BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu karakter penting dalam kehidupan modern adalah adanya kejelasan kepemilikan pribadi. Inilah yang disebut sebagai barang pribadi yang penggunaannya dikontrol sepenuhnya oleh si pemilik. Kemudian, agar tidak mengorbankan hak pribadi orang lain atau tidak dimanfaatkan secara berlebihan, kepemilikan pribadi harus diatur oleh negara melalui kebijakan publik. Dalam tataran diskusi mengenai jenis barang, selain barang pribadi, ada juga yang dikenal sebagai barang publik dan barang bersama. Tiap jenis barang tersebut mempunyai karakter yang berbeda dan perbedaan itu berimplikasi pada pemanfaatannya yang berbeda. Barang pribadi merupakan jenis
barang
yang
paling
sederhana
pemanfaatannya
karena
sifat
kepemilikannya yang sangat jelas sehingga pihak lain tidak mungkin dapat memanfaatkan barang pribadi secara gratis. Berkebalikan dengan barang publik, barang bersama merupakan barang dengan karakter terbuka. Hal ini berarti bahwa setiap orang berhak dan dapat mengaksesnya (Ostrom, 1994). Pengelolaan barang yang dapat diakses secara terbuka berhadapan dengan kompleksitas yang sangat tinggi. Nasution (2007) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari prinsip barang yang dapat diakses secara terbuka adalah hampir tidak adanya pihak yang peduli untuk mengembalikanatau memulihkan kerusakan sumberdaya. Hal ini dapat dilihat pada kerusakan sumberdaya hutan, sumber daya laut, sungai, danau, dan sebagainya yang banyak terjadi. 1
Danau merupakan salah satu barang publik yang mempunyai fungsi sangat strategis bagi keberlangsungan penyediaan ikan serta sebagai sumber air bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Dilihat dari pembentukannya, danau dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu danau yang terjadi karena proses alam dan danau yang dibuat oleh manusia. Hal yang sangat penting dan menarik untuk didiskusikan, disamping fungsi danau, adalah letak danau tersebut. Jika danau berada tidak jauh dengan daerah permukiman, maka danau akan cepat mengalami degradasi sumber daya. Salah satu danau yang menarik untuk didiskusikan karena letaknya adalah Danau Takapan. Danau Takapan adalah salah satu danau yang berada di wilayah Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Danau Takapan dikenal sebagai wilayah yang memiliki potensi perikanan sangat besar dan mampu menghidupi seluruh kebutuhan masyarakat sekitar. Namun sayangnya, saat ini hal tersebut tidak dapat ditemukan lagi karena kondisi sumber daya ikan semakin berkurang serta berbagai jenis dan ukuran ikan pun semakin langka. Hal ini dirasakan oleh seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah Danau Takapan. Hingga tahun 1980 Danau Takapan dikenal sebagai salah satu wilayah yang memiliki sumber daya perikanan air tawar berlimpah. Bukan hanya dalam hal jumlah, tetapi juga jenis ikan yang berkembang biak di wilayah ini sangat beragam. Salah satu penyebabsemakin berkurangnya potensi sumber daya di Danau Takapan adalah tidak ada kejelasan terkait denganpihak yang bertanggung jawab sebagai pengelolanya. Karena tidak ada lembaga yang bertanggung jawab mengelola Danau Takapan, maka kondisi fisik danau, sumber daya ikan, dan kelestarian lingkungan sekitar danau menurun. Penurunan potensi sumber daya yang terkandung di dalam danau dan sumber daya alam lain yang berada disekitarnya membawa berbagai permasalahan. Salah satu permasalahan yang dapat membawa dampak luas adalah menurunnya hasil tangkapan yang 2
berujung
pada
penurunan
pendapatan
penduduk
sekitar
yang
menggantungkan hidupnya pada Danau Takapan. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas Pertanian, Perikanan, dan Peternakan Kota Palangka Raya (2013), terdapat lebih dari 30 jenis ikan di wilayah Danau Takapan. Ukuran ideal setiap ikan pun bervariasi, mulai dari ukurannya yang di bawah 1 kg per ekor hingga 10 kg per ekor. Masyarakat nelayan yang hidup di sekitar Danau Takapan memanfaatkan sebagian hasil tangkapan ikan sebagai bahan konsumsi utama, sedangkan sebagiannya lagi dijual di pasar tradisional Kota Palangka Raya sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Memasuki tahun 1990, perubahan lingkungan yang sangat signifikan terjadi. Perubahan ini diawali dengan keruh dan tercemarnya Sungai Rungan dan Sungai Kahayan sebagai hulu Danau Takapan. Hal ini berdampak besar pada potensi sumber daya perairan di wilayah Danau Takapan. Sebagian jenis ikan yang semula dapat ditemukan mulai sulit untuk didapat sejak saat itu, bahkan sekarang beberapa diantaranya telah diklaim punah dari wilayah Danau Takapan. Selain itu, ukuran ikan yang berhasil ditangkap nelayan pun relatif lebih kecil daripada ukuran idealnya. Oleh sebab itu, pekerjaan menangkap ikan yang beberapa puluh tahun lalu mampu memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, saat ini tidak lagi dapat diandalkan. Permasalahan ini berkaitan erat dengan besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Danau Takapan, baik dalam hal mineral maupun perikanan. Besarnya potensi sumber daya alam itu dapat diakses oleh siapapun. Namun tidak ada satu pihak pun yang bertugas menjaga kelestarian lingkungan dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas pengambilan manfaat ekonomisnya. Dalam bahasa teoretis, sifat yang dimiliki oleh wilayah Danau Takapan tersebut adalah common pool resources (Adrianto dan Azis, 2006). CPR 3
mendeskripsikan bahwa jumlah barang tersebut terbatas, tetapi semua pihak dapat mengambil dan menggunakannya. Karena semua pihak dapat mengambil dan menggunakannnya, tidak ada satu pihakpun yang diserahi atau bersedia bertanggung jawab terhadap setiap dampak yang ditimbulkan. Ostrom (1990), dengan mengembangkan pemikiran yang dimiliki Hardin, melukiskan sebuah fenomena yang disebutnya sebagai the tragedy of common.The tragedy of common menjelaskan sebuah situasi ketika setiap pihak
yang
mengeksploitasi
barang
berjenis
CPR
menggunakan
rasionalitasnya masing-masing. Tiap pihak yang terlibat memahami dampak yang akan ditimbulkan jika pengeksploitasian CPR dilakukan secara masif. Akan tetapi, mereka terus melakukan pengeksploitasian secara berlebih sambil berharap ada pihak lain melakukan pengurangan pengeksploitasian. Yang terjadi kemudian adalah tidak ada perubahan sama sekali karena semuanya
mengeksploitasi
CPR
secara
berlebihan.
Akibat
yang
ditimbulkannya adalah timbulnya bencana lingkungan. Dikaitkan dengan konsep CPR dan the tragedy of common yang telah disebutkan sebelumnya,kasus wilayah Danau Takapan sangat menarik untuk dilihat lebih jauh. Jika dilihat dari masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar wilayah Danau Takapan, mereka adalah masyarakat suku Dayak yang sampai saat ini merupakan suku yang sangat terkenal dekatan dengan alam. Mereka secara turun-temurun dikenal sebagai suku yang menjaga, hidup, dan beraktivitas dengan hutan dan sungai yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain, kerusakan alam adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi di wilayah masyarakat tersebut. Sebagai barang bersama (common goods), keberlanjutan Danau Takapanharus dijaga oleh pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Bentuk tanggung jawab pemerintah itu tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 hingga peraturan-peraturan daerah Provinsi Kalimantan 4
Tengah dan Kota Palangka Raya. Semua peraturan itu telah mengatur pengelolaan wilayah Danau Takapan secara rinci, seperti permasalahan pencemaran air, kelestarian ik40an, aktivitas perekonomian masyarakat sekitar, hingga hukuman yang harus diterapkan bilamana terjadi pelanggaran. Pihak lain yang juga hadir dan memiliki kepentingan terhadap kelestarian lingkungan di wilayah Danau Takapan adalah pihak swasta. Pedagang ikan, pengelola rumah makan, pedagang alat tangkap ikan, dan jenis pedagang lainnya memiliki kepentingan pada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Danau Takapan. Dalam hal ini kepentingan pihak swasta dikaitkan dengan komoditas utama yang diperdagangkan, yaitu barangbarang yang didapat dari alam, seperti ikan atau hasil tambang. Akan tetapi, kondisi objektif yang ditemukan di sekitar wilayah Danau Takapan menunjukkan hal yang sebaliknya dan mendekati uraian Ostrom mengenai CPR dan the tragedy of common. Pencemaran sungai, air yang beracun hingga menurunnya hasil tangkapan ikan merupakan sejumlah bukti bahwa kerusakan lingkungan benar-benar sedang terjadi di wilayah Danau Takapan. Hal tersebut juga terkonfirmasi ketika masyarakat mengakui bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi telah memberikan dampak yang sangat signifikan bagi sektor perekonomian. Inilah yang menjadi alasan utama pentingnya dilakukan penelitian mengenai pengelolaan CPR Danau Takapan. Selain itu, setidaknya terdapat beberapa alasan tambahan yang membuat penelitian ini penting untuk dilakukan yang akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, Danau Takapan memiliki posisi yang strategis karena terletak dekat dari pusat Kota Palangka Raya. Dalam skema pembangunan, khususnya dalam konteks pengembangan pariwisata, Danau Takapan memiliki potensi besar untuk dijadikan daerah tujuan pariwisata. Kedua, Danau Takapan merupakan tempat ribuan jiwa menggantungkan hidup mereka. Seluruh warga yang tersebar di 13 dan 7 kelurahan di hulu dan hilir Danau Takapan 5
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumber ekonomi yang dimiliki oleh Danau Takapan. Ketiga, Danau Takapan memiliki sisi historis tersendiri bagi masyarakat lokal (suku Dayak) dalam kaitannya dengan kejadian di tingkat nasional. Kejadian-kejadian alam yang berlangsung di wilayah Danau Takapan seringkali menjadi pertanda akan terjadinya sebuah peristiwa besar di tingkat nasional. Dengan kata lain, Danau Takapan memiliki posisi yang sangat penting bagi masyarakat, pemerintah, dan swasta, baik dari segi pembangunan, ekonomi, maupun budaya. Terkait dengan pengelolaan danau, sebelumnya telah ada beberapa penelitian mengenai tema tersebut. Penelitian-penelitian yang dimaksud itu, diantaranya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Partomo (2012) dengan judul“Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumberdaya alam adalah sektor perikanan dan pertanian. Oleh karena itu, masyarakat nelayan dan petani memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya danau. Sementara itu, masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki tingkat ketergantungan yang rendah terhadap sumberdaya danau. Selanjutnya semakin tinggi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau akan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan danau. Kemudian penelitian Hasim (2012) yang mengambil judul “Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan Pada Danau Limboto Provinsi Gorontalo”. Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal berikut ini. (1) Perairan Danau Limboto tidak sesuai untuk bahan baku air bersih, tetapi masih layak untuk pengembangan perikanan. (2) Luasan pemanfaatan lahan dan kawasan hutan semakin menurun, tetapi sebaliknya, kawasan permukiman bertambah. (3) Indeksdimensi ekologi buruk, dimensi ekonomi 6
cukup berlanjut, dimensi sosial kurang berlanjut, dimensi kelembagaan kurang berlanjut, dan dimensi teknologi infrastruktur tidak berlanjut. Secara keseluruhan indeks multidimensi pengelolaan terhadap Danau Limboto kurang berlanjut sehingga berimplikasi terhadap kerusakan ekosistem danau di beberapa daerah. (4) Karena tidak ada peraturan setingkat undang-undang yang menjadi payung hukum pengelolaan danau, maka pengelolaan terhadap sumberdaya danau masih sangat lemah. (5) Koordinasi para pemangku kebijakan yang terlibat langsung dalam pengelolaan Danau Limboto secara terpadu sangat lemah. (6) Kedalaman dan luas Danau Limboto sangat tinggi pendangkalan dan pengurangan luasnya. Selanjutnya adalah penelitian Auldry F. Walukow (2009) yang berjudul “Rekayasa Model Pengelolaan Danau Terpadu Berwawasan Lingkungan Studi Kasus di Danau Sentani”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperlukan kebijakan khusus untukmengelola Danau Sentani dan harus dilakukan secara integratif holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara persial sektoral. Kebijakan yang direkomendasikan dalam hal ini adalah sebagai berikut. (1) Perlu pengendalian sumber pencemaran Cu, Zn, PO3/4, dan Fe agar beban pencemaran berada di bawah nilai kapasitas asimilasi. (2) Penegakan hukum, koordinasi daerah, memperkuat hubungan antar para pemangku kepentingan, kompromi tingkat kebutuhan, dan pembangunan pengolahan limbah rumah tangga merupakan hal yang penting dalam penanganan sumber pencemaran dan kerusakan lahan di DAS Sentani sehingga daya dukung Danau Sentani tetap lestari. (3) Perlu dikembangkan pendekatan model dinamik sumber pencemaran dan penanganannya. (4) Adanya program peningkatan pengendalian pencemaran, khususnya limbah domestik, limbah industri, limbah ternak dan pengendalian erosi, serta akibat permukiman dan pertanian. (5) Menjaga kelestarian lingkungan dan tidak mengutamakan sektor ekonomi. 7
Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Genius Umar (2007) tentang
desain
kelembagaan
pengelolaan
Danau
Singkarak
yang
berkelanjutan berbasis nagari. Hasil analisis penelitian menunjukkan beberapa hal berikut ini. (1) Kondisi Danau Singkarak dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan berada dalam kategori tidak berkelanjutan dan telah mengalami degradasi. Jika dibiarkan dan tidak ditangani, hal ini akan merusak keberlanjutan ekosistem Danau Singkarak. (2) Pengelolaan Danau Singkarak yang berbasisnagari masih dipertahankan dan untuk itu, diperlukan kerjasama dengan pemerintah. Hasil penelitian ini pun merekomendasikan pengelolaan terhadap Danau Singkarak dengan sistem comanagement antara pemerintah dengan nagari dengan melibatkan semua pemangku kepentingan mulai dari proses pembentukan hingga pengawasan dan evaluasi kegiatan pemanfaatan danau. Kemudian ada pula penelitian Saburo Matsui, dkk. (2003) yang berjudul “Experience and Lessons Learning Brief Tonle Sap lake, Phnom Penh, Cambodia” dari University of Kyoto, Jepang. Diketahui bahwa Danau Tonle Sap adalah danau oxbow yang terhubung dengan Sungai Phnom Penh. Hasil penelitian tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut. (1) Danau Tonle Sap merupakan salah satu keajaiban dunia, tetapi mengalami degradasi lingkungan karena penebangan, over fishing, polusi, dan sedimentasi. (2) Pendekatan mata pencaharian yang berkelanjutan harus ditetapkan. (3) Tingkat ketergantungan masyarakat pada air dan yang terkait dengan sumberdaya danau sangat tinggi. (4) Tingkat pendapatan masyarakat rendah karena sumberdaya Danau Tonle Sap menurun, sedangkan pertumbuhan penduduk terjadi secara cepat. Adriana Maria Güntzel,dkk. (2009) juga mengadakan penelitian dengan judul“Pengaruh Konektivitas pada Keragaman Cladocera di Danau Oxbow di
Sungai Taquari Dataran Banjir (MS, BRASIL)”. Hasil penelitian 8
menunjukkan bahwa adanya tingkat konektivitas terkait dengan frekuensi dan durasi hubungan antara Sungai Taquari dan tiga danau. Kemudian Marion Hammerl (1996) meneliti sungai di Jerman yang berjudul “Pengalaman dan Pelajaran Singkat DanauConstance Jerman”. Hasil penelitian mengungkapkan hal-hal, antara lain, sebagai berikut.Uni Europe Water Framework Directivemerupakanpendekatan baru yang inovatif untuk melindungi semua perairan-sungai, danau, perairan pesisir, dan air tanah. Ini adalah sebuah target tujuan ambisius untuk memastikan bahwa semua air memenuhi good status pada 2015. Oleh karenanya, terdapat instruksi yang menetapkan sebuah sistem manajemen dalam DAS tanpa berhenti di perbatasan. Hal ini membutuhkan kerja sama lintas batas antara negara dengan semua pihak yang terlibat. Selanjutnya Sulmin Gumiridan Toshio Iwakuma (2010) melakukan beberapa penelitian tentang invertebrata di Danau Tundai dan Danau Sabuah sepanjang Sungai Kahayan di daerah rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan dan perkembangan invertebrata dan tumbuhan mengapung yang berbentuk karpet ditumbuhi tanaman dapat berlangsung pada kualitas air rendah dan berwarna kecokelatan. Ada pula hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Tengah (2013). Penelitian ini berjudul “Struktur dan kelimpahan Profil Perikanan Tangkap di Perairan Umum Daratan: Jenis Ikan Air Tawar dan Daerah Sebarannya di Kalimantan Tengah”. Penelitian ini merupakan kumpulan hasil-hasil penelitian dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir yang berhubungan dengan sumberdaya ikan di Kalimantan Tengah. Hasil penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian sebelumnya terhenti pada pendeskripsian ciri dan karakteristik danau sebagai 9
CPR, tetapi tidak pernah menyinggung permasalahan pengelolaan danau dalam konteks CPR dan kaitannya dengan fenomena the tragedy of common dan kelembagaan pengelolaannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah penelitian yang mampu mengisi kekosongan tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Terkait dengan uraian di atas, maka penelitian ini hendak mengkaji sebuah topik permasalahan dengan judul “Pengelolaan Sumber Daya Bersama: Degradasi Lingkungan dan Pengelolaan Danau Takapan, Kota Palangka Raya”.Judul ini kemudian diturunkan menjadi dua pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana perubahan kelembagaan mempengaruhi pengelolaan Danau Takapan dari waktu ke waktu? 2. Bagaimana model pengelolaan Danau Takapan yang efektif dibawah tekanan perubahan lingkungan eksternal yang sangat kuat? 1.3 Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang terangkum sebagai berikut. 1. untuk mengetahui kelembagaan pengelolaan Danau Takapan yang ada selama ini 2. untuk mengetahui model kelembagaan pengelolaan Danau Takapan yang cocok saat tekanan lingkungan eksternal semakin kuat. 1.4 Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang dapat disumbangkanoleh penelitian ini yang dijabarkan sebagai berikut. 10
1. menjadi bahan rujukan bagi pengambil kebijakan dan akademisi dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan Danau Takapan 2. memperkaya
khazanah
pengetahuan,
khususnya
di
bidang
pengelolaan lingkungan 3. mengisi kekosongan ruang penelitian yang ada, khususnya terkait pengelolaan danau di Indonesia. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas enambab utama. Dalam Bab I Pendahuluan mendiskusikan latar belakang, rumusan pertanyaan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, rencana penulisan, kerangka teori, kerangka pikir penelitian hingga metode penelitian. Kemudian Bab II Danau Takapan sebagai Common Pool Resources menggambarkan realitas Danau Takapan dari sisi potensi, sifat sumber daya alam, dan open access. Bab III mendiskusikan kelembagaan pengelolaan Danau Takapan dan sekitarnya sebelum tahun 1980. Pada bab ini, seperti yang telah disinggung sebelumnya, kelembagaan yang dimiliki oleh masyarakat, pemerintah, dan swasta akan didiskusikan untuk mendapatkan pemahaman mengenai model pengelolaan Danau Takapan dan sekitarnya sebelum tahun 1980. Setelah itu, praktik pengelolaan Danau Takapan dideskripsikan pada bab ini. Selanjutnya Bab IV mendiskusikan kelembagaan pengelolaan Danau Takapan dan sekitarnya setelah tahun 1980. Dalam bab ini, kelembagaan yang dimiliki oleh masyarakat, pemerintah, dan swasta dideskripsikan untuk mendapatkan pemahaman mengenai model pengelolaan Danau Takapan dan sekitarnya setelah tahun 1980. Kemudian Bab V mendiskusikan tiga hal penting, yaitu model dan revitalisasi kelembagaan pengeloaan Danau Takapan yang cocok saat tekanan lingkungan eksternal semakin kuat, kesimpulan penelitian, dan 11
rekomendasi. Bab VI merupakan penutup yang akan memaparkan temuantemuan dan kesimpulan penelitian ini. 1.6 Kerangka Teori 1.6.1Common Pool Resources (CPR) 1.6.1.1The Essence of CPR Pada mulanya para pakar ilmu sosial hanya membedakan barang menjadi dua jenis, yaitu barang publik dan privat. Akan tetapi, seiring dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, maka pembagian jenis barang yang hanya menjadi dua jenis dinilai tidak dapat lagi membantu memecahkan permasalahan publik yang dihadapi. Para pakar ilmu sosial sering menghadapi kenyataan bahwa ada sejumlah barang yang tidak dapat dimasukan ke dalam klasifikasi barang publik, tetapi tidak pula dapat diklaim sebagai barang privat sehinggasangat sulit untuk menentukan kebijakan yang tepat terhadap barang tersebut. Oleh sebab itu, sebuah perangkat pendefinisian yang baru dan jelas mengenai tipologi barang menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Setelah melalui beberapa tahun berdialektika, para pakar ilmu sosial akhirnya memberi persetujuan terhadap konsep baru yang mampu mendefinisikan tipologi barang secara lebih jelas. Jika sebelumnya publik hanya mengenal duajenis barang, maka setelah dilakukan pengembangan dan pengujian yang dilakukan secara teliti dan hati-hati, barang dapat dibedakan menjadi empat jenis. Keempat jenis barang itu adalah barang publik, barang privat,toll goods, dan common pool resources. Tiap jenis barang memiliki sifat tertentu, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut.
12
Tabel1.1 4 Jenis Barang
Subtractability
Difficult Easy Sumber: Ostrom (1994: 7) Exclusion
Low Public Goods Toll Goods
High Common Pool Resources Private Goods
Tabel di atas menunjukkan adanya empat jenis barang yang dipahami oleh para pakar ilmu sosial. Dengan menggunakan indikator exclusion dan substractability, batasan sifat setiap barang telah jelas yang dapat dijabarkan berikut ini. Pertama,public goods adalah sebuah jenis barang yang setiap pengguna akan sangat sulit untuk menyingkirkan pengguna lainnya, sedangkan penggunaan oleh seorang pengguna tidak akan mengurangi ketersediaan barang tersebut atau mengurangi kemampuan pihak lain untuk menggunakan barang tersebut. Untuk menggunakan barang jenis ini, seorang pengguna tidak harus memenuhi syarat apapun. Kedua, toll goods (pada kesempatan lain biasa diistilahkan dengan club goods) merupakan sebuah jenis barang yang seorang pengguna dapat membatasi pengguna lain untuk menggunakannya, sedangkan penggunaan oleh pengguna lain tidak akan mengurangi ketersediaan barang tersebut atau mengurangi kemampuan pengguna lain untuk menggunakan barang yang sama. Untuk menggunakan barang jenis ini, setiap orang harus memenuhi sejumlah syarat, seperti membayar dalam jumlah tertentu. Ketiga, common pool resources (CPR) adalah sebuah jenis barang yang setiap pengguna tidak dapat membatasi pengguna lainnya dalam menggunakan barang yang tersedia, tetapi penggunaan
oleh
seseorang
dapat
mengurangi
ketersediaan
barang
tersebut/mengurangi kemampuan orang lain menggunakan barang tersebut. Keempat, private goods yang merupakan sebuah jenis barang yang setiap pengguna dapat dibatasi, sedangkan ketersediaan barang yang digunakan akan terus berkurang seiring dengan intensitas penggunaan. 13
Lebih lanjut, karena CPR diklaim sebagai salah satu sumber permasalahan sosial, maka ada beragam pemahaman yang disampaikan oleh banyak pakar tentang hal ini. Namun pemahaman tersebut tidak bersifat negasi atau sangkalan, tetapi saling menguatkan. Misalnya adalah yang dikemukakan oleh Nikijuluw (dalam Winarno, 2013) yang menyampaikan pemahamannya
terkait
CPR.
Menurutnya,
aksi
seseorang
dalam
memanfaatkan sumber daya yang tersedia akan berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumber daya yang sama. Selain itu, Nikijuluw juga menyampaikan bahwa CPR merupakan sebuah jenis barang yang sangat sulit dibagi atau dipisahkan. Walaupun pemerintah telah melakukan pembagian secara administratif, pada kenyataannya barang tersebut tetap sulit untuk dibagi. Nasution (2007) juga menyampaikan pemahamannya terhadap CPR. Menurutnya, CPR merupakan sebuah jenis barang yang bersifat terbuka, yaitu semua pihak dapat menggunakan atau mengeksploitasi barang tersebut secara bebas tanpa dibebani dengan tanggung jawab untuk mengembalikan atau memulihkan kerusakan yang ditimbulkannya. Dalam perkembangannya CPR diidentikkan dengansumber daya alam (natural resources). Kajian yang dilakukan oleh Hardin (1968), Ostrom (1990, 1994, 2002),Murombedzi (1998), Saunders (2014), dan banyak kajian lainnya selalu mendiskusikan CPR dalam definisi sumber daya alam. Hardin, misalnya, menggunakan objek kajian dalam bentuk ketersediaan ikan di sebuah kawasan laut. Sementara itu, Ostrom menjadikan ketersediaan air untuk irigasi pertanian di sejumlah negara Afrika sebagai bahan kajian CPR. Hal yang tidak berbeda juga dilakukan oleh para pakar lainnya. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka penelitian mengenai danau merupakan sebuah kegiatan yang terkait erat dengan kajian CPR. Setidaknya ada dua alasan yang mendukung kesimpulan ini. Pertama, potensi yang 14
dimiliki oleh danau sangat besar karena merupakan tempat penduduk sekitarnya memenuhi kebutuhannya sehari-hari (Matsui, dkk., 2003). Di samping itu, pemanfaatan potensi danau oleh seorang penduduk akan mengurangi kemampuan penduduk lainnya untuk memanfaatkan potensi danau yang ada. Kedua, terdapat sejumlah pakar yang mengklaim bahwa danau merupakan jenis barang CPR.Hal tersebut diantaranya, disampaikan oleh Adrianto dan Azis (2006). Menurut mereka, bila ditinjau dari sisi kepemilikan, danau adalah public goods yang dimiliki oleh negara. Namun dari sifat pemanfaatan dan pengelolaan, danau adalah CPR. 1.6.1.2 CPR dan the Tragedy of Common Pada kenyataannya CPR merupakan jenis barang yang menjadi sumber dari banyak permasalahan yang ada di masyarakat. Hal ini telah banyak disadari dan mendapat perhatian dari para pakar sejak tahun 1954 sampai 1968. Kemudian mereka mulai mencoba mengajukan beberapa premis sebagai upaya menjelaskan fenomena tersebut. Gordon dan Scott, sebagai contoh, dengan menggunakan kasus penangkapan ikan di suatu wilayah tertentu, mereka mengidentifikasi sifat keterbukaan CPR yang menjadi penyebab terjadinya penurunan ketersediaan ikan secara dramatis. Open access conditions in fisharies lead to the economic destruction of fish stocks. Individual fishers do not attend to the cost that they impose on other fishers who harvest from the same stock. They consequently continue to fish beyond the point of maximizing the revenue of the fishery and dissipate the fishery’s rents (Schlager, 2004: 147). Di samping komentar dari Gordon dan Scott terkait CPR di atas,ada sejumlah komentar yang sama lainnya.Akan tetapi, Garret Hardin (1968) berhasil mengabstraksinya menjadi sebuah teori yang biasa dikenal dengan thetragedy of common. Untuk memperjelas teori yang dimilikinya, Hardin 15
membangun sebuah kasus imajinatif sebagai permisalan. Seperti yang ditulis oleh Ostrom (1990: 2), Hardin membayangkan sebuah padang rumput yang dihuni oleh sejumlah penggembala beserta hewan ternaknya dan padang rumput tersebut terbuka bagisetiap penggembala. Setiap penggembala menerima keuntungan langsung dari hewan ternaknya, tetapi akan mengalami kerugian jika jumlah hewan ternak setiap penggembala melebihi batas jumlah maksimum.
