BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Sungai merupakan ekosistem perairan darat yang merupakan bagian integral
dari kehidupan organisme dan manusia di sekitarnya, serta dipengaruhi oleh berbagai aktivitas lainnya. Beragam jenis kejadian manusia ataupun kejadian alam akan mempengaruhi kualitas dari air sungai tersebut. Ekosistem sungai umumnya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia, seperti irigasi, rumah tangga, dan perikanan (Arifin, 2010). Selain itu juga dimanfaatkan sebagai kegiatan industri, perhubungan, dan rekreasi. Beragamnya aktivitas manusia sepanjang aliran sungai menyebabkan banyak beban pencemar yang berasal dari kegiatan industri, rumah sakit, pertanian, maupun limbah domestik. Salah satu pencemaran yang terjadi pada kegiatan industri yaitu industri tepung tapioka. Indutri tepung tapioka merupakan industri yang dapat dikelola dalam skala kecil, menengah, dan besar. Produk yang dihasilkan dari tepung ketela pohon ini merupakan salah satu bahan untuk keperluan industri makanan, industri farmasi, industri tekstil, dan industri perekat (Riyani dan Tien, 2010). Industri tepung tapioka diantaranya Pabrik Tapioka Cikujang, Desa Sukaraja, Kecamatan Cibugel-Sumedang. Industri tepung tapioka di daerah tersebut memberikan pengaruh positif, yaitu memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatan pendapatan penduduk setempat. Selain itu, bagi lingkungan perairan penerima limbah diperkirakan akan mengalami penyuburan, karena hal ini sejalan dengan pernyataan Sundhagul (2009) menyatakan bahwa limbah tapioka bekas pengendapan pati mengandung kandungan fosfor sebanyak 5,6–8,5 ppm. Namun demikian selain pengaruh positif, industri tepung tapioka memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan perairan penerima limbah (Arifin, 2010). Industri tepung tapioka di daerah Kecamatan Cibugel merupakan industri skala menengah. Limbah yang dihasilkan dari tepung tapioka ada yang berupa
1
padatan dan cairan. Limbah cair yang dihasilkan besar, yaitu 1 ton ubi kayu dibutuhkan 6 – 9 m3 air (Enie dkk., 1992). Limbah tapioka yang kaya bahan organik masuk ke dalam ekosistem perairan sungai secara lambat laun dan dalam jumlah besar mengakibatkan pengaruh bagi kualitas airnya. Limbah organik oleh berbagai bakteri dan mikroba akan dirombak menjadi struktur yang lebih sedehana seperti amonia, metana, dan hidrogen sulfida. Senyawa-senyawa sederhana ini akan meracuni organisme pada badan perairan sungai (Partoatmodjo, 1984). Selain senyawa-senyawa beracun, limbah tapioka pun mengandung asam sianida dan belerang yang kadarnya ditentukan oleh jenis ubi kayu sebagai bahan utama dalam proses produksi (Arifin, 2010). Industri tapioka dalam mengolah limbah cairnya hanya dengan cara pengendapan pada bak-bak pengendapan untuk selanjutnya di buang ke badan perairan umum. Penanganan semacam ini ternyata mengganggu ekosistem sungai di lingkungan sekitar. Pengolahan limbah cair dapat dilakukan secara fisik/mekanis, kimia, maupun biologi. Pengolahan limbah secara fisik pada limbah cair pabrik tapioka, ternyata kurang efesien. Pengolahan limbah secara kimia, disamping biayanya mahal, juga menimbulkan resiko pencemaran oleh bahan kimia yang digunakan (Agustira dkk., 2013). Menurut Nurhasan (1991), limbah cair tapioka memiliki nilai Total Suspended Solids (TSS) sebesar 1342 ppm dan nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) sebesar 3075,84 ppm. Berdasarkan baku mutu limbah cair tapioka menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 1995 kadar maksimum TSS sebesar 100 ppm dan nilai BOD sebesar 150 ppm. Limbah cair tapioka mengandung sianida yang tinggi. Sianida tersebut merupakan senyawa toksik yang berbahaya untuk kesehatan masyarakat di sekitarnya ketika tidak diolah dengan baik. Berdasarkan keputusan Kementrian Lingkungan Hidup Noomor Kep.03/MenKLH/II/1991 kadar maksimum sianida yang diperbolehkan dalam baku mutu air limbah industri tapioka adalah 0,5 ppm dan beban pencemaran maksimumnya adalah 0,020 kg/ton produk. Tingginya kandungan sianida dalam limbah tapioka tersebut, maka diperlukan suatu metode untuk menurunkan sianida tersebut. Salah satu metode untuk mengurangi kandungan sianida dengan cara fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan
2
pemanfaatan
tumbuhan,
mikroorganisme
untuk
meminimalisasi
dan
mendetoksifikasi polutan, strategi remediasi ini cukup penting, karena tumbuhan berperan menyerap logam dan mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator (Salt dkk., 1998). Penelitian fitoremediasi dengan tumbuhan kangkung air (Ipomea aquatica Forsk.). Fitoremediasi limbah cair tapioka menggunakan kangkung air oleh Nurkemalasari dkk. (2013), menghasilkan konsentrasi sianida pada kangkung air 200 g setelah 16 hari sebesar 1,924 mg/kg dengan sebelumnya konsentrasi sianida pada kangkung air 0,832 mg/kg. Penelitian Rini (2008) menyatakan bahwa Vetiveria zizanioides mampu beradaptasi pada tanah tergenang limbah cair tapioka karena mempunyai ruang aerenkima lebih besar yaitu 32,73% selama 60 hari. Pada penelitian ini jenis tumbuhan yang digunakan yaitu Coontail (Ceratophyllum demersum L.). Hal yang mendasari dalam pemilihan tumbuhan ini dikarenakan tumbuhan C. demersum banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, serta mudah beradaptasi dengan lingkungan tercemar. Selain itu tumbuhan C. demersum merupakan tumbuhan hias di akuarium. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi cemaran limbah cair tapioka yang mengandung TSS, BOD, sianida menggunakan tumbuhan C. demersum. Tumbuhan C. demersum memiliki potensi mengurangi logam pada limbah cair tapioka. Menurut penelitian Chorom dkk. (2012), efisiensi C. demersum dalam menyerap nikel (Ni) sebesar 50% dari 6 mg/L selama 14 hari. Selain itu, pada penelitian Abdalla (2013), C. demersum dapat menyerap logam Cd. Pb, Zn, Co, Cu, dan Ni dengan masing-masing secara berurutan sebesar 2,35 mg/L, 208,71 mg/L, 1172,8 mg/L, 23,5 mg/L, 96,3 mg/L, dan 48,09 mg/L.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah :
a. Bagaimana pengaruh C. demersum dalam meremediasi kekeruhan, TSS, BOD, dan sianida pada limbah cair tapioka? b. Bagaimana pengaruh limbah cair tapioka terhadap berat basah dan klorofil demersum?
3
C.
c. Bagaimana efisiensi dan laju fitoremediasi limbah cair tapioka menggunakan C. demersum?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui pengaruh C. demersum dalam meremediasi kekeruhan, TSS, BOD, dan sianida pada limbah cair tapioka. b. Mengetahui pengaruh limbah cair tapioka terhadap berat basah dan klorofil C. demersum. c. Mengetahui efisiensi dan laju tumbuhan C. demersum dalam meremediasi limbah cair tapioka.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain :
a. Manfaat Teoritis - Hasil penelitian ini akan menambah data ilmiah dan pengetahuan tentang fitoremediasi limbah cair tapioka menggunakan tumbuhan C. demersum. - Hasil penelitian akan menambah pengetahuan berkenaan tumbuhan
C.
demersum yang digunakan dalam fitoremdiasi limbah cair tapioka. b. Manfaat Praktis Penerapan fitoremediasi limbah cair tapioka menggunakan tanaman air
C.
demersum sebagai alternatif bioteknologi yang sederhana dan rendah biaya dibandingkan dengan bioremediasi menggunakan teknik kimia dan fisika dalam menurunkan polutan yang berbahaya bagi ekosistem dan kesehatan manusia.
1.5
Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, diajukan hipotesis sebagai
berikut : a. Fitoremediasi limbah cair tapioka menggunakan C. demersum mampu meremediasi kadar kekeruhan, TSS, BOD, dan sianida. b. Limbah cair tapioka dapat mempengaruhi berat basah dan klorofil tumbuhan C. demersum.
4
c. Efisiensi dan laju fitoremediasi limbah cair tapioka menggunakan C. demersum tinggi.
5
6