BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan suatu disiplin ilmu yang lebih menekankan kepada kehidupan akhirat, yakni aspek spiritual Islam dibandingkan dengan kehidupan di dunia. Beberapa tokoh sufi memberikan definisi tasawuf dengan pengertian yang berbeda-beda. Salah satu diantaranya adalah definisi tasawuf menurut Al Junaid alBagdadi (w. 289 H), seorang tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah Swt., dan mengikuti syariat Rasulullah Saw.1 Sebelumnya, pada masa Nabi Muhammad Saw. dan masa khulafaur rasyidin, tidak pernah dikenal istilah “sufi”. Melainkan, lebih dikenal dengan panggilan “sahabat”. Panggilan ini merupakan istilah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang Muslim yang tidak bertemu dengan beliau dikenal dengan sebutan tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in. Kemudian munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H) dengan meletakan “al-sufi” di belakang namanya.2 Karya-karya ilmiah pada umumnya mendefinisikan tasawuf atau sufisme sebagai “mistisisme Islam”.3 Oleh para Orientalis, secara khusus diberikan nama 1
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal. 28. Amin Syukur, M.A, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 7. 3 Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1976, hal. 24.
2
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
2
“sufisme”.4 Intisari dalam mistisisme5, termasuk dalam tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.6 Dalam Tarikat Naqsyabandiyah, diajarkan tentang arti penting dari ruh tersebut. Ruh adalah jism yang halus, tidak terkurung dalam jism kasar (tubuh) dan tidak pula terlepas keluar. Barangsiapa yang mengenal ruhnya, berarti akan dapat mengenal Allah Swt.7 Untuk memperoleh kepuasan mistisnya tersebut, seorang pengikut dalam suatu tarikat membutuhkan bimbingan dari seorang guru yang dikenal dengan sebutan “syekh” atau “mursyid”. Biasanya seorang syekh memiliki wakil yang dikenal dengan istilah “khalifah”. Di samping khalifah, syekh juga memiliki sejumlah pengikut yang disebut dengan istilah “murid”.8 Kewajiban seorang murid adalah menaati peraturan yang diberlakukan oleh syekh yang memimpin tarikat tersebut. Di sisi lain, tugas seorang syekh dalam suatu tarikat adalah membimbing dan memberi arahan kepada seluruh muridnya agar mereka mengenal dan mengetahui jalan spiritual menuju cinta ilahi. Jalan spiritual inilah yang kemudian dalam ilmu tasawuf disebut dengan “tarikat”. Tarikat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut tarīq.9 Akan tetapi, tarīq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani
4
5
6 7 8 9
Noer Iskandar al-Barsany, Tasawuf, Tarikat, dan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal.1. Mistisme atau mystism berasal dari kata Yunani “myen” yang artinya “menutup mata”, yang juga menjadi asal kata mystery, kemudian terbentuklah kata mysticism. Tujuan akhir seorang mistis tidak akan pernah dicapai melalui cara-cara akademis atau cara-cara biasa, karena dasar dari mysticism adalah cinta pada Yang Maha Absolut, Kebenaran dan Realitas Tunggal atau Tuhan atau yang biasa dikenal sebagai usaha untuk menyingkap “the mysteries of the Kingdom of Heaven (rahasia-rahasia Kerajaan Langit). Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Abu Nasr Attusi al-Sarraj (w. 378 H/988 M), bahwa para Sufi adalah mereka yang mengutamakan Tuhan di atas segalanya, sebagaimana Tuhan mengutamakan mereka. lihat Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 205. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002, hal. 68. Mansur Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 227. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 271. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistis dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hal. 123.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
3
serta
membawa
santri-disebut
salik,
atau
pengembara-dalam
suluk10
atau
pengembaraannya melalui berbagai persinggahan (maqām), sampai mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna: pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.11 Abu Bakar Aceh dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Tarikat, menyatakan bahwa dalam ilmu tasawuf diterangkan mengenai arti tarikat ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi, tabiin dan tabiin-tabiin turun temurun sampai kepada guru-guru atau ulama-ulama, sambung menyambung dan rantai berantai sampai pada masa kita ini.12 Ada banyak metode atau cara peribadatan yang dilakukan seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt., di antaranya yaitu dengan cara zikir dan doa, itikaf, dan sebagainya. Tarikat Naqsyabandiyah memiliki jenis zikir yang bermacammacam. Beberapa di antaranya adalah zikir zahr, zikir khafi, dan juga terdapat zikir khātam khawajagan yang dipraktikkan di zawiyah13 Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani setiap seminggu sekali. Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin memandang zikir, “senantiasa dan terus menerus mengingat” Allah Swt., sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran ilahi. Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah Swt., dan hanya terus menerus mengingat Allah Swt. (zikir) sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah Swt. serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana’ ini.14 Para sufi terkemuka memandang zikir atau mengingat Allah Swt. sangat penting untuk membersihkan hati. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Quran Surat al-Ahzab ayat 41-42, yang berbunyi: 10
Hakekat Suluk adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji/mahmudah (dengan taat lahir batin kepada adab-adab syariat yang berlaku). Ke arah menuju itu, kaum sufi menempuh bermacammacam tarikat atau cara yang membawa mereka yang akhirnya sampai kepada kehadirat Tuhan. Lihat Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 25. 11 Schimmel, op. cit., hal. 123. 12 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarikat, Solo: Ramadani, 1995, hal. 67. 13 Zawiyah merupakan sebuah tempat atau padepokan yang digunakan untuk melakukan praktik zikir. 14 Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996, hal. 84.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
4
∩⊆⊄∪ ¸ξ‹Ï¹r&uρ Zοt õ3ç/ çνθßsÎm7y™uρ ∩⊆⊇∪ #ZÏVx. #[ø.ÏŒ ©!$# (#ρâè0øŒ$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# κš‰r'¯≈tƒ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Berzikirlah dan ingatlah nama Allah dan zikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. QS 33 : 41-42 Mengenai metode zikir yang diterapkan oleh masing-masing tarikat, berbedabeda sesuai dengan yang diajarkan oleh syekh tarikat tersebut. Seperti halnya Maulana Jalaluddin Rumi, tarikat yang diilhaminya adalah Mevlevi (baca: Mewlewi) atau disebut juga dengan nama Tarikat Maulawiyah, di Barat lebih dikenal sebagai para darwis yang berputar (Whirling Dervishes).15
Dalam tarikatnya, Rumi
menerapkan praktik zikirnya melalui tarian mistis yang kemudian muncul istilah “Sema”. Sema dalam pengertian lain adalah semacam konser spiritual yang terdiri dari beberapa adab16 yang harus dijalani. Adapun konser spiritual yang dimaksud adalah konser musik kerohanian yang disertai dengan pembacaan sajak dan tari-tarian. Tarian ini melambangkan gerakan berputar jiwa, yang terjadi karena kecintaan sang sufi dan perhatiannya yang penuh kepada Tuhan.17 Penggunaan musik dalam tasawuf dan hubungannya dengan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian dalam ilmu suluk menghantarkan dekat kepada Tuhan. Dalam hal ini, tari Sema diselenggarakan dengan tujuan membawa pendengar ke dalam keadaan rohani yang disebut tawajjud18, yaitu kekhusyukan yang kudus. Tawajjud dilakukan sebagai upaya
15
Schimmel, op. cit., hal 393. Adab merupakan kata Arab untuk etiket. Dalam etiket ada ajaran tentang perilaku yang benar untuk beragam keadaan: apa yang mesti dilakukan, bagaimana cara bertindak dan kapan tidak perlu bertindak. Daftar adab, yang disampaikan secara lisan atau tertulis dirumuskan, diajarkan, dan diawasi oleh para guru agar interaksi sosial—fondasi interaksi sosial ini adalah saling membantu— di dalam kelompok terjaga, dan tujuannya untuk mengembangkan karakter tunduk. lihat Sviri, Cita Rasa Mistis, hal. 208. 17 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006, hal. 259. 18 Tawajjud atau ekstase dalam tarikat adalah suatu keadaan di luar kesadaran diri (seperti halnya keadaan seseorang yang sedang khusyuk bersemadi). Dalam hal ini, istilah ekstase memiliki padanan kata dengan istilah wajd. Kata tawajud, yaitu bentuk keenam daripada kata kerja wajada “menemukan”, berarti berusaha mencapai keadaan ekstase dengan sarana luar”. Dengan kata lain adalah usaha untuk bebas dari diri sendiri itu dilakukan dengan cara menyanyi dan menari. Lihat Schimmel, Dimensi Mistis dalam Islam, hal. 227. 16
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
5
pembebasan diri, dan sarana pembebasan itu adalah nyanyian dan tari-tarian. Tarikattarikat, seperti Maulawiyah, Chistiyah, Alawiyah, Sanusiyah, dan lain-lain menempatkan Sema sebagai sarana peningkatan rasa dan penghayatan keagamaan.19 Dengan demikian, Maulana Jalauddin Rumi mempunyai pengaruh besar dalam bidang sastra sufi, hingga di bidang tasawuf seni. Dalam hal ini, dipercayai bahwa penggunaan musik dalam tasawuf merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Berkaitan dengan hal di atas, aliran sufi di Timur seperti Naqsyabandiyah, mengambil teknik-teknik hatha-yoga20 tertentu dan akhirnya menjadi demikian berbeda dalam bentuk tarian mereka.21 Oleh sebab itulah, penulis sangat tertarik untuk mengkaji tarian mistis Sema lebih dalam lagi.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini adalah: •
Atas dasar apa Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani menerapkan praktik zikir dengan diiringi musik dan tarian mistis yang disebut dengan istilah Sema?
•
Apakah dalam tarian mistis Sema terdapat rukun-rukun tertentu yang harus dilakukan dan rahasia apa yang terdapat di dalamnya?
19
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 161 et Seq. Istilah “Hatha” terdiri dari dua kata, yaitu: ‘Ha’ yang artinya Matahari dan ‘Tha’ artinya Rembulan. Dalam Yoga dikatakan bahwa bagian kanan tubuh bersifat positif, jantan, panas (Matahari). Sedangkan bagian kiri tubuh merupakan sikap negatif, feminim, dingin (Rembulan). Perkataan Yoga sendiri berarti: tafakur atau semadi; yakni penyatuan pikiran, mendekatkan kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah Pancasila, dasar Negara kita. Hatha Yoga adalah sebuah latihan untuk lebih mengenal diri kita sendiri seutuhnya, untuk mengharmonisasikan unsur materi dengan unsur nonmateri dalam diri kita (manusia), yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Lihat B. Sidartanto Buanadjaya, Pelajaran Praktis Hatha Yoga Kundalini Sakti: Membina Badan dan Batin Sehat Kuat Sentosa, Solo: Aneka CV, 1993, hal. 9 & 12; lihat juga Shri Yogendraji, Yoga for Students, India: K.V. Gopalakrishnan at Associated Advertisers & Printers, 1988. 21 Burckhardt, op. cit. hal. 143. 20
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
6
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: •
Untuk memberikan penjelasan mengenai sejauh mana alasan Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani menerapkan Sema dalam zikirnya dan atas dasar apa tarikat ini menerapkan Sema dalam zikirnya.
•
Untuk menjelaskan tentang rukun-rukun yang harus dilakukan ketika melaksanakan tari mistis Sema dan mengetahui apakah dalam tari mistis Sema terdapat rahasia yang tersirat di dalamnya.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Sepengetahuan penulis, pembahasan mengenai tasawuf sudah banyak yang meneliti. Akan tetapi, pembahasan mengenai seni mistis Sema secara khusus masih jarang ditemukan, maka dari itu diperlukan pembahasan yang lebih rinci lagi dan ditinjau dari berbagai aspek yang saling berkaitan. Dengan demikian, dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada “Refleksi Jalaluddin Rumi terhadap Tari Mistis Sema pada Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani”. Bukan hanya itu, dalam skripsi ini penulis juga membahas mengenai sejarah munculnya tari mistis Sema pada masa Jalaluddin Rumi hingga sejarah masuknya tari mistis Sema ke Indonesia yang saat ini diterapkan oleh Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani di Indonesia.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
7
1.5 Metodologi Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metodologi participant observer, yakni sumber data primer diperoleh penulis dari hasil studi lapangan dengan mengunjungi Yayasan Haqqani Sufi Indonesia atau nama lainnya adalah “Rumi Café”, di sana penulis melakukan teknik wawancara dengan Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia yang bernama Arief Hamdani. Di samping itu, penulis juga mengikuti
zikir
khātam
khawajagan
yang
diadakan
di
zawiyah
Tarikat
Naqsyabandiyah Haqqani setiap hari Senin malam sebanyak lima kali. Selain dari studi lapangan, penulis memperoleh data sekunder dari pustaka, yaitu dengan mencari serta membaca buku-buku dan skripsi yang berkaitan dengan tarikat dan juga yang berkaitan dengan Jalaluddin Rumi dan tari mistis Sema. Sumber pustaka tersebut didapat dari Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Islam Iman Jama’, Perpustakaan Nasional, dan dari sumber lainnya. Selain dari pustaka, penulis juga mencari sumber-sumber lain seperti dari internet dan media audio visual lainnya yang berbentuk kepingan VCD yang berisi tentang praktik tari Sema, sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis. Setelah semua data berhasil diperoleh, penulis melakukan kritik sumber dengan cara eksternal terhadap data tersebut. Tujuannya agar dapat diketahui apakah sumber data tersebut dapat dipercaya atau tidak, sehingga dapat menghasilkan fakta yang objektif. Setelah itu, penulis melakukan langkah berikutnya yaitu interpretasi data. Dalam hal ini, penulis akan menganalisis sumber data dan terakhir baru dilakukan pengolahan dan penulisan data secara deskriptif analitis.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
8
1.6 Landasan Teori
Untuk memudahkan penulis dalam menganalisis pembahasan masalah dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori tentang seni Islam yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi dan teori tentang hubungan tasawuf dan seni yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba. Hubungan tasawuf dan seni ini sama seperti halnya ketika masa Wali Songo yang menggunakan seni dalam dakwahnya. Metode dakwah di bidang seni ini juga dilakukan oleh sebagian para pengikut tarikat. Salah satu metode dakwah di bidang seni yang dilakukan oleh sebagian pengikut tarikat adalah dengan menerapkan tari Sema dalam zikirnya. Metode ini awalnya dilakukan oleh Tarikat Maulawiyah di Turki dan saat ini di Indonesia dakwah melalui Sema dalam zikirnya juga dilakukan oleh Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani Indonesia.
1.6.1 Makna Tarikat Ditinjau dari Berbagai Aspek
Seperti halnya dalam pengertian tasawuf, tarikat itu sendiri juga memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut terjadi berdasarkan tinjauan masing-masing kalangan. Jalan Tritunggal kepada Tuhan (tarikat) dijelaskan dalam suatu hadis Rasulullah Saw., “syariat adalah perkataanku (aqwali), tarikat adalah perbuatanku (amali), dan hakikat adalah keadaan batinku (ahwali).22 Louis Ma’luf menyatakan arti tarikat dari segi bahasa, tarikat berasal dari bahasa Arab “tarīqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba berpendapat mengenai arti tarikat secara harfiah berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.23 Harun Nasution berpendapat bahwa tarikat berasal dari kata tarīqah (jalan), yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuan 22 23
Schimmel, op. cit., hal. 123. Nata, op. cit., hal. 269.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
9
berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tarīqah baru kemudian menjadi sebuah organisasi (tarikat) dan setiap tarikat memiliki syekh, upacara ritual, dan bentuk zikir tersendiri.24 Menurut Abu Bakar Aceh, tarikat artinya adalah “jalan”, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan dikerjakan oleh sahabat, tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai”. Apabila segala perintah wajib dan peraturan-peraturan yang terdapat dalam ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dengan demikian, ia akan mengetahui untuk siapa ibadahnya tersebut ditujukan. Dalam ilmu tasawuf penjelasan ini di sebut demikian, hampir sama dengan yang telah diungkapkan di atas bahwa: syariat itu merupakan peraturan, tarikat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan makrifat itu adalah tujuan yang terakhir. Jadi, syariat dan tarikat itu tidak lain daripada mewujudkan pelaksaan dari ibadah dan amal, sedangkan hakikat itu memperlihatkan ihwal dan rahasia tujuannya.25 Pentingnya menjaga kesatuan syariat dan tarikat karena dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini, termasuk manusia, pokok dari semua tarikat itu ada lima macam, di antaranya adalah: mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan pelaksanaan semua perintah, kedua mendampingi guru-guru dan teman setarikat untuk melihat bagaimana cara melakukannya sesuatu ibadah, ketiga meninggalkan segala rukhsah (kesempatan) dan takwil26 untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal, keempat menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisinya dengan segala wirid dan doa guna mempertebalkan khusyuk dan 24
Nasution, op. cit., hal. 88. Aceh, op. cit., hal. 68 et Seq. 26 Takwil atau ta’wil adalah penafsiran. Ta’wil berarti “mengembalikan sesuatu ke tempat semula”, menemukan, dan menjelaskan. Takwil bermanfaat jika tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam atau tidak melemahkan iman orang-orang mukmin. Lihat Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hal. 294. 25
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
10
hudhūr27 (kehadiran bersama Allah Swt.), dan kelima mengekang diri, jangan sampai keluar melakukan hawa nafsu dan supaya diri itu terjaga dari kesalahan.28 Mengenai hubungan antara syariat dan tarikat, Mustafa Zahri dalam bukunya yang berjudul Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, berpendapat bahwa dalam ilmu tasawuf menerangkan syariat itu hanyalah peraturan-peraturan belaka. Adapun peraturan-peraturan yang dimaksud adalah seperti shalat, zakat, puasa. Oleh karena itu, “tarikat-lah” yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat tersebut. Apabila tarikat dan syariat itu sudah berhasil dikuasai, maka lahirlah hakikat yang tidak lain adalah perbaikan dari keadaan. Tujuan dari itu semua adalah marifat yaitu mengenal Tuhan, sehingga muncul rasa cinta yang begitu dalam. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Syariat itu perkataanku, Tarikat adalah perbuatanku, dan Hakikat merupakan kelakuanku”.29 Berdasarkan pengertian tarikat dari berbagai tokoh terkemuka di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa tarikat ialah jalan spiritual yang ditempuh manusia yang terikat di dalamnya, sebagai pentunjuk untuk melakukan ibadah serta amalan-amalan lainnya sesuai dengan yang terdapat dalam Quran dan Hadis. Hal tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk mencapai cinta ilahi. Dengan cara demikian, manusia yang bersangkutan di samping untuk memperoleh kepuasan batiniah, juga memperoleh kepuasan lahiriah. Tentunya hal tersebut tidak dilakukan sendiri, melainkan dengan bimbingan dari seorang syekh yang fungsinya untuk mengarahkan amalan tersebut agar tidak keluar dari syariat Islam.
27
Hudhūr adalah kehadiran hati bersama Allah ketika kosong dari segala sesuatu selain-Nya. Sang hamba tidak pernah bisa hadir bersama Allah, kecuali dengan salah satu dari Nama-nama Indah (alasmā al-husnā)-Nya. Hudhūr wa ghaybah ialah kehadiran dan kegaiban. Ini adalah kehadiran bersama Allah dan kegaiban dari diri sendiri. Jika Allah ada, engkau tiada. Jika engkau ada, Allah tiada. Lihat Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hal. 100 et Seq. 28 Aceh, op. cit., hal. 70. 29 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, hal. 57.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
11
Antara tarikat dan tasawuf memiliki hubungan yang sangat dekat, bahkan merupakan satu kesatuan. Al-Ghazali mengemukakan bahwa tasawuf “kunci segala ilmu dan sumber aqidah diniyah”,30 sebab tasawuf merupakan suatu kajian ilmu yang tujuannya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. dengan cara melaksanakan segala perbuatan yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar) dengan niat karena Allah Swt. semata. Untuk itu, diperlukan jalan (petunjuk) yang disebut tarikat. Singkatnya, tarikat merupakan cabang dari tasawuf yang melembaga dengan jenis yang berbeda-beda. Selain tarikat, dalam ilmu tasawuf juga terdapat syariat, hakikat, dan marifat. Dalam praktiknya, Abu Bakar Aceh memberikan uraian mengenai tata cara pelaksanaan tarikat, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Zikir, yaitu hanya mengingat Allah di dalam hati. Zikir ini berguna sebagai alat pengontrol bagi hati, ucapan, dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. 2. Ratib, yaitu mengucap lafal lā ilāha illa Allāh dengan gaya, gerak, dan irama tertentu. 3. Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan irama dari bunyi-bunyian yang berasal dari alat musik seperti rebana. 4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaanbacaan tertentu ketika sedang berzikir yang tujuannya untuk menciptakan kekhidmatan. 5. Bernafas, yaitu dengan mengatur keluarnya udara dengan cara perlahan-lahan pada waktu melakukan zikir tertentu.31
Dari uraian yang telah disebutkan di atas, sama seperti halnya yang telah dipraktikkan dalam zikir khātam khawajagan yang dilaksanakan secara 30 31
Ibid, hal. 148. Nata, op. cit , hal. 276.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
12
rutin di padepokan atau zawiyah-zawiyah Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani. Seperti halnya yang dikatakan oleh al-Ghazali bahwa “jalan” untuk memperoleh pengetahuan spiritual ialah melalui dua tahapan: pertama dengan cara membaikkan hati dari segala sifat tercela yang mencemarinya, dan memutuskan sama sekali segala keterkaitan dengan dunia; dan kedua, dengan melakukan uzlah (mengasingkan diri) di sebuah zawiyah, agar dapat melakukan zikir yang berkepanjangan, sedemikian rupa, sehingga akan terpancarlah kilauan-kilauan kebenaran di dalam hati atau biasa dikenal sebagai “makrifat”.32 Ungkapan al-Ghazali ini sama seperti yang telah disinggung dalam uraian di atas.
1.6.2 Seni dalam Tasawuf
Hubungan seni dan tasawuf menurut Sudirman Tebba, memiliki hubungan dengan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian dalam ilmu suluk. Tahapan ini berjenjang secara vertikal dapat diringkas menjadi tiga peringkat atau tahapan. Pertama, tahapan penciutan (qabd), yaitu aspek-aspek tertentu dari jiwa, seperti hawa nafsu, diciutkan misalnya dengan zuhud atau kesalihan.
Kedua,
tahapan
perluasan,
aspek
utama
jiwa
diperluas
kesadarannya sehingga seseorang mampu menerobos batas penglihatan normal dan mencapai kesadaran semesta (kesadaran kosmik). Ketiga, tahapan persatuan dengan Kebenaran, yang berarti mencapai tingkatan fanā’ dan baqā’. Menurut pendapat Tebba, dalam tasawuf, musik diperlukan karena tasawuf merupakan jalan kerohanian dan setiap jalan kerohanian memerlukan sarana yang sesuai dengan naluri dan fitrah manusia, seperti musik.33 Oleh karena itulah dalam tasawuf terdapat tarian mistis Sema yang diiringi dengan musik
dan
lantunan
lagu
(shalawat
dalam
bahasa
Turki).
Tebba
32
Al-Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, terj. Muhammad al-Bāqir, Bandung: Kharisma, 2004, hal. 11. 33 Tebba, op. cit., hal. 162.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
13
menyimpulkan bahwa posisi Sema pada tiga tahapan di atas, terdapat pada tahapan kedua dan ketiga. Tahapan pertama merupakan syariah, jadi tidak perlu diiringi dengan musik dan Sema. Mengenai musik dalam tasawuf ini, Yusuf Qardhawi juga mengungkapkan bahwa para sufi menganggap dengan mendengarkan nyanyian dan musik termasuk taqarrub dan ibadah kepada Allah Swt., atau minimal sebagai alat bantu untuk taqarrub dan ibadah itu.34
1.6.3 Sema
Mengenai Sema, Schimmel berpendapat bahwa Samā’ (Sema) merupakan tangga menuju langit dan dapat membuka pintu gerbang surga. Dalam Samā’, dapat juga dilihat gerakan bumi dan benda-benda angkasa mengitari kutubnya, tarian samawi yang menguasai semua ciptaan, sejak dari malaikat hingga mineral. Selanjutnya, Samā’ disimbolkan sebagai lambang kematian dan kebangkitan dalam cinta, suatu proses kembali yang senantiasa baru ke mata air kehidupan. Dimulai dengan lagu pujian untuk memuliakan Nabi Saw., kemudian ditujukan kepada sahabat terdekat Rumi yang bernama Syamsi dari Tabriz, dan diakhiri dengan doa serta seruan mendalam “Huu!” (Dia), pengakuan bahwa Dialah yang Hidup, yang dari-Nya segalanya datang dan kepada-Nya pulalah segalanya kembali.35 Melalui Sema ini, Rumi mengajak para pengikutnya dan semua ciptaan Tuhan lainnya untuk menari dan berputar karena Cinta. Syair Rumi yang sifatnya mengajak kepada seluruh ciptaan Tuhan untuk menari dan berputar, ditulis kembali oleh Schimmel, sebagai berikut:
34 35
Yusuf Qardhawi, Islam Bicara Seni, Solo: Era Intermedia, 2002, hal. 109. Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 2008, hal. 280.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
14
Duhai, mari! Duhai mari! Dikaulah jiwa dari jiwanya yang berputar! Duhai mari! Dikaulah cypress yang tinggi di taman-berbunga tarian berputar Duhai mari! Karena tidak pernah dan tidak akan pernah ada yang seperti dikau! Mari, yang sepertimu tak pernah melihat mata merindu dari tarian berputar! Duhai mari! Mata Air Matahari tersembunyi di bawah baying-bayangmu! Milikmu seribu bintang Venus di lelangit-melingkarnya tarian berputar Tarian berputar melantunkan pujianmu dan bersyukur dengan seratus lidah yang fasih: Akan kucoba mengatakan satu, dua hal yang menerjemahkan bahasa tarian berputar. Sebab bila engkau mulai menari kau tinggalkan kedua dunia ini Sebab di luar kedua dunia ini ada alam semesta tarian berputar, yang tak berujung. Atapnya tinggi, yaitu di alam ketujuh, Jauh di luar atap ini berdiri tangga, tangga tarian berputar. Apa pun yang ada di sana, itu hanya Dia, kakimu melangkah ke sana dalam tarian: Ketahuilah, tarian berputar itu milikmu, dan dikaupun miliknya. Bisa apa aku kalau Cinta datang mencengkeram leherku? Kugapai ia, kudekatkan ke dadaku dan kuseret dalam tarian berputar! Ketika butir-butir debu penuh cahaya mentari, Mereka pun mulai menari, menari dan tak mengeluh dalam tarian berputar itu!36
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Schimmel tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tarian mistis Sema diterapkan Rumi sebagai bentuk realisasi dari rasa cinta Rumi terhadap Sang Pencipta Alam, yaitu Tuhan. Melalui tarian mistis ini, Rumi menyebarkan cinta kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dengan
36
Ibid, hal. 281.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
15
demikian, Rumi mengajarkan arti cinta terhadap semua makhluk Tuhan, termasuk cintanya untuk “kekasih” spiritualnya, Syamsuddin dari kota Tabriz.
1.7 Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencari data melalui observasi lapangan dengan cara mengunjungi dan beberapa kali ikut serta dalam praktik zikir yang diselenggarakan di zawiyah Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani. Selain melalui studi lapangan, penulis juga memperoleh data dari beberapa sumber, seperti karya ilmiah, media elektronik, dan terutama dari buku-buku yang berhubungan dengan tarikat dan buku-buku yang berhubungan dengan Jalaluddin Rumi beserta tari Sema. Langkahlangkah yang ditempuh penulis dalam menunjang penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan tinjauan pustaka dan studi lapangan yang dilakukan penulis. Literatur lain yang pembahasannya berhubungan dengan Rumi beberapa di antaranya yaitu karya William C. Chittick dalam bukunya yang berjudul Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, yang merupakan terjemahan dari buku Rumi yang berjudul The Sufi Path of Rumi: The Spiritual Teaching of Rumi, diterbitkan oleh Qalam, tahun 2000, memaparkan tentang ajaran-ajaran sufi Islam mengenai Tuhan serta konsep cinta tasawuf yang diterapkan oleh Jalaluddin Rumi. Dalam buku tersebut, Chittick membiarkan Rumi berbicara sendiri sesuai dengan apa yang telah diungkapkan Rumi dalam puisinya. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan ada kesalahfahaman, apabila Chittick mengungkapkannya dengan kata-katanya sendiri. Abul Hasan An-Nadwi dalam bukunya yang berjudul Jalaluddin Rumi Sufi Penyair Besar, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, tahun 1993, memaparkan tentang riwayat hidup Jalaluddin Rumi dan juga mencantumkan beberapa kumpulan sajak buah karya Rumi. Selain buku-buku tersebut di atas, penulis juga menggunakan buku rujukan lainnya yang berjudul Dimensi Mistik dalam Islam, karya Annemarie Schimmel, yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, tahun 2000, menjelaskan tentang
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
16
konsep dasar ilmu tasawuf serta tarikat. Di samping itu, dipaparkan juga mengenai jalan spiritual Jalaluddin Rumi serta tari Sema yang dipraktikkan oleh Rumi pada masanya. Di samping itu, Schimmel juga menulis sebuah buku yang berjudul Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, sebuah karya yang diterbitkan oleh Mizan, tahun 2008, berisi tentang perjalanan spiritual Rumi beserta karya-karyanya. Dalam buku ini, Schimmel memaparkan serta menceritakan kembali mengenai kehidupan Rumi dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca. Referensi lain yang dipakai dalam penulisan ini juga diperoleh dari buku yang berjudul Tasawuf di Mata Kaum Sufi, buah karya William Chittick, diterbitkan oleh Mizan, tahun 2002, dalam buku tersebut juga menguraikan tentang watak spiritual dan mistikal yang ada pada musik dan tarian sufi. Mulyadhi Kartanegara, dalam buku yang berjudul Mengenal dan Memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di Indonesia, yang disusun oleh Sri Mulyati, et al., sebuah buku terbitan Prenada Media, tahun 2005, memaparkan tentang sejarah konsep dasar amalan tiap tarikat tertera dalam buku ini, termasuk memaparkan tentang sejarah tari Sema serta adab-adab Sema yang terdapat di dalamnya. Mengenai
buku
tentang
Tarikat
Naqsyabandiyah
Haqqani,
penulis
memperolehnya dari Yayasan Haqqani Sufi Institute of Indonesia, yang diterbitkan oleh Yayasan Haqqani Sufi Institute of Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang sejarah dan silsilah rantai emas Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani yang garis keguruannya dimulai dari Nabi Muhammad Saw. sampai kepada Syekh Nazim Adil al-Haqqani. Selain buku-buku yang telah disebutkan di atas, juga masih banyak lagi sumber-sumber lainnya yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini.
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009
17
1.8 Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan pembagian yang terdiri dari empat bab yaitu, pendahuluan, isi, kesimpulan, dan penutup. Bab I yaitu bab pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan makalah ini. Bab II memaparkan mengenai sejarah berdirinya Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani, silsilah Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani, sejarah masuknya Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani ke Indonesia, pejalanan spiritual mursyid Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani, serta penjelasan singkat mengenai zikir Tarikat Naqsyabandiyah. Dalam bab ini, penulis juga memaparkan tentang pengertian tarikat dari pendapat beberapa tokoh. Bab III memaparkan tentang latar belakang kehidupan Jalaluddin Rumi serta sedikit menyinggung tentang karyanya. Inti dari bab ini, penulis menjelaskan mengenai sejarah asal-usul lahirnya tari mistis Sema pada masa Jalauddin Rumi, sejarah masuknya Sema ke Indonesia, praktik tari mistis Sema pada Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani, adab-adab yang terdapat dalam tari mistis Sema, serta menjelaskan tentang zikir khātam khawajagan yang di dalamnya terdapat praktik tari mistis Sema. Selain itu juga terdapat penjelasan mengenai adab-adab dalam melakukan tari mistis Sema serta menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya. Bab IV merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. .
Universitas Indonesia
Refelksi Jalaluddin..., Chiriyah, FIB UI, 2009