BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel grafis mulai mencuri perhatian khalayak ramai pada kisaran tahun 70-an di Amerika. Peristiwa ini bersamaan dengan terbitnya A Contract with God karya Will Eisner pada tahun 1978. Menurut Ajidarma (2011: 36), kecenderungan untuk menjadi sebuah karya naratif yang tidak sekadar melucu dengan tujuan kritik bagi politisi melahirkan istilah graphic novel. Pada umumnya novel grafis banyak disamakan dengan komik. Padahal novel grafis dan komik cukup berbeda. Istilah komik lahir dari kata comic yang memiliki artian lucu. Karya tersebut dimaksudkan sebagai percabangan karikatur dengan tujuan mengkritisi bahkan menghina kebijakan-kebijakan yang diambil oleh tokoh masyarakat (Ajidarma, 2011: 36). Menurut Robert Petersen di dalam bukunya yang berjudul Comic, Manga and Graphic Novels: A History of Graphic Narratives (2011: XV-XVII), novel grafis (graphic novel) awalnya berkembang dari istilah graphic narrative yang terdiri atas dua kata yakni graphic dan narrative. Jika dibandingkan dengan komik, novel grafis muncul dengan kekhasannya yang menggabungkan seni grafis dan sastra dalam satu tubuh. Ia berkembang dan semakin diminati oleh masyarakat sebagai sebuah karya yang memiliki nilai sejajar dengan novel dan karya sastra lain. Sedangkan menurut Hillary L. Chute (seorang ahli komik dan novel grafis) dan Marianne DeKoven (ahli fiksi temporer dan naratif modern) (2006: 1
768-769), novel grafis dapat dibedakan dari komik berdasarkan isi ceritanya yang jauh lebih netral. Hal ini disebabkan oleh novel grafis secara historis maupun budaya tidak terikat dengan satu wilayah atau satu gaya tertentu. Dalam jurnal berjudul How to Kit Comics and Graphic Novels yang diterbitkan oleh NWT Literacy Council (2011: 1-2) dijelaskan bahwa komik biasanya terbit secara regular dan setiap terbitannya memuat bagian dari sebuah cerita yang lebih besar. Sedangkan novel grafis mencakup cerita yang lebih kompleks baik dari sisi bahasa, plot bahkan karakter tokohnya. Penerbitan novel grafis umumnya dilakukan dalam bentuk satuan buku saja. Meskipun rilis dalam beberapa sekuel, setiap sekuelnya memberikan porsi cerita yang jauh lebih besar dibandingkan komik. Salah satu penulis novel grafis francophone yang terkenal adalah seorang wanita berkebangsaan Iran bernama Marjane Satrapi. Ia sudah membuat lebih dari lima karya novel grafis dalam kurun empat tahun (2000-2004). Namanya menjadi begitu populer setelah karyanya yang berjudul Persepolis meledak di pasaran hingga meraih berbagai penghargaan. Marjane Satrapi mengangkat tema mengenai dirinya, keluarganya, dan kehidupan di Iran dalam setiap karya novel grafis yang ia buat. Pasca revolusi Iran, keluarganya mengungsikan Marjane Satrapi ke Austria pada tahun 1984 di usia belia. Sehingga ia terpaksa menjalani kehidupan yang sangat berat, sempat menjadi gelandangan bahkan terjebak dalam narkoba 1.
1
Ditulis oleh J.E. Luebering ‘’Marjane Satrapi, Iranian Artist and Writer’’ dalam http://www.britannica.com/biography/Marjane Satrapi-Satrapi diakses pada Rabu 14 Oktober 2015 pukul. 07:34 WIB.
