BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Defisit neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 berlanjut sampai awal tahun
2013 ini. Di tahun 2012 kemarin, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 1,7 M. Sementara itu, di periode Januari-April 2013 neraca perdagangan kembali mengalami defisit sebesar USD 0,4 M. Defisit total neraca perdagangan dipicu oleh defisitnya neraca migas, padahal neraca non migas masih mengalami surplus. Data dari BPS tahun 2012 menyebutkan bahwa neraca migas defisit mencapai USD 5,7 milar, sementara neraca non migas surplus sebesar USD 4 M. Di empat bulan pertama tahun ini neraca migas defisit USD 4,6 M ditambah oleh menurunnya surplus perdagangan non migas yang hanya mencapai USD 2,7 M selama periode Januari-April tahun ini, sehingga menyebabkan total neraca perdagangan Indonesia kembali defisit. Berdasarkan data perkembangan total ekspor impor Indonesia sejak tahun 1950. Defisit total perdagangan Indonesia hanya terjadi di tahun 1952, tahun 1961 dan tahun 2012. Namun demikian, nilai defisit perdagangan Indonesia di tahun 1952 hanya mencapai USD 14 juta. Nilai defisit perdagangan Indonesia pada tahun 1961 bahkan lebihi kecil, hanya sebesar USD 8 juta. Defisit perdagangan di tahun 1952 dan tahun 1961 tersebut jauh lebih kecil dibandingkan defisit perdagangan tahun 2012 yang mencapai USD 1,6 miliar. Sebagaimana telah disampaikan di atas, defisit perdagangan bersumber dari defisit perdagangan migas. Berdasarkan fakta empiris selama 2012, defisit neraca perdagangan terutama bersumber dari defisit hasil minyak yang mencapai USD 24,5 miliar atau volumenya mencapai 22,8 juta Ton (18,2 juta kiloliter) (Tabel 1.1).
1
ANALISIS PENINGKATAN PENGGUNAAN BIODIESEL SEBAGAI UPAYA MENGATASI DEFISIT NERACA PERDAGANGAN MIGAS
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Jakarta – 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Gedung Utama Lt. 16 Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693
Tabel 1.1. Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia Nilai : USD Miliar URAIAN
Perub.(%) 2013/2012
Trend (%) 2008-2012
91.1 19.7 71.4
-3.4 -4.1 -3.2
13.9 14.4 13.8
48.5 10.0 38.5
45.4 8.1 37.3
-6.4 -18.4 -3.3
12.9 13.4 12.8
191.7 42.6 149.1
45.7 10.5 35.2
45.7 11.5 34.1
-0.2 9.4 -3.1
15.0 15.3 14.9
-1.7 -5.6 3.9
2.8 -0.5 3.3
-0.2 -3.4 3.1
-108.5 526.4 -5.4
0.0 0.0 -13.6
2008
2009
2010
2011
2012
Jan-Mar 2012
Jan-Mar 2013
Total Perdagangan Migas Non Migas
266.2 59.7 206.5
213.3 38.0 175.3
293.4 55.5 238.0
380.9 82.2 298.8
381.7 79.5 302.2
94.3 20.5 73.8
Ekspor Non Migas
Ekspor Migas Non Migas
137.0 29.1 107.9
116.5 19.0 97.5
157.8 28.0 129.7
203.5 41.5 162.0
190.0 37.0 153.1
Impor Non Migas
Impor Migas Non Migas
129.2 30.6 98.6
96.8 19.0 77.8
135.7 27.4 108.3
177.4 40.7 136.7
7.8 -1.4 9.2
19.7 0.0 19.6
22.1 0.6 21.5
26.1 0.8 25.3
Neraca Non Migas
Neraca Perdagangan Migas Non Migas
Sumber : BPS (diolah)
Tahun 2012 konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi mencapai 45,0 juta kilo liter (KL), melebihi kuota APBN sebanyak 40,0 juta KL. Tahun 2013 subsidi APBN dianggarkan mencapai 46,0 juta KL. Menurut ESDM, 79,3% konsumsi BBM bersubsidi tahun 2012 berasal dari impor (sekitar 35,6 juta KL). Tingginya impor BBM, tak bisa lepas dari konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri yang begitu melonjak dari tahun ke tahun. Tabel 1.2. Perkembangan Impor Indonesia 2012 URAIAN IMPOR MIGAS (Juta Ton) Minyak Mentah Hasil Minyak Gas
2011 43.7 13.3 28.8 1.6
2012 44.3 12.6 28.5 3.2
Kebutuhan Minyak Dalam Negeri (Juta Ton)
33.0
36.0
Kontribusi Impor Hasil Minyak dalam Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri (%)
87.4
79.3
Sumber : BPS (diolah)
Disisi lain kebijakan hilirisasi CPO dan produk turunannya menyebabkan Indonesia juga menjadi penyuplai biodiessel yang berasal dari CPO. Perkembangan ekspor Biodiessel mencapai 1,37 juta ton dengan nilai ekspor mencapai USD 1,45 milyar di tahun 2011. Pertumbuhan volume ekspor biodiessel dari tahun 2007-2011 mencapai 95,04% dan pertumbuhan nilai ekspornya mencapai 125,89%. Volume ekspor yang cukup besar 2
tersebut hanya mengunakan kapasitas industri sebesar 35% karena kapasitas terpasang industri pengolahan biodiessel di dalam negeri mencapai 3,9 juta ton atau senilai dengan 4,2 juta kilo liter. Jika penggunaan biodiessel dalam negeri dapat ditingkatkan untuk menggantikan bahan bakar minyak dalam negeri, maka defisit perdagangan akan dapat berkurang. Selain itu peningkatan penggunaan biodiessel di dalam negeri akan menghemat devisa negara. Saat ini ada kebijakan yang menghambat percepatan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel di dalam negeri. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 32 tahun 2008, dimana pencampuran biodiesel ke dalam solar ditentukan 5% untuk Industri dan Komersial dari tahun 2010 sampai 2015. Meskipun demikian, berdasarkan data empiris kebijakan tersebut menekan volume impor solar sebesar 6,4% atau senilai USD 0,5 M. Jika pencampuran bisa mencapai 10%, diperkirakan akan mengurangi impor solar sebesar 28,6% atau senilai USD 2,42 M. Dari uraian di atas, maka perlu adanya rekomendasi kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM sampai pada tingkat harga biofuel lebih kompetitif, menyesuaikan harga patokan BBN yang sesuai dengan nilai keekonomiannnya (minimal 120% dari HPE), dan mempercepat penerapan batas minimum (persentase) pencampuran biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10% dan seterusnya). 1.2.
Tujuan Kajian Berdasarkan uraian masalah tersebut, maka tujuan dari kajian ini adalah :
1. Merumuskan kebijakan untuk memperbaiki neraca perdagangan. 2. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan penggunaan biodiessel di dalam negeri yang bersumber dari CPO untuk menggantikan bahan bakar minyak sehingga dapat menghemat devisa. 3. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan hilirisasi industri CPO yang sudah berjalan dengan baik, dan meningkatkan pemanfaatan Investasi di industri biodiessel. 4. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan penyerapan bahan baku CPO di dalam negeri, agar mampu meningkatkan harga CPO di pasar internasional, yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekspor produk turunan CPO.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Gambaran Umum Bahan Bakar Minyak (BBM) Energi akan tetap dibutuhkan dari masa ke masa. Pada era industrialisasi dan
transportasi seperti saat ini, energi digunakan sebagai bahan bakar utama penggerak sektor tersebut. Energi yang umumnya sekarang digunakan berasal dari bahan bakar fosil yaitu minyak bumi, gas alam dan batubara. Ketiga bahan bakar tersebut saat ini merupakan pensuplai energi terbesar di dunia. Bahan bakar fosil mampu mendominasi 81% energi primer dunia dan juga berkontribusi pada 66% pembangkitan listrik global. Padahal bahan bakar tersebut termasuk sumber daya energi yang tidak dapat diperbaharui dan lama kelamaan keberadaannya akan langka dan habis. Beberapa data menyebutkan bahwa sampai dengan taraf tertentu, krisis energi dimasa datang yang akan kita hadapi (Situmorang, Elizabeth, 2012). Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil memunculkan dua ancaman serius yaitu : 1. Faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasi nya. 2. Polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil kelingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung bagi kesehatan manusia. Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi maupun pembawa energi yang terjamin keberlanjutannya dan lebih ramah lingkungan. Salah satu solusi untuk menghadapi tantangan krisis energi dimasa depan adalah mencari sumber energi alternatif. Energi alternatif adalah sumber energi yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar konvensional. Indonesia yang selama ini memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah kini harus dipertanyakan kembali. Setidaknya sumber daya alam seperti minyak bumi yang dieksploitasi habis-habisan telah menunjukkan bahwa kandungannya semakin lama semakin menipis. Hasil temuan baru-baru ini menunjukkan persediaan total minyak Indonesia hanya 5,2 milyar barrel dan 4,6 milyar barrel potensi minyak. Jika produksi 4
rata-rata berada pada 0,54 milyar barrel per tahun, maka rasio yang didapat antara persediaan dan produksi adalah 18 (Abdullah 2005, 120). Artinya dalam 18 tahun ke depan, persediaan minyak Indonesia akan habis. Kekayaan minyak bumi Indonesia kini tidak lagi menjadi sumber utama penghasilan negara. Sejak 1996 produksi minyak Indonesia menurun sama halnya dengan negara-negara penghasil minyak lainnya. Tabel 2.1 di bawah ini memperlihatkan negaranegara penghasil minyak mengalami penurunan jumlah produksi dan tidak dapat lagi meningkatkan produksi mereka. Hal ini terjadi di negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Norwegia dan terjadi pula di Indonesia dan Venezuela yang merupakan anggota OPEC. Negara-negara tersebut telah kehilangan sepertiga kapasitas puncak produksinya. Walaupun di negara-negara tersebut dan di negara-negara lain juga ditemukan cadangan minyak namun secara persentase jumlahnya tidak lagi sebanyak dulu (Tsoskounoglu, Ayerides dan Tritopoulou 2008). Tabel 2.1. Puncak Produksi Minyak di Negara-negara Penghasil Minyak 2006 (Produksi 1000 Puncak Tahun Barrel/Hari) USA 6,871 1970 Indonesia 1,071 1991 UK 1,636 1999 Venezuela 2,824 1998 Norwegia 2,778 2001 Total 15,180 Negara
Puncak Produksi (1000 Barrel/Hari) 11,297 1,669 2,909 3,510 3,418 22,803
Penurunan (%) -40 -32 -38 -14 -13 -33
Sumber: BP: 2007 diambil dari Tsoskounoglu, Ayerides dan Tritopoulou 2008
Konsumsi energi komersial di Indonesia terus mengalami peningkatan dari 218,2 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 1990 menjadi 546,6 juta SBM pada tahun 2005 atau meningkat sebesar 6,3% per tahun. Berdasarkan jenis energinya, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan konsumsi energi komersial terbesar. Sebagian besar konsumsi BBM ini digunakan untuk sektor transportasi. Peningkatan konsumsi BBM ini membebani anggaran pemerintah dalam pemberian subsidi. Beban tersebut akan terus meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak dunia karena pemerintah masih harus mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Agus Sugiyono, 2008). 5
Tahun 2012 konsumsi BBM bersubsidi mencapai 45,0 juta KL, melebihi kuota APBN sebanyak 40,0 juta KL. Tahun 2013 subsidi APBN dianggarkan mencapai 46,0 juta KL. Kuota dan realisasi BBM bersubsidi dapat dilihat pada gambar 2.1. Juta Kiloliter 50.0 40.0
36.9 37.7
36.5 38.6
2009
2010
40.5 41.2
40.0
45.0
46.0
30.0 20.0 10.0 0.0
2011 Kuota
2012
2013
Realisasi
Gambar 2.1. Kuota dan Realisasi Volume BBM Bersubsidi Sumber : ESDM, dalam presentasi “KEBIJAKAN MIGAS DALAM MENOPANG KETERSEDIAAN ENERGI NASIONAL”, dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki Neraca Perdagangan (20 Maret 2013)
Kebutuhan minyak dunia juga semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara. Jika pertumbuhan ekonomi sesuai dengan perkiraan dalam dua puluh tahun ke depan, permintaan minyak diproyeksikan akan meningkat dari 80 juta barrel/hari menjadi 120 juta barrel/hari pada tahun 2030 atau meningkat sekitar 50 persen dari sekarang (Dorian dan Franssen dan Simbeck 2006). Darimanakah kebutuhan yang meningkat sebanyak 50 persen itu dapat dipenuhi? Yang perlu menjadi catatan, negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) saat ini telah beroperasi untuk memproduksi minyak pada kapasitas maksimal namun kesulitan untuk memenuhi permintaan minyak dunia sehingga menyebabkan harga minyak naik.
6
180
160
140
120
l 100 re a B re p $ S 80 U 60
40
20
0
ICP
Mogas92(Bensin)
JetKero
Gasoil
Gambar 2.2. Perkembangan ICP (Indonesia Crude Price) dan BBM Sumber : ESDM, dalam presentasi “KEBIJAKAN MIGAS DALAM MENOPANG KETERSEDIAAN ENERGI NASIONAL”, dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki Neraca Perdagangan (20 Maret 2013)
Gambar diatas memperlihatkan dan menunjukkan menurunnya produksi minyak Indonesia dan bahwa Indonesia sangatlah rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia. Namun di sisi lain konsumsi bahan bakar minyak domestik mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal itu menunjukkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan bakar fosil sehingga tren harga minyak terus meningkat. Meskipun demikian, jika diperhatikan lebih jauh, terjadi perbedaan harga yang semakin besar antara keempat harga tersebut di tahun 2012.
2.2.
