BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Tulisan ini hendak mendiskusikan peran ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dalam demokratisasi Myanmar periode tahun 2005 hingga 2014. Demokratisasi Myanmar tahun 2005 hingga 2014 menjadi menarik untuk dibahas dikerenakan rentang waktu tersebut adalah jarak antara dua kejadian yang unik. Pada tahun 2005, Myanmar mengundurkan diri menjadi ketua ASEAN untuk masa jabatan tahun 2006, sedangkan tahun 2014 adalah tahun dimana Myanmar menjabat sebagai ketua ASEAN. Pembatalan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2006 merupakan hal yang tidak biasa terjadi di ASEAN sehingga menjadi menarik untuk dipakai sebagai ukuran perubahan waktu.Secara substansial, pembatalan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2006 menjadi titik tolak dari suatu rangkaian peristiwa yang kita sebut demokratisasi. Tulisan iniakan fokus untuk membahas latar belakang demokratisasi Myanmar tahun 2005-2104 dan peran ASEAN dalam mempengaruhi proses tersebut. Perkembangan demokrasi di Myanmar merupaka salah satu isu yang telahmenjadi perhatian internasional karena ditengah gelombang demokrasi yang melanda dunia sejak pertengahan dasarwarsa 1970-an, Myanmar adalah salah satu negara yang sangat terlambat terkena dampaknya.Myanmar atau yang dahulu disebut sebagai Burma sejak merdekapada 4 Januari 1948 dibawah pemerintahan sipil U Nu mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan sistem parlementer. Namun, U Nu gagal dalam menjalankan pemerintahan dengan strategi pembangunan Pydawtha (negara yang makmur) hingga pada 2 Maret 1962 terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh jenderal Ne Win.Itulah awal keruntuhan demokrasi di Myanmar.Sejak saat itu militer Myanmar sebagai pertahanan negara berubah peran menjadi penguasa negara. Pemerintahan Myanmar dijalankan oleh rezim militer dengan konstitusi tahun 1974.Pada masa 1
pemerintahan Ne Win hanya ada satu partai politik yang diakui yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) yang mayoritas anggotanya berasal dari militer. Selama berkuasa, pemerintah militer berhasil membendung gerakan demokrasi di negara ini.Pemilu tahun 1990 yang digelar memenangkan partai tokoh gerakan demokrasi MyanmarAung San Suu Kyi, National League for Democratic (NLD), tidak diberikan tongkat estafet memegang pemerintahan oleh pemerintah militer yang berkuasa.Begitu kuatnya peran militer sehingga David I. Steinberg menempatkan Myanmar sebagai “The most monolithically military-controlled in the world.”1 Keadaan dalam negeri kacau karena dipimpin oleh militer yang tidak berkompeten untuk mengurus pos-pos strategis dalam pemerintahan dan banyaknya tindakan korupsi.Kekacauan dalam negeri menuai banyak aksi protes masyarakat.Hal tersebut direspon dengan tindakan represif militer hingga dikecam dan dijatuhi berbagai sanksi politik dan ekonomi oleh berbagai pihak khususnya negara barat.Namun pemerintah militer tidak bergeming dengan sanksi dan kecaman tersebut bahkan mengisolasi Myanmar dari politik internasional.Sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika dan negara barat tidak berpengaruh karena walaupun AS merupakan investor terbesar ke 5 di Myanmar tapi nilai investasi AS lebih rendah dibandingkan nilai investasi negara-negara Asia Tenggara dan Timur yaitu hanya sebesar 10%. Sanksi barat mulai berpengaruh terhadap Myanmar pada tahun 2005 ketikamelibatkan ASEAN sebagai organisasi regional Myanmar. Pada tahun 2005 terjadi pro kontra akan kepemimpinan ASEAN tahun 2006 yang akan jatuh kepada Myanmar. Myanmar yang dianggap tidak pantas untuk menjabat sebagai ketua ASEAN 2006 karena masih dipimpin oleh rezim otoriter yang banyak melakukan pelanggaran HAM.2Apalagi posisi Ketua ASEAN adalah sebuah jabatan yang prestisius dan strategis karena secara otomatis mengetuai KTT ASEAN, badan paling tinggi yang berperan sebagai pengambil keputusan 1
A. Firnas, Prospek Demokrasi di Myanmar, Jurnal Universitas Paramadina, Vol.2 No.2, Januari 2003, pp.130-131. 2 L.A. Aryani, ‘Kebijakan ASEAN terhadap Rotasi Kepemimpinan Myanmar dalam ASEAN Tahun 2006’, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, p.62.
