BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Salah satu kasus korupsi yang terjadi di gereja atau organisasi gereja menurut laporan dari The Wall Street Journal adalah fraud yang dilakukan Ellen Cook ( Duncan, 1999). Staf gereja melaporkan bahwa Ellen Cook, mantan bendahara Gereja Episkopal Center New York menggelapkan $2.200.000 antara 1990 dan 1995. Cook mampu mengalihkan uang karena ia memiliki kontrol atas audit dan melanggar kebijakan gereja, yaitu mengisi, memeriksa formulir permintaan, dan menandatanganinya sendiri. The Wall Street Journal juga ( Duncan, 1999) melaporkan bahwa Roma Katolik dan imam diosesan bagian administrator menggelapkan uang gereja lebih dari $3,5 juta selama tiga tahun. Pencurian ini dikaitkan karena tidak adanya audit dan sistem dalam pengendalian arus kas. Coe dan Ellies (1991) dalam Duncan (1999) melakukan penelitian yang dirancang untuk mengidentifikasi kelemahan dalam pengendalian internal di lembaga negara, lokal dan organisasi nirlaba. Mereka menguji 127 kasus di North Carolina dimana negara, daerah dan pejabat yang dituntut akibat kejahatan keuangan dan melaporkan jenis kontrol yang tidak pada tempatnya atau yang tidak terinci. Hasil penelitian adalah 38,6 persen kejahatan adalah hasil dari pemisahan tugas yang tidak tepat, 12,6 persen merupakan hasil dari kontrol pembelian yang lemah, dan 11,8 tidak terdeteksi karena tidak dilakukan audit. Dalam organisasi gereja tindakan-tindakan penyelewengan keuangan (fraud) dalam gereja-gereja melibatkan pendeta/pastor, sekretaris jemaat, akuntan, bendahara jemaat, anggota komite, diakon dan anggota gereja lainnya yang dipercayakan dalam posisi tertentu. Laporan dari peristiwa ini dari waktu ke waktu terus dilakukan melalui media-media elektronik (contoh., Edwards 1998; Fialka 1995; Gorham 1999; Murr 1999; Tidwell 1993 dalam Duncan, 2001).
1
Fenomena yang terjadi dalam organisasi gereja mengindikasikan bahwa konsep corporate governance belum secara utuh dipraktekkan dan diimplementasikan. Konsep tata kelola telah menjadi trend topik abad 21 baik dalam teori dan praktek manajemen sedangkan riset yang didasarkan pada analisa mekanisme tata kelola organisasi nonprofit relatif terbelakang (Middleton, 1987; Herman dan Van Til, 1989; Ostrower dan stone, 2005 Namun demikian, contoh corporate dalam Speckbacher, 2008). governance dalam organisasi non-profit yang tidak efektif menunjukkan kebutuhan untuk teori tata kelola bagi organisasi non profit (Chrisolm, 1995; Ben-Ner dan Van Hoomissen, 1994 dalam Speckbacher, 2008). Menurut Glaeser (2003, p.39) dalam Jegers (2009) organisai nirlaba memiliki masalah tata kelola yang hampir sama dengan organisasi profit, tetapi seringkali jauh lebih ekstrim. Menurut Dyl, Frant & Stephenson (2000) dalam Jegers (2009) menyatakan bahwa sedikit diketahui tentang tata kelola (governance) dalam organisasi nonprofit. Corporate Governance didefinisikan oleh Kresnohadi Ariyoto, et al (2000) sebagai berikut ”Corporate governance is the relationship among stakeholders that is used to determine and control the strategic direction and performance of organizations.” Berdasarkan definisi diatas, jelas bahwa fokus perhatian dalam corporate governance adalah hubungan diantara stakeholders dan sebagai kerangka acuan untuk menentukan dan mengawasi strategi dan kinerja organisasi agar berjalan secara efektif, sehingga tercipta checks and balances. Dalam teori dan praktek corporate governance erat kaitannya dengan agency theory. Agency Theory menggambarkan hubungan agensi sebagai suatu kontrak di bawah satu prinsipal atau lebih yang melibatkan agen untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik keagenan (Jensen dan Meckling,1976).
