BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah, namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah ketersediaan air bersih itu kian hari kian berkurang. Semakin meningkatnya populasi penduduk, semakin besar pula kebutuhan akan air minum, sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun. Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kekurangan air telah berdampak negatif terhadap semua sektor, termasuk kesehatan. Tanpa akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak meninggal tiap hari oleh penyakit. Begitu peliknya masalah ini sehingga para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan terjadi pertarungan untuk memperebutkan air bersih ini. Sama halnya dengan pertarungan untuk memperebutkan sumber energi minyak dan gas bumi. Indonesia merupakan negara terkaya keempat dalam hal sumberdaya air bersih setelah Brazil, Rusia, dan Kanada. Meski demikian, distribusi air bersih ke tiap rumah warga masih sangat minim. Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan salah satu pondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Hampir 50 persen rumah tangga di wilayah perkotaan dan perdesaan di Indonesia kekurangan layanan-layanan dasar seperti ini. Sistem air bersih dan sanitasi yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, melindungi lingkungan hidup, dan sangat vital bagi kesehatan manusia.
1
Masyarakat tidak selalu menyadari pentingnya kebersihan diri maupun lingkungan. Praktek kebersihan yang ada seringkali tidak kondusif bagi kesehatan yang baik, dan jamban tidak dipelihara atau digunakan dengan baik. Tingginya angka kejadian diare, penyakit kulit, penyakit usus dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan karena kondisi air dan sanitasi di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah tetap menjadi halangan yang seringkali terjadi dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat secara umum. Selain akses yang buruk terhadap air bersih, kegagalan untuk mendorong perubahan perilaku -khususnya di kalangan keluarga berpenghasilan rendah dan penduduk di daerah kumuh- telah memperburuk situasi air bersih dan sanitasi di Indonesia (Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek WSLIC-2, 2005). Salah satu upaya untuk mencegah kematian akibat diare dan penyakit lain yang terkait dengan permasalahan air bersih dan sanitasi ialah meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Akan tetapi, hampir di seluruh provinsi, pemenuhan akan infrastruktur air bersih dan sanitasi belum tercapai. Pada 2007, hanya sebesar 48,72 persen rumah tangga di Indonesia yang telah menggunakan air bersih. Sebanyak 32,98 persen di antaranya merupakan rumah tangga miskin dan sebanyak 51,16 persen merupakan rumah tangga tidak miskin. Jumlah rumah tangga miskin yang telah menggunakan air bersih di Jawa Barat hanya sebesar 24,38 persen dan jumlah rumah tangga tidak miskin sebesar 44,11 persen. Data tersebut menunjukkan posisi Jawa Barat berada di bawah rata-rata nasional (Badan Pusat Statistik RI 2009). Akes terhadap air bersih dan sanitasi perlu ditetapkan sebagai salah satu sektor prioritas pembangunan nasional karena pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses air bersih dan fasilitas sanitasi layak. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, pemerintah telah memberikan perhatian di bidang kesehatan dan sanitasi dengan menetapkan Open Defecation Free (tidak terdapat lagi jamban terbuka) dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air bersih dan
2
sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang belum mendapatkan akses. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, pemerintah Republik Indonesia mengupayakan berbagai cara melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), salah satunya adalah proyek di bidang air bersih dan sanitasi. Proyek yang sudah dilaksanakan yaitu proyek Second Water Supply and Sanitation for Low Income Communitiest (WSLIC-2). WSLIC-2 merupakan bagian dari program pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup dengan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi. Dengan komponen proyek yang begitu banyak, tentu diharapkan tujuan dari proyek pun dapat tercapai. Namun dalam perjalanan waktu kondisinya sangat beragam, ada komponen yang telah berfungsi secara optimal ada juga komponen yang tidak berfungsi optimal bahkan tidak berjalan sama sekali. Dari sekian komponen yang dibangun, salah satu komponen yang menarik perhatian untuk diteliti lebih dalam adalah komponen sistem jaringan pipa sambungan rumah untuk mengalirkan air bersih ke rumah penduduk. Sistem perpipaan ini terus mengalami perkembangan dan merupakan salah satu komponen yang mempunyai efek paling signifikan bagi masyarakat. Untuk mengetahui kondisi dan permasalahan riil di lapangan pasca konstruksi WSLIC-2, maka perlu dilaksanakan kegiatan penelitian sebagai upaya penyediaan data dan informasi untuk masukan dalam proses penyusunan rencana pendampingan dan pembinaan teknis serta menyusun rencana pengembangan WSLIC-2. Penelitian ini diperlukan untuk menggambarkan kondisi terkini implementasi proyek di desa yang terkait dengan prinsip pemberdayaan masyarakat serta pengaruhnya terhadap masyarakat terutama dalam hal perekonomian dan kesehatan.
1.2. Rumusan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya air dengan ketersediaan air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, masih
3
jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun. Meskipun begitu, Indonesia masih saja mengalami kelangkaan air bersih. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Adapun yang memiliki akses, sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air, usaha air secara komunitas serta sumur air dalam. Kondisi ini ironis mengingat Indonesia termasuk kedalam 10 negara kaya sumber air tawar. Menurut laporan Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2000, dan akan terus menurun hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2020. Padahal, standar kecukupan minimal 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Penyediaan air bersih bagi masyarakat erat kaitannya dengan keluaran kualitas pembangunan manusia, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan masyarakat, serta secara tidak langsung dampaknya dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, yang menjadi kendala sekarang adalah pengelolaan sumber daya air yang buruk yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran air. Hal ini tentu saja berdampak pada kemampuan masyarakat miskin untuk menikmati pelayanan air bersih. Berbagai program diupayakan baik oleh pemerintah melalui bantuan dari Bank Dunia maupun berupa swadaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Program-program yang berkaitan dnegan pemenuhan kebutuhan air bersih tidak semuanya berjalan dengan lancar dan memberikan pengaruh yang signifikan, terutama di kalangan masyarakat perdesaan berpenghasilan rendah. Salah satu program yang dikhususkan untuk memudahkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap air bersih adalah program Second Water Supply And Sanitation For Low Income Communities (WSLIC-2). Program WSLIC-2 ini merupakan tanggung jawab kementrian Kesehatan RI yang bekerjasama dengan Kementrian Dalam Negeri, kementrian Pekerjaan Umum dan Kementrian Pendidikan Nasional. Program WSLIC-2 dilaksanakan mulai tanggal 16 November 2000 dan berakhir pada 20 Juni 2009 yang mencakup 36 Kabupaten.
4
Kabupaten Ciamis merupakan salah satu Kabupaten yang menjadi sasaran program. Salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis yang menjadi sasaran dilaksanakannya program adalah Kecamatan Pamarican dengan Desa Neglasari salah satunya dan berlangsung mulai 2007 hingga 2009 (Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek WSLIC-2, 2005). Program yang sudah berjalan cukup lama ini, memang diharapkan dapat mencapai tujuan yang telah dicanangkan dalam perencanaan yakni meningkatkan status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat yang berpenghasilan rendah di pedesaan, melalui: perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat sehingga diharapkan dapat memberikan dampak pada peningkatan perekonomian masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, adanya program WSLIC-2 ini sedikit banyak memberikan dampak pada kehidupan masyarakat di Desa Neglasari, baik dari segi kesehatan maupun tingkat perekonomian. Namun, seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dikaitkan dengan keberhasilan program belum bisa diukur. Penelitian ini berupaya untuk menjawab beberapa permasalahan tersebut dengan cara mengukur tingkat kesehatan dan perekonomian masyarakat sebelum dan setelah program berlangsung. Secara ringkas perumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. seperti apa implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari ? 2. sejauh mana pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Neglasari ?. 3. sejauh mana pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di Desa Neglasari ?.
1.3. Tujuan Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentu memiliki tujuan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. mendeskripsikan implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari
5
2. mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Neglasari 3. mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di Desa Neglasari
1.4. Kegunaan dan Manfaat Penelitian Hasil penelitian mengenai “Pengaruh Proyek Second Water Supply And Sanitation For Low Income Communities
(WSLIC-2) Terhadap Tingkat
Perekonomian dan Kesehatan Masyarakat di Desa Neglasari Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis”, ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaatnya sebagai berikut: 1. sebagai sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan, khususnya bagi institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan program WSLIC-2. 2. sebagai sumbangan akademis, baik bacaan, sumber ide, sumber diskusi di kalangan pemerhati masalah pengelolaan sumberdaya air bersih di perdesaan.
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Ilmu Geografi Manusia di muka bumi senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Bintarto dan Surastopo (1982) menyatakan bahwa pada dasarnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah dua arah. Hal ini berarti bahwa manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungannya dan sebaliknya, manusia dengan segala kemampuannya dapat mengubah lingkungannya. Geografi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan kausal gejala-gejala muka bumi baik yang fisik maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan regional/kompleks wilayah untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan. Hagget (1965, dalam Baiquni, 2007) menjelaskan bahwa Geografi merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam mempelajari fenomenafenomena yang ada dipermukaan bumi adalah pendekatan keruangan (spatial approach) yang sering digunakan untuk mempelajari variasi lokasi dari fenomena 6
dan karakteristiknya. Analisis semacam ini misalnya dapat digunakan dalam distribusi kepadatan penduduk atau fenomena slump area di daerah pinggiran kota. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologikal (ecological approach) yang mengkaji dan memberikan interpretasi hubungan antara manusia dan lingkungan. Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach) yang merupakan kombinasi dari pendekatan ekologikal dan pendekatan keruangan. Analisis ini mengambil suatu batas wilayah administratif dan fungsional seperti daerah aliran sungai, pulau, atau kepulauan dengan identifikasi perbedaan dan kemudian menentukan hubungan dan aliran antar wilayah yang berkaitan
1.5.2. Pengertian Air dan Syarat-syarat Air Bersih Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 7 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002, disebutkan beberapa pengertian terkait dengan air, yaitu sebagai berikut : a. sumber daya air adalah air, dan daya air yang terkandung didalamnya. b. air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan. c. air bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan seharihariyang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. d. air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. e. air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. f. air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. g. sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah. h. dalam referensi lain disebutkan bahwa air adalah adalah zat kimia yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Air menutupi hampir 71% permukaan bumi.
