BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi telah menyentuh hampir semua bidang kehidupan manusia. Arus informasi dari suatu tempat ke tempat lain dapat diterima dengan cepat dan
lengkap. Bersamaan dengan
itu media komunikasi mengalami
perkembangan yang sangat pesat, baik dalam segi konten berita maupun dalam segi variasi segmen, dan semakin dominan dalam menentukan corak dan warna manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Kehadiran teknologi pada dasarnya didorong oleh obsesi manusia untuk mengatasi jarak dan ruang, serta sebagai pemuas kebutuhan manusia akan informasi. Revolusi teknologi informasi ini telah meledakkan serpihan budaya Barat sampai tak terbendung mengalir dan merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat perkotaan yang memiliki kemudahan akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi.
Universitas Sumatera Utara
Terpaan budaya global ini lambat laun mengakibatkan perubahan sosial budaya, yaitu sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan ini merupakan hal yang umum terjadi, seiring berkembangnya zaman dan sesuai dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah. Perubahan ini mencakup banyak aspek dari hidup manusia, termasuk perubahan peradaban dan gaya hidup. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Individu yang hidup dalam masyarakat modern menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Hal ini adalah suatu pola tindakan yang membedakan antara satu individu dengan invidu lain. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Konsep gaya hidup seringkali dikacaukan dengan konsep subkultur. Pandangan gaya hidup yang sinonim dengan subkultur membuat deskripsi gaya hidup menjadi statis, selain memberi arti yang sempit bagi konsep tersebut. Menurut Nas dan v.d. Sande gaya hidup lebih luas dari konsep subkultur karena pendeskripsiannya juga mencakup pemilik kultur dominan, dan lebih dinamis dari konsep subkultur karena dideskripsikan dari sudut pandang individu (Sobur,2003:168). Gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya. Status pada dasarnya mengarah pada posisi yang dimiliki seseorang di dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise melekat pada posisi tersebut. Status merupakan kekuatan yang besar di dalam masyarakat yang digunakan untuk mengendalikan
Universitas Sumatera Utara
orang dengan cara yang halus. Status juga kerap dianggap sebagai simbol dari kesuksesan hidup. Menurut Susanne K. Langer (Mulyana,2000:83) salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Simbol-simbol ini digunakan untuk merefleksikan status dan gaya hidup yang dianut, yang sangat berpengaruh dalam perilaku konsumsi pemakainya. Kebutuhan akan status dan terpaan budaya asing ini mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung permisif dan mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh. Gaya hidup ini semakin lama berkembang menjurus ke arah hedonisme dimana kesenangan pribadi menjadi hal yang utama. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan, budaya asli, materialisme, dan rendahnya kepekaan sosial semakin lumrah terlihat. Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Khususnya, para wanita yang hidup di kota besar dan mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan penampilan, pergaulan, dan pola adaptasi menggeser jati diri kebanyakan para wanita. Awalnya, para wanita modern memandang bahwa aktualisasi diri merupakan pencarian yang tidak bisa dihindari. Mereka ingin berbeda dengan wanita biasa, tetapi kenyataannya, pilihan beraktivitas lebih banyak porsinya pada sesuatu yang bersifat materil duniawi. Gaya hidup seperti ini pun sudah lazim tergambar di media. Dapat kita lihat dengan jelas gaya hidup metropolis digambarkan secara gamblang dalam film-film dan sinetron Indonesia yang setiap hari kita saksikan di layar televisi, dan menjadi topik yang seringkali kita baca di media cetak. Begitu pula yang tercermin pada karya sastra Indonesia. Karya sastra merupakan tanggapan penciptanya (pengarang) terhadap dunia dan merupakan ekspresi kehidupan manusia. Karya sastra lahir di tengah-tengah mayarakat sebagai hasil dari imajinasi
Universitas Sumatera Utara
pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Karya sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan yang ada dalam masyarakat, tetapi juga merekam dan melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun sebuah karya sastra mencerminkan masyarakat dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan pada zamannya. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan suatu proses yang hidup. Sastra tidak mencerminkan realitas seperti fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Hal ini pula yang tergambar dalam novel sebagai hasil karya sastra modern. Novel di Indonesia berkembang dengan sangat cepat pada beberapa tahun terakhir. Semakin banyak novelis muda bermunculan dengan gaya dan genrenya tersendiri, yang menggambarkan dunia dari sudut pandang mereka.