Hal
ini
karena
rumput
yang
tersedia
akan
habis.
Selanjutnyasetiap penggembala termotivasi untuk menambah jumlah hewan ternaknya karena adanya keinginan untuk memperbesar keuntungan. Hardin conclude, therein is the tragedy. Each man is locked into a system that compels him to increase his herd without limit –in a world that is limited. Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in asociety that believes in the freedom of commons(Hardin, 1968: 1.244). Ostrom kemudian berusaha membangun sebuah penjelasan yang lebih jelas mengenai fenomena yang terjadi dengan CPR. Ostrom menggunakan sejumlah kasus untuk mendapatkan penjelasan yang akurat, yaitu kasus the tragedy of common, the prisoner’s dilemma, dan the logic of collective action. Intinya,Ostrom meyakini bahwa sifat keterbukaan yang dimiliki oleh CPR dan rasionalitas dari setiap orang yang menggunakan atau mengkesploitasi CPR merupakan penyebab utama yang membuat CPR menjadi sumber permasalahan. Free riders dan overuse adalah dua kata yang menjadi kunci dari penjelasan Ostrom, seperti yang disampaikan berikut ini. At hearth of each of these models is the free-rider problem. Whenever one person cannot be excluded from benefits that others provide, each person is motivated not to contribute to the join effort, but to free-ride on the efforts of others. If all participants choose to free ride, the collective benefit will not be produce… (Ostrom, 2002: 6) 16
Keyakinan yang disampaikan oleh Ostrom tersebut memiliki posisi yang cukup kuat jika dilihat dari penjelasan berikut. Pertama, dari sisi teoretis, rasionalitas manusia telah sejak lama diidentifikasikan mempunyai potensi menjadi
sebuah
permasalahan.
Olson
(dalam
Adiyanta,
2007)
menggambarkan cara kerja rasionalitas manusia dan dampaknya pada sebuah keadaan tertentu. Menurutnya, jika dihadapkan pada sebuah pilihan, maka manusia akan cenderung memilih pilihan yang akan memberikan manfaat terhadap dirinya. Permasalahannya adalah cara yangakan ditempuh adalah dengan meminimalkan risiko dan memiliki perasaan egois. Dengan kata lain, rasionalitas manusia terpusat pada keuntungan yang akan dimilikinya sambilmenghindari setiap sesuatu yang berpotensi merugikan dirinya. Kedua, terdapat banyak kasus yang menunjukkan bahwa argumentasi para aktor yang telibat dengan permasalahan CPR sama dengan yang menjadi keyakinan Ostrom. Hal ini, salah satunya, dicatat oleh Schlager (2004: 145)dalam situasi ketika seorang nelayan menyampaikan alasannya untuk memaksimalkan keuntungan dan menghindar dari kerugian yang akan didapatkan:“I have no incentive to conserve the fishery, because any fish I leave is just going to be picked by the next guy”. Pilihan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya diambil oleh nelayan tersebut karena tidak ada keuntungan yang didapatnya jikaia mengurangi jumlah ikan yang ditangkap, sedangkan nelayan lainnya tetap memaksimalkan jumlah ikan yang ditangkap. Individual fishers do not attend to the cost that they impose on other fishers who harvest from the same stock. They consequently continue to fish beyond the point of maximizing the revenue of the fishery and dissipate the fishery’s rents (Schlager, 2004: 147)
17
Dengan demikian, secara keseluruhan dapat diperoleh seperangkat pemahaman yang membuat CPR berpotensi menjadi sumber permasalahan. Di satu sisi, sifat keterbukaan yang dimilikinya memungkinkan semua pihak untuk mengeksploitasinya. Namundi sisi lain rasionalitas yang dimiliki oleh setiap orang telah menuntun merekamelakukan eksploitasi secara tidak terkendali dan menghindari setiap kerugian yang mungkin akan didapatnya. 1.6.2 The Tragedy of Common: Sebuah Pendekatan Kelembagaan (Institusi) The Tragedy of Common sebagai suatu fenomena yang tidak diinginkan harus dibaca melalui pendekatan kelembagaan. Hal ini terkait dengan setiap individu hidup di dalam sebuah atau beberapa kelembagaan memberi pengaruh tertentu terhadap perilaku individu. Merujuk pada beberapa literatur sosial, kelembagaan memiliki beberapa pengertian. Menurut Hayami dan Kikuchi (dalam Umar, 2007), kelembagaan adalah sekumpulan aturan mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak, serta perlindungan hakhak dan tanggung jawab. Batasan yang hampir sama disampaikan oleh pakar lainnya sebagai berikut.Kelembagaan adalah gabungan dari kebijakan dan tujuan, hukum dan regulasi, rencana dan prosedur organisasi, mekanisme insentif, mekanisme akuntabilitas, norma, serta tradisi dan adat istiadat (Bandaroga, 2000; Kliot dan Shmuel, 2001). Page dan Iver telah pula memberikan pengertian terkait kelembagaan, yaitu sebagai prosedur yang diakui, didirikan, dan mempunyai sanksi untuk mengatur hubungan antarindividu atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kelembagaan merupakan seperangkat nilai dan peraturan dari sebuah organisasi, baik formal dan informal, yang menjadi acuan setiap individu dalam melakukan sebuah perbuatan. 18
Kelembagaan beserta pengaruhnya yang sangat besar terhadap perilaku individu akan membangun kesadaran tersendiri terhadap diskursus the tragedy of common. Fenomena ini diyakini akan terjadi bila kelembagaan yang mengelola CPR tidak dalam kondisi yang baik. Secara lebih rinci Ostrom (dalam Saunders, 2014: 639) menulis prasyarat sebuah kelembagaan yang baik dan diklaim mampu menghindari the tragedy of common sebagai berikut. 1. Batas didefinisikan secara jelas (keanggotaan dan batas-batas fisik kawasan sumber daya yang jelas). 2. Adanya kesesuaian antara perampasan dan penyediaan aturan kondisi lokal (aturan kongruen dengan kondisi setempat). 3. Adanya kolektif pilihan pengaturan (individu yang terkena dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan operasional). 4. Monitor bertanggung jawab untuk sumber daya pengguna. 5. Lulus sanksi terhadap pelanggar. 6. Akses siap mekanisme resolusi konflik. 7. Adanya pengakuan hak untuk mengatur oleh otoritas pemerintah eksternal. 8. Perusahaan bersarang (yaitu sumber daya merupakan bagian dari sistem yang lebih besar). Terlepas dari keberhasilan Ostrom dalam menyusun pendekatan kelembagaan di atas, jika dicermati dengan lebih hati-hati, pendapat yang disampaikan
oleh
Ostrom
tersebut
memiliki
beberapa
kelemahan.
Pertama,seperti yang disampaikan oleh McCay (2002), kelembagaan milik Ostrom disusun di atas pendekatan adanya persetujuan demi kepentingan bersama. Setiap individu diasumsikan semata-mata sebagai sosok individu yang rasional dan bersedia melakukan dialog untuk membuat kelembagaan yang baru. Dengan kata lain, rasionalitas merupakan satu-satunya penuntun 19
individu dalam membangun sebuah kelembagaan yang akan mengelola CPR. Kesadaran yang diciptakan oleh rasionalitas tentang kerugian yang akan didapat jika pengeksploitasian CPR tidak diatur telah mendorong setiap individu untuk duduk bersama membangun kelembagaan yang baru. Disinilah letak kelemahan premis yang diajukan Ostrom. Setiap individu diklaim semata-mata sebagai sebuah entitas yang memiliki rasionalitas dan sama sekali tidak memiliki kelembagaan sebelumnya.Jikapun individu itu memiliki kelembagaan, maka kelembagaan tersebut sama sekali tidak atau belum mengatur pemanfaatan CPR. Padahal sebagai makhluk sosial, setiap individu merupakan bagian lebih dari satu kelembagaan yang hanya memengaruhi cara berpikir, tetapi juga mengatur pengelolaan CPR. Dengan kata lain, keterbatasan teori yang ditawarkan oleh Ostrom adalah teori tersebut terbatas pemanfaatannyadi wilayah yang belum ditemukan adanya sebuah kelembagaan yang kuat atau tidak ada aturan mengenai pengelolaan CPR. Kedua,melanjutkan kritikan yang pertama, Ostrom telah mengabaikan eksistensi budaya sebagai salah satu pilar utama sebuah institusi. Seperti yang disampaikan oleh Scott (2001: 52), selain regulasi dan norma, budaya merupakan salah satu hal terpenting di dalam sebuah institusi. Cara seseorang bertindak dan berperilaku, terutama di negara berkembang, sesuai dengan cara budaya mengatur cara bertindak dan berperilaku dari setiap anggota komunitasnya.
Pada
saat-saat
tertentu
budaya,
bahkan
lebih
kuat
dibandingkan dengan rasionalitas individu. Dua poin kritikan ini memiliki implikasi yang cukup besar. Pada konteks tertentu teori Ostrom tidak dapat berlaku. Hal ini karena the tragedy of common bukan ditentukan oleh apakah sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat CPR mampu membuat sebuah kelembagaan baru melalui rasionalitas yang dimilikinya untuk mengelola CPR. Akan tetapi,hal itu 20
ditentukan oleh kondisi kelembagaan setiap aktor yang terkait dengan CPR tersebut. Jika kelembagaan yang telah dimiliki oleh setiap aktor baik, maka akan tercipta sebuah kelembagaan baru yang ideal untuk mengelola CPR. Akan tetapi, jika kelembagaan yang telah dimiliki oleh setiap aktor buruk, maka rasionalitas individu akan bekerja tanpa kendali sehingga akan tercipta sebuah kelembagaan baru yang buruk pula dalam pengelolaan CPR. Hal ini akan berakhir pada the tragedy of common. Dampak akhir dari diskusi di atas adalah dibutuhkannya sebuah perangkat analisis baru untuk mengetahui penyebab terjadinya the tragedy of common. Jika mencermati diskusi kelembagaan yang ada, penjelasan mengenai terjadinya the tragedy of common tidak sesederhana mengamati cara kerja rasionalitas individu yang terlibat CPR, tetapi harus ditelusuri jauh sampai kepada nilai budayanya. Scott (2001) dan Summer (dalam Soekanto, 1999) berpendapat bahwa kelembagaan memiliki keterkaitan erat dengan nilai sebagai konsekuensi sisi informal yang dimilikinya. Mencermati pendapat yang dikemukakan Giddens (1993), nilai terbentuk dari proses yang cukup panjang. Hal tersebut hanya dapat dipahami dengan melakukan penyelidikan sejarah dan budaya dari setiap organisasi. Seperti yang disampaikan oleh Giddens, kebiasaan sekelompok masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan di masa lalu secara berulang lama-kelamaan akan menjadi seperangkat perilaku yang memiliki kekuatan mengikat. Hal ini kemudian menjadi aturan berperilaku dan berpikir bagi setiap individu anggota kelembagaan tersebut. Dengan kata lain, upaya penyelidikan terhadap sebab-sebab terjadinya the tragedy of common harus menjalani upaya penyelidikan sejarah dan budaya dari setiap kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Jika digambarkan, maka skema kelembagaan dan kaitannya dengan the tragedy of common dalam konteks CPR adalah sebagaimana Gambar 1.1. 21
Gambar di bawah mendeskripsikan relasi sebuah kelembagaan dengan aktivitas pengelolaan CPR yang dilakukannya. Pada mulanya budaya dan pengalaman masa lalu memberi pengaruh tertentu terhadap organisasi. Di dalam organisasi tersebut, terdapat sisi formal dan informal yang saling memengaruhi. Hasil pengaruh dari budaya dan sejarah yang kemudian berelaborasi dengan dinamika sisi formal dan informal organisasi telah menciptakan pemaknaan tersendiri terhadap CPR. Gambar 1.1 Skema Kelembagaan dan The Tragedy of Common Organisasi “X” Budaya: Masalah perilaku, kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat (nilai)
Sisi formal :
Sejarah: pemosisian berdasarkan pengalaman masa lalu
Kelembagaan Organisasi Kmbagaan Sisi informal :
Struktur hierarki nilai visi orientasi strategis kebijakan yang dikeluarkan beserta hukuman relasi dengan lembaga lain
Nilai dominasi yang berlaku (kebiasaan tabu hukuman sosial)
Pemaknaan Terhadap CPR
Pengelolaan Danau (CPR)
Sumber: diolah dari Ostrom (1990, 1994) Scott (2001) McCay (2002) 22
Lalu, cara sebuah kelembagaan mendefinisikan keberadaan CPR secara langsung memengaruhi cara kelembagaan itu dalam mengelola CPR.
1.6.3 CPR dan Good Governance Sejak beberapa tahun terakhir terminologi good governance sering digunakan oleh sejumlah lembaga, terutama terkait dengan kebijakan publik. Good governance diyakini banyak pihak menjadi instrumen berpikir yang lebih menjanjikan terwujudnya kesejahteraan. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka kerangka pikir yang ditawarkan oleh good governance merupakan acuan dalam menemukan dan mengenali penyebab terjadinya the tragedy of common. Sejauh ini, menurut sejumlah literatur, belum ada kesepakatan redaksional mengenai definisi good governance. Setiap pemerintahan negara dunia ataupun lembaga internasional menyusun definisi good governance dengan redaksi yang sesuai dengan kondisi faktualnya masing-masing. Contohnya United Nation mendefinisikan good governance sebagai the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented). Di sini fokus good governance adalah sisi formal dan informal dari setiap struktur yang akan memutuskan sebuah kebijakan. Sementara itu, IFAD (1999:1) mendefinisikan good governance sebagai the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social for development. Walter, Mair, dan Mair memberi batasan good governance sebagai the transparent and accountable management of human, natural, economic, and financial resources for the purposes of equitable and sustainable development. Selanjutnya Kauman, et.al. (2000) memahami good governance sebagai traditions and institutions 23
that determine how authority is exercised in a country (dalam Avellaneda, 2006: 2). Perbedaan-perbedaan di atas menyulitkan upaya untuk menyusun sebuah definisi bersama. Namun definisi-definisi di atas menyiratkan sejumlah poin penting berikut. Pertama, good governance merupakan sebuah proses pengelolaan kebijakan suatu potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh sebuah wilayah (negara atau daerah). Kedua, pengelolaan tersebut terkait dengan struktur formal dan informal yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat. Ketiga, tujuan dari good governance adalah peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan. Dalam praktiknya pihak-pihak yang mendorong terwujudnya good governance di dunia meyakini prinsip-prinsip yang berbeda, baik dari segi jenis maupun jumlah. Namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, setidaknya ada beberapa prinsip yang diyakini oleh semua pihak seperti berikut ini (Bullivan, et.al.: 10; Walter, et.al.: 9-10; IFAD, 2009; United Nations: 2). 1. partisipasi. Pada prinsipnya seluruh pihak yang memiliki kepentingan terhadap sebuah kebijakan harus berpartisipasi aktif di dalam seluruh tahapan kebijakan. Partisipasi tidak hanya akan membuat seluruh aspirasi dari pihak yang berkepentingan mampu menyampaikan aspirasinya, tetapi juga akan memperkuat dan memberi legitimasi terhadap kebijakan yang dihasilkan. 2. konsensus. Good governance memiliki prinsip untuk mengedepankan kesepakatan bersama setiap pembuatan kebijakan. Prinsip ini menjamin adanya saling tukar pengetahuan yang berakhir pada legitimasi kebijakan. Konsensus hanya dapat tercapai melalui pemahaman bersama terhadap konteks sejarah, budaya, dan sosial dari setiap pihak. 24
3. transparansi. Dalam pembuatan kebijakan, seluruh proses harus bersifat terbuka terhadap publik. 4. ketaatan terhadap hukum. Pada prinsipnya meskipun seluruh pihak dapat menyampaikan aspirasi yang dimiliki, semua hal tersebut harus dilakukan dalam kerangka peraturan hukum yang berlaku. Dengan demikian, selain terarah, setiap proses kebijakan memiliki legitimasi hukum. Sebenarnya prinsip-prinsip yang dimiliki oleh good governance sangat bervariasi di setiap negara. Akan tetapi, keempat prinsip di atas merupakan prinsip utama yang selalu digunakan di hampir seluruh negara dunia. Lebih lanjut good governance membagi pihak yang memiliki kepentingan terhadap setiap kebijakan menjadi tigajenis, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Relasi ketiganya adalah sebagai berikut. Gambar 1.2 Aktor Kunci Good Governance PEMERINTAH
GOOD GOVERNANCE
MASYARAKAT
SWASTA
Sumber: Renukumar, 2015 Seperti yang ditunjukkan oleh gambar di atas, terdapat tigaaktor penting di dalam skema good governance, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pemerintah berperan untukmenciptakan iklim politik dan ekonomi serta 25
kondisi lingkungan yang kondusif. Di pihak lain, masyarakat melakukan mobilisasi partisipasi, sedangkan pihak swasta berperan untuk menciptakan peluang pasar bagi masyarakat. Harmonisasi dari ketiga peranan ini yang ditunjang dengan prinsip-prinsip yang ada akan menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perkembangannya, terutama jika dikaitkan dengan kasus CPR, harmonisasi ketiga aktor di atas merupakan hal penting. Pertama, dalam pengelolaan CPR, interpretasi ketiga aktor tersebut dapat berbeda. Suatu pemecahan permasalahan atau kebiasaan bagi sebuah pihak dapat sajamerupakan sebuah permasalahan bagi pihak lain (Ostrom, Gardner, Walker, 1994: 1). Oleh sebab itu, komunikasi diantara ketiganya harus optimal. Kedua, pembangunan yang berkelanjutan hanya akan dapat terwujud jika ada transparansi kerangka kerja dan terukurnya perkembangan yang akan dicapai (IFAD, 1999: 2). Ketiga, pemerintah harus mampu memastikan bahwa dampak jangka panjang dari kebijakan yang akan dilaksanakannya berpengaruh positif bagi masyarakat dan mampu didukung oleh pihak swasta (CIPFA dan IFAC, 2013: 11). 1.6.4 Kerangka Pikir Penelitian Diskusi teoretis di atas memberikan beberapa informasi penting yang dapat membangun kerangka pikir penelitian. Informasi penting tersebut, diantaranya, sebagai berikut.Pertama, danau merupakan salah satu jenis CPR. Kedua, permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan CPR adalah sifat keterbukaan CPR yang diiringi dengan kondisi buruk kelembagaan aktor yang terlibat di dalam pengelolaannya. Hal ini telah menciptakan fenomena free rider dan overuse. Ketiga, melacak kelembagaan pengelolaan CPR harus melibatkan aktivitas pengkajian struktur formal dan informal setiap kelembagaan yang terlibat, dengan aspek informal yang dimaksud adalah 26
sejarah dan budaya kelembagaan. Keempat, dalam konteks pengelolaan CPR menggunakan diskusi teoretis good governance, maka terdapat tigaaktor utama di dalamnya, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Jika simpulan-simpulan tersebut digunakan dalam membaca kasus penelitian Danau Takapan, kerangka pikir penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut. Gambar 1.3 Kerangka Pikir Penelitian PENGELOLAAN DANAU TAKAPAN Pemangku kepentingan Masyarakat
Pemangku kepentingan Pemerintah
KELESTARIAN LINGKUNGAN
Pemangku kepentingan Swasta
DEGRADASI LINGKUNGAN
Sumber: dielaborasi dari Ostrom (1990, 1994), Scott (2001), dan McCay (2002) Seperti yang tampak pada gambar di atas, kerangka pikir yang digunakan oleh penelitian ini cukup sederhana. Penelitian ini berpijak pada kondisi faktual bahwa telah terjadi sebuah penurunan kualitas kehidupan masyarakat, sedangkan secara konseptual danau merupakan CPR yang dipengaruhi oleh pengelolaan danau tersebut. Oleh karena itu, tesis yang dibangun adalah kualitas kelembagaan mempengaruhi kondisi lingkungan Danau Takapan, di mana kelembagaan pengelolaan Danau Takapan yang 27
