BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi dalam bentuklahan. Terdapat dua macam proses geomorfologi yang bekerja di permukaan bumi, yaitu proses endogen dan proses eksogen. Kedua proses tersebut berperan penting dalam pembentukan bentuklahan. Proses geomorofologi meninggalkan karakteristik yang khas dalam setiap kenampakan bentuklahan. Dewasa ini, proses eksogen bekerja lebih dominan dibandingkan dengan proses endogen. Proses geomorfologi yang dipengaruhi oleh tenaga eksogen salah satunya adalah gerak massa atau mass wasting. Menurut Cruden dan Varnes (1992) dalam Hardiyatmo (2006), gerak massa dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu jatuhan, robohan, longsoran, sebaran dan aliran. Longsoran merupakan segala macam bentuk pergerakan lereng yang terjadi secara alami akibat penurunan permukaan tanah (Cornforth, 2005). Longsor lahan merupakan salah satu bencana geomorfologi akibat adanya ketidakstabilan geomorfologi yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu (Panizza, 1996). Fenomena longsor lahan merupakan salah satu proses alam untuk mencapai keseimbangan atau stabilitas lereng. Proses tersebut terus berlanjut, baik pada masa lampau, masa kini hingga masa depan, walaupun tidak selalu dalam intensitas yang sama (Thornbury, 1958). Sub DAS Kodil merupakan salah satu sub DAS yang masih termasuk dalam sistem DAS Bogowonto. Sub DAS Kodil terletak di Jawa Tengah dengan melintasi 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo. Ditinjau dari segi genesis, sub DAS Kodil lebih banyak didominasi oleh bentuklahan asal proses denudasional. Proses denudasional 1
ditandai oleh adanya pengikisan permukaan bumi menjadi bentukan yang lebih rendah hingga mencapai level dasar, yaitu ketinggian yang sama dengan permukaan di sekitarnya (Tim Asisten Geomorfologi, 2008). Proses
denudasional
berkaitan
erat
dengan
proses
pelapukan
(weathering), erosi dan gerak massa (mass wasting). Proses pelapukan yang intensif mengakibatkan material penyusun lereng semakin rapuh, sehingga mudah tererosi dan mengalami longsor. Kajian terhadap potensi longsor di sub DAS Kodil dirasa penting, karena dapat digunakan untuk memperlajari karakteristik lereng, arahan pengelolaan lahan, pembuatan peta zonasi potensi longsor dan manajemen bencana, terutama yang berkaitan dengan longsor lahan. Adapun kajian terhadap potensi longsor dapat dilakukan dengan meninjau faktor pengontrol longsor, yaitu ketebalan material tanah dan kemiringan lereng. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kondisi lapisan tanah dan kondisi lereng berpengaruh terhadap kejadian longsor yang terjadi di daerah Purworejo. Kondisi tanah pada lereng-lereng di daerah Purworejo umumnya merupakan tanah residual dan material koluvium hasil rombakan lereng. Kondisi tanah tersebut memiliki permeabilitas yang relatif tinggi dengan batuan dasar berupa breksi dan andesit (Hardiyatmo, 2006). Semakin tebal lapisan tanah menyebabkan air hujan yang jatuh semakin banyak yang terserap ke dalam tanah. Hal ini mengakibatkan beban massa tanah bertambah, sehingga partikel tanah akan mudah bergerak, terutama pada daerah dengan kemiringan lereng yang besar. Batuan dasar berupa batuan beku gunungapi merupakan batuan kedap air, sehingga dapat menjadi bidang gelincir apabila tanah dalam kondisi jenuh air. Potensi longsor, selain ditinjau dari faktor inheren penyebab longsor, juga ditentukan oleh jumlah dan distribusi kejadian longsor sebelumnya. Daerah yang telah mengalami longsor pada umumnya telah mencapai kondisi yang lebih stabil. Kemungkinan terjadi longsor pada lereng-lereng yang telah mengalami
2
longsor sebelumnya akan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada lerenglereng yang belum mengalamu longsoran.
1.2. Rumusan Masalah Karakteristik tanah di sub DAS Kodil pada umumnya merupakan tanahtanah yang terbentuk dari material hasil proses perombakan lereng atau material koluvium. Hal ini disebabkan karena sub DAS Kodil didominasi oleh bentuklahan asal proses denudasional, dimana longsor lahan terjadi secara intensif. Tanah-tanah hasil rombakan lereng pada umumnya memiliki nilai permeabilitas yang tinggi. Ini disebabkan karena material koluvium tersusun atas partikel-partikel yang tidak padat. Apabila hujan turun, air yang jatuh ke permukaan dengan mudah terserap oleh lapisan tanah, sehingga beban massa tanah akan bertambah berat dalam kondisi jenuh. Semakin tebal lapisan material tanah, maka kapasitas infiltrasi akan semakin besar. Akibatnya tanah akan semakin berat. Proses denudasi yang bekerja pada batuan yang awalnya terbentuk oleh kontrol struktur dan proses vulkanik, menyebabkan terbentuknya topografi dengan kemiringan lereng yang curam. Lereng-lereng dengan tingkat kemiringan yang besar mengakibatkan gaya gesek semakin kecil, sehingga partikel tanah mudah mengalami pergesaran. Adapun permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana distribusi ketebalan material tanah di setiap kelas kemiringan lereng pada satuan bentuklahan yang berbeda di daerah penelitian? 2. Bagaimana pengaruh ketebalan material tanah dan kemiringan lereng terhadap potensi terjadinya longsor pada satuan bentuklahan yang berbeda di daerah penelitian?
3
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : 1.
Menganalisis distribusi ketebalan material tanah di setiap kelas kemiringan lereng pada satuan bentuklahan yang berbeda di daerah penelitian.
2.
Menemukenali pengaruh ketebalan material tanah dan kemiringan lereng terhadap potensi terjadinya longsor pada satuan bentuklahan yang berbeda di daerah penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diperoleh melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Memberikan tambahan ilmu pengetahuan mengenai hubungan ketebalan material tanah dengan kemiringan lereng.
2.
Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk arahan pengelolaan lahan, terkait dengan potensi longsor di Sub DAS Kodil.
1.5. Tinjauan Pustaka dan Penelitian Sebelumnya Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menginterpretasi bentuklahan, terutama berkaitan dengan proses-proses yang membentuk dan memodifikasi bentuklahan tersebut (Panizza, 1996). Dalam konsep ini jelas bahwa bentuklahan merupakan obyek kajian utama dalam geomorfologi. Bentuklahan merupakan konfigurasi permukaan bumi yang memiliki relief khas, terkontrol oleh struktur dan terbentuk oleh adanya proses geomorfologi yang bekerja pada batuan induk dalam ruang dan waktu tertentu (Tim Asisten Geomorfologi, 2008). Proses geomorfologi merupakan seluruh proses fisika dan kimia yang mengakibatkan perubahan bentuk permukaan bumi. Proses geomorfologi terjadi apabila terdapat tenaga geomorfologi yang mampu mengikis dan mengangkut 4
material di atas permukaan bumi (Thornbury, 1958). Tenaga geomorfologi secara umum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu tenaga endogen dan tenaga eksogen. Salah satu hasil proses dari aktivitas tenaga eksogen adalah gerakan massa atau mass wasting (Tim Pengajar Geomorfologi, 2009). Gerakan massa menurut Hardiyatmo (2006) merupakan gerakan material penyusun lereng ke arah bawah, meliputi tanah, batu, timbunan buatan atau campuran dari material lain. Adapun tipe gerakan massa dapat dibedakan menjadi 5, yaitu jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), sebaran (spreads) dan aliran (flows) (Cruden dan Varnes 1992 dalam Hardiyatmo, 2006). Adapun tipe longsoran dapat dibedakan menjadi longsoran rotasional (slump) dan longsoran translasional (slide). Longsoran merupakan segala macam bentuk pergerakan lereng yang terjadi secara alami akibat penurunan permukaan tanah (Cornforth, 2005). Menurut Cooke dan Doornkamp (1974) dalam Siddik (2010) gerakan massa tanah berupa longsoran terjadi akibat adanya pengaruh gaya dorong yang lebih besar daripada gaya penahannya. Sedangkan Panizza (1996) berpendapat bahwa longsor lahan merupakan salah satu bencana geomorfologi akibat adanya ketidakstabilan geomorfologi yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Gerakan massa tanah merupakan suatu proses gangguan keseimbangan lereng yang mengakibatkan massa tanah mengalami pergerakan menuruni lereng, baik secara lambat maupun cepat, menuju ke tempat yang lebih rendah (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 1981 dalam Dibyosaputro, 1997, dalam Siddik, 2010). Schaetzl dan Anderson (2005) menyatakan bahwa gerakan massa tanah menuju daerah yang lebih rendah merupakan suatu proses dalam mencapai keseimbangan atau stabilitas lereng. Peck (1967) dalam Hardiyatmo (2006) menyatakan bahwa prediksi stabilitas lereng dapat dilakukan dengan baik dengan mempelajari zona longsoran lama. Dengan memperlajari bidang longsor lama yang terjadi pada lereng alam, karakteristik dan kelakukan lereng alam tersebut akan lebih mudah 5
dipahami. Bidang longsor lama merupakan hasil dari longsoran terdahulu. Kuat geser di sepanjang bidang longsor dapat menjadi sangat rendah, karena gerakan yang dahulu pernah terjadi telah menyebabkan tahanan geser puncak terlampaui dan perlahan-lahan berkurang (Hardiyatmo, 2006). Arsyad (2010) menyatakan bahwa terjadinya longsor dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu : 1. Lereng yang cukup curam, sehingga volume tanah dapat meluncur ke bawah, 2. Terdapat lapisan kedap air di bawah permukaan tanah yang merupakan bidang luncur atau bidang gelincir dan 3. Terdapat cukup air di dalam tanah, sehinggga lapisan tanah di atas lapisan kedap air menjadi jenuh. Salah satu kunci utama dalam mempelajari longsor menurut Pine (2009) adalah daerah yang memiliki potensi longsor dikorelasikan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap longsor, yaitu kondisi lereng, unit geologi yang lemah dalam keadaan jenuh, kondisi drainase yang buruk dan karakteristik tanah. Tanah merupakan akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar permukaan bumi, mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai akibat dari pengaruh iklim dan jasad hidup yang bekerja pada batuan induk dalam keadaan relief dan jangka waktu tertentu (Darmawijaya, 1990). Sebagai hasil proses pelapukan batuan induk, tanah merupakan hasil transformasi zat-zat mineral dan organik yang terbentuk di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berlangsung dalam kurun waktu sangat lama. Menurut Hardiyatmo (2006), tanah merupakan campuran butiran-butiran mineral dengan atau tanpa kandungan bahan organik. Tanah berasal dari proses pelapukan batuan induk, baik secara fisik maupun kimia. Adapun sifat-sifat tanah dipengaruhi oleh sifat batuan induk dan unsur-unsur di luar batuan induk sebagai penyebab terjadinya proses pelapukan. Proses pembentukan tanah menurut Jenny (1941) dalam Sartohadi, dkk. (2012) dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu faktor iklim, organisme, bahan induk 6