Gambaran Umum Bahan Bakar Nabati (BBN) Secara umum, porsi minyak bumi dari total pemenuhan energi nasional dengan
melibatkan sumber-sumber energi lainnya masih sekitar 52%; suatu jumlah yang masih sangat tinggi (BPPT). Dengan memperhatikan kondisi Energi Nasional saat ini, maka 7
diperlukan upaya untuk mencari sumber-sumber minyak bumi baru, memperbesar porsi pemakaian sumber energi lain dan/atau mencari alternatif pengganti minyak bumi. Untuk mengantisipasi permasalahan energi nasional, melalui Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah ditetapkan beberapa sasaran kondisi energi nasional yang harus dipenuhi pada tahun 2025 seperti terlihat pada Gambar 2.3 mengenai target bauran energi. Pada gambar tersebut diperlihatkan bahwa porsi kuota penggunaan minyak bumi pada tahun 2025 ditetapkan sebesar 20%. Sementara porsi sumber energi lain diperbesar menjadi seperti nilai minimal yang tertera dalam gambar tersebut. Menarik untuk disimak, adalah harapan tumbuhnya energi baru dan terbarukan dalam porsi yang relatif signifikan seperti bahan bakar nabati (BBN) di mana biodiesel termasuk di dalamnya. KONDISI SAAT INI TAHUN 2011
TARGET TAHUN 2025 PERPRES 5/2006
BBN 5%
Panas Bumi 5%
Nuklir, Batubara Hidro, Tercairkan 2% Surya, Angin, dan EBT lainnya 5%
Gambar 2.3 Target Bauran Energi 2025
Sumber : ESDM, dalam presentasi “KEBIJAKAN MIGAS DALAM MENOPANG KETERSEDIAAN ENERGI NASIONAL”, dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki Neraca Perdagangan (20 Maret 2013)
Disamping kebijakan tersebut di atas, Presiden mencanangkan Indonesia Green Energy Action Plan. Pengembangan green energy atau energi yang berbahan baku nabati mempunyai tiga aspek penting yang diyakini dapat mendorong perekonomian nasional, yaitu: • Pro Jobs untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas • Pro Growth yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan • Pro Poor yang akan mengurangi tingkat kemiskinan. 8
Dalam papernya Agus Sugiyono (2008) mengatakan bahwa BBN merupakan salah satu bentuk green energy yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: biodiesel, bioetanol, dan Pure Plant Oil (PPO) atau sering disebut biooil.
Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati. Bahan baku dapat berasal dari kelapa sawit, jarak pagar, kedelai dan kelapa. Dalam pemanfaatanya dicampur dengan minyak solar dengan perbandingan tertentu. B5 merupakan campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar yang dijual secara komersil oleh Pertamina dengan nama dagang biosolar.
Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi tetes tebu, singkong, jagung atau sagu. Bioetanol dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi premium. E5 merupakan campuran 5% bioetanol dengan 95% premium yang telah dipasarkan Pertamina dengan nama dagang biopremium. Penggunaan bioetanol sampai dengan E15 tidak perlu melakukan modifikasi mesin kendaraan yang sudah ada, tetapi untuk E100 hanya dapat digunakan untuk mobil jenis FFV ( flexible fuel vehicle ).
PPO merupakan minyak nabati murni tanpa perubahan sifat kimiawi dan dimanfaatkan secara langsung untuk mengurangi konsumsi solar industri, minyak diesel, minyak tanah dan minyak bakar. O15 merupakan campuran 15% PPO dengan 85% minyak diesel dan dapat digunakan tanpa tambahan peralatan khusus untuk bahan bakar peralatan industri. Pemakaian yang lebih besar dari O15 harus menambah peralatan konverter. Proses pembuatan BBN secara ringkas serta bahan baku yang digunakan
ditunjukkan pada Gambar 2.4. Untuk selanjutnya yang akan dibahas lebih lanjut yaitu pemanfaatan biodiesel dengan bahan baku minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil).
9
Gambar 2.4. Bahan Baku dan Proses Pembuatan BBN Sumber : BPPT
2.3.
Gambaran Umum Biodiesel Indonesia Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester
dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan. Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Secara definisi biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang dibuat dari minyak hayati (tumbuhan dan hewan), yang di pakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel. Biodiesel adalah senyawa ester metil/ etil dan asam-asam lemak yang dihasilkan dari reaksi antara minyak nabati dengan metanol/ etanol. Minyak nabati yang merupakan sumber utama biodiesel
dapat dipenuhi oleh berbagai macam jenis tumbuhan
tergantung pada sumber daya utama yang banyak terdapat disuatu tempat/ negara. Sebagai contoh adalah minyak jagung, kanola, kelapa, dan kelapa sawit yang kemudian menghasilkan produk dengan nama SME (Soybean Methyl Ester), RME (Rapeseed Methyl Ester), CME (Coconut Methyl Ester), dan POME (Palm Oil Methyl Ester).
10
Memperhatikan adanya harapan dan keinginan biodiesel dapat dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi bahan bakar yang alternatif di Indonesia, dapat diperkirakan bahwa dalam mengembangkan biodiesel di Indonesia sasaran yang diinginkan adalah dapat diwujudkannya penyediaan dan pemanfaatan biodiesel yang mempunyai ciri :
Mampu menghasilkan biodiesel yang compatible dengan sistem peralatan yang akan menggunakannya (mesin–mesin diesel dan burner pada sistem penyedia kalor/ panas di industri) termasuk dengan sistem distribusi minyak solar yang ada.
Memanfaatkan sumber daya alam domestik sebanyak mungkin baik dari segi jumlah maupun jenis bahan bakunya sehingga tingkat risiko akan ketergantungan kepada satu jenis bahan baku dapat dikurangi;
Sistem penyediaan bahan baku dan pengolahan yang bersifat menyebar sehingga masing-masing daerah dapat mandiri dalam menyediakan bahan bakar yang di butuhkannya dan dengan sendirinya dapat mengurangi beban biaya transportasi antara daerah penghasil dan konsumen;
Memanfaatkan teknologi pengolahan yang tidak terlampau canggih dan tidak capital intensif sehingga dapat mengurangi beban biaya transportasi antara daer ah penghasil dan konsumen;
Mampu menghasilkan lapangan kerja sebanyak mungkin sehingga pengembangan biodiesel berkontribusi secara berarti kepada upaya pembangunan ekonomi sosial. Dari berbagai jenis bahan baku biodiesel maka biodiesel dari minyak kelapa sawit
(CPO) mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat jumlah ketersediaan dan potensi pengembangan tanaman kelapa sawit yang cukup besar. Dalam penggunaannya biodiesel harus dicampur dengan minyak solar/diesel. Program uji coba pemasaran campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar yang diberi nama dagang biosolar dimulai pada Maret 2006 sampai April 2007 di wilayah Jabotabek. Biosolar dipasarkan di 201 SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum) dan volume penjualannya mencapai 314.187 KL. Sedangkan untuk wilayah Surabaya dilaksanakan pada 15 SPBU dengan volume penjualannya mencapai 9.845 KL. Produksi biodiesel pada April 2007 mencapai 520.000 KL yang diproduksi oleh sekitar 8 perusahaan dengan PT. Wilmar 11
