BAB I PENDAHULUAN
Bab ini sebagai pembuka naskah penelitian yang diawali dengan pemaparan latar belakang masalah yang akan menjadi pokok bahasan penelitian. Selanjutnya perumusan masalah secara lebih terperinci, kemudian penjelasan terkait tujuan dan kegunaan penelitian. Di bagian terakhir terdapat sistematika penulisan yang memaparkan naskah penelitian ini secara garis besar dari bab awal hingga bab terakhir.
1.1
Latar Belakang Masalah Pangan adalah kebutuhan pokok manusia yang vital. Kedelai adalah salah
satu komoditas pangan yang penting di Indonesia dan merupakan salah satu sumber gizi penting yaitu protein yang berguna untuk kesehatan dan perkembangan tubuh manusia. Periode tahun 2013, konsumsi kedelai Indonesia adalah 2,4 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,7 juta ton-nya, Indonesia masih mengimpor dari negara lain, walaupun sudah ada tambahan lahan seluas 88.000 hektar dari yang sebelumnya hanya 570.000 hektar, yang hanya mampu memproduksi kedelai sekitar 700.000-800.000 ton per tahun. Pada bahasan ini penelitimemperhatikantempe sebagai olahan kedelai yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Lebih spesifik di area Yogyakarta dan sekitarnya, salah satu produsen tempe terbesar di Yogyakarta adalah Tempe Murni “Muchlar”. Tuntutan untuk memuaskan konsumen dengan memenuhi pesanan konsumen
tepat
waktumenjadikan
perusahaan
Tempe
Murni
“Muchlar”Yogyakarta harus membuat sistem manajemen sediaan yang baik. Penelitian ini penting untuk mengusahakan sistem sediaan bahan baku yang seekonomis mungkin, namun tetap mampu memenuhi permintaan konsumen.
1
Peneliti memperkirakan selama ini terjadi pemborosan di Perusahaan TMM Yogyakarta dari aspek penyediaan bahan baku. Argumen ini ada karena perhitungan yang terencana berdasar sains dalam penyediaan kedelai mentah di Perusahaan TMM Yogyakarta ini belum pernah dilakukan. Alasan lainnya adalah karena kontrak jangka panjang dengan supplier kedelai mentah tidak dapat disepakati. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “PENYEDIAAN BAHAN BAKU YANG EFEKTIF DAN EFISIEN UNTUK MENDUKUNG KELANCARAN PROSES PRODUKSI PADA PERUSAHAAN TEMPE MURNI “MUCHLAR” YOGYAKARTA” 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkanmasalah penelitian yaitu mengenai manajemen sediaan bahan
baku kedelai di perusahaan Tempe Murni “Muchlar” Yogyakarta, selanjutnya peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakahcara merencanakan sediaan bahan baku kedelai mentah pada Perusahaan Tempe Murni “Muchlar” Yogyakarta dengan cara seefisien mungkin? 2. Bagaimanakah pengendalian sediaan bahan bakuyang efisien pada perusahaan Tempe Murni “Muchlar” Yogyakarta? 1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian Dari sekian ulasan mengenai latar belakang masalah dan rumusan masalah yang ada dalam industri Tempe Murni “Muchlar” Yogyakarta, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menginvestigasialternatif-alternatif rencana sediaan bahan baku kedelai mentah yang mampu dilakukanoleh Perusahaan TMM Yogyakarta. 2. Membuat rencana pengendalian sediaan bahan baku kedelai mentah berdasarkan alternatif yang paling efisien, yang diperoleh dari poin 1.
2
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti : Sebagai bahan perbandingan teori dengan praktek mengenai perencanaan kebutuhan sediaan, sehingga dapat menambah pengetahuan yang penting bagi peneliti di masa mendatang. Bisa jadi praktek di lapangan tidak sesuai dengan teori-teori yang ada dikarenakan adanya faktor error, baik secara teknis atau faktor yang ada di luar kendali manusia. Hasil minimal yang dikehendaki adalah disiplin dalam penerapan teori yang ada, sehingga menghasilkan output sesuai dengan harapan atau hitungan teoretisnya. 2. Bagi perusahaan : Sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam menentukan strategi usaha terkait perencanaan sediaan yang optimal dan penekanan kos sediaan seminimal mungkin. Jika perbandingan ekonomis antara sebelum dengan sesudah penerapan
hasil
penelitian
ini
signifikan,
maka
sebaiknya
perusahaan
memperbarui sistem sediaannya agar profitabilitas meningkat. 3. Bagi IPTEK : Menambah kontribusi untuk pengembangan IPTEK yang berhubungan dengan sediaan/ inventori. 1.4
Batasan Penelitian Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kuantitatif, dengan
Perusahaan Tempe Murni “MUCHLAR” Yogyakartasebagai subjeknya. Ramalan permintaan harian selama 4 minggu yaitu 14 Desember 2014 hingga 10 Januari 2015 dibuat berdasarkan data histori permintaan 36 minggu yakni 6 April sampai dengan 13 Desember 2014. Kemudian, dibuat tiga skenario perencanaan bahan baku yakni metode tanpa perubahan, metode Lot for Lot, dan metode EOQ. Setelah itu, kos total masing-masing metode diperbandingkan, dan metode dengan kos terendah dipilih. Selanjutnya, perencanaan sediaan bahan baku disusun berdasarkan metode dengan kos terendah tersebut. 3
1.5
Sistematika Penelitian Untuk mempermudah pembahasan, penelitian skripsi ini dipilah menjadi
beberapa babsebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN Bab ini berisi pembahasan penyusunan skripsi secara garis besar yang di dalamnya terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II: TELAAH PUSTAKA Bab ini memaparkan beragam konsep dan teori terkait permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya dalam bagian pendahuluan.
BAB III: METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan bagaimana penelitian akandilaksanakan berdasarkanteori manajemen operasional. Karena itu, bab ini menguraikan proses produksi, definisi operasional dan variabel penelitian, sumber dan jenis data yang digunakan, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV: ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN Bagian ini menguraikan langkah-langkah analisis data berdasarkan teknik analisis yang telah dipaparkan dalam BAB III. Selanjutnya adalah interpretasi dan penjelasan mengenai hasil pengolahan data tersebut.
BAB V: PENUTUP Bab terakhir yang berisi simpulan, keterbatasan-keterbatasan, dan saran yang bersifat membangun berdasarkan hasil penelitian ini.
4
BAB II ANALISIS PUSTAKA Bab ini berisi uraian mengenai teori manajemen, kemudian berlanjut ke subtopik sediaan. Lebih jauh lagi, pembahasan berlanjut ke pengendalian sediaan, mengapa perusahaan perlu melakukan pengendalian sediaan. Pada subtopik pengendalian sediaan ini sedikit dibahas mengenai Material Requirements Planning (MRP) yang pada bab selanjutnya teori-teori terkait MRP ini dibahas lebih lanjut. Di akhir bab dijabarkan rerangka penelitian.
2.1
Manajemen Pengelolaan operasional dalam sebuah perusahaan membutuhkan suatu
sistem
yang
mampu
membawa
perusahaan
mencapai
tujuan-tujuannya
sebagaimana pengertian manajemen oleh Millet (1954), yaitu: “manajemen adalah proses memimpin dan melancarkan pekerjaan dari orang-orang yang terorgasisasi secara formal sebagai kelompok untuk memperoleh tujuan yang diinginkan”. Dalam manajemen terdapat 4 fungsi, yaitu: 1. Planning (perencanaan); proses mengenai usaha yang dilakukan untuk mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan di masa yang akan datang dan perumusan strategi dan taktik yang sesuai untuk merealisasikan tujuan dan target
organisasi.Kegiatan-kegiatan
dalam
Fungsi
Perencanaan
diantaranya: 1) Menetapkan tujuan dan target organisasi 2) Membuat strategi untuk mencapai tujuan dan target organisasi 3) Menentukan
sumber-sumber
daya
yang
dibutuhkan
untuk
keberhasilan
dalam
mencapai tujuan dan target organisasi 4) Merumuskan
standard
atau
indikator
pencapaian tujuan dan target organisasi
5
2. Organizing (pengorganisasian); proses yang berkaitan dengan bagaimana strategi
dan
taktik
yang
telah
dirumuskan
dalam
perencanaan
diformulasikan dalam sebuah struktur organisasi mumpuni, sistem dan kondisi lingkungan organisasi yang kondusif, dan dapat memastikan setiap elemen dalam organisasi mampu bekerja secara efektif dan efisien untuk pencapaian
tujuan
organisasi.Kegiatan-kegiatan
dalam
Fungsi
Pengorganisasian yakni: 1) Mendistribusikan sumber-sumber daya, merumuskan prosedur dan tugas yang perlu dilaksanakan 2) Membuat struktur organisasi yang menunjukkan garis otoritas dan tanggungjawab 3) Rekruitmen, penyeleksian, pelatihan, dan pengembangan sumber daya manusia 4) Menempatkan tenaga kerja pada posisi yang sesuai
3. Directing (pengarahan); proses implementasi program agar dapat dilaksanakan oleh semua bagian dalam organisasi serta proses motivasi agar semua bagian tersebut dapat melakukan tanggungjawabnya dengan penuh kesadaran sehingga produktivitasnya yang tinggi.Kegiatan-kegiatan dalam Fungsi Pengarahan sebagai berikut: 1) Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan, dan pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan 2) Memberikan tugas dan penjelasan rutin mengenai pekerjaan 3) Menjelaskan kebijakan yang telah ditetapkan
4. Controlling
(pengendalian),
yaitu
proses
yang
dilakukan
untuk
memastikan bahwa semua rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, diorganisasikan dan diimplementasikan dapat berjalan sesuai dengan target yang diharapkan walaupun telah terjadi banyak perubahan dalam
6
lingkungan
usaha.Kegiatan-kegiatan
dalam
Fungsi
Pengendalian
diantaranya: 1) Mengevaluasi keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan target organisasi sesuai dengan indikator-indikator dan standard yang telah ditetapkan 2) Melaksanakan klarifikasi dan koreksi atas kesalahan yang mungkin terjadi 3) Melakukan
alternatif
solusi
atas
masalah-masalah
yang
berhubungan dengan pencapaian tujuan dan target organisasi 4) Mengawasi segala proses dari awal sampai akhir dalam proses bisnis. Penelitian difokuskan pada fungsi pengendalian sediaan bahan baku atau input pada Perusahaan Tempe Murni “Muchlar” Yogyakarta dikarenakan Perusahaan TMM harus menemukan strategi pengendalian sediaan bahan baku yang seefisien mungkin. Peneliti memperkirakan selama ini terjadi pemborosan yang berimbas pada kurangnya profitabilitas. Kos yang sebenarnya terjadi dari metode yang selama ini dijalankan harus diperhitungkan, sementara pencarian metode-metode alternatif yang lebih efisien harus dilakukan. Kegiatan perencanaan dan pengendalian dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan bahan baku sebagai input proses produksi. Perencanaan dan pengendalian dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat melayani kebutuhan bahan baku dengan tepat dan dengan kos yang rendah. Selama ini perusahaan umumnya melakukan perencanaan dan pengendalian tidak berdasarkan strategi dan metode yang sesuai dengan teori yang teruji, tetapi berdasarkan sebatas logika dan pengalaman-pengalaman masa lalu. Strategi
dan
metode
yang
kurang
terukur
tersebut
seringkali
mengakibatkan terjadinya kelebihan atau penumpukan bahan baku sehingga tidak terpakai atau terbuang, bisa jadi pula justru kekurangan bahan baku, yang mana mengakibatkan: (1) pembengkakan kos pada kasus kelebihan dan penumpukan bahan baku dan (2) mengganggu atau menghambat proses produksi dalam
7
memenuhi permintaan konsumen pada kasus kekurangan bahan baku, atau kos kesempatan karena kehilangan kesempatan untuk meraih keuntungan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, khususnya perencanaan kebutuhan bahan baku yang sesuai, telah dikonsepkan sistem Material Requirements Planning (MRP). Dari penerapan sistem Material Requirements Planning, pemenuhan jumlah kebutuhan bahan baku dapat diperhitungkan dengan tepat dan penentuan kos sediaannya dapat ditetapkan seoptimal mungkin sesuai dengan ekspektasi. 2.2
Pengertian, Alasan memiliki, Jenis, Kos, dan Model Sediaan Pada subtopik bahasan mengenai sediaan ini, ada beberapa hal yang perlu
dikaji lebih mendalam yaitu meliputi pengertian sediaan, alasan memiliki sediaan, jenis sediaan, kos sediaan, dan model sediaan. Kelima subtopik tersebut perlu dipahami oleh para pengambil keputusan operasional. Pengertian Sediaan Keberadaan sediaan dalam suatu perusahaan harus diatur sedemikian rupa sehingga bisa menjamin kelancaran pemenuhan kebutuhan bagi penggunanya, serta munculnya sumber-sumber daya menganggur (idle resources) yang posisinya menunggu masuk proses lebih lanjut, kosnya tetap efisien secara konsisten.Berikut ini beberapa pengertian sediaan menurut para ahli: 1. “ Inventory adalah bahan baku dan penolong, barang jadi dan barang 0T
0T
0T
0T
dalam proses produksi dan barang-barang yang tersedia, yang dimiliki dalam perjalanan dalam tempat penyimpanan atau konsignakan kepada pihak lain pada akhir periode" (Koher, 2009). 2. “Sediaan
(inventory) adalah
stok
bahan
yang digunakan
untuk
memudahkan produksi atau untuk memuaskan permintaan konsumen” (Schroeder, 1994). 3. “Sediaan merupakan barang yang dijual dalam aktivitas normal perusahaan” (Hasley, 2005).