7
Salah satu sumberdaya air yang diperoleh dari tanah adalah mata air. Mata air adalah konsentrasi aliran air tanah yang tersingkap dan tampak di permukaan bumi sebagai arus aliran air (Todd, 1980). Besar kecilnya debit mata air tidak sama, ada mata air dengan debit berfluktuasi relatif kecil antara musim kemarau dan musim penghujan serta terdapat mata air yang memiliki fluktuasi dengan debit yang sangat berbeda. Mata air di setiap tempat berlainan dan tegantung pada kondisi akifer di wilayah tangkapannya, intensitas curah hujan, topografi, karakteristik hidrologi permukaan tanah dan struktur geologi. Mata air di banyak wilayah dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Sumberdaya air yang berasal dari mata air lebih mudah digunakan karena relatif mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan air sungai atau air hujan. Meski demikian, masih banyak sumberdaya air bersih yang belum dikelola dengan baik sehingga pemanfaatannya belum maksimal. Pemerintah telah mengeluarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Syarat air minum sesuai Permenkes yaitu harus bebas dari bahan-bahan anorganik dan organik. Dengan kata lain kualitas air minum harus bebas bakteri, zat kimia, racun, limbah berbahaya dan lain sebagainya. Parameter kualitas air minum yang berhubungan langsung dengan kesehatan sesuai Permenkes tersebut adalah berhubungan dengan mikrobiologi, seperti bakteri E.Coli dan total koliform. Yang berhubungan dengan kimia organik berupa arsenik, flourida, kromium, kadmium, nitrit, sianida dan selenium. Sedangkan parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan, antara lain berupa bau, warna, jumlah zat padat terlarut (TDS), kekeruhan, rasa, dan suhu. Untuk parameter kimiawi berupa aluminium, besi, khlorida, mangan, pH, seng, sulfat, tembaga, sisa khlor dan ammonia.
1.5.3. Proyek Soeharto (2002) mendeskripsikan proyek sebagai suatu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumberdaya tertentu, dan dimaksudkan untuk menghasilkan produk yang kriterianya telah
8
digariskan dengan jelas. Sehingga sasaran proyek yang utama ialah anggaran, jadwal dan mutu. Anggaran berarti, sebuah proyek harus diselesaikan tanpa melampaui batas anggaran yang telah ditetapkan. Jadwal, berarti sebuah proyek harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu dan batas akhir waktu yang telah ditentukan. Mutu berarti sebuah proyek harus memenuhi spesifikasi dan kriteria yang dipersyaratkan. Ketiga hal ini memunculkan kendala dalam proyek yakni : biaya, waktu dan kinerja SDM. Oleh karena itu, suatu proyek harus direncanakan sedemikian rupa sehingga logis untuk dilaksanakan. Sistematika tahapan proyek yang disusun oleh PMI (Project Management Institute) yang secara umum adalah sebagai berikut: 1. tahap Konseptual, 2. tahap Pengembangan dan Perencanaan, 3. tahap Implementasi, 4. tahap Terminasi Proyek, dan 5. tahap Operasi atau Utilisasi. Tahap konseptual merupakan tahapan yang mencoba menyoroti segala aspek mengenai layak atau tidaknya suatu gagasan itu direalisasikan. Tahap pengembangan dan perencanaan merupakan tahap mengidentifikasi dan merumuskan gagasan menjadi pengkajian yang lebih spesifik terutama pada data, kriteria, spesifikasi teknis, serta komersial, dan komposisi pendanaan yang selanjutnya dipakai untuk membuat dokumen-dokumen serta kontrak proyek. Dalam tahap ini termasuk juga dalam penentuan tim proyek (tim ahli), pemilik kontraktor dan konsultan. Pada tahap ini, diharapkan perencanaan proyek memiliki parameter yang jelas menyangkut sasaran, strategi dan sumberdaya yang diperlukan. Tahap ketiga adalah tahap impementasi, yakni tahap proyek dilaksanakan dengan cara mengkomunikasikan antaranggota tim proyek, melakukan engineering-design terinci untuk proyek fisik, serta mengendalikan aspek biaya, jadwal dan mutu. Kegiatan lain yang juga penting ialah memobilisasi tenaga kerja dan melatihnya. Tahap terminasi merupakan tahap terakhir dalam siklus proyek. Pada tahap ini, tim proyek dapat menyelesaikan tugas administrasi dan keuangan proyek, mengkompilasi dokumen proyek untuk diserahkan kepada
9
pemrakarsa proyek, dan melaksankan demobilisasi peralatan maupun personil. Untuk proyek engineering, harus dilakukan start-up instalasi/mesin/produk untuk meyakinkan pemrakarsa proyek. Tahap kelima, tahap operasi atau utilisasi, tidak termasuk dalam kegiatan proyek, namun merupakan kegiatan operasional.
1.5.4. Deskripsi Proyek WSLIC-2 Second Water and Sanitation for Low Income Community (WSLIC-2) adalah proyek air bersih dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Proyek WSLIC-2 dijalankan oleh Kementerian Kesehatan dibantu oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Selain mencirikan sebagai proyek yang berhubungan langsung dengan pengembangan masyarakat, hasil laporan LP3ES (2007) menyebutkan proyek WSLIC-2 juga merupakan proyek yang menghabiskan dana cukup besar, mencapai US $ 106,7 juta dengan target sampai ke kecamatan dan pedesaan. Sumber dana proyek berasal dari pinjaman World Bank (International
Development
Association/IDA
Credit),
hibah
AusAID,
pendampingan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta kontribusi masyarakat. Kegiatan WSLIC-2 diselenggarakan di delapan provinsi yang terdiri dari 36 kabupaten dan 2.461 desa. Proyek WSLIC-2 memiliki tujuan untuk meningkatkan status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat yang berpenghasilan rendah di pedesaan, melalui : a. perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat. b. peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat. c. penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat. d. kesinambungan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Adapun komponen kegiatan WSLIC-2 terdiri dari : a. peningkatan kapasitas masyarakat dan institusi daerah. b. peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta pelayanan kesehatan masyarakat.
10
c. pembangunan dan pemeliharaan sarana air bersih dan sanitasi. d. panajemen kegiatan Jenis komponen sarana air bersih adalah sistem non perpipaan dan sistem perpipaan. Komponen sanitasi meliputi Sanitasi Masyarakat (SANIMAS) yang meliputi jamban keluarga dan jamban umum, sanitasi institusional, dan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL). Jamban keluarga diberikan kepada masyarakat dalam dua metode yaitu jamban bergulir (bangunan jamban diberikan kepada masyarakat yang mampu untuk membayar secara mengangsur dan pembayarannya digunakan untuk membangun jamban bagi warga lainnya, demikian seterusnya bergulir sampai semua warga memiliki jamban keluarga di rumahnya masingmasing) dan jamban tidak bergulir (jamban yang dibangun bagi warga yang tidak memiliki jamban dan tidak mampu untuk membayar angsuran). Pelaksanaan pengelolaan sarana air bersih dan sanitasi memerlukan adanya pembentukan organisasi yang bertugas melaksanakan operasi dan pemeliharaan sarana air bersih. Organisasi dapat berasal dari lembaga lokal yang sudah ada atau merupakan organisasi baru, yang kepengurusannya dibentuk berdasarkan hasil musyawarah masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan sarana air bersih dan sanitasi yang dibangun. Ada dua syarat untuk menjaga efektivitas organisasi operasi dan pemeliharaan yaitu untuk tugas yang sangat penting perlu dilakukan oleh orang yang cukup termotivasi dan dibayar untuk memastikan bahwa tugas itu dilaksanakan dan organisasi tersebut harus diterima oleh masyarakat sehingga persaingan konflik sosial dapat ditanggulangi (Sita dan Agusta, 2010). Kegiatan peningkatan kapasitas (capacity building) masyarakat dan institusi dalam program WSLIC-2 dilaksanakan melalui pelatihan dan pemberdayaan. Program pelatihan dirancang sesuai kebutuhan yang diidentifikasi dan dianalisis dengan metode yang sistematis dan partisipatif yaitu Methodology for Participatory Assesment (MPA) dan dikombinasikan dengan pengamatan atau observasi, wawancara, telaah dokumen yang berkaitan dengan tugas kelompok sasaran, tujuan dan fase kegiatan (perencanaan, pelaksanaan dan pasca konstruksi). Tujuan peningkatan kapasitas adalah supaya masyarakat dan institusi mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah dibidang kesehatan, sarana air
11
bersih dan sanitasi, sehinggi kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat desa meningkat. Adapun tujuan khusus peningkatan kapasitas adalah : a. semua lapisan masyarakat (kaya-miskin, laki-laki atau perempuan) memiliki kesadaran hak dan tanggungjawab dalam menentukan masa depan organisasi. b. agar semua anggota masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembentukan TKM (Tim Kerja Masyarakat) dan berkontribusi dalam penyusunan RKM (Rencana Kerja Masyarakat). c. agar masyarakat berpartisipasi (mampu dan terlibat) dalam pelaksanaan proyek. d. agar masyarakat bertanggungjawab, mampu mengelola, dan memelihara sarana air bersih dan sanitasi dengan kemampuan mengelola keuangan dan administrasi secara transparan. e. masyarakat berubah perilakunya menuju hidup bersih dan sehat. Terdapat lima faktor yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlanjutan sarana air bersih dan sanitasi yang telah dibangun masyarakat, yaitu : 1. kesinambungan teknis. Perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat mempertimbangkan jenis teknologi yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. 2. kesinambungan finansial. Semua kelompok masyarakat mampu menyediakan biaya operasional, pemeliharaan dan perbaikan secara mandiri melalui iuran. 3. kesinambungan kelembagaan. Unit Pengelola Sarana (UPS) yang dibentuk masyarakat memperhatikan kesetaraan gender dan keterlibatan kelompok miskin dalam pengelolaan sarana. 4. kesinambungan sosial. Seluruh kelompok masyarakat ikut dalam menentukan dan merencanakan kebutuhan berdasarkan Demand Responsive Approach (DRA). 5. kesinambungan lingkungan. Pemanfaatan dan pemeliharaan sarana Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) memperhatikan aspek lingkungan baik terhadap sarana itu sendiri maupun terhadap lingkungan sekitar.