Dumai sebagai pemasok terbesar dengan kapasitas 350.000 ton/tahun disusul PT. Eterindo Wahanatama, Gresik dengan kapasitas 120.000 ton/tahun. Dari sisi hilir, teknologi pengolahan biodiesel terus dikembangkan dan secara nasional sudah dapat dikuasai rancang bangun industri pengolahan biodiesel. BPPT telah mendisain dan membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,5 ton per hari sebagai prototipe pada tahun 2000. Prototipe ini kemudian dikembangkan lagi dan bersama dengan Pemda Propinsi Riau mendirikan pabrik biodiesel dengan kapasitas 8 ton per hari tipe batch. Pada tahun 2006 didirikan pilot plant pabrik biodiesel skala 3 ton/hari tipe kontinu berlokasi di Puspiptek, Serpong. Detail disain pabrik biodiesel skala komersial 80 ton per hari sudah dapat diselesaikan pada tahun 2007. Disamping BPPT, institusi lain seperti Lemigas, ITB, Departemen Pertanian, LIPI, PT. Rekin, dan beberapa perusahaan swasta, seperti PT. Energy Alternative Indonesia (EAI) dan PT. Eterindo Wahanatama juga mengembangkan pabrik biodiesel yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Rencana pengembangan pabrik biodiesel sampai tahun 2009 ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Rencana Pengembangan Pabrik Biodiesel dan Lahan untuk Bahan Baku No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
D.I. Aceh Sumut Riau Sumsel Bengkulu Jawa Barat Jawa Tengah Kalbar Kalteng Kaltim Sulsel NTT Jumlah
Kelapa Sawit (ha)2
Jarak Pagar (ha)2 10,000
40,000 93,000 6,000 6,000 6,000 20,000 12,000 12,000 10,000 10,000 189,000
20,000 120,000 176,000
Produksi Bahan Baku (ton/th) 16,000 140,000 325,500 21,000 21,000 9,600 32,000 42,000 42,000 35,000 67,000 192,000 943,100
Jumlah Pabrik Biodiesel Produk Ukuran Pabrik dalam ribu ton/tahun Biodiesel 0.5 3 30 60 100 120 300 (ton/th) 8 4 16,000 5 3 1 1 141,500 13 13 2 1 1 325,500 10 10 35,000 10 10 35,000 7 2 9,500 5 1 32,500 12 2 1 42,000 8 3 1 43,000 4 1 1 35,000 6 2 2 69,000 10 6 4 1 203,000 98 56 13 1 2 1 0 987,000
Catatan : 1. Produktifitas CPO = 3,5 ton minyak/ha/tahun 2. Produktivitas Minyak Jarak = 1,6 ton minyak/ha/tahun Sumber : BRDST, BPPT (2006)
Dari sisi hulu, dapat dilihat kondisi perkebunan kelapa sawit serta produksi CPO saat ini. Perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan pengelolaannya, yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara atau BUMN, dan perkebunan swasta. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2006 mencapai 6,1 juta hektar dengan produksi CPO mencapai 13,5 juta ton. Luas perkebunan sawit selama 12
periode 2000-2006 terus mengalami peningkatan rata-rata 8,3% per tahun. Sebagian besar dari perkebunan kelapa sawit berada di Sumatera sekitar 4,6 juta hektar, sedangkan sisanya secara berturut-turut tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa (Tabel 2.3.). Tabel 2.3. Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit dan Produksi CPO Menurut Wilayah 2000 2005 Luas Produksi Luas Produksi (Ribu Ha) (Ribu Ton) (Ribu Ha) (Ribu Ton) Sumatera 2,744 6,597 4,101 9,687 Jawa 21 34 23 36 Kalimantan 844 741 1,152 1,982 Sulawesi 108 118 123 334 Papua 52 91 39 85 Indonesia 3,769 7,581 5,438 12,124 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) Wilayah
2006 Luas Produksi (Ribu Ha) (Ribu Ton) 4,582 10,582 28 40 1,280 2,421 135 347 62 119 6,087 13,509
CPO yang diproduksi sebagian besar diekspor dan sebagian lagi untuk bahan baku pembuatan minyak goreng dan sabun untuk keperluan dalam negeri. Dengan adanya program pengembangan biodiesel ini perlu penambahan lahan kelapa sawit yang cukup besar. Pengembangan ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah pertumbuhan ekonomi, kurangnya lapangan kerja dan kemiskinan. Oleh karena itu dalam pengembangannya perlu diperhatikan faktor-faktor teknis, ekonomis, dan dampak sosial sehingga hasilnya diharapkan dapat lebih berdaya guna. Tim Nasional Pengembangan BBN pada tahun 2006 telah mengeluarkan Blue Print Pengembangan BBN yang dapat digunakan sebagai acuan strategis dalam penyediaan dan pemanfaatan BBN termasuk di dalamnya road map yang merupakan peta langkah dari keadaan sekarang menuju keadaan yang diinginkan dalam kurun waktu 2006-2025. Potensi penyediaan bahan baku BBN di Indonesia masih cukup besar. Lahan untuk pengembangan tanaman masih cukup tersedia dan beberapa wilayah kondisi agroklimatnya sesuai untuk tanaman penghasil BBN. Disamping kesesuaian lahan perlu juga diperhatikan aspek legal dalam pengembangan lahan. Ada beberapa pola pengembangan yang akan diprioritaskan yaitu:
13
•
Pengembangan kebun khusus (dedicated area) dengan lebih dahulu memanfaatkan ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan tapi belum dimanfaatkan maupun melalui ijin/investor baru.
•
Pemanfaatan lahan terlantar, lahan kritis dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
•
Pemanfaatan HGU terlantar dan ijin usaha perkebunan yang tidak aktif.
•
Memetakan pertanaman yang sudah tua dan meremajakan pertanaman melalui pemanfaatan bibit unggul bersertifikat. Salah satu bagian penting dari Blue Print tersebut adalah rencana pengembangan
biodiesel dari kelapa sawit seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4. Dalam pengembangan biodiesel disamping aspek luas lahan aspek kebutuhan tenaga kerja serta investasi juga perlu diperhatikan. Pendanaan semaksimal diusahakan bersumber dari dalam negeri, sedangkan pendanaan dari luar negeri dapat dilakukan dengan pemilihan secara selektif. Tabel 2.4. Proyeksi Pengembangan BBN dari Kelapa Sawit Parameter Biodiesel Produksi Industri Lahan Tenaga Kerja Langsung Tenaga Kerja Tak Langsung Pendapatan/orang (@2 ha) Bibit Investasi on farm Investasi off farm
Unit/tahun Ton Minyak Ton Biji Unit Hektar Orang Orang Rp/Orang Ton Batang Juta Juta
Jangka Jangka Panjang Menengah (2015-2025) (2010-2015) 6,000,000 16,000,000 30,000,000 80,000,000 167 444 1,500,000 4,000,000 750,000 2,000,000 1,167 3,111 20,000,000 20,000,000 202,500,000 540,000,000 45,000,000 120,000,000 10,000,000 26,666,667
Sumber: Timnas BBN (2006)
Orientasi ekspor biodiesel Indonesia meningkat pesat sejak tahun 2011. Dari 243 ribu KL produksi biodiesel tahun 2010, hanya 8,2% yang diekspor. Kemudian naik signifikan menjadi 80% dari total produkdi biodiesel diekspor pada tahun 2011. Selama 2012 hasil produksi biodiesel nasional mencapai 2,2 juta KL, 69,7%-nya dieskpor dan sisanya sebesar 669 ribu KL dikonsumsi dalam negeri (Tabel 2.5).