8
4. “Suatu istilah umum yang menunjukan segala sesuatu atau sumber dayasumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan” (Handoko, 2000). 5. “Sejumlah bahan-bahan (parts) yang disediakan dan bahan-bahan dalam proses yang terdapat di perusahaan untuk proses produksi serta sediaan barang jadi atau produk yang disediakan untuk memenuhi permintaan dari komponen atau konsumen setiap waktu” (Assauri, 2004).
Dari berbagai pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa sediaan (inventory) adalah bahan-bahan yang disediakan, dikonsignakan ke pihak lain, dan bahan-bahan dalam proses yang terdapat dalam suatu perusahaan untuk dimasukkanke dalam proses produksi, serta barang-barang jadi atau produk yang disediakan untuk memenuhi permintaan konsumen, yang mana disimpan dan dirawat dalam tempat tertentu agar selalu dalam keadaan siap pakai dalam mengantisipasi permintaan konsumen setiap saat.
Alasan Mengapa Harus Memiliki Sediaan Pada dasarnya sediaan memudahkan atau melancarkanberjalannya operasi perusahaan manufaktur yang mana perlu dilaksanakan dalam tahapantahapanguna memproduksi barang-barang, kemudian mendistribusikannyake para konsumen. Bisa jadi sediaan adalah produk-produk yang dihasilkan di tempat yang jauh dari konsumen dan/ atau sumber bahan baku. Dengan adanya sediaan, produksi tidak harus dilaksanakan hanya untuk konsumsi, bisa pula konsumsi tidak harus diminimalisasi dikarenakan bentrok dengan kepentingan produksi. Menurut Sofjan Assauri (1993), berikut ini adalah beberapa alasan dibutuhkannya sediaan oleh suatu perusahaan manufaktur: 1. Dibutuhkannya waktu untuk menyelesaikan operasi produksi untuk memindahkan produk dari suatu tingkat ke tingkat proses yang lain, yang disebut sediaan dalam proses dan pemindahan.
9
2. Alasan organisasi, untuk memungkinkan satu unit atau bagian membuat jadwal operasinya secara bebas, tidak tergantung dari yang lainnya.
Sediaan merupakan salah satu unsur yang paling menonjol dalam operasional perusahaan yang secara terus-menerus diterima, diubah, dan kemudian dijual lagi. Maka dari itu, ketersediaan sediaan yang optimal dalam arti mencukupi, tidak lebih hingga menganggur dan tidak kurang hingga mengganggu proses produksi, dapat menjamin kelancaran operasionalperusahaan manufaktur, sebab faktor waktu tunggu antara suatu proses dengan proses berikutnya mampu diminimalisasikan atau dihilangkan.
Jenis Sediaan Menurut Assauri (1993), sediaan dalam suatu perusahaan dapat dipilah berdasarkan beberapa kategori yakni dari segi fungsi dan dari segi jenis dan posisi barang dalam urutan pengerjaan. Dari segi fungsi, sediaan dapat dipilah menjadi sebagai berikut: 1. Batch Stock atau Lot Size Inventory, yaitu sediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan-bahan dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah yang dibutuhkan pada saat itu. 2. Fluctuation Stock, yaitu sediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi atau perubahan naik turunnya permintaan konsumen yang tidak bisa diprediksikan. 3. Anticipation Stock, yaitu sediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi atau perubahan naik turunnya permintaan konsumen yang bisa diprediksikan, berdasarkan pada pola musiman per tahunnya.
Sedangkan pemilahan sediaan berdasarkan jenis dan posisi barang tersebut di dalam urutan pengerjaan produk yaitu : 1. Sediaan Bahan Baku (Raw Materials stock), yaitu sediaan dari barangbarang berwujud yang digunakan dalam proses produksi, barang yang bisa diperoleh dari sumber-sumber alam maupun dibeli dari penyuplai atau
10
perusahaan yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan manufaktur yang menggunakannya. 2. Bagian-bagian yang dibeli atau sediaan bagian (purchased parts/ component stock) yaitu sediaan barang-barang yang terdiri dari bagianbagian yang diterima dari perusahaan lain, yang dapat secara langsung dirakitkan dengan bagian-bagian lainnya tanpa sebelumnya memproduksi barang-barang tersebut sendiri. 3. Sediaan
bahan-bahan
pembantu
atau
barang-barang
perlengkapan
(supplies stock) yaitu sediaan barang-barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proses produksi untuk mendukung keberhasilan produksi atau yang digunakan dalam operasi suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen dari barang jadi. 4. Sediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses (work in process/ progress stock), yaitu sediaan barang-barang yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam satu pabrik atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi lebih perlu diproses kembali untuk kemudian menjadi barang jadi. 5. Sediaan barang jadi (finished good stock) yaitu sediaan barang-barang yang sudah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual kepada konsumen.
