BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di
dalam
pasal
1
Undang-Undang
Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasa-na belajar dan proses pembelajaran. Hal ini dimaksud-kan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdas-an, akhlak mulia
serta
keterampilan
yang
diperlukan
dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk men-capai upaya tersebut, penyelenggara pendidikan dila-kukan secara berjenjang dengan pola, teknis, dan sis-tematika tertentu. Penyelenggaraannya diatur dalam kurikulum yang
disesuaikan
dengan
perkembangan
iptek,
masyarakat, dan kebutuhan pembangunan. Selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
pengembangan
manusia
Indonesia
seutuhnya,
pendidikan nasional juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan, mutu kehidupan dan martabat manusia Indoensia. Oleh karena itu, sistem pendidik-an yang
diberlakukan
saat
ini
perlu
disempurnakan
sehingga mampu menghasilkan tamatan yang bermu-tu sebagai modal untuk bersaing, mulai dari tingkat lokal, regional,
nasional,
bahkan
di
tingkat
global.
Penyempurnaan, pembaharuan, maupun perubahan di
bidang pendidikan harus diarahkan untuk menja-wab tantangan, tuntutan, dan masalah pendidikan di masa depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan, tuntutan, dan masalah pendidikan di masa depan adalah penyempurnaan kurikulum. Hal ini sudah dilakukan mulai dari penyempurnaan Kurikulum 1994.
Kurikulum 1994 memuat lima
komponen yaitu komponen tujuan pendidikan nasio-nal, komponen
tujuan
institusional,
komponen
tujuan
kurikuler mata pelajaran, komponen tujuan instruksional umum, komponen tujuan instruksional khusus. Dari kelima komponen tujuan itulah yang diaplikasi-kan dalam satuan pendidikan atau SP untuk bekal mengajar dalam beberapa kali pertemuan. Manajemen keuangan berasal dari Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3)hanya memberikan bantuan berupa uang dan bantuan pembangunan sekolah. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendidikan di Indonesia semakin hari semakin terpuruk, sehingga
timbul
pembaharuan
Kurikulum
Berbasis
Kompetensi (KBK). Kurikulum ini dianggap mampu menjawab
problematika
seputar
rendahnya
mutu
pendidikan di kala itu. Dalam KBK peserta didik diarahkan untuk menguasai sejumlah kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditentukan (Kunandar, 2005) Gordon (Mulyasa, 2002) menjelaskan beberapa aspek
yang
terkandung
sebagai berikut:
dalam
konsep
kompetensi
(1) pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, (2) pemahaman (under-standing), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki individu, (3) kemampuan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melaku-kan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepa-danya, (4) nilai (value), yaitu suatu standar peri-laku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang, (5) sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang dating dari luar, dan (6) minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.
Sedangkan KBK memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar (learning out-comes) dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, termasuk CTL (Contextual Teaching and Learning) (Nurhadi, 2003), (4) sumber belajar bukan hanya guru, melainkan juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004) sudah 3 tahun berjalan. Menteri Pendidikan menuai kritik dari praktisi pendidikan.Beberapa kritik terhadap kurikulum ini antara lain: masih sarat dengan materi sehingga
guruketakutan
akan
dikejar-kejar
materi,
masih belum jelasnya pengertian kom-petensi, kelulusan belum terlalu aplikatif, adanya sistem penilaian yang belum
jelas
dan
terukur.
Maka
penyelenggara
pendidikan di Indonesia mengubah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
KTSP merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru dan komite) diberikan kewenangan untuk pengembangan kurikulum seperti membuat indikator, silabus dan beberapa komponen kurikulum. Dengan diberlakukannya kurikulum KTSP ini diharapkan dapat menyempurnakan sistem pendidik-an yang ada sebelumnya di Indonesia (Kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, 2004), serta mampu menja-wab permasalahan pendidikan yang selama ini menja-di polemik di dunia pendidikan Indonesia (Muslich, 2007). KTSP merupakan peningkatan kualitas pendidikan telah banyak dilakukan oleh Pemerintah.Dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem
evaluasi,
perbaikan
sarana
pendidikan,
pe-
ngembangan dan pengadaan bahan materi ajar, pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya serta pembinaan manajemen sekolah. Tetapi kenyataannya upaya tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Adanya Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Peraturan Daerah menandai dimulainya otonomi dan desentralisasi kepala daerah. Sejalan dengan arah kebijakan otonomi daerah dan desen-tralisasi yang ditempuh daerah
pemerintah, meningkat,
tanggung salah
jawab
satunya
pemerintah manaje-men
pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah di
bidang
pendidikan,
berbagai
tantangan
dan
permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini muncul ke permukaan. Implikasi dari kebijakan desentralisasi pendidikan menjadi bahan pertimbang-an dan perumusan untuk melakukan penyempurna-an kebijakan ke arah yang lebih baik oleh pemerintah. Kebijakan desentralisasi pendidikan diharapkan akan
mendorong
peningkatan
pelayanan
di
bidang
pendidikan kepada masyarakat, yang bermuara pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan dalam tataran yang paling bawah (at the bottom), yaitu sekolah melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (Jalal dan Supriadi, 2001). Manajemen
Berbasis
Sekolah
adalah
model
pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian kepada sekolah dan mendorong mengambil keputusan partisipasif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayan-an yang ditetapkan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabu-paten, dan Kota.Dalam hubungannya dengan model MBS, keberadaan komite sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan MBS (Dadang, 2010).
Tabel 1.1 Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan Pola Lama
Menuju
Subordinasi Pengambilan keputusan terpusat Ruang gerak kaku Pendekatan birokratik Sentralistik Diatur Overregulasi Mengontrol Mengarahkan Menghendari resiko Gunakan uang semuanya
Individual yang cerdas Informasi terpribadi Pendelegasian Organisasi herarkis
Pola Baru Otonomi Pengembilan keputusan partisipatif Ruang gerak luwes Pendekatan professional Desentralistik Motivasi diri Deregulasi Mempengaruhi Memfasilitasi Mengelola resiko Menggunankan uang seefisien mungkin Teamwork yang cerdas Informasi terbagi Pemberdayaan Organisasi datar
Sumber: PSDMP dan PMP Kemendiknas, 2011
Di dalam penjelasan Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat (1) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah dan guru dibantu oleh Komite Sekolah/Madrasah dalam menge-lola kegiatan pendidikan. Otonomi diberikan agar sekolah dapat
leluasa
mengelola
sumber
daya
dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuh-an serta tanggap terhadap kebutuhan sekolah. Partisi-pasi wali murid dan komite agar lebih memahami pendidikan, membentuk serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep MBS sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik kepada wali murid, komite, maupun pemerintah.
Sutomo (2004), menyatakan bahwa kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan
sekolah,
yang
akan
menentukan
bagaimana
tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Sehubungan dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), kepala sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan efektivitas kerjanya. Dengan begitu, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai paradigma baru pendidikan dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Tabel 1.2 Tugas Kepala Sekolah, Guru, Wali Murid dan Komite Sekolah Sebelum dan Sesudah MBS Tugas Kepala Sekolah
Sebelum MBS 1)
2)
3)
Kepala sekolah hanya sebagai administrator kebijakan Menjalankan keputusan pemerintah pusat dalam pelaksanaan kurikulum berdasrakan petunjuk teknis, sehingga tidak ada inovasi. Fokus pada hal-hal teknis administratif.
Sesudah MBS 1)
2)
3)
Memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah Pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja sehingga sampai pada imbal jasa Mampu memobilasi sumberdaya yang ada di sekitarnya
Guru
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Komite Sekolah dan Wali Murid
1)
2)
3)
Penyampai pengetahuan Pengalihan pengetahuan Pengalih keterampilan, Satu-satunya sumber belajar Jarak antara Guru dan Siswa Bukan sebagai penggambil keputusan daam mengelola pembelajaran
1)
Hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pihak luar tidak dapat masuk dalam wilayah kewenangan profesional para guru.