2
utamadalam ASEAN.Posisi tersebut idealnya dijabat oleh negara yang mampu memegang kendali dengan baik. Pada
waktu
itu,
jabatan
tersebut
belum
pernah
dijabat
oleh
Myanmarselama keanggotaannya di ASEAN. Ketika giliran jabatan tersebut datang, ancaman dari masyarakat internasional juga berdatangan terutama dari AS dan Uni Eropa yang menyatakan ketidaksetujuan atas posisi Myanmar yang akan menjabat
sebagai
ketua
ASEAN.
Senator
AS
Mitch
Mc
Connell
merekomendasikan agar AS dan negara-negara demokrasi lainnya memboikot pertemuan ASEAN jika Myanmar menjadi pemimpin ASEAN.3Ancamanancaman yang dilontarkan oleh AS dan Uni Eropa sebagai dua mitra kerja terbesar ASEAN tersebut jika benar-benar direalisasikan maka baik Myanmar ataupun ASEAN akan mendapat banyak kerugian. Respon ketidaksukaan atas bakal kepemimpinan Myanmar di ASEAN pada 2006 ini juga datang dari beberapa anggota ASEAN seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand.Dalam pertemuan ASEAN Myanmar juga sering menjadi sorotan dan wacana pembahasan terkait dengan demokrasi di dalam negerinya. Pada dasarnya urusan demokrasi dalam suatu negara adalah urusan domestik negara yang bersangkutan, namun di tengah arus demokrasi yang tengah berlangsung hal tersebut menjadi perhatian masyarakat internasional.Dengan kecaman yang juga muncul dari internal ASEAN terlihat bahwa demokrasi menjadi variabel penting dan harus dipatuhi dalam keanggotaan ASEAN sebagaimana juga yang tertuang pada pembukaan Piagam ASEAN. Namun dalam kasus ini, pembukaan piagam ASEAN tersebut juga kontradiktif dengan prinsip non-intervensi dan pasal 1 dan 2 Piagam ASEAN BAB X tentang Administrasi dan Prosedur. Pasal tersebut menjelaskan bahwa ASEAN akan memiliki kepemimpinan tunggal dari negara anggota yang mana bergilir secara tahunan, berdasarkan urutan alfabetis nama negara-negara anggota dalam bahasa Inggris.Tapi pada kenyataannya ASEAN menggunakan jalan diplomasi untuk melompati giliran Myanmar. Dengan proses negosiasi yang cukup panjang dari 3
Tempo, Amerika dan Eropa Mengancam Boikot KTT ASEAN di Myanmar, 2 April 2005,
, diakses 21 Desember 2014.
3
ASEAN, Myanmar merelakan melepaskan gilirannya memimpin ASEAN pada tahun 2006 kepada Filipina sesuai dengan urutan alfabetis dengan pernyataan resmi Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane 26 Juli 2005.4 Dalam pernyataan tersebut pemerintah Myanmar memutuska nuntuk melepaskan gilirannya menjadi ketua ASEAN pada tahun 2006 karena ingin memusatkan perhatian pada proses rekonsiliasi dan demokratisasi nasional yang sedang berlangsung. Sebelum gagal menjadi ketua ASEAN 2006, pemerintah militer Myanmar melakukan tarik ulur dalam upaya melaksanakan demokratisasi. Sejak pemerintah militer tidak mengakui pemilu tahun 1990proses demokratisasi di Myanmar bisa dikatakan tersendat-sendat oleh beberapa halangan, khususnya dari rezim militer sendiri. Namun setelah mundurnya Myanmar sebagai ketua ASEAN 2006,terjadi percepatan proses demokratisasi Myanmar.Pemerintah militer berangsur-angsur mulai terbuka dan sedikit melunak dengan dunia luar. Komitmen yang dicetuskan untuk melakukan proses rekonsiliasi dan demokratisasi mulai dilakukan pemerintah Myanmar dengan sedikit demi sedikit memperlihatkan tanda-tanda akan dilakukannya transisi demokrasi. Pada 9 Februari 2008 secara tiba-tiba melaui radio pemerintah mengumumkan akan mengadakan referendum konstitusi pada bulan Mei 2008 dan pemilu pada 2010.5 Pada 9 Maret 2010, pengumuman tersebut ditindaklanjuti dengan memilih komisi pemilu dan merilis UU pemilu.6 Puncaknya pada 7 November 2010 pemilu parlemen Myanmar pun digelar yang mana membuat Thein Sein yang mantan jenderal, terpilih sebagai presiden. Setelah terpilih, Presiden Thein Sein terlihat melakukan perubahan secara bertahap terhadap demokrasi di Myanmar. Salah satu keberhasilan Thein Sein yang cukup signifikan adalah melakukan pemilu yang relatif bebas dan adil pada 1 April 2012. Setidaknya ada 3 hal positif terkait perbaikan demokrasi di 4
Association of Southeast Asian Nation, Statement by the ASEAN Foreign Ministers Vientiane, 25 July 2005,, diakses1 Januari 2015. 5 BBC Indonesia, Militer Birma Umumkan Pemilu, 9 Februari 2008, , diakses1 Januari 2015. 6 BBC Indonesia, Birma Pilih Komisi Pemilu, 9 Maret 2010, , diakses1 Januari 2015.