Kos Sediaan Jumlah sediaan yang paling optimal dalam arti paling ekonomis, tidak berlebihan sehingga meniadakan kos yang tidak seharusnya ada yaitu holding cost, namun di pihak lain juga tidak kekurangan, yang mana berpotensi mengganggu kelancaran proses produksi dan justru menimbulkan opportunity cost dikarenakan adanya permintaan sebagian konsumen yang tidak mampu dipenuhi oleh perusahaan. Kos-kos sediaan barang menurut Handoko (2000)yang perlu diperhatikan: 1. Kos penyimpanan (holding cost atau carrying cost), adalah kos yang dikeluarkan atas investasi dalam sediaan dan pemeliharaan maupun
11
investasi sarana fisik untuk menyimpan sediaan. Kos ini merupakan koskos yang bervariasi langsung dengan kualitas persedian barang. Kos penyimpanan per periode akan semakin besar jika kualitas bahan yang dipesan semakin banyak atau jumlah rata-rata sediaan semakin tinggi.Adapun kos yang termasuk kos penyimpanan terdiri dari : 1) Kos fasilitas-fasilitas penyimpanan 2) Kos modal (opportunity cost of capital) yaitu alternatif pendapatan atas dana yang diinvestasikan dalam perusahaan 3) Kos keusangan 4) Kos perhitungan fisik dan konsiliasi laporan 5) Kos asuransi sediaan 6) Kos pajak sediaan 7) Kos pencurian, pengrusakan, atau perampokan 8) Kos penangan sediaan dan sebagainya Kos-kos yang disebutkan di atas adalah variabel apabila bervariasi dengan tingkat sediaan. Apabila kos fasilitas penyimpanan (gudang) bukan variabel tetapi tetap, maka tidak termasuk dalam kos penyimpanan per unit. Kos penyimpanan sediaan biasanya berkisar antara 12 hingga 40 persen dari kos atau harga barang. Dalam perusahaan manufaktur, pada umumnya kos penyimpanan rata-rata konsisten sekitar 25 persen. 2. Kos pemesanan (ordering cost atau procurement cost) adalah kos yang berasal dari pembelian barang yang dipesan dari supplier, atau bisa disebut sebagai kos persiapan (setup cost) jika item diproduksi di dalam perusahaan. Kos-kos ini meliputi: 1) Kos pemprosesan pesanan dan kos ekspedisi 2) Kos upah 3) Kos telepon 4) Kos pengeluaran surat-menyurat 5) Kos pengepakan dan penimbangan 6) Kos pemeriksaan (inspection) penerimaan 12
7) Kos pengiriman ke gudang 8) Kos hutang lancar Pada umumnya,kos pemesanan tetap walaupun kuantitas pesanan bertambah banyak. Tetapi jika semakin banyak komponen yang dipesan pada setiapkali pemesanan, maka jumlah pesanan per periode turun, sehinggakos pemesanan totalakan turun. Ini berarti kos pemesanan total per periode (tahunan) adalahsama dengan jumlah pesanan yang dilakukan setiap periode dikalikan kos yang harus dikeluarkan setiap kali pesan. 3. Kos penyiapan (manufacturing cost), merupakan kos yang dikeluarkan apabila bahan-bahan tidak dibeli, tapi diproduksi. Kos ini terdiri dari: 1) Kos mesin-mesin menganggur 2) Kospersiapan tenaga kerja langsung 3) Kosscheduling atau penjadwalan 4) Kos ekspedisi Seperti halnya kos pemesanan, kos penyiapan total per periode adalahsama dengan kos penyiapan dikali dengan jumlah penyiapan per periode. 4. Kos kekurangan bahan (shortage cost), merupakan kos yang timbul jika sediaan tidak mencukupi permintaan bahan, diantaranya: 1) Kos kehilangan penjualan 2) Kos kehilangan konsumen 3) Kos pemesanan khusus 4) Kos ekspedisi 5) Kos selisih harga 6) Kos terganggunya operasi 7) Kos tambahan pengeluaran kegiatan marginal dan sebagainya Kos
kekurangan
bahan
adalah
jenis
kos
yang
paling
sulitdiperkirakan secara objektif dan sulit diukur dalam praktek,
13
terutamakarena kenyataan bahwa kos ini sering merupakan opportunity cost. Dari literatur aslinya, Handoko (2000) awalnya mengartikan cost sebagai biaya, namun beliau merevisinya secara lisan di kelas mengenai keambiguan makna kata biaya dalam bahasa Indonesia yang juga merupakan arti dari kata expense. Revisi ini atas prakarsa Suwardjono yang mendefinisikan cost merupakan unit pengukur atau bahan olah akuntansi, sementara expense merupakan pengorbanan sumber-sumber ekonomis untuk memperoleh pendapatan. Dikarenakan tidak adanya kata baku dalam bahasa Indonesia yang mampu merepresentasikan makna kata cost seutuhnya, maka dari itu Suwardjono menggunakan istilah “kos”, dan peneliti juga menggunakan kata kos untuk menggantikan kata biaya yang merepresentasikan makna cost sebagai unit pengukur, termasuk dalam kutipan literatur pihak lainnya. Penggolongan kos-kos yang timbul dari adanya sediaan juga dipaparkan oleh Tampubolon (2004).Kos-kos yang timbul dari adanya sediaan dapat digolongkan menjadi empat, yaitu: 1. Kos Pemesanan (Ordering Cost) Kos pemesanan adalah kos-kos yang dikeluarkan yang berkaitan dengan pemesanan barang-barang atau bahan-bahan dari penjual, mulai dari pemesanan (order) dibuat dan dikirim hingga barang-barang atau bahan-bahan tersebut dikirim dan diserahkan serta diinspeksi di gudang. Kos pemesanan ini sifatnya konstan. Besarnya kos yang dikeluarkan tidak tergantung pada besarnya atau banyaknya barang yang dipesan. Dalam ordering cost, yang termasuk dalam kos pemesanan ini adalah semua kos yang dikeluarkan dalam rangka mengadakan pemesanan barang tersebut, diantaranya kos administrasi pembelian dan penempatan pesanan, kos pengangkutan dan bongkar muat, kos penerimaan, dan kos pemeriksaan. 2. Kos Penyimpanan (Carrying Cost)
14
Carrying Cost adalah kos-kos yang diperlukan berkaitan dengan adanya sediaan yang meliputi seluruh pengeluaran yang dikeluarkan perusahaan sebagai akibat dari adanya sejumlah sediaan. Kos ini berhubungan dengan terjadinya sediaan dan disebut juga dengan kos mengadakan sediaan (stock holding cost). Kos ini berhubungan dengan tingkat rata-rata sediaan yang selalu terdapat di gudang, sehingga besarnya kos ini bervariasi tergantung dari besar kecilnya ratarata sediaan yang terdapat di gudang, yang termasuk ke dalam kos ini adalah semua kos yang timbul karena barang disimpan yaitu kos pergudangan yang terdiri dari kos sewa gudang, upah dan gaji pengawasan dan pelaksana pergudangan serta kos lainnya. Kos pergudangan ini tidak akan ada jika tidak ada sediaan. 3. Kos Kehabisan Sediaan (Stockout Cost) Kos kehabisan sediaan adalah kos-kos yang timbul akibat terjadinya sediaan yang lebih kecil daripada jumlah yang diperlukan, seperti kerugian atau kos-kos tambahan yang diperlukan karena seorang konsumen meminta atau memesan suatu barang sedangkan barang atau bahan yang diperlukan tidak tersedia. Kos ini juga dapat merupakan kos-kos yang timbul akibat pengiriman kembali pesanan atau order tersebut. 4. Kos Penyiapan (Set Up Cost) Set up cost adalah kos-kos yang timbul di dalam menyiapkan mesin dan peralatan untuk dipergunakan dalam proses konversi. Kos ini terdiri dari kos mesin yang menganggur (idle capacity), kos penyiapan tenaga kerja, kos penjadwalan, kos kerja lembur, kos pelatihan, kos pemberhentian kerja, dan koskos pengangguran (idle time costs). Kos-kos ini terjadi karena adanya pengurangan atau penambahan kapasitas yang digunakan pada waktu tertentu.