dimaksud dibentuk atas interaksi 3 aktor, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Semakin baik kualitas kelembagaan pengelolaan Danau Takapan, maka semakin baik kelestarian lingkungan danau tersebut. Dan begitu pula sebaliknya. Kerangka pikir penelitian inilah yang akan menjadi acuan dalam melakukan kajian mengenai Danau Takapan yang terdapat di Kota Palangka Raya. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini lebih mengutamakan pemahaman dan pengalaman terhadap perilaku sosial sekelompok individu, yang dalam hal ini adalah pemerintah, masyarakat, dan swasta. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengkaji nilai-nilai kearifan lokal dan perilaku sosial masyarakat yang sifatnya terbatas, tetapi mendalam (in depth) dan menyeluruh (holistic). Dalam konteks ini, tidak ada pemilihan-pemilihan gejala secara konsepsional ke dalam aspek-aspeknya yang bersifat eksklusif, yang dikenal dengan istilah variabel (Soetandyo, 1997). Sesuai dengan pendapat Straus dan Corbin (2003),penelitian kualitatif juga sangat sesuai untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang baru sedikit diketahui. Alasan lain yang menyebabkan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah jenis informasi dan sifat data yang dikumpulkannya juga bersifat kualitatif. Untuk masalah tertentu, seperti menggambarkan kondisi sungai dan danau, digunakan pendekatan naturalistik yang disesuaikan dengan situasi lapangan penelitian yang bersifat natural, wajar, sebagaimana adanya (natural setting) tanpa dimanipulasi dan diatur dengan eksperimen atau test (Nasution, 1996:18). Hal ini karena fenomena yang akan dikaji, 28
apapun bentuknya akan mempunyai makna yang hakiki jika berada dalam konteksnya yang asli atau alamiah. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai pemecahan masalah ataupun mengujikan teori, tetapi untuk membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif (Aminudin, 2002). Hal ini juga dapat mengacu pada penelitian sejarah, tingkah laku dan fungsi organisasi, serta perubahan sosial atau hubungan interaksional, terutama yang berkaitan dengan penjelasan perilaku manusia dan fakor-faktor yang melatarbelakanginya. 1.7.2 Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini, yang dijadikan sebagai sumber data adalah informan, peristiwa atau kejadian, tempat, dan dokumen (Bakri, 2002). Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan atau narasumber, peristiwa atau kejadian, tempat atau lokasi, dan responden.Sementara itu, data sekunder (pendukung) diperoleh dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung, dalam pengelolaan sungai dan danau. Informan selanjutnya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar sungai dan danau yang dijadikan sebagai objek penelitian ini dan para pemangku kepentingan yang terkait dengan topik penelitian ini. Selain itu, aparat pemerintah dan pedagang yang terlibat langsung terhadap pengelolaan Danau Takapan juga menjadi informan utama. Sumber data selanjutnya adalah peristiwa atau kejadian, yaitu data dan informasi yang dapat dikumpulkan melalui pengamatan terhadap peristiwa atau aktivitas yang berhubungan dengan fokus penelitian. Aktivitas dan 29
peristiwa dapat menjadi sumber data yang sangat penting jika peristiwa tersebut masih berlangsung saat penelitian berlangsung. Aktivitas dan peristiwa
yang
dimaksudkan
adalah
implementasi
nilai-nilai
yang
berlangsung sehari-hari. Termasuk di dalamnya adalah kejadian yang menonjol
dan
patut
dicatat
atau
kejadian
pada
umumnya
yang
menggambarkan suatu pengaruh langsung terhadap ekosistem sungai dan danau. 1.7.3 Proses Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara dan tahapan sebagai berikut. •
wawancara mendalam yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh informal masyarakat (informan) dan pejabat teknis yang dianggap mengetahui dan memahami nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sungai dan danau pada masa dulu, sekarang, dan yang akan datang. Mereka yang diwawancarai dipilih berdasarkan tujuan dari informasi yang dikehendaki. Dengan kata lain, mereka dipilih secara purposive. Wawancara dilakukan dengan informan yang berjumlah 50 orang dan terdiri atas SKPD teknis 15 orang (pejabat 9 orang dan penyuluh 6 orang), pelaku usaha 4 orang (pedagang ikan 2 orang, kuliner 2 orang), tokoh adat/tokoh masyarakat 15 orang (Damang 5 orang dan mantir 10 orang), masyarakat setempat 6 orang (3 keluarga yang masing-masing 2 orang),serta nelayan8 orang (tangkap 4 orang dankeramba 4 orang) kemudian NGO lingkungan 2 orang.
•
observasi (pengamatan langsung) yang dilakukan untuk mengamati dari dekat keadaan yang sesungguhnya (faktual) sistem pengelolaan sungai dan danau, khususnya yang berhubungan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Observasi juga dilakukan untuk memperkaya pemahaman atas kondisi dan daya dukung sungai dan danau. 30
•
dokumentasi, yang dilakukan untuk mendapatkan data yang bersumber dari dokumen, dapat berupa surat-surat keputusan dalam pengaturan pengelolaan sungai dan danau, hasil-hasil penelitian, data statistik, dll.
1.7.4 Analisis Data Data-data yang diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi ini selanjutnya ditabulasi dan dianalisis melalu analisis data kualitatif. Data dilakukan analisis persentase. Kemudian analisis data kualitatif akan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut. a. reduksi data. Data lapangan yang diperoleh dari lokasi penelitian dituangkan dalam uraian-uraian atau laporan lengkap dan rinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, dan difokuskan pada hal-hal yang penting untuk selanjutnya dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan dan kode). Reduksi data ini akandilakukan
terus-menerus
selama
penelitian
berlangsung.Hasil
wawancara tidak disajikan secara mentah, tetapi dirangkum dan diedit sehinggadapat disajikan dalam bentuk narasi yang sistematis, tetapi tidak mengurangi ciri alamiah (natural setting) dari ungkapan-ungkapan informan. b. Penyajian data (data display) dilakukan guna memudahkan peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain,dilakukan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga akan tampak keadaan yang sesungguhnya dari objek penelitian secara utuh. Data kualitatif dan kuantitatif disajikan secara simultan untuk memberikan deskripsi yang lebih lengkap. c. Verifikasi dalam penelitian kualitatif sangat penting dilakukan dan perlu dilakukan secara terus-menerus selama penelitian berlangsung dengan 31
melibatkan interpretasi peneliti (Miles dan Huberman, 1992). Secara keseluruhan proses analisis data dapat digambarkan seperti gambar berikut. Gambar 1.4 Proses Analisis Data Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Kesimpulan
Sumber: Miles dan Huberman (1992) Mengenai teknik analisis, penelitian ini menggunakan dua teknik analisis, yaitu deskriptif dan SWOT. Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama. Data yang terkumpul diberi kode sesuai dengan isu yang ada. Data yang memiliki informasi mengenai isu yang sama dikelompokkan menjadi satu. Kemudian, masing-masing isu dimaknai sesuai dengan pertanyaan penelitian. Hasil pemaknaan masing-masing isu kemudian didiskusikan untuk ditarik kesimpulan, sesuai dengan pertanyaan penelitian yang ada. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknis analisis SWOT. Teknik analisis SWOT digunakan dengan cara mengindetifikasi kekuatan dan kelemahan yang ada pada intenal organisasi, dan peluang serta tantangan yang berasa dari luar organisasi. Keempat hal tersebut kemudian didiskusikan secara berpasangan untuk menciptakan alternatif strategi terbaik dalam mengatasi permasalahan yang ada (MAP, 2015). 32