4
Myanmarsetelah kepemimpinan Thein Sein yaitu perubahan iklim politik, perbaikan catatan HAM, dan kebebasan buruh.7 Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya Myanmar untuk melakukan demokratisasi sangat jelas petanya dan perubahan yang signifikan ini terjadi setelah Myanmar gagal menjadi ketua ASEAN 2006.
1.2Reviu literatur Sebagai permulaan, berikut akan dilakukan pemetaan karya akademik terkait demokrasi dan aktor internasional yang dapat mempengaruhi transisi demokrasi Myanmar. Perkembangan yang signifikan dari fenomena ini sendiri telah membuat berbagai macam pembahasan dibuat. Menurut Samuel P.Huntington, demokrasi di dunia ditularkan melalui sebuah gelombang demokratisasi. Gelombang demokratisasi adalah sekelompok transisi dari rezim-rezim non-demokratis ke rezim-rezim demokratis, yang terjadi di dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah sebaliknya.8 Dalam bukunya “Gelombang Demokrasi Ketiga”, Samuel Huntington memaparkan bahwa tejadi 3 gelombang demokrasi dan 2 gelombang balik sejak paruh pertama abad ke 17 yang melanda seluruh dunia. Gelombang demokratisasi pertama terjadi pada kurun waktu tahun 1828-1926 kemudian diikuti dengan gelombang balik pertama pada 19221942.Gelombang demokratisasi kedua terjadi pada tahun 1943-1962 dan kembali diikuti oleh gelombang balik kedua pada tahun 1958-1975.Gelombang demokratisasi ketiga dimulai pada tahun 1974 hingga sekarang yang diduga juga menjangkiti Myanmar. Ketika gelombang demokratisasi melanda hampir seluruh dunia dan menjadi agenda global pasca runtuhnya Uni Soviet dan Eropa Timur pada tahun 1990-an, militer Myanmar terhitung kuat dalam mempertahankan rezim 7
S. Hidriyah, Proses Demokratisasi Myanmar Menuju Pemilu Presiden tahun 2012, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPRI, vol.III, No.24/II/P3DI/Desember/2011, Jakarta, 2011, p.6. 8 S.P. Huntington, The Third Wave Democracy, edisi Bahasa Indonesia Gelombang Demokratisasi Ketiga, diterjemahkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, p.13.