1) Pemberi pertimbangan (advisory
Menekankan pada studentcentered activities 2) Kepedulian para guru terhadap materi yang diajarkan 3) Pembimbing 4) Pembina 5) Pengajar 6) Pelatih 7) Fasilisator 8) Akrab dengan penuh tanggung jawab terhadap siswa 9) Memperlakukan peserta didik sebagai mitra dalam menggali dan mengolah informasi. 10) Diberikan keleluasaan untuk mengelola pembelajaran agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; a. Ikut aktif dalam pertemuan menyusun program sekolah b. Aktif mempengaruhi dalam pengambilan keputusan 2) Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; a. Mengidentifikasi sumber dana dan daya pendidikan lingkungan sekolah b. Terlibat dalam perencanaan RIP dan RAPBS 3) Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; a. Keterbukaan program dan keuangan sekolah b. Ikut aktif dalam pemeriksaan keuangan sekolah 4) Mediator antara pemerintah (mediating agency) dengan masyarakat di satuan pendidikan. a. Melakukan sinergi antara program sekolah dengan program-program yang ada di masyarakat dan pemerintah
5) Dukungan dan peran serta
6)
masyarakat dalam menunjang program pembelajaran di sekolah bersifat fisik, atau membantu proses pembelajaran. Membantu guru kelas dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan)
Sumber: Depdiknas, UNESCO dan UNICEF, 2005; Ditjen MPDM Depdiknas, 2006
Selain kepala sekolah, guru adalah salah satu penentu
keberhasilan
Manajemen
Berbasis
Sekolah
(MBS) di Gugus Puspitaloka Bandungan yang kurang memiliki
kesiapan
prestasi
siswa
menjalankan
menurun.
perannya
Keberhasilan
sehingga
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) juga menuntut Wali Murid dan Komite
terutama
dalam
hal
pengadaan
dana
dan
pemberian bantuan berupa hibah, sumbangan, beasiswa dan lain-lain serta pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung dan tanah masih minim. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah juga menuntut guru untuk berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru adalah teladan dan panutan langsung peserta didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu
siap
dengan
segala
kewajibannya.
Menurut
Arikunto (2005), guru idaman harus memiliki sepuluh persyaratan yang dirumuskan dalam Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Menguasai materi pelajaran Memahami teori pendidikan Mampu mengelola kelas Menguasai strategi pembelajaran
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Memahami teori interaksi belajar mengajar Mampu memilih dan menggunakan alat-alat pembelajaran Mampu melaksanakan penilaian Mampu melaksanakan bimbingan dan konseling Mampu melaksanakan administrasi kelas Mampu melaksanakan penelitian sederhana
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ada-lah peranserta wali murid dan komite sebagai mitra dalam peningkatan kualitas sekolah. Mereka memiliki peran bukan hanya dalam memberikan dukungan finansial, tetapi
juga
lingkungan
dengan sekolah
menjaga yang
aman
dan dan
mencipta-kan tertib
serta
menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran komite dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul (Ismail, 2008). Secara realita bentuk-bentuk peran komite dapat ter-wujud dalam aktivitas pendirian dan penyelenggaraan suatu pendidikan, pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli,pengadaan
dan
atau
penyelenggara
program
pendidikan, pengadaan dana dan pemberian bantuan berupa
wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa
dan lain-lain serta pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung dan tanah. Dari hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam perencanaan, desain dan implementasi MBS yang tidak matang akan menghasilkan sedikit dampak positif. Namun penelitian terbaru menunjuk-kan MBS dapat meningkatkan program instruksional dan menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam belajar siswa. Ada juga studi yang menyimpulkan bahwa MBS menyebabkan
perubahan dalam budaya sekolah, praktik kelas dan prestasi siswa (Wong, 159: 2009). Studi kasus lain terkait kebijakan implementasi MBS adalah di Kota Sukabumi (Dadang, 2010). Secara kuantitas seluruh sekolah di semua satuan pendidik-an telah menerapkan konsep MBS, namun secara kualitas belum seluruhnya menerapkan sesuai dengan prinsip umum MBS. Hal ini menunjukkan terjadinya kesejangan antara harapan dengan kenyataan di lapangan. Hal ini disebabkan belum adanya strategi yang jelas dan tepat di dalam
mengukur
kinerja
seko-lah
dalam
kerangka
pemberdayaan implementasi MBS. Gugus Puspitaloka Bandungan merupakan gugus sekolah dasar di Kecamatan Bandungan yang meliputi SD Bandungan I; SD Bandungan II; SD Bandungan III,; SD Jetis I; dan SD Jetis II; SDIT Assalam; SD Almina dan MI
Bandungan
dipilih
seba-gai
tempat
penelitian
dikarenakan SD Bandungan I sebagai bagian dari gugus Puspitaloka Bandungan merupakan salah satu sekolah dasar
yang
ditunjuk
sebagai
tempat
rintisan
implementasi kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Berdasarkan
pengamatan
peneliti
bahwa
kesiapan kepala sekolah, kesiapan guru, kesiapan wali murid dan kesiapan komite komite sekolah dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) seperti yang diuraikan di atas nampaknya belum optimal. Berdasarkan pengamatan pendahuluan di Gugus Candi Gedong Songo belum semua kepala sekolah menerapkan MBS disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (a) kualifikasi pendidikan sumber daya guru, sebagian
besar sekolah masih berpendidikan D2; (b) peran serta wali murid dan komite dalam pelaksa-naan MBS di beberapa sekolah masih rendah disebab-kan oleh faktor lingkungan yaitu berada di lokasi wisata dan lokalisasi, serta
rendahnya
kesadaran
untuk
meningkatkan
kualitas pendidikan; (c) sumber pendanaan di sebagian besar sekolah masih menggan-tungkan pada dana BOS, kecuali SD Bandungan I yang merupakan sekolah rintisan
MBS
mendapatkan
suport
pendanaan
pemerintah.Di samping itu kemam-puan ekonomi orang tua siswa termasuk dalam kelas menengah sehingga secara mandiri mampu mening-katkan sarana prasarana pendidikan yang memadai; dan (d) metode pembelajaran antara sekolah dasar dan MI berbeda termasuk di dalamnya
alat
peraga,
se-hingga
berdampak
pada
implementasi MBS. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang ke-siapan kepala sekolah, kesiapan guru dan peran serta wali murid
dan
komitedalam
pelaksanaan
Manajemen
Berbasis Sekolah.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana
kesiapan
kepala
sekolah
terhadap
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Gugus Puspitaloka Bandungan?
2) Bagaimanakesiapan Manajemen
guru
Berbasis
terhadap
Sekolah
pelaksanaan
(MBS)
di
Gugus
Puspitaloka Bandungan? 3) Bagaimana kesiapan masyarakat terhadap pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Gugus Puspitaloka Bandungan? 4) Bagaimana
kesiapan
komite
sekolah
terhadap
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Gugus Puspitaloka Bandungan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana yang dirumuskan di atas, peneliti bertujuan untuk: 1) Mengetahui dan mendeskripsikan kesiapan kepala sekolah terhadap pelaksanaan Manajemen Berba-sis Sekolah (MBS) di Gugus Puspitaloka Bandung-an; 2) Mengetahui dan mendeskripsikan kesiapan guru terhadap pelaksanaan Manajemen Berbasis Seko-lah (MBS) di Gugus Puspitaloka Bandungan; 3) Mengetahui
dan
mendeskripsikan
kesiapan
ma-
syarakat dan komite sekolah terhadap pelaksanaan Manajemen
Berbasis
Sekolah
(MBS)
di
Gugus
Puspitaloka Bandungan; 4) Mengetahui dan mendeskripsikan kesiapan peran komite terhadap pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Gugus Puspitaloka Bandungan.
1.4 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat, sebagai berikut: 1) Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi Kepala Sekolah, Guru, wali murid, khususnya di Sekolah Dasar Gugus Puspitaloka Bandungan dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang menuntut kesipan kepala sekolah, guru dan peran serta masyarakat; 2) Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah
kepustakaan
pendidikan,
khususnya mengenai kesiapan kepala sekolah, guru, wali murid dan komite sekolah dalam pelaksanaan MBS, serta menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang pelaksa-naan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)