12
1.5.5. Evaluasi Proyek Berbagai proyek dilakukan untuk megelola sumberdaya air yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Salah satu proyek tersebut adalah WSLIC-2 (Water Supply and Sanitation for Low Income Communities Project). Tiap program proyek yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun swasta, semestinya dilakukan tahapan evaluasi proyek untuk mengetahui tingkat keberhasilan proyek tersebut. Dalam setiap rencana evaluasi yang baik diterapkan pertanyaan – pertanyaan seperti kapan pelaksanaan evaluasi, mengapa melaksanakan evaluasi, apa kegiatan utama yang dievaluasi, bagaimana metode yang digunakan dalam mengevaluasi, siapa personalia yang akan mengevaluasi, dan berapa jumlah biaya yang diperlukan untuk kegiatan evaluasi proyek WSLIC-2 ini. Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjawab permasalahan seperti yang telah diuraikan dimuka. Pengertian evaluasi dalam perencanaan sangat bervariasi, Rakadi (1980, dalam Conyers, Diana dan Hills, 1984) menyebutkan beberapa pengertian evaluasi, di antaranya : 1. evaluasi adalah suatu penilaian dari suatu rencana/pelaksanaan proyek pada suatu periode, selama tahap peaksanaan ini disebutnya sebagai On-goin evaluation. 2. evaluasi adalah penilaian dari suatu rencana/pelaksanaan proyek, setelah dilaksanakan untuk beberapa waktu, ini disebutnya sebagai Ex-post evaluation. 3. evaluasi merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi seberapa besar obyek yang telah dan akan dijangkau, impact pada target grup dan beberapa konsekuensinya pada masa-masa yang akan datang. Gittinger, Price dan Adler (1990) mengenalkan adanya enam analisa aspek untuk kelayakan proyek, yaitu : 1. aspek teknis dari suatu proyek berhubungan dengan masalah input dan output barang-barang dan jasa. Pada hakekatnya analisis ini merupakan analsis
13
mekanis walaupun semua aspek dari teknologi yang digunakan pada proyek yang bersangkutan juga harus diperhitungkan. 2. aspek manajerial dan administratif menyangkut kemampuan staf proyek untuk menjalankan administrasi aktifitas dalam ukuran besar, keahlian manajemen hanya dapat dievaluasi secara subyektif. 3. aspek organisasi, perhatiannya terutama ditujukan pada hubungan antara administrasi proyek dengan bagian administrasi pemerintah lainnya dan untuk melihat apakah hubungan antara masing-masing wewenang dan tanggungjawab dapat diketahui dengan jelas. 4. aspek komersil menyangkut penawaran input yang diperlukan proyek, baik waktu membangun proyek maupun pada waktu proyek sudah berproduksi, dan menganalisis pemasaran output yang akan diproduksi oleh proyek. 5. aspek finansial menyangkut terutama perbandingan antara pengeluaran uang dengan revenue earning (keuntungan pendapatan) dari proyek, apakah proyek itu akan terjamin dananya, apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut dan apakah proyek itu akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri. 6. aspek ekonomis diperhatikan dalam rangka menentukan apakah proyek itu akan memberi sumbangan atau mempunyai peranan yang positif dalam pembangunan ekonomi seluruhnya dan apakah peranannya itu cukup besar untuk meratakan penggunaan sumber-sumber langka yang dibutuhkan. Sementara itu Curtis dan Watson (1982, dalam Conyers, Diana dan Hills 1984) menyatakan : evaluasi digunakan untuk mengetahui suatu pelaksanaan proyek sehingga apa yang direncanakan untuk masa yang akan datang lebih baik daripada yang telah berjalan sekarang. Dari pengertian diatas, maka dapat diketahui bahwa evaluasi merupakan pekerjaan yang kompleks. Dalam pelaksanaannya, evaluasi dapat dikerjakan oleh dua pihak yang berbeda, yaitu : 1. secara internal, evaluasi cara ini dilakukan sendiri oleh pihak pengelola, keuntungan dari evaluasi ini adalah lebih murah, karena dilaksanakan oleh pihak pengelola, dan dapat sesuai dengan perencanaan yang sebenarnya,
14
karena pihak pengelola memiliki pengetahuan tentang pekerjaannya secara nyata dan baik. Tetapi kelemahannya adalah ada kemungkinan pihak pengelola menyembunyikan kesalahan pelaksanaan dan kemungkinan mereka tidak memiliki perbedaan pengalaman. 2. secara eksternal, evaluasi cara ini dilakukan oleh pihak luar. Keuntungan dari evaluasi ini adalah lebih obyektif dan memungkinkan timbul ide baru, karena adanya perbedaan pandangan, namun demikian, kelemahannya adalah lebih mahal, lambat dan kemungkinan terdapat kesalahan karena pihak pengelola mungkin tidak memberikan semua informasi secara lengkap pada pihak yang mengevaluasi. Hal ini disebabkan evaluator tidak berkaitan langsung dengan program rencana/proyek maka memungkinkan terjadinya kesalahan dalam menerjemahkan masalah. Sterkenburg (1982) mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan yang berkenaan dengan prosedur dan kegiatan yang ditujukan pada pengontrolan proses perencanaan dan menilai apakah proses tersebut berjalan sesuai dengan rencana dan apakah tujuan telah tercapai. Menurutnya juga pekerjaan evaluasi menyangkut tiga hal yang mencerminkan intensitas dari evaluasi, yaitu : a. efisiensi : melihat apakah program yang berjalan sudah terlaksana dengan efisien b. efektivitas : sejauh mana keberhasilan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. c. dampak : apakah dapat mencapai hasil yang lebih luas dan berjangka panjang dari kegiatan, dalam kaitannya dengan tujuan pelaksanaan. Curtis dan Watson (1983, dalam Conyers, Diana dan Hills 1984) mengusulkan empat macam studi yang masuk dalam pekerjaan evaluasi, yakni : 1. menilai suatu pelaksanaan. Pada proses ini memberikan penilaian secara formal pada besarnya pelaksaan dari suatu program/proyek. 2. analisis dampak. Digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesuksesan program dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.
15
3. mengadakan penaksiran. Ditujukan untuk mengetahui bagaimana sebaiknya komponen program agar sesuai dengan kebutuhan dan unit yang menjadi target grup. 4. evaluasi institusional, meliputi penilaian kebaikan institusi yang terkait dalam proyek ini. Berdasar pada teori di atas, maka proses evaluasi dalam penelitian ini termasuk dalam kategori evaluasi eksternal karena dilakukan oleh pihak luar. Sedangkan menurut waktunya, penelitian ini termasuk ex-post evaluation karena saat penelitian ini dilaksanakan, proyek telah berakhir.
1.5.6. Masyarakat, Peran Serta Masyarakat, serta Pemberdayaan Masyarakat Menurut Mattessich dan Monsey (2004), masyarakat (community) diartikan sebagai sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah geografis tertentu yang memiliki ineraksi sosial dan psikologis satu sama lain serta dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Pengertian diatas menjelaskan bahwa syarat terbentuknya suatu kelompok masyarakat harus meliputi suatu wilayah di permukaan bumi (wilayah geografis) yang didalamnya terjadi interaksi baik secara sosial maupun psikologis baik itu antar individu maupun antara individu dengan lingkungannya. Selain terdapat interaksi, dalam suatu kelompok masyarakat biasanya juga dipersatukan oleh kepentingan umum bersama seperti yang dikemukakan oleh National Research Council (1975, dalam Mattessich dan Monsey 2004) bahwa masyarakat adalah Sekelompok orang yang tinggal saling berdekatan satu sama lain dan dipersatukan oleh kepentingan umum dan kebutuhan untuk saling menolong. Masyarakat dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), yang di dalamnya sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
16
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
1.5.6.1. Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat didefinisikan beragam oleh para ahli. Beberapa definisi tersebut di antaranya: 1. Hardjasoemantri (1998) menyatakan bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan diri (egonya) yang sifatnya lebih dari keterlibatannya dalam pekerjaan atau tugas. 2. Bambang (2003) menyatakan bahwa peran serta dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental, pikiran, emosi atau perasaan pada diri seseorang di dalam situasi kelompok, yang dapat mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab bersama. Masyarakat merupakan bagian dari kelompok manusia (sosial) yang ada di wilayah tertentu. Manusia yang tinggal di suatu wilayah tentu diharapkan mampu untuk berkarya untuk kepentingan hidup dan lingkungannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Dalam proses pembangunan atau pengelolaan sumberdaya alam, peran serta masyarakat mutlak diperlukan. Pembangunan tidak akan berjalan optimal tanpa peran serta masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk dapat berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayahnya. Bambang (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga unsur penting dalam peran serta masyarakat, antara lain: 1. suatu partisipasi dalam bentuk mental dan perasaan, lebih dari semata-mata hanya keterlibatan secara jasmani. 2. peran serta memberikan bantuan untuk mencapai tujuan kelompok yang berarti terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok atau masyarakat. 3. rasa tanggung jawab kepada kelompok atau masyarakat sebagai anggota.
17
1.5.6.2. Pemberdayaan Masyarakat Upaya pembangunan sosial dapat berupa pemberdayaan masyarakat (Adi, 2003). Suatu proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan guna membantu klien dalam memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan mereka lakukan terkait diri mereka sendiri, termasuk menghilangkan efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997 dalam Adi, 2003). Lebih lanjut, Adi (2003) menerangkan inti pemberdayaan adalah bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka. World Bank mengidentifikasi bahwa pemberdayaan masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah salah satu pondasi utama dalam program
melawan
kemiskinan.
Operations
Evaluation
Department,
mengidentifikasi empat elemen kunci pemberdayaan, yaitu akses terhadap informasi, partisipasi masyarakat miskin, pertanggungjawaban dan kapasitas institusi lokal. Perkembangan pendekatan pembangunan di Indonesia dipengaruhi oleh pendekatan pembangunan dari dunia internasional, terutama oleh negara donor. Salah satu pendekatan pembangunan yang menjadi andalan negara-negara berkembang adalah Community Driven Development (CDD). CDD merupakan pendekatan pembangunan produk World Bank yang menempatkan masyarakat miskin dan kelembagaannya sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan. CDD memberikan kontrol keputusan dan sumberdaya di tangan kelompok masyarakat. Masyarakat bermitra dengan lembaga penyandang dana, pemerintah setempat, LSM, perusahaan swasta dan lembaga pemerintah pusat. Pendekatan CDD dilakukan dengan cara penyediaan layanan sosial dan infrastruktur, pengorganisasian aktivitas ekonomi dan manajemen sumberdaya, pemberdayaan masyarakat, perbaikan tata pemerintahan, dan peningkatan ketahanan masyarakat miskin (Dongier et al., 2003).
18
Selanjutnya Dongier et al. (2003) menjelaskan untuk mendukung prinsipprinsip berkelanjutan dan efektivitas proyek pembangunan, CDD memiliki prinsipprinsip berikut ini. 1. Iklim kelembagaan dan kebijakan. Dalam aspek ini dikembangkan iklim yang menunjang pengambilan keputusan oleh komunitas dalam pengembangan
kebijakan
maupun
kelembagaan
yang
bentuk
sesuai,
dan
pengembangan hubungan diantara pemerintah. 2. Investasi sesuai kebutuhan. Investasi yang dibutuhkan disini ialah investasi yang sesuai dengan permintaan komunitas, kalau perlu komunitas dapat turut berinvestasi. 3. Mekanisme partisipasi. Mekanisme ini tertuju pada peningkatan partisipasi warga dan keikutsertaan seluruh stakeholder dalam kegiatan yang sama. 4. Keikutsertaan sesuai gender dan status sosial. Disini hendak diberi porsi identifikasi yang diikuti dengan partisiapsi pihak-pihak yang selama ini termarjinalkan. 5. Investasi pengembangan kapasitas Community-based organizations (CBOs). Upaya-upaya pengembangan kemampuan CBOs, misalnya melalui pelatihan, dimaknai sebagai investasi yang akan menuai hasil dalam jangka panjang, terutama untuk menciptakan kemandirian. 6. Fasilitas komunitas untuk informasi. Informasi menjadi penting sebagai input untuk memperoleh hasil keputusan yang sesuai dengan rumusan masalah yang sebenarnya, mencakup informasi tentang proyek, tata cara berhubungan dengan pemerintah dan swasta, serta dengan CBOs lainnya, dan informasi untuk hal-hal teknis. 7. Aturan sederhana dan insentif/hadiah yang kuat. Aturan yang sederhana memudahkan untuk dilaksanakan, sedangkan insentif memberikan stimulus positif bagi stakeholder untuk melakukan tugasnya. Untuk menguatkan hal ini maka dilaksanakan monitoring dan evaluasi. 8. Desain kerja fleksibel. Desain kerja perlu fleksibel sesuai dengan perubahan konteks maupun lingkungan di sekitar kegiatan.
19
9. Scaling up. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengelompokan proyek, diikuti dengan pembentukan jaringan antar CBOs. 10. Exit strategy.
Upaya perumusan exit strategy untuk mempersiapkan
kemandirian menjadi penting sebagai perwujudan perencanaan yang rasional. Sebagai pendekatan yang menekankan pada pengembangan kapasitas institusi lokal, CDD menetapkan alternatif kelembagaan sebagai berikut: 1. hubungan antara CBOs dengan pemerintah setempat atau yang dipilih. 2. hubungan antara CBOs dengan LSM atau swasta 3. hubungan langsung CBO dengan pemerintah pusat atau lembaga donor. Uphoff (1986, dalam Sita dan Agusta, 2010) menyatakan bahwa dalam proses implementasi pembangunan infrastruktur desa, upaya untuk memantapkan infrastruktur harus dilakukan bersamaan dengan menciptakan atau menguatkan institusi lokal untuk membangun dan memelihara infrastruktur. Pengetahuan lokal dan sumberdaya lokal sangat dibutuhkan pada fase mendesain dan konstruksi proyek, sama halnya seperti input lokal dan komitmen yang dibutuhkan untuk pengoperasian dan pemeliharaan.
1.5.7. Perdesaan Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Meskipun pendekatan peraturan umumnya menggunakan pendekatan administratif, pengertian dalam undang-undang tersebut merujuk pada definisi secara fungsional. Sehingga, dalam lingkungan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sendiri, dikenal istilah perkotaan kabupaten meskipun bentuk struktur pemerintahannya menggunakan desa. Menurut Suhardjo (2008), dalam beberapa dekade terakhir mulai terjadi perubahan-perubahan definisi kawasan perdesaan. Hal tersebut dikarenakan mulai berubahnya tipologi kawasan perdesaan dan perkembangan kawasan perdesaan
20
dalam beberapa waktu terakhir. Terutama setelah era globalisasi yang masuk ke perdesaan, telah terjadi interaksi dan negosiasi sosial budaya masyarakat perdesaan terhadap modernitas dan budaya luar. Faham dikotomi kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan mulai ditinggalkan dengan tidak relevannya pemahaman tersebut dengan mulai biasnya perdesaan-perkotaan. Dalam definisi klasik, secara ekonomi kawasan perdesaan dikategorikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian sedangkan kawasan perkotaan dikategorikan sebagai wilayah dengan kegiatan utama di sektor jasa dan perdagangan. Definisi tersebut masih banyak digunakan hingga saat ini. Namun munculnya kawasan perdesaan dengan perekonomian yang ditopang oleh kegiatan industri kecil seperti kerajinan, pariwisata, definisi tersebut dirasa belum dapat mewakili keseluruhan tipologi kawasan perdesaan. Oleh karenanya muncul istilahistilah seperti desa-kota yang berusaha mendefinisikan kawasan-kawasan perdesaan yang dianggap memiliki ciri-ciri perkotaan baik secara fisik maupun sosial dan ekonomi . Pendekatan klasik lainnya yang digunakan dalam mendefinisikan kawasan perdesaan adalah pendekatan berdasarkan paradigma modernisasi dan model dikotomi. Pendekatan tersebut muncul setelah masa revolusi industri. Dengan munculnya kawasan-kawasan kota industri dengan segala modernitasnya, kawasan perdesaan dianggap sebagai representasi masyarakat tradisional (gemeinschaft) dan kawasan perkotaan dianggap sebagai representasi masyarakat modern (gesellschaft). Model dikotomik lainnya adalah solidaritas mekanik vs organik, serta kelompok primer vs kelompok sekunder (Suhardjo, 2008). Lain halnya dengan paradigma lama, paradigma baru memandang kawasan perdesaan bukan lagi sebagai kawasan yang harus didominasi oleh pertanian. Perubahan mendasar di wilayah perdesaan terjadi dalam semua bidang sebagai bentuk respon terhadap perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik (Illbery, 1998 dalam Suhardjo, 2008). Akibatnya, terutama di negara maju dan negara berkembang, telah terjadi perubahan dimana sektor non-pertanian tumbuh tidak hanya di wilayah perkotaan tetapi juga di kawasan perdesaan sehingga memunculkan desa-desa wisata, desa industri kerajinan, desa nelayan, dan
21
sebagainya. Selain itu, proses diversifikasi perdesaan juga menunjukkan meningkatnya konsumsi di perdesaan sehingga kawasan perdesaan tidak lagi dapat dianggap sebagai kawasan produksi dan kawasan perkotaan dianggap sebagai konsentrasi konsumsi (Suhardjo, 2008) Dengan menggunakan pendekatan yang lebih umum, Suhardjo (2008) mendefinisikan kawasan perdesaan sebagai kesatuan wilayah sosial/budaya, atau kesatuan wilayah administratif yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk menjelaskan kawasan perdesaan yang bias akibat mempunyai kemiripan dengan sifat kota, Suhardjo (2008) mendefinisikan kawasan tersebut sebagai kawasan desakota atau kawasan perdesaan yang mempunyai ciri kota, yang biasanya terdapat di kawasan fringe area. Sedangkan dalam Kamus Tata Ruang 2008, desa-kota didefinisikan sebagai desa yang mata pencahariannya mirip dengan di kota, termasuk gaya hidup dan gaya perumahannya. Menggunakan pendekatan batasan fungsional, kawasan tersebut dicirikan dengan kesamaan fisik (perumahan) dan sosial budaya (mata pencaharian dan gaya hidup). Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan beberapa penyesuaian terhadap definisi kawasan perdesaan yang akan diangkat dalam penelitian. Kawasan perdesaan dapat diartikan dengan dua pendekatan, yaitu menggunakan batasan administratif dan batasan fungsional sebagai berikut: 1. dalam batasan administratif, kawasan perdesaan dapat diartikan sebagai suatu kesatuan wilayah administratif yang telah ditetapkan secara hukum. 2. dalam pendekatan fungsional, kawasan perdesaan dapat diartikan sebagai suatu kesatuan wilayah fungsional yang memiliki ciri fisik dan sosial budaya tertentu dengan kegiatan ekonomi pertanian dan/atau pemanfaatan serta pengelolaan sumber daya alam. Sehingga dalam definisi ini, kawasan sub-urban atau fringe area dengan ciri fisik perkotaan bukan dianggap sebagai kawasan perdesaan. Maka berdasarkan pendekatan tersebut, Desa Neglasari baik secara administratif maupun fungsional dapat dikategorikan sebagai kawasan perdesaan.
22
1.5.8. Perkembangan Ekonomi Kawasan Perdesaan Kawasan Perdesaan memiliki peran yang penting dalam mendukung pembangunan nasional. Kemandirian pembangunan kawasan perdesaan merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan kawasan perdesaan dalam mendorong perkembangan ekonomi di kawasan desa dengan memanfaatkan potensi yang ada di wilayah tersebut. Perkembangan ekonomi kawasan perdesaan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kota, dan menguatkan peran desa sebagai pusat produksi dan kebutuhan sumberdaya pembangunan. Membangun hubungan keterkaitan antar desa-kota juga merupakan salah satu cara yang ditempuh sebagai suatu upaya pembangunan wilayah perdesaan, dimana peran desa dikuatkan sebagai pusat produksi dan sumberdaya. Keterkaitan tersebut dapat mengurangi ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan, dan mengurangi angka urban masyarakat dari desa ke kota. Diharapkan pola tersebut mendorong perkembangan ekonomi desa dan mendorong permerataan ekonomi antara desa dan kota. Dalam hubungan yang lebih intensif, hubungan desakota
tersebut
dapat
berupa
interaksi
spasial
antar
subsistem
rantai
agribisnis/agroindustri (Rustadi dan Pranoto, 2007). Dalam mengukur perkembangan ekonomi kawasan perdesaan, Adisasmita (2006) menawarkan beberapa pendekatan, yaitu (a) pendapatan desa per kapita, (b) pendapatan masyarakat, (c) diversifikasi ekonomi.
A. Pendapatan Desa Per Kapita Pendapatan desa perkapita digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk melihat proporsi pendapatan suatu desa terhadap jumlah penduduk desa. Pendapatan desa menggunakan prinsip pendapatan domestik bruto, dihitung dengan jumlah produksi total. Jumlah produksi total tersebut dikonversi dalam nilai total rupiah dan dibagi dengan jumlah pendapatan.
B. Pendapatan Masyarakat Pendapatan masyarakat dalam pendekatan Adisasmita (2006) terkait dengan ketimpangan pendapatan yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain,
23
perkembangan ekonomi perdesaan harus diikuti oleh pemerataan pendapatan di masyarakat. Dalam keadaan ekstrim dimana pendapatan terdistribusi secara merata, 40 persen populasi terbawah akan menerima 40 persen pendapatan, dan 20 persen populasi teratas menerima 40 persen total pendapatan.
C. Diversifisikasi Ekonomi Diversifikasi ekonomi atau perubahan struktur perekonomian daerah perdesaan dilihat berdasarkan perubahan struktur ekonomi perdesaan. Dalam beberapa dekade terakhir, perluasan kawasan perkotaan dan pembukaan akses kawasan perdesaan mengubah struktur ekonomi kawasan perdesaan tidak lagi berat pada sektor pertanian. Hal tersebut tampak pada kawasan-kawasan perdesaan yang mempunyai ciri perkotaan, atau biasa disebut sebagai desa kota.
1.5.9. Pengertian Kesehatan, Perilaku Kesehatan dan Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan 1.5.9.1. Pengertian Kesehatan Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 dijelaskan bahwa pengertian Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sedangkan menurut Mu’rifah (2007) kesehatan pribadi adalah segala usaha dan tindakan seseorang untuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri dalam batas-batas kemampuannya, agar mendapatkan kesenangan hidup dan mempunyai tenaga kerja yang sebaik-baiknya. Kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak, dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau usia lanjut, yakni mempunyai kegiatan, misal sekolah atau kuliah bagi anak dan remaja, dan kegiatan pelayanan sosial bagi yang lanjut usia (Notoatmodjo 2003). Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor
24
yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Secara ringkas ditunjukkan pada Gambar 1.1
Gambar 1. 1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan (Sumber: studi pustaka, 2012) Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal (Notoatmodjo, 2003).
1.5.9.2. Perilaku Kesehatan Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner seperti yang dikutip Notoadmodjo (2003), maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme)
25
terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni: 1. perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintance), adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek. 2. perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). 3. perilaku kesehatan lingkungan, adalah sebagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya. Berdasarkan pembagian domain perilaku Bloom dikembangkan 3 tingkatan ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmojdo, 2003): 1. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2003): a. Tahu (know). Tahu diartikan hanya sebagi recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa jamban adalah tempat membuang air besar. b. Memahami (comprehension). Memahami suatu objek buka sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut
26
harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi (application). Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi lain. d. Analisis (analysis). Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antar komponenkomponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. e. Sintesis (synthesis). Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponenkomponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
2. Sikap (atitude) Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Menurut Allport (1954, dalam Notoadmodjo, 2003), sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu: a. kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.
27
c. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: a. menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). b. menanggapi (responding). Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. c. menghargai (valuing). Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons. d. bertanggung jawab (responsible). Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakini.
3. Tindakan atau Praktik (Practice) Tingkat-tingkat Praktik (Notoatmodjo, 2003): a. persepsi (Perception). Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama. b. praktik terpimpin (guided response). Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. c. praktik secara mekanisme (mechanism). Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. d. adopsi (adoption). Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.
28
1.5.9.3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2003), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan baik individu maupun masyarakat, yaitu: a. faktor-faktor pemudah (predisposing factor), yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Adapun yang menjadi faktor pemudah dalam penelitian ini adalah: pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, budaya. b. faktor-faktor pendukung (enabling factor), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Adapun yang menjadi faktor pendukung dalam penelitian ini adalah: jarak rumah dari tempat pembuangan tinja, dan biaya. c. faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), adalah faktor-faktor yang mendorong atau mempercepat terjadinya perilaku. Adapun yang menjadi pendorong dalam penelitian ini adalah: perilaku petugas kesehatan/peran petugas kesehatan.
1.5.10. Hubungan Air dan Sanitasi dengan Kesehatan Selain memberikan manfaat yang menguntungkan bagi manusia, air juga memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan manusia. Air yang sudah tercemar oleh virus, bakteri, protozoa, dan cacing merupakan air yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan sangat berpotensi sebagai media penularan penyakit. Menurut Feachem (1980), penyakit yang dapat ditularkan melalui media air dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu (1) water borne diseases, (2) water washed diseases, (3) Water Based Diseases, (4) water related insect vector.
1. Water Borne Diseases Water borne diseases adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air yang disebabkan oleh organisme-organisme yang sangat menular dan bisa menulari seseorang hanya dengan jumlah sedikit saja. Hal ini tergantung tingkat polusi yang terjadi. Dua penyebab utama yang menyebabkan kematian yang tinggi jika tidak
29
ada pengobatan, yaitu tifus dan kolera. Dua penyakit tersebut kejadiannya sangat dramatis, karena sumber penularan umumnya merupakan sumber air masyarakat yang tercemar oleh tinja penderita atau pembawa infeksi (carier).
2. Water Washed Diseases Water Washed Diseases merupakan penyakit karena kurangnya air untuk kebersihan perorangan. Air yang tidak mencukupi untuk membersihkan diri atau mencuci alat-alat makan dan pakaian. Karena kebersihan yang kurang maka infeksi kulit mudah berkembang. Begitu juga dengan penularan infeksi usus seperti diare (disentri basiler) sangat mudah terjadi disebabkan karena tangan dan peralatan rumah tangga/ makan yang tercemar.
3. Water Based Diseases Water based diseases merupakan jenis penyakit yang ditularkan melalui hewan-hewan air yang tidak bertulang belakang. Peranan hewan air yang tidak bertulang belakang seperti siput sebagai perantara perkembangan hidup mikroba. Mikroba yang semula dari telur atau larva kemudian hidup dalam siput dan menjadi matang sehingga tersebar di perairan dan akan menjadi infektif terhadap manusia. Contoh dari water based diseases adalah schtstosotasis.
4. Water Related Insect Vector Water related insect vector merupakan infeksi yang ditlarkan oleh serangga yang bergantung pada air. Contohnya nyamuk berkembang biak di air dan dapat menularkan penyakit malaria, demam berdarah dan penyakit kaki gajah/filariasis dan chikungunyah. Selain penyakit yang penyebarannya berhubungan langsung dengan air, terdapat pula penyakit yang penyebaran atau kejadiannya terkait dengan kondisi kekurangan air dan sanitasi yang buruk, salah satunya karena kebiasaan BAB bukan di jamban. BAB di sembarang tempat sperti di kebun, kolam atau sungai menyebabkan terjadinya pencemaran tinja. Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam
30
tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine) dan CO2 sebagai hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003). Tinja merupakan bahan buangan yang sangat dihindari oleh manusia untuk berkontak karena sifatnya yang menimbulkan kesan jijik pada setiap orang dan bau yang sangat menyengat. Tinja juga merupakan bahan yang sangat menarik perhatian serangga, khususnya lalat, dan berbagai hewan lainnya, misalnya anjing, ayam, dan tikus, karena mengandung bahan-bahan yang dapat menjadi makanan hewan itu. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara (Notoatmodjo, 2003). Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang paling diutamakan. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah berjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah (1) pencemaran tanah, pencemaran air, dan kontaminasi makanan, (2) perkembangbiakan lalat.
1.5.11. Kualitas Hidup Menurut World Health Organization (WHO) (2000, dalam Lopez dan Snyder, 2004), kualitas hidup di definisikaan sebagai persepsi individu mengenai posisi hidup individu dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hiudp dan hubungannya dengan tujuan, harapan, dan standar yang ditetapkan dan menjadi perhatian seseorang. Kreitler dan Ben (2004, dalam Nofitri, 2009) mengemukakan bahwa kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu mengenai keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih spesifiknya adalah penilaian individu terhadap
31
posisi mereka di dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian individu. Menurut Post, Witte dan Schrijvers (1999), ada tiga cara yang dapat digunakan untuk mengoperasionalisasikan konsep dari kualitas hidup yaitu melihat kualitas hidup sebagai kesehatan, sebagai kesejahteraan dan sebagai konstruk yang bersifat global (superordinate construct).
1.5.12. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu terkait dengan evaluasi serta pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat maupun analisis dampak dan keberlanjutan proyek, antara lain:
a. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (2007) Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) berupaya untuk mengevaluasi program WSLIC-2 dan PAMSIMAS dan hasil evaluasi tersebut tertuang dalam “Laporan Akhir Kajian Cepat Program-Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Indonesia: Program WSLIC-2 dan PAMSIMAS”. Salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Bappenas ingin mengetahui sejauhmana effektivitas dari proyekproyek pemberdayaan masyarakat yang ada sekarang, sehingga diharapkan pengalaman dan pembelajaran tersebut dapat dijadikan masukan untuk implementasi Program PNPM ke depan. Salah satu program yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pembelajaran adalah program di bidang air bersih dan sanitasi. Ada dua katagori program air bersih dan sanitasi, yaitu: a) Water Supply and Sanitation for Low Income Communities Project (WSLIC2) yang diimplementasikan oleh Departemen Kesehatan. Dan b) PAMSIMAS (baru dalam tahap disain) yang diimplementasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai upaya Untuk melihat pembelajaran dari proyek tersebut, LP3ES diminta DSF Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kedua proyek tersebut. Evaluasi ini bertujuan untuk a) melakukan penilaian efektifitas pelaksanaan dalam
32
mencapai tujuan yang telah dicanangkan pada programnya masing-masing, dan b) Mempelajari cara-cara untuk perbaikan program dan pelajaran-pelajaran praktis dalam pengembangan masyarakat yang lain dan program pengentasan kemiskinan. Pendekatan yang digunakan untuk melakukan adalah (1) Review dan Analisis Dokumen, (2) Wawancara dengan Informan Kunci; dan (3) Kunjungan Lapangan untuk Rapid Appraisal. Sebagai salah satu metode yang digunakan untuk pengumpulan data primer dari stakeholder di desa yang dikunjungi, dilakukan Focus Group Discussion. Ruang lingkup studi menitik beratkan pada pencapaian keberhasilan program proyek air bersih dan sanitasi meliputi: 1) Pencapaian hasil, 2) Pemilihan sasaran daerah miskin, 3) Peningkatan kapasitas, 4) Aliran dana dan kebocoran, 5) Keberlanjutan program, 6) Organisasi masyarakat, 7) Kepuasan terhadap program. Lokasi
evaluasi
adalah,
program
WSLIC-2
yang
operasi
dan
pemeliharaannya sudah dilakukan oleh masyarakat. Sesuai hasil konsultasi dengan CPMU DPMU dan PPMU terpilih 6 desa yaitu: Pangean, Kecamatan. Maduran, dan Sidobogem, Kecamatan. Sugio, Kab. Lamongan, Prop. Jawa Timur. Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, dan desa Aikmel Utara, Kecamatan. Aikmel, Kab. Lombok Timur, Prop. Nusa Tenggara Barat. Lagan Gadang Mudik, Kecamatan Linggo Sari Baganti-Kanagarian Punggasan, dan Rawang, Kecamatan. Sutera, Kanagarian Suranti, Kab. Pesisir Selatan, Prop. Sumatera Barat. Hasil dokumen review dan temuan lapangan di 6 lokasi mengindikasikan bahwa program WSLIC-2 telah mencapai tujuan yang dicanangkan dalam hal penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi, dan keberhasilan ini dirasakan oleh semua stakeholders mulai dari masyarakat penerima manfaat, pengelola infrastruktur, anggota TKK, LSM, CF, DPMU dan PPMU. Meskipun tidak dipungkiri bahwa dalam proses menuju pencapaian hasil ini juga ditemukan permasalahan. Pencapaian hasil tersebut diukur dengan parameter sebagai berikut:
Kesesuaian antara tujuan dan hasil proyek: jika tujuan WSLIC-2 disederhanakan sebagai penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi, maka program WSLIC-2 benar-benar telah menjawab sebagian besar kebutuhan masyarakat
33
pedesaan terhadap air bersih dan sanitasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan berbagai pihak antara lain pengelola dan pemanfaat sarana air bersih, dan pelaksana proyek (PPMU, DPMU). Beberapa hal yang menjadi indikasi keberhasilan tersebut yaitu; a) Meningkatnya ketersediaan sarana air bersih dan sanitasi. b) Penurunan penyakit yang disebabkan oleh air dan sanitasi/lingkungan yang kurang baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan aparat desa serta petugas puskesmas atau polindes, diperoleh informasi bahwa terjadi penurunan kejadian penyakit yang terkait dengan terpenuhinya kebutuhan air bersih dan sanitasi tersebut. c) Terjadinya peningkatan prilaku hidup bersih dan sehat: Secara umum di 6 desa yang dikunjungi telah terjadi perubahan PHBS menuju tingkat yang lebih baik terkait pada indikator minum air yang sudah dimasak, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, mencuci dengan sabun setelah buang air besar (BAB) dan tidak BAB di sembarang tempat. d) Kemudahan dalam mencapai akses terhadap sarana air bersih dan sanitasi: Masyarakat desa yang semula harus berjalan jauh ke sumber air atau harus antri lama di tempat penjual air sebelum adanya program WSLIC-2, kini tinggal memutar kran yang ada di kran umum atau di sambungan rumah masing-masing. Jarak terjauh KU dengan rumah penduduk hanya sekitar 200 meter.
Pemilihan sasaran daerah miskin: berdasarkan hasil temuan lapangan di 6 lokasi dan dokumen review, desa sasaran WSLIC-2 sudah tepat, yaitu mayoritas penduduknya miskin (berpenghasilan rendah), tingginya penyakit yang disebabkan oleh air dan lingkungan yang kurang sehat, ada potensi air bersih yang mudah untuk dikembangkan, dan adanya kesediaan masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam berbagai tahapan proyek. Diyakini dalam proses pembangunan sarana air bersih dan sanitasi, partisipasi masyarakat (inkind 16%) bila dikonversikan dengan dana untuk setiap lokasi partisipasi masyarakat melebihi 16%, namun sayang data tertulisnya di setiap desa tidak ada, hal ini disebabkan data tidak tersimpan secara baik, waktu pelaksanaan dan penyerahan relatif sudah cukup lama, dan terjadinya penggantian pengurus.
34
Peningkatan kapasitas: Beberapa pelatihan yang dilaksanakan di setiap desa untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa penerima program WSLIC-2 adalah: 1) sistem manajemen keuangan SAB, 2) Pelatihan teknik operasional dan pemeliharaan air bersih, 3) teknik penyuluhan kesehatan, 4) Pola hidup sehat untuk masyarakat dan guru, 4) pelatihan dokter kecil (di Desa Rawang, Pesisir Selatan), 5) Pelatihan SODIS (di Lombok Timur). Pelatihan tersebut diakui telah mampu meningkatkan kapasitas SDM di desa terkait dalam bentuk: meningkatnya keterampilan teknis pembangunan sarana air bersih bagi TKM, meningkatnya kemampuan teknis operasi dan pemeliharaan sarana air bersih bagi TKM, meningkatnya kemampuan pengelolaan prasarana air bersih bagi TKM, dan meningkatnya perilaku hidup sehat di masyarakat.
Efektifitas Biaya, Struktur Pendanaan dan Aliran Dana: dengan merujuk pada pencapaian hasil yang telah dirasakan oleh masyarakat yang mendapatkan layanan air bersih dan sanitasi serta meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat dan menurunnya kejadian penyakit diare, maka biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan sarana air bersih dan sanitasi serta pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kapasitas masyarakat sudah cukup sepadan. Namun berdasarkan laporan audit teknis, menyimpulkan tentang efektifitas biaya sebagai berikut: a) pembangunan sarana air bersih dengan dana sekitar Rp. 200juta disimpulkan belum efektif karena rata-rata belum bisa menjangkau 80% dari target pelayanan. Hal ini berlaku pada 3 kelompok sistem (non perpipaan, perpipaan gravitasi, dan perpipaan pemompaan). b) Agar sarana bisa menjangkau minimal 80% dari target pelayanan, direkomendasikan plafon dana untuk tiap desa dinaikkan menjadi Rp.375juta. Meskipun dengan plafon yang dinaikkan ini, sistem perpipaan pemompaan hanya bisa menjangkau sekitar 70% dari target pelayanan. c) Disimpulkan bahwa sistem non perpipaan adalah yang paling murah dan perpipaan pemompaan adalah yang paling mahal.
Keberlanjutan program: hasil temuan lapangan di 6 lokasi dan dokumen review menunjukan bahwa: a) sarana air bersih dan sanitasi di enam desa tetap berfungsi
35
dan memenuhi tingkat kepuasan banyak pengguna. b) Cakupan pelayanan air bersih dan sanitasi telah mencapai lebih dari 80% masyarakat sasaran program. c) Dari hasil kunjungan lapangan ke 6 desa didapatkan kondisi bahwa masyarakat penerima manfaat maupun pengelola infrastruktur dengan kearifan lokalnya telah memikirkan cara dan tindakan untuk menjaga kesinambungan program WSLIC-2. Yang mendorong masyarakat untuk melakukan hal tersebut adalah karena munculnya rasa memiliki terhadap program WSLIC-2. Hal tersebut dipicu karena mereka merasa turut merencanakan dan mengalami setiap tahapan proses dari sejak perencanaan, konstruksi, dan operasi. Rasa memiliki ini juga muncul karena masyarakat merasa turut menanamkan investasi berupa uang, tenaga dan material.
Organisasi masyarakat: Di setiap lokasi evaluasi telah terbentuk organisasi O&P sarana air bersih dan sanitasi, bertanggung jawab terhadap operasional sarana air bersih yang ada di desa. Sebagian besar pengurus muka baru (bukan berasal dari TKM) kecuali untuk bagian teknis. Kesadaran untuk menjaga keberlangsungan kelembagaan pengelola sarana ini sangat kuat di kabupaten Lamongan. Kebutuhan akan keberlangsungan pengelola sarana sangat disadari dan tidak menginginkan kelembagaan tersebut hilang seiring dengan selesainya program WSLIC-2 tahun 2009. Hal ini ditunjukan dengan dibentuknya lembaga HIPPAMS (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum dan Sanitasi) di tiap desa. Mulai tahun 2004, pembentukan HIPPAMS menjadi persyaratan dalam pencairan dana termin ke tiga. Selain itu di tingkat kabupaten Lamongan telah dibentuk Asosiasi HIPPAMS “Banyu Urip” telah memperoleh akte notaris. Asosiasi ini merupakan wadah HIPPAMS untuk melakukan koordinasi, konsultasi dan saling tukar pengalaman dalam pengelolaan sarana air minum dan sanitasi pedesaan. Asosiasi ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme anggota dalam pengelolaan sarana air minum dan sanitasi pedesaan, melalui koordinasi, konsultasi, pemberdayaan dan saling tukar pengalaman dalam rangka peningkatan dan penyetaraan kinerja anggota.
Kepuasan terhadap program: Berdasarkan kunjungan lapangan terhadap 6 desa di tiga provinsi, mayoritas stakeholder di kabupaten sampai desa baik perangkat
36
desa, pengelola sarana maupun masyarakat penerima manfaat air bersih dan sanitasi merasa puas terhadap Program WSLIC-2. Kepuasan terhadap program ini muncul karena pencapaian hasil yang dirasakan oleh perangkat desa maupun masyarakat di semua lapisan (kaya-miskin, laki-laki/perempuan). Program WSLIC-2 banyak memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna di perdesaan misalnya: kemudahan mendapatkan air, mengenal perilaku hidup bersih dan sehat, BAB pada tempat-tempat tertentu (WC), efisiensi waktu dalam pengambilan air sehingga dapat digunakan untuk kegiatan produktif lainnya seperti perkebunan, pertanian, buruh tani, serta pembuangan limbah lebih mudah. Masyarakat cukup puas dengan WSLIC-2 bila dibandingkan dengan program lainnya karena manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, di sisi lain masyarakat terlibat dalam proses kegiatan di desa termasuk pelaksanaan pembangunannya. Sedangkan dampak buruk yang ditimbulkan dengan dibangunnya dan dimanfaatkannya infrastruktur tersebut tidak ada sama sekali. Kepuasan terhadap program WSLIC-2 karena masyarakat merasa memiliki kegiatan yang dilaksanakan dalam program WSLIC2. b. Rismanimurti, Adihardjo dan Wiguna (2008) Penelitian yang dilakukan berjudul “Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Pencapaian Tujuan Proyek Second Water and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-2)”. Obyek penelitian adalah Kabupaten Pamekasan, dengan memilih desa lokasi proyek WSLIC-2 yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi yaitu Pamoroh dan desa dengan tingkat keberhasilan rendah yaitu Rangperang Daya. Pengambilan sampling menggunakan teknik total sampel terhadap penerima manfaat proyek Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuisioner. Data dianalisis menggunakan structural equation modeling (SEM) dengan variabel X adalah partisipasi masyarakat dan variabel Y adalah pencapaian tujuan proyek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kedua desa partisipasi berpengaruh positif terhadap pencapaian tujuan proyek. Di Desa Pamoroh, yang paling berpengaruh adalah variabel tingkat partisipasi sedangkan pencapaian tujuan
37
proyek yang paling dipengaruhi adalah peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk Desa Rangperang, daya partisipasi yang paling berpengaruh adalah variabel wujud partisipasi sedangkan pencapaian tujuan proyek yang paling dipengaruhi adalah peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
c. Sita dan Agusta (2010) Penelitian yang dilakukan berjudul “Evaluasi Efektivitas, Relevansi, Dan Keberlanjutan Dampak Proyek Second Water Sanitation For Low Income Communities (WSLIC-2) Di Desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sejauh mana desain proyek WSLIC-2 di
Desa Pangradin sejalan dengan
pemberdayaan masyarakat serta mengevaluasi sejauh mana efektivitas, relevansi, dan keberlanjutan dampak proyek WSLIC-2 yang dilaksanakan di Desa Pangradin. Responden penelitian ini terdiri dari masyarakat, siswa SD (Sekolah Dasar) dan anggota TKM (Tim Kerja Masyarakat) dengan total responden 244 orang yang dipilih secara acak sederhana dan acak distratifikasi. Sementara itu, informan penelitian adalah anggota TKM, anggota Unit Pengelola Sarana (UPS), dan anggota TKKc (Tim Koordinasi Kecamatan) yang dipilih secara purposif. Pengumpulan data dilakukan dengan survai dan wawancara mendalam serta penelusuran dokumen yang terkait dengan proyek WSLIC-2. Analisis data menggunakan tabel frekuensi, penyajian grafik, dan prosedur pengujian statistik baik parametrik (uji Tberpasangan) maupun non-parametrik (uji Mc Nemar dan rangking bertanda Wilcoxon). Desain proyek WSLIC-2 dibandingkan dengan konsep pemberdayaan berdasarkan 10 prinsip Community Driven Development (CDD). Berdasarkan pada hasil analisis dokumen WSLIC-2 serta dengan melihat implementasi proyek di lapangan, desain proyek WSLIC-2 yang dirancang sudah mendekati konsep pemberdayaan berdasarkan 10 prinsip CDD pada fase konstruksi, namun belum mengakar kuat pada fase pemeliharaan proyek. Hasil pengukuran terhadap pencapaian keluaran, manfaat, dan dampak proyek menunjukkan bahwa proyek cukup efektif dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih, namun
38
dalam aspek sanitasi, yakni membebaskan masyarakat dari perilaku BAB (Buang Air Besar) di sembarang tempat, proyek WSLIC-2 dinilai masih belum efektif. Sehingga proyek WSLIC-2 di Desa Pangradin dinilai belum sepenuhnya efektif dalam menghasilkan manfaat yang diharapkan. Berdasarkan tingkat kebutuhan dan tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap keluaran proyek yang dihasilkan, proyek WSLIC-2 cukup relevan, namun belum menjamin adanya keberlanjutan dampak yang diharapkan proyek WSLIC-2.
d. Anandini (2011) Penelitian yang dilakukan berjudul “Identifikasi Prospek Keberlanjutan Kegiatan Penyediaan Air Bersih Berbasis Masyarakat Setelah Program Second Water and sanitaTion for Low Income Community Berakhir (Studi Kasus: Kabupaten Bogor)”. Salah satu program penyediaan air bersih yang dikembangkan Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Bank Dunia dan Pemerintah Australia adalah Program Second Water and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC 2) dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, yang terlibat secara aktif sejak pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan. Selain itu, program ini juga melibatkan warga perempuan dan kelompok miskin dalam setiap kegiatan. Dengan adanya pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan Program WSLIC 2 ini diharapkan dapat mewujudkan keberlanjutan kegiatan yang kemudian dapat menanggulangi masalah kesehatan dan ketersediaan air perdesaan. Keberlanjutan kegiatan masyarakat dalam Program WSLIC-2 yang dimaksud dalam studi ini adalah selain masih berfungsinya sarana air bersih dan sanitasi, masyarakat pun dapat mengelola secara mandiri sarana tersebut. Penilaian keberlanjutan kegiatan masyarakat dalam Program WSLIC 2 di masing-masing desa penelitian akan dipaparkan berdasarkan hasil penilaian secara deskriptif terhadap kelima aspek beserta keterpenuhan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterpenuhan tolok ukur menunjukkan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan oleh Program WSLIC-2 pada saat pelaksanaan program masih berlanjut hingga saat ini.
39
Program WSLIC-2 merupakan program penyediaan air bersih yang berasaskan partisipasi masyarakat, di mana salah satu keluaran yang diharapkan adalah
adanya
peningkatan
kapasitas
lembaga
dan
masyarakat
serta
keberlangsungan dari sistem sarana yang telah dibangun. Untuk mewujudkan hal tersebut, Program WSLIC-2 memberikan pelatihan dan penyuluhan pada saat program masih berlangsung untuk mempersiapkan lembaga dan masyarakat ketika pasca program. Namun, kondisi yang ada pada lapangan adalah nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh program pada saat pelaksanaan ternyata tidak seluruhnya berlanjut ketika program telah berakhir. Berdasarkan analisis terhadap ketiga desa penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang mempengaruhi keberlanjutan kegiatan penyediaan air masyarakat di ketiga desa penelitian, yaitu: 1. Faktor kepemimpinan dan kapasitas lembaga. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pada masing-masing desa, di mana desa yang memiliki kelembagaan yang bagus, akan dapat menciptakan hasil yang bagus juga pada aspek yang lainnya, sehingga prospek keberlanjutan program menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. 2. Kapasitas masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan program untuk dapat terus berlanjut, kembali lagi kepada pribadi warga masing-masing. Pemahaman warga terhadap kegunaan air akan mempengaruhi berlanjut atau tidaknya sistem air bersih tersebut. Semakin tinggi pemahaman masyarakat, maka masyarakat dengan sendirinya akan turut berpartisipasi, berusaha melestarikan air dan menggunakan air dengan bijak. Dari pengamatan kasus pada ketiga desa tersebut, kemudian dapat disimpulkan pula bahwa program penyediaan air bersih perdesaan berbasis partisipasi masyarakat, seperti Program WSLIC-2, belum tentu dapat berhasil diterapkan pada seluruh desa dan menghasilkan keberlanjutan dalam jangka waktu yang panjang. Program berbasis partisipasi masyarakat seperti ini akan lebih berhasil jika diterapkan pada desa yang memiliki tokoh penggerak utama seperti di Desa Cileungsi, atau memiliki pertalian masyarakat yang erat, seperti di Desa Bojongmurni, namun sulit memperoleh keberhasilan jika diterapkan pada desa
40
yang memiliki karakteristik seperti Desa Cibedug di mana masyarakat dan lembaga pengelola memiliki kepedulian yang minim. Kesimpulan secara umum dari hasil pengamatan Program WSLIC-2 di ketiga desa penerima program di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor adalah masih banyaknya permasalahan yang menyebabkan keberlanjutan kegiatan penyediaan air bersih dan sanitasi masyarakat yang diinisiasi oleh Program WSLIC-2 tersebut sulit untuk terwujud. Hasil Penelitian terdahulu oleh penulis kemudian dijadikan asumsi dasar dalam penyusunan hipotesis penelitian.
1.6. Kerangka Pemikiran Setiap makhluk hidup tentu memerlukan air untuk bertahan hidup dan beraktivitas, terlebih lagi manusia. Kebutuhan akan air bersih mendorong manusia untuk melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Namun, kebutuhan air bersih ini tidak selamanya dapat terpenuhi. Banyak faktor yang mempengaruhi akses masyarakat terhadap air. Faktor yang paling utama adalah faktor alam (geografis) dan faktor ekonomi. Akes terhadap air bersih dan sanitasi perlu ditetapkan sebagai salah satu sektor prioritas pembangunan nasional karena pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses air bersih dan fasilitas sanitasi layak Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dibantu oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Pendidikan mencanangkan Proyek Air Bersih dan Sanitasi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang dinamakan proyek Second Water Supply and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-2). Tujuan utama dari proyek WSLIC-2 adalah meningkatkan status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan melalui pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat dengan membentuk Tim Kerja Masyarakat (TKM) pada tahap perencanaan dan konstruksi, serta membentuk Unit Pengelola Sarana (UPS) pasca konstruksi proyek. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang diterapkan dalam proyek WSLIC-2 kemudian dibandingkan kecocokannya dengan 10 prinsip
41
Community
Driven
Development
(CDD).
CDD
merupakan
pendekatan
pembangunan produk World Bank yang menempatkan masyarakat miskin dan kelembagaannya sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan. CDD memberikan kontrol keputusan dan sumberdaya di tangan kelompok masyarakat. Proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari konstruksinya berakhir pada 2009, sehingga ketika penelitian ini dilaksanakan pada 2012, proyek sudah berjalan selama 3 tahun. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari, serta mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat di Desa Neglasari, dengan cara membandingkan kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat antara sebelum dan setelah proyek dilaksanakan. Indikator yang digunakan untuk mengetahui pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Neglasari, antara lain: (a) mata pencaharian utama, (b) penghasilan, (c) waktu yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja (produktivitas), (d) jarak dengan sumber air, (e) diversifikasi jenis usaha yang dipengaruhi oleh ketersediaan air bersih, serta (f) perubahan status kesejahteraan. Adapun indikator yang digunakan untuk mengetahui pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di Desa Neglasari, antara lain: (a) perubahan sikap, perasaan dan keinginan masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat, (b) prevalensi penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi air dan sanitasi, (c) kondisi MCK, (d) kondisi sanitasi, serta (e) perubahan status kesehatan. Pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat di Desa Neglasari dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti kesempatan dan kemauan masyarakat untuk berusaha atau bekerja maupun malnutrisi atau wabah penyakit yang bersumber di luar sanitasi dan masalah air bersih. Kedua hal tersebut bukan merupakan fokus pada penelitian ini. Secara ringkas, kerangka pemikiran pada penelitian ini tersaji pada Gambar 1.2.
42
Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih dan Sanitasi
Desain Proyek WSLIC-2
TUJUAN PROGRAM
ORGANISASI
Meningkatkan status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat yang berpenghasilan rendah dipedesaan
TKM dan UPS
Kondisi Masyarakat sebelum dan sesudah proyek EKONOMI
Pekerjaan utama Penghasilan Waktu Bekerja Jarak sumber air Diversifikasi jenis usaha Perubahan status kesejahteraan
Prinsip CDD : 1. Iklim Kelembagaan dan Kebijakan 2. Investasi sesuai kebutuhan 3. Mekanisme partisipasi 4. Keikutsertaan sesuai Gender dan Status Sosial 5. Investasi Pengembangan Kapasitas CBO 6. Fasilitas Informasi 7. Aturan Sederhana dan Insentif 8. Desain Kerja Fleksibel 9. Scaling Up 10. Exit Strategy
KESEHATAN
Sikap dan perilaku hidup bersih Jenis Penyakit Kejadian Penyakit Kondisi MCK Kondisi Sanitasi Perubahan status kesehatan
Keterangan :
: Fokus Penelitian : Bukan Fokus Penelitian : Mempengaruhi
Kesempatan dan kemauan masyarakat
: Kesesuaian
: Menghasilkan
Malnutrisi atau wabah penyakit bersumber diluar sanitasi Pengaruh proyek terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat
Gambar 1. 2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 43
1.7. Hipotesis Penelitian Sugiyono (2007) menjelaskan bahwa hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah pada suatu penelitian. Pada penelitian ini, hipotes disusun untuk menguji kesesuaian desain proyek WSLIC-2 serta implementasinya didasarkan pada 10 prinsip Community Driven Development (CDD) dan signifikansi perubahan aspek-aspek mengenai pengaruh proyek terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat di Desa Neglasari. Berdasarkan landasan teoritis yang telah dipaparkan pada tinjauan pustaka, maka dapat disusun Hipotesis uji, meliputi:
Tujuan I : mendeskripsikan implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari
Terdapat kesesuaian desain serta implementasi proyek WSLIC-2 dengan 10 prinsip Community Driven Development (CDD) (halaman 98).
Tujuan II : mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Neglasari 1. Terdapat peningkatan akses masyarakat yang signifikan terhadap air bersih dan sanitasi antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 101). 2. Terdapat tingkat pemanfaatan yang signifikan terhadap sarana air bersih WSLIC-2 (halaman 104). 3. Terdapat peningkatan produktivitas masyarakat dalam bekerja yang signifikan setelah proyek WSLIC-2 (halaman 108). 4. Terdapat peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat yang signifikan setelah proyek WSLIC-2 (halaman 110) 5. Terdapat diversifikasi jenis usaha terkait pemanfaatan sarana air bersih WSLIC-2 (halaman 111). 6. Terdapat perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat yang signifikan antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 112)
44
Tujuan III : mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di Desa Neglasari 1. Terdapat perubahan kecenderungan masyarakat yang signifikan terhadap perilaku hidup bersih antara sebelum dan setelah pelaksanaan proyek WSLIC2, yang meliputi: a. terdapat perubahan sikap masyarakat yang signifikan terhadap perilaku hidup bersih antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 115). b. terdapat perubahan sikap masyarakat yang signifikan terhadap perilaku sanitasi sehat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 117). c. terdapat perubahan perasaan masyarakat yang signifikan terhadap perilaku sanitasi sehat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 119). d. terdapat perubahan keinginan masyarakat yang signifikan untuk berperilaku sanitasi sehat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 121) 2. Terdapat perubahan perilaku masyarakat yang signifikan terhadap hidup bersih antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 123). 3. Terdapat peningkatan status kesehatan yang signifikan pada masyarakat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2, berupa perubahan intensitas menderita penyakit yang signifikan pada masyarakat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 125). 4. Terdapat perubahan tingkat kesehatan masyarakat yang signifikan antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 127).
1.8. Keaslian Penelitian Indah (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh industri air minum dalam kemasan terhadap penghidupan masyarakat di Desa Wangen, Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten”, memiliki tujuan Membandingkan
45
kondisi penghidupan masyarakat, khususnya karyawan PT. Tirta Investama (PT. TI) di Desa Wangen, menggambarkan pentagon aset masyarakat sebelum dan sesudah proyek serta untuk mengetahui sejauh mana kontribusi PT TI terhadap Desa Wangon. Penelitian tersebut membantu peneliti untuk melihat pengaruh proyek terhadap kondisi masyarakat sekitar serta untuk mengetahui gambaran kondisi masyarakat antara sebelum dan setelah suatu proyek dilaksanakan. Sita dan Agusta (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi efektivitas, relevansi dan keberlanjutan dampak proyek Second Water and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-2) di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat”, memiliki tujuan mengevaluasi kesesuaian desain proyek WSLIC-2 dengan konsep pemberdayaan masyarakat, mengevaluasi efektivitas proyek WSLIC-2 dalam menghasilkan manfaat yang diharapkan, mengevaluasi relevansi keluaran proyek WSLIC-2 dengan dampak yang ditimbulkan serta mengevaluasi keberlanjutan dampak proyek. Penelitian tersebut sangat erat kaitannya dengan proses evaluasi proyek yang terkait dengan efektivitas, relevansi dan keberlanjutan dampak proyek WSLIC-2. Fadhil (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Proyek Second Water Supply And Sanitation For Low Income Communities-2 (WSLIC2) Terhadap Tingkat Perekonomian Dan Kesehatan
Masyarakat di Desa
Neglasari”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari, mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Neglasari, Kecamatan Pamarican, serta mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di Desa Neglasari, Kecamatan Pamarican. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada pemilihan fokus penelitian yakni lebih menekankan pada pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat. Pengaruh lebih difokuskan kepada dua hal tersebut. Sedangkan untuk lokasi penelitian sendiri jelas berbeda dengan penelitian sebelumnya tentang proyek WSLIC-2 karena penelitian ini dilaksanakan di Desa Neglasarai, Kecamatan pamarican, Kabupaten Ciamis. Adapun metode penelitian yang digunakan memiliki kemiripan dengan penelitian sebelumnya yakni
46
menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif namun pendekatan yang digunakan memiliki perbedaan yakni pendekatan before and after comparison, yakni pendekatan untuk mencari perbandingan antara keadaan sebelum dan setelah proyek dilaksanakan. Keaslian dengan penelitian sebelumnya, tertera pada Tabel 1. 1.
47
Tabel 1. 1. Keaslian Penelitian No 1.
2.
Peneliti/ Tahun Rai Sita (2010)
Nur Indah (2009)
Judul/Fokus
Tujuan
Metode
Hasil
evaluasi efektivitas, relevansi dan keberlanjutan dampak proyek Second Water and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-2) di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
mengevaluasi kesesuaian desain proyek WSLIC-2 dengan konsep pemberdayaan masyarakat, mengevaluasi efektivitas proyek WSLIC-2 dalam menghasilkan manfaat yang diharapkan, mengevaluasi relevansi keluaran proyek WSLIC-2 dengan dampak yang ditimbulkan serta mengevaluasi keberlanjutan dampak proyek. Membandingkan kondisi penghidupan masyarakat, khususnya karyawan PT. Tirta Investama (PT. TI) di Desa Wangen, menggambarkan pentagon aset masyarakat sebelum dan sesudah proyek serta untuk mengetahui sejauh
Kualitatif dan Kuantitatif
desain proyek WSLIC-2 yang dirancang sudah mendekati konsep pemberdayaan masyarakat. proyek cukup efektif dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih. Namun dalam aspek sanitasi, yakni membebaskan masyarakat dari perilaku buang air besar di sembarang tempat, proyek WSLIC-2 dinilai masih belum efektif.
Kualitatif
Terjadi perubahan kondisi penghidupan masyarakat setelah proyek berlangsung meliputi kenaikan aset fisik dan finansial, namun terjadi penurunan dalam hal aset natural. keberadaan PT TI juga memberikan kontribusi bagi Desa Wangon dalam hal pemasukan rutin kas desa dan jenis-jenis bantuan lainnya.
Pengaruh industri air minum dalam kemasan terhadap penghidupan masyarakat di Desa Wangen, Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
48
Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian No
3
Peneliti/ Tahun
Icep Anwar Fadhil (2012)
Judul/Fokus
Tujuan
mana kontribusi PT TI terhadap Desa Wangon. Pengaruh Proyek Mendeskripsikan Second Water Supply implementasi proyek And Sanitation For WSLIC-2 di Desa Low Income Neglasari, mengkaji Communities-2 pengaruh proyek WSLIC-2 (WSLIC-2) Terhadap terhadap tingkat Tingkat Perekonomian perekonomian masyarakat Dan Kesehatan di Desa Neglasari, serta Masyarakat di Desa mengkaji pengaruh proyek Neglasari WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di Desa Neglasari.
Metode
Hasil
Mixed Methods (Kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif)
Analisis kesesuaian implementasi proyek WSLIC-2 dengan konsep pemberdayaan berdasarkan 10 prinsip CDD dinilai cukup sejalan. Analisi pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Neglasari Analisis pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat Desa Neglasari
49