2
Pengalaman masa kecil yang begitu membekas bagi Marjane Satrapi mengilhaminya untuk membuat novel grafis Persepolis dalam empat sekuel terbitan bahasa Prancis. Sedangkan dalam versi bahasa Inggris hanya dikemas dalam dua sekuel yaitu Persepolis: The Story of a Childhood dan Persepolis 2: The Story of Return. Setelah membuat empat sekuel Persepolis dari tahun 2000 sampai 2003, Marjane Satrapi berturut-turut menulis novel grafis dengan judul Broderies (2003) serta Poulet Aux Prunes tahun 2004 (selanjutnya Poulet Aux Prunes akan disebut dengan PAP). Novel grafis terakhir Marjane Satrapi, PAP, merupakan karyanya yang rilis pada tahun 2004 dan juga sudah diterjemahkan baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia, PAP diterjemahkan sebagai Chicken with Plums: Ayam dengan Plum. Tujuh tahun kemudian PAP (2011) diangkat ke layar lebar dalam bentuk film drama komedi dengan judul yang sama. Marjane Satrapi bahkan turut serta sebagai sutradaranya bersama dengan Vincent Paronnaud. Novel grafis PAP menceritakan paman buyut Marjane Satrapi yang bernama Nasser Ali. Setting tempat dan waktu sekitar tahun 1958 di Teheran, Iran. Nasser Ali merupakan seorang pemain tar 2 yang sangat terkenal pada masanya. Tragedi bermula ketika alat musik kesayangannya dipatahkan oleh istrinya sendiri, sehingga Nasser Ali tidak dapat bermain tar lagi. Setelah mencari tar pengganti sekian lama, ia merasa tidak ada tar yang dapat memuaskannya.
2
Tar merupakan alat musik petik khas Iran yang menyerupai gitar dan memiliki neck guitar (bilah kayu panjang untuk meletakkan fretboard/logam melintang pemisah nada dalam gitar).
3
Nasser Ali pun akhirnya menyerah dan membuat keputusan ekstrem yakni ia ingin bunuh diri. Ia mengurung diri di kamar selama berhari-hari menunggu malaikat kematian untuk mencabut nyawanya. Di bagian peralatan musik ini pun sudah terdapat perbedaan antara novel grafis dan film. Jika dalam novel grafis PAP yang ditampilkan adalah alat musik khas Iran bernama tar, maka dalam film diperlihatkan alat musik biola.
Gambar 1 Alat musik tar dalam novel grafis PAP Sebagai sebuah karya yang diangkat dari sebuah novel grafis, tentunya film PAP menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi sebagai bagian dari alihwahana. Menurut George Bluestone (1957: VIII), dilihat dari medianya saja sudah jelas berbeda, antara novel yang menggunakan bahasa dan film dengan media visualnya. Media ini juga melatarbelakangi munculnya perbedaan lainnya dari segi penikmat (penonton bagi film, pembaca bagi novel), proses produksi, banyak sedikitnya massa bahkan hingga berlakunya sensor. Istilah yang juga digunakan pada film yang diadaptasi dari novel adalah ekranisasi. Dalam bahasa Prancis, secara harfiah écran berarti layar. Sedangkan ekranisasi sendiri merupakan pelayarputihan atau pemindahan cerita dari novel ke dalam bentuk film. Secara tidak langsung pemindahan tersebut juga berakibat pada perubahan material atau alat yang digunakan sebagai media penyampai 4
cerita. Jika novel menggunakan kata-kata, maka berbeda dengan film yang memakai gambar-gambar bergerak dan berkelanjutan (Eneste, 1991: 60). George Bluestone (1957: 3) menjelaskan bahwa dalam kurun tahun 19341935 tiga rumah produksi besar seperti RKO (Radio-Keith-Orpheum), Paramount serta Universal Studio mencatat satu berbanding tiga film yang diadaptasi dari novel (termasuk cerita pendek), atau berkisar antara 17% sampai hampir 50% film di Hollywood yang sebelumnya merupakan cerita dari novel. Film dengan latar cerita novel yang sempat meledak di Indonesia juga cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah Ayat-Ayat Cinta (2008) karya Habiburrahman yang kemudian difilmkan oleh Hanung Bramantyo serta Laskar Pelangi (2008) karangan Andrea Hirata difilmkan oleh Riri Riza. Sedangkan untuk film animasi dari luar negeri, kita dapat mengambil contoh film animasi yang juga melewati proses alih wahana dari cerita anak-anak menjadi bentuk film yakni Winnie The Pooh. Karakter kartun yang disukai tidak hanya oleh anak-anak namun juga orang dewasa tersebut berasal dari tangan dingin A.A. Milne. Pada awalnya tujuan utama penulis hanyalah untuk menjadi bahan cerita bagi anaknya sendiri. Namun, cerita Winnie The Pooh berlanjut menjadi bahan cerita dalam berbagai bentuk, antara lain film, komik, bahkan boneka anak-anak (Damono, 2014: 110-113). Film PAP bukanlah karya pertama dari Marjane Satrapi sebagai sutradara. Sebelumnya Marjane Satrapi dan Vincent Paronnaud juga sudah menelurkan karya ekranisasi mereka dari novel grafis Persepolis dengan judul yang sama pada tahun 2007. Dalam sebuah wawancara bersama Radio France, dua sutradara
5
tersebut mengungkapkan adanya perbedaan dari film Persepolis yang berbentuk animasi. Film PAP lebih cenderung memilih aktor dan aktris manusia untuk merealisasikan cerita. Meskipun di dalamnya masih terdapat animasi yang berdurasi kurang lebih dua menit 3. Salah satu perubahan yang terjadi dalam pembuatan film adaptasi PAP adalah adegan-adegannya. Sebagian besar adegan diubah untuk kepentingan film yang dirasa lebih sesuai. Misalnya saja pada hari ke tujuh menuju kematiannya Nasser Ali bertemu dengan adiknya yang bernama Parvine, namun di dalam film peristiwa tersebut diganti dengan adegan yang sama sekali tidak ada dalam novel grafis.