14
Tabel 2.5. Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 2009 2010 2011 2012
Produksi Biodiesel Indonesia (Volume) Domestik Ekspor Total Produksi (Ribu kl) (Ribu kl) (Ribu kl) 130 70 200 223 20 243 359 1453 1812 669 1542 2211
Ekspor (%) 35% 8.2% 80% 69.7%
Sumber : Pertamina, BPS
Meningkatnya produksi biodiesel Indonesia juga meningkatkan ekspor biodiesel. Produksi Biodiesel Indonesia (Volume) Selama 2007-2012, nilai ekspor biodiesel naik rata-rata 101,5% per tahun, sementara Tahum Domestik Ekspor Total Produksi Ekspor volumenya naik 78,6%. Permintaan biodiesel di pasar internasional terus meningkat dan Ribu kl Ribu kl Ribu kl (Persen) harganya juga mengalami perbaikan sebesar 12,9% selama 6 tahun terakhir, meskipun 2009 130 70 200 35% sedikit menurun pada tahun 2013 (Tabel 2.6). 2010 223 20 243 8,2% 2011 2012
Uraian
Nilai (USD Juta) Volume (Ribu Ton) Unit Value (USD/KG)
359Kinerja Ekspor1.453 1.812 Tabel 2.6. Biodiesel Indonesia 669 Ekspor 2007 31.41 65.29 0.48
2012 1,382.60 1,417.41 0.98
1.542Jan-Mar 2012 304.07 301.51 1.01
2013 366.97 437.36 0.84
80%
2.211 Perub(%)
69,7% Trend(%) 13/12 07-12 20.68 101.51 45.05 78.55 (16.80) 12.85
Sumber : Pusdatin Kemendag (diolah Puska Daglu)
Negara tujuan ekspor Biodiesel Indonesia tahun 2012 adalah Belanda dengan kontribusi sebesar 28,2% meningkat dari 20,3% di tahun 2008. Amerika Serikat dan Bolivia yang masing-masing menempati urutan pertama dan keempat sebagai Negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia, tak lagi masuk lima besar di tahun 2012. Sementara itu, Spanyol dan Italia masih menjadi lima besar Negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia sejak tahun 2008 dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2012, Spanyol menempati urutan kedua sebagai Negara tujuan ekspor biodiesel Indonesia dengan kontribusi sebesar 25,0%, diikuti oleh Italia (22,5%), Malaysia (11,8%), dan Singapura (4,7%). Sementara 7,8% diekspor ke Negara lain (Gambar 2.5).
15
2008 LAINNYA 22.2% ITALIA 6.5%
2012 AMERIKA SERIKAT 28.5%
LAINNYA 7.8% SINGAPURA 4.7%
BELANDA 20.3%
BOLIVIA 7.8%
BELANDA 28.2%
MALAYSIA 11.8%
SPANYOL 14.7%
SPANYOL 25.0% ITALIA 22.5%
Gambar 2.5. Negara Tujuan Ekspor Biodiesel Indonesia Sumber : Pusdatin Kemendag (diolah Puska Daglu)
2.4.
Peran Biodiesel dalam Transportasi Biodiesel merupakan kandidat yang paling dekat untuk menggantikan bahan
bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia. Hal ini dikarenakan biodiesel merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini. Biofuel B5 merupakan campuran dari 95 persen solar (HSD) dengan 5 persen fatty acid methyl esters (FAME). Ini merupakan produk transesterifikasi dari crude palm oil. Biosolar merupakan nama dagang pertamina untuk biofuel B5 tersebut. Biosolar merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Secara umum, biosolar lebih baik karena ramah lingkungan, pembakarannya bersih, biodegradable, mudah dikemas dan disimpan, serta merupakan bahan bakar yang dapat diperbahar ui. Selain itu, mesin atau alat yang menggunakan biosolar tidak perlu dimodifikasi. Biosolar juga dapat memperpanjang umur mesin dan menjamin keandalan mesin dengan lubrisitas atau pelumas maksimum 400 mikron. Bahan bakar yang berbentuk cair ini memiliki sifat menyerupai solar sehingga sangat prospektif untuk dikembangkan. Disamping sifatnya yang menyerupai solar, biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan solar. Kelebihan biodiesel dibanding solar adalah sebagai berikut: 1) merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik ( free sulphur, smoke number rendah) sesuai 16
dengan isu-isu global, setana number lebih tinggi (> 57) sehingga efisiensi pembakaran lebih baik dibandingkan dengan minyak kasar, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin; 2) biodegradable (dapat terurai), merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang dapat diperbarui, dan meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat diproduksi secara local (Wijono, 2010). Beberapa keuntungan biodiesel minyak kelapa sawit (Wijono, 2010):
Melimpahnya bahan baku, produk CPO=20 juta ton/tahun, sedangkan untuk B-10 membutuhkan 2,5 juta ton/tahun CPO
Memiliki penambahan nilai dan menyimpan devisa
Diperdagangkan secara luas, pasar bebas
Aman dipelihara, tidak ada produksi racun, dapat teruraikan, dan ramah lingkungan
Angka cetane yang tinggi, proses pembakaran yang bagus, sedikit emisi gas (CO/CO2/SO2)
Tidak memerlukan modifikasi mesin. Beberapa kerugian dan keterbatasan (Wijono, 2010):
Harga CPO naik turun dan persaingan yang ketat dengan harga minyak fosil, terutama dengan di subsidinya harga bahan bakar
Pasar dalam negeri sendiri lebih sulit dikembangkan tanpa dukungan dari pemerintah
Ciri khusus PME adalah titik beku yang masih di atas 12 derajat C
Mudah teroksidasi, merusak bentuk, adanya perbedaan bahan bakar hayati (biodiversity).
2.5.
Peraturan Tentang Penggunaan BBM dan BBN Biodiesel adalah bahan bakar yang dapat disintesa dari minyak nabati, minyak
hewan dan minyak nabati/hewan bekas pakai. Biodiesel dapat disintesa dengan mereaksikan 80-90% minyak nabati/hewan, 10-20% alkohol dan 0,35-1,5% catalyst. Reaksi pembuatan biodiesel tersebut dinamakan transesterifikasi dan bertujuan untuk
17
menurunkan viskositas dari minyak. Produk akhir dari transesterifikasi adalah methyl ester atau sering di sebut biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar yang stabil, bersifat mengurangi tingkat emisi gas buang, bercampur secara sempurna dengan minyak diesel mineral (solar) dan bekerja dengan baik pada semua jenis mesin diesel. Selain mengurangi emisi keunggulan biodiesel yang utama adalah tidak diperlukan modikasi mesin untuk menjalankan mesin disel. Biodiesel dapat dituang langsung kedalam tangki bahan bakar kendaraan. Biodiesel biasanya digunakan dalam bentuk campuran dengan minyak diesel. Biodiesel campuran atau BXX merupakan bahan bakar yang terdiri dari XX% biodiesel dan (100-XX)% minyak diesel. Contohnya adalah B100 merupakan biodiesel murni, sedangkan B30 merupakan campuran 30% biodiesel dan 70% minyak diesel. Pada
prinsipnya
biodiesel murni maupun campuran dapat digunakan pada semua jenis mesin diesel/kompresi termasuk kendaraan penumpang, truk, traktor, kapal, genset dan mesin industri lainnya. Prospek pemberdayaan bahan bakar alternati dalam hal ini BBN didorong atas adanya keputusan presiden No.5
Tahun 2006 yang berisikan target bauran energi
nasional. Proporsi BBN mencapai 5% yang dimana biodiesel termasuk di dalamnya. Proporsi yang lebih deta il dari jenis BBN yang ada dalam hal ini biodiesel dan bioeth anol sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008.
18
Tabel 2.7. Lampiran Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008
BIOETHANOL (Minimum) Sector Transportation,
Public
Service Obligation (PSO)
Transportation, Non PSO
2008
2009
2010
2015
2020
2025
3% (Existing)
1%
3%
5%
10%
15%
5% (Existing)
5%
7%
10%
12%
15%
5%
7%
10%
12%
15%
Industry
BIODIESEL (Minimum) Sector Transportation,
Public Service Obligation (PSO)
2008
2009
2010
2015
2020
2025
1% (Existing)
1%
2.5%
5%
10%
20%
1%
3%
7%
10%
20%
Transportation, Non PSO
Industry
2.5%
2.5%
5%
10%
15%
20%
Electricity
0.1%
0.25%
1%
10%
15%
20%
Sumber : Kementerian ESDM (Permen ESDM No. 32/2008)
2.6.