tanah, kondisi topografi dan waktu. Akan tetapi Dudal (2004) dalam Sartohadi, dkk. (2012) menambahkan faktor keenam dalam proses pembentukan tanah, yaitu manusia. Menurut Sartohadi, dkk. (2012), pembentukan tanah melibatkan empat kelompok proses, yaitu penambahan, pengurangan, translokasi atau perpindahan dan tranformasi atau perubahan. Keempat proses tersebut berlangsung di dalam profil tanah. Berlangsungnya keempat proses tersebut dalam profil tanah mengakibatkan perubahan ketebalan material tanah. Profil tanah merupakan urutan horizon yang tampak dalam anatomi tubuh tanah (Darmawijaya, 1990). Akan tetapi tidak semua profil tanah tersusun atas horizon tanah. Berbagai proses yang terjadi, seperti erosi atau longsor mengakibatkan terbentuknya lapisan tanah. Dalam lapisan tanah dikenal istilah solum tanah, lapisan topsoil, lapisan surface soil, lapisan subsurface soil, lapisan subsoil dan lapisan substratum (Darmawijaya, 1990). Solum tanah merupakan tanah yang berkembang secara genetis yang terdapat pada lapisan tanah mineral dari atas sampai sedikit di bawah batas atas horizon C. lapisan topsoil merupakan lapisan tanah paling atas meliputi horizon Ap, horizon A1 dan horizon A seluruhnya. Lapisan surface soil merupakan lapisan tanah permukaan yang biasanya terpindahkan waktu penggarapan tanah (tererosi). Lapisan subsurface soil merupakan bagian horizon A yang terdapat di bawah lapisan surface soil. Lapisan subsoil merupakan lapisan tanah yang terdapat di bawah tanah permukaan yang masih termasuk dalam zona perakaran. Lapisan substratum merupakan lapisan yang terdapat di bawah solum, baik horizon C maupun horizon R (Darmawijaya, 1990). Ketebalan material tanah ditunjukkan oleh ketebalan solum tanah dan ketebalan lapisan substratum. Kuriakose, dkk. (2009) menyatakan bahwa kedalaman tanah atau ketebalan material tanah ditunjukkan dari permukaan tanah hingga mencapai material yang padu (batuan). Kedalaman tanah mempengaruhi pertumbuhan vegetasi dan respon proses hidro-mekanik pada lereng. Kedalaman tanah juga 7
merupakan faktor penentu utama dalam setiap proses di permukaan bumi, misalnya longsor lahan dan erosi. Foth (1991) dalam Ikhwanudin (2008) menyatakan bahwa topografi mempengaruhi perkembangan profil tanah, meliputi : 1. Mempengaruhi banyaknya presipitasi yang terserap dan tersimpan di dalam tubuh tanah sehingga mempengaruhi kejenuhan tanah terhadap air, 2. Mempengaruhi laju pengikisan tanah oleh erosi dan 3. Mengarahkan gerakan bahan dalam suspense atau larutan dari satu tempat ke tempat lain. Tanah yang berada pada lereng yang curam memiliki kondisi solum tanah yang lebih tipis dibandingkan tanah yang berada pada topografi yang datar atau bergelombang. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kondisi lapisan tanah dan kondisi lereng berpengaruh terhadap kejadian longsor yang terjadi di daerah Purworejo. Kondisi tanah pada lereng-lereng di daerah Purworejo umumnya merupakan tanah residual dan material koluvium hasil rombakan lereng. Kondisi tanah tersebut memiliki permeabilitas yang relatif tinggi dengan batuan dasar berupa breksi dan andesit (Hardiyatmo, 2006). Ikhwanudin (2008) melakukan penelitian tentang hubungan distribusi spasial antara ketebalan material tanah dan kerapatan titik longsor di Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Ikhwanudin menyatakan bahwa terjadinya longsor sangat dipengaruhi oleh ketebalan material tanahnya. Semakin tebal material tanah, maka kemampuan untuk menyimpan air akan semakin besar, sehingga beban massa tanah menjadi lebih berat. Beban massa tanah yang semakin besar menyebabkan partikel-partikel tanah menjadi mudah bergeser, sehingga terjadi longsor. Hal ini kemudian dikorelasikan dengan kerapatan titik longsor yang berada dalam 1 unit analisis yang sama. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analitik dengan metode area sampling. Adapun unit analisis yang digunakan 8
adalah satuan bentuklahan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketebalan material tanah tidak memiliki hubungan signifikan dengan kerapatan titik longsor. Disamping ketebalan material tanah, terdapat faktor lain yang mempengaruhi longsor, yaitu kemiringan lereng.