Model Sediaan
15
Menurut Schroeder (1994), model sediaan akan sangat tergantung kepadasifat bahan atau barang, apakah bahan tersebut bersifat permintaan bebas(independent) atau sebagai permintaan terikat (dependent). Permintaan bebasdipengaruhi oleh kondisi pasar, di luar pengaruh fungsi operasi, maka dari itu ia bebas(independent) dari fungsi operasi. Sediaan barang jadi dan suku cadang untukpenggantian biasanya memiliki permintaan yang bebas. Permintaan terikat terkait dengan permintaan untuk satuan barang lain dan tidak secara bebas ditentukanoleh pasar. Jika produk-produk dibentuk dari komponen dan rakitan, permintaan akankomponen ini bergantung pada permintaan untuk produk akhir. Permintaan bebas dan tidak bebas menunjukkan pola pemakaian ataupermintaan yang sangat berbeda. Permintaan bebas tunduk pada kekuatan pasar,sehingga sering menunjukkan pola yang tetap. Selain itu, permintaan bebas juga
menanggapi
pengaruh-pengaruh
acak
yang biasanya
berasal
dari
preferensikonsumen yang sangat beragam. Sebaliknya, permintaan terikat menunjukkan suatu polaturun naik yang tidak lancar karena produksi secara khusus dijadwalkan dalam partai-partai. Sejumlah bagian atau komponen diperlukan apabila suatu partai dibuat;kemudian tidak ada bagian yang diperlukan sampai partai berikutnya.Pola permintaan yang berbeda memerlukan pendekatan manajemen sediaanyang berbeda pula. Untuk permintaan bebas, filosofi penambahan ulang(replenishment) adalah cocok. Pada saat stock digunakan, sediaan diisi kembaliagar bahan-bahan di tangan tetap dimiliki untuk konsumen. Jadi, apabila sediaanmulai habis, suatu pemesanan dipacu untuk menambah bahan dan sediaanditambah kembali. Untuk
satuan-satuan
barang
permintaan
terikat,
digunakan
filosofikebutuhan. Jumlah stock yang dipesan didasarkan pada kebutuhan untuk satuan-satuanpada tingkatan yang lebih tinggi. Jika salah satunya mulai habis, tambahanbahan baku atau sediaan barang dalam proses tidak dipesan. Lebih banyak bahandipesan hanya jika diperlukan oleh kebutuhan untuk satuan-satuan barang tingkatlebih tinggi lainnya. 2.3
Pengendalian Sediaan: Pengertian, Prinsip-prinsip, dan Metode
16
Berdasarkan Hammer, et al(2003) dijelaskan bahwaada dua tingkat pengendalian sediaan, yaitu: 1) pengendalian atas unit, dan 2) pengendalianatas nilainya. Manajer pembelian dan produksi lebih memperhatikan pengendalian atas satuan unit. Mereka memikirkan, melakukan pemesanan, danmengajukan permintaan bahan bakulebih pada satuan unit daripada dalam nilai uangnya. Lain halnya dengan para manajer eksekutif,mereka lebih memperhatikan pengendalian sediaan pada segi nilainya secara finansial. Perbedaan perhatian utama antara manajer eksekutifdibandingkan dengan manajer produksi adalah adanya pertimbangan dari segi pengembalian modal yang digunakan oleh perusahaan, yaitu uang yang diinvestasikan pada sediaan harus dimanfaatkan secaraefektif dan efisien. Pengendalian sediaan bisa berhasil baik jikaperubahan kenaikan atau penurunansediaan mengikuti pola yang telah ditentukan dan dapat direncanakan kondisinya, dimana polatersebut terkait dengan jumlah dan periode penjualan yang telah diekspektasikan. Pengendalian bahanbaku harus memenuhi dua kebutuhan yang seringkali bertentangan dalam pelaksanaannya, yaitu antara menjaga setiap sediaan dalam jumlah dan keragaman yang mencukupi untuk operasional perusahaan yang efisien, ataukah menjaga sediaan yang menguntungkan secara finansial.Hal demikian menjadikan para manajer operasional, misal perusahaan manufaktur, harus disiplin dalam mengendalikan sediaan.