2
Adanya pemisahan antara fungsi kepemilikan (ownership) dan fungsi pengendalian (control) dalam hubungan keagenan sering menimbulkan masalah-masalah keagenan (agency problems). Masalah-masalah keagenan tersebut timbul adanya konflik atau perbedaan kepentingan antara principal (pihak yang memberi mandat) dan agen (pihak yang menerima mandat). Teori keagenan berusaha menjelaskan tentang penentuan kontrak yang paling efisien yang bisa membatasi konflik atau masalah keagenan (Jensen dan Meckling, 1976 dan Eisenhardt, 1989). Dalam organisai non profit gagasan corporate governance problematik karena tidak ada kepemilikan secara legal (Putterman, 1993 dalam C. Du Bois et al,2004). Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu kepemilikan dari board of directors dalam organisasi non profit adalah supervisi (monitor) dan pengendalian (control). Sehingga dalam prakteknya hubungan antara principal-agent dalam organisasi non profit lebih sulit dan kompleks. Hal ini disebabkan karena, pertama, kompleksitas kepemilikan dan insentif yang lemah , sulit untuk mendefinisikan fungsi dan tujuan organisasi , sulit untuk mengukur kinerja dari manajemen , dan board tidak memiliki mekanisme pengendalian yang efektif (Steinberg, 1990; Herzlinger, 1996 dalam C. Du Bois et al, 2004). Sedangkan menurut Glaeser (2002) dalam C. Du Bois et al (2004) bahwa salah satu implikasi lemahnya corporate governance) dari organisasi non profit berasal dari para pekerja (workers) yang berusaha mempengaruhi perilaku dan tujuan dari organisasi. Sedangkan menurut Herzingler (1996) dalam Bhandari (2010) masalah dalam organisasi nonprofit terdiri dari empat kategori: ineffectiveness, inefficiency, private inurement and excessive risk. Dalam organisasi gereja teori keagenan berbeda dipandang dari sudut Ownership. Alkitab memberikan dasar bagi manusia untuk memahami tentang tata kelola (governance). Allah berfirman dalam Kejadian 2 : 1517 TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakannya dan memelihara taman itu. Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada Manusia:”Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas.
3
Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. Tuhan memberikan kepercayaan (Trust) kepada manusia untuk mengusahakan atau mengelola Taman Eden sebagai Ciptaan Tuhan. Artinya bahwa dalam pengelolaan Allah mempercayakan manusia sebagai pengelola, pengatur dalam arti sebagai Manager. Sedangkan Allah adalah sebagai Pemilik (Owner) atau Pencipta (Creator) segala sesuatu yang ada di atas dunia yang ditandai dengan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ini adalah tanda kepemilikan Allah. Artinya diantara pemilik dan pengelola didasarkan atas trust ownership. Dalam kaitan dengan teori keagenan maka konflik agency problem diantara anggota gereja (principal) dan organisasi gereja (agent) adalah kedua pihak merupakan pengelola dan bukan bertindak sebagai pemilik (ownership) artinya absence of ownership. Kewajiban dari anggotaanggota gereja adalah mengembalikan yang bukan miliknya sedangkan tugas dari manajemen dalam organisasi gereja adalah melaksanakan Tritugas Gereja yaitu Marturia, Koinonia, dan Diakonia atau dapat diartikan Kesaksian, Persekutuan dan Pelayanan. Tritugas Gereja yang dilakukan oleh manajemen organisasi gereja adalah dengan menggunakan semua sumber daya ekonomi. Organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) secara spesifik berbeda dengan organisasi gereja atau organisasi keagamaan lainnya dalam manajemen gereja. Diantaranya adalah organisasi Gereja MAHK memiliki manajemen organisasi gereja yang terorganisir secara global dan memiliki subsidiary organization. Dalam Gereja MAHK ada empat tingkatan antara pribadi orang percaya dengan puncak organisasi gereja sedunia : 1. Jemaat setempat, suatu badan perkumpulan yang terdiri dari himpunan orang-orang percaya. 2. Konferens atau daerah/wilayah, yaitu suatu badan gereja yang mempersatukan jemaat-jemaat di suatu provinsi, atau wilayah.
4
3. Uni konferens atau uni mission, adalah suatu badan yang mempersatukan daerah-daerah, baik konferens maupun daerah, atau wilayah yang berada di suatu area yang lebih luas. 4. General Conference, unit organisasi terbesar yang mempersatukan semua uni di seluruh bagian dunia. Divisi-divisi adalah bagian dari General Conference dengan tanggung jawab administrasi yang diberikan kepada mereka di suatu wilayah geografi tertentu. (Buku Peraturan Jemaat 2005, hal. 26). Dalam buku peraturan jemaat (2005-25) dijelaskan bahwa organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh menjalankan sistem pemerintahan perwakilan (representatif) yaitu bentuk pemerintahan gereja yang mengakui bahwa kekuasaan gereja terletak pada anggota-anggota gereja itu, dan tanggung jawab pelaksanaan pekerjaan diserahkan kepada badan perwakilan dan kepada pegawai-pegawai untuk memerintah jemaat itu. Sistem pemerintah gereja mempengaruhi struktur organisasi, aturan, prosedur dan kebijakan yang di implementasikan dan di praktekkan dalam organisasi gereja (Setio & Dwi Radianto, 2007). Duncan (2001) menyatakan bahwa organisasi gereja diklasifikasikan dalam tiga kategori: (1) kongregasional; (2) episkopal; (3) presbiterian. Organisasi Gereja MAHK dalam mengelola sumber daya ekonomi anggota-anggota gereja berasal dari dua sumber penerimaan : pertama, persepuluhan, kedua, persembahan. Persepuluhan dalam belief system gereja merupkan tanda kepemilikan dari Tuhan dan persepuluhan merupakan sumber utama dan pemersatu dalam operasional organisasi gereja di seluruh dunia dimana anggota-anggota gereja, pegawai organisasi gereja, lembaga atau institusi membawa persepuluhan ke dalam perbendaharaan gereja di teruskan ke tingkatan organisasi gereja yang lebih tinggi (konferens, daerah/wilayah) dan setiap konferens daerah/wilayah menyerahkan sepersepuluh dari total persepuluhan yang diterima itu kepada uni. Uni kemudian meneruskannya kepada General Conference, atau divisinya. Gereja lokal tidak boleh menahan atau mengelola persepuluhan. Sedangkan persembahan sebagai sumber pendapatan non persepuluhan dibagi dua yaitu 50% ke tingkatan organisasi gereja dan 50% menjadi dana operasional gereja. Hoge, Zech,
5
McNamara dan Donahue (1999) dalam Wooten et al (2003) menyatakan bahwa donations di gereja-gereja berbeda-beda dari satu denominasi dengan denominasi lain. Perbedaan ini disebabkan karena keanegaraman agama-agama dalam tradisi dan praktek terhadap pemberian yang dilakukan (Miller, 1999 dalam Wooten et al, 2003). Dengan sistem pemerintahan perwakilan dan sumber daya ekonomi yang berasal dari dua sumber penerimaan yaitu persepuluhan dan persembahan terpadu sering terjadi konflik keagenan diantara anggota-anggota gereja sebagai principal dan manajemen organisasi gereja sebagai agent. Untuk mereduksi konflik keagenan tersebut maka organisasi gereja dituntut untuk melakukan akuntabilitas dan transparansi semua pengelolaan keuangan organisasi gereja. Akuntabilitas dan transparansi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari praktek good corporate governance. Dengan adanya good corporate governance maka konflik keagenan dapat diminimalisir. Mekanisme corporate governance sebagai upaya penegakan corporate governance dalam organisasi diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan dan juga diharapkan mampu mengontrol biaya keagenan (Iturriga dan Sanz, 1998 dalam Suranta dan Machfoedz, 2003). Menurut Walsh dan Steward (1990) sebagaimana dikutip oleh Arifin (2005) mekanisme corporate governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi. Sedangkan mekanisme corporate governance menurut Boediono (2005) adalah suatu sistem yang mampu mengendalikan dan mengarahkan kegiatan operasional organisasi serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah keagenan. Penelitian tentang praktek dan mekanisme corporate governance di organisasi gereja masih jarang dilakukan sehingga memberikan ruang yang luas untuk dilakukan penelitian dan kajian yang mendalam. Organisasi gereja memiliki tantangan-tantangan kedepan tentang perlunya implementasi legislasi yang telah dipraktekkan dalam pemerintahan yang merupakan bagian dari organisasi non profit. Dengan keterbatasan sumber daya maka organisasi gereja membutuhkan solusi kreatif yang baru untuk
6
mengimplementasikan praktek-praktek legislasi. Solusinya kreatifnya adalah perlunya penerapan corporate governance dalam organisasi gereja. Penelitian yang dilakukan oleh Elson, et al (2007) menjadi dasar dan pijakan peneliti dalam penelitian mengenai praktek dan mekanisme penerapan corporate governance di organisasi gereja. Dengan pendekatan kuantitatif Elson, et al (2007) melakukan survey yang melibatkan gereja-gereja interdenominasi di negara bagian Georgia Amerika Serikat. Hasil survey dari penelitian Elson, et al (2007) difokuskan pada terdiri dua variabel utama yaitu: (1) Pengawasan Keuangan (Financial oversight). Hasil penelitian menyatakan bahwa disetiap interdenominasi gereja pada umumnya memiliki board of director, yang dipilih diantara anggota gereja, pendeta merupakan bagian dari board of director, aktivitas yang dilakukan oleh board of director adalah melakukan pertemuan secara reguler atau rata-rata 12 kali setahun, dan disetiap interdenominasi gereja terdapat komite keuangan dan audit internal dan tugas dari board of directors adalah mengotorisasi semua transaksi keuangan, membuat prosedur dan kebijakan yang digunakan gereja dalam aktivitasnya, mendokumentasikan semua hasil keputusan dan mengkomunikasikan kebijakan kepada anggota gereja. Penelitian sebelumnya dari Wildmer (1993) dalam Christine A. Lai (2009) bahwa fungsi board termasuk menjalankan aktivitas misi organisasi seperti membuat kebijakan dan perencanaan strategis, monitoring staf dan manajemen organisasi, mengelola dan mengatur dana organisasi dan memastikan bahwa organisasi dijalankan sesuai dengan etika dan aturan yang berlaku. Kim dan Nofsinger (2007, hal.42) menyatakan bahwa keberadaan board committees dalam organisasi sektor swasta adalah termasuk sub-sub komite antara lain, komite eksekutif, komite keuangan, komite hubungan masyarakat dan komite tata kelola (corporate governance committee). Hasil penelitian Amaria dan Enofe (2011) juga menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara pengendalian internal dan pengawasan keuangan termasuk keberadaan Trustee atau
7
Board of Directors dalam interdenominasi gereja-gereja dan kesalahan dalam manajemen keuangan (financial mismanagement) (2) Financial Management, dimana setiap interdenominasi gereja pada umumnya kegiatan operasional gereja menggunakan annual budget, budget di sahkan oleh board of director, semua penerimaan di deposit ke bank dan memiliki bank rekonsiliasi, menggunakan petty cash, dilakukan annual audit, dan laporan keuangan sesuai dengan GAAP, dan diaudit oleh CPA. Hasil penelitian dari Amaria dan Enofe (2011) juga mengungkapkan bahwa gereja yang memiliki pengendalian yang baik terhadap manajemen keuangan lebih transparan dan untuk mengurangi penyalagunaan keuangan dalam organisasi gereja dapat dicapai dengan mengkomunikasikan dan mengungkapkan ke publik (public disclosure) baik informasi laporan keuangan dan informasi non keuangan (menggunakan formulir 990), menerapkan akuntabilitas dan transparansi, membuat program pelatihan terhadap staf akuntansi, membuat program pelatihan bagi pemimpin-pemimpin yang baru, terutama kepemimpinan di gereja lokal dan implementasi tata kelola (corporate governance) terhadap pengendalian internal. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas mendorong dan memotivasi peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang praktek dan mekanisme penerapan corporate governance di lingkungan organisasi gereja. Yang berbeda dalam penelitian ini dengan penelitian Elson, et al (2007) dalam hal: Pertama, obyek penelitian ini dilakukan pada Organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (tingkat sinodal) yang menjalankan sistem pemerintahan perwakilan sedangkan penelitian sebelumnya yaitu Elson, et al (2007) dilakukan pada interdenominasi gereja-gereja (tingkat lokal) yang mempunyai otonomi masing-masing gereja (Laughlin, 1998 & 1990; Booth, 1993; Lightbody, 2000 & 2001; Jakob & Walker, 2000; Berry, 2005 dalam Randa, 2011). Hasil penelitan Aritonang (1999) dalam Setio dan Dwi Radianto (2007) menyatakan bahwa setiap organisasi gereja memiliki ciri khas tersendiri dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia dan sistem pemerintahan dalam organisasi gereja akan berpengaruh terhadap deskripsi pekerjaan, proses
8
dan penentuan kebijakan-kebijakan dan aspek organisasional gereja yang bersangkutan. Hal ini menambah keunikan karena organisasi gereja sebagai organisasi non profit membutuhkan pengelolaan yang baik dan benar. Kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus di organisasi gereja untuk mengangkat secara natural praktek dan mekanisme corporate governance di Organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan dengan mengunakan pendekatan studi kasus akan diperoleh pemahaman yang menyeluruh dalam konteks yang sebenarnya (real-life context) tentang bagaimana penerapan dan mekanisme corporate governance di Organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Ketiga, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dimana peneliti ingin mendapatkan gambaran yang utuh terhadap salah satu organisasi gereja berdasarkan sejarah, ekonomi, sosial dan konteks organisasi dalam praktek dan mekanisme penerapaan corporate governance sedangkan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan Elson, et al (2007) menggunakan metode survey yang banyak dilakukan dalam penelitian akuntansi dimana hasil penelitian hanya nampak secara eksplisit dan tidak menggambarkan realita sosial yang sesungguhnya terhadap obyek penelitian. 1.2 Rumusan masalah Sesuai dengan latar belakang dan uraian diatas, maka peneliti ingin menelaah lebih mendalam “ bagaimana mekanisme penerapan good corporate governance dan praktek manajemen keuangan sebagai bagian dari penerapan prinsip-prinsip good corporate governance di lingkungan Organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Daerah Konferens Manado,Minahasa Utara, Bitung dan Provinsi Maluku Utara, .” 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui arah dan bagaimana mekanisme penerapkan GCG di lingkungan Organisasi Gereja dan bagaimana proses pelaporan keuangan sebagai bagian dari prinsipprinsip corporate governance.
9
1.4 Kegunaan Penelitian
Manfaat Praktis Dari segi praktis, penelitian ini akan memberikan masukan bagi organisasi gereja khususnya Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh untuk memahami dan memaksimalkan penerapan prinsip-prinsip good corporate governance. Manfaat Teoritis Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi dunia akademis untuk dapat memberikan pengetahuan dan menggambarkan informasi secara umum kepada pihak-pihak yang membutuhkan studi yang berkaitan dengan mekanisme GCG dan penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam organisasi gereja.
10