Studi Literatur Jerman : Keberhasilan Mengelola Energi Terbarui Riset dan pengembangan energi di Jerman memberikan efek yang luar biasa
terhadap munculnya berbagai macam organisasi yang nantinya menjadi aktor penting dalam advokasi tenaga surya dan angin. Misalnya asosiasi industri energi surya Jerman pada tahun 1978, institusi Ekologi (Öko-Institut) untuk Freiburg dibentuk oleh gerakan lingkungan pada tahun 1977 dan Eurosolar didirikan pada tahun 1988. Institusi ekologi ini menyediakan ahli-ahli tandingan bagi perjuangan melawan pemerintah dan kepentingan dalam hal penggunaan tenaga nuklir. Institusi ini
memiliki
peranan
penting
bagi
perkembangan
kebijakan
energi terbarui.
Sementara itu Eurosolar merupakan organisasi yang mengkampanyekan energi terbarui dalam struktur politik yang independen dari partai politik, perusahaan dan kelompokkelompok kepentingan walaupun beberapa anggotanya merupakan anggota parlemen Jerman dari berbagai partai. Studi yang dilakukan oleh Jacobsson dan Lauber, 2006) menunjukkan bahwa organisasi-organisasi inilah
yang
bersama-sama
dengan
parlemen
mendorong
pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan energi terbarui. Pada saat itu pemerintah Jerman kurang memiliki komitmen terhadap energi terbarui dan lebih 19
mendengarkan kelompok kepentingan nuklir dan batu bara. Misalnya dasar konsep UU Feed-in mengenai listrik dibuat oleh beberapa organisasi yaitu Förderverein Solarenergie (SFV), Eurosolar dan sebuah asosiasi yang mengorganisir 3500 pemilik pembangkit listrik tenaga hidro berhasil mengkampanyekan Undang-undang listrik dengan mengunakan energi yang dapat diperbarui (Jacobsson dan Lauber 2006, 263). Partai
politik
juga
memiliki
peranan
kuat
dalam
mendukung
upaya
penggunaan energi terbarui. Partai koalisi dan partai oposisi yaitu CDU/CSU (Christlich Demokratische Union Deutschlands/Christlich Soziale Union, Christian Democratic
Union/Christian
Social
Union)
merupakan kontribusi yang jelas untuk
menganggap
bahwa
pembebasan
mengurangi efek rumah kaca pada sektor
transportasi, melindungi kekayaan alam, mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan mengamankan pendapatan dan pekerjaan di bidang pertanian. Secara umum, mereka mempercayai bahwa meningkatnya penggunaan biofuel merupakan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Sejalan dengan itu Komisi Uni Eropa juga telah mendeklarasikan penggunaan biofuel sebagai tujuan. Tujuannya adalah penggunaan energi terbarui sebanyak 20 persen dari bahan bakar fosil pada tahun 2020. Untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut, komisi tersebut mengajukan dua hal (Henke, Klepper dan Schmitiz, 2005, 2618). Pertama, diwajibkannya minimal 2 persen kandungan biofuel dengan teknologi yang memungkinkan sehingga akan menciptakan pasar yang stabil bagi biofuel. Kedua, kerangka kerja Uni Eropa akan dibuat sehingga para anggotanya dapat mengimplementasikan pembebasan pajak sementara bagi biofuel. Memasuki tahun 2000, peranan energi terbarui di Jerman ditargetkan meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan dan mencapai hingga 12,5 persen dari total konsumsi listrik pada tahun 2010. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mendukung kebijakan energi terbarui dengan menerapkan skema kompensasi feed-in (Einspeisevergütungen) daya dari sumber energi terbarui dapat diisi ke jaringan listrik dan harus dioperasikan oleh perusahaan dengan tarif yang tetap per kWh (Hillebrand et.al. 2006, 3484). Hingga 1 April, 2000 skema kompensasi feed-in hanyalah berdasarkan pada rata-rata harga retail listrik untuk pengguna akhir. Kemudian skema 20
kompensasi
tersebut
direvisi
dengan mengamandemen
Undang-undang
energi
terbarui pada 1 Agustus 2004 (Gesetz zur Neuregelung des Rechts der Erneuerbaren Energien im Strombereich). Tarif kompensasi feed-in tidak bergantung pada banyaknya harga listrik secara general tetapi bergantung pada teknologi, ukuran dan lokasi fasilitas pembangkit listrik. Undang-undang ini diberlakukan untuk mendorong pemakaian energi terbarui mengingat energi terbarui masih belum kompetitif. Selain itu Jerman juga mulai berusaha untuk mengganti bahan bakar bensin ke biofuel sebagai rekomendasi Uni Eropa untuk meningkatkan penggunaan energi terbarui di semua sektor. Tahun 2002 parlemen Jerman memutuskan untuk membebaskan semua biofuel terhadap pajak bahan bakar. Pembebasan ini diterapkan sampai pada akhir tahun 2009 dan pemerintah wajib melaporkan kemajuan atas pengenalan pasar biofuel dan perkembangan harga atas biomas, minyak mentah dan bahan bakar lainnya setiap tahunnya sehingga dapat diadaptasi bila diperlukan (Henke, Klepper dan Schmitiz 2005, 2617). Penggantian bensin ke bio-ethanol tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan kebijakan ekonomi dan fiskal. Di Jerman biaya produksi bio-ethanol ekuivalen dengan 0,45-0,55 per liter bensin dalam skenario yang terbaik. Namun lebih sering ekuivalen antara 0.80-0.90 per liter bensin. Sedangkan harga bebas pajak untuk bensin hanyalah 0,20 euro per liter sehingga bio-ethanol tidak akan kompetitif tanpa pembebasan pajak. Tidak hanya pembebasan pajak, pemerintah Jerman juga mengintervensi pasar dengan adanya badan pasar nasional, Federal Monopoliy Administration for Spirits (Bundesmonopolverwaltung für Branntwein) yang bertanggungjawab membeli dan memasarkan ethanol yang diproduksi dari pertanian mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pasar bio-ethanol (Henke, Klepper dan Schmitiz 2005, 2620). Dulunya badan ini didesain untuk mendapatkan penghasilan negara. Sekarang
badan
ini
mensubsidi dan melindungi produsen bio-ethanol kecil dan menengah melawan kompetitor asing dan menolong untuk memelihara ekologi lahan. Harga yang dibayar kepada produsen oleh Bundesmonopolverwaltung di atas harga pasar dan kebanyakan produsen tidak akan bertahan tanpa ada dukungan tersebut. Defisit yang 21
dihasilkan ditutup oleh budget pemerintah pusat. Walaupun
sebenarnya
bentuk
bantuan pemerintah ini sebenarnya bertentangan dengan aturan Uni Eropa dan Jerman melanggar atas peraturan bebas barang-barang pertanian. Logika politik dibalik meningkatnya penggunaan biofuel adalah kontribusinya yang positif terhadap perubahan iklim, pertanian dan juga keamanan pasokan energi. Penggunaan bio-ethanol dalam teknologi otomotif dapat menghasilkan share volume sebanyak 10 persen dari
bahan bakar fosil. Selain itu kebijakan energi
terbarui di Jerman telah mempekerjakan orang sebanyak 120.000-150.000 (Guest Editorial 2006, 253). Saat ini kebijakan terhadap perubahan iklim terdiri dari berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi melalui pengurangan intensitas energi dalam ekonomi, mengurangi aktifitas yang menguras energi dan terakhir mengganti energi fosil dengan energi terbarui.
22
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN 2.7.
Pengembangan Biofuel
Peningkatan ekspor dan penggunaan biofuel di dalam negeri, khususnya biodiesel, merupakan salah satu langkah efektif untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, khususnya yang bersumber dari migas. Peningkatan ekspor biodiesel maupun peningkatan penggunaan biodiesel di dalam negeri (substitusi impor BBM) sehingga mengurangi impor adalah dua sisi yang dapat menekan defisit, bahkan bisa membuat neraca perdagangan menjadi surplus. Strategi ini sekaligus bermanfaat untuk menstabilkan harga CPO, menambah lapangan kerja, menurunkan kemiskinan khususnya di pedesaan, dan meningkatkan ketahanan energi. Sebagai ilustrasi, penerapan kebijakan B5 (pencampuran biodiesel ke dalam solar sebesar 5%) akan membuat penggunaan biodiesel sebesar 669 kiloliter yang mencapai 30% dari total produksi. Kebijakan ini telah mengurangi impor solar sebesar 6,4% dengan nilai sebesar USD 0,5 miliar. Berdasarkan perhitungan PROBI, penerapan B10 diperkirakan akan mengurangi impor solar sebesar 28,6% atau mencapai USD 2,42 miliar. Dengan pendekatan ini, defisit neraca perdagangan tahun 2012 sebesar USD 1,7 miliar sudah dapat diatasi. Di sisi lain, ekspor biodiesel terus meningkat dengan laju 101,5% per tahun, dari USD 31,4 juta pada tahun 2007 menjadi USD 1,4 miliarpada tahun 2012. Selain mengurangi impor, penerapan B10 juga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 217 ribu orang di sektor hulu dan pengurangan gas rumah kaca sekitar 8 juta ton. Gambar 2. Dampak Kebijakan B5 dan B10
23
Pemakaian Biodiesel Domestik, B5
669.328 kilo liter/ 4,2 juta Barel
Pemakaian Biodiesel Domestik, B10
3 juta kilo liter/ 18,87 juta Barel *
Mengurangi Impor Minyak Solar 6,4%
Mengurangi Impor Minyak Solar
28,6% (~2,42 Milyar Dollar) **
Tenaga Jumlah
Tenaga Kerja,
48.500 Orang, hulu
217.500 Orang, hulu
Pengurangan Gas Rumah Kaca
Pengurangan Gas Rumah Kaca
1.672.652 Ton CO2 (5%)
8.031.668 Ton (-7%)
Kemampuan Ekspor di Tahun 2013
Kemampuan Ekspor di Tahun 2013
3.5 Juta Kilo Liter
1 Juta Kilo Liter
Sumber : Pertamina, APROBI, US EPA
Peningkatan penggunaan dan ekspor biodiesel, khususnya yang berbasis CPO, untuk memperbaiki neraca perdagangan dinilai sangat potensial. Dari sisi produksi, bahan baku biodiesel (CPO) cukup melimpah. Pada tahun 2012, produksi CPO diperkirakan sekitar 25 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 40 juta ton pada tahun 2020. Di samping itu, Kapasitas terpasang industri pengolahan biodiesel di dalam negeri mencapai 4,6 juta kilo liter, namun utilitas industri baru mencapai 48%. Dari produksi sebesar 2.21 juta kilo liter hanya sekitar 30% atau sebesar 669 ribu kilo liter yang diperuntukkan bagi keperluan domestik. Pasar ekspor juga sangat prospektif yang diindikasikan oleh peningkatan nilai ekspor biodiesel dengan laju 101,5% per tahun. 2.8.
Keuntungan Menggunakan Biodiesel
Pengembangan penggunaan Biodiesel dalam negeri memberika banyak keuntungan dan dukungan dari kondisi Indonesia sendiri. Keuntungan tersebut antara laian : •
Biodiesel merupakan bahan bakar Renewable dan sustainable.
•
Perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel terdapat di seluruh negeri yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Selain itu, pabrik pengolahannya juga menyebar di berbagai daerah mendekati sumber bahan baku karena produk ini mengharuskan proses pengolahan bahan baku yang segera untuk mencegah terjadinya kerusakan. Hal tersebut memperkecil terjadinya disparitas harga yang diakibatkan jauhnya jarak distribusi pemasaran.
24
•
Sifat struktur kimia yang dimiliki biodiesel akan rusak jika tercampur dengan air, oleh karena itu tidak perlu pengawasan ekstra dan terhindar dari kecurangan (pengoplosan) oleh oknum tertentu (Sumber : Pelaku Usaha).
•
Peningkatan penggunaan biodiesel untuk pencampuran dalam solar tidak mengurangi volume biodiesel yang diekspor dan tidak mengganggu pasokan minyak goreng dalam negeri, karena biodiesel merupakan hasil sampingan dari produksi minyak goreng.
2.9.
Tantangan Pengembangan Biodiesel
Namun demikian, peningkatan produksi, penggunaan, dan eskpor biodiesel masih mengalami kendala atau masalah sebagai berikut yaitu: -
Masih besarnya subsidi BBM sehingga biodiesel menjadi kurang kompetitif;
-
Indeks harga BBN (biodiesel) sampai saat ini dinilai belum sesuai dengan nilai keekonomiannya.
-
Adanya ketentuan ATPM kendaraan bermesin diesel yang membatalkan garansi purna jual apabila pengguna menggunakan biodiesel lebih dari 5%.
-
Pengguna biodiesel, khususnya dari sektor industri, menginginkan spesifikasi biodiesel yang terlalu tinggi dari SNI 04-7182-2008, padahal hanya digunakan sebagai bahan bakar alat berat/kendaraan berat/mesin beban berat dengan spesifikasi moderat.
-
Adanya hambatan persepsi, khususnya pengguna dari sektor industri yang menyebutkan bahwa kinerja mesin tidak optimal apabila menggunakan bahan bakar biodiesel sesuai desain.
-
Hambatan perdagangan internasional berupa EU Renewable Energy Directive, Anti Dumping, Anti Subsidy, dan RFS2 EPA dari US
2.10. Temuan Lapang Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke PT. Wilmar Nabati Indonesia di Gresik sebagai perusahaan produsen Biodiesel terbesar di Indonesia, diperoleh informasi sebagai berikut : 25
Pihak Industri telah siap melaksanakan B10, karena hasil produksi biodiesel sudah melebihi kebutuhan dari yang ditetapkan pemerintah (pertamina).
Manager Operasi PT. Wilmar Nabati Indonesia menyatakan bahwa Kementerian ESDM tidak keberatan dengan percepatan penerapan B10, namun yang menjadi penghambat adalah kebijakan pelaksana di tingkat hilir (Pertamina).
Yang menjadi kendala adalah penggunaan biodiesel di sektor industri. Yang seharusnya diwajibkan 5% di tahun 2010-2015, justru tidak menggunakan Biodiesel sama sekali. Padahal penggunaan solar di industri (50%) sangat besar dibandingkan penggunaan transportasi Public Service Obligation (PSO) sebesar 25%. Sedangkan sisanya 25% untuk marine juga tidak diterapkan.
