BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pengertian rumahtangga menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Rumahtangga dipimpin oleh kepala rumahtangga yaitu seseorang yang dianggap/ditunjuk
untuk
bertanggungjawab
atas
kebutuhan
sehari-hari
rumahtangga tersebut. Menurut Guhardja (1992), rumahtangga mempunyai fungsi untuk bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu: a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial; dan b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Pembagian tugas di dalam rumahtangga telah tercipta dan terbiasa di dalam masyarakat. Pembagian tugas ini sebenarnya telah disadari oleh sebagian besar masyarakat serta membudaya dalam kehidupan masyarakat sehingga pembagian tersebut dianggap wajar. Pembagian tugas ini adalah seorang laki-laki (bapak/suami) sebagai kepala rumahtangga berkewajiban mengelola sesuatu yang berada di luar rumah, termasuk mencari nafkah. Wanita berkewajiban mengelola segala sesuatu yang berada di dalam rumah dan tidak dibenarkan ke luar dari lingkungan dan domisilinya kecuali dengan izin suaminya (Rochaini, 1981 dalam Muhibat, 1994). Menurut Oppong dan Church (Tjokrowinoto, 1986 dalam Muhibat, 1994) ada 7 peran yang dilakukan oleh wanita sebagai ibu rumahtangga, yaitu 1) peran sebagai orangtua, 2) peran sebagai istri, 3) peran di dalam rumahtangga, 4) peran di dalam kekerabatan, 5) peran pribadi, 6) peran di dalam komunitas, dan 7) peran
1
di dalam pekerjaan. Peran wanita tersebut bertujuan untuk mendukung kepala rumahtangga (suami) dalam memenuhi kebutuhan agar mencapai kesejahteraan. Kondisi rumahtangga yang utuh tersebut tidak dinikmati oleh semua rumahtangga. Ada beberapa faktor demografis yang menyebabkan wanita menjadi orangtua tunggal sekaligus kepala rumahtangga. Pertama, karena ada wanita yang tidak pernah menikah dan mendirikan rumahtangganya sendiri, atau mengambil alih tanggungjawab kepala rumahtangga dimana ia menjadi anggota. Kedua, karena perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, wanita tersebut tidak meleburkan dirinya kembali menjadi anggota rumahtangga dimana ia dilahirkan atau rumahtangga bekas suaminya dan ia juga belum menikah lagi. Ketiga, karena perantauan, baik oleh suami maupun oleh wanita itu sendiri sehingga wanita tersebut secara de facto adalah kepala rumahtangga. Keempat, karena satu dan lain hal suami tidak dapat mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto menjadi pencari nafkah utama (Sajogyo, 1991 dalam Sugiatmi, 2001). Beal (1980) dalam Walsh (2003) mengungkapkan bahwa wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua, dan lebih banyak duda yang menikah kembali, sehingga lebih banyak janda daripada duda. Mengingat siklus hidup wanita, mereka telah mencapai usia senja menurut keadaan penduduk Indonesia maka mereka dikatakan telah berada dalam stadium “sarang kosong” (empty nest stage) dan mereka tidak hanya ditinggal suaminya tetapi juga anak-anaknya. Dalam keadaan demikian mereka tergantung pada dirinya sendiri atau dibantu oleh keponakan atau cucu. Golongan wanita ini sering kali menghadapi hambatan dalam memenuhi kebutuhan dasar rumahtangganya karena tidak ada anggota lain yang mampu membantu memperoleh nafkah. Lebih-lebih jika mereka miskin, maka keadaan tersebut akan menimbulkan berbagai kesulitan dalam kehidupannya (Oey dan Surbakti, 1990).
2
Tabel 1.1 Perbandingan Angka Harapan Hidup (Tahun) Menurut Jenis Kelamin dan Provinsi di Jawa Hasil SP90 – SP2010 SP90 (1986) SP2000 (1996) SP2010 (2006) No Provinsi L P L P L P 1 DKI Jakarta 64,3 68,2 69,2 73,1 72,8 76,5 2 Jawa Barat 54,2 57,4 61,1 64,8 68,9 72,8 3 Jawa Tengah 59,4 63,0 64,0 67,9 70,4 74,3 4 DI Yogyakarta 64,7 68,5 69,2 73,1 72,1 75,9 5 Jawa Timur 59,7 63,3 63,1 66,9 69,3 73,2 6 Banten 59,1 62,8 69,4 73,3 Indonesia 58,1 61,5 63,5 67,3 68,7 72,6 Sumber: BPS, 2010 L = Laki-laki P = Perempuan
Usia rata-rata wanita yang lebih panjang daripada usia laki-laki jelas terlihat pada Tabel 1.1 terutama di DI Yogyakarta. Pada tabel tersebut Angka Harapan Hidup (AHH) wanita selalu lebih tinggi dibandingkan dengan AHH lakilaki. Berdasarkan Tabel 1.1 Angka Harapan Hidup (AHH) DI Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan AHH Indonesia dan provinsi lainnya di Jawa. Angka Harapan Hidup (AHH) wanita yang tinggal di DIY semakin meningkat menurut hasil SP 1990 – 2010. Wanita yang menikah dengan laki-laki yang lebih tua cenderung menjadi janda saat tua karena AHH wanita lebih tinggi dibandingkan AHH laki-laki. Saat wanita menjadi janda umumnya mereka sekaligus menjadi kepala rumahtangga. Tabel 1.2 Persentase Jumlah Wanita Kepala Rumahtangga Hasil Sensus Penduduk Menurut Provinsi di Jawa Tahun 1990 - 2010 Persentase WKRT (%) No Provinsi 1990 2000 2010 1 DKI Jakarta 5,01 7,28 8,26 2 Jawa Barat 5,93 5,32 7,11 3 Banten 4,62 6,01 4 Jawa Tengah 6,23 6,79 7,96 5 DI Yogyakarta 9,16 11,04 11,16 6 Jawa Timur 7,48 7,98 8,70 Indonesia 5,86 6,20 7,24 Sumber: BPS, 1990, 2000, 2010
3
Tabel 1.2 menunjukkan persentase wanita kepala rumahtangga (WKRT) terhadap jumlah wanita yang tinggal di DIY lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di provinsi lainnya di Jawa. Pada tabel tersebut jumlah WKRT di DIY meningkat menurut hasil Sensus Penduduk. Pada tahun 2010 sebanyak 11,16% dari jumlah penduduk wanita di DIY adalah WKRT yang ini merupakan persentase tertinggi di antara provinsi lainnya di Jawa. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil SP2000. Hal ini merupakan suatu kajian yang menarik untuk diteliti. Wanita berstatus cerai mati atau cerai hidup yang menjadi kepala rumahtangga harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama suaminya,
seperti mengurus
rumah dan
memenuhi seluruh kebutuhan