Gambar 2 Menit ke 01.08.22 Abdi : Il a de fièvre. Abdi : ‘Dia demam.’
3
Ditulis oleh Pascal Paradou dalam http://www.rfi.fr/france/20111026-Marjane Satrapi-satrapipoulet-prunes-est-le-dernier-plaisir diakses pada 2 Agustus 2015 pukul 13:12 WIB.
6
Parvine Nahid Parvine Nasser Ali Parvine Nasser Ali Parvine Nasser Ali Parvine
Nasser Ali Parvine Nasser Ali
Parvine Nasser Ali
‘Parvine Nahid Parvine Nasser Ali Parvine Nasser Ali Parvine Nasser Ali Parvine
Nasser Ali Parvine Nasser Ali
: Nahid, où est Nasser Ali? : Dans sa chambre. : Nasser Ali! Nasser Ali! Reponds-moi! : Parvine! C’est toi? Cela fait si longtemps que je ne t’ai pas vue. : Je sais, je suis en voyage…je… : Mais, Parvine, je ne me plains pas. : Nasser Ali, je t’aime tant. : Moi aussi, petite sœur, moi aussi je t’adore. : Je n’oublierai jamais ton soutien inconditionnel au moment de mon divorce. Je n’oublierai jamais comment tu m’a défendue contre toute la famille. : Tu as toujours été très courageuse. Je n’ai rien fait. : Ne dis pas ça Nasser Ali. Sans toi, je n’y serais jamais arrivée. : Je ne voulais vraiment pas que tu vives avec un homme que tu n’aimais pas. Je ne voulais vraiment pas que tu rates ta vie. : Tu as réussi. Je me sens heureuse. : Je suis ravi d’entendre ça…au moins, j’aurai servi à quelque chose (Satrapi, 2004: 72). : Nahid, Nasser Ali di mana? : Di dalam kamarnya. : Nasser Ali! Nasser Ali! Jawab aku! : Parvine! Kau? Sudah lama kita tidak bertemu. : Aku tahu hal itu, aku sedang berlibur… aku… : Tapi, Parvine, jangan mengeluh. : Nasser Ali, aku sangat menyayangimu. : Aku juga, adikku sayang, aku juga sangat menyayangimu. : Aku tidak akan pernah melupakan dukungan moral yang penuh kasih sayang darimu selama proses perceraianku. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana kau membelaku menghadapi seluruh keluarga kita. : Sejak dulu kau adalah wanita yang pemberani. Aku tidak melakukan apapun. : Jangan berkata begitu, Nasser Ali. Tanpamu, aku tidak akan pernah bisa melewati semuanya. : Aku tidak ingin kau hidup dengan pria yang tidak kau cintai. Aku tidak ingin hidupmu hancur. 7
Parvine Nasser Ali
: Kau berhasil. Aku merasa bahagia. : Aku senang mendengarnya. Setidaknya aku dapat melakukan satu kebaikan.’