Biodiesel merupakan pengolahan dari hasil samping minyak goreng (stearin) sehingga tidak akan menggangu pasokan minyak goreng dalam negeri. Selain itu, teknologi pengolahan biodiesel bukan merupakan teknologi tinggi yang rumit, sehingga semua industri penghasil minyak goreng dapat membuat biodiesel.
Penambahan produksi di industri tidak menyebabkan kenaikan impor karena industrinya sudah berkapasitas tinggi dan semua bahan baku untuk pengolahan biodiesel dapat diperoleh dari dalam negri.
PT. Wilmar Nabati sendiri telah menggunakan 75% biodiesel untuk campuran solar yang digunakan sebagai bahan bakar mesin produksinya.
Harga ekspor biodiesel lebih tinggi dari harga dalam negeri (yang dibeli pertamina). Harga pembelian biodiesel oleh pertamina ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan mereka mengaku tidak mengerti proses perhitungannya.
Harga biodiesel dianggap competitif jika pencampuran ke dalam solar mencapai 25% dan subsidi BBM (solar dan premium) dikurangi.
Produk biodiesel akan rusak jika tercampur dengan air dan tidak bisa dikeringkan, sehingga penggunaannya dapat mencegah terjadinya pengoplosan.
Pihak industri tidak keberatan dengan SNI yang ditetapkan pemerintah kecuali pada satu karakteristik yaitu titik kabut yang ditentukan sebesar 18°C. Nilai tersebut terlalu rendah dan dirasa kurang applicable di daerah tropis seperti Indonesia. Padahal pada umumnya, biodiesel yang dihasilkan memiliki titik kabut 19°C.
26
Pihak industri mengaku bahwa penerapan B10 sangat tergantung pada ketegasan kebijakan pemerintah, karena jika pemerintah sudah mewajibkan, industri secara otomatif akan menyesuaikan. Dan, perlu adanya pengawasan di tingkat hilir untuk memaksimalkan penyerapan penggunaan biodiesel.
PT Wilmar Nabati berencana memulai produksi Olefin (campuran bahan bakar mesin jet) di bulan Agustus 2013 dengan kapasitas 500 ton/hari yang akan diekspor 100% ke Amerika Serikat karena adanya kontrak dengan Elevance Renewable Sciences Inc. sebagai investor. Dari temuan lapang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pihak Industri biodiesel
menyatakan siap dalam mendukung penerapan batas minimum (persentase) pencapuran biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10% dan seterusnya), namun diperlukan ketegasan dari pemerintah dalam pelaksanaan dan pengawasannya di tingkat hilir.
27
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1.
Kesimpulan Kesimpulan
yang
dapat
diperoleh
dari
pelaksanaan
kajian
mengenai
pengembangan penggunaan Biodiesel sebagai campuran solar adalah 1. Pihak Industri biodiesel menyatakan siap dalam mendukung penerapan batas minimum (persentase) pencapuran biodiesel ke dalam solar yang lebih tinggi (10% dan seterusnya), namun diperlukan ketegasan dari pemerintah dalam pelaksanaan dan pengawasannya di tingkat hilir. 2. Berkaca dari Jerman, Indonesia perlu peraturan untuk memaksa pelaku usaha bergerak meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati. Kebijakan tersebut juga harus dilengkapi dengan kebijakan ekonomi dan fiskal sehingga harga ekonomi biodiesel/ bioetanol menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga bahan bakar fosil. 4.2.
Rekomendasi Beberapa rekomendasi atau usulan kebijakan yang dapat disampaikan
berdasarkan hasil kajian adalah: 1. Menaikkan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi sehingga dapat menghemat
APBN dan mengurangi Impor. 2. Meningkatkan penggunaan biodiesel yang harganya murah dan subsidinya lebih kecil
untuk menghemat anggaran subsidi BBM. 3. Meloggarkan aturan maksimum titik kabut menjadi 19-20°C, hal tersebut dikarenakan
peraturan yang ada yakni sebesar 18°C dianggap menyulitkan pengusaha karena nilai tersebut terlalu rendah dan dirasa kurang applicable di daerah tropis seperti Indonesia. Padahal pada umumnya, biodiesel yang dihasilkan memiliki titik kabut 19°C.
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, K., 2005. Renewable Energy Conversion and Utilization in ASEAN Countries. Energy Policy Dorian, J.P. et al, 2006. Viewpoint Global Challenges in Energy. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved= 0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Fieclub.ir%2Fnewforum%2Findex.php%3Fapp%3Dcore% 26module%3Dattach%26section%3Dattach%26attach_id%3D4612&ei=WM_MUZSIDILZr Qf0qoHoBQ&usg=AFQjCNFWaIvdsxeletvJAgj9SwUJtG4nA&sig2=wU8Hcy89JfH1_2Jlo3eN2w&bvm=bv.48572450,d.bmk ESDM, 20 Maret 2013. Kebijakan Migas Dalam Menopang Ketersediaan Energi Nasional. dipaparkan pada Diskusi Terbatas terkait Kebijakan Komprehensif untuk Memperbaiki neraca perdagangan Guest Editorial, 2006. Renewable Energy Policies in The European Union. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved= 0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Figitur-archive.library.uu.nl%2Fchem%2F2007-0621202028%2FNWS-E-2006392.pdf&ei=CdDMUfiPMcTorQfdgYG4Cw&usg=AFQjCNFGw2FtytjbKiKo2vDM0ap3uMgGZ A&sig2=Ro_gkZfWxfopmWsWcWi47A&bvm=bv.48572450,d.bmk Henke, J.M. et al, 2005. Tax Exemption for Biofuels in Germany: Is Bio-Ethanol Really An Option for Climate Policy?. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved= 0CDQQFjAC&url=http%3A%2F%2Fmercury.ethz.ch%2Fserviceengine%2FFiles%2FISN%2F 102906%2Fipublicationdocument_singledocument%2Fd76c8571-b454-4c04-869dfb951276a0fa%2Fen%2Fkap1184.pdf&ei=etDMUeSmCZCsrAfevoCgAw&usg=AFQjCNEbtP Xe-sinisXfIR2HYtWY5oS8IQ&sig2=pGXWQC59vrdzuALJO4Xdkg&bvm=bv.48572450,d.bmk Hillebrand, B. et al, 2006. The Expansion of Renewable Energies and Employment Effects in Germany. Energy Policy Jacobsson, S. dan Lauber, V., 2006. The Politics and Policy of Energy System Transformation-Explaining The German Diffusion of Renewable Energy Technology. Energy Policy Situmorang, Elizabeth, 2012. Pembuatan Dan Karakterisasi Briket Bioarang Cangkang Kemiri – Kulit Durian Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Universitas Sumatera Utara
29
Sugiyono, Agus, 2008. Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Diakses pada tanggal 7 Juni 2013 dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved= 0CCYQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsugiyono.webs.com%2Fpaper%2Fp0801.pdf&ei=e9HM UYGMI4ntrAfsvYDYDA&usg=AFQjCNE7vwNuegq0n578qLx6snP41p2bTA&sig2=pDJGKU0jK ohqh54r8z6J7A&bvm=bv.48572450,d.bmk Timnas BBN, 2006. Blue Print Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran 2006-2025, Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati Tsoskounoglou, M. et al, 2008. The End of Cheap Oil: Current Status and Prospects . Energy Policy Wijono, R. A., 2010. Rancangan Strategi Perencanaan Industri Biodiesel Kelapa Sawit yang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan. Universitas Indonesia
30