Pengertian Pengendalian Sediaan 17
Berikut ini terdapat pemaparan beberapa pengertian pengendalian sediaan menurut para ahli: 1. “Pengawasan sediaan merupakan salah satu kegiatan dari urutan kegiatankegiatan yang bertautan erat satu sama lain dalam seluruh operasi produksi perusahaan tersebut sesuai dengan apa yang telah direncanakan lebih dahulu baik waktu, jumlah, kuantitas maupun kosnya.” (Sofjan Assauri, 1999) 2. “Pengendalian merupakan pengawasan yang sekaligus dapat mengambil beberapa tindakan untuk perbaikan yang diperlukan.“ (Agus Ahyari, 1995) 3. "Setiap kegiatan yang bersifat pembuatan suatu produk atau kegiatan lainnya yang mempunyai hubungan dengan proses pembuatan suatu produk, tidak akan terlepas dari persoalan pengendalian sediaan, baik yang merupakan pengendalian persoalan, pengendalian sediaan tehadap bahan baku, bahan pembantu lain yang diperlukan atau terhadap barang jadi. Barang-barang tersebut perlu dikendalikan sediaannya, agar sampai tidak timbul kerugian di dalam kegiatan yang sedang berlangsung.” (Martin K. Starr dan David W, 1989) 4. “Pengendalian sediaan adalah teknik dalam menjaga bahan baku pada level yang diinginkan. Dalam industri manufaktur, berawal dari produk fisik, menekankan pada kontrol material.” (Everett dan Ebert, 1992) Dari berbagai pengertian menurut para ahli di atas dapat kita ketahui bahwa pengendalian sediaan merupakan suatu cara atau teknik dalam menjaga keutuhan fisik barang, memperkirakan jangka waktu penyimpanan masa penggunaan, dan menentukan seberapa tingkat sediaan yang harus djaga oleh suatu perusahaan sehingga dapat melindungi kelancaran produksi, memenuhi permintaan konsumen, memperhatikan keseimbangan antara besarnya sediaan yang disimpan dengan kos-kos yang ditimbulkan sehingga menghindarkan perusahaan dari kerugian di masa depan.
18
Prinsip-Prinsip Pengendalian Sediaan Menurut Hammer et al (2008), sistem dan teknikpengendalian sediaan harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang sesuai dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Sediaan diciptakan dari pembelian bahan dan tambahan kos pekerja serta overhead untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi. 2. Sediaan berkurang melalui penjualan dan kerusakan. 3. Perkiraan yang tepat atas schedule penjualan dan produksi merupakan hal esensial bagi pembelian, penanganan, dan investasi bahan baku yang efisien. 4. Kebijakan manajemen yang berupaya menciptakan keseimbangan antara keragaman dan kuantitas sediaan bagi operasi yang efisien dengan kos pemilikan sediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan investasi sediaan. 5. Pemesanan bahan baku merupakan tanggapan terhadap perkiraan dan penyusunan rencana pengendalian produksi. 6. Pencatatan sediaan saja tidak akan mencapai pengendalian atas sediaan. 7. Pengendalian bersifat komparatif dan relatif, tidak mutlak. Hal ini dilakukan manusia dengan berbagai pengalaman dan pertimbangan. Aturan-aturan dan prosedur memberi jalan pada para personel dalam membuat evaluasi dan mengambil keputusan.
Menurut Matz (1994), sistem dan teknik pengendalian sediaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1. Sediaan diciptakan dari pembelian (a) bahan dan suku Cadang, dan (b) tambahan kos pekerja dan overhead untuk mengolah bahan menjadi barang jadi. 2. Sediaan berkurang melalui penjualan dan kerusakan ataupun penggunaan Perkiraan yang cepat atas skedul penjualan dan produksi merupakan hal yang essential bagi pembelian, penanganan, dan investasi bahan yang efisien.
19
3. Kebijakan manajemen, yang berupaya menciptakan keseimbangan antara keragaman dan kuantitas sediaan bagi operasi yang efisien dengan kos pemilikan sediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan investasi sediaan. 4. Pemesanan
bahan
merupakan
tanggapan
terhadap
perkiraan
dan
penyusunan rencana pengendalian produksi. 5. Pencatatan sediaan saja tidak akan mencapai pengendalian atas sediaan atas sediaan.
Oleh karena itu, Matz (1994) berpendapat bahwa pengendalian sediaan yang efektif harus: 1. Menyediakan bahan dan suku cadang yang dibutuhkan bagi operasi yang efisien dan lancar. 2. Menyediakan cukup banyak stock dalam periode kekurangan pasokan (musiman, siklus atau pemogokan), dan mengantisipasi perubahan harga. 3. Menyiapkan bahan dengan waktu dan kos penanganan yang minimum serta melindunginya dari kebakaran, pencurian, dan kerusakan selama bahan tersebut ditangani. 4. Mengusahakan agar jumlah sediaan yang tidak terpakai, berlebih, atau yang usang sekecil mungkin dengan melaporkan perubahan produk secara sistematik, dimana perubahan tersebut mungkin akan mempengaruhi bahan suku cadang. 5. Menjamin kemandirian sediaan bagi pengiriman yang tepat waktu kepada konsumen. 6. Menjaga agar jumlah modal yang diinvestasikan dalam sediaan berada pada tingkat yang konsisten dengan kebutuhan operasi dan rencana manajemen.
20
Metode Pengendalian Sediaan Menurut Riyanti Wiranata (2002), metode pengendalian sediaan terdiri dari: 1. Metode pengendalian sediaan tradisional Metode ini secara formal diperkenalkan oleh Wilson pada tahun 1929 atas dasar mencari jawaban atas 3 pertanyaan dasar: 1) Berapa jumlah barang yang harus dipesan untuk tiap kali pemesanan (Economic Order Quantity - EOQ). 2) Kapan saat pemesanan harus dilakukan (Reorder Point - ROP). 3) Berapa jumlah cadangan pengaman yang diperlukan (Safety Stock). Metode ini menggunakan matematika dan statistik sebagai alat bantu utama dalam memecahkan masalah kuantitatif dalam sistem sediaan. 2. Metode
perencanaan
kebutuhan
material
(Material
Requirements
Planning/ MRP) Menurut Mcleod (2002), MRP diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960-an oleh Joseph Orlicky dari J.I Case Company dan kemudian dikembangkan menjadi MRP II pada tahun 1983 oleh Oliver Wight dan George Plossl, yang semula Material Requirements Planning diubah menjadi Manufacturing Resource Planning. MRP merupakan model yang menghendaki manajer untuk melakukan tindakan tertentu, berarah ke tujuan masa depan, dan mengidentifikasikan bahan-bahanyang dibutuhkan, jumlah bahan, serta tanggal penggunaannya. Menurut Rangkuti (2002), dalam beberapa tahun terakhir MRP sudah menggantikan sistem sediaan tradisional karena kesederhanaan sistem sediaan tradisional menimbulkan hal yang tidak menguntungkan, misal tingginyakos sediaan dan pengiriman barang yang tidak tepat waktu. MRP bersifat computer oriented yang terdiri dari sekumpulan prosedur, aturan-aturan pengambilan keputusan, dan seperangkat mekanisme pencatatan yang dirancang untuk menjabarkan jadwal produksi induk.
