tidur di kamar yang terpisah dengan rumah tengah. Ia merasa tidak dihargai sama sekali. Anakanak di desa juga sering mengganggunya. Sarswati merasa dipuncak batas sabarannya. Ia pun melakukan pemberontakan kepada keluarga barunya. Ia berhenti melakukan pekerjaannya, yaitu mencuci, memasak, dan mengurus itik dan kambing. Ia juga mencaci maki -dengan caranya sendirimenunjukkan perbedaan antara kehidupannya di kota dan di desa sekarang. Setelah pemberontakan itu, Saraswati tak lagi diminta untuk mengurus itik dan menggembala kambing. Ia belajar menjahit dan menyulam. Bahkan ia juga diajari untuk membaca, menulis, dan berbicara. Busra senantiasa membantunya, berbeda dengan Bisri yang sering kali mengganggu dan menjailinya. Saraswati kembali akrab dengan keluarganya. Bisri menjadi tentara -karena pada saat itu mulai terjadi perang- dan jarang berada di rumah. Pada saat itu, Saraswati dan Bisri mulai menjalin cinta. Ia selalu merindukannya. Suatu ketika, tentara musuh menyerbu 11
rumah mereka. Angah dan Saraswati pergi meninggalkan rumah dan bergabung dengan gerombolan lain mencari tempat yang aman. Busra terpisah dengan mereka pada saat itu. Saraswati, Angah, dan gerombolannya terus melakukan perjalanan sambil berusaha mempertahankan hidupnya dari serangan musuh. Sayangnya, pada suatu serangan, Angah mati tertembak dengan gerombolan lainnya. Sekali lagi Saraswati menjadi sendiri, ia hanya bisa terus berlari untuk menyelamatkan diri dengah membawa rasa sedih di hatinya. Saraswati pun akhirnya bisa bertemu dengan gerombolan yang lainnya. Di situ ia bertemu dengan gadis sebayanya bernama Tati. Mereka menjadi sahabat. Sebuah kejutan datang untuk Saraswati, ia bertemu dengan Bisri. Namun, Bisri telah menjadi kekasih Tati. Di saat yang sama, Saraswati kehilangan orang yang dicintainya dan sahabatnya. Merasa terkhianati, Saraswati pergi meninggalkan mereka dan gerombolannya. Ia pergi sendirian dengan rasa putus asa. Ia merasa sangat tersakiti, ia ingin mati. Di ujung keputusasannya, ia bertemu dengan Busra. Saraswati merasa sangat bahagia, ia kembali menemukan semangat hidupnya. Tak lama kemudian, bala bantuan menemukan mereka dan membawa mereka ke tempat yang aman. Waktu berlalu. Saraswati menjalani rehabilitasi di Solo, terpisah dengan Busra yang mengembangkan usaha ternaknya di kampung. Sekali ia mendapat kabar dari Busra bahwa Bisri telah lulus kuliah di Jakarta. Mendengar sesuatu tentang Bisri masih menyakitkan hatinya. Semenjak itu, Busra tak pernah lagi menyinggung tentang Bisri kepada Saraswati. Busra memberikan kabar bahwa usaha ternaknya sudah cukup sukses. Saraswati juga memberikan kabar kepadanya bahwa ia akan pulang ke kampung dan hidup dengannya. Busra memberikan balasan bahwa ia akan datang menjemutnya. Berikut analisis dari novel tersebut. 1. Tema Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktuk sematis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. Novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” bertemakan perjuangan hidup seorang gadis yang bisu dan tuli. Kisahnya berawal ketika Saraswati kehilangan semua keluarganya karena kecelakaan dan ia pun pindah ke kampung dan tinggal dengan Paman dan kedua anaknya. Ia belajar untuk membaca dan menulis, juga berjuang 12
untuk mempertahankan hidupnya dari serangan tentara musuh. Ia sekali lagi sendirian karena terpisah dengan keluarga barunya dan akhirnya bisa bertemu lagi dengan salah satu anak pamannya. Ia juga berjuang untuk melakukan rehabilitasi di sebuah kota jauh dari kampung sebelum ia kembali pulang.
2. Alur Alur adalah urutan rangkaian peristiwa dari kisah atau cerita dalam sebuah karya sastra, yang biasanya mempunyai dihubungkan secara sebab akibat, artinya sebuah peristiwa akan mengakibatkan peristiwa lainnya. Novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” menggunakan alur maju, peristiwa demi peristiwa muncul secara berurutan, meskipun dalam penulisnya seakan-akan tokoh Saraswati menceritakan kejadian-kejadian yang sudah dialaminya. Secara umum alur peristiwa dari novel tersebut dapat dipaparkan menjadi : a. Perkenalan pemaparan secara langsung oleh tokoh “Saraswati” mengenai kondisi dirinya sendiri dan keluarganya. b. Penanjakan cerita saat orangtua dan saudara kandungnya dikabarkan meninggal dunia karena kecelakaan c. Konflik Saraswati menjadi sebatangkara dan akhhirnya harus pindah ke kampung untuk tinggal bersama Paman dan kedua anaknya (Bisri &Busra) Saraswati merasa dijadikan seperti pembantu karena ia ditempatkan di kamar yang terpisah dengan rumah tengah dan ia diminta mengurus ayam dan menggembala domba, yang akhirnya membuatnya berontak. Saraswati belajar untuk menjahit, menyulam, membaca dan menulis. Bisri pergi menjadi tentara saat Saraswati mulai jatuh hati padanya. d. Klimaks Tentara musuh datang menyerang di rumah mereka, Saraswati dan Angah, terpisah dengan Busra, pergi mencari tempat yang aman. Sayang, di tengah perjalanan Angah meninggal dan ia menjadi sendirian. Setelah itu, ia juga mengetahui bahwa Bisri, pujaan hatinya, telah mengkhianati cintanya. e. Penurunan cerita Saraswati terus berjalan dan akhirnya bertemu dengan Busra. 13
f. Akhir cerita Saraswati menjalani rehabilitasi di Solo, Busra mengembangkan usahanya di kampung, dan Bisri selesai kuliah di Jakarta. Saraswati akan pulang ke kampung untuk tinggal bersama Busra. Apabila dilihat dari kaidah alurnya, yaitu unity, plausabilitas, suspense, dan surprise, dapat dipaparkan menjadi : Unity Novel tersebut memiliki keseluruhan cerita yang berkesinambungan dengan baik dan urutan peristiwanya juga jelas, tidak ada yang terkesan lompat-lompat di dalamanya. Plausabilitas Novel tersebut tentu saja masuk akal, karena menceritakan suatu hal yang ada di sekitar kita, mengenai perjuangan hidup seorang gadis yang tuli dan bisu setelah kehilangan keluarganya dan mempertahankan hidupnya dari perang. Suspense Ketidakpastian harapan yang timbul dari novel tersebut sangat nyata terlihat dari surprise-surprise yang muncul dalam cerita. Jalan cerita dari novel tersebut dapat dibilang susah untuk ditebak, dan hal itulah membuat pembaca tertarik untuk melanjutkan membaca. Surprise Terdapat beberapa surprise yang sama sekali tidak diduga, misal saat tiba-tiba Bisri pulang setelah berpergian lama, ia langsung seperti jatuh hati pada Saraswati dan bersikap intim padanya, pada saat Bisri mengkhianati cinta Saraswati, dan sahabat Saraswati yang menjadi kekasih baru Bisri. “Bisri tiba-tiba berada di sisiku... Lalu kedua tangannya memelukku dengan erat, sehingga seluruh tubuhku merapat ke tubuhnya. Kepalanya merunduk. Dia mencium pipiku, mataku, leherku dan bibirku.” (hlm. 71) “Akan tetapi senyumku tiba-tiba terhenyak demi menampak pemuda yang melingkarkan tangan ke pinggang Tati waktu menuju ke kali tadi… Pemuda itu tidak lain adalah Bisri! … Tati pun datang. Dia merangkulku. Tapi kini aku melihat dia bukan sebagai sahabatku yang cantik, melainkan seperti pencuri yang terkutuk. Kenapa pula dia ikut-ikut membujuk aku? Apakah dia tidak tahu
14
bahwa Bisri adalah laki-laki yang aku rindukan? Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku telah dikhianati, kekasihku telah dicuri.” (hlm. 110)
Sebagian besar konflik yang timbul dari alur cerita tersebut berasal dari diri tokoh Saraswati sendiri, yaitu konflik batin tentang anggapan rendah dirinya sendiri, bagaimana ia tidak suka diperlakukan tidak adil, dan ia juga tidak suka dijadikan bahan ejekan. “Di mana pun juga orang cacat seperti aku, tidak pernah dipandang seperti manusia sebagaimana wajarnya manusia. Seolah-olah hak kami hanyalah untuk menjadi manusia kelas terbawah.” (hlm. 12) “Aku harus bangkit menentang perlakuan yang tidak adil. Aku bangun, dan keluar dari kamarku. Aku akan menuntut hak-hakku yang wajar kepada seisi rumah itu.” (hlm. 36) “Aku tidak suka berlagak seperti orang bisu-tuli lainnya, meskipun aku memang bisu-tuli. Aku tidak suka seperti orang bisu yang membanyol seperti lakilaki di kapal itu.” (hlm. 24)
3. Latar Latar adalah semua keterangan, petunjuk pengaluran yang berhubungan dengan ruang, waktu, dan juga suasana. a. Latar tempat -
Di rumah Saraswati, bukti : “Album keluarga senantiasa berada dipangkuanku bila sendirian di kamar.” (hlm. 5)
-
Di kapal, bukti : “Di atas kapal yang membawaku ke Padang, aku mendapat pengalaman yang paling menyakitkan.” (hlm. 12)
-
Di rumah Angah (pamannya), bukti : “Mobil kami berhenti tepat di depan rumah Angah.” (hlm. 16)
-
Di pemakaman, bukti : “Kambing-kambing itu aku gembalakan di pemakaman, kira-kira lima ratus meter jauhnya dari rumah.” (hlm. 33)
-
Bioskop, bukti : “Rupanya aku dibawa ke bioskop. Banyak orang di halaman bioskop itu. Semua memandang kami yang berjalan pelan-pelan.” (hlm. 82)
-
Dalam perjalanan (melarikan diri dari tentara musuh), bukti : “Aku pun mengikuti lari Angah, kami tertarung-tarung oleh belukar..” (hlm. 96)
15
-
Rumah singgah selama perjalanan, bukti : “Aku dibawa ke sebuah rumah yang hampir sebesar rumah Angah. Rumah kayu beratap seng. Dindingnya tidak dicat, melainkan seperti dilaburi minyak tanah. Atapnya berkarat di sana-sini.” (hlm. 104)
-
Gua, bukti : “Aku pun masuk ke dalamnya sambil membungkuk-bungkuk. Gua itu basah oleh air yang menetes terus di dindingnya. Tidak begitu gelap di dalamnya. Aku dapat melihat setiap pelosoknya meskipun dengan samarsamar.” (lm. 114)
-
Di Solo, bukti : “Dan ketika aku menulis kisahku ini, aku telah belajar menulis dan membaca pada Pusat Rehabilitasi yang dirintis Dr. Suharso di Solo.” (hlm. 124)
b. Latar Waktu -
Pagi, bukti : “Setelah bangun dan sarapan, aku pergi dari rumah tanpa diketahui seorang pun.” (hlm. 42) ; “Bangun pagi di kota kecil Padang Panjang yang penghujan itu, alangkah dingin hawanya.” (hlm. 23) ; “Pagipagi sekitar pukul sepuluh, aku melepaskan itik-itik itu lalu menghalaunya ke kolam yang telah tak digunakan lagi.” (hlm. 24)
-
Siang, bukti : “Menjelang tengah hari datanglah kawan-kawan Bisri yang sama-sama memakai seragam hijau, sama-sama rambut dipotong pendek.” (hlm. 74)
-
Sore / senja, bukti : “Pada hari Sabtu sebulan kemudian, Bisri pulang. Dia datang sore. Angah ada di rumah.” (hlm. 73) ; “Ketika senja, Bisri muncul. Rambutnya kusut masai. Di bahunya tersandang sepasang sepatu bola. Baju kaosnya yang kuning warnanya basah oleh keringat.” (hlm. 20)
-
Malam, bukti : “Dan ... pada suatu malam timbullah perasaan duka melanda sanubariku. Waktu itu mataku sukar terlelapkan, Saudaraku. Banyak pikiran timbul berebutan di benakku.” (hlm. 35) ; “Tidurku gelisah. Tidurku terus membalik ke kiri membalik ke kanan.” (hlm. 72) ; ““Malamnya tibalah pesta itu. Banyak orang datang. Semuanya para remaja, teman Busra dan Bisri.” (hlm. 40)
c. Latar Suasana -
Canggung, bukti : “Aku mencoba menyambut senyumnya, tapi rasa malu oleh tatapan itu lebih menguasai aku. Aku lebih banyak memandang lantai daripada menatap 16
wajahnya. Bila sekali-sekali aku meliriknya, lalu lirikanku tertangkap pandangannya, aku merasa lebih malu lagi, Saudaraku.” (hlm. 18) “Aku tahu mereka semua bersorak dan bertepuk tangan. Aku bertambah malu. Kepalalku kian merunduk ke dadaku.” (hlm. 75) ; “Cepat aku sembunyikan ke punggungku buku yang sejak tadi menyita perhatianku. Aku malu sekali kedapatan berlaku setolol itu dengan sebuah buku yang takkan memberi apa-apa padaku.” (hlm.52) -
Mencekam, bukti : “Tapi kemudian, setelah keadaan lama menyepi, muncullah banyak mobil dengan jalannya yang kencang. Tentara di mobil itu tidak melambaikan tangannya kepada kami. Mereka memandang dengan bungkam. Semua wajah orang di kampung kami menjadi muram. Kota seperti mati. Banyak rumah ditinggalkan kosong.” (hlm. 88) “Denyutan itu banyak dan lama berurutan. Lama kemudian baru aku tahu bahwa denyutan itu sama dengan bunyi letusan senapan. Bunyi itu menyebabkan seluruh anggota rombongan kami panick dan lari kocarkacir.” (hlm. 96)
-
Ramai, gembira, bukti : “Malamnya tibalah pesta itu. Banyak orang datang. Semuanya para remaja, teman Busra dan Bisri. Ada gadis-gadisnya juga. Semuanya berpakaian indah. Semuanya datang dengan wajah riang. Pesta itu diramaikan oleh teman-temannya yang bermain musik. Ada yang membawa gitar, biola dan gendang. Semua mereka riang gembira, Saudaraku.” (hlm.40)
-
Ribut, bukti : “Aku jajarkan tangannya ke kandang kambing. Lalu aku menjerit-jerit lagi, sehingga terasa getaran suara itu di seluruh tubuhku. Aku gerak-gerakkan tanganku dengan kacau agar ia tahu betapa segalanya telah menjadi kacau oleh mereka semuanya.” (hlm. 37)
-
Haru, bukti : “Aku menjerit-jerit menyeru Angah. Aku berlari sekitar tempat yang sempit itu sambil terus menjerit-jerit memanggil Angah. .. Aku serbu onggokan tanah itu, karena yakin di sana jenazah Angah ditimbun.” (hlm. 97) “Dan, Saudaraku, ketika dia mengangkat kepalanya lagi, aku mengenal orang itu dan dia pun berlari ke arahku. Di tengah pendakian itu kami 17
bertemu dan aku tenggelam dalam tangannya. Aku menangis tersedu sambil memeluknya kuat-kuat. Tak ingin aku melepaskannya dan lebih tak ingin aku hidup sebatang kara. Banyak sekali yang ingin aku katakan padanya dan lebih banyak lagi yang aku harapkan darinya. Tapi itu tak bisa kuucapkan, Saudaraku. Aku hanya mampu menyebut namanya di dalam hatiku: "Busra. Busra. Busra." Lainnya tak dapat aku ucapkan.” (hlm. 123) -
Tenang, bukti : “Perasaanku akan terhibur waktu memperhatikan berbagai hewan kecil yang ada di situ. Aku dapat memandang kupu-kupu putih atau kuning atau kurik yang terbang penuh gerak dari bunga ke bunga warna putih, merah, kuning dan lembayung. Aku senang melihat permainan alam di sekitarku. Kadang-kadang ada ulat yang menjalar sambil membungkuk-bungkuk seperti gelombang laut. Kadang-kadang perhatianku terpikat pada sepasang burung yang berbulu kuning dan berparuh panjang yang melompat dari ranting ke ranting.” (hlm. 34)