5
otoriternya. Setidaknya sampai tahun 2000 dalam tesis “Militer dan Kekuasaan: Suatu
Studi
terhadap
Upaya-Upaya
Militer Myanmar Mempertahankan
Kekuasaannya dalam Sistem Politik Myanmar”, Adian memaparkan bahwa pemerintah militer Myanmar mampu melemahkan kekuatan eksternal militer (oposisi) yang menentang keberadaan rezim dengan berbagai kebijakan dan tindakan represif. Kemampuan rezim militer tersebut ditunjang dengan tidak adanya ketergantungan rezim secara ekonomi maupun politik terhadap negara lain dampak dari politik isolasi yang dilakukan pemerintah militer yang solid. Eksistensi pemerintah militer Myanmar dikarenakan politik isolasi yang menghilangkan pengaruh dari luar, padahal demokrasi sangat mungkin ditularkan dari luar. Secara lebih jelas Agus Budi Rachmanto dalam tesisnya “Tantangan Gerakan Demokrasi di Myanmar”9dalam salah satu simpulannya menyatakan bahwa semakin besar tekanan eksternal, maka semakin besar pula peluang Myanmar untuk menuju demokratis dan sebaliknya semakin rendah tekanan eksternal, maka semakin kecil peluang Myanmar menuju negara demokrasi. Budi menyoroti bahwa gerakan demokrasi harus mendapat dukungan dana material, moral, tenaga baik di dalam negeri ataupun luar untuk melawan militer. Dukungan luar negeri tidak hanya berasal dari negara besar tapi juga desakan dari berbagai organisasi internasional.ASEAN khususnya menjadi tumpuan harapan yang dapat memberi dukungan dengan mendesak pemerintah militer untuk memberi kesempatan pihak NLD memerintah.Sependapat dengan Agus bahwa demokratisasi di Myamar akan berjalan jika ada dukungan dari organisasi eksternal khususnya ASEAN, sayangnya tesis tersebuthanya mengeksplanasi demokratisasi yang terjadi di Myanmar melalui sudut pandang gerakan demokratisasi NLD, bagaimana tantangan yang dihadapi dan cara para pemimpin tersebut mengahadapinya.Tesis tersebut juga menyatakan bahwa ASEAN tidak tegas secara efesien membuat suatu tindakan yang membuka terbukanya jalur demokrasi bagi Myanmar. Statement tersebut wajar dinyatakan karena penelitian 9
A.B. Rachmanto, ‘Tantangan Gerakan Demokrasi di Myanmar: Studi Kasus National League for Democracy,’Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2002, pp. 1-123.
6
tersebut dibuat pada tahun 2002 dimana belum ada isu kepemimpinan Myanmar di ASEAN dan ASEAN ada saat itu belum merasa cukup dirugikan akan rezim otoriter di Myanmar. Kyaw Yin Hlang dalam Understanding Recent Political Changes in Myanmarpada tahun 2012 yang menyatakan bahwa ada perubahan politik yang telah terjadi di Myanmar sejak pemerintah baru tahun 2011 yaitu pasca kegagalan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2006 dan mendekati pencalonan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2014.10 Kini di kawasan regional Myanmar juga sudah dapat tampil menjabat sebagai ketua ASEAN tahun 2014. Berdasarkan gambaran tersebut mengindikasikan bahwa terjadi transisi demokrasi di Myanmar pasca gagal menjadi ketua ASEAN tahun 2006. KemudianSyarif Redha Fachmi Al Qadri dalam Faktor Internal Transisi Demokrasi di Myanmar Tahun 201011 menyatakan bahwa sebelumnya hingga 2010 sudah terjadi demokratisasi di Myanmar. Namun tulisan ini menggambarkan seolah-olah demokratisasi yang terjadi di Myanmar hingga tahun 2010 hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam negeri. Tulisan tersebut memaparkan bahwa kondisi ekonomi, instabilitas politik nasional dan pergeseran cara pandang pemimpin elit militer yang membuat pemerintah yang berkuasa memotori demokratisasi hingga pemilu 2010. Tulisan tersebut menggambarkan seakan-akan aktor dalam negeri berada di dalam ruang hampa tanpa ada sedikitpun pengaruh dari luar.
Padahal di dunia yang semakin terhubung ini sangat sulit untuk
menafikkan adanya pengaruh dari luar dalam mendukung proses demokratisasi. Maka dari itu tulisan ini ingin melihat seberapa besar ASEAN mampu mempengaruhi aktor-aktor dalam negeri Myanmar yang dapat mendorong terjadinya demokratisasi.Pengaruh ASEAN terhadap transisi demokrasi di Myanmar akan menjadi concern utama penulis yang ingin dikaji dalam penelitian ini. Tulisan ini mencoba mencari keterkaitan antara kegagalan Myanmar menjadi 10
Kyaw Yin Hlaing, ‘Understanding Recent Political Changes in Myanmar,’Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Vol.34, no.2, Agustus 2012, pp.197-216. 11 S.R.F. Al Qadri, Faktor Internal Transisi Demokrasi di Myanmar Tahun 2010, dalam A.M.Wirasenjaya (ed.), Dinamika dan Transformasi Politik Internasional, LHI UMY, Yogyakarta, 2014, pp.29-45.
