BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam suku dan
budaya, dari keragaman budaya yang dimiliki Indonesia maka tidak heran jika Indonesia merupakan negara yang mempunyai berbagai macam bentuk kesenian tradisional. Pada kesenian tradisional yang dimiliki Indonesia, terutama alat musik tradisional Indonesia dimana hampir seluruhnya merupakan alat musik yang terbuat dari bahan alam seperti angklung, suling, karinding, gendang dan lainnya. Ini dikarenakan masyarakat Indonesia pada jaman dahulu sangat menghargai alam. Namun pada kenyataannya dijaman sekarang banyak masyarakat Indonesia yang kurang mengahargai dan mengenal budaya keseniannya sendiri, terutama pada kesenian tradisional angklung yang tepatnya berada di Jawa Barat. Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara digoyangkan. Angklung merupakan alat musik tradisional yang dimiliki oleh masyrakat Jawa Barat, angklung juga dapat ditemukan diberbagai daerah lainnya seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Namun angklung yang seperti dikenal umum sekarang, adalah merupakan hasil perkembangan angklung yang ada di daerah Jawa Barat, yang dirintis oleh Bapak Daeng Soetigna (Budiaman, 1978:11). Masyrakat Indonesia khususnya Jawa Barat tentunya sudah mengetahui apa itu angklung, namun kebanyakan dari masyarakat tersebut hanya sekedar mengetahui tetapi tidak mengenal lebih dalam mengenai makna yang terdapat pada angklung. Fenomena ini dikarenakan terjadinya dampak modernisasi pada angklung, dimana angklung yang dulu berbeda fungsinya dengan angklung yang sekarang. Angklung pada jaman dahulu merupakan alat musik tradisional yang sakral dan hanya dapat digunakan pada acara tertentu seperti upacara adat dan lain-lainnya, namun pada saat ini angklung sudah berubah fungsi menjadi sarana hiburan masyarakat serta juga objek wisata. Walaupun masih ada disebagian 1
tempat yang mempergunakan angklung seperti fungsi awalnya untuk upacara adat seperti di kampung adat Cisolok, Ciptagelar Suka Bumi. Akan tetapi pada jaman sekarang ini masih tetap perlu dilakukannya pelestarian untuk menjaga keaslian dari angklung tersebut agar angklung tradisional yang memiliki fungsi serta makna didalamnya tidak punah ataupun hilang. Dalam upaya melestarikan kesenian angklung di daerah Jawa Barat atau Sunda pada saat ini memerlukan wawasan strategis dan perhatian yang cukup serius. Hal ini dikarenakan dengan adanya dampak dari modernisasi yang membuat pergeseran fungsi seni tradisional terkhusus pada angklung. Namun tidak selamanya dampak dari modernisasi tersebut berakibat buruk, melainkan dampak modernisasi juga dapat memberikan kemajuan terhadap seni tradisional. (Masunah, 2003:1). Pada saat ini banyak orang yang tidak mengerti bahwa disamping dampak modernisasi tersebut yang dapat memajukan kesenian tradisional, ada juga dampak dimana hilangnya suatu keaslian dari seni tradisional tersebut. Dimana maksud dari hilangnya keaslian tersebut adalah modernisasi mengenyampingkan dari aspek kegunaan awal seni tradisional tersebut, yang tadinya sangat sakral dan sekarang menjadi suatu bagian dari hal yang biasa saja seperti untuk sarana hiburan dan lain-lain. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perlunya suatu kegiatan untuk menghargai dan membudidayakan seni tradisioanl terkhusus di Jawa Barat, dan seni tradisional tersebut adalah angklung. Dalam hal ini seni tradisional angklung yang pada umumnya berkembang dipedesaan diharapkan tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsi utamanya yaitu sebagai alat upacara adat. Angklung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda sangat erat kaitannya, terutama pada mata pencaharian masyarakat yang pada awalnya adalah ngahuma atau berladang. Dalam hal ini angklung dijadikan sebagai salah satu alat tradisional dalam upacara adat untuk mempersembahkan kepada sang penguasa alam dalam unsur seni tari dan musik sebagai tanda bahwa masyrakat memuja dan menyanjung sang penguasa alam dengan tujuan memelihara keseimbangan alam. Namun, sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, musik angklung tersebut 2
secara fungsional bergeser menjadi seni pertunjukan, meskipun dibeberapa tempat masih berfungsi sebagai bagian dari upacara. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu diadakannya kegiatan untuk melestarikan angklung dan membudidayakannya. Pada kali ini cara yang ditempuh untuk melakukan kegiatan pelestarian angklung tersebut ialah dengan membuat suatu media informasi yang dapat memberikan pengetahuan secara signifikan mengenai angklung itu sendiri. Media tersebut adalah melalui film pendek yang bergenre fiksi. Pentingnya perancangan ini dilakukan ialah dikarenakan angklung memiliki suatu filosofi atau makna yang sangat luar biasa dan bermanfaat jika diterapkan sebagai ajaran didalam kehidupan sehari-hari. Dimana salah satu dari filosofi tersebut ialah mengajarkan tentang arti kehidupan atau sebagai simbol kasih sayang, bahwa yang tua harus mengasuh yang muda, tetapi yang muda selalu membelakangi yang tua. Jadi yang tua harus selalu menjadi pengayom yang muda (Masunah, 2003:21). Jika ajaran yang terdapat didalam angklung tersebut diterapkan dikehidupan sehari-hari maka akan dapat merubah pola pikir yang dimiliki orang banyak sesuai dengan fenomena sekarang ini sebagai contoh, kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya sangat besar, namun anaknya kurang memperhatikan orang tuanya; bahkan anak itu perhatiannya lebih besar kepada anaknya lagi. (Soepandi, 1987). Dari penjelasan diatas maka penulis membuat perancangan suatu film fiksi pendek
yang
mengangkat
tentang
filosofi
angklung,
film
ini
akan
merepresentasikan dari filosofi angklung tersebut yang terdiri dari fungsi, makna, serta bentuk angklung kedalam media baru yaitu film fiksi. Kegiatan ini sering disebut dengan adaptasi atau alih wahana, dimana kegiatan ini merupakan suatu proses pengalihan atau pemindahan dari satu media ke media yang baru (Djoko Damono, 2014:13). Film fiksi pendek yang penulis rancang akan memaparkan tentang filosofi dari angklung, terkhusus yang terdapat pada makna dari angklung tersebut. Perancangan ini dimaksudkan dapat memberikan suatu pengetahuan tambahan selain tentang angklung tetapi juga dapat mengetahui tentang filosofi nya dan dapat diterapkan didalam kehidupan sehari-hari, dan tentu saja sebagai media yang dapat menginformasikan dan melestarikan angklung. 3
Pada perancangan film fiksi pendek tentang filosofi angklung yang penulis lakukan adalah terfokus pada proses paska produksi. Dimana penulis mengambil bagian didalam tahap editing dalam pembuatan film fiksi pendek tersebut. Pada tahap ini penulis akan melakukan kegiatan editing menggunakan metode non linear dimana metode ini paling banyak digunakan oleh para editor lainnya. Metode ini menggunakan teknik digital seperti biasa dimana hasil shot gambar akan diedit menggunakan perangkat lunak/program atau software tertentu (Ayuningtyas, 2011:6). Keuntungan dari penggunan metode ini adalah metode non linear sangat flexible, sehingga editor dapat mengedit gambar dengan sesuka hati dan tidak perlu dilakukan secara linear. Kekurangan dari metode ini, adalah metode ini sangat bergantung pada perangkat keras/hardware dan perangkat lunak/software yang kita miliki. Dimana kadang terjadi ketidak cocokan antara software dengan gambar yang standar digunakan. Tidak hanya secara teknik, penulis juga menerapkan teori dari salah satu sumber untuk menyusun konsep yang akan digunakan pada tahap editing nantinya. Teori yang penulis gunakan ialah teori atau konsep montage. Teori ini berasal dari gagasan seorang sineas asal Rusia yang bernama Sergei Eisenstein yang terdapat pada karangan buku Ken Dancyger yang berjudul The Technique of Film & Video Editing edisi ke-5 cetakan tahun 2011. Di dalam buku tersebut Sergei Enstein menjelaskan bahwa montage atau biasa disebut monteur dalam bahasa Belanda yang sama artinya dengan cutter dan dalam bahasa Inggris ini sering disebut Editor merupakan proses pengerjaan penggabungan gambar yang lebih mengutamakan unsur dramatik dengan prinsip dialektika. Teori montage terdiri dari lima komponen yaitu : metric montage, rhythmic montage, tonal montage, overtonal montage, dan intellectual montage.
1.2
Permasalahan
1.2.1
Identifikasi Masalah Berdasarkan Latar Belakang Masalah yang telah dijelaskan, maka
didapatkan identifikasi masalah sebagai berikut :
4
a.
Masih jarangnya film pendek mengenai angklung yang bergenre fiksi dan menjelaskan tentang filosofi dari angklung.
b.
Kebanyakan khalayak tidak mengetahui bahwa sebenarnya angklung yang dulu berbeda fungsinya dengan angklung yang sekarang akibat dampak modernisasi.
c.
Penggayan editing dengan montage yang dapat menambah unsur dramatik
1.2.2
Batasan Masalah Setelah mengedintifikasi masalah diatas, maka agar pembahasan tidak
terlalu meluas perlu adanya pembatasan masalah yaitu penulis akan memfokuskan diri sebagai editor didalam perancangan film. Kemudian film fiksi pendek tersebut akan menjelaskan dan menceritakan mengenai filosofi yang terdapat pada angklung terkhusus pada makna angklung itu sendiri yang didalamnya terdapat ajaran yang sangat bagus dan sangat baik jika diterapkan didalam kehidupan sehari-hari. Dari perancangan film ini maka penulis akan berperan sebagai editor dan berbicara dari sudut pandang penggayaan editing montage agar dapat memberikan pesan dan kesan dramatik pada film filososfi angklung. 1.2.3
Rumusan Masalah a.
Bagaimana penggayaan montage Sergei Eisenstein pada film yang menjelaskan tentang filosofi angklung ?
b.
Bagaimana penggayaan montage pada film fiksi pendek “Suara yang Hilang” dengan menggunakan montage Sergei Eisenstein ?
1.3
Ruang Lingkup Dari identifikasi masalah yang ada serta agar pembahsan lebih terarah,
maka penulis memberikan ruang lingkup masalah pada perancangan ini. Adapun ruang lingkup tersebut adalah :
5
1.3.1
Apa Media film yang dirancang meliputi media utama berupa film fiksi
pendek. 1.3.2
Siapa Target audience dari perancangan ini ialah terkhusus masyarakan Jawa
Barat dan sekitarnya dengan rentang usia 17-30 tahun. 1.3.3
Bagaimana Dalam perancangan media film ini penulis akan berperan dan berbicara
melalui sudut pandang perancang sebagai editor. 1.3.4
Mengapa Perancangan film fiksi ini dilakukan antara lain untuk memaparkan
tentang filosofi angklung dimana terdapat makna tentang kehidupan didalamnya yang dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. 1.3.5
Tempat Media film ini akan menjadi referensi bagi khalayak dan akan disebarkan
ke jaringan film festival budaya yang ada di Indonesia. 1.3.5
Waktu Pemutaran perdana film ini direncakan pada tahun 2016
1.4
Tujuan Perancangan a.
Untuk mengetahui penggayaan montage Sergei Eisenstein pada film yang menjelaskan tentang filosofi angklung.
b.
Untuk mengetahui bagaimana penggayaan montage pada film fiksi pendek “Suara yang Hilang” dengan menggunakan montage Sergei Eisenstein.
1.5
Manfaat Perancangan 6
Manfaat yang diharapkan dari perancangan ini adalah : a.
Secara Umum 1) Perancangan ini dapat digunakan sebagai referensi mengenai arti dari angklung dan menambah wawasan pengetahuan mengenai angklung itu sendiri. 2) Rancangan ini dapat digunakan untuk membantu menyampaikan pesan makna filosofis kesenian budaya Sunda/Jawa Barat kepada remaja hingga dewasa. 3) Perancangan ini dapat digunakan unutk media informasi untuk memperkenalkan fungsi angklung yang sebenarnya pada zaman dahulu.
b.
Secara Khusus 1) Sebagai film fiksi pendek pertama yang dibuat oleh perancang untuk memperkenalkan mengenai seni tradisional angklung. 2) Untuk memberikan perbedaan atau suatu gebrakan yang baru dimana angklung bisa dijadikan sebagai film fiksi yang diambil dari filosofi angklung tersebut, yang berbeda dari biasanya yang hanya menampilkan tentang dokementer saja.
1.6
Metodologi Perancangan Untuk kelancaran dan ketepatan perancangan dalam film ini, maka
dibutuhkan metode pengumpulan data dan analisis yang tepat pula. Oleh karena itu, metode dalam penyusunan perancangan ini ialah metode kualitatif dengan teknik sebagai berikut : 1.6.1
Metode Pengumpulan Data a. Observasi Dalam hal ini, penulis secara langsung melakukan penulisan ke tempat-tempat yang berhubungan dengan angklung seperti ke daerah Cipta Gelar – Cisolok, Sukabumi untuk memperoleh data-data yang akurat mengenai filosofi angklung. Alasan memilih daerah tersebut dikarenakan 7
daerah Ciptagelar merupakan salah satu daerah yang masih memegang adat tradisional Sunda dalam penerapan kehidupannya seperti upacara adat panen padi yang menggunakan music angklung dll. b. Wawancara Mengumpulkan data dengan cara bertanya langsung kepada pihak terkait dengan pertanyaan-pertanyaan umum dan khusus yang dirancang untuk mendapatkan opini dan memunculkan pandangan dari partisipan, nonpartisipan dan juga narasumber, yaitu kepada a.
Ahli Seniman budayawan
b.
Ahli film maker yang berkaitan dengan objek
c.
Partisipan kesenian Angklung
c. Studi Literatur Mengumpulkan data dengan mempelajari fakta secara sistematik, dan akurat dalam : a.
Pustaka / Dokumen Berupa buku yang berkaitan dengan objek penulisan dan fenomena yang sedang diangkat, yaitu Angklung di Jawa Barat “ Sebuah Perbandingan” dan Peralatan hiburan dan kesenian tradisional daerah Jawa Barat.
b.
Referensi film Berupa film-film yang memiliki tema yang sama baik dari naratif ataupun sinematiknya.
1.6.2
Metode Analisis Data Dalam menganalisa data dalam perancangan ini, penulis menganalisa data
dengan metode deskriptif analitik dengan pendekatan Historis dan dengan model analisa Bentuk, Fungsi dan Makna dari objek yaitu angklung. Analisis ini efektif dalam mempelajari latar belakang masalah, status terakhir, dan kondisi lingkungan terakhir yang sedang terjadi. Urutan analisanya adalah sebagai berikut: a.
Mencari data melalui studi pustaka berdasarkan buku-buku yang berkaitan dengan makna dan filosofi angklung. 8
b.
Melakukan wawancara dengan narasumber yang berhubungan dengan angklung.
c.
Maka diperoleh sebuah data dari hasil pengamatan mengenai makna dan filosofi angklung.
d.
Dari hasil pengamatan tersebut maka ditarik kesimpulan.
e.
Terbentuklah keyword yang akan menjadi tema besar film.
f.
Melakukan analisis film sejenis untuk menerapakan penggayaan editing
g.
Setelah mengetahui penggayaan editing yang akan digunakan maka penulis menerapkannya dalam proses editing untuk hasil karya film.
1.6.3
Metode Perancangan Adapun urutan perancangan yang dilakukan dalam pembuatan karya film
ini adalah sebagai berikut : a. Pra-Produksi Penulis
menyempurnakan
konsep
besar,
menyusun
script,
breakdown script, casting, latihan, reading, shot list, dan break down production designer. b. Produksi Dalam tahap ini, penulis melakukan shoting dan perancangan langsung film di lapangan berdasarkan shot list yang telah dibuat dan set yang sudah dibedah. c. Paska Produksi Pada tahap ini, penulis melanjutkan proses perancangan setelah shoting, diantaranya adalah : Picture Lock, Editing, Music Scoring, Audio editing, Rendering dan finalizing.
9
1.7
Kerangka Perancangan
Identifikasi - Masih Jarang nya film pendek fiksi yang mengangkat tentang filosofi angklung
Fenomena Filosofi Angklung
Batasan Masalah Menerapkan penggayaan montage Sergei Eisenstein sebagai editing pada film pendek fiksi mengenai filosofi angklung.
Ruang Lingkup Usia 17-30 tahun Umum
Pengumpulan Data Metode penulisan Kualitatif
- Observasi - Wawancara - Studi Literatur
Analisis Data Pendekatan historis
Solusi Editing film fiksi pendek
Perancangan Skenario
Shoting
Penggabungan Video
Pengarahan Editing
Final Mixing
Film Pendek Fiksi Tentang filosofi Angklung
Skema 1.1 Skema Kerangka Perancangan
10
1.8
Pembabakan
Penulisan karya tugas akhir ini terbagi menjadi lima bab, yaitu : BAB 1 PENDAHULUAN Pendahuluan berisi latarbelakang permasalahan dari topic yang diangkat, permasalahn ruang lingkup, tujuan perancangan, metode, hingga pembabakan. BAB II DASAR PEMIKIRAN Dasar
pemikiran
menjelaskan
dasar
teori-teori
yang
relevan
sebagai
panduandalam perancangan. BAB III DATA DAN ANALAISIS Data dan analisis masalah berisi data yang berkaitan dengan perancangan. BAB IV KONSEP DAN HASIL PERANCANGAN Kosep dan hasil perancangan berupa tahapan produksi perancangan. BAB V PENUTUP Penutup berisi kesimpulan dan saran.
11