1.6. Kerangka Pemikiran Bentuklahan merupakan obyek kajian utama dalam studi geomorfologi. Dalam mengkaji bentuklahan, perlu memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek morfologi, aspek litologi, material penyusun dan proses geomorfologi yang bekerja dan membentuk bentuklahan tersebut. Adanya proses geomorfologi yang bekerja pada batuan penyusun akan menghasilkan kenampakan dengan karakteristik morfologi yang khas pada setiap bentuklahan. Proses geomorfologi merupakan semua proses yang bekerja di permukaan bumi, baik melalui tenaga endogen maupun eksogen. Proses eksogen dikontrol oleh tenaga geomorofologi yang memiliki kemampuan mengikis, mengangkut dan memindahkan material di atas permukaan bumi. Salah satu hasil proses eksogen adalah gerakan massa berupa longsor lahan. Longsor lahan merupakan gerakan material penyusun lereng berupa tanah, batuan dan material lain menuruni lereng yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan dalam lereng tersebut. Dalam hal ini, longsor lahan merupakan salah satu proses alami untuk mencapai keseimbangan dan kestabilan lereng. Kejadian longsor akan semakin sering terjadi pada bentuklahan yang telah mengalami perkembangan geomorfologi lebih lanjut. Batuan penyusun bentuklahan yang berbeda akan memiliki resistensi yang berbeda dalam merespon proses geomorfologi yang terjadi. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan intensitas kejadian longsor dalam setiap satuan bentuklahan. Morfologi yang berbeda dalam setiap satuan bentuklahan mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik kemiringan lereng dan ketebalan
9
material tanah yang terbentuk, sehingga potensi longsor juga akan berbeda dalam setiap satuan bentuklahan. Potensi longsor merupakan kemungkinan suatu daerah dapat mengalami kejadian longsor. Analisis potensi longsor dapat dilakukan dengan meninjau faktor inheren penyebab longsor, yaitu ketebalan material tanah dan kemiringan lereng. Ketebalan material tanah merupakan lapisan tanah yang diukur dari permukaan tanah hingga mencapai material padu berupa batuan induk. Material tanah terbentuk dari proses pedogenesis yang menghasilkan solum tanah dan proses geogenesis yang dipengaruhi oleh erosi, longsor lahan dan sedimentasi. Lapisan tanah yang tebal memiliki beban massa tanah yang lebih besar, sehingga potensi longsor akan semakin besar. Kemiringan lereng yang besar memungkinkan pergerakan tanah menjadi lebih mudah, terutama apabila tanah dalam kondisi jenuh. Semakin tebal lapisan tanah, kemampuannya untuk menyimpan air akan semakin besar. Hal ini mengakibatkan lapisan tanah menjadi lebih berat dan mudah bergeser di atas lapisan batuan induk yang kedap air. Potensi longsor, selain ditinjau dari faktor inheren penyebab longsor, juga ditentukan oleh jumlah dan distribusi kejadian longsor sebelumnya. Potensi longsor semakin besar pada daerah dengan lapisan material tanah yang tebal dan kemiringan lereng yang tinggi dengan jumlah kejadian longsor yang besar. Hal ini disebabkan karena kondisi lereng yang belum stabil. Banyak-sedikitnya jumlah kejadian longsor dalam suatu wilayah menunjukkan besar-kecilnya potensi kejadian longsor di daerah tersebut.
10
Bentuklahan
Morfologi
Morfogenesa
Morfostruktur Aktif
Morfografi
Morfodinamik
Morfostruktur Pasif
Proses Eksogen
Morfometri
Pelapukan
Kesan Topografi
Morfoaransemen
Morfokronologi
Erosi dan Sedimentasi
Gerak Massa (mass wasting)
Bahan Induk Tanah Geogenesis
Pedogenesis
Ketebalan Material Tanah
Kemiringan Lereng
Stabilitas Lereng
Jumlah dan Distribusi Longsor
Analisis Potensi Longsor
Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 11
1.7. Batasan Istilah Batasan istilah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini diacu berdasarkan definisi-defisini dalam Hardiyatmo (2006), adalah sebagai berikut : Kemiringan lereng merupakan perbandingan beda tinggi antara dua titik dengan jarak horisontal kedua titik tersebut. Kerapatan longsor merupakan jumlah titik atau kejadian longsor dalam suatu wilayah dibandingkan dengan luas wilayah tersebut. Ketebalan material tanah adalah ketebalan lapisan tanah yang diukur dari permukaan tanah hingga mencapai batuan induk atau lapisan yang dapat menjadi bidang gelincir longsor. Longsor adalah gerakan material tanah penyusun lereng menuju lokasi yang lebih rendah akibat adanya faktor-faktor yang memicu terjadinya pergerakan. Material tanah merupakan seluruh lapisan material lepas-lepas yang berada di atas batuan induk atau lapisan yang dapat menjadi bidang gelincir longsor. Perkembangan tanah merupakan proses pembentukan karakteristik yang khas pada tubuh tanah, baik dari proses pedogenesis maupun geogenesis. Potensi longsor adalah kemungkinan suatu daerah dapat mengalami kejadian longsor dengan dikorelasikan dengan faktor-faktor penyebab longsor. Tanah merupakan material lepas-lepas di permukaan bumi yang terbentuk dari hasil proses pelapukan (weathering) batuan induk.
12