7
ketua ASEAN 2006 dengan percepatan transisi demokrasi dalam negerinya. Demokratisasi di Myanmar tidak hanya dipicu oleh aktor-aktor internal namun juga dipengaruhi oleh faktor eksternal khususnya ASEAN.
1.3 Pertanyaan Penelitian Secara spesifik penelitian ini akan berpijak pada pertanyaan penelitian utama: Mengapa terjadi demokratisasi di Myanmar? Apakah pembatalan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2006 membawa implikasi terhadap munculnya fenomena tersebut?
1.4 Kerangka Konseptual Pembatalan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2006 sebagai variabel antara (intervening variabel) dari objek penelitian akan dianalisis pada bagian awal, dengan harapan agar dapat dipahami sebagai pemicu dari proses demokratisasi yang berlangsung sebelum dan sesudahnya. Karena pemerintahan demokratis masih berjalan hingga sekarang, agar bisa fokus dalam menganalisis maka tahun 2014 dipakai sebagai batas penelitian ini, mengingat di tahun 2014 Myanmar juga telah menjabat sebagai ketua ASEAN. Untuk menganalisis pertanyaan penelitian tentang mengapa Myanmar melakukan transisi demokrasi dan korelasiya dengan kegagalan menjadi ketua ASEAN 2006, maka diajukan kerangka konseptual yang lebih memadai.Kerangka konseptual ini diarahkan untuk mereview sejumlah pendekatan yang dapat menjelaskan transisi yang terjadi.
1.4.1 Demokrasi Demokrasi dikenal luas adalah sebuah sistem pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat. Negara yang demokrasi berarti memiliki bentuk persamaan politik (political equity) bagi rakyatnya.Ada dua pendekatan yang sering digunakan untuk mengkaji konsep demokrasi, yaitu pendekatan klasik-normatif dan pendekatan empirik.Pendekatan klasik-normatif memahami demokrasi sebagai
8
sumber wewenang dan tujuan yang membicarakan ide-ide dan model-model secara lebih substantif dan umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilahistilah kehendak rakyat sebagai sumber atau alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama.12Dimensi-dimensi sosial, ekonomi dan budaya yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik maupun lembaga pemerintahan banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran untuk memaknai dan mengukur demokrasi agar dapat tumbuh subur di suatu negara.Namun sejak akhir dekade 1970-an pendekatan klasik normatif ini mulai kehilangan pengaruh ketika banyak negara mampu menumbuhkan demokrasi tanpa harus ditopang oleh dimensi sosial, ekonomi dan budaya yang kondusif. Sementara itu, pendekatan empirik lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun.Joseph Scumpter memaknai demokrasi merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin.13Demokrasi merupakan pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.14Gagasan hukum dan kebijakan yang didasarkan pada “kehendak semua” yang diutarakan oleh pendekatan klasik dirasa Scumpeter terlalu utopis, sehingga dia mengedepankan frasa “kehendak mayoritas”.15 Secara lebih mendalam George Sorensen mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang memenuhi beberapa kondisi. Kondisi pertama, kompetisi yang luas dan bermakna di antara individu dan kelompok organisasi pada seluruh posisi kekuasaan pemerintah yang efektif, dalam jangka waktu yang teratur dan meniadakan penggunaan kekerasan. Kondisi kedua, tingkat partisipasi yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan, pemilihan bebas secara teratur danada kelompok sosial utama yang disingkirkan.
12
D. Helds, Models of Democracy, Polity Press, Cambridge, 1987, p.2. G. Sorensen,Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World, edisi Bahasa Indonesia Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah, diterjemahkan oleh I.Made Krisna, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, p.14. 14 Huntington, p.6. 15 J. Schumpeter, Capitalism and Democracy, Herper, New York, 1947, pp.251-255. 13
9
Kondisi ketiga, tingkat kebebasan politik dan kebebasan sipil berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi cukup untuk memastikan integritas partisipasi dalam kompetisi politik. Konsep demokrasi berdasarkan prosedur ala Scumpter dan George Sorensen inibersifat empirik, deskriptif, institusional dan prosedural dan banyak dipakai sejak tahun 1970an karena dapat memberikan ketepatan analisis dan acuan empiris sehingga membuat konsep tersebut bermanfaat. Samuel Huntington pun berkesimpulan bahwa suatu negara dapat dianggap demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.16 Di masa sekarang demokrasi dipandang sebagai bentuk pemerintahan terbaik untuk masyarakat modern.Demokrasi dipandang sebagai pemerintahan dari rakyat yang mana dipilih melalui persaingan pemilu yang bebas, adil dan dilaksanakan
pada
periode
tertentu
secara
teratur
sehingga
dapat
menciptakanpemerintahan yang umumnya lebih baik dibandingkan dengan yang dinobatkan melaui mekanisme non-demokratis. Hal ini dikarenakan pemerintahan menyediakan kemungkinan terbaik bagi akuntabilitas, bersikap responsif terhadap tuntutan masyarakat, mendorong perdamaian, mudah diprediksi dan menciptakan tata pemerintahan yang baik.17 Kemenangan Amerika dalam perang dingin menjadikan demokrasi sebagai tolak ukur kebajikan dunia membawa pengaruh besar dalam penyebaran paham demokrasi di dunia, sehingga negara-negara di dunia berbondong-bondong untuk melakukan demokratisasi. Kini hampir seluruh negara di dunia ini mendeskripsikan dirinya sebagai negara demokrasi atau sedang berproses ke arah sana.Menurut Democracy Ranking, setidaknya pada 2012-2013 ada 102 negara
16
Huntington, p. 7. L.Diamond, Developing Democracy, Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta, 2003,
17
p.3.
10
dari 112 negara di dunia mendapatkan score demokrasi yang tinggi- moderate.18 Demokrasi dianggap sebuah sistem kekinian yang dapat diterima oleh masyarakat internasional kebanyakan dengan berbagai kelebihannya. Maka untuk kebutuhan tulisan ini penulis hendak menggunakan pendekatan empiris seperti konsep yang dipaparkan penulis di atas. Hal ini dikarenakan Myanmar merupakan negara yang mengembangkan demokrasi pasca dekolonialisasi dari Inggris maupun Jepang pasca tahun 1970-an dimana konsep empirik banyak dipakai.
1.4.2 Demokratatisasi Setelah mengupas definisi demokrasi kemudian muncul pertanyaan, bagaimana demokratisasi itu bisa terjadi?Apa yang memicu terjadinya proses tersebut? Mengapa suatu negara harus “tertular” demokrasi?Dalam kondisi apa sebuah negara bisa melakukan transisi demokrasi? Demokratisasi merupakan proses menuju demokrasi, yakni semakin meningkatnya penerapan pemerintahan rakyat pada lembaga, masalah dan rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi tersebut.19 Dalam proses demokratisasi terdapat beberapa tahapan yang saling berkaitan dari jatuhnya rezim otoriter, transisi, sampai konsolidasi. Diantara semua proses tersebut transisi adalah tahapan awal terpenting yang sangat menentukan dalam proses demokratisasi. Transisi merupakan titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian (kekuasaan monarki absolut, kekaiseran sulstanistik, patrimonial, kediktatoran pribadi, kediktatoran militer, kediktatoran partai, dll) dengan rezim demokratis, yang dimulai dari ambruknya rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan (instalasi) lembagalembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.20 Transisi menuju demokrasi merupakan hasil negosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang ada 18
Democrarcy Ranking, Democracy Ranking 2014 Scores, 29 Desember 2014, , diakses 31 Desember 2014. 19 A. Uhlin, Indonesia and the “Third Wave of Democrazation”: The Indonesian ProDemocracy Movement in a Changing World, Curzon Press, London, 1997, p. 13. 20 R. Gunther, P. N. Diamondourus, dan Hans-Jurgen Puhle, The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, The John Hopkins University Press, London, 1995, p.3.
11
di belakang rezim otoriter sebelumnya.21 Transisi adalah sebuah fase yang sangat penting, karena penanganan masalah selama transisi termasuk dalam menyikapi kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh rezim sebelumnya akan sangat menentukan kemana arah sebuah negara. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pada tahap ini ditandai dengan adanya pemilu. Menurut Samuel Huntington dalam bukunya “The Third Wave: Democratiziation in The Late Twentieth Century”, transisi demokrasi pada gelombang ketiga yang terjadi dalam dasawarsa 1970-1980
di dorong oleh
beberapa faktor yaitu22: 1. Merosotnya legitimasi sistem otoriter 2. Perkembangan ekonomi dan krisis ekonomi 3. Perubahan keagamaan 4. Kebijakan baru para pelaku eksternal 5. Efek demonstrasi atau efek bola salju Kombinasi dari faktor pendorong tersebut menjadi sebuah latar belakang keinginan
sebuah
negara
untuk
melakukan
perubahan
pada
sistem
pemerintahannya.Aktor domestik sering kali menjadi fokus utama sebagai aktor pembawa perubahan, seolah-olah perjuangan demokrasi berada pada ruang kosong dalam dunia yang semakin terhubung satu sama lain. Dalam menganalisis proses demokratisasi kita tidak bisa menafikkan pengaruh dari faktor eksternal dalam mendorong proses demokratisasi.Seperti yang dikemukakan Philis J. Vermonte bahwa situasi ketidakpastian dalam proses transisi demokrasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat inward-looking tapi juga lebih mudah dipengaruhi oleh faktor eksternal yang bersifat outward-looking.23 Dimasa sekarang dimana interdenpendensi negara-negara di dunia sangat erat, faktor eksternal cenderung lebih kuat dalam mempengaruhi demokratisasi 21
Sorensen, p.51. Huntington, p.56. 23 G. O’Donnel, P.Schmitter dan L.Whitehead, Transition From Authoritarian Rule: Prospect For Democracy,John Hopkins University, London, 1986, p.5. 22
12
pada suatu negara.Pengaruh dari luar sering yang merangsang dan memberi model demokratisasi bagi negara-negara lain serta ditunjang sarana komunikasi internasional merupakan penyebab signifikan terjadinya demokratisasi, khususnya pada
gelombang
demokratisasi
ketiga.Bisa
kita
ambil
contoh
seperti
bergabungnya negara otoriter dengan badan-badan ekonomi internasional (negara eropa timur pada MEE); campur tangan Amerika Serikat (Filipina; Korea Selatan), dan efek bola salju (Tunisia, Mesir, Libya). Namun bukan hanya itu saja yang diperlukan untuk pecahnya sebuah pergerakan transisi demokrasi, tapi juga harus ada trigger yang mendorong aktor perubahan untuk bergerak. Hal ini sependapat dengan pernyataan Gabriel Almond yang menanyatakan bahwa perubahan sosial dan internasional boleh jadi berlangsung terus selama kurun waktu yang panjang dan baru mulai memicu perubahan dalam sistem politik ketika suatu ketidakwajaran jangka pendek atau serangkaian ketidakwajaran terjadi pada kurva atau sejumlah kurva. 24 Kejadian yang tidak biasa dalam suatu negara sangat berpotensi menjadi trigger demokratisasi. Kesadaran untuk menjalankan demokrasi tidak datang dengan sendirinya kepada sebuah negara. Demokrasi disebabkan oleh individu dan kelompok, oleh aktor sosial yang berjuang untuk demokrasi.25 Aktor sosial ini bergerak karena ada suatu kondisi yang memicu mereka baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan demokratisasi.Huntington mengklasifikasikan 4 kelompok politik yang berperan dalam demokratisasi yaitu kelompok konservatif, kelompok pembaharu demokrasi liberal, kelompok moderat demokratis, dan kelompok radikal. Secara lebih jelas dapat kita lihat pada diagram berikut:
24
Huntington, p.44. Sorensen, p. 48.
25
13
Gambar I.1 Kelompok-Kelompok Politik yang Terlibat dalam Demokratisasi
Sumber: Samuel Huntington, The Third Wave Democracy, edisi Bahasa Indonesia Gelombang Demokratisasi Ketiga, diterjemahkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, p.155
Kelompok-kelompok tersebut demokratisasi
sebuah
negara.
menentukan interaksi
Interaksi-interaksi
dalam
kelompok
proses tersebut
diklasifikasikan Huntington dengan 3 jenis transisi demokrasi.26 Tipe pertama adalah transformasi yang berarti proses demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori perwujudan demokrasi. Maka interaksi antara kelompok konservatif dan pembaharu adalah yang paling penting dalam tipe ini. Transformasi terjadi jika kelompok pembaharu lebih kuat daripada kelompok konservatif, jika pemerintah lebih kuat dari pada oposisi dan jika kelompok moderat lebih kuat daripada kelompok ekstremis.Dengan demikian, Huntington menyimpulkan bahwa transformasi biasanya terjadi dalam rezim militer yang telah mapan dimana pemerintah jelas-jelas mengendalikan alat-alat koersi yang utama jika dibandingkan dengan oposisi. Tipe kedua adalah replacement dimana proses demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokratisasi dan rezim ororiter tumbang atau digulingkan.Interaksi yang terjadi dalam tipe ini adalah interaksi antara pemerintah dengan kelompok oposisi serta interaksi antara 26
Huntington, pp.157-205.
14
kelompok moderat dengan kelompok ekstremis. Tipe ini mensyaratkan kelompok oposisi harus lebih kuat daripada pemerintah dan kelompok moderat harus lebih kuat daripada kelompok ekstremis. Tipe ke tiga adalah Transplacement yaitu demokrasi merupakan hasil kompromi antara oposisi dan pemerintah menyadari kelemahan dan kekuatan masing-masing dan setuju untuk berbagi keuasaan minimal untuk sementara waktu. Hal ini terjadi karena pilihan paling rasional adalah negosiasi politik.Interaksi yang terjadi adalah interaksi antara kelompok pembaharu dan kelompok moderat.Kedua kelompok tersebut memiliki kekuatan yang relative seimbang sehingga mampu masing-masing mampu mendominasi kelompokkelompok anti demokrasi yang berada pada masing-masing garis pemisah antara kelompok pemerintah ataupun oposisi. Konsep demokrasi dalam penelitin ini digunakan penulis untuk menjelaskan latar belakang dan mengklasifikasikan transisi demokrasi yang dilakukan oleh Myanmar sehingga ditemukan aktor yang mensponsori perubahan dan memainkan peran yang menentukan dalam mengakhiri rezim itu dan mengubahnya menjadi sistem yang lebih demokratis. Dengan mengetahui aktor pembawa perubahan, maka akan lebih mudah menganalisis latar belakang kelompok tersebut dalam melakukan demokratisasi.
1.5 Hipotesis Berdasarkan pokok permasalahan di tersebut, dapat ditarik hipotesa sederhana dalam menjawab pertanyaan diatas, yaitu: Demokratisasi Myanmar terjadi karena ASEAN telah mendorong kelompok politik Myanmar memainkan peran penting dalam mendukung transisi demokrasi pasca Myanmar gagal memimpin ASEAN tahun 2006.
15
1.6 Metodologi penelitian Fokus penelitian ini mencakup bahasan tentang pengaruh ASEAN terhadap transisi demokrasi Myanmar pasca kegagalan Myanmar menjadi ketua ASEAN 2006.Secara khusus ekspektasi yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih detail dan mendalam mengenai alasan Myanmar melakukan transisi demokrasi terkait dengan ASEAN sebagai organisasi yang memayunginya. Oleh karena itu, aktivitas keilmuan yang dilakukan oleh penulis dalam proses penelitian ini termasuk dalam kerangka penelitian literatur. Lebih lanjut berdasarkan permasalahan yang ingin dianalisis, maka penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang berusaha untuk menggambarkan kepada pembaca pada permasalahan yang diangkat dalam penelitian inisehingga dapatmenjelaskan hubungan kausalitas beberapa variabel dalam masalah penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder. Teknik pengumpulan data sekunder merupakan teknik yang dilakukan penulis dalam mencari referensi melalui studi kepustakaan, menggunakan dan memanfaatkan literatur, bukubuku, koran surat kabar, jurnal, makalah, majalah. Dilain itu pula penulis juga menggunakan internet atau media komputer sebagai pencarian referensi yang baik dan relevan.
1.7 Sistematika penulisan Sistematik pembahasan tesis ini terbagi menjadi 5 bagian. Pada Bab pertama akan berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka analisis, argumen utama, metode penelitian dan sistematika penulisan. Padabab kedua akan dijelaskan mengenai dinamika demokrasi di Myanmarsejak merdeka hingga tahun 2006 dimana Myanmar gagal menjadi ketua ASEAN, bagaimana demokrasi dilaksanakan di negeri tersebut dan siapa aktor yang berperan dalam proses tersebut. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai
16
sejarah keanggotaan Myanmar di ASEAN dan masalah kepemimpinan Myanmar di ASEAN pada tahun 2006. Pada bab tiga akan menjelaskan transisi demokrasi Myanmar pasca gagal menjadi ketua ASEAN 2006. Bab empat menjelaskan pengaruh ASEAN dalam mendorong tarnsisi demokrasi Myanmar pasca gagal menjadi ketua ASEAN 2006. Terakhir pada bab lima merupakan bagian penutup yang merupakan kesimpulan terkait dengan bab yang sebelumnya dibahas.
17