-
Lenggam, bukti : “Terasa ada yang hilang di rumah itu. Bukan Bisri. Melainkan perangainya yang sering menggodaku, seperti menusuk pinggangku dengan jarinya sehingga aku kegelian. Tidak jarang aku jengkel karena digelitik selagi aku asyik dengan pekerjaanku. Angah selalu mencela perbuatannya. Tapi Busra hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan adiknya itu. Angah dan Busra pun merasakan ketidakhadiran Bisri. Menurut pengamatanku, mereka lebih banyak merenung-renung.” (hlm. 69)
-
Tegang, bukti : “Wajah mereka pitam ketika berbicara pada Angah dan Busra. Mereka menggeledah isi rumah, sehingga semua terbusai-busai dari tempatnya, tak karuan. Salah seorang memandangku dengan sinar mata yang mengecutkan hati. Gemetar aku karenanya. … Dengan tiba-tiba pula tawa mereka berhenti. Dan aku lihat Busra tergeletak di lantai. Aku tidak tahu kenapa. Salah seorang menginjak kepala Busra dan yang lain menyepak pinggangnya. Angah menyerbu hendak mencegah penganiayaan itu berlanjut. Tapi Angah pun terpental karena didorong dengan popor senapang.” (hlm.89)
18
“Akan tetapi senyumku tiba-tiba terhenyak demi menampak pemuda yang melingkarkan tangan ke pinggang Tati waktu menuju kali tadi. … Pemuda itu tak lain adalah Bisri ! Dia tertegun demi melihatku.” (hlm. 110)
4. Tokoh & Penokohan Tokoh adalah orang atau pelaku yang mengalami peristiwa-peristiwa dalam cerita, sedangkan penokohan adalah sifat atau watak yang dimiliki oleh tokoh. a. Saraswati tokoh utama dalam cerita o Cengeng, bukti : “Kemampuanku hanya menagis, mengisi tanah yang menelan semua milikku”. (hlm. 11) o Rendah diri, bukti : “Di mana pun juga orang cacat seperti aku, tidak pernah dipandang seperti manusia sebagaimana wajarnya manusia.” (hlm. 12) o Keras kepala, bukti : “Busra muncul di kamarku. Dia menyuruh aku berganti baju lagi. Aku tidak mau. Busra tidak peduli. Diambilnya baju yang telah aku tanggalkan tadi. Disuruhnya aku memakai. Aku tetap tidak mau. Setelah berulang kali menyuruhku tapi aku tetap tidak mau, Busra pergi.” (hlm. 74) o Mengerti balas budi : “Kalau aku mencucikan pakaian seisi rumah, itu tidaklah akan mengecilkan hatiku. Sebab semua itu pakaian keluargakau yang telah memberiku tumpangan.” (hlm. 29) o Impulsif, bukti : “Aku gedor-gedor pintu belakang sekuat tenagaku. Pintu itu terbuka. Yang membukanya Busra. Aku langsung menerobos masuk tanpa menghiraukan dia yang tercengang memandangku. Aku terus masuk ke karnar Angah. Aku ingin menanyakan kenapa aku dijadikan penggembala ternak di rumah itu. Aku ingin memprotes perlakuannya yang tak adil. Aku ingin menanyakan ke mana saja harta warisan orang tuaku.” (hlm. 36) o Gigih, bukti : “Di rumah aku selalu mengulang-ulangnya, menuliskan apa yang aku ucapkan…” (hlm.61) o Ambisius, bukti : “Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan lebih hebat dari manusia lainnya, agar orang-orang jangan selamanya memandang manusia cacat seperti kami sebagai manusia yang gunanya hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai orang suruhan semata.” (hlm. 19)
19
o Memiliki rasa ingin tahu yang besar, bukti : “Memelihara itik-itik yang banyak itu tentulah menyenangkan juga. Aku harus belajar dari Busra bagaimana memeliharanya.” (hlm. 20) b. Busra tokoh protagonist yang selalu membantu tokoh utama o Rajin, bukti : “Setiap malam Busra tidak jemu-jemu mengajar aku.” (hlm. 61) ; “Beberapa hari berikutnya Busra terus mengenalkan aku kepada lebih banyak susunan huruf, sampai aku tahu susunan huruf untuk seluruh anggota tubuhku.” (hlm. 55) o Keras kepala, bukti : “Busra terus saja mendesak … Karena ku terus menggeleng, akhirnya Angah menyuruh Busra pergi. Tapi Busra malah menyeretku aku ke kamarku. Dipaksanya aku membuka pakaianku.” (hlm. 41) o Nakal, bukti : “Ketika aku telah mengangguk, cepat tangannya tiba di telingaku.
Aku
dijewernya.
Setelah
aku
mengangguk
tanda
aku
nemperhatikan, dipijitnya hidungku kuat-kuat. Ah, Busra yang nakal.” (hlm. 55) o Penolong, bukti : “Setelah mereka selesai makan siang, datanglah Busra membantu aku.” (hlm. 31) o Menayomi, bukti : “Lama kemudian aku bisa memahami maksud Busra. Rupaya dia ingin aku membuka usaha peternakan ayam dengan modal dari uangku sendiri, agar aku mandiri dan tidak bergantung pada belas kasihan orang lain.” (hlm.65) o Penyayang, bukti : “Dirapatkannya duduknya ke dekatku. Diraihnya bahuku hingga dadaku tersandar ke bahunya. Ditepuk-tepuknya bahuku. Aku mulamula berkeras hati untuk melepaskan raihannya. Tapi rangkulannya demikian kuat. Lalu rambutku diciumnya. Rasa degilku runtuhlah. Kini aku merasakan betapa sayangnya dia padaku sebagai adiknya.” (hlm.44) c. Bisri tokoh antagonis o Jail, bukti : “Tapi Bisri selalu mengacau pelajaranku. Misalnya dia menggambar seekor ayam atau burung atau kucing.” (hlm. 61) o Pengkhianat, bukti : “Akan tetapi senyumku tiba-tiba terhenyak demi menampak pemuda yang melingkarkan tangan ke pinggang Tati waktu menuju kali tadi. … Pemuda itu tak lain adalah Bisri !” (hlm. 110)
20
o Ceria, bukti : “Aku lihat tangan Angah mencuil pinggang Bisri. Tampak muka Angah cemberut kepada Bisri. Tak tahu aku mengapa Angah begitu kepada anaknya. Bisri malah tertawa sehingga rahangnya kelihatan lagi.” (hlm. 21) d. Angah tokoh tambahan yang sering muncul o Kurang peka, bukti : “Mereka mengolok-olok kami. Dan tak seorang pun yang membelaku, Oh tak seorang pun. Angah malah ikut tertawa, karena Angah pun mengharapkan bantuan laki-laki bisu itu…” (hlm. 14) o Licik, bukti : “Dan untuk mengharapkan bantuan kecil itu, dibiarkannya aku diolok-olok terus.” (hlm. 14) o Baik hati, dermawan : mau menanggung hidup Saraswati yang telah kehilangan keluarganya o Pemberani : membawa Saraswati pergi dari rumah dan melindunginya dari serangan tentara musuh e. Guru Andika & Uni Ros guru mengajar berbicara dan menyulam Saraswati, mereka ramah dan penyabar f. Orang-orang di sekitar kampung orang-orang yang ramah g. Anak-anak kecil di kampung suka menjaili dan menggagu Saraswati h. Tentara musuh kejam dan ganas
5. Judul Judul adalah elemen terluar dari suatu karya yang biasanya diperhatikan pertama kali oleh pembaca, yang fungsinya sebagai gambaran umum dari keseluruhan isi tulisan. Pada novel tersebut, judul “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi”, secara tidak langsung menggambarkan bagaimana keadaan Saraswati, yaitu keadaan fisiknya yang bisu dan tuli. Kata “sunyi” tersebut menandakan bagaimana ia bisu, tidak bisa mengatakan apapun, dan tuli, tidak bisa mendengar apapun.
6. Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara pengarang atau cara pandang penngarang dalam menyampaikan isi cerita.
21
Pada novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi”, sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah orang pertama pelaku utama. Ditandai dengan penggunaan “aku”an, yang pelaku utamanya adalah Saraswati itu sendiri. Bukti : “Aku seorang gadis. Dari kecil telah begini dan aku tidak tahu kapan nasib begini bermula. Aku punya dua orang kakak laki-laki. Dua orang adik, juga laki-laki. Aku punya ayah dan ibu. Tapi mereka semua telah tiada lagi kini Saudaraku. Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan pemberontak dalam perjalanan kembali dari Bandung…” (hlm. 2)
7. Gaya & Nada Gaya adalah cara pengungkapan atau cara penggunaan bahasa yang khas dari seorang pengarang. Pada novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi”, diksi yang digunakan ada yang sederhana dan mudah untuk dipahami, terdapat pula beberapa yang cenderung puitis Misalnya : “Aku seorang gadis. Dari kecil telah begini dan aku tidak tahu kapan nasib begini bermula. Aku punya dua orang kakak laki-laki. Dua orang adik, juga lakilaki. Aku punya ayah dan ibu.” (hlm. 2) -- bahasa yang sederhana. “Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa suara. Segala-galanya bunyi. Bagiku dunia terkembang sama seperti bagimu, Saudaraku.” (hlm. 1) -- bahasa yang cenderung puitis. Dalam novel tersebut terdapat cukup banyak penggunaan majas, antara lain : a. Hiperbola -
“Tiba-tiba Si Bibi enangis bagai orang kesurupan.” (hlm. 3)
-
“Aku telah sebatang kara di dunia ini.” (hlm. 4)
-
“Aku sungguh ingin melemparinya dengan apa saja.” (hlm.13)
-
“Bukan kepalang gembira mereka ketika menerima hasil kerjaku” (hlm. 68)
-
“Terbebas dari peristiwa yang menyakitkan hati, yang melusuhkan perasaan dan memukul jantungku.” (hlm. 115)
b. Personifikasi -
“Tanah yang menelan semua milikku.” (hlm. 11)
22
“Nasibku telah dimalangkan oleh lingkungan tempat aku menumpang
-
hidup.” (hlm. 13) -
“Angin meniup-meniup anak rambutku.” (hlm.115)
-
“Aku biarkan angan-anganku merayap ke segala yang menyayat hati.” (hal. 116)
c. Metonimia “Sejak punya sedan dinas, Ayah berangkat ke kantor bersama kakak-kakakku
-
ke sekolah” (hlm. 5) d. Metafora “Pada suatu anak air, kami berhenti untuk mengaso dan memanfaatkannya
-
untuk berbagai keperluan.” (hlm. 95) e. Paradoks “Biasanya setiap dia perbaiki, rusaknya pun bertambah.” (hlm. 9)
-
f. Repetisi “Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi…” (hlm.1) Nada adalah hal yang dapat terbaca dan terasakan melalui fakta cerita dan sarana sastra yang terpadu dan kohere. Nada atau “tone” biasanya diidentikkan dengan suasana.
Sedih, bukti : “Tiba-tiba rasa takut, sedih, dan tidak tahu pada apapun yang aku alami, merasuki diriku. Aku pun menangis.” (hlm. 4)
Marah, bukti : “Aku sangat kesal, malah sampai menangis diperlakukan seperti itu. Aku merasa dilecehkan demi menggembirakan hati semua penumpang geladak itu.” (hlm. 13)
Senang, bukti : “Oh, alangkah indahnya. Aku tertawa dan meras senang sekali karena khayalanku semalam bukanlah khayalan kosong.” (hlm. 53)
Gelisah, bukti : “Lama-lama aku gelisah duduk di tengah mereka.” (hlm. 76)
Bersemangat, bukti :
23
“Aku tak suka lagi terus-terusan menjadi penggembala. Aku harus bangkit menentang perlakuan yang tidak adil. Aku bangun, dan keluar dari kamarku. Aku akan menuntut hak-hakku yang wajar kepada seisi rumah itu.” (hlm.36)
Takut, bukti : “Orang pertama yang kami jumpai ialah beberapa anak muda dengan seragam hijaunya tidak lagi lengkap. Senapan tersandang di punggung. Aku segera berpegang erat ke Angah oleh rasa takut demi melihat mereka.” (hlm. 93) Imajeri atau pencitraan adalah gambaran mental atau pengalamn tertentu yang
timbul karena bahasa yang digunakan. Pencitraan yang muncul dalam novel tersebut antara lain : Penglihatan “Kemudian Paman mengambil potret di dinding. Potret kami sekeluarga beberapa tahun yang lalu bersama sedan dinas yang baru saja Ayah pakai.” (hlm. 3) ; “Diambilnya kertas itu, lalu dibuatnya huruf-huruf namaku dengan rapi.” (hlm. 57) Pendengaran “Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa suara.” (hlm. 1) ;“Si Kecil menangis.” (hlm. 3) ;“Tiba-tiba aku berteriak karena pantatku ditusuknya dengan pensil.” (hlm. 60) Perabaan “Engkau senang pada yang lembut, benci pada yang kasar, aku pun begitu.” (hlm 1) ; “Kini tepi telapak kakiku sudah pecah-pecah.” (hlm. 30) Pencecapan “Engkau tahu pahit dan manis, aku pun tahu.” (hlm. 1) Perasaan “Dengan perasaan pahit, aku kerjakan apa yang disuruh Angah.” (hlm. 30) ; “Ketika dia mendekati aku, aku mengelak menjauhinya. Hatiku sakit. Aku membencinya sekarang.” (hlm. 110) Gerak “Ketika aku tinggal sendirian terasa lagi olengan kapal menguasai perasaanku.” (hlm. 18)
24
8. Amanat Amanat adalah pesan moral yang muncul dari sebuah cerita, yang sengaja atau tidak mungkin diberikan oleh pengarang. Amanat yang dapat diambil dari novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” antara lain : a. Bertabah dan bersabar saat menghadapi sebuah masalah. b. Tidak mudah putus asa. c. Mencoba untuk menerima kenyataan hidup. d. Berusaha bersikap optimis. e. Jangan mengkhianati kepercayaan seseorang.
25
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu karya sastra fiksi yang meiliki alur cerita yang panjang dan kompleks. Unsur pembangun dari fiksi terdiri dari unsur ekstrinsik dan intrinsik. Setiap unsur intrinsik yang membangunnya memiliki hubungan satu sama lain yang bulat dan koheren, seperti halnya dengan novel “Saraswati Si Gadis dalam Sunyi” karya AA. Navis yang sudah dipaparkan di atas. Dan untuk mengkaji unsur-unsur intrinsik sebuah novel berarti menggunakan pendekatan objektif, yaitu pendekatan difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. B. Saran Saran yang dapat diberikan penulis untuk pembaca yaitu : 1. Perbanyaklah membaca karya-karya sastra, karena di dalamnya banyak sekali wawasan dan pelajaran yang dapat kita ambil. 2. Menjadikan membaca sebagai kebutuhan, bukan hobi. 3. Pelajari lebih banyak mengenai teori fiksi.
26
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta : Gama Media Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher http://www.rumpunsastra.com/2014/09/pendekatan-dalam-kajian-sastra.html http://susdamitasyaridomo.blogspot.co.id/2012/10/laporan-baca-skripsi-analisispersoalan.html
27