Pada adegan gambar 2, terlihat istri, adik laki-laki, dan adik ipar Nasser Ali sangat khawatir melihat kondisi Nasser Ali yang sekarat. Bahkan berlanjut dengan kedatangan keluarga Nasser Ali yang menjenguknya di kamar secara bergantian. Jika dibandingkan dengan novel grafisnya, hanya terdapat satu adegan pada hari ketujuh yang menunjukkan adik Nasser Ali sedang mengunjunginya. Ia bernama Parvine. Mereka bercakap-cakap akrab dan saling menguatkan untuk tetap bertahan hidup dengan bahagia. Padahal adegan yang menampilkan Parvine juga penting, Karena dari pertemuan tersebut Nasser Ali seharusnya mendapatkan semangat untuk hidup kembali. Sekalipun pada akhirnya ia tetap bersikeras mati. Berdasarkan contoh di atas, adegan dalam cerita film merupakan salah satu aspek yang menentukan apakah film tersebut bagus atau tidak. Hal ini disebabkan adegan-adegan merupakan bagian yang menentukan berkembangnya tema dan plot keseluruhan cerita. Dengan adanya adegan yang masuk akal dan saling berkesinambungan, film dapat menyajikan peristiwa-peristiwa yang berkembang menuju konflik dan akhir film untuk menampilkan sebuah cerita yang terkesan wajar dan logis (Boggs, 1992: 25). Oleh karena itu, para sineas film yang mengadaptasi film dari novel melakukan perubahan-perubahan adegan sesuai dengan kebutuhan baik dengan mengurangi, menambahkan atau melakukan variasi perubahan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan antara peristiwa dalam novel dan adegan yang terdapat di dalam film (Eneste, 1991: 60-61).
8
Perubahan yang terjadi dalam sebuah film hasil ekranisasi tidak hanya berkutat pada adegannya saja. Bahkan karakter tokoh yang diangkat ke dalam film dari sebuah novel juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan pembuatan film. Di dalam novel grafis PAP dan film PAP, terdapat dua tokoh utama yang patut untuk dianalisis mengenai perubahan karakternya yakni Nasser Ali dan Irâne. Menurut KBBI, karakter merupakan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Di dalam film, karakter tokoh dapat dilihat dalam berbagai cara, baik dari dialog-dialog yang diucapkan, penampilan tokoh, pemilihan nama tokoh, melalui action internal atau eksternal, bahkan dari reaksi-reaksi tokoh lain (Boggs, 1992: 53-59). Jika dibandingkan, kedua karakter tokoh di dalam novel grafis PAP dan film PAP mengalami perbedaan yang sengaja dilakukan oleh sutradara. Keduanya digambarkan sebagai sosok yang lebih wajar dan manusiawi agar memberikan kesan masuk akal, mampu menarik simpati, serta dapat dipahami oleh penonton sebagai salah satu sarana mereka memasuki cerita. Selain Nasser Ali, Irâne (di dalam novel grafis ia hanya muncul beberapa kali saja) juga memiliki banyak pengaruh dalam perjalanan alur cerita film PAP. Tokoh Irâne mendapatkan porsi adegan yang besar dalam film berdurasi kurang lebih 1 jam 32 menit tersebut. Nasser Ali yang sebelumnya sangat tidak berperasaan terhadap istrinya, di dalam film ia ditampilkan lebih manusiawi dengan tetap menghargai masakan istrinya sendiri. Sedangkan Irâne yang begitu penurut kepada ayahnya di dalam novel grafis, diubah menjadi gadis pemberontak untuk lebih menarik perhatian
9
penonton. Perubahan karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne merupakan bagian dari proses ekranisasi film yang berasal dari novel grafis dan tidak dapat dihindari oleh sutradara. Sekalipun penulis novel grafis dan sutradaranya merupakan orang yang sama, perubahan karakter tersebut tetap terjadi mengingat dua media yang digunakan sangat berbeda. Penokohan ada sebagai subjek yang sedang mengalami sebuah cerita. Sehingga sulit sekali dibayangkan jika sebuah cerita tidak memiliki tokoh. Selain itu, hal lainnya yang tidak kalah penting adalah karakter tokoh yang dapat menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Karakter dari tokoh mampu memotivasi terjadinya adegan-adegan selanjutnya, hal tersebut akan menciptakan sebuah cerita dan alur yang utuh (Eneste, 1991: 24-17). Karakter kedua tokoh tersebut secara tidak langsung turut mempengaruhi alur cerita, sehingga terdapat perbedaan alur antara novel grafis PAP dan film PAP. Alur yang berbeda tersebut dapat mengubah unsur-unsur lain yang terdapat dalam sebuah cerita. Misalnya saja pesan moral yang ingin disampaikan oleh sutradara (penulis), fokus penonton pada pemeran pria diubah pada pemeran utama wanita, dan bisa juga pada tema besar cerita yang diangkat. Oleh karena itu, pembahasan berlanjut pada pengaruh perubahan karakter yang terjadi dari novel grafis PAP ke dalam film PAP pada alur cerita. Perubahan karakter utama Nasser Ali dan Irâne dianalisis dengan menggunakan pendekatan teori semiotik Roland Barthes yakni Tinjauan Lima Kode Semiotik. 1.2 Rumusan Masalah
10
Sebuah film hasil adaptasi dari sebuah novel, dalam hal ini novel grafis, tentu mengalami perubahan, sebagai akibat dari perbedaan media yang digunakan. Hal itu biasanya tidak sesuai dengan bayangan atau keinginan pembaca yang terlebih dahulu membaca novel sebelum menonton film hasil dari ekranisasi novel tersebut. Perubahan tidak hanya terjadi pada adegan saja, namun juga dapat meliputi perubahan karakter tokoh yang turut merubah alur cerita dari novel grafis PAP ke dalam film PAP. Banyaknya perubahan yang terjadi dalam pembuatan film ekranisasi dari novel grafis PAP memunculkan permasalahan pokok sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi adegan yang terjadi dari novel grafis PAP ke dalam film PAP? 2. Bagaimana pengaruh perubahan karakter tokoh utama Nasser Ali dan Irâne terhadap alur cerita dari novel grafis PAP ke dalam film PAP? 1.3 Tujuan Penelitian Alihwahana dari novel grafis ke dalam film menyebabkan perubahanperubahan, baik dari adegan maupun karakter tokoh. Hal tersebut disebabkan oleh media yang berbeda antara novel grafis dan film. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan-perubahan adegan yang diakibatkan oleh proses ekranisasi baik itu penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi yang tergambarkan dalam film PAP karya Marjane Satrapi. Tujuan selanjutnya adalah mengetahui bagaimana pengaruh terhadap alur cerita yang disebabkan oleh perubahan karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne dari novel grafis PAP ke dalam film PAP. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menambah pengetahuan maupun 11
wawasan bagi para pembaca mengenai novel grafis dan film, terutama dalam hal perubahan adegan, proses ekranisasi, dan penggambaran karakter tokoh novel grafis PAP (2004) ke dalam film PAP (2011). 1.4 Landasan Teori 1.4.1 Teori Ekranisasi Penelitian ini menggunakan teori ekranisasi dari Pamusuk Eneste. Intisari teori Pamusuk Eneste dikupas dalam bukunya yang berjudul Novel dan Film terbitan Nusa Indah pada tahun 1991. Dalam buku tersebut dipaparkan adanya perbedaan-perbedaan antara novel dan film terutama setelah proses ekranisasi yang menyebabkan dilakukannya beberapa tindakan oleh penulis skenario serta sutradara. Menurut Eneste (1991: 60-66), proses ekranisasi mengakibatkan terjadinya perubahan adegan atau cerita dengan beberapa cara, antara lain: 1.4.1.1 Penciutan adegan Penciutan pada dasarnya disebabkan oleh durasi waktu. Novel bisa dibaca dalam kurun waktu yang lama, sedangkan film harus dirangkum dalam waktu antara sembilan puluh hingga seratus dua puluh menit. Hal tersebut menyebabkan keseluruhan cerita dalam novel tidak mungkin dimasukkan ke dalam sebuah film. Oleh karena itu, film maker melakukan penciutan baik berupa pengurangan cerita, setting, bahkan penghilangan tokoh. Hal tersebut ditujukan sebagai bagian dari proses efektif pembuatan film yang diangkat dari sebuah novel. 1.4.1.2 Penambahan adegan
12
Penambahan bisa saja terjadi pada pembuatan film adaptasi karena penulis skenario serta sutradara biasanya sudah memiliki penafsirannya sendiri berdasarkan dari novel yang akan mereka angkat. Hal ini menyebabkan alur, tokoh, latar bahkan suasana mendapatkan tambahan yang sebenarnya tidak terdapat dalam novel. 1.4.1.3 Variasi adegan Selain penciutan dan penambahan, dalam ekranisasi juga tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan variasi adegan, baik yang berhubungan dengan alur, penokohan, latar juga suasana. Perubahan variasi biasanya dilakukan sutradara dalam proses ekranisasi untuk memberikan suasana baru yang dianggap lebih tepat daripada cerita di dalam novelnya. Seringkali perubahan variasi merupakan imajinasi sutradara sendiri yang kemudian direalisasikan ke dalam film. 1.4.2 Teori Tinjauan Lima Kode Semiotik Semiotik secara definitif berasal dari bahasa Yunani, tepatnya dari kata seme yang berarti tafsiran tanda. Kata lainnya yang juga disebut-sebut sebagai asal usul semiotik adalah kata semeion yang juga berarti tanda. Secara umum, bisa dikatakan bahwa semiotik merupakan studi sistematis yang mempelajari tentang produksi dan interpretasi tanda, bagaimana kerjanya, dan manfaatnya bagi manusia. Kehidupan manusia sejatinya dipenuhi oleh tanda, dengan perantara tanda-tanda itulah manusia akan memiliki kehidupan yang lebih efisien. Misalnya saja dengan tanda-tanda tersebut manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya (Ratna, 2004: 97).
13
Ilmu sastra dan semiotik sebenarnya memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini disebabkan oleh ilmu sastra yang sebenarnya harus bersifat semiotik, yakni menganggap bahwa sastra sebagai sistem tanda. Sehingga semiotik memiliki tujuan untuk menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan adanya makna atau berusaha mencari ciri-ciri kode yang membuat komunikasi sastra mungkin untuk terjadi (Teeuw, 1984: 142-143). Salah satu ahli semiolog berkebangsaan Prancis adalah Roland Barthes. Ia melanjutkan dan menerapkan model linguistik Sausurrean pada penelitiannya. Ia dilahirkan pada tahun 1915 dan wafat pada tahun 1980. Saussure menyebutkan bahwa tanda memiliki dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dua hal tersebut adalah signifiant dan signifié. Secara sederhana signifiant (penanda) adalah gambaran akustik atau aspek material sebagaimana bunyi yang dikeluarkan manusia. Penanda bisa juga diartikan sebagai citra akustis yang tertangkap ketika seseorang berbicara. Sedangkan signifié (petanda) merupakan aspek konsep, gagasan atau pikiran. Hubungan antara petanda dan penanda bersifat arbitrer atau memaksa (Ratna, 2004: 99). Menurut Kridalaksana (2005: 51-52), pengembangan dari konsep tanda milik Saussure tersebut membuat Barthes membagi kembali sistem penandaan menjadi dua, yakni konotasi dan denotasi. Baginya tanda memiliki dua lapisan, lapisan pertama adalah dalam taraf denotasi dan lapisan kedua merupakan taraf konotasi. Konotasi merupakan penggunaan tanda untuk mengungkapkan sesuatu yang lain daripada apa yang diucapkan. Jadi, konotasi dalam kesusastraan pada umumnya merupakan sistem penandaan kedua yang ditempatkan setelah denotasi.
14
Sedangkan denotasi merupakan kode-kode yang sifatnya lebih eksplisit, sehingga dapat diketahui maknanya dengan lebih transparan mengingat fungsinya sebagai penandaan sistem pertama. Oleh karena itu teori selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Tinjauan Lima Kode Semiotik Roland Barthes. Teori tersebut muncul dalam karyanya yang diterbitkan pada tahun 1970 berjudul S/Z. Ia menganalisis tulisan Honoré de Balzac yakni Sarassine dengan menggunakan kode-kode makna yang terdiri dari elemen-elemen dan kemudian ia sebut dengan lexies/leksia. Di dalam S/Z Barthes menentukan terdapat 561 leksia yang selanjutnya dianalisis dengan lima tinjauan semiotik. Leksia merupakan satuan-satuan terkecil pembacaan, potongan teks yang memiliki kekhasan sehingga berbeda dari potongan-potongan teks lainnya. Leksia dapat berupa apa saja, satu dua kata, satu kalimat atau satu paragraf. Penggalan leksia setidaknya merupakan penggalan paling bagus untuk kemudian digali makna dibaliknya (Barthes, 2007: vi). Dalam pembacaan leksia novel grafis tentunya tidak dapat begitu saja menghilangkan unsur gambar atau bentuk visualnya. Hal tersebut disebabkan novel grafis merupakan karya gabungan antara kata-kata serta gambar yang menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, analisis yang menyangkut novel grafis selain akan melibatkan transkrip novel grafis/kata-kata, juga akan melihat gambar sebagai bagian dari leksia. Selanjutnya, kode-kode yang terdapat dalam Tinjuan Lima Kode Semiotik Barthes dijabarkan sebagai berikut:
15
1.4.2.1 Kode Hermeneutik (HER), merupakan tanda untuk membedakan unsurunsur yang terdapat di dalam cerita. Tanda tersebut yang membuat pembaca bertanya-tanya selama proses pembacaan berlangsung. Kode hermeneutik meliputi penempatan teka-teki (enigma) serta bagaimana proses teka-teki tersebut diformulasikan hingga terbuka di akhir kisah (Barthes, 1970: 5). Kode ini berkisar pada “harapan” pembaca untuk menemukan kebenaran sesuai dengan pertanyaanpertanyaan yang ia munculkan dari awal. 1.4.2.2 Kode Semik (SEM), merupakan kode yang menggunakan penanda tertentu misalnya saja tokoh, tempat atau objek tertentu sebagai sarana menunjukkan adanya isyarat, petunjuk maupun kilasan makna. Selain itu, kode semik berfungsi sebagai pembentuk tema secara keseluruhan dalam suatu cerita. 1.4.2.3 Kode Simbol (SIM), merupakan jenis penanda teks yang menyajikan lambang-lambang untuk kemudian dapat dimaknai oleh pembaca. Kode simbol tersebut membawa permasalahan utama terasa lebih implisit dan penuh teka-teki. Simbol bisa disebut sebagai pengkodean fiksi yang bersifat struktural. 1.4.2.4 Kode Aksi (AKS), merupakan kode yang menandakan adanya kejadiankejadian sehingga membuktikan bahwa hal tersebut membentuk cerita yang logis dan berkesinambungan. Kode aksi tersebut merupakan elemen utama dalam teks. Dengan melakukan penyeleksian, maka kita dapat menentukan kode tersebut dengan menganalisis aksi, gerak, atau peristiwa yang terdapat di dalam sebuah cerita. 1.4.2.5 Kode Referensi atau Kultural (REF), merupakan kode yang didasari pada berbagai macam pengetahuan umum yang mendukung teks. Oleh karena dasar
16
itulah, maka kita perlu membedakan jenis-jenis pengetahuan baik itu berupa pengetahuan sastra, sejarah, psikologi, dan lain-lain dengan tetap mengindahkan unsur budaya yang terdapat di dalam ceritanya. Kode ini berkaitan dengan berbagai sistem ilmu pengetahuan dan sistem nilai yang tersirat dalam teks. 1.5 Tinjauan Pustaka Artikel yang membahas tentang ekranisasi pernah diterbitkan oleh UGM dengan judul Transformasi Lintas Genre : Dari Novel ke Film, Dari Film ke Novel yang ditulis oleh Heru S.P. Saputra. Diterbitkan tahun 2009 oleh Jurnal Humaniora volume 21, penelitian tersebut selain berfokus pada alihwahana dari novel ke film juga memberikan gambaran akan proses pembuatan novel yang diambil dari cerita sebuah film. Dua peristiwa tersebut akhirnya memunculkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam proses pengalihwahanaan yang bukan hanya dilatarbelakangi oleh sisi estetikanya saja namun juga oleh kebutuhan industri hiburan. Penelitian dengan subjek ekranisasi juga dilakukan sebelumnya pada tahun 2010 dengan judul Transformasi Politis Filmisasi Sastra Indonesia Kajian Ekranisasi Cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam Film Mereka Bilang Saya Monyet! Karya Jenar Maesa Ayu dalam Perspektif Posmodernisme Hutcheon. Tesis S2 Ilmu Sastra UGM karya Suseno tersebut menjelaskan tentang dua cerpen yang dijadikan dalam satu film dengan menggunakan teori Hutcheon. Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi serta menguak aspek ideologis-politik yang terdapat dalam perubahan tersebut.
17
Selanjutnya
terdapat
pula
artikel
berjudul
Self-adaptation
and
Transnationality in Marjane Satrapi’s Poulet Aux Prunes pada tahun 2011 yang ditulis oleh Colleen Kennedy-Karpat. Penelitian tersebut memaparkan tentang adaptasi diri yang dilakukan oleh Marjane Satrapi sebagai penulis novel grafis PAP merangkap sutradara film dengan judul yang sama. Renat Galih Gunara dari Sastra Prancis UGM mengangkat judul skripsi Nilai Moral dalam Novel Sans Famille Karya Hector Malot: Tinjauan Lima Kode Semiotika Roland Barthes pada tahun 2012. Ia menganalisis novel Sans Famille dengan menggunakan pendekatan teori Roland Barthes yakni Tinjauan Lima Kode Semiotik. Pesan moral yang disampaikan kepada pembaca tidak semuanya dapat ditangkap secara langsung oleh pembaca awam, oleh karena itu dilakukan pendekatan semiotik untuk menjelaskan makna di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel Sans Famille. Pada tahun 2015, Ajeng Rehandini dari jurusan Sastra Prancis membuat skripsi dengan judul Transformasi Karakter dalam Novel dan Film Madame Bovary. Penelitian tersebut memaparkan tentang perubahan-perubahan karakter tokoh Emma Bovary yang berbeda dari novelnya. Di dalam film karya Claude Chabol tersebut, Emma Bovary digambarkan sangat halus, sehingga penulis berusaha mengupasnya dengan pendekatan ekranisasi serta menguak alasan mengapa perubahan tersebut bisa terjadi. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian yang dilakukan lebih tertuju pada perubahan adegan dari novel grafis PAP ke dalam bentuk film serta pengaruh perubahan karakter Nasser Ali dan Irâne pada alur
18
cerita PAP. Oleh karena itu, penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya, baik analisis mengenai perubahan proses ekranisasi maupun pengaruh perubahan karakter Nasser Ali dan Irâne pada alur cerita. 1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah metode kualitatif. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2004, 46-48), metode kualitatif merupakan metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menentukan terlebih dahulu karya sastra yang digunakan sebagai objek penelitian, yakni novel grafis PAP (2004) karya Marjane Satrapi serta film PAP (2011) yang juga disutradarai oleh Marjane Satrapi serta Vincent Paronnaud. 2. Melakukan pembacaan tahap awal untuk mengetahui serta memahami isi dan alur cerita di dalam novel grafis PAP. 3. Menonton film PAP yang juga dimaksudkan untuk memahami isi dan alur cerita dalam film tersebut. 4. Menentukan permasalahan yang akan diteliti dalam novel dan film tersebut. Kali ini permasalahan yang diangkat adalah perubahan adegan yang terdapat dalam novel PAP (2004) ke dalam film PAP (2011) serta perubahan karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne dari novel grafis PAP ke
19
dalam film PAP yang mempengaruhi alur cerita dalam kedua karya tersebut. 5. Melakukan pembacaan lebih lanjut pada tingkatan kedua (pembacaaan hermeneutik. yakni pembacaan yang disertai dengan penafsiran atau interprestasi karya sastra. Hal ini disebabkan oleh karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya, sehingga untuk mengungkapkan makna di dalam bahasa dibutuhkan penafsiran tersebut (Ratna, 2004: 45)) dengan berbagai tahapan sebagai berikut: a) Melakukan pemotongan-pemotongan gambar (baik dalam novel maupun film) sesuai dengan tema yang telah ditentukan yakni perubahan-perubahan adegan yang terjadi antara novel dan film serta penggambaran perubahan karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne. b) Mengelompokkan potongan-potongan gambar tersebut sesuai dengan kategori masing-masing berdasarkan teori ekranisasi yang dibawakan oleh Pamusuk Eneste serta teori semiotik dari Roland Barthes untuk selanjutnya dilakukan analisis lebih mendalam. c) Mengelompokkan dan menganalisis potongan-potongan gambar yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan adegan baik berupa penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi adegan di antara novel dan film PAP. Serta pada pertanyaan kedua yakni untuk mengetahui perubahan penggambaran karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne dari novel grafis ke dalam film.
20
6. Membuat kesimpulan dan analisis data-data pada novel grafis PAP untuk menjelaskan rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya.
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini memiliki rangkaian yang berkesinambungan sebagai berikut: •
BAB I: mencakup bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penyajian. Pada bab ini penulis menjabarkan latar belakangnya dalam pemilihan tema transformasi dari novel grafis PAP ke dalam bentuk film PAP.
•
BAB II : mencakup analisis potongan-potongan gambar yang mengandung perbedaan atau perubahan adegan dalam proses ekranisasi.
•
BAB III: mencakup analisis perbedaan penggambaran karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne dengan menggunakan teori Tinjauan Lima Kode Semiotik Roland Barthes.
•
BAB IV: mencakup kesimpulan mengenai analisis-analisis pada bab II serta bab III. Penulis juga akan mencantumkan Daftar Pustaka dan laman, Résumé, Daftar Istilah (Glosarium) dan lampiran keseluruhan data yang menggambarkan perubahan-perubahan bentuk ekranisasi serta karakter tokoh Nasser Ali dan Irâne di dalam film PAP.
21