BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Kasus sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dim ulai
ketika Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama memberlakukan Rancangan Undang Undang Family Smoking Prevention and Tobbaco Control Act (FSPTCA)
pada 22 Juni 2009 yang
kem udian menjadi U ndang U ndang dan mulai berlaku secara efektif pada 22 September 2009. 1
Didalam pasal 101(b) FSPTCA memuat larangan penggunaan bahan campuran flavouring . Pasal 101(b) FSPTCA ini merubah pasal 907(a)(1)(A) Federal Food, Drug and Cosmetic Act (FFDCA) dan resmi menjadi hukum dan berlaku aktif sejak 22 September 2009.Namun, kemudian yang menjadi sengketa bagi Indonesia adalah didalam pasal tersebut tidak ada aturan pelarangan penggunaan M enthol yang merupakan termasuk bahan campuran flavouring.Sec ara tidak langsung, pasal tersebut telah melarang masyarakat AS untuk mengkonsumsi rokok kretek asal Indonesia dan adanya tindakan diskrimansi produk antara rokok kretek dengan rokok 2
menthol . Indonesia merasa keberatan dengan penerapan FSPTCA yang dinilai melanggar ketentuan WTO,National Treatment yaitu secara diskrimantif mengecualikan rokok menthol yang merupakan produk dari produsen rokok domestik AS dari larangan penjualan rokok yang mengandung bahan campuran flavouring dan melarang penjualan produk ro kok kretek
di
Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan pasar potensial bagi rokok kretek Indonesia. Periode 2005 2009 pertumbuhan perdagangan rokok kretek Indonesia -Amerika Serikat tumbuh 9,10%. Dari tahun 2005 total ekspor rokok Indonesia sebesar US$ 7.283.376 menjadi pada tahun 2009, U S$
1
Simon Tumanggor, ‘Pelaksanaan Putusan Dispute Settlement Body W TO Yang M emenangkan Indonesia Dalam
Kasus Larangan Impor Rokok Berperasa Oleh Amerika Serikat’, Jendela Informasi Hukum; Biro Hukum Kemeterian Perdagangan (online), April 2013,diakses dari http://jdih.kemendag.go.id/files/pdf/2014/02/14/7 1392378426.pdf pada 29 September 2014. 2
Dirjen Kerjasam a Internasional Kem enterian Perdagangan Indonesia, ‘RI Sengketakan Larangan Perdagangan
Rokok Kretek di Am erika Serikat Ke DSB – W TO’, DJKPI (online),25 Juni 2010, http://ditjenkpi.kem endag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_category_id=1&news_sub_c ategory_id=0&news_content_id=771&alldate=true , diakses pada 29 Septem ber 2014
1
3
8.338.419 . Penurunan ekspor terlihat ketika pada tahun 2009, Amerika Serikat memberlakukan FSPTCA, dimana pada tahun 2007, ekspor rokok kretek Indonesia kepada Amerika Serikat mencapai US$ 604,420 menjadi US$ 83.616 pada tahun 2009 atau secara volume, pada tahun 4
2007 ekspor rokok kretek mencapai 30.160 kg dan pada tahun 2009 turun menjadi 9.984 kg . Hal ini tentu mengurangi jumlah devisa yang diperoleh Indonesia dari ekspor rokok kretek. Namun, secara nilai, hal ini dianggap belum seberapa, dikarenakan Pasar Amerika Serikat merupakan trendsetter bagi pasar pasar perdagangan rokok kretek lainnya seperti Eropa dan Amerika Latin. Dikarenakan proses konsultasi antar kedua belah pihak tidak menemukan titik temu, akhirnya Indonesia mengajukan pembentukan panel ke D ispute Settlement B ody pada bulan April 2010 atas dasar Amerika melanggar ketentuan W TO mengenai National Treatment Obligation yang tercantum dalam Pasal 2.1 technical Barrier to Trade A greement. Panel WTO menemukan bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan WTO karena rokok kretek dan mentol adalah produk sejenis dan keduanya memiliki daya tarik yang sama bagi kaum muda. Pemerintah Amerika yang tidak menerima dan tidak puas terhadap keputusan panel yan g dikeluarkan pada tanggal 2 September 2011 melakukan banding ke WTO pada 5 Januari 2012.Hasil banding yang dikeluarkan menegaskan kembali bahwa keputusan panel sebelumnya adalah benar dan pemerintah Amerika telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsiste n dengan WTO. Amerika Serikat kemudian melakukan beberapa penyesuaian sesuai dengan rekomendasi DSB WTO.Namun, hal ini dirasa belum cukup oleh Indonesia karena Amerika Serikat tetap melarang rokok kretek dan memperbolehkan beredarnya rokok menthol.Indonesi a kemudian berusaha membawa kasus ini kepada badan arbitrase WTO untuk mengajukan retaliasi. Pada 24 Juni 2014, Indonesia dan Amerika Serikat secara bersama sama mengajukan penghentian proses di badan arbitrase WTO dan meminta agar hasil yang telah disiapk an oleh badan arbitrase tidak dikeluarkan secara publik. Pada 3 Oktober Indonesia dan Amerika Serikat sepakat mengakhiri kasus sengketa dagang rokok kretek dengan menandatangani Memorandum of U nderstanding 3
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Siaran Pers : Diplom asi perdagangan RI dalam Tatanan
Perdagangan Dunia: W TO Setuju Bentuk Panel Sengketa m engenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat, diakses dari http://www.kem endag.go.id/files/pdf/2010/06/25/ri-sengketakan-larangan-perdaganganrokok-kretek-di-amerika-serikat-ke-dsb-wto-id1-1353754118.pdf pada 29 Septem ber 2014 4
Sim on Tumanggor, ibid;
2
kedua negara terkait perjanjian kerjasama bilatera l kedua negara sebagai alternative penyelesaian kasus sengketa dagang yang dimana Amerika Serikat akan memberikan fasilitas Generalized System of Preferences yaitu pembebasan biaya tariff masuk untuk produk ekspor Indonesia. Selain itu Amerika Serikat juga berjanji tidak akan mempersengketakan kebijakan larangan ekspor mineral mentah, tidak akan meregulasi produk cigars dan cigarillos, serta akan membantu Indonesia dalam peningkatan kualitas hak kekayan intelektual. 1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penelitian ini akan merumusankan
masalah yaitu : M engapa In donesia menerima tawaran Amerika Serikat untuk menyelesaikan kasu s sengketa dagan g komoditas rokok kretek diluar W TO ? 1.3
Landasan Konseptual Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan 4
landasan konseptual yang dapat membantu dalam menjelaskan argumen dari rumusan masalah penelitian. 4 landasan konseptual tersebut adalah Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement, Dispute Settlement Mechanism WTO, Prinsip National Treatment yang terdapat di berbagai perjanjian WTO, termasuk perjanjian TBT, dan Liberal Institusional. Perjanjian TBT digu nakan dalam menjelaskan dasar hukum tuntutan Indonesia terhadap Amerika Serikat dalam sengketa dagang tersebut.Hal ini dikarenakan Indonesia menilai suatu regulasi yang telah diberlakukan oleh Amerika Serikat kemudian telah menimbulkan technical barriers dalam perdagangan rokok kretek Indonesia.DSM WTO digunakan untuk menjelaskan langkah prosedural yang dilalui Indonesia dan Amerika Serikat untuk menyelesaikan sengketa dagang rokok kretek. DSM WTO kemudian juga akan menjelaskan mengenai apa saja tuntutan aw al Indonesia yang ada di dasar hukum perjanjian TBT dan tuntutan mana saja yang kemudian dikabulkan oleh D ispute Settlement Body WTO. Prinsip National Treatment digunakan untuk menjelaskan mengenai alasan utama mengapa DSB WTO kemudian memenangkan Indonesia dalam sengketa dagang rokok kretek. Indonesia memang menggunakan dasar hukum perjanjian TBT dalam menuntut Amerika Serikat dalam kasus ini, namun kemudian WTO menganggap Amerika Serikat justru melanggar prinsip National Treatment yang bersifat universal didalam WTO dan terdapat dalam
3
Perjanjian TBT pasal 2.1. Liberal Institusional digunakan untuk memaparkan WTO sebagai sebuah rejim internasional yang mengatur perdagangan global diantara negara negara yang menjadi anggotanya. WTO yang kemudian memiliki fun gsi untuk menyelesaikan sengketa perdagangan diantara negara negara anggota melalui D ispute Settlement Body serta menerapkan prinsip legal-binding bagi negara negara anggotanya terhadap perjanjian perjanjian WTO serta keputusan penyelesaian sengketa WTO, baik di level panel maupun pada level Appellate Body. Technical Barriers to Trade Agreement Technical Barriers to Trade (TBT) A greement merupakan pe rjanjian yang muncul di tahun 1980 dan merupakan hasil akhir dari GATT Tokyo Round of trade negotiation (1973 5
1979) . Pada Awal munculnya, TBT merupakan perjanjian yang bersifat plurilateral, tidak mengikat dan disesuaikan dengan kemampuan dari negara nega ra anggota GA TT.Pasca munculnya WTO menggantikan GATT pada 1994, beberapa perjanjian GATT yang telah ada dirubah menjadi perjanjian multilateral, mengikat dan secara otomatis berlaku bagi negara anggota sejak diberlakukannya keanggotaan di WTO. TBT merupakan sebuah perjanjian yang terdapat di WTO yang digunakan untuk memastikan bahwa suatu regulasi, standar, prosedur uji dan sertifikasi dari suatu negara tidak menimbulkan suatu halangan bagi masuknya barang suatu negara ke negara tersebut.Negara berhak menentukan standar ataupun regulasi yang kemudian bertujuan untuk melindungi kesehatan makhluk hidup atau proteksi terhadap lingkungan serta keinginan konsumen.Namun, negara harus memastikan bahwa kemudian regulasi tersebut tidak menimbulkan hambatan perdagangan.Perjanjian ini kemudian menyarankan agar standar yang digunakan sesuai dengan standar internasional dan perjanjian internasional yang ada. Permasalahan yang kemudian muncul didalam perjanian TBT ini adalah regulasi ataupun standar yang diberlakukan memiliki kecenderungan untuk proteksi pasar domestik ataupun menimbulkan diskriminasi terhadap suatu barang yang bersifat like-products.Permasalahan semacam ini dapat diselesaikan melalui salah satu badan W TO, Dispute Settlement Body, yang memiliki mekanisme penyelesaian sengketa dagang dengan menggunakan model panel.Namun,
5
W TO, W TO E-Learning : Technical Barriers to Trade Agreem ent in the W TO, Novem ber 2010, diakses dari
http://etraining.wto.org/adm in/files/Course_243/CourseContents/TBT -R4-E-Print.pdf pada 24 november 2014
4
meskipun hasil dari penyelesaian DSB WTO mengikat bagi negara anggotanya, WTO tetap tidak dapat
memaksa
suatu
negara
untuk
merubah
suatu
regulasi
ataupun
standar
yang
berlaku.Sehingga kemudian, negara yang memenangkan kasus sengketa tersebut dapat 6
mengajukan retaliasi perdagangan . Dispute Settlement Mechanism W TO Penyelesaian sengketa perdagangan di WTO memberikan kontribusi dalam pengaturan perdagangan internasional.Penyelesaian sengketa ini menjadi pilar utama dalam pengaturan perdagangan multilateral.Inti dari dispute settlement mechanism WTO bukanlah menjatuhkan tuduhan, namun menyelesaikan sengketa.Penyelesaian sengketa ini diusahakan dapat dilakukan melalui konsultasi.Terdapat beberapa prinsip dalam mekanisme penyelesaian masalah dalam WTO yaitu equitable, fast, effective and mutually acceptable. Prosedur penyelesaian sengketa 7
perdagangan di WTO dapat dijelaskan melalui info grafis di halaman selanjutnya : Pada tahap awal penyelesaian sengketa dagang, WTO merekomendasikan bagi kedua negara untuk melakukan konsultasi.Tahap ini untuk membicarakan langkah penyelesaian dari kedua pihak tanpa perlu mengikuti prosedur DSB WTO.A pabila kemudian tahap konsultasi gagal, maka negara yang bersengketa dapat mengajukan pembetukan panel kepada DSB WTO.Panel merupakan negara negara yang diminta memberikan rekomendasi atas kasus sengketa dagang. Kemudian pada akhirnya panel akan memberikan laporan akhir yang berisi keputusan apakah pihak yang diadukan terbukti melanggar prinsip perdagangan bebas WTO dan rekomendasi DSB WTO terhadap negara tersebut. Apabila negara yang diputuskan terbukti melakukan pelanggaran tidak puas dengan keputusan panel maka negara tersebut dapat mengajukan banding kepada Appellate Body WTO.Appellate Body merupakan badan W TO yang berisi 7 or ang ahli yang ditunjuk oleh WTO.Anggota A ppellate Body tidak berafiliasi dengan negara manapun untuk menjaga asas netralitas.
6
7
Trish Kelly, The Environm ent, and Health, and Safety Standards , Blackwell Publishing, 2003, hal. 135 Understanding W TO: How Are Disputes Settled?, Hal 59, diakses dari
http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/understanding_e.pdf 24 Desem ber 2014
5
Setelah DSB mengeluarkan keputusan, pihak yang dinyatakan bersalah harus mengikuti rekomendasi DSB dalam jangka waktu 30 hari se telah rekomendasi tersebut keluar.Apabila dalam jangka waktu 20 hari dari keluarnya rekomendasi belum terlihat upaya implementasi dari pihak yang dinyatakan bersalah, penuntut dapat mengajukan permohonan kepada DSB untuk menjatuhkan sanksi perdagangan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah. Sanksi perdagangan ini dijatuhkan pada sektor yang sama sesuai dengan sengketa yang diajukan ke DSB National Treatment Principle Prinsip National Treatment merupakan salah satu prinsip non-diskrim inasi dalam WTO 8
yang m engatur mengenai perlakuan terhadap produk impor dan lokal yang setara .Produk tersebut dapat berupa komoditas, jasa, dan kekayaan intelektual.Prinsip National Treatment bertujuan untuk memperlakukan suatu produk impor sebagai suatu produk domestic.Prinsip ini
8
Understanding W TO : Principles of the Trading System , Hal 10 -11, diakses dari
http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/understanding_e.pdf 24 Desem ber 2014
6
terdapat di 3 perjanjian utama WTO ; GATT, GATS, dan TRIPS, serta beberapa perjanjian lainnya yang mengatur mengenai prinsip non-diskriminasi. National Treatment dapat diterapkan apabila suatu produk sudah atau pernah masuk kedalam pasar domestik suatu negara.Pajak ataupun tariff yang diberlakukan kepada suatu produk yang masuk kedalam pasar domestic suatu negara tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip National Treatment, meskipun pajak tersebut tidak berlaku pada produk lokal. Rational Choice Rational Choice digambarkan sebagai konsep pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh pertimbangan situasi, tujuan keputusan, berbagai alternatif keputusan, dan pilihan opsi 9
terbaik yang dianggap paling menguntungkan . Proses pengambilan keputusan yang menentukan kepentingan nasional digambarkan sebagai pendekatan rasional. Konsep pengambilan keputusan ini mengukur segala keputusan yang diambil berdasarkan hasil akhir yang akan diperoleh dari pengambil keputusan. Rational C hoice biasa digunakan sebagai kerangka berpikir untuk mengambil keputusan ‘terbaik’ diantara berbagai alternatif keputusan yang mungkin diam bil yang kemudian akan memberikan hasil output yang paling menguntungkan. Rasionalitas digambarkan sebagai runtutan proses pengambilan kebijakan yang melalui beberapa langkah: x
Problem Recognition & Definition : Tahap awal dari pengambilan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan dimulai dengan mendefinisikan permasalahn tersebut dan menggali informasi secara lengkap dan objektif terkait permasalahan tersebut.Dalam kasus sengketa dagang rokok kretek, permasalahan ini muncul ketika undang undang FSPTCA diajukan dalam bentuk bill dalam K ongres Amerika Serikat.Indonesia kemudian mempelajari segala hal yang terkait denga n FSPTCA dan produk rokok asal Indonesia dan bagaimana undang undang ini dapat berdampak pada perdagangan rokok Indonesia di Amerika Serikat.
x
Goal Selection :Pembuat kebijakan menentukan apa yang ingin dicapai ataupun diselesaikan melalui kebijakan tersebut. Proses ini melibatkan apa saja yang terpengaruh
9
Baylis, J and Smith, S ed., The Globalization of W orld Politics: An introduction to Inte rnational Relations, Oxford
University Press, and Oxford, 2005, hal. 67 -68
7
dari masalah ini (ekonomi, politik, keamanan) dan sektor apa yang sangat penting untuk diselesaikan. Dalam kasus ini, Indonesia memiliki tujuan untuk menuntut adanya perlakuan yang seimbang dari pemerintah Amerika Serikat antara rokok kretek dengan rokok menthol.Hal ini dikarenakan perlaukan tersebut telah merugikan secara nilai perdagangan kepada Indonesia namun tidak kepada produsen rokok menthol domestic Amerika Serikat. x
Identification of Alternative: Proses ini bertujuan agar para pembuat kebijakan dapat membuat sejum lah opsi kebijakan atau keputusan untuk kemudian diukur apa saja cost & benefit dari masing masing kebijakan. Setiap alternative memiliki kerugian dan keuntungan bagi pembuat kebijakan. Dalam kasus sengketa dagang rokok kretek, Indonesia pada akhirnya dihadapkan pada pilihan menerima tawaran bilateral Amerika Serikat atau melanjutkan proses retaliasi di badan arbitrase WTO. Dalam tawaran bilateral terdapat sejum lah potensi nilai perdagangan ya ng sangat menguntungkan dan belum termasuk beberapa kerjasama bilateral lainnya namun memiliki kerugian mengenai ketidakpastian mengenai potensi nilai perdagangan tersebut dan beberapa isi dari keputusan bilateral tersebut belum diakomodasi dalam kerangka yang dapat menjaminnya. Sedangkan untuk proses retaliasi, keuntungannnya bagi Indonesia adalah mendapatkan retaliasi perdagangan untuk jumlah yang tidak diketahui setiap tahunnya hingga Amerika Serikat bersedia meregulasi rokok menthol. Namun kerugiannya, apabila Amerika Serikat nantinya meregulasi rokok menthol, Indonesia tidak akan mendapatkan retaliasi kembali dan rokok kretek akan tetap dilarang masuk ke pasar Amerika Serikat.
x
Choice: Pada akhirnya pembuat kebijakan akan mengambil suatu keputusan yang dianggap terbaik setelah mengukur setiap opsi kebijakan dengan analisis keuntungan dan kerugian serta probabilitas berhasilnya kebijakan tersebut. Indonesia pada akhirnya memilih penyelesaian secara bilateral dikarenakan potensi perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat lebih menguntungkan dibandingkan melanjutkan proses retaliasi di badan arbitrase WTO.
Negara sebagai unitary actor selalu diasum sikan tunggal secara internal. Perubahan yang terjadi dalam domestik tidak mem pengaruhi kebijakan luar negeri sebanyak ketika kebijakan tersebut berubah seiring beradaptasi dengan kondisi global. Realis percaya bahwa negara sebagai unitary actor, yaitu sebuah kesatuan unit dengan sedikit perbedaan di dalamnya yang tidak akan
8
mempengaruhi keputusan. Negara sebagai unitary actor, diibaratkan seperti bola billiard dan dimana meja billiard menggambarkan sistem global. Bola billiard akan saling bertabrakan dan menggeser bola lain yang dikarenakan interaksi antara bola bola billiard bukan dari apa yang terjadi di dalam bola billiard tersebut. Implementasi Rational Choice diperlihatkan pada kasus Cuban missile Crisis. Dimana ketika presiden John F Kennedy mengetahui keberadaan rudal milik uni soviet di Cuba, Presiden membentuk sebuah crisis decision-making group yang bertujuan untuk menganalisa mengenai potensi resiko dan alternative kebijakan untuk penyelesaian kasus ini. Di awal terdapat 6 alternatif kebijakan yang disiapkan oleh kelompok tersebut dan ketika memutuskan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah mengeluarkan rudal uni soviet dari K uba, maka pilihannya mengerucut menjadi dua pilihan yaitu melaksanakan serangan udara atau melakukan blokade di laut Kuba. Pilihan terakhir menjadi opsi terbaik karena membuka banyak peluang untuk inter aksi dengan actor lain dan mendemonstrasikan ketegasan Amerika Serikat. Dalam kasus sengketa dagang rokok kretek, Indonesia menggunakan prinsip Rational Choice dalam mengambil keputusan terhadap penyelesaian akhir kasus sengketa dagang ini. Indonesia memiliki 2 opsi keputusan mengenai bagaimana kasus sengeketa dagang ini akan diakhiri,
menempuh
jalur
retaliasi
atau
menerima
tawaran
Amerika
Serikat
untuk
menandatangani kerjasama bilateral guna mengakhiri sengketa dagang tersebut. M asing masin g pilihan memiliki benefit yang berbeda satu sama lainnya namun, keduanya memiliki kesamaan bahwa pada akhirnya, apapun pilihan keputusan Indonesia, rokok kretek tetap tidak dapat masuk ke
pasar Amerika
Serikat. Indonesia
kemudian mengambil keputusan untuk
sepakat
menandatangani berbagai kerjasama bilateral bersama Amerika Serikat dalam mengakhiri kasus sengketa dangan ini karena memang dianggap lebih menguntungkan dibandingkan harus mengejar retaliasi di badan arbitrase WTO. 1.4
Argumen Utama Indonesia menerima tawaran Amerika Serikat untuk penyelesaian kasus sengketa dagang
rokok kretek secara bilateral karena adanya sejumlah keuntungan secara kerjasama perdagangan dan kebijakan dari AS dibandingkan mengajukan retaliasi kepada AS. Hal ini sesuai dengan pendekatan Rational Choice dalam pengambilan keputusan oleh Indonesia.Secara mendasar, penyelesaian kasus secara bilateral ini tidak me ngubah fakta bahwa AS telah dinyatakan bersalah 9
dalam kasus sengketa dagang ini, selain itu Indonesia juga mendapat bebera pa keuntungan, seperti tambahan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) melebihi dari standar nilai tertentu untuk 5 tahun kedepan, Janji AS untuk tidak menggugat kebijakan pelarangan atau pembatasan ekspor bahan mineral mentah dari Indonesia, da n AS juga berjanji untuk tidak ikut melarang produk cerutu atau cigars dari Indonesia. Indonesia menganggap hasil dari penyelesaian secara bilateral ini akan lebih berharga dibandingkan dengan mengajukan retaliasi sebesar 55 juta USD. Hasil dari perjanji an ini akan mampu meningkatkan nilai perdagangan bilateral Indonesia – AS secara bilateral untuk komoditas ekspor lainnya. Larangan masuknya rokok kretek juga dapat digantikan dengan janji AS untuk tidak mempengaruhi komoditas perdagangan cerutu Indonesia di AS. Selain itu, Indonesia dan AS sepakat untuk mengintensifkan kerjasama perdagangan dan investasi kedua negara melalui kerangka Indonesia-US T rade and Investment Framework Arrangement (TIF A) untuk membangun hubungan kerjasama yang lebih baik diantara k edua negara. Pertimbangan masing masing benefit dari opsi Indonesia dalam mengakhiri kasus sengketa dagang ini sejalan dengan kerangka berpikir Rational Choice dimana pengambilan keputusan didasarkan pada hasil output terbaik yang akan didapatkan dari pengambilan keputusan. Dalam hal ini, Indonesia meraih lebih banyak manfaat dalam penyelesaian secara bilateral dibandingkan mengejar upaya retaliasi di tingkat arbitrase WTO.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah dari munculnya Und ang undang Fam ily Smoking
Prevention and Tobbaco Control Act pada tahun 2009 hingga Penyelesaian secara resmi oleh kedua negara pada tahun 2014
1.6
Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan penelitian skripsi ini, Penulis akan menggunakan studi literatur dari
Buku, Jurnal, Dokumen, dan Artikel online yang membahas mengenai prinsip prinsip non diskrimnasi serta Technical Barrier to Trade Agreement. Untuk persoalan sengketa daga ng
10
rokok kretek antara Indonesia – Amerika Serikat, penulis akan menggunakan sumber sumber yang berasal dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Artikel online, serta dokum en Panel Final Report mengenai proses persidangan di DSB WTO
1.7
Sistematika Penulisan Penulis akan membagi karya tulis ini menjadi 4 Bab. Pada bab 1 , penulis akan
memaparkan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual yang akan digunakan dalam menjawab rumusan masalah, Sistematika Penulisan serta asums i jawaban sementara penulis terhadap rumusan masalah. Selanjutnya penulis akan menjelaskan awal mula munculnya undang undang FSPTCA dan dampaknya bagi neraca perdagangan rokok kretek Indonesia terhadap Amerika Serikat dan proses penyelesaian kasus sengketa dagang melalui Dispute Settle Mechanism WTO hingga akhirnya Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk menyelesaikan secara bilateral. Bab 3 akan berisi mengenai pembahasan analisis yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dike mukakan pada bab 1. Penulis akan memberikan analisa mengenai keuntungan yang diperoleh dari penyelesaian kasus sengketa secara bilateral dengan Amerika Serikat dan alasan Indonesia lebih menerima penyelesaian bilateral dibandingkan demgan melalui retaliasi. Dalam bab terakhir dalam penulisan ini, penulis akan memberikan kesimpulan bahwa Indonesia telah tepat dalam menerima tawaran Amerika Serikat untuk menyelesaikan kasus sengketa dagang secara bilateral karena tawaran tersebut lebih menguntungkan dibanding kan upaya retaliasi yang diajukan Indonesia.
11