21
Selanjutnya, MRP II (Manufacturing Resource Planning) berupaya untuk mengintegrasikan semua proses dalam sistem manufaktur yang berhubungan dengan manajemen material dalam operasi perusahaan.
2.4
Material Requirements Planning (MRP) Dalam pembahasan mengenai operasional perusahaan manufaktur, banyak
dijumpai
barang
yang
biasa
disebut
sebagai
independent
demand
inventory.Menurut Lalu Sumayang (2003), independent demand inventory adalahsediaan yang tergantung pada permintaan pasar dan tidak tergantung pada operasi perusahaan, jadi seberapapun produktivitas operasi perusahaan tidak akan mempengaruhi permintaan pasar terhadap barang tersebut. Di sisi lain terdapatdependent demand inventory yang dipengaruhi oleh permintaan dari proses produksi berikutnya, misalnya inventori barang mentah dengan sediaan barang setengah jadi. Pengelolaan dependent demand inventoriini harus dikelola dengan sistem Material Requirements Planning atau dengan metode Just in Time. Pada subpokok bahasan ini peneliti membahas sistem Material Requirements Planningmeliputi definisi, tujuan, manfaat, input sistem, output sistem, langkah dasar, hingga teknik penentuan ukuran lot dalam MRP.
Definisi Material Requirements Planning (MRP) Berikut
ini
adalah
beberapa
definisi
Material
Requirements
Planningmenurut para ahli: 1. “MRP adalah model permintaan terikat yang menggunakan daftar kebutuhan bahan baku, status inventori, perkiraan penerimaan, dan jadwal produksi induk, yang mana dipakai untuk menentukan kebutuhan material di masa yang akan datang”, (Heizer dan Render, 2005) 2. “MRP
sebagai
suatu
sistem
informasi
yang
digunakan
untuk
merencanakan dan mengendalikan sediaan dan kapasitas”, (Roger G. Schroeder, 1994). 3. “MRP adalah metode penjadwalan untuk purchased planned orders dan manufactured planned orders, kemudian diajukanuntuk analisis lanjutan
22
berkenaan dengan sediaan kapasitasdan keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhankapasitas”, (Gasperz, 2004)
Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh beberapa pakar diatas, maka MRP
bisa
diartikan
sebagai
sistem
yangsudah
terencanamengenai
modelpermintaan terikat yang menggunakan daftar kebutuhan bahan baku, status inventori, perkiraan penerimaan, dan jadwal produksi induk,yang mana informasi tersebut digunakan untukmerencanakan dan mengendalikan sediaan dan kapasitas melalui analisis lanjutan berkenaan dengan sediaan kapasitasdan keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhandalam operasi sebuah manufaktur.
Tujuan MRP Menurut Richard J. Tersine (1994), tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan MRPsebagai alat pengendalian sediaan adalah sebagai berikut: 1. Merealisasikan pesanan produk dan pembelian dengan mengatur aliran kebutuhan bahan baku dan proses penyediaannya agar jadwal produksi pembuatan produk jadi bisa terpenuhi. 2. Menjamin ketersediaan material, komponen, dan produk untuk memenuhi rencana produksi dan rencana penyerahan produk pada konsumen. 3. Memelihara tingkat permintaan item-item dependent pada tingkat minimum. Sedangkan menurut Herjanto (1999), tujuan yang hendak dicapai dalamMRP adalah: 1. Meminimumkan sediaan MRP menentukan jumlah suatu item dan kapan item tersebut dibutuhkan sesuai dengan Jadwal produksi induk. 2. Meningkatkan efisiensi` MRP juga mendorong peningkatan efisiensi karena jumlah sediaan, waktu produksi, dan waktu pengiriman barang dapat direncanakan lebih baik sesuai dengan Jadwal produksi induk.
23
3. Mengurangi resiko dikarenakan keterlambatan produksi atau pengiriman Tujuan dari MRP adalah merancang suatu sistem yang mampu menghasilkan informasi bagi manajemen supaya mampu memilih tindakan yang tepat (pembuatan pemesanan, pesan ulang, penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan pedoman untuk melakukan pembelian dan produksi.
Manfaat Material Requirements Planning Menurut Render dan Heizer (2001), manfaat dari MRP sebagai alat pengendalian sediaan perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen. 2. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja. 3. Perencanaan dan penjadwalan sediaan yang lebih baik. 4. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar. 5. Tingkat sediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen. Menurut Gasperz (2004), MRP sangat bermanfaat bagi perencanaan kebutuhanmaterial untuk komponen yang jumlah kebutuhannya dipengaruhioleh komponen lain (dependent demand). MRP memberikanpeningkatan efisiensi karena jumlah sediaan, masa produksi, dan masa pengiriman barang dapat direncanakan dengan lebih baik, dikarenakan terdapat keterpaduan dalam kegiatan yangdidasarkanpada jadwal produksi induk. Moto dari MRP adalah memperoleh materialyang tepat, dari sumber yang tepat, untuk penempatan yang tepat,dan pada waktu yang tepat.
Input Sistem MRP Dalam penggunaan sistem MRP, dibutuhkan beberapa input tertentu, yang mana selanjutnya input-input tersebut setelah diolah akan menghasilkan beberapa output yang bisa digunakan untuk mengendalikan sediaan.
24
Menurut Chase, et al (1995), MRP memiliki tiga inputinformasi yang diperlukan, yaitu: 1. Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedules/ MPS) Jadwal Produksi Induk adalah perencanaan dalam suatu fase yang menentukan berapa banyak dan kapan perusahaan merencanakan, membuat tiap akhir produk akhir. Jadwal Produksi Induk dibuat dengan cara membagi rencana produksi total dalam bermacam-macam produk akhir yang akan dibuat, dimana hasil ramalan tersebut dipakai untuk membuat rencana produksi yang pada akhirnya dibuat rencana yang lebih terperinci atau rencana jangka pendek. Jadwal Produksi Induk merupakan proses alokasi untuk membuat sebuah produk yang diinginkan dengan memperhatikan kapasitas yang dimiliki. Hal-hal yang perlu diketahui mengenai Jadwal Produksi Induk ini diantaranya adalah tujuan, fungsi, input, dan kriteria dasar dari item-item komponen penyusun Jadwal Produksi Induk itu sendiri. Tujuan dari jadwal produksi induk adalah : •
Untuk pengembangan data menjadi perencanaan yang lebih detail.
