1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan, subjektif dan manifestasi dari kerusakan jaringan atau gejala akan terjadinya kerusakan jaringan (Dipiro et al, 2009). Rasa nyeri merupakan isyarat bahwa adanya suatu gangguan dalam suatu jaringan seperti peradangan, infeksi, kejang otot. Rasa nyeri timbul karena adanya rangsangan mekanis atau kimiawi, yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang dapat menstimulasi nyeri yang disebut sebagai mediator nyeri seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin (Tjay dan Raharja 2007). Analgesik merupakan obat yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tanpa menurunkan kesadaran. Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul,
analgesik dibagi menjadi dua golongan yaitu analgesik narkotik dan analgesik non narkotik. Analgesik narkotika digunakan untuk mengurangi nyeri yang berat sedangkan analgesik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Berdasarkan struktur kimianya analgesik non narkotik dibagi menjadi dua kelompok yaitu analgesik-antipiretik dan obat antiradang bukan steroid / non steroidal antiiflammatory drug (Siswandono dan Soekardjo 2000). Obat analgesik antipiretik dan obat anti inflamasi non steroid merupakan suatu kelompok obat yang heterogen. Walaupun demikian obat-obat ini memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping (Gunawan, 2009). Semua siklooksigenase
(COX)
mempunyai kemampuan untuk menghambat sehingga
akan
menghambat
pembentukan
prostaglandin yang merupakan mediator nyeri. Setiap efek terapi memiliki cara kerja yang berbeda-beda. Analgesik-antipiretik
merupakan
obat
yang
digunakan
untuk
mengobati simptomatik suatu penyakit, dengan kata lain obat ini hanya digunakan untuk meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau
1
2
menghilangkan penyebab penyakit. Dalam pencapaian efek terapi antipiretik, obat analgesik non narkotik bekerja dengan cara mengeliminasi panas yang diawali dengan menvasodilatasi pembuluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran keringat. Proses penurunan suhu dikarenakan adanya analgesik yang mempengaruhi pusat pengatur suhu yakni hipotalamus. Pencapaian efek terapi analgesik, analgesik non narkotik akan menghambat secara langsung dan selektif terhadap enzim-enzim pada system saraf pusat (SSP) seperti siklooksigenase yang mengkatalis pembentukan prostaglandin sehingga tidak memunculkan mediator-mediator nyeri seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-ion hydrogen dan kalium, yang dapat merangsang nyeri baik secara kimiawi atau mekanis (Siswandono dan Soekardjo 2000). Salah satu obat analgesik-antipiretik adalah parasetamol yang bekerja dengan menghambat prostaglandin secara lemah dalam jaringan perifer. Hingga saat ini parasetamol dianggap sebagai analgesik yang paling aman, banyak dipilih untuk swamedikasi (pengobatan mandiri), sering digunakan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Di Indonesia parasetamol digunakan sebagai analgesik dan antipiretik selain salisilat. Penggunan parasetamol dapat menimbulkan efek hepatotoksik jika digunakan secara lama (menahun). Nekrosis hati dapat terjadi pada penggunaan parasetamol dengan dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/KgBB) (Gunawan, 2007). OH O
N H
Gambar 1.1 Struktur Parasetamol Keamanan, efektivitas dan stabilitas obat merupakan parameter yang digunakan untuk menilai kualitas suatu obat. Salah satu upaya untuk meningkatkan hal tersebut adalah dengan modifikasi struktur utama obat. Telah dilakukan suatu modifikasi struktur golongan obat analgesik yaitu
3
piroksikam yang menghasilkan 4-klorobenzoil piroksikam yang merupakan hasil reaksi antara piroksikam dengan 4-klorobenzoil klorida dengan metode Schotten Baumman yang terbukti memiliki aktivitas yang lebih tinggi dari piroksikam. Penambahan gugus benzoil dapat meningkatkan lipofilitas sehingga dapat mempermudah proses adsorbsi obat. O-(benzoil) piroksikam merupakan suatu prodrug dalam bentuk ester, didalam akan menjadi metabolit aktif (Nurkholifah, 2010). Untuk mendapatkan parasetamol dengan aktifitas analgesik yang tinggi maka dilakukan modifikasi struktur parasetamol dengan 2-klorobenzoil klorida. Adanya penambahan gugus kloro pada benzoil dimaksudkan sebagai gugus penarik elektron yang dapat memberikan sifat elektronik yang sesuai dalam interaksi dengan reseptor sehingga dapat meningkatkan aktivitas analgesiknya. Aktifitas biologis suatu senyawa dipengaruhi oleh sifat kimia fisika senyawa, yang dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu sifat lipofilik, elektronik, dan sterik. Sifat lipofilik berpengaruh dalam proses absorbsi dan proses interaksi obat dengan reseptor, sedangkan sifat sterik menentukan keserasian interaksi molekul senyawa dengan reseptor. Peningkatan sifat lipofilik dapat dilakukan dengan memasukkan gugus nonpolar seperti benzoil sedangkan peningkatan reaktivitas senyawa dilakukan dengan memasukkan substituen yang bersifat elektronegatif seperti halogen ke cincin aromatik (Siswandono dan Soekardjo 2000). Nilai Log P merupakan parameter penting dalam perancangan senyawa obat baru, karena sistem n-oktanol-air merupakan pelarut yang mirip dengan darah manusia. Semakin besar nilai Log P, maka kelarutan senyawa tersebut di dalam darah manusia semakin baik (Susilowati, 2011). Pada perhitungan sifat kimia fisika menggunakan ChemOffice, parasetamol memiliki log P = 0,28 dan refraksi molar = 40,25 (
, sedangkan O-(2-klorobenzoil)
parasetamol memiliki nilai log P = 2,98 (
dan refraksi molar = 74,37
. Berdasarkan data diatas, lipofilitas O-(2-klorobenzoil)parasetamol lebih
besar
dibanding
dengan
parasetamol.
Peningkatan
lipofilitas
akan
4
meningkatan jumlah absorbsi obat, sehingga jumlah senyawa yang berinteraksi dengan reseptor akan dapat meningkat akibatnya aktivitas biologis akan meningkat pula. Peningkatan sifat elektronik juga akan memudahkan dalam absorbsi obat dan meningkatkan keserasian obat dan reseptor. Modifikasi parasetamol dapat dilakukan dengan subtitusi atom H gugus hidroksil pada cincin benzotiazin menghasilkan senyawa turunan O-(2klorobenzoil)parasetamol. Sintesis dari O-(2-klorobenzoil)parasetamol dapat dilihat pada gambar 1.2. Cl O
O
OH
O
O
+ Cl
N H
N H
O
Cl
Parasetamol
2-klorobenzoil klorida
O-(2-klorobenzoil)parasetamol
Gambar 1.2 Sintesis dari O-(2-klorobenzoil)parasetamol
Mekanisme reaksi asilasi ini terdiri dari dua tahap yaitu : (1) Adisi nukleofil pada gugus karbonil kemudian (2) disusul dengan eliminasi ion klorida. Gugus hidroksi bertindak sebagai nukleofil, sedangkan yang bertindak sebagai elektrofil adalah atom karbon gugus karbonil 2klorobenzoil klorida. Reaksi asilasi dilakukan dengan reaksi SchottenBaumman yaitu sintesis yang dilakukan pada suasana basa NaOH (Fessenden dan Fessenden, 1995). Dalam penelitian ini digunakan piridin sebagai basa organik dilakukan pada suhu 0-5°C. Senyawa yang dihasilkan kemudian di uji kemurnianya melalui penentuan titik lebur dan kromatografi lapis tipis. Identifikasi struktur dilakukan dengan spetrofotometer ultraviolet (UV-Vis), spektrofotometer inframerah (IR), dan spektrometer resonansi magnet inti (1H-NMR). Untuk mengetahui apakah suatu senyawa memiliki aktivitas analgesik dilakukan uji analgesik. Dalam penelitian ini digunakan metode writhing test dengan hewan coba mencit (Mus musculus) untuk menguji aktifitas analgesik karena dengan metode ini dapat diperoleh kuantitas aktivitas analgesik.
5
Metode ini sederhana, mudah pelaksanaanya dan pengamatanya. Aktivitas analgesik senyawa uji ditentukan berdasarkan kemampuanya menurunkan frekuensi respon nyeri yang dihitung sebagai % hambatan nyeri pada suatu dosis tertentu. Potensi analgesik senyawa uji dinyatakan dalam ED50.
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan uraian diatas rumusan masalah pada penelitian ini adalah : a. Apakah senyawa O-(2-klorobenzoil)parasetamol dapat dihasilkan melalui reaksi asilasi antara senyawa parasetamol dengan 2-klorobenzoil klorida dengan piridin sebagai basa organik? b. Apakah senyawa hasil sintesis mempunyai aktivitas pada mencit (Mus muculus) dan bagaimana aktivitasnya dibanding dengan parasetamol?
1.3 Tujuan penelitian a. Menghasilkan senyawa O-(2-klorobenzoil)parasetamol melalui reaksi asilasi antara parasetamol dengan 2-klorobenzoil klorida dengan piridin sebagai basa organik. b. Mengetahui aktivitas analgesik hasil sintesis pada mencit (Mus muculus) dan membandingkannya dengan parasetamol.
1.4 Hipotesis 1. Senyawa O-(2-klorobenzoil)parasetamol dapat dihasilkan melalui reaksi asilasi antara parasetamol dengan 2-klorobenzoil klorida dengan piridin sebagai basa organik. 2. Senyawa hasil sintesis mempunyai aktivitas analgesik yang lebih besar dari pada parasetamol pada mencit (Mus muculus).
1.5 Manfaat penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan senyawa hasil sintesis mempunyai aktivitas analgesik lebih besar dari parasetamol sehingga dapat digunakan sebagai calon obat analgesik setelah melalui uji praklinik dan klinik obat.