rumahtangga. Keadaan seperti ini menyebabkan perubahan peran wanita dalam rumahtangga. Menurut Perlmutter dan Hall (1985), perubahan ini dapat menimbulkan masalah, sebab wanita yang semula berperan hanya sebagai ibu saja, sekarang harus berperan ganda. Melakukan berbagai tugas yang semula dilakukan berdua akan membuat wanita mengalami kelebihan tugas. Wanita yang memiliki status kawin namun karena suaminya tidak dapat bekerja (sakit) kemudian dia menjadi kepala rumahtangga memiliki tugas yang berlebihan. Begitu juga dengan wanita kepala rumahtangga yang belum kawin. Dia harus mengurus rumahtangga dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan secara bersamaan. Seperti yang dikatakan oleh Beal (dalam Walsh, 2003) bahwa masalah utama wanita kepala rumahtangga terutama orangtua tunggal wanita adalah tugas yang berlebihan. Gardiner (1991) dalam Sugiatmi (2001) menyatakan bahwa rumahtangga yang dikepalai oleh seorang wanita cenderung dalam kondisi kekurangan. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi tersebut adalah faktor pendidikan. Wanita yang terpaksa harus berperan sebagai kepala rumahtangga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya mereka bekerja sebagai buruh tani, buruh harian dengan upah yang rendah. Pendapatan yang terbatas menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Selain itu tingkat pendidikan wanita kepala
4
rumahtangga yang rendah dapat dilihat dari akses wanita kepala rumahtangga terhadap media massa. Studi Sigit (1983) dalam Sugiatmi (2001) yang didasarkan pada data Supas tahun 1978 menemukan bahwa kelompok rumahtangga yang dikepalai oleh wanita merupakan kelompok yang ekonominya lemah. Mereka mempunyai pendidikan lebih rendah sebagai anggota pencari nafkah yang sedikit jumlahnya dan berpenghasilan lebih rendah (Sajogyo, 1991). Hal itu dikuatkan oleh Garfinkel MC Lanahan (1986) dan Hull (1979) dalam Rahmani (1995) yang mengatakan bahwa rumahtangga-rumahtangga yang dikepalai oleh wanita pada umumnya berada pada kondisi miskin. Saat ini diperkirakan ada sekitar 7 juta wanita di Indonesia yang berperan sebagai kepala rumahtangga menurut BPS. Jumlah ini mewakili lebih dari 14% dari total jumlah rumahtangga di Indonesia. Mayoritas dari wanita kepala rumahtangga ini hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah US$ 1 dollar. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka
banyak
mengandalkan usaha di sektor informal alias kerja serabutan seperti berdagang, menjadi buruh tani, pembantu rumahtangga, menjahit dan lain-lain (Radio Australia edisi 17 Mei 2012). Hal demikian menunjukkan bahwa rumahtangga yang dikepalai wanita di Indonesia belum sejahtera. Kesejahteraan rumahtangga juga dapat dilihat dari pola konsumsi dan pengeluaran dari rumahtangga tersebut. Secara umum rata-rata pengeluaran perkapita sebulan dari rumahtangga yang dikepalai wanita lebih besar daripada pengeluaran sebulan dari rumahtangga yang dikepalai oleh pria. Keadaan ini tidak sama untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Di daerah pedesaan rata-rata pengeluaran perkapita sebulan dari rumahtangga yang dikepalai oleh wanita lebih kecil dibandingkan rata-rata pengeluaran perkapita sebulan rumahtangga yang dikepalai pria. Bila rata-rata pengeluaran dilihat dari kelompok umur kepala rumahtangga, umumnya semakin tua umur kepala rumahtangga semakin kecil rata-rata pengeluaran perkapita rumahtangga (Sugiatmi, 2001). Salah satu indikator kesejahteraan keluarga adalah dengan mengukur besarnya pengeluaran. Keluarga dengan kesejahteraan lebih baik, mempunyai
5
persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibanding keluarga dengan kesejahteraan lebih rendah. Jika dikaitkan dengan teori kebutuhan, maka pangan merupakan kebutuhan paling utama (Rambe, 2008). Teori Engel menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan akan mengalami penurunan. Berdasarkan teori klasik ini maka keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan jauh lebih rendah daripada pengeluaran non pangan. Artinya, setiap tambahan pendapatan yang diperoleh akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non pangan. Alokasi pengeluaran
atau
tingkat
konsumsi
rumahtangga
sangat
berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi kepala ruamhtangganya. Karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga kemungkinan akan mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangganya sehingga hal ini sangat menarik untuk dikaji. Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki jumlah wanita kepala rumahtangga banyak pada tahun 2005 dan 2010 merupakan daerah kajian yang menarik dalam penelitian ini dengan membandingkan tipe daerah, perkotaan dan pedesaan.
1.2. Perumusan Masalah Wanita menjadi kepala rumahtangga disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain pertama, wanita yang tidak menikah dan mendirikan rumahtangga sendiri atau mengambil alih tanggungjawab kepala rumahtangga. Kedua, karena perceraian baik cerai hidup atau cerai mati, wanita tersebut tidak menikah lagi dan hidup terpisah dari anggota rumahtangga dimana ia dilahirkan atau bekas suaminya. Ketiga, karena perantauan dan keempat, karena satu dan lain hal suami tidak mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto menjadi pencari nafkah utama. Jumlah wanita kepala rumahtangga yang semakin meningkat di Daerah Istimewa Yogyakarta menarik untuk dikaji terutama pada tahun 2005 dan 2010. Menurut tipe daerah, perkotaan dan pedesaan, wanita kepala rumahtangga memiliki karakteristik sosial ekonomi tertentu yang menarik untuk dikaji. Faktor-
6
faktor sosial ekonomi seperti umur, status perkawinan, tingkat pendidikan dan pekerjaan wanita kepala rumantangga yang kemudian dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan rumahtangganya. Kesejahteraan rumahtangga dapat diukur dengan besarnya tingkat konsumsi atau pengeluarannya. Biasanya dapat dilihat dari alokasi pengeluaran rumahtangganya.
Teori
Engels
menyatakan
bahwa
rumahtangga
yang
kesejahteraannya lebih baik memiliki alokasi pengeluaran pangan lebih rendah daripada pengeluaran non pangan. Peran wanita kepala rumahtangga dalam penentuan alokasi pengeluaran ini tentunya dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonominya. Berdasarkan paparan tersebut maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan: 1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005 dan 2010? 2. Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga
terhadap alokasi pengeluaran rumahtangganya di Daerah
Istimewa Yogyakarta tahun 2005 dan 2010?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2005 dan 2010. 2. Mengetahui hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005 dan 2010.
