BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah "MK sudah kehilangan wibawa sejak skandal Akil Mochtar. Sayangnya,
tidak ada terobosan untuk komfensasi tingkat kepercayaan masyarakat yang drop tersebut sehingga kewibawaan belum dipulihkan," kata Eva Kusuma Sundari, anggota komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. (Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2013/11/14/1643563/Kericuhan.di.MK.Buntut.H ilangnya.Wibawa.MK.Pascakasus.Akil)
Petikan wawancara di atas adalah salah satu kutipan dalam berita berjudul Kericuhan di MK, Buntut Hilangnya Wibawa MK Pascakasus Akil yang dimuat salah satu news portal populer di Indonesia, Kompas.com. Isi beritanya sebenarnya mengenai kisruh pendukung calon kepala daerah yang kalah dalam sengketa kasus pilkada. Dalam berita nya, kompas.com sering menonjolkan hilangnya Wibawa MK dengan berita – berita yang berjudul : DPR : Masih Banyak ‘Penyakit’ di MK, Penangkapan Akil Tamparan Keras Untuk MK. Pemberitaan dengan gaya yang sama, juga ada di berita online news portal viva.co.id yang berjudul Persepsi Masyarakat terhadap MK di Bawah Titik Nadir. Dirilis pada Jum'at, 1 November 2013 pukul 22:27, membahas mengenai Arief Hidayat, wakil ketua MK yang mengemban tugas dan amanah yang besar untuk mengembalikan citra MK di masyarakat. Media online lainnya, detik.com mengangkat kasus Ketua MK yang melakukan tindak korupsi dengan artikelnya yang berjudul Akil Ambil Sidang Lebih Banyak Sudah Jadi 'Gosip' Para Hakim MK. "Ya kami sempat merasakan saja, Pak Akil sudah mulai sidang jam 7 kok kami baru mulai jam 9. Pak Akil sehari sudah empat sidang, kok saya baru satu," kata Hakim MK Harjono
1
2
"Atau seharusnya lebih sedikit mengingat hakim terlapor adalah Ketua MK yang mempunyai tugas-tugas struktural dan administratif lainnya," ujar Anggota MKMK Mahfud MD (Sumber : http://news.detik.com/read/2013/11/01/141624/2401587/10/akil-ambil-sidanglebih-banyak-sudah-jadi--gosip--para-hakim-mk).
Kasus korupsi terjadi kembali di salah satu lembaga negara. Ketua MK, Akil Mochtar tersandung kasus suap pilkada Lebak dan Gunung Mas. Akil Mochtar diduga menerima uang sebanyak 700.000 US$ untuk melancarkan kasus sengketa pilkada. Kasus yang menimpa ketua aktif MK, Akil Mochtar sebenarnya bukan pertama kalinya profesi hakim agung melakukan tindak korupsi yang menjadi komoditas media. Kilas balik beberapa tahun yang lalu, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh profesi hakim terjadi pada tahun 2010 oleh Hakim PTUN Jakarta; pada tahun 2011 oleh Hakim PN Jakarta Pusat; dan Hakim AdHoc Bandung; pada tahun 2012 oleh Hakim Tipikor Semarang, dan Hakim Tipikor Bandung. Dan yang baru terjadi akhir tahun 2013 kemarin, terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan Hakim sekaligus Ketua MK, Akil Mochtar. (Seputar Indonesia, RCTI, 4 Oktober 2013). Diperkuat dengan bukti yang direlease oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adanya temuan korupsi per November 2013 yang dilakukan oleh berbagai lini profesi, termasuk profesi pejabat pemerintahan dan hakim.
3
Gambar 1.1 Rekapitulasi tindak Korupsi 2013 Berdasarkan Profesi
Sumber : (http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidanakorupsi-berdasarkan-tingkat-jabatan
Dibandingkan dengan kasus tindak korupsi yang dilakukan oleh hakim lainnya adalah tingginya jabatan yang dipegang Akil Mochtar pada waktu itu. Akil Mochtar, Ketua MK menjabat saat itu seharusnya berwenang sebagai hakim tipikor (tindak pidana korupsi) dan sekaligus membuat keputusan final. Karena Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) itu sendiri adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berwenang sebagai Menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutukan perselisihan tentang hasil pemilu. Mencenangkan sekali apabila jajaran hakim agung yang menindak perkara tipikor justru melakukan tindak pidana korupsi. Pada 4 – 5 Oktober 2013, LSI (Lembaga Survei Indonesia) mengadakan survei mengenai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. Data survei mengatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi adalah 28.0%. Dalam perhitungan LSI, angka temuan ini adalah angka temuan yang paling rendah yang pernah didapat dalam survei mengenai kinerja Mahkamah Konstitusi. Survei sebelumnya dilakukan pada tahun 2010, 2011, 2012, dan terakhi Maret 2013. Sebelum kejadian ini, kepercayaan terhadap MK justru sebaliknya,
4
selalu di atas 60 persen. Pada Oktober 2010 kepercayaan terhadap MK sebesar 63.7 persen, September 2011 menunjukkan angka 61.5 persen . Bahkan pada tahun yang sama dengan ‘malapetaka’ ini, pada Maret 2013 survei menunjukkan 65.5 persen masyarakat Indonesia masih mempercayai Mahkamah Konstitusi. Tentu saja temuan survei terbaru yang menunjukkan angka kepercayaan masyarakat terhadap kinerja MK sebesar 28.0 persen sangat mengejutkan. Survei tersebut dilakukan kepada 1200 koresponden dengan metode multi stage random sampling, dan dengan margin of error 2.9 persen.
Tabel 1.1 Perbandingan kepercayaan masyarakat terhadap MK dari tahun ke tahun Tahun Survei
Tingkat kepercayaan masyarakat pada MK
2010
63.7%
2011
61.5%
2012
63%
2013 (Maret)
65.5%
2013
28.0%
(Oktober)
Sumber : LSI (Lingkaran Survei Indonesia) 2013
Lembaga yang didirikan oleh Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI) ini bersifat independen, non-partisan dan nirlaba. LSI bekerja atas dasar prinsip akademik dan analisis statistik yang relevan, serta bersandar pada kode etik survei opini publik (International Assosiation of Public Opinion Research). Museum Rekor Indonesia (MURI) mengakui bahwa LSI adalah lembaga
survei
paling
akurat
dan
presisi
(http://lsi.co.id/lsi/2013/10/07/robohnya-mk-kami/) .
dan
paling
akurat
5
Temuan ini membenarkan berita yang menyatakan bahwa citra MK (Mahkamah Konstitusi) di mata masyarakat menurun drastis menjadi 28%. Dengan presentase sekecil itu dapat disimpulkan bahwa masyarakat menganggap bahwa lembaga negara MK sama dengan lembaga negara lainnya yang dapat disuap. Kasus ini cukup mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat. Karena baru kali ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyeret pejabat tinggi negara dalam kasus penyuapan dan tindak korupsi (Abraham Samad dalam perkataanya di berita TVOne). Publik menilai, lembaga peradilan tertinggi saja bisa terkena kasus suap, apalagi peradilan – peradilan biasa yang ada di bawahnya. Kepercayaan masyarakat akan hukum Indonesia juga ikut merosot setelah adanya kasus ini. Kemarahan masyarakat ini menjadikan kasus Akil Mochtar sangat hangat diperbicangkan di media massa. Media massa bebondong – bondong menyorot dan memberitakan peristiwa tertangkapnya Ketua MK terkait kasus suap ini (https://www.google.com/#q=berita+akil+mochtar+kasus+suap). Peristiwa ini tidak hanya mencuri perhatian media nasional saja, untuk pertama kalinya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia mendapat sorotan dari media luar negri. Salah satu situs berita online internasional terkemuka yang berbasis di Amerika, New York Times mem-publish artikel yang berjudul ‘Top Indonesia Judge Held in Corruption Case’. Redaksi New York Times menyebutkan bahwa hakim terkemuka di Indonesia menerima suap sebesar US$ 700,000 secara tunai untuk penyuapan pemilihan kepala daerah. Berita ini sendiri ditayangkan pada tangal
3
Oktober
2013.
(http://www.nytimes.com/2013/10/04/world/asia/indonesias-top-judge-held-incorruption-case.html?src=recg). New York Times merupakan perusahaan media Amerika yang berjalan sejak tahun 1835 yang memberitakan peristiwa baik lokal, nasional, dan internasional. Dimulai dari media cetak, sekarang new york times merambah ke
6
situs portal dan langganan secara digital. (http://www.nytco.com/who-weare/culture/our-history/#1835-1880).
Gambar 1.2 Berita Ketua MK di New York Times Online
Sumber : nytimes.com
Penulis melihat objek berita ini menarik, karena dengan adanya kasus tindak korupsi yang dilakukan oleh hakim agung sekaligus ketua MK ini dipandang oleh media sebagai runtuhnya lembaga agung negara. Media membingkai sedemikian rupa sehingga Mahkamah Konstitusi terlihat ‘sama’ seperti lembaga negara sipil lainnya yang gampang dipermainkan oleh uang dan dapat disuap. Media tidak memandang bahwa Ketua MK, Akil Mochtar adalah pejabat negara yang menyalahgunakan jabatannya. Media justru melihat bahwa MK tidak mempunyai wibawa dan dijatuhkan oleh kejadian tindak korupsi Akil Mochtar. Media juga memberitakan MK yang terlihat diombang – ambingkan oleh peraturan – peraturan yang dikeluarkan pasca kejadian Akil Mochtar. Sesuai dengan pemikiran Zaenuddin yang mengatakan bahwa media massa memiliki peran strategis, media mengangkat dan mengabarkan peristiwa ke publik. Media juga memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah opini publik,
7
sebagai kontrol sosial akan kinerja pemerintahan dan lembaga negara, membuat kedudukan media semakin penting di dalam kehidupan manusia, baik secara individual dalam memenuhi kebutuhan informasi, maupun secara sosial dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. (Zaenuddin, 2011 : 10). Karena keingintahuan masyarakat akan nasib bangsa dan kejadian yang terjadi pada jajaran pemerintah semakin besar dan keperdulian masyarakat akan kelangsungan negara Indonesia. Selain sebagai penyebar informasi kepada masyarakat, media massa juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial, seperti yang diungkapkan oleh Zaenuddin dalam bukunya. Keberadaan media dianggap sebagai ‘kekuatan keempat’ (The Fourth State) dalam sistem politik kenegaraan. Media sering dimanfaatkan sebagai pembela kebenaran dan keadilan, sekaligus juga sebagai pembentuk opini publik. (Zaenuddin, 2011 : 10) Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis framing untuk mempelajari berita yang diproduksi media. Media, seperti yang kita lihat bukanlah saluran yang bebas yang memberitakan apa adanya. Media justru mengkonstruksi sedemikian rupa realitas. Ada yang diberitakan ada yang tidak diberitakan, ada yang dianggap penting ada yang tidak dianggap penting. Analisis framing secara sederhana dapat dijadikan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media (Eriyanto, 2005 : 2-3). Analisis framing yang dipilih itu sendiri adalah analisis Robert N. Entman yang mengedepankan pemilihan isu dan penonjolan aspek. Framing dipakai dalam berbagai aspek kehidupan apapun, namun yang menghubungkan adalah bagaimana teks komunikasi disajikan, bagaimana merepresentasikan apa yan ditampilkan secara menonjol mempengaruhi khalayak. Metode menurut tokoh framing Robert N. Entman sendiri menonjolkan pemilihan isu atau fakta dan penonjolan aspek. Sedangkan untuk metode analisis framing lainnya, Pan dan Kosicki membagi konsep framing dilihat dari bagaimana wartawan menuliskan berita tersebut dan apa saja yang ingin disampaikan. Pan dan Kosicki percaya bahwa konsepi framing adalah psikologi dan sosiologis sang wartawan. (Eriyanto, 2005 : 253)
8
Tokoh framing Murray Edelman percaya bahwa yang esensi dalam sebuah pembingkaian berita adalah kategorisasi. Bagaimana kita memahami peristiwa akan mempengaruhi kita bagaimana mengkategorikan berita, atau bisa dikatakan juga sebagai penyeferhanaan realitas. (Eriyanto, 2005 : 157). Tokoh framing yang terakhir, William A. Gamson mengatakan bahwa framing terjai pada level personal dan level kultural masyarakat. Dalam menganalisis berita mengenai korupsi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi ini penulis ingin menganalisa bagaimana media menonjolkan dan menghilangkan fakta yang terjadi pada peristiwa tindak korupsi di MK. Media terkadang
dalam
kepentingan
maupun
ideologinya
menonjolkan
atau
menghilangkan isu atau fakta tertentu. Jadi untuk teks media mengenai kasus tindak korupsi yang terjadi di MK, penulis menggunakan metode Robert N. Entman. Alasan mengapa penulis menggunakan metode Robert N. Entman, yang pertama adalah karena Robert N. Entman yang pertama adalah karena Robert N. Entman menitikberatkan pada pemilihan isu dan penonjolan aspek. Jadi apa yang terjadi di realita hanya ada beberapa yang akan ditonjolkan. Alasan lain mengapa penulis memilih metode Robert N. Entman karena metode ini sering digunakan untuk menganalisis kasus – kasus sosial. Eriyanto sendiri mengatakan bahwa apa yang terjadi di dunia politik merupakan peristiwa, dan media dipandang sebagai alat untuk mengkonstruksi realitas. Media adalah agen yang secara aktif memilih dan menafsirkan realitas. Media memilih realitas mana yang diambil dan realitas mana yang tidak. (Eriyanto, 2005 : 23-24). Pemilihan media online yang dilakukan oleh penulis ini berdasarkan dua hal. Pertama, adalah berdasarkan peringkat teratas dalam banyaknya pembaca yang mengakses situs berita tersebut. Berdasarkan www.alexa.com lima situs berita teratas adalah detik.com, kompas.com, viva.co.id, tribunnewa.com, dan merdeka.com (http://www.alexa.com/topsites/countries/ID). Dalam penyeleksian media tahap pertama ini penulis beranggapan bahwa lima situs portal teratas di Indonesia ini membawa pengaruh banyak pada
9
pembentukan opini masyarakat. Semakin banyak pembaca situs berita tersebut, semakin banyak pula opini masyarakat yang ditimbulkan oleh media tersebut. Opini masyarakat ini dapat timbul setelah mereka membaca berita – berita mengenai kasus korupsi yang terjadi di MK dari masing – masing media. Tahap kedua, penulis menyortir kelima situs berita tersebut yang mempunyai posisi bersebrangan dalam membingkai berita korupsi yang terjadi di MK. Akhirnya, didapatkanlah media online yang akan diteliti yaitu detik.com dan viva.co.id. Dalam pemberitaanya, detik.com mengangkat kasus tindak suap yang dilakukan oleh Ketua MK itu dilakukan secara individual tanpa menyeret lembaga yang dinaungiya. Nama lembaga negara hukum Mahkamah Konstitusi itu sendiri tidak dibuat ‘turun wibawa’ dalam semua pemberitaanya. Sedangkan pada media online viva.co.id, membingkai berita peristiwa kasus suap korupsi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi ini membuktikan bahwa MK memang lembaga negara biasa yang gampang disuap dan tidak mempunyai wibawa di mata masyarakat maupun di mata lembaga pemerintahan lainnya. Sedangkan untuk tersangka kasus suap itu sendiri yaitu Akil Mochtar selaku ketua MK tidak digali lebih dalam.
1.2
Rumusan Masalah Sesuai dengan hasil survei LSI 2013 kemarin membuktikan bahwa
kepercayaan masyarakat mengenai Mahkamah Konstitusi sangat rendah (28%). Ini dikarenakan masyarakat sudah mempunyai pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum negara yang tidak lagi agung, dan sama seperti lembaga – lembaga negara lainnya yang tidak memiliki wibawa dan dapat dengan mudah disuap. Pendapat dan opini masyarakat mengenai Mahkamah Konstitusi ini tidak akan semata – mata timbul dengan sendirinya. Bagaimanapun media berperan secara aktif dalam mengkonstruksi peristiwa dan menerbitkan berita kepada masyarakat. Dari berbagai banyak berita yang diterbitkan dan dikonsumsi oleh masyarakat, media secara tidak langsung akan menimbulkan opini publik. Untuk
10
itu penulis ingin mengerucutkan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimana
media
online
detik.com,
kompas.com,
dan
viva.co.id membingkai berita mengenai kejadian tindak korupsi yang ada di Mahkamah Konstitusi ? b.
Bagaimana konstruksi realitas yang dibentuk oleh media online detik.com, kompas.com, dan viva.co.id mengenai kejadian tindak korupsi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi ?.
c.
Bagaimana hierarki media massa online pada isu tindak korupsi yang ada di Mahkamah Konstitusi ?.
1.3
Tujuan Penelitian a.
Mengetahui bagaimana media massa online (detik.com, viva.co.id, dan kompas.com) membingkai berita mengenai tindak korupsi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.
b.
Mengetahui bagaimana konstruksi realitas yang dibentuk oleh media massa online (detik.com, kompas.com, dan viva.co.id) mengenai tindak korupsi yang terjadi di ahkamah Konstitusi.
c.
Mengetahui bagaimana hierarki media massa online yang terjadi pada isu tindak korupsi yang ada di Mahkamah Konstitusi.
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis Manfaat akademis dari penelitian ini adalah menambah penelitian framing dengan model Robert Entman terhadap pemberitaan oleh media online detik.com, kompas.com, dan viva.co.id.
1.4.2 Manfaat Praktis
11
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap sebuah media yang fungsinya sebagai penyampaian pesan yang dimana penonjolan atau penggunaan isu maupun istilah tertentu dapat membentuk persepsi khalayak dalam memaknai isi berita tersebut.
1.5
Tahapan Penelitian Gambar 1.3 Tahapan Penelitian Mencari ide untuk penelitian
Menentukan media yang akan diteliti
Menentukan berita yang akan diteliti
Membaca berita yang sudah peneliti pilih
Mencari teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan
Analisis berita
Validitas data
Hasil akhir penelitian Sumber : penulis
12
1.6
Waktu dan Tempat Penelitian 1.6.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan secara online dengan mengakses situs detik.com, viva.co.id, dan kantor dari masing – masing situs berita tersebut. 1.6.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dilakukan mulai dari periode November 2013 dan diperkirakan akan selesai pada Februari 2013.
Gambar 1.4 Waktu Penelitian
Sumber : penulis