BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Dalam beberapa tahun terakhir, penyelenggaraan pemerintahan secara
umum dan pembangunan secara khusus telah mendapat sejumlah kritikan mendasar, tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari komunitas internasional. Transparency International (TI), misalnya melakukan peringkat negara
yang
mengalami
masalah
besar
dalam
sektor
publiknya,
mengidentifikasikan Indonesia sebagai negara yang masih bermasalah dalam korupsi di dunia. Data TI mengenai peringkat Corruption Perception Index untuk Tahun 2012 yang dirilis 13 Desember 2012 menempatkan Indonesia pada ranking 118 dari 174 negara dengan nilai 32 dari skala nol sampai dengan 100, dimana nol menunjukkan korupsi tingkat tertinggi dan 100 tingkat terendah. Ranking ini jauh dibawah Singapura (5), Brunei (46), Malaysia (54), Thailand (88), dan Philipina (105). Ironisnya bahwa nilai Indonesia tahun 2012 memburuk dibandingkan dengan nilai tahun 2011, pada saat negara-negara ASEAN yang disebutkan diatas (kecuali Thailand) justru membaik. Berita mengenai hal yang sama dilansir oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dalam laporan 20 Maret 2013. Laporan terakhir PERC didasarkan atas survei yang meliputi 2.057 manajer asing tingkat senior dan tingkat menengah yang bekerja di Asia. Hasil survei menyebutkan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai rangking 16 terkorup dari 17 negara yang disurvei di Asia Pasifik, dengan nilai 8,83 dari nilai 10 terburuk. Bahkan Indonesia menempati posisi terbawah diantara negara ASEAN, serta hanya setingkat di atas India. Hasil survei tahun sebelumnya (2012) menunjukkan dalam periode pelaporan 2003 sampai dengan 2012 (sepuluh tahun), berfluktuasinya nilai persepsi “seberapa besar korupsi berasal dari lingkungan usaha secara keseluruhan“ dari terbaik 7,19 (tahun 2009) sampai dengan terburuk 9,33 (tahun 2003) dan Indonesia selalu berada pada rangking bawah atau terbawah. Survey terakhir menunjukkan bahwa India dan Indonesia mengalami masalah korupsi yang terburuk. Masalah korupsi politik untuk kedua
2 negara sama buruknya, sementara korupsi kelembagaan Indonesia lebih buruk dari India. Di sisi lain, KPK Indonesia dinilai lebih efektif dibanding KPK versi India (Asian Intelligence-Regional Overview, March 2013). Indikator kinerja pemerintahan dan pembangunan dapat juga dilihat dari Indeks Sumber Daya Manusia (The Human Development Index – HDI). HDI menyajikan suatu pengukuran gabungan dari tiga dimensi pembangunan manusia : kesehatan, pendidikan, dan penghasilan. Indeks Indonesia dalam tahun 2012 Indonesia menempati rangking 121 dari 186 negara yang diukur. Indeks Indonesia dalam tahun 2012, kembali berada di bawah Singapura (18), Brunei (30), Malaysia (64), Thailand (103), dan Philipina (114). Fakta di atas menunjukkan bahwa Indonesia menderita penyakit korupsi yang akut dan rendahnya akuntabilitas dalam sistem administrasinya. Hal ini telah merupakan salah satu sebab utama jatuhnya pemerintahan Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun. Pengaruh dari masalah-masalah dalam negeri dan krisis ekonomi yang parah di Asia telah membawa masyarakat untuk memproklamasikan dan menuntut diadakannya reformasi di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya adalah pengendalian manajemen pemerintah, yang merupakan prasyarat terbentuknya good governance. Salah satu akibat utama dari keadaan di atas adalah semakin mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di kalangan lembaga pemerintahan. Kenyataan selama ini menunjukkan betapa wabah KKN tersebar di seluruh instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Korupsi seolah telah menjadi budaya bangsa yang dapat dimaafkan. Namun akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sangat rendah tingkat efisiensi, efektivitas, dan kehematannya. Salah satu hasil penelitian tentang pelayanan publik (Agus Dwiyanto, dkk, 2003) menyimpulkan hasil pelayanan publik oleh pemerintah masih jauh dari prinsip-prinsip good governance. Diantaranya tingkat efisiensi dan efektivitas dilihat dari segi waktu dan biaya masih rendah. Perbedaan antara waktu penyelesaian dan biaya yang dari senyatanya diperlukan dengan yang dibutuhkan masih jauh. Secara umum
3 walaupun sudah terdapat upaya pemerintah, keadaan ini terus berlanjut hingga dewasa ini. Di sisi lain, potensi kebocoran yang terjadi dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) diduga cukup signifikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Alex B. Brillantes, Jr dan Maricel. T. Fernandez, dalam artikelnya ” Restoring Trust and Building Integrity in Government” (IPMR, 2011), Pemerintahan yang responsif adalah kunci untuk melakukan pembenahan kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam konteks inilah bahwa reformasi dalam administrasi publik sifatnya imperative untuk menghasilkan
pemerintahan
yang
responsif
dan
dalam
memperbaiki
kepercayaan terhadap pemerintah. Di dalam sebuah pemerintahan yang sudah terbiasa dengan korupsi, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, memperbaiki kepercayaan adalah masalah yang pokok. Persepsi buruk masyarakat terhadap pemerintah adalah sebuah tantangan dan memperbaiki kepercayaan rakyat sama pentingnya untuk menjadi perhatian. Kepercayaan dapat ditegakkan jika pejabat publik mendapatkan posisi atau kekuasaan melalui proses demokrasi seperti pemilihan, namun tantangan lebih penting adalah bagaimana mempertahankan kepercayaan rakyat saat pejabat publik tersebut memegang kekuasaan. Bukan hanya masalah ketidakefektifan dalam mendorong kesejahteraan rakyat yang mengganjal kinerja APBN. Sebagai contoh, APBN-P 2011 yang telah disahkan pada sidang paripurna DPR ternyata juga membuka celah penyelewengan (Media Indonesia, 27 Juli 2011). Dari Laporan Badan Anggaran DPR mengenai APBN-P 2011, rincian belanja negara sebesar Rp1.320,75 Triliun masih merupakan angka sementara. Akibatnya, anggaran pos-pos belanja tersebut mudah diubah-ubah, termasuk disisipi belanja bodong. Keadaan ini tentu memiliki dampak terhadap kesulitan negara untuk membebaskan diri dari belenggu hutang yang akan menjadi beban generasi mendatang. Pengelolaan hutang (pinjaman luar negeri) masih menyisakan beberapa masalah, yang walau telah menunjukkan perbaikan, tetapi belum memenuhi transparansi dan akuntabilitas. Diantara masalah tersebut adalah sistem pencatatan pinjaman luar negeri yang belum handal, pengarsipan dan pendokumentasian proses pinjaman luar negeri tidak tertib, masih terdapat
4 rekening khusus yang belum ditutup walaupun closing date pinjaman telah lewat, dan pengendalian atas barang/aset negara yang berasal dari dana pinjaman luar negeri tidak memadai sehingga terdapat resiko kehilangan dan penyalahgunaan barang/ aset negara (Laporan BPK, No.39/LHP/XV/12/2008, 19 Desember 2008). Total utang pemerintah Indonesia hingga Mei 2013 mencapai Rp2.023,72 triliun, naik Rp48,30 triliun dari posisi di akhir 2012 yang nilainya Rp1.975,42 triliun. Utang yang berasal dari pinjaman luar negeri dari multilateral, bilateral, komersial, dan lain-lain mencapai Rp579,66 triliun. Adapun pinjaman dalam negeri mencapai Rp1,82 triliun. Jika menggunakan PDB Indonesia sebesar Rp9.270,00 trilun, maka rasio utang Indonesia per April 2013 sebesar 21,83 persen (Perkembangan Utang Negara, Mei 2013). Pengelolaan aset tetap juga masih menyisakan pekerjaan rumah yang berat. Sesuai hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) diketahui bahwa terdapat aset tetap dalam Neraca LKPP senilai Rp2,57 triliun yang berasal dari tiga Kementerian/Lembaga (KL) belum dilakukan Inventarisasi dan Penilaian (IP), masih selisih absolut antara Laporan Hasil IP dan Neraca di 24 KL sebesar Rp78,80 miliar, tidak diketahui keberadaannya sebesar Rp271,34 miliar di 14 KL, belum didukung dengan dokumen kepemilikan sebesar Rp37,33 triliun pada 17 KL, dan dikuasai/digunakan pihak lain yang tidak sesuai ketentuan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) sebesar Rp904,29 miliar pada 14 KL (Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern, LKPP 2012). Keadaan seperti di atas tentu saja tidak dapat ditoleransi mengingat amanat Undang-Undang Nomor 17 tentang Keuangan Tahun 2003 yang menyatakan
bahwa
setiap
rupiah
pengeluaran
negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini sejalan dengan teori akuntansi yang menyatakan bahwa aset tetap untuk dapat disajikan dalam neraca harus memenuhi atribut keberadaan, pemilikan, dan pemanfaatan. Contoh
lain
yang
menunjukkan
betapa
bermasalahnya
sistem
pengendalian manajemen pemerintah (kalaupun sudah dapat dikatakan sebagai
5 sistem). Dalam Neraca LKPP 2011 disajikan aset lain-lain berupa Aset Eks BPPN yang berasal dari Tim Koordinasi sebesar Rp67,5 triliun. Aset Eks BPPN merupakan Aset Pemerintah yang status kepemilikan dan nilainya masih bermasalah sehingga belum dapat diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PT PPA (Persero). Sehubungan dengan berakhirnya tugas BPPN, segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) antara Kepala BPPN dengan Menteri Keuangan tanggal 30 April 2004 yang dinyatakan dalam LHP atas LKPP Tahun 2008 Nomor 25/02/LHP/XV/05/2009 tanggal 20 Mei 2009. Aset Eks BPPN per 30 April 2004 yang diserahkan kepada Menteri Keuangan
berjumlah
80.464
unit
aset
dengan
nilai
buku
sebesar
Rp264.226.963,05 juta dan nilai pengalihan sebesar Rp14.064.784,95 juta. LHP LKPP Tahun 2011 mengungkapkan adanya masalah pelaksanaan inventarisasi dan perhitungan Aset Eks BPPN tidak berdasarkan dokumen yang valid sehingga Aset Eks BPPN sebesar Rp38.117.337,53 juta tidak dapat diyakini kewajarannya. Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar memperbaiki inventarisasi dan perhitungan Aset Eks BPPN dengan memastikan keberadaan Aset Aset Transfer Kit (ATK) yang dibuktikan dengan cessie, menyepakati nilai Perhitungan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pemegang saham, menilai seluruh aset properti dan menyajikan nilai wajar Aset Eks BPPN. Terhadap rekomendasi tersebut Pemerintah telah menindaklanjuti sebagai berikut. a. Pemerintah telah menelusuri dokumen cessie, melakukan verifikasi dokumen cessie dan data Sistem Aplikasi Pengganti Bunisys (SAPB) atas 1.120 debitur sebesar Rp18.964.498,43 juta dari total 1.319 debitur sebesar Rp26.081.854,58 juta. b. Menyelesaikan IP atas aset properti (917 aset eks Tim Pemberesan). c. Membentuk penyisihan guna menyajikan nilai wajar Aset Eks BPPN. Nilai Aset Eks BPPN yang dilaporkan pada Neraca LKPP per 31 Desember 2012 sebesar Rp67.694.989,36 juta dengan nilai penyisihan sebesar Rp58.624.247,25 juta sehingga nilai netto sebesar Rp9.070.642,11 juta.
6 Dari pemeriksaan atas data/dokumen yang diterima terkait pengelolaan dan penatausahaan Aset Eks BPPN tahun 2012 diketahui hal-hal berikut: a. Inventarisasi dan perhitungan atas Aset Eks BPPN telah selesai dilaksanakan, namun pelaksanaan inventarisasi dan perhitungan tidak menggunakan data/catatan Aset Eks BPPN yang dimiliki DJKN seperti Sistem Aplikasi Pengganti Bunisys dan Daftar Nominatif Properti sebagai acuan pelaksanaan inventarisasi dan perhitungan Aset Eks BPPN. Inventarisasi dan perhitungan Aset Eks BPPN tersebut hanya didasarkan atas ketersediaan fisik dokumen yang ditemukan di ruang arsip DJKN. Dengan metode inventarisasi tersebut menimbulkan risiko tidak tercatat dan dilaporkannya semua Aset Eks BPPN yang dikuasai dan dikelola oleh DJKN pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Hal tersebut dibuktikan masih adanya Aset Eks BPPN yang tidak tercatat baik dalam Berita Acara Inventarisasi dan Perhitungan maupun pada Modul Kekayaan Negara (MKN) seperti kepemilikan saham pada PT Karabha Digdaya, saham dan kredit kepada PT Murni Kabelindo, tagihan/kredit kepada PT Dok Kodja Bahari, PT Dharmaniaga, dan PT Dirgantara Indonesia dengan total nilai sebesar Rp4.253.096,98 juta. Selain itu DJKN belum dapat menjelaskan keberadaan Aset Eks BPPN berupa aset kredit yang tercatat dalam SAPB namun tidak tercatat dalam MKN sebesar Rp7.726.261,66 juta. b. Aset properti eks kelolaan PT PPA (Persero) sebanyak 1.900 unit senilai Rp1.121.998.958.113,00 belum disajikan sesuai nilai wajar. Saldo awal Aset properti eks kelolaan PT PPA (Persero) per 31 Desember 2011 adalah sebanyak 3.152 unit sebesar Rp1.262.250.532.556,00. Terdapat mutasi kurang selama tahun 2012 karena adanya penjualan/lelang Aset sebanyak 1.252 unit sehingga menghasilkan saldo per 31 Desember 2012 sebanyak 1.900 unit sebesar Rp1.121.998.958.113,00. Sejak diserahkan kembali kepada Kementerian Keuangan dhi. DJKN, penilaian atas Aset properti eks kelolaan PT PPA hanya dilaksanakan dalam rangka lelang. Nilai hasil penilaian tersebut digunakan untuk menetapkan nilai limit penjualan, dan tidak dilakukan update terhadap database/daftar aset eks kelolaan PT
7 PPA (Persero) sehingga nilai Aset properti eks kelolaan PT PPA (Persero) yang disajikan dalam neraca masih disajikan sesuai nilai buku pada saat diserahkan oleh PT PPA (Persero) dan belum disajikan sesuai nilai wajar. c. Terdapat Aset properti yang tercantum dalam daftar nominatif properti eks BPPN yang tidak termasuk dalam MKN dan daftar properti eks kelolaan PT PPA
(Persero)
sebesar
Rp1.070.152.309.824,00
yang
belum dapat
dijelaskan. Jumlah properti yang diserahkan BPPN sebanyak 4.300 unit dengan nilai buku sebesar Rp6.788.621.009.578,00. Pemeriksaan atas daftar nominatif penyerahan Aset eks BPPN menunjukan terdapat aset properti sebanyak 843 unit dengan nilai buku sebesar Rp1.070.152,31 juta yang tercatat dalam daftar nominatif Aset properti eks BPPN, tetapi tidak tercatat dalam MKN dan daftar properti eks kelolaan PT PPA (Persero). Sampai dengan pemeriksaan berakhir Pemerintah belum dapat menjelaskan perbedaan tersebut. d. Penyelesaian 90 Aset properti eks BPPN yang dokumen kepemilikannya dikuasai BI berlarut-larut. Berdasarkan pemeriksaan atas penatausahaan dokumen sumber aset properti eks kelolaan PT PPA (Persero) dan eks Tim Pemberesan diketahui adanya 90 dokumen kepemilikan Aset jaminan eks BBO/BBKU yang masih dalam penguasaan BI. Menurut BI aset-aset tersebut merupakan jaminan atas fasilitas yang diberikan BI diluar BLBI (KLBI, Pinjaman Sub Ordinasi dan BLBI Non-Cessie). Dari 90 aset tersebut, BI menyatakan 58 dokumen diikat dengan Hak Tanggungan Bank Indonesia (HTBI) dan 32 dokumen tidak diikat dengan HTBI. Sampai dengan 31 Desember 2012 seluruh aset tersebut belum dilakukan penilaian. Secara fisik, penguasaan aset-aset tersebut berada dalam pengelolaan Kementerian Keuangan dengan ditempatkannya penjaga untuk setiap wilayah, tetapi dokumen kepemilikan aset berada di BI. Sampai dengan akhir pemeriksaan, pihak Kementerian Keuangan dan BI telah melakukan beberapa kali pembahasan dan verifikasi atas 90 aset tersebut dengan
8 kesepakatan bahwa aset yang masih diikat dengan HTBI akan dijual/lelang dan hasil penjualan akan diberikan kepada BI sebesar nilai tanggungan atas aset, sedangkan sisanya akan disetorkan ke kas negara. Untuk aset yang tidak diikat dengan HTBI belum diperoleh kesepakatan penyelesaiannya. Berdasarkan pemeriksaan fisik secara uji petik atas aset-aset tersebut sesuai BA Pemeriksaan Fisik Nomor 2/BAPF/LK BUN-TIM 4/4/2013, sebagian besar bangunan sudah dalam keadaan rusak dan terdapat bangunan yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga (masyarakat), yang menempati dengan sepengetahuan penjaga. e. Kementerian Keuangan dhi. DJKN tidak melakukan monitoring atas status saham dan surat berharga. Berdasarkan daftar saham dan surat berharga yang dilaporkan dalam neraca, diindikasikan beberapa saham dan surat berharga sudah tidak aktif (inactive), yaitu saham atau surat berharga pada bank yang sudah tutup/dilikuidasi sehingga nilai aset saham dan surat berharga belum mencerminkan nilai yang wajar. f. DJKN belum mengadministrasikan jaminan Aset kredit eks BPPN secara tertib. Berdasarkan penelusuran terhadap hasil inventarisasi aset kredit eks BPPN
yang
dimuat
dalam
MKN,
diketahui
bahwa
DJKN
belum
mengadministrasikan jaminan Aset kredit eks BPPN secara informatif seperti tanah bangunan, barang inventaris, saham, dan atau surat berharga serta aset lainnya. MKN hanya mencatat jenis barang jaminan namun tidak menjelaskan nilai dan kondisi barang jaminan tersebut, misalnya untuk barang jaminan berupa saham tidak ada informasi perusahaan penerbit saham dan nilai saham serta status perusahaan. Keberadaan dan kondisi barang jaminan akan mempengaruhi tingkat recovery piutang BPPN. Selain Aset kredit yang tercatat dalam Modul Kekayaan Negara, DJKN juga menyerahkan pengurusan piutang Aset kredit Eks BPPN kepada PUPN senilai Rp7.523.918,41 juta, USD331,356,309.54, dan JPY5.615.941.858,85 atau total ekuivalen Rp11.184.617,41 juta. Penyerahan piutang tersebut
9 dilakukan karena DJKN telah meyakini bahwa nilai piutang tersebut telah didukung oleh bukti-bukti dokumen yang memadai. Akan tetapi, metode pelaksanaan inventarisasi dan perhitungan aset kredit memiliki kelemahankelemahan seperti disebutkan di atas sehingga nilai piutang tersebut belum sepenuhnya dapat diyakini kewajarannya. Hasil pemeriksaan terkait nilai Perhitungan Kerugian Pemegang Saham (PKPS) menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. Peningkatan nilai Perhitungan Kerugian Pemegang Saham (PKPS) eks Kepolisian dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar Rp3.374.286,23 juta belum mendapatkan kesepakatan dari pemegang saham pengendali. Sesuai rekomendasi Laporan Audit BPK RI Nomor 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 atas PKPS, perubahan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) memerlukan kesepakatan dengan Pemegang Saham; 2. Pemerintah belum menyajikan nilai kewajiban sebesar Rp23.500,00 juta sebagai akibat adanya putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap yang mewajibkan pemerintah untuk membayar secara langsung dan serta merta nilai kewajiban tersebut kepada salah satu obligor PKPS eks Kepolisian; dan 3. PKPS
eks
Kejaksaan
Agung
senilai
Rp5.309.460,90
juta
masih
menggunakan nilai indikasi yang belum mendapatkan kesepakatan dari pemegang saham. Nilai sisa kewajiban pemegang saham kepada Negara RI umumnya diperoleh dari nilai utang kepada Negara RI cq. BPPN yang tidak didasarkan pada kesepakatan perjanjian antara pemerintah dan/atau BPPN dengan pemegang saham yang bersangkutan. Permasalahan tersebut mengakibatkan Aset eks BPPN yang disajikan pada LKPP Tahun 2012 tidak dapat diyakini kelengkapannya sebesar Rp8.796.413,97 juta (Rp7.726,26 juta + Rp1.070.152,31 juta) dan tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp1.121.998,95 juta. Permasalahan di atas disebabkan pelaksanaan inventarisasi, perhitungan dan penilaian serta pengelolaan Aset Eks BPPN tidak berdasarkan dokumen yang valid.
10 Keadaan di atas menunjukkan masih lemahnya kinerja sistem pengendalian manajemen pemerintah. Hal terakhir yang menambah daftar panjang kelemahan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam pelaksanaan sistem pengendalian manajemen pemerintah adalah terkait dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa ada indikasi perampokan uang rakyat yang merata di semua instansi pemerintah lewat perjalanan dinas. Ditemukan penyelewengan sebesar 30 – 40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp18 triliun selama setahun (Kompas, 14 Mei 2012). Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri, menegaskan BPK menilai Inspektorat Jenderal di kementerian ataupun lembaga pemerintah kerapkali menemukan adanya laporan perjalanan dinas yang fiktif atau digelembungkan (mark up). Sebelumnya Hasan pernah menyatakan audit BPK sering menemukan indikasi adanya manipulasi anggaran dalam perjalanan dinas sehingga terjadi korupsi atas dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang juga merupakan uang rakyat. Dalam setahun, anggaran perjalanan dinas dalam APBN mencapai Rp18 triliun. Jika terjadi manipulasi melalui tiket dan boarding pass serta kuitansi palsu hingga 40 persen, rata-rata penyimpangan anggaran lebih dari Rp7,2 triliun (Kompas, 18 Mei 2012). Kondisi birokrasi pemerintahan menjadi lebih parah lagi dengan merebaknya kolusi dan nepotisme di setiap layer pemerintahan. Koncoisme dan belum berjalannya reward and punishment system, telah menghambat upaya penegakan etika birokrasi dan profesionalisme sumber daya manusia sektor pemerintahan. Kompetisi untuk menjadi yang terbaik di kalangan birokrat hanya menjadi ilusi yang entah kapan akan menjadi kenyataan. Hal ini terutama disebabkan belum jelasnya indikator kinerja yang digunakan dalam menentukan career path seorang birokrat pemerintahan, dan hal ini akan berdampak buruk pada kinerja yang bersangkutan serta pada gilirannya pada kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
11 Kinerja pemerintahan yang belum optimal, diantaranya terlihat dari kinerja Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) yang masih harus diupayakan perbaikannya. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) atas kegiatan APIP pusat maupun daerah dalam tahun 2008 sampai 2009 diperoleh beberapa hasil sebagai berikut : masih terjadinya masalah sinkronisasi pelaksanaan dan pembinaan pengawasan di Tingkat Daerah, penyusunan Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) belum memadai, kode etik masih beragam atau bahkan belum ada, kualitas dan kompetensi SDM pada APIP kementerian/lembaga dan Pemda belum memadai, infrastruktur penunjang dan pendukung yang dimiliki belum memadai, program pengawasan belum disusun secara memadai, laporan hasil pengawasan belum sepenuhnya lengkap dan tepat waktu, dan mekanisme pemantauan tindak lanjut belum optimal (Laporan BPK, No. 35/LHP/XV/10/2009, 6 Oktober 2009). Inspektorat Jenderal dalam melaksanakan review terhadap konsep Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) masih sebatas untuk menilai kecukupan angka-angka laporan keuangan, belum sampai kepada menilai kepatuhan dalam pelaksanaan anggaran, apalagi menilai kebenaran materialnya. Kekurang berdayaan APIP juga terdapat pada APIP Daerah. Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan, yang sebelumnya pernah menjabat Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Solok, kunci untuk memberdayakan fungsi pengawasan internal ada pada kepala daerah. Selama ini ada kepala daerah yang menaruh perhatian pada fungsi pengawasan internal yang dijalankan Inspektorat Daerah, tetapi banyak juga kepala daerah yang tidak peduli (Kompas, 18 Mei 2012). Kinerja APIP Inspektorat baik di pusat maupun daerah tidak terlepas dari keberadaan APIP itu sendiri. Menurut pengamat Reza Syawawi dari Transparency International Indonesia, struktur pengawasan internal yang selama ini ada cenderung membuka ruang terjadinya tawar menawar kasus. Pimpinan inspektorat tentu saja melaporkan semua temuannya kepada pimpinan Institusi. Maka disinilah terjadi upaya untuk menghilangkan unsur pelanggaran hukum atau setidaknya bukan merupakan tindak pidana. Misalnya inspektorat dan
12 pimpinan institusi ”bersepakat” untuk mengarahkannya kepada pelanggaran administrasi. Tidak mengherankan kemudian jika inspektorat dalam laporannya tidak pernah menemukan atau bahkan melaporkan pelanggaran pidana terutama korupsi kepada penegak hukum. Penyakit inilah yang selama bertahun-tahun dipelihara oleh birokrasi. Ke depan harus ada upaya untuk memikirkan ulang bagaimana membangun sistem dan mekanisme pengawasan internal agar bekerja efektif tanpa intervensi dari pimpinan institusi. Karena disitulah ruang benturan kepentingan (conflict of interest) terbuka begitu lebar (Suara Pembaruan, 24 Mei 2012). Kinerja Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang merupakan APIP dibawah langsung Presiden juga belum optimal. Setelah Reformasi 1998, keberadaan BPKP selalu menjadi polemik dengan mulai berfungsinya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai amandemen UUD 1945 dan sesuai Paket Undang-undang Keuangan Negara yaitu UU No 17 tahun 2003, UU No 1 Tahun 2004 dan UU No 15 Tahun 2004. Keadaan menjadi lebih tidak kondusif buat BPKP dengan keluarnya Undang-undang Badan Pemeriksa Keuangan yang baru (Undang-undang No 15 tahun 2006). BPKP seolah berjalan tanpa adanya kejelasan tugas dan fungsi yang dimilikinya. Secara parsial, terjadi kemerosotan kinerja, padahal SDM BPKP termasuk birokrat pemerintah yang handal dari segi kompetensi. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP Nomor 60 tahun 2008) keberadaan BPKP diperjelas, baik kedudukan sebagai APIP yang bertanggung jawab kepada Presiden, maupun tugas dan fungsi melakukan pengawasan atas keuangan negara di bidang tertentu. Masalahnya kemudian, belum terbitnya peraturan pelaksanaan dari PP No 60 menyebabkan masih belum sinkronnya pelaksanaan tugas dan fungsi diantara APIP. Keadaan di atas harus segera diubah menuju arah perbaikan yang signifikan. Tanpa upaya yang terintegrasi dan konsisten, maka yang akan terjadi adalah retorika politik yang lebih merupakan upaya tambal sulam. Birokrasi pemerintahan, baik berupa birokrat secara individu maupun institusi secara utuh
13 harus mengalami perubahan yang mendasar. Pemerintah harus segera memberdayakan institusi pemerintah. Era reformasi yang dicanangkan pada saat berakhirnya pemerintahan Soeharto, telah menciptakan suatu atmosfir yang kondusif untuk menilai kembali kinerja dari institusi pemerintah. Kenyataan membuktikan bahwa baik pemerintahan Habibie, pemerintahan Abdurrachman Wahid, pemerintahan Megawati, maupun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, belum berhasil memanfaatkan momentum emas tersebut. Secara umum, pemerintah belum mampu merumuskan secara tepat apa yang harus dicapai, bagaimana mengelola sumber daya dan kebijakan secara memadai, dan bagaimana melaksanakan sasaran operasional secara efisien, efektif, dan ekonomis.
1.2.
Rumusan Masalah Upaya pemerintah yang belum berhasil menetapkan secara jelas apa
yang ingin dicapai, secara umum menggambarkan bahwa institusi pemerintah belum memiliki misi dan tujuan yang jelas untuk mengartikulasikan dan mengintegrasikan rencana-rencana strategik yang memungkinkan adanya suatu pengukuran kinerja sebagai upaya memenuhi akuntabilitas publik. Upaya institusi pemerintah yang kurang berhasil dalam mengelola sumber-sumber daya dan kebijakan, memiliki keterkaitan erat dengan wabah KKN dalam institusi pemerintah. Lebih signifikan lagi, proses penerapan dari suatu kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan publik, pada umumnya terbukti tidak berhasil. Permasalahan mendasar di atas menunjukkan bahwa pemerintah membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami, mengelola, dan menerapkan akuntabilitas publik secara konsisten sebagai upaya pencapaian kepemerintahan yang baik secara efektif. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, sebagai upaya terintegrasi untuk melakukan reformasi pengendalian manajemen pemerintah, bukan merupakan hal yang mudah. Suasana kemapanan yang melingkupi berbagai aspek