1.4. Kegunaan Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1. Manfaat Akademis 1. Sebagai
sumber
informasi
tambahan
terkait
rumahtangga di Daerah Istimewa Yogyakarta.
7
wanita
kepala
2. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya yang terkait dengan WKRT baik di Daerah Istimewa Yogyakarta maupun daerah lainnya. 3. Dapat menjadi inspirasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya yang terkait WKRT di Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah lainnya. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan
kebijakan
yang
tepat
berkaitan
dengan
kesejahteraan
rumahtangga yang dikepalai oleh wanita di DIY.
1.5. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Wanita Kepala Rumahtangga Rumahtangga biasa menurut BPS (2005, 2010) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Ada bermacam-macam bentuk rumahtangga biasa di antaranya: 1) orang yang tinggal bersama istri dan anaknya; 2) orang yang menyewa kamar atau sebagian bangunan sensus dan mengurus makannya sendiri; 3) keluarga yang tinggal terpisah di dua bangunan sensus, tetapi makannya dari satu dapur, asal kedua bangunan sensus tersebut masih dalam satu blok sensus; 4) rumahtangga yang menerima pondokan dengan makan (indekos) yang pemondoknya kurang dari 10 orang; 5) pengurus asrama, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan dan sejenisnya yang tinggal sendiri maupun bersama istri, anak, serta anggota rumahtangga lainnya, makan dari satu dapur yang terpisah dari lembaga yang diurusnya;
8
6) beberapa orang yang bersama-sama mendiami satu kamar dalam satu bangunan sensus walaupun mengurus makannya sendiri-sendiri. Setiap rumahtangga memiliki kepala rumahtangga yang menurut BPS (2005, 2010) adalah seorang dari sekelompok anggota rumahtangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumahtangga tersebut atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai kepala rumahtangga di rumahtangga tersebut. Menurut pengertian tersebut kepala rumahtangga dapat seorang pria atau wanita yang dianggap/ditunjuk. Ada beberapa faktor demografis yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumahtangga menurut Sajogyo (1991) dalam Sugiatmi (2001). Faktorfaktor tersebut antara lain: 1) Ada wanita yang tidak pernah menikah dan mendirikan rumahtangganya sendiri, atau mengambil alih tanggungjawab kepala rumahtangga dimana ia menjadi anggota. 2) Karena perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, wanita tersebut tidak meleburkan dirinya kembali menjadi anggota rumahtangga dimana ia dilahirkan atau rumahtangga bekas suaminya dan ia juga belum menikah lagi. 3) Karena perantauan, baik oleh suami maupun oleh wanita itu sendiri sehingga wanita tersebut secara de facto adalah kepala rumahtangga. 4) Karena satu dan lain hal suami tidak dapat mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto menjadi pencari nafkah utama.
2. Karakteristik Sosial Ekonomi Wanita Kepala Rumahtangga Rumahtangga di Indonesia umumnya terdiri dari suami, istri dengan atau tanpa anak biasanya yang diangkat sebagai kepala rumahtangga adalah suami (BPS, 1986) dalam Sugiatmi (2001). BPS membuat ketentuan bila suami tercatat sebagai anggota rumahtangga, maka secara langsung ia dianggap sebagai kepala rumahtangga, sehingga tidak ada kepala rumahtangga wanita yang mempunyai suami dalam rumahtangganya. Selanjutnya BPS menyatakan bahwa wanita yang mengepalai rumahtangga adalah wanita yang dianggap
9
bertanggungjawab
terhadap
rumahtangga
dibedakan
menurut
status
perkawinan yaitu: 1) Wanita yang tidak kawin yaitu wanita yang tidak terikat di dalam perkawinan dan bertanggungjawab terhadap rumahtangganya. 2) Wanita yang kawin yaitu wanita yang terikat di dalam perkawinan tetapi tempat tinggalnya berpisah dari suami sehingga wanita yang mengepalai rumahtangga. 3) Wanita yang cerai hidup maupun cerai mati (janda) adalah wanita yang telah bercerai maupun suaminya meninggal dunia dan belum menikah lagi. Seorang wanita yang cerai hidup maupun cerai mati dan memiliki anak kemudian menjadi kepala rumahtangga menurut Qaimi (2003) adalah suatu keadaan dimana seorang wanita akan menduduki dua jabatan sekaligus; sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan sebagai ayah. Hal ini berarti tanggungjawab ibu akan bertambah, ia harus mencari nafkah sendiri, mengambil keputusan-keputusan penting sendiri, dan sekian banyak tugastugas yang harus dilaksanakan. Perubahan besar yang harus dijalankan ibu menjalankan peran ibu sekaligus sebagai ayah, yang senantiasa berjuang menjadi tulang punggung keluarga dan panutan anak–anaknya (Usman, 2009). Perubahan
status
wanita
menjadi
kepala
rumahtangga,
akan
mempengaruhi karakteristik rumahtangganya. Karakteristik rumahtangga yang dikepalai wanita di negara-negara berkembang atau dunia ketiga pada umumnya miskin (Kasoudji dan Muller, 1978; Garfinkel Mc Lanahan, 1986; Hull, 1979) dalam Sugiatmi (2001). Menurut Clark (1986) dalam Sugiatmi (2001), hal tersebut karena wanita yang mengepalai rumahtangga pada umumnya kurang pendidikan formal, mempunyai kebutuhan lebih besar (dibanding rata-rata) bagi pemeliharaan anak, mempunyai keterbatasan akses terhadap pekerjaan, pelayanan sosial, sumber-sumber produktif, modal, kredit, tanah dan ternak; dan mempunyai lebih sedikit jaringan kekerabatan yang mendukungnya. Kondisi rumahtangga yang dikepalai wanita dibuktikan kembali oleh BPS (1981) dalam Sugiatmi (2001) dengan studi mendalam di lima lokasi
10
komunitas tentang Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga. Hasil penelitian tersebut menggambarkan pada umumnya rumahtangga yang dikepalai wanita memnpunyai status sosial ekonomi yang lebih rendah daripada rumahtangga yang dikepalai pria. Kesenjangan itu bersumber pada pencari nafkah, pendidikan kesempatan kerja. Pencari nafkah disini diartikan oleh perbedaan kemampuan besarnya anggota rumahtangga usia kerja yang mendukung kelangsungan hidup rumah tangga yang dikepalai wanita. Sedang pendidikan berkaitan erat dengan ketidakmampuan, keterampilan dan sarana untuk menjangkau peluang kerja yang dibutuhkan, sehingga mengurangi meraih kesempatan yang ada. Penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga (Surbakti, 1986) dalam Sugiatmi (2001) ditemukan bahwa di antara variabel-variabel : tingkat pendidikan, kegiatan, jam kerja dan umur ternyata tingkat pendidikan memiliki kaitan yang terbesar dengan status sosial ekonominya. Kurangnya pendidikan bagi wanita menyebabkan terbatasnya kesempatan memasuki angkatan kerja (Standing, 1976) dalam Sugiatmi (2001). Dibandingkan dengan pria, wanita kepala rumah tangga memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Di negara ketiga, gambaran wanita yang mengepalai rumahtangga adalah rendahnya pendidikan formal, memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk mengasuh anak, memiliki keterbatasan berpartisipasi dalam angkatan kerja, dalam pelayanan sosial, sumber produksi, modal, barang, tanah maupun ternak (Sugiatmi, 2001).
3. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga menurut BPS dibedakan atas pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Pengeluaran pangan meliputi tindakan konsumsi terhadap bahan pangan kelompok padipadian, ikan, daging, telur, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak. Komoditi pangan yang berpengaruh sangat besar terhadap pergeseran garis kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, mie instan dan minyak goreng (BPS, 2008).
11
Sementara itu, pengeluaran non pangan meliputi biaya untuk perumahan, bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian dan barang-barang tahan lama lainnya. Pengeluaran untuk biaya transportasi, listrik, bahan bakar dan perumahan merupakan kebutuhan yang berpengaruh terhadap pergeseran garis kemiskinan bukan makanan (BPS 2008). Menurut BPS (2008) data konsumsi dan pengeluaran dapat digunakan untuk penelitian kesejahteraan rumahtangga. Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), yang dikenal sebagai Teori Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu komposisi pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran
pangan
semakin
kurang
sejahtera
rumahtangga
yang
bersangkutan. Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan pangan akan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah akan terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan. Struktur pengeluaran rumahtangga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga. Rumahtangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi tergolong rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan rendah relatif dibanding rumahtangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah (Rachman, 2001). Pengambilan keputusan rumahtangga biasanya alokasi pengeluaran untuk konsumsi dibatasi oleh tingkat pendapatan yang dimiliki rumahtangga. Magrabi, et al (1991) dalam Rachman (2008) mengelompokkan kebutuhan konsumsi rumahtangga menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan konsumsi pangan (KF) dan konsumsi non pangan (KNF). Dengan asumsi pendapatan rumahtangga seluruhnya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi (tabungan atau saving = 0), maka total pengeluaran rumahtangga (TE) = pendapatan rumahtangga (IC). Artinya bahwa pendapatan rumahtangga sama
12
dengan total pengeluaran rumahtangga yaitu jumlah pengeluaran untuk pangan ditambah dengan jumlah pengeluaran untuk non pangan. Dalam kondisi demikian, alokasi pengeluaran rumahtangga secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut: TE = IC = KF + KNF KF = ∑ Pi Qi untuk i = 1,2, ………..n KNF = ∑ Pj Qj untuk j = 1,2, ………k dimana Pi dan Pj adalah harga dari komoditas i dan j untuk i ≠ j , Qi dan Qj menunjukkan jumlah komoditas i dan j yang dikonsumsi. Apabila persamaan di atas dituliskan dalam bentuk pangsa, diperoleh persamaan berikut: SKF = KF/TE SKNF = KNF/TE SKF + SKNF = 1.0 SKF adalah pangsa pengeluaran pangan, SKNF adalah pangsa pengeluaran non pangan, dan TE adalah total pengeluaran rumahtangga yang digunakan sebagai proksi dari pendapatan rumahtangga. Mengingat pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat bertahan hidup secara sehat, maka seseorang akan mengalokasikan pengeluaran untuk pangan terlebih dahulu, berikutnya mengalokasikan untuk pengeluaran non pangan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan rumahtangga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan.
4. Faktor Pengaruh Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Pendapatan dan pengeluaran rumahtangga memiliki kaitan yang erat. Engels (1857) dalam Yulianti (2001) menyatakan bahwa konsumsi terhadap suatu barang atau jenis barang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatannya. Proporsi pendapatan yang dikeluarkan untuk membeli jenis makanan akan berkurang dengan naiknya tingkat pendapatan. Teori ini mempertegas bahwa
13
semakin tinggi penghasilan seseorang semain kecil persentase penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli pangan (Syahri, 1994 dan Mile, 1997 dalam Yulianti, 2001). Kebutuhan manusia akan makan pada dasarnya mempunyai titik jenuh, kemudian beralih ke kualitas atau pada pemenuhan kebutuhan lain (non pangan) seperti kualitas rumah, hiburan atau barang kemewahan dan ditabung atau investasi. Dengan demikian terjadi pergeseran pola pengeluaran dalam suatu rumahtangga dari pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan. Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi selera dan preferensi konsumen pada jenis dan tingkat pengeluaran pilihan (Fan 1997; Ghany & Sharpe 1997 dalam Rambe, 2008). Tingkat pendapatan yang tinggi memberi peluang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya (Roedjito, 1989). Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyo et al. 1994 dalam Rambe, 2008). Mangkuprawira (1985) menyatakan secara naluriah individu atau keluarga akan mengutamakan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, perilaku tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, musim, tempat tinggal dan berbagai faktor lain (selera dan budaya). Besarnya pengeluaran suatu keluarga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yang bersangkutan. Lebih dari 50 persen total pengeluaran akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan pada keluarga miskin di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia (BPS, 1997 dalam Shinta, 2008). Proporsi pengeluaran pangan pada rumah tangga di negara-negara maju terhadap total pengeluaran tidak lebih dari 50 persen. Menurut Soekirman (1991) dalam Shinta (2008) keluarga berpendapatan rendah membelanjakan 60 - 80 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
14
Hasil kajian Suryana et. al (1988) dalam Shinta (2008) menunjukkan bahwa 70,6 persen pengeluaran pada keluarga petani dialokasikan untuk pangan dan pengeluaran untuk peningkatan kualitas hidup seperti pendidikan, kesehatan dan rekreasi relatif kecil sekitar 29,4 persen. Sementara data Susenas (2007) menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk pangan masyarakat Indonesia masih lebih dari 60 persen. Kondisi ini merupakan cerminan dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum baik. Alokasi pengeluaran atau tingkat konsumsi keluarga menurut Khomsan (2007) sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonominya. Berdasarkan studi tentang pola pengeluaran rumahtangga maka faktor-faktor yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran antara lain ukuran keluarga, nisbah jenis kelamin dan golongan usia, tingkat pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga. Hasil Survei Biaya Hidup tahun 1989 dalam Primayuda (2002) membuktikan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga semakin besar proporsi pengeluaran keluarga untuk pangan daripada non pangan. Hal ini berarti semakin kecil jumlah anggota keluarga semakin kecil pula proporsi pendapatan
untuk
kebutuhan
pangan.
Selebihnya,
keluarga
akan
mengalokasikan sisa pendapatannya untuk konsumsi non pangan. Dengan demikian, keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari keluarga dengan jumlah anggota besar. Penambahan jumlah anggota keluarga berarti meningkatkan beban perekonomian keluarga yang mengakibatkan pengaturan pengeluaran menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki tingkat dan jenis kebutuhan serta preferensi yang berbedabeda dalam mengkonsumsi alat pemuas kebutuhan. Hasil penelitian Megawangi et. Al (1994) dalam Shinta (2008) menunjukkan bahwa semakin besar ukuran keluarga cenderung tidak ada pengaturan terhadap pengeluaran keluarga. Hasil Susenas Tahun 2000 dalam Sijrat (2005) menyatakan bahwa jumlah anggota rumahtangga atau ukuran keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi. Jumlah anggota rumahtangga atau ukuran keluarga dimana
15
rumahtangga miskin yang memiliki anggota rumahtangga cukup banyak yakni 5 orang atau lebih pemenuhan kebutuhan hidupnya sekitar 83% adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Bian dalam Primayuda (2002) menyatakan bahwa usia, jumlah dan nisbah jenis kelamin anggota keluarga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi pengeluaran. Semakin banyak anggota keluarga yang berusia balita maka pengeluaran keluarga untuk konsumsi susu, pakaian dan biaya kesehatan cenderung akan meningkat. Hal ini terjadi karena usia balita rentan terhadap masalah-masalah gizi dan kesehatan. Komposisi keluarga (nisbah jenis kelamin) menurut hasil penelitian Suryawati dalam Rahmawati (2006) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi pengeluaran non pangan. Usia mencerminkan tingkat kematangan individu baik secara fisik maupun emosional. Oleh sebab itu usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas seseorang. Seiring dengan bertambahnya usia produktivitas kerja seseorang akan mengalami penurunan, terutama ketika mendekati usia lanjut (Roswita, 2005). Orangtua yang berusia lanjut menjadi kurang produktif sehingga kontribusinya terhadap perekonomian keluarga menjadi lebih rendah bila dibandingkan orangtua yang berusia muda. Tingkat pendapatan yang diterima oleh keluarga juga akan menjadi rendah sehingga alokasi pengeluaran keluarga menjadi lebih terbatas. Tingkat pendidikan formal orangtua juga berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan perilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat mengubah pola konsumsinya. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka semakin besar kemungkinan ia akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi (Khomsan, 2007). Menurut Firdausy (1999) keluarga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin bila dibandingkan keluarga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Data
16
BPS (2004) menunjukkan bahwa 72,01 persen dari keluarga miskin di pedesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD dan 24,32 persen berpendidikan SD. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2 persen. Selanjutnya, hubungan status pekerjaan dengan pola konsumsi. Berdasarkan hasil Susenas 2000 dalam Sjirat (2009) menunjukkan bahwa kepala rumahtangga yang berstatus pekerjaannya sebagai buruh harian, buruh kasar atau buruh yang bekerja dengan tidak tetap, pola konsumsinya lebih besar porsinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan daripada kebutuhan untuk konsumsi non pangan. Widarti (1983) dan Hugo (2000) dalam Sjirat (2009) menggunakan status pekerjaan utama untuk pengelompokkan sektor formal dan informal. BPS dalam kegiatan perstatistikan memberikan batasan tentang status pekerjaan yang terdiri atas : 1). Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain;.2). Berusaha
dengan
dibantu
anggota
rumahtangga;
3).
Karyawan
Swasta/Pemerintah; 4). Buruh Tetap; 5). Pekerja Keluarga. Lebih lanjut Widarti (1983) dan Hugo (2000) dalam Sjirat (2009) telah berusaha untuk mengelompokkan status pekerjaan tersebut menjadi dua kelompok dengan terlebih dahulu telah mempelajari betul tentang karakteristik status pekerjaan baik dari tingkat profesionalisme pekerjaan maupun dari sudut jenis pekerjaannya. Yang termasuk sektor formal adalah buruh tetap/karyawan dan berusaha dibantu buruh tetap/karyawan serta sisanya termasuk dalam sektor informal. Todaro (1998) dalan Sjirat (2009) menyatakan karakteristik sektor informal adalah sangat bervariasi dalam bidang kegiatan produksi barang dan jasa berskala kecil. Unit produksi yang dimiliki secara perorangan atau kelompok, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Para pekerjanya sendiri biasanya tidak memiliki pendidikan formal yang tidak memiliki keterampilan dan modal
17
kerja. Oleh sebab itu produktivitas dan pendapatan mereka cenderung rendah dibandingkan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan di sektor formal. Pendapatan tenaga kerja informal bukan berupa upah yang diterima tetap setiap bulannya, seperti halnya tenaga kerja formal. Upah pada sektor formal diintervensi pemerintah melalui peraturan Upah Minimum Propinsi (UMP). Tetapi penghasilan pekerja informal lepas dari campur tangan pemerintah. Sijrat (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara status pekerjaan kepala keluarga dengan pola konsumsi rumahtangga pada rumahtangga miskin perkotaan di Sumatera Barat. Pada rumah tangga dengan kategori rata-rata pengeluaran rendah variabel pendidikan dan status pekerjaan berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi rumahtangga miskin di perkotaan. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa semakin rendah pendidikan kepala keluarga, terdapat kecenderungan bahwa rumahtangga tersebut dalam pengeluaran rumahtangganya lebih besar terfokus pada keperluan pangan dibandingkan non pangan. Kepala rumahtangga berpendidikan rendah bekerja pada sektor informal dengan pendapatan yang terbatas, sehingga pendapatan yang diperoleh kelompok rumahtangga ini sebesar-besarnya akan tersedot untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.
1.6. Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya dan mempunyai perbedaan yang mempertahankan keaslian masingmasing penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Eka Sugiatmi pada tahun 2001 yang berjudul Curahan Jam Kerja Pekerja Wanita Kepala Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah (Analisis Data Susenas 1998) menggunakan analisis tabel frekuensi dan tabel silang. Analisis tersebut digunakan untuk memaparkan kondisi atau keadaan demografi dan sosial ekonomi rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Provinsi Jawa Tengah meliputi umur, status perkawinan, pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, akses ke media massa, rata-rata pengeluaran sebulan dan menurut daerah tempat tinggal. Penelitian tersebut juga menggunakan analisis tabel silang dan chi-square untuk melihat curahan jam kerja pekerja
18
wanita kepala rumah tangga berdasarkan kondisi demografi dan sosial ekonomi menurut daerah tempat tinggal. Hasil dari penelitian oleh Eka Sugiatmi tersebut adalah umur wanita kepala rumahtangga sebagian besar sudah tua (60+ tahun), persentase tertinggi terdapat di desa. Salah satu sebab mengapa wanita menjadi kepala keluarga adalah karena cerai mati (kota 74,77% dan desa 78,5%). Wanita kepala rumahtangga diketahui sebagian besar berpendidikan rendah terutama yang tinggal di desa. Kegiatan akses ke media massa seperti mendengarkan radio di kota lebih tinggi daripada di desa. Sumber penghasilan utama mereka adalah berasal dari sektor agriculture, sektor manufacture dan service serta lainnnya (remittan, pensiunan). Pengeluaran rata-rata per bulan rumah tangga yang dikepalai wanita di desa lebih banyak pengeluarannya untuk pangan. Curahan jam kerja terdapat variasi antara desa dan kota. Curahan jam kerja pekerja wanita kepala rumahtangga menurut jenis pekerjaan ini, terlihat adanya dominasi rata-rata jam kerja < 35 jam per minggu. Muh. Rafly juga melakukan penelitian yan berkaitan dengan wanita kepala rumahtangga pada tahun 2008 dengan judul Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Kelangsungan Hidup Wanita Kepala Rumahtangga Miskin di Pedesaan Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara kepada responden terpilih. Menurut penelitian tersebut sebagian besar kepala rumahtangga wanita berumur muda dan rata-rata umurnya 30 tahun dengan tanggungan yang banyak, pendidikan rata-rata adalah rendah. Status ekonomi rumahtangga wanita adalah miskin dengan ratarata pendapatan rumahtangga sebesar Rp 300.000 per bulan. Strategi kelangsungan hidup rumahtangga wanita dapat memberikan kontribusi bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga seperti: 1) Menghemat pengeluaran pangan dan nonpangan, 2) Meminjam kepada tengkulak, 3) Bantuan tetangga, 4) Berkebun. Penelitian yang berkaitan dengan wanita kepala rumahtangga tersebut digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Sebagai tambahan acuan, peneliti menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana Shinta pada tahun 2008
19
yang tidak berkaitan dengan wanita kepala rumahtangga. Penelitiannya yang berjudul Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu digunakan sebagai acuan karena salah satu tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi kepala rumahtangga dengan alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan rumahtangga. Penelitian Yuliana Shinta memberikan hasil bahwa proporsi terbesar dari usia orangtua berada pada kategori dewasa madya yaitu 43,9 tahun untuk usia suami dan 38 tahun untuk usia istri. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orangtua memiliki tingkat pendidikan dasar. Rata-rata total pendapatan per kapita adalah Rp 347.387,69. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan dan non pangan adalah 57,5 persen dan 42,5 persen. Proporsi terbesar dari contoh pada kategori miskin. Besar keluarga berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan dan pajak. Usia suami dan istri berhubungan positif dengan alokasi pengeluaran pangan. Hubungan
karakteristik
sosial
demografi
dan
ekonomi
kepala
rumahtangga terhadap alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan. Tingkat pendidikan suami berhubungan negatif dengan alokasi pengeluaran pangan. Tingkat pendidikan suami berhubungan dengan tingkat kesejahteraan. Besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan per kapita tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Alokasi pengeluaran pangan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan. Munparidi pada tahun 2010 melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pendapatan dan Ukuran Keluarga Terhadap Pola Konsumsi (Studi Kasus: Desa Ulak Kerbau Lama Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Ogan Ilir). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pendapatan dan ukuran keluarga terhadap pola konsumsi. Penelitian ini dilakukan jumlah populasi sebanyak 408 rumahtangga. Pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan “standar error of proportional” sehingga diperoleh responden sebanyak 103 kepala keluarga. Kemudian teknik acak berstratifikasi diperoleh sebanyak 45 responden rumahtangga miskin dan 58 responden rumahtangga tidak miskin. Data dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial dan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
20
menunjukkan bahwa : (1) Proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan total keluarga. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan berbanding lurus dengan pendapatan total keluarga, (2) Besarnya ukuran keluarga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pola konsumsi rumahtangga. Informasi terkait penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas memberikan banyak masukan dan menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti dalam penyusunan penelitian yang dilakukan yaitu “Hubungan Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Alokasi Pengeluaran Wanita Kepala Rumahtangga di DIY (Analisis Susenas Tahun 2005 dan 2010)”. Karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga dianalisis secara keruangan dan waktu serta karakteristik tersebut dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan alokasi pengeluaran rumahtangganya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder hasil SUSENAS DIY tahun 2005 dan 2010 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis komparasi dan korelasi koefisien kontingensi. Analisis komparasi merupakan alat analisis yang dimanfaatkan untuk menjawab tujuan penelitian pertama. Tujuan penelitian kedua dan hipotesis dalam penelitian ini dijawab menggunakan analisis korelasi koefisien kontingensi. Keaslian dari penelitian ini dapat dilihat berdasarkan Tabel 1.3.
21
Tabel 1.3 Perbandingan Penelitian yang Telah Dilakukan Sebelumnya dan Penelitian Ini No
1
2
Nama Peneliti Eka Sugiatmi (Skripsi, 2001)
Muh. Rafly (Jurnal, 2008)
Judul
Tujuan
Curahan Jam 1. Untuk mengetahui kondisi atau keadaan Kerja Pekerja demografi dan sosial ekonomi rumah Wanita Kepala tangga yang dikepalai oleh wanita di Rumah Tangga di Provinsi Jawa Tengah meliputi umur, Propinsi Jawa status perkawinan, pendidikan, jumlah Tengah (Analisis anggota rumah tangga, akses ke media Data Susenas massa, rata-rata pengeluaran sebulan dan 1998) menurut daerah tempat tinggal. 2. Untuk melihat curahan jam kerja pekerja wanita kepala rumah tangga berdasarkan keadaan demografi dan sosial ekonominya.
Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Kelangsungan Hidup Wanita Kepala Rumahtangga Miskin di Pedesaan Kab. Konawe Prov.Sulawesi Tenggara
1. Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan kemiskinan wanita kepala rumahtangga miskin di pedesaan Kabupaten Konawe. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk strategi yang digunakan dan pemanfaatan waktu luang wanita kepala rumahtangga miskin di pedesaan Kabupaten Konawe.
Metode
Hasil
Data sekunder dari Susenas tahun 1998 yang dianalisis dengan tabel frekuensi dan tabel silang serta metode chisquare.
- Umur wanita kepala rumahtangga sebagian besar sudah tua (60+ tahun), persentase tertinggi terdapat di desa dengan status cerai mati (kota 74,77% dan desa 78,5%). - Wanita kepala rumahtangga diketahui sebagian besar berpendidikan rendah terutama yang tinggal di desa. - Sumber penghasilan utama mereka adalah berasal dari sektor agriculture, sektor manufacture dan service serta lainnnya (remittan, pensiunan). Pengeluaran rata-rata per bulan rumah tangga yang dikepalai wanita di desa lebih banyak pengeluarannya untuk pangan. - Curahan jam kerja terdapat variasi antara desa dan kota. - Menurut kegiatan mencari pekerjaan maka wanita kepala rumahtangga yang sudah bekerja lebih banyak yang masih mencari pekerjaan lagi. Secara umum dapat dikatakan sebagian besar kepala rumahtangga wanita berumur muda dan rata-rata umurnya 30 tahun denagn tanggungan yang banyak, pendidikan rata-rata adalah rendah. Status ekonomi rumahtangga wanita adalah miskin dengan ratarata pendapatan rumahtangga sebesar Rp 300.000 per bulan. Strategi kelangsungan hidup rumahtangga wanita dapat memberikan kontribusi bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga seperti: 1) Menghemat pengeluaran pangan dan nonpangan, 2) Meminjam kepada tengkulak, 3) Bantuan tetangga, 4) Berkebun.
Data primer dari survei lapangan dan wawancara.
22
3
Yuliana Shinta (Skripsi, 2008)
Analisis Alokasi 1. Mempelajari karakteristik sosial Pengeluaran dan demografi ekonomi contoh (besar Tingkat keluarga, usia orangtua, tingkat Kesejahteraan pendidikan orangtua dan pendapatan Masyarakat perkapita). Pesisir Kabupaten 2. Menganalisis alokasi pengeluaran pangan Indramayu dan pengeluaran non pangan pada contoh. 3. Menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan alokasi pengeluaran. 4. Menganalisis hubungan karakteristik sosial demografi ekonomi contoh dengan tingkat kesejahteraan. 5. Menganalisis hubungan alokasi pengeluaran contoh dengan tingkat kesejahteraan.
Data sekunder dari survei Kontribusi Subsektor Perikanan Dalam Akselerasi Pencapaian Nilai IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2008 (contoh yang terpilih ada 118 contoh dari 140 keluarga)
Rata-rata usia suami dari contoh adalah 43,9 tahun dan rata-rata usia istri adalah 38,0 tahun. Proporsi terbesar dari usia orangtua berada pada kategori dewasa madya. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orangtua memiliki tingkat pendidikan dasar. Rata-rata total pendapatan per kapita adalah Rp 347.387,69. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan dan non pangan adalah 57,5 persen dan 42,5 persen. Proporsi terbesar dari contoh pada kategori miskin. Besar keluarga berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan dan pajak. Usia suami dan istri berhubungan positif dengan alokasi pengeluaran pangan. Tingkat pendidikan suami berhubungan negatif dengan alokasi pengeluaran pangan. Tingkat pendidikan suami berhubungan dengan tingkat kesejahteraan. Besar keluarga, usia orangtua, tingkat pendidikan istri dan pendapatan per kapita tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Alokasi pengeluaran pangan berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat kesejahteraan.
4
Munparid i (Jurnal, 2010)
5
Fitri Astuti (Skripsi, 2014)
Pengaruh Mengetahui hubungan antara pendapatan Pendapatan dan dan ukuran keluarga terhadap pola Ukuran Keluarga Terhadap Pola konsumsi. Konsumsi (Stufi Kasus: Desa Ulak Kerbau Lama Kec. Tanjung Raja Kab Ogan Ilir) Hubungan 1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi Karakteristik wanita kepala rumahtangga menurut tipe Sosial Ekonomi daerah di DIY pada tahun 2005 dan 2010. Terhadap Alokasi 2. Mengetahui hubungan karakteristik sosial
Data Primer dengan teknik random kuota berlapis (jumlah sampel 103 KK). Analisis data dengan deskriptif dan statistik inferensial (chisquare). Data Sekunder SUSENAS DIY 2005 dan 2010. Teknik analisis
Proporsi alokasi pengeluran untuk konsumsi pangan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan total keluarga, artinya semakin besar pendapatan total keluarga maka proporsi alokasi untuk konsumsi pangan semakin berkurang. Sebaliknya proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan berbanding lurus dengan besarnya pendapatan total keluarga, artinya proporsi alokasi untuk konsumsi non pangan bertambah seiring dengan pertambahan pendapatan total keluarga. Tidak ada hubungan yang signifikan antara besarnya ukuran keluarga terhadap pola konsumsi rumah tangga. - Wanita kepala rumahtangga (WKRT) di DIY tahun 2005 dan 2010 menurut tipe daerah cenderung didominasi lansia (>=65 tahun) di pedesaan dan dewasa muda (19-29 tahun) di perkotaan. WKRT yang tinggal di pedesaan sebagian besar
23
Pengeluaran Wanita Kepala Rumahtangga di DIY (Analisis Susenas Tahun 2005 dan 2010
ekonomi tersebut dengan alokasi pengeluaran rumahtangga di DIY pada tahun 2005 dan 2010.
komparasi dan korelasi koefisien kotingensi.
24
berstatus cerai mati sedangkan mereka yang tinggal di perkotaan belum kawin. Jumlah ART dalam rumahtangga yang dikepalai wanita baik di perkotaan maupun pedesaan termasuk kecil (<= 3 orang). Pendidikan wanita kepala rumahtangga di perkotaan cenderung tinggi sedangkan di pedesaan cenderung rendah. Kegiatan utama wanita kepala rumahtangga adalah bekerja dan mengurus rumahtangga namun di perkotaan cenderung sekolah. Wanita kepala rumahtangga banyak yang tidak bekerja; mereka banyak yang bekerja di sektor informal; mereka yang bekerja di sektor formal tinggal di perkotaan. Pengeluaran rumahtangga yang dikepalai wanita cenderung untuk bukan pangan tinggal di perkotaan. - Jumlah anggota rumahtangga tidak berkorelasi dengan alokasi pengeluaran rumahtangga. Tingkat pendidikan dan status pekerjaan wanita kepala rumahtangga berkorelasi positif dengan alokasi pengeluaran.
1.7. Kerangka Pemikiran Wanita yang menjadi kepala rumahtangga dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya pertama, wanita yang tidak menikah dan mendirikan rumahtangga sendiri atau mengambil alih tanggungjawab kepala rumahtangga. Kedua, karena perceraian baik cerai hidup atau cerai mati, wanita tersebut tidak menikah lagi dan hidup terpisah dari anggota rumahtangga dimana ia dilahirkan atau bekas suaminya. Ketiga, karena perantauan dan keempat, karena satu dan lain hal suami tidak mencari nafkah lagi sehingga wanita secara de facto menjadi pencari nafkah utama. Data publikasi hasil Sensus Penduduk dari tahun 1990 sampai 2010 (Tabel 1.2) menunjukkan bahwa persentase jumlah wanita kepala rumahtangga (WKRT) di DIY paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa. Angka ini juga meningkat dari tahun 1990 sampai 2010. Pada tahun 2005 dan 2010 menurut data BPS, meskipun persentase WKRT di DIY menurun namun nilainya tetap tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Rumahtangga yang umumnya dikepalai oleh laki-laki kemudian pada kondisi tertentu wanita dapat pula menjadi kepala rumahtangga sangat menarik untuk dikaji. Wanita kepala rumahtangga tersebut mengalami masalah utama seperti kelebihan tugas. Wanita kepala rumahtangga harus menjalankan perannya mengatur rumahtangga dan menjadi kepala rumahtangga. Karakteristik sosial ekonomi wanita kepala rumahtangga tersebut menjadi menarik untuk dikaji. Beberapa studi yang pernah dilakukan sebelumnya, karakteristik wanita kepala rumahtangga (WKRT) dapat dilihat dalam penelitian ini dengan faktor demografi, pendidikan dan ketenagakerjaan. Karakteristik WKRT menurut tipe daerah, perkotaan dan pedesaan, dilihat berdasarkan umur, status perkawinannya dan jumlah anggota rumahtangganya. Untuk melihat tingkat pendidikan WKRT tersebut dapat dilihat dari pendidikan formal terakhir yang ditamatkan. Faktor ketenagakerjaan untuk melihat kegiatan utama yang menghasibkan banyak jam selama seminggu terakhir dan status pekerjaan utamanya. Kesejahteraan
rumahtangga
yang
dikepalai
oleh
wanita
dengan
karakteristik sosial ekonomi seperti tersebut menarik untuk dikaji dalam
25
penelitian ini. Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan Teori Engel yaitu bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu komposisi pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa total pengeluaran rumahtangga sama dengan pendapatan yang diterima rumahtangga tersebut. Hal ini karena data pendapatan tidak diperoleh dari Susenas dan dianggap bahwa tabungan/saving adalah nol (0). Artinya bahwa pendapatan yang diterima rumahtangga seluruhnya digunakan untuk konsumsi. Tentunya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangga tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya juga pernah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi kepala rumahtangga yang mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangga. Penelitian ini membatasi faktorfaktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga yang dikepalai wanita karena keterbatasan data yang diperoleh. Faktor-faktor sosial ekonomi yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah jumlah anggota
rumahtangga,
pendidikan
dan
status
pekerjaan
wanita
kepala
rumahtangga. Karena dalam tinjauan pustaka sebelumnya ketiga faktor tersebut dianggap paling berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga yang berhubungan juga dengan kesejahteraan rumahtangga. Primayuda (2002) semakin kecil jumlah anggota keluarga semakin kecil pula proporsi pendapatan untuk kebutuhan pangan. Pendidikan kepala rumahtangga juga mempengaruhi alokasi pengeluaran rumahtangga. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat mengubah pola konsumsinya. Status pekerjaan kepala rumahtangga juga memiliki hubungan yang signifikan dengan alokasi pengelauran rumahtangga.
26
Hasil penelitian Sjirat (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi status pekerjaan kepala rumahtangga maka pendapatannya akan tinggi dan alokasi pengeluaran cenderung untuk bukan pangan. Banyak penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan
alokasi
pengeluaran
rumahtangga
dilakukan
terhadap
rumahtangga biasa sedangkan dalam penelitian ini dilakukan terhadap rumahtangga yang dikepalai wanita. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.
27
Wanita Kepala Rumahtangga
Faktor Demografi
Umur
Status perkawinan
Rumahtangga
Faktor Ketenagakerjaan
Faktor Pendidikan
Jumlah anggota rumahtangga
Kegiatan utama
Pendidikan yang ditamatkan
Alokasi Pengeluaran Rumahtangga
Pangan
Non Pangan
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
28
Status pekerjaan utama
Faktor Ekonomi
1.8. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disampaikan maka untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua dirumuskan hipotesis seperti berikut:
Terdapat hubungan positif dan signifikan antara jumlah anggota rumahtangga dengan alokasi pengeluaran yaitu semakin banyak jumlah anggota rumahtangga maka alokasi pengeluaran pangan semakin besar.
Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan wanita kepala rumahtangga dengan alokasi pengeluaran yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan wanita kepala rumahtangga maka alokasi pengeluaran pangan semakin kecil.
Terdapat hubungan antara status/kedudukan pekerjaan utama wanita kepala rumahtangga dengan alokasi pengeluaran yaitu semakin tinggi status pekerjaan utamanya maka alokasi pengeluaran pangan semakin kecil.
1.9. Konsep dan Batasan Operasional 1. Anggota rumahtangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah/akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga. Sebaliknya, orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau lebih atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut dianggap sebagai anggota rumah tangga (BPS, 2005, 2010). 2. Status perkawinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini menurut BPS (2005 dan 2010) yaitu:
Kawin adalah mempunyai istri (bagi laki-laki) atau suami (bagi perempuan) pada saat pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini yang dicakup tidak saja mereka yang kawin sah secara
29
hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya), tetapi juga mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suamiistri.
Cerai hidup adalah berpisah sebagai suami/ istri karena bercerai dan belum kawin lagi. Dalam hal ini termasuk mereka yang mengaku cerai walaupun belum resmi secara hukum. Sebaliknya tidak termasuk mereka yang hanya hidup terpisah tetapi masih berstatus kawin, misalnya suami/istri ditinggalkan oleh istri/suami ke tempat lain karena sekolah, bekerja, mencari pekerjaan, atau untuk keperluan lain. Wanita yang mengaku belum pernah kawin tetapi pernah hamil, dianggap cerai hidup.
Cerai mati adalah ditinggal mati oleh suami atau istrinya dan belum kawin lagi.
3. Pendidikan yang ditamatkan menurut BPS (2005 dan 2010) terdiri dari SD/MI, SMP/MTs, SMU/K/MA, Diploma I/II, Diploma III/Sarjana Muda, Diploma IV/Strata 1 dan Strata 2/Strata 3. 4. Kegiatan utama adalah kegiatan yang menghabiskan waktu paling banyak selama seminggu terakhir yang terbagi dalam bekerja, sekolah, mengurus rumahtangga dan lainnya. 5. Status pekerjaan utama yang digunakan dalam penelitian ini menurut BPS (2005 dan 2010) terdiri dari: berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas dan pekerja tidak dibayar.
30