BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karenanya, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus diterima oleh anak di Indonesia. Dengan sistem pendidikan yang baik, hasil pendidikan yang berkualitas tentunya akan mudah diraih. Banyak sistem pendidikan yang sudah dirancang untuk mendidik anakanak pada umumnya. Tetapi tidak untuk sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK). Kurangnya tenaga pengajar untuk pendidikan luar biasa menyebabkan sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus kurang berkembang. Menurut Kompas.com (2010) berdasarkan pengakuan Menteri Pendidikan Nasional saat itu, jumlah tenaga pendidik dengan siswa didik adalah satu berbanding empat (edukasi.kompas.com). Di Indonesia, sistem pendidikan yang mengatur penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus baru diberi perhatian pada tahun 1970an setelah keberhasilan proyek pendidikan terpadu melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Budaya No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Pada intinya keputusan tersebut mengatur bahwa anak berkebutuhan khusus yang memiliki kemampuan akademis dapat diterima bersekolah di sekolah regular (Rahardja, 2005:1). Lebih lanjut Rahardja (2005) mengatakan bahwa walaupun pada akhirnya implementasi pendidikan terpadu tersebut mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kurang tepatnya konsep yang tertanam pada masyarakat pendidikan, khususnya sekolah reguler, tentang hak anak-anak luar biasa untuk belajar bersama-sama secara terpadu dengan anak-anak normal, kurangnya koordinasi antara pihak penyelenggara pendidikan guru (LPTK), birokrasi pendidikan, sekolah, dan masyarakat, kurangnya sosialisasi perangkat peraturan yang ada, serta kurangnya upaya kampanye kepedulian dan kesadaran masyarakat mengenai hakikat dan konsep keluarbiasaan yang tepat. 1 Universitas Sumatera Utara
2
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis pendidikan khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 tahun 2010 pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Konsep anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didik adalah anak yang mengalami hambatan dalam mengikuti pembelajaran sebagaimana peserta didik umumnya. Hambatan atau gangguan tersebut dapat berupa hambatan yang bersifat temporer yang berarti peserta didik tidak harus menerima layanan pendidikan khusus secara terus-menerus maupun permanen, peserta didik perlu mendapatkan layanan khusus berdasarkan tingkat kebutuhannya. Hal ini dikatakan sebagai hambatan permanen karena fisik dan mental mereka tidak bisa diubah seperti anak pada umumnya (Sugiarmin, Jurnal Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Pendidikan Inklusif). Komunikasi persuasif merupakan salah satu metode yang dapat di pakai dalam menangani kebutuhan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dahulu tujuan akhir dalam komunikasi persuasif itu sendiri hanyalah mempengaruhi audiens atau komunikan untuk melakukan pesan yang komunikator atau pembicara sampaikan. Dewasa ini komunikasi persuasif digunakan sebagai sarana untuk membentuk dan membimbing opini serta menentukan sikap seseorang. Pendekatan komunikasi persuasif yang sebaiknya digunakan dalam mendidik peserta tunalaras adalah positive appeals, yaitu pendekatan yang dilakukan melalui perangsangan dan ganjaran (Siahaan, 1991:129).
Universitas Sumatera Utara
3
Dalam suatu negara demokrasi, usaha mempengaruhi pendapat, sikap atau tingkah laku hanya boleh dilakukan berdasarkan bujukan-bujukan atau ajakan (persuasive), tetapi tidak berdasarkan pemaksaan atau penekanan (coersion). Berbeda dengan sistem yang digunakan di negara otoriter, dimana pemaksaan lebih banyak menonjol daripada ajakan. Jika pun ajakan itu dilakukan, maka hal tersebut biasanya berdasarkan landasan kegiatan pemaksaan (Roekomy, 1992:1). Lebih lanjut Roekomy (1992) meyatakan bahwa usaha mempengaruhi pendapat, sikap dan tingkah laku di negara demokratis merupakan hal yang lebih berat daripada di negara otoriter, oleh karena kegiatannya harus dilakukan secara persuasi. Oleh karena hal tersebut, persuasi memerlukan kiat dalam pelaksanaan yang bersumber pada pengetahuan ilmiah. Metode ini dianggap tepat dalam menangani anak didik yang mengalami hambatan emosi, pendidik atau guru sebaiknya tidak menggunakan paksaan karena hal itu hanya akan membuat anak didik semakin agresif. Pendidik atau guru juga diharapkan memiliki pengetahuan dasar yang cukup dan metode mengajar yang tepat diterapkan untuk mendidik anak berkebutuhan khusus dengan hambatan emosi sehingga pesan atau pelajaran yang akan disampaikan dapat di terima dengan baik oleh anak didik. Saat ini pendidikan sekolah luar biasa ditangani unit Direktorat Pendidikan Luar Biasa di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah untuk tingkat nasional. Di tingkat daerah pendidikan luar biasa berada di bawah naungan Subdin Pendidikan Luar Biasa atau Subdin yang menangani Pendidikan Luar Biasa pada Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga pendidikan luar biasa yang ada saat ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Sekolah Luar Biasa (SLB) digolongkan dalam beberapa jenis yaitu, Sekolah Luar Biasa bagian Tunanetra untuk anak dengan gangguan penglihatan (SLB A), Sekolah Luar Biasa bagian Tunarungu untuk anak dengan gangguan pendengaran (SLB B), Sekolah Luar Biasa bagian Tunagrahita untuk anak dengan yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau keterbelakangan mental (SLB C), Sekolah Luar Biasa bagian Tunadaksa untuk anak dengan gangguan fungsi pada tulang, otot dan sendi (SLB D), Sekolah Luar Biasa bagian
Universitas Sumatera Utara
4
Tunalaras untuk anak dengan gangguan tingkah laku (SLB E), dan Sekolah Luar Biasa bagian Tunaganda untuk anak dengan gangguan lebih dari satu (SLB G) (http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan-khusus-untuk-anaktunalaras.html). Namun secara luas, anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa tidak hanya seperti yang telah disebutkan tetapi juga termasuk anak berbakat atau supernormal (SLB F, di mana penelitian tentang anak dengan kemampuan intelektual yang tinggi ini di mulai pada tahun 1980) dan anak berkesulitan belajar (SLB H). Penelitian ini akan membahas mengenai anak berkebutuhan khusus bagian tunalaras. Secara umum tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan mengalami gangguan emosi. Masyarakat justru lebih mengenal mereka sebagai anak nakal, anak yang sulit diatur, anak pelanggar hukum, anak jahat, dan lain sebagainya daripada mengenal mereka sebagai anak yang mengalami hambatan emosi. Oleh sebab itu, tidak jarang anak tunalaras diabaikan bahkan dijauhi oleh orang-orang sekitarnya. Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki inteligensi yang rendah. Walaupun memang di antara anak tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan inteligensi yang rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, sedangkan pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar (Somantri, 2007:149). Lebih lanjut Somantri (2007:149) mengemukakan bahwa ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar dapat menjadikan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas, dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan
Universitas Sumatera Utara
5
inteligensi ini terhadap timbulnya gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif. Walaupun memiliki hambatan, anak berkebutuhan khusus tetap dapat berprestasi baik di bidang akademis, olahraga dan kesenian. 24 hingga 26 Mei 2012, Dinas Pendidikan Pemprov Sumatera Utara mengadakan perlombaan yang ditujukan bagi seluruh sekolah luar biasa (SLB) se-Sumatera Utara. 37 orang dari 13 SLB se-Sumatera Utara mengikuti perlombaan seni (mencakup desain grafis komputer, menyanyi solo, pantomime, melukis, tata rias dan tari kreasi daerah), olahraga (lari 100 meter, lompat jauh, lempar cakram, bulu tangkis, catur khusus anak berkebutuhan khusus tunanetra) dan sains (matematika, fisika dan biologi) (sumutpos.com). Sistem pengajaran yang tepat, tentunya sangat diperlukan anak yang mengalami gangguan emosi. Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina di Medan, merupakan salah satu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, khususnya untuk anak tunalaras. Sekolah negeri tingkat provinsi ini didirikan pada tahun 1983. Diawali dengan 5 anak didik dan 2 tenaga pendidik, saat ini SLB-E Negeri Pembina tidak hanya menyelenggarakan pendidikan untuk anak tunalaras, tetapi juga untuk penyandang tunarungu (penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita (penyandang gangguan perkembangan inteligensi), autis, dan cacat ganda (penyandang hambatan fisik dan mental) (profil UPT SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera Utara). SLB-E Negeri Pembina terdiri dari jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Saat ini SLB-E Negeri Pembina mempunyai anak didik berjumlah 336 orang dengan 60 orang tenaga pendidik. SLB-E Negeri Pembina menggunakan sistem pengajaran individual, dimana seorang guru akan mengajar lima sampai dengan delapan anak didik. Selain menyelengarakan pendidikan bagi siswa yang memiliki kekurangan
dalam intelektual dan mental, sekolah ini juga
menyelengarakan beberapa pendidikan keterampilan seperti tata boga, tata busana, pertamanan, perikanan, otomotif, pengelasan, perkayuan, pavin blok dan Information Communication Technology (ICT) serta keterampilan musik.
Universitas Sumatera Utara
6
Sekolah ini juga memiliki prestasi mulai dari akademis, olahraga (salah satu anak didik bahkan sudah ke Athena untuk mengikuti lomba lari), dan seni (salah satu anak didik tunarungu menjadi peserta dibidang seni tari). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Komunikasi Persuasif terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan”. 1.2
Batasan Masalah Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian yang akan dilaksanakan, maka peneliti merasa perlu membuat pembatasan masalah yang lebih jelas, fokus dan spesifik. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Persuasif difokuskan pada kesungguhan anak didik untuk belajar. 2. Pelaksanaan Komunikasi Persuasif di lakukan oleh guru kelas secara menyeluruh. 3. Penelitian ini difokuskan pada Komunikasi Persuasif yang dilakukan pengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan. 1.3
Rumusan Masalah Rumusan masalah merupakan serangkaian pertanyaan yang dijadikan
dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan berbagai desain dan strategi penelitiannya. Harus dituliskan dalam wujud kalimat tanya dengan bahasa yang singkat dan jelas (Idrus, 2009:48). Perumusan masalah adalah konteks penelitian yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian (Silalahi, 2009:54). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah Komunikasi Persuasif pengajar berpengaruh terhadap Prestasi Belajar anak didik SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan?”
Universitas Sumatera Utara
7
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan jawaban mengapa penelitian tersebut harus
dilakukan (Idrus, 2009:49). Tujuan penelitian ini: 1. Untuk mengetahui bagaimana strategi penggunaan komunikasi persuasif di SLB-E Negeri Pembina Medan. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh komunikasi persuasif yang diberikan terhadap prestasi belajar siswa/siswi SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan. 1.5
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang bisa didapatkan setelah
penelitian tersebut dilaksanakan (Idrus, 2009:50). Manfaat penelitian bukanlah manfaat yang dirasakan oleh peneliti tetapi merupakan manfaat yang didapatkan setelah penelitian dilakukan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan menjadi referensi di bidang komunikasi, khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik untuk SLB-E Negeri Pembina Medan maupun pihak atau organisasi lainnya yang memiliki tujuan untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. 3. Secara teoritis, penelitian ini sebagai wadah menerapkan ilmu yang sudah peneliti dapatkan selama menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USU, sekaligus memperkaya wawasan peneliti mengenai Komunikasi Persuasif
dalam
dunia
pendidikan
khususnya
pendidikan
anak
berkebutuhan khusus.
Universitas Sumatera Utara