14 kehidupan birokrasi selama ini menjadi kendala utama untuk menerapkan konsep akuntabilitas tersebut. Untuk mencapai kepemerintahan yang baik, khususnya dalam sektor publik, tidak cukup dengan sekedar suatu perubahan yang signifikan atau reformasi, tetapi diperlukan suatu perubahan yang terencana (transformasi) atau yang akan membentuk dan membangun kembali sistem pengendalian manajemen pemerintah, yang tidak hanya mempersoalkan struktur dari institusi pengendalian tetapi juga suatu dimensi sosial yang akan secara efektif mempengaruhi perilaku dan filosofi aparatur yang menjalankan sistem tersebut. Tujuan utama dari transformasi tersebut adalah untuk menciptakan suatu sistem pengendalian manajemen pemerintah yang akan secara efektif mencapai akuntabilitas, sedemikian rupa sehingga mendapatkan pengakuan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Transformasi dimaksudkan untuk menciptakan perubahan yang signifikan dan terencana dalam hal-hal efisiensi, efektifitas, kehematan, kemampuan untuk beradaptasi, dan kemampuan untuk berinovasi. Hal ini dapat dicapai melalui penyempurnaan misi, tujuan, insentif, struktur kekuasaan, dan kebudayaan mendasar dari pelayanan publik. Dengan demikian transformasi pengendalian manajemen pemerintah adalah suatu perubahan terencana terhadap aspek pengendalian dari manajemen pemerintah yang dibutuhkan untuk pencapaian akuntabilitas sebagai upaya menuju good governance, dalam hal ini good governance dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Harapan akan adanya perubahan di atas, membawa kepada suatu pemikiran terhadap peranan pemerintah di masa mendatang. Terdapat kecenderungan peranan sektor publik telah berubah dan akan terus berubah, sebagaimana pendapat bahwa sektor publik di masa mendatang akan berbeda dalam struktur dan proses dari apa yang ada pada saat ini. Suatu hal pasti adalah bahwa perubahan manajerial secara keseluruhan memungkinkan kepentingan publik untuk dilaksanakan dengan lebih efisien, lebih efektif, dan lebih hemat, serta memberikan informasi yang lebih banyak dan lebih baik kepada pembuat keputusan. Cara-cara di atas sebagai suatu
15 kriteria kinerja menyebabkan penerapan dari suatu pendekatan manajerial merupakan hal penting, namun jenis dan sifat dari manajemen harus sesuai dengan kondisi dari sektor publik. Tuntutan
perubahan
terhadap
sistem
pengendalian
manajemen
pemerintah (dalam hal ini SPIP) mengarahkan kepada suatu rumusan permasalahan yang akan diupayakan jawabannya dalam penelitian ini yaitu: "Bagaimana
upaya
mengoptimalkan
Sistem
Pengendalian
Intern
Pemerintah (SPIP) dilaksanakan melalui transformasi pengendalian manajemen Pemerintah?“
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitan Penelitian ini berupaya untuk menjawab perubahan seperti apa yang
diperlukan untuk memperbaiki keadaan saat ini dan untuk menjawab tantangan di masa depan. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan terdahulu, penelitian memiliki beberapa tujuan yang akan dicapai yaitu : 1. Mengetahui penyebab belum optimalnya kinerja manajemen sektor pemerintah di Indonesia. 2. Mengetahui penyebab belum optimalnya kinerja SPIP. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi PMP. 4. Merancang optimalisasi SPIP dengan menerapkan faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi PMP. Optimalisasi SPIP menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting dalam upaya transformasi PMP. Pengendalian intern pemerintah
merupakan
perwujudan akuntabilitas pada setiap lembaga pemerintah. Dengan mengetahui persepsi stakeholders mengenai transformasi PMP, penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan umpan balik menyeluruh mengenai kinerja PMP dewasa ini. 2. Mengetahui faktor-faktor yang diperlukan untuk melaksanakan transformasi PMP.
16 3. Membentuk SPIP yang handal untuk mendukung tercapainya Good Government Governance. Pada kenyataannya, terdapat keinginan kuat terhadap adanya SPIP, untuk menghasilkan dan memberikan pelayanan jasa dan barang yang lebih baik, yang secara jelas menetapkan standar terukur dari kinerja, sedemikian rupa sehingga akuntabilitas dapat diukur secara efektif. Hasil dari studi ini diharapkan akan mampu memberikan suatu perspektif mengenai bagaimana pemerintah dapat melakukan transformasi mekanisme pengendalian sebagai upaya untuk secara efektif memperluas akuntabilitas publik.
1.4.
Keaslian Penelitian Sejak era orde baru dan terus dilanjutkan dalam era reformasi, institusi
internal yang melakukan pengendalian manajemen pemerintah terdiri dari tiga kelompok
besar
yaitu
Inspektur
Jenderal/Inspektur
pada
tingkat
kementerian/lembaga, Inspektorat Wilayah/Badan Pengawas Daerah pada tingkat Provinsi/kabupaten/kota, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam kurun waktu 2005-2010 terdapat beberapa penelitian baik pada tingkat S3/Doktoral maupun S2/Magister yang memilih topik mengenai pengawasan internal yang dapat diidentikkan dengan pengendalian manajemen pemerintah. Diantaranya tesis yang ditulis oleh Indriastuti pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi program pascasarjana Universitas Indonesia dalam tahun 2009 mengenai Analisis Pengembangan Sistem Pengawasan Nasional dalam Mendukung Akuntabilitas pengelolaan Keuangan Negara (sebuah studi tentang revitalisasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai auditor internal pemerintah). Tesis ini fokus pada kinerja dari BPKP dan bukan kinerja APIP lainnya. Tesis ini berupa penelitian terhadap revitalisasi BPKP yang mengandung arti memilih kemungkinan untuk kinerja yang lebih baik berdasarkan mandat dan
17 atau perundang-undangan yang ada tanpa mencoba menyerap aspirasi stakeholder mengenai perubahan yang diperlukan oleh BPKP. Tesis lain fokus pada kinerja Badan Pengawas Daerah kabupaten Tegal dan bukan kinerja APIP lainnya. Tesis ini berupa penelitian terhadap penilaian kinerja kinerja Badan Pengawas Daerah yang mengandung arti melihat apa yang telah, sedang, dan sebaiknya dilakukan berdasarkan model good management dan peraturan perundang-undangan ada tanpa mengupayakan dan atau memperhitungkan variabel-variabel yang memungkinkan optimalisasi sistem pengendalian manajemen pemerintah sesuai dengan hasil penelitian. Sebagaimana telah diuraikan diatas, beberapa penelitian terdahulu pada umumnya meneliti APIP secara parsial, dengan keterbatasan peraturan perundang-undangan yang ada, serta penggunaan variabel dan faktor perubahan yang minimal. Tesis yang ditulis oleh Indriastuti (Pascasarjana UI, 2009) misalnya, mengambil fokus revitalisasi BPKP. Pokok permasalahan dan sekaligus fokus kajian dalam penelitian adalah, "sejauh mana revitalisasi oleh BPKP dilaksanakan agar lembaga tersebut berperan dan berfungsi strategis sebagai Badan Pengawas Internal Pemerintah?“. Hasil penelitian berupa kesimpulan adalah sebagai berikut: a. Auditor internal pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden hanyalah BPKP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa revitalisasi belum berjalan optimal. b. BPKP belum memiliki kejelasan dalam hal koordinasi pelaporan. c. Auditor Presiden merupakan bagian dari auditor internal pemerintah yang menangani hal-hal bersifat lintas departemen maupun lintas kewilayahan. d. Belum ada kebijakan pengawasan nasional yang menempatkan BPKP sebagai koordinator APIP. e. Penertiban peraturan perundangan tentang BPKP tidak sepenuhnya dalam kendali BPKP. f. BPKP memiliki empat domain strategis yaitu: capacity building, current issue, check and balance, dan clearing house.
18 Selain beberapa penelitian sebagaimana disebutkan diatas, terdapat beberapa tulisan yang juga membahas mengenai manajemen pemerintah, diantaranya terdapat artikel yang ditulis oleh Alex B. Brillantes, Jr. and Maricel T. Fernandez, dengan judul Restoring Trust and Building Integrity in Government : Issues and Concerns in The Philippines and Areas for Reform, yang menyimpulkan bahwa penurunan kepercayaan dalam pemerintah disebabkan oleh banyak faktor termasuk ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam pelayanan publik, pemborosan sumber daya publik, pemberian dan korupsi, kurangnya integritas dalam pemerintahan, kepemimpinan yang buruk, pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlebihan, reorganisasi dan perubahan struktural yang tidak efektif, dan sentralisasi yang berlebihan. Singkatnya, pemerintahan yang tidak responsif adalah penyebab terjadinya penurunan kepercayaan yang terus berlangsung. Artikel ini kemudian menawarkan suatu kerangka kerja dari bidang yang perlu direformasi dengan tujuan utama adalah memperbaiki kepercayaan terhadap pemerintah. Bidang-bidang ini meliputi : (1) Reformasi dalam institusi dan struktur, termasuk reformasi dalam organisasi, proses dan prosedur; (2) Reformasi dalam pola pikir, paradigma dan perilaku; (3) Reformasi dalam kepemimpinan pada berbagai tingkatan; dan (4) Reformasi dalam masyarakat. Dari artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa diperlukan reformasi secara holistik, namun apabila diperhatikan lebih jauh dari artikel ini masih terdapat bidang yang memiliki potensi untuk direformasi, adalah misi dan tujuan organisasi, etika organisasi, dan kebijakan publik dari segmen-segmen manajemen. Penelitian kami mencoba membahas potensi reformasi hal-hal tersebut dalam upaya mencapai transformasi pengendalian manajemen pemerintah sebagaimana yang diinginkan. Dari uraian tesis dan artikel di atas, dapat disimpulkan adanya keaslian penelitian yang dilakukan oleh penulis, dengan melihat tiga hal sebagai berikut: 1. Penelitian yang selama ini dilaksanakan belum pernah melibatkan APIP secara
keseluruhan,
penelitian
yang
ada
menggunakan
Kementerian/Lembaga, APIP Daerah, dan BPKP secara sendiri-sendiri.
APIP
19 2. Penelitian mengenai pengawasan internal selama ini belum dilengkapi dengan keberadaan peraturan perundangan di bidang pengawasan dan atau pengendalian. 3. Variabel atau faktor yang digunakan sebagai model pengendalian manajemen pemerintah pada penelitian ini relatif belum digunakan dalam penelitian terdahulu.