Salah satu novelis Indonesia yang karya-karyanya banyak mencerminkan realitas sosial adalah Clara Ng, di dalam karya-karyanya ia banyak mengambarkan kehidupan wanita secara gamblang dan jelas. Novel-novel Clara Ng mencerminkan realitas yang terjadi di zaman ini, terutama bagi kaum wanita. Ketika gaya hidup wanita semakin berkembang dan memasuki berbagai aspek kehidupan. Hal inilah yang tergambar dengan jelas dalam novelnya, Indiana Chronicle, yang merupakan novel berseri yang terdiri dari tiga buku, yaitu Blues, Lipstick, dan Bridesmaid. Ketiga novel ini menceritakan tentang kehidupan pribadi tokoh Indiana, seorang wanita metropolitan yang mengalami banyak intrik dalam kehidupannya. Novel ini bukan hanya sebagai novel yang menghibur, namun juga menggambarkan gaya hidup wanita metropolis
Universitas Sumatera Utara
dengan baik. Melalui novel ini kita dapat mengetahui gaya hidup wanita metropolis yang semakin berkembang dan melihat gambaran sisi-sisi kehidupan yang mungkin belum kita pahami secara jelas. Diantara sekian banyak novel yang menceritakan mengenai kehidupan wanita-wanita metropolis, peneliti memilih menggunakan novel Indiana Chronicle karena novel ini menggambarkan sisi kehidupan metropolis yang realistis dan sesuai dengan perkembangan zaman, karakter tokohnya adalah tipikal gadis lajang metropolitan yang hidupnya diwarnai dengan berbagai masalah. Tidak seperti novel-novel lainnya yang terlalu banyak dibumbui dengan imajinasi pengarang sehingga menghasilkan novel yang tidak dapat menggambarkan kehidupan wanita metropolis yang sebenarnya. Dari trilogi Indiana Chronicle ini, peneliti memilih novel yang pertama yaitu Blues karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis dibandingkan dengan dua novel setelahnya. Dalam novel ini tokoh Indiana digambarkan sebagai wanita yang masih labil dan sedang mencari jati diri di tengah kerasnya kehidupan metropolitan. Dibandingkan dengan dua novel setelahnya, pada novel pertama ini, Indiana lebih digambarkan sebagai wanita metropolis sejati yang mempunyai pola pikir dan berperilaku selayaknya seorang metropolis. Berdasarkan uraian- uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai representasi gaya hidup wanita metropolis dalam novel Indiana Chronicle Blues karya Clara Ng.
I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah gaya hidup wanita metropolis direpresentasikan dalam novel Indiana Chronicle Blues?”
Universitas Sumatera Utara
I.3 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah diajukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah, sehingga tidak perlu mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah : 1. Penelitian ini menggunakan analisis wacana Teun A.Van Dijk. 2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang ada di balik penyajian tata bahasa dan tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut.
I.4 Tujuan dan Manfaat penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks. 2. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya. I.4.2 Manfaat Penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya mengenai kajian media (novel) yang diteliti dengan analisis wacana. 2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media. 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.
I.5. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun,1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut makna masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi,1995:40). Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah :
I.5.1 Imperialisme Budaya Imperialisme budaya adalah tergusurnya nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi kebudayaan global. Proses ini tidak terlepas dari dunia Barat yang mendominasi media di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Media barat menimbulkan kesan yang mendalam bagi media di negara berkembang, sehingga mereka ingin meniru budaya yang tercermin dalam media tersebut. Dalam perspektif teori yang pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973 ini, ketika terjadi proses peniruan media oleh negara berkembang terhadap negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara berkembang. Dominasi terjadi ketika negara maju memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai uang yang dapat mendanai produksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis, dengan kata lain media sudah dikembangkan menjadi industri yang mementingkan laba. Selain uang mereka mempunyai teknologi yang memungkinkan sajian media massa diproduksi dengan sangat baik. Oleh karena itu, negara berkembang tertarik untuk membeli produk barat tersebut. Terlebih lagi membeli jauh lebih murah dibanding dengan memproduksi sendiri. Sangat
Universitas Sumatera Utara
banyak media massa Indonesia yang setiap harinya berlomba-lomba menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan foto-foto kejadian yang berlokasi di Indonesia, yang seharusnya dengan mudah dapat difoto oleh wartawan Indonesia sendiri seringkali berasal dari kantor berita asing. Kehilangan nilai dalam budaya mengakibatkan kehidupan masyarakat melahirkan sebuah pakem baru yang lebih mengedepankan tampilan atau pencitraan syang jelas-jelas mendangkalkan isi. Tidak hanya berhenti sampai disitu, kemudahan yang ditawarkan oleh budaya instan dan pencitraan dengan cepat menembus sekat-sekat pribadi membuatnya menjadi satu-satunya penguasa gaya hidup dan budaya yang dominan.
I.5.2 Representasi Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep ini digambarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Menurut Stuart Hall, representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Representasi adalah jalan dimana makna diberikan kepada hal-hal yang tergambar melalui citra atau bentuk lainnya, pada layar atau pada kata-kata. Hall menunjukkan bahwa sebuah citra akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa citra akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai setelah kejadian direpresentasikan, representasi tidak hadir setelah sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Representasi adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan bisa terjadi dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak representasi tersebut ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Proses pemilihan fakta juga mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas. Pilihan kata-kata yang dipakai tidak hanya sekeda tekhnik jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masakah tertentu tapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu. Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi, yaitu ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau apa adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita mendengar, membaca, atau melihat bagaimana kesalahan representasi itu terjadi. 1. Ekskomunikasi (Excommunication) Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Disini misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia dianggap bukan bagian dari diri kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain.
Universitas Sumatera Utara
2. Eksklusi (Exclusion) Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka dipandang buruk dan bukan bagian dari kita. Disini ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk. 3. Marjinalisasi Praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran yang buruk kepada pihak/kelompok lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusi/ekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka. 4. Delegitimasi Kalau marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok digambarkan secara buruk, dikecilkan perannya, maka dalam delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi berhubungan dengan pertanyaan apakah seseorang merasa absah, benar, dan mempunyai dasar pembenar tertentu ketika melakukan suatu tindakan.
I.5.3 Ideologi Menurut Aart Van Zoest, sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi (Van Zoest, 1991:70 dalam Sobur,2004:60). Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Universitas Sumatera Utara
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa yunani, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan logia berasal dari kata logos yang berarti kata. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti berbicara. Selanjutnya logia berarti pengetahuan atau teori. Jadi ideology menurut arti kata adalah pengucapan dari apa yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektifperspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull,1998:1). Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kolompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikolog yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat. Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat, ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominant. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.
I.5.4 Analisis Wacana Kritis Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuaantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, perasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis
wacana
lebih
bisa
melihat
makna
yang
tersembunyi
dai
suatu
teks
(Eriyanto,2001:15). Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi. Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka. Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-
Universitas Sumatera Utara
jenis subjek tertentu berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis. Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa : batasanbatasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.
I.5.5 Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang diamati. Perlu dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dai wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Teks bukan sesuatu yang datang begitu saja, tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap
Universitas Sumatera Utara
teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut Van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.
I.6 Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Adapun kerangka konsep dalam penelitain ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk. Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu: 1. Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dngan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. 2. Superstruktur, merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh. 3. Struktur Mikro merupakan wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.
I.7 Operasionalisasi Konsep
Universitas Sumatera Utara
Menurut littlejohn (Eriyanto,2001:226) antara bagian teks dalam model Van Dijk dilihat saling mendukung, dan mengandung arti yang koheren satu sama lain, karena semua teks dipandang Van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu persatu elemen wacana Van Dijk tersebut : 1. Tematik Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. 2. Skematik Skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti. 3. Latar Bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan, menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa. 4. Detil Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan penciptaan citra tertentu. 5. Maksud Menunjukkan bagaimana kebenaran tertentu ditonjolkan secara eksplisit dan secara implisit mengaburkan kebenaran yang lain. 6. Koherensi Pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.
Universitas Sumatera Utara
7. Koherensi Kondisional Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak mempengaruhi arti. 8. Koherensi Pembeda Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan. 9. Pengingkaran Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit. 10.Bentuk kalimat Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prisnsip kausalitas. Tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu. 11.Kata ganti Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana. 12. Leksikon Menandakan bagaimana pemilihan kata dilakukan atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang dipakai menunjukan sikap dan idiologi tertentu. 13.Praanggapan Pernyatraan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. 14.Grafis Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau ditonjolkan.
Universitas Sumatera Utara
15.Metafora Penyampaian pesan melalui kiasan atau ungkapan. Metafora sebagai ornamen dari suatu berita yang sapat menjadi penunjuk utama untuk mengerti makan suatu teks.
Universitas Sumatera Utara