•
Membantu keinginan konsumen untuk mengetahui kapasitas pabrik/ produksi.
•
Membantu untuk membuat janji yang realistis dan untuk mengevaluasi akibat dari perubahan jadwal.
•
Koordinasi rencana dan tindakan dari semua fungsi organisasi dan untuk mengukur pelaksanaan jadwal.
•
Alat bagi manajer untuk menetapkan wewenang dan pengendalian dari semua sumber daya untuk mendukung pelaksana rencana. Sedangkan fungsi dari Jadwal Produksi Induk menurut Vincent
Gaspersz (2001) adalah sebagai berikut: •
Menyediakan
atau
memberikan
perencanaan kebutuhan material.
25
input
utama
kepada
sistem
•
Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk itemitem dalam Jadwal Produksi Induk.
•
Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk kepada konsumen.
Input untuk membuat jadwal produksi induk diantaranya: (1) Production plan, (2) demand data, (3) inventory status, dan (4) ordering policy.Kriteria dasar dari item-item jadwal produksi induk ini diantaranya sebagai berikut: 1) Jenis item tidak terlalu banyak. 2) Kebutuhan dapat diramalkan. 3) Mempunyai BOM, sehingga kebutuhan komponen dapat dihitung. 4) Dapat diperhitungkan dalam penentuan kapasitas. 5) Menyatakan konfigurasi produk yang dapat dikirim
2. Struktur Produk atau Catatan Bahan Produk (Bill of Materials/ BOM) Struktur Produk (BOM) merupakan penggambaran antara produk akhir dengan komponen-komponen penyusunnya. Dalam struktur produk tampak dependensi komponen-komponen sub-rakitan terhadap produk akhir. Pada struktur produk yang lebih kompleks, bisa jadi terdapat beberapa level ketergantungan karena di bawah sub-rakitan masih terdapat sub-rakitan lagi. Informasi yang disampaikan diantaranya jumlah item susunan produk, jumlah item yang dibutuhkan (sub-rakitan) untuk membentuk produk di level produk akhir. Tiap level dari struktur produk menyajikan tingkatan yang jelas dari semua proses manufaktur. Perubahan dari bahan mentah menjadi sub-rakitan pada level dasar, tahap selanjutnya yang meliputi sub-rakitan dan produk akhir pada level yang tertinggi dalam struktur produk, contohnya adalah sebagai berikut:
26
Gambar 2.1 Contoh Catatan Bahan Produk/ Bill Of Materials (BOM)
Penafsiran Gambar 2.1: Untuk membuat barang A dibutuhkan B sebanyak 3 unit dan C sebanyak 2 unit. Barang B sebanyak 3 unit tersebut terbuat dari 4 unit D, 1 unit E, dan 2 unit F. Sementara untuk 2 unit barang C dibutuhkan 1 unit G dan 6 unit H. Di level terbawah/ paling awal, dibutuhkan 3 unit I dan 1 unit J untuk memproduksi D sebanyak 4 unit. Supaya gambaran proses eksploitasi lebih sederhana, setiap level diberi kode dan notasi angka. Penggunaan notasi angka di samping kode di setiap levelnya, mulai angka 0, 1, 2, dan seterusnya. Level 0 merupakan level tertinggi dari suatu struktur produk (produk akhir). Level 1 merupakan penjabaran dari level 0 (sub-rakitan), demikian selanjutnya.
3. Catatan Sediaan (Inventory Records File) Catatan sediaan (inventory record file) berisi informasi tentang setiap item yang ada dalam sediaan, baik yang tersedia maupun yang sedang dipesan. Catatansediaan juga berisi informasi tentang masa pemesanan yang dibutuhkan oleh setiap item, sehingga keadaan untuk setiap periode tertentu bisa terpenuhi. Catatan rekamansediaan juga menyediakan informasi penting mengenai: 1) Jumlah sediaan yang tersedia
27
2) Jumlah kebutuhan per item untuk setiap periode 3) Ada atau tidaknya kesesuaian jumlah sediaan dengan pemenuhan kebutuhan operasi manufaktur Untuk
memudahkan
proses
pencatatan
status
sediaan
secara
berkelanjutan, maka perlu disusun suatu tabel yang berbentuk matriks yang terbagi atas baris dan kolom Tabel 2.1 Contoh Catatan Keadaan Sediaan Produk “A”
Minggu
0
1
2
Kebutuhan kotor
3
4
5
130
6
7
8
110
9 130
Penerimaan Sediaan yang ada
20 20
20
Kebutuhan bersih Rencana Pemesanan
20
20
20
130 130
20
20
20
110 110
20 130
130
Penafsiran contoh tabel 2.1: Terdapat kebutuhan kotor130 unit pada minggu ke-3, 110 unit pada minggu ke-6, dan 130 pada minggu ke-9. Untuk penerimaan pemesanan tidak ada. Oleh karena itu, terdapat 20 unit sediaan yang ada pada minggu pertama, kebutuhan bersihnya dapat dihitung yaitu dengan mengurangi kebutuhan kotor dengan sediaan yang ada. Jadi sebesar 130 unit pada minggu ke-3, 110 unit pada minggu ke-6, dan 130 unit pada minggu ke-9. Sediaan yang ada dijaga agar selalu tersedia 20 unit untuk mengantisipasi lonjakan permintaan dan/ atau permintaan di luar jadwal biasanya.
28
Selain ketiga input di atas, ada tiga faktor independen yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan penerapan sistem MRP dalam manajemen sediaan bahan baku suatu perusahaan, ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Economic Order Quantity (EOQ) atau Kuantitas Pemesanan Ekonomis Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh F. W. Haris pada tahun 1915 dengan mengembangkan formula kuantitas pemesanan ekonomis. Ini adalah salah satu model tertua mengenai penjadwalan produksi klasik. Kerangka kerja yang digunakan untuk menentukan kuantitas pemesanan ini juga dikenal sebagai Wilson EOQ Model atau Wilson Formula. Dengan menggunakan perhitