BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dinilai memegang peranan penting dalam membentuk siswa menjadi berkualitas, karena matematika merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara logis dan sistematis. Matematika sangat diperlukan untuk kehidupan sehari-hari dalam menghadapi kemajuan IPTEK. Mengingat peran matematika yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, maka upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika memerlukan perhatian yang serius. Ada banyak alasan tentang perlunya belajar matematika. Seperti yang dikemukakan oleh Cockroft (dalam Abdurrahman, 2012: 204) : Alasan perlunya matematika diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segi kehidupan, (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai, (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat,dan jelas, (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Dari pernyataan diatas maka terlihat tujuan belajar matematika adalah untuk membuat semua pihak harus terus meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu kemampuan yang diharapkan dapat dicapai siswa adalah kemampuan bernalar matematika. Hal tersebut tertuang dalam PERMENDIKNAS No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika, tujuan pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model 1
2
dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berbagai alasan perlunya sekolah mengajarkan matematika kepada siswa pada hakikatnya dapat diringkaskan karena masalah kehidupan sehari-hari. Menurut pemaparan Liebeck (dalam Abdurrahman, 2012: 204) “ada dua macam hasil belajar matematika yang harus dikuasai oleh siswa, perhitungan matematis (mathematics calculation) dan penalaran matematik (mathematics reasoning)”. Penalaran dalam matematika memiliki peran yang sangat penting dalam proses berfikir seseorang. Penalaran juga merupakan pondasi dalam pembelajaran matematika. Bila kemampuan bernalar siswa tidak dikembangkan, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya. Matematika dan penalaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dapat dipahami dan dilatih melalui belajar matematika. Siswa dapat berfikir dan menalar suatu persoalan matematika apabila telah dapat memahami persoalan matematika tersebut. Suatu cara pandang siswa tentang persoalan matematika ikut mempengaruhi pola fikir tentang penyelesaian yang akan dilakukan. Selain karena matematika merupakan ilmu yang dipahami melalui penalaran, tetapi juga karena salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Hal tersebut senada dengan penjelasan Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 (dalam Shadiq, 2009 : 14) menyatakan tentang indikator dari penalaran dan komunikasi. Dalam hal ini, peneliti memilih beberapa indikator yang sesuai terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa antara lain sebagai berikut:
3
(1) menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram, (2) mengajukan dugaan, (3) melakukan manipulasi matematika, (4) menarik kesimpulan dari pernyataan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar matematika dalam menyelesaikan soal-soal matematika salah satunya adalah kemampuan penalaran. Salah satu contoh yang menandakan penalaran itu rendah adalah ketika siswa menyelesaikan masalah. Kesulitan yang dialami siswa dalam mempelajari matematika yang membuat penalaran matematika siswa menjadi bermasalah . Hal ini didukung oleh hasil tes yang telah dilaksanakan di kelas VIII-C SMP Swasta YPK Medan terlihat bahwa siswa tidak mampu mengajukan dugaan, mengalami kesulitan dalam memanipulasi rumus, dan banyak siswa kurang teliti dalam perhitungan akhir sehingga tidak dapat menarik kesimpulan dari suatu hasil akhir. Terutama pada saat siswa menyelesaikan soal berikut ini :
1. Misalkan ABCD sebuah belahketupat dengan luas 24 cm. Panjang OC= x cm dan OD = y cm, dan nilai x + y= 7. Hitunglah keliling belahketupat ABCD?
2. Pak Ilham mempunyai kebun dengan bentuk seperti gambar di samping.Kebun tersebut akan dijual dengan harga Rp.200.000,00 per m2. Hitunglah hasil penjualan kebun Pak Ilham ?
4
Tabel 1.1 Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal N
Hasil Jawaban Siswa
O 1
Kesalahan Yang Ditemukan Siswa tidak dapat menghitung keliling jajargenjang jika yang diketahui luas belah ketupat. Hal ini berarti siswa tidak bisa melakukan manipulasi matematika
2
Siswa tidak dapat memberi alasan kebenaran jawaban yang telah dikerjakannya sehingga kesulitan dalam mengambil keputusan akhir.
Dari contoh-contoh diatas dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika sehingga penalaran matematik siswa belum dapat meningkat seperti yang diharapkan guru. Hal ini menggambarkan penalaran matematika bermasalah, maka perlu adanya suatu tindakan untuk dapat melatih dan mengembangkan kemampuan penalaran matematika siswa agar dapat meningkat dalam pembelajaran matematika. Trianto (2011: 1) menyatakan bahwa salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini juga didukung oleh hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika di SMP Swasta YPK Medan (20 Agustus 2015) mengatakan bahwa pada umumnya kesulitan dalam mempelajari matematika ketika soal yang diberikan tidak sama dengan contoh, ini berarti kurangnya pemahaman siswa dalam pemahaman konsep sehingga kemampuan berpikir tidak terlalu maksimal
5
dan dampaknya kemampuan bernalar juga menjadi rendah, pelaksanaan pembelajaran matematika yang didominasi oleh guru membuat keterlibatan siswa selama ini masih belum optimal. Beliau juga mengatakan siswanya tidak begitu berminat terhadap pelajaran matematika sehingga siswa mudah lupa dan mengerti hanya ketika ia menjelaskan. Kenyataannya pembelajaran matematika cenderung abstrak dengan metode ceramah sehingga konsep-konsep matematika sulit dipahami. Siswa hanya menerima apa yang mereka pelajari tanpa memaknai apa yang mereka pelajari. Siswa hanya menghapal rumus dan langkah-langkah pengerjaan soal tanpa melibatkan daya nalar yang optimal. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran. Selama ini siswa hanya disuruh untuk belajar atau mengerjakan soal-soal yang ada secara pribadi. Bagi siswa yang mengalami kesulitan ataupun kurang mengerti dengan materi atau soal yang ada pada saat proses belajar berlangsung maka siswa cenderung hanya diam tanpa bertanya kepada teman lain atau guru karena siswa merasa malu untuk bertanya. Sehingga kemampuan penalaran yang dimiliki kurang berkembang. Oleh karena itu, guru sangat membutuhkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan atau menumbuhkembangkan kemampuan penalaran matematika siswa. Dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematika siswa diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat. Salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya. Beberapa ahli menyatakan bahwa model ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (dalam Rusman, 2012: 205 ) menyatakan bahwa : (1) penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain,
6
(2) pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dalam model pembelajaran koperatif ini, guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri (Rusman, 2012: 201). Melalui
diskusi
akan
terjadi
elaborasi
kognitif
yang
baik, sehingga dapat meningkatkan daya nalar, keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya. Model pembelajaran kooperatif diharapakan dapat membantu meningkatkan kemampuan bernalar, yaitu dengan adanya pembelajaran kooperatif siswa dituntut untuk mampu mengajukan dugaan, menyusun bukti baru, serta menarik kesimpulan yang logis dari pernyataan yang ada melalui diskusi antar anggota kelompok.
Diantara
berbagai
tipe
pembelajaran
kooperatif,
sesuai
dengan
karakteristik maka pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD (Student Team Achievement Divisions) diperkirakan akan dapat diterapkan di kelas. Jigsaw adalah tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman dari Universitas Texas. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dapat menjadikan siswa belajar untuk bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif namun harus aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang ia miliki sebagai ahli dalam suatu materi. Setting kooperatif tipe jigsaw siswa dituntut untuk terampil bertanya dan mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari sumber yang ada, mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan persoalan dalam matematika. Dalam situasi penyelesaian persoalan seperti ini tidak mustahil siswa mengalami
7
kebuntuan, sehingga mengharuskannya untuk meninjau ulang cara berpikir yang telah ia gunakan. Dengan demikian, jelaslah bahwa melalui pembelajaran matematika kooperatif tipe jigsaw, siswa dikondisikan untuk mampu mengajukan dugaan, menyusun bukti baru, serta menarik kesimpulan yang logis dari pernyataan yang ada. Hal-hal tersebut merupakan ciri dari kemampuan bernalar matematik.
Dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, siswa dimungkinkan terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan siswa dalam memahami suatu konsep. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Jhonson and Jhonson (dalam Rusman, 2012: 219) tentang pembelajaran kooperatif model jigsaw yang hasilnya menunjukkan bahwa interaksi kooperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Pengaruh positif tersebut adalah : “…. (2) meningkatkan daya ingat, (3) dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi ….”. Senada dengan hasil peneltian Yusri (2012) yang menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematik. Sedangkan STAD (Student Team Achievement Divisions) dikembangkan oleh Robert Slavin di John Hopkins. Pembelajaran kooperarif tipe STAD merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-6 orang siswa secara heterogen ( Trianto, 2009: 68). Teknik belajar mengajar tipe STAD ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata akan menularkan kemampuan matematikanya kepada temannya yang berkemampuan matematika rendah, sehingga kemampuan penalaran siswa dapat berkembang karena saling berbagi informasi dan pengetahuan. Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD turut melibatkan aktivitas bernalar. Di dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, semua siswa dituntut untuk dapat mengerti semua materi yang dipelajari. Hal ini berarti bahwa saling memberikan pengetahuan
yang
dimiliki
untuk
menumbuhkembangkan
kemampuan
8
penalarannya sehingga siswa terlatih untuk bernalar. Senada dengan hasil penelitian Tri Muhti Haryani dan Ety Septiati (2011) meyimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematik siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah baik. Kemudian dalam penelitian Nur Nikmah (2014) menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematika siswa meningkat melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan investigasi. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, peneliti melakukan penelitian berjudul : “Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dan STAD Di Kelas VII SMP Swasta YPK Medan”
1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Rendahnya minat belajar matematika siswa 2. Pembelajaran matematika masih berorientasi pada guru 3. Peran guru kurang membawa siswa untuk lebih aktif berfikir mengeluarkan ide-idenya sehingga kemampuan penalarannya masih rendah 4. Rendahnya kemampuan penalaran matematik siswa terhadap soal-soal yang bervariasi terlihat dari proses penyelesaian jawaban siswa 5. Belum adanya penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan STAD untuk mengaktifkan siswa agar kemampuan penalaran matematik siswa meningkat
9
1.3. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi masalah pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Kemampuan penalaran matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan STAD di kelas VII SMP Swasta YPK Medan 2. Proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan soal matematika yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan STAD di kelas VII SMP Swasta YPK Medan
1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah kemampuan penalaran matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran STAD di kelas VII SMP Swasta YPK Medan? 2. Bagaimana proses jawaban siswa pada kemampuan penalaran matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD di kelas VII SMP Swasta YPK Medan ?
1.5.
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui apakah kemampuan penalaran matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran STAD di kelas VII SMP Swasta YPK Medan. 2. Untuk
mengetahui
proses
penyelesaian
jawaban
siswa
dalam
menyelesaikan soal matematika yang diajar menggunakan model kooperatif tipe Jigsaw dan STAD di kelas VII SMP Swasta YPK Medan.
10
1.6.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut : 1. Bagi guru, dapat memperluas pengetahuan mengenai model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD dalam membantu siswa guna meningkatkan kemampuan penalaran matematik. 2. Bagi siswa, melalui model pembelajaran kooperatif ini dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan penalaran matematik. 3. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan penyempurnaan program pengajaran matematika di sekolah. 4. Bagi peneliti, sebagai bahan informasi sekaligus sebagai bahan pegangan bagi peneliti dalam menjalankan tugas pengajaran sebagai calon tenaga pengajar di masa yang akan datang. 5. Sebagai bahan informasi bagi pembaca atau peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis.
1.7.
Definisi Operasional Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Kemampuan penalaran matematik adalah kemampuan mengajukan dugaan, melakukan manipulasi matematika, dan menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap solusi pada pokok bahasan jajarangenjang dan belahketupat. 2. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Divisions) adalah model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah tiap anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secara heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
11
3. Model pembelajaran koopertaif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-6 orang secara heterogen. Dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal adalah kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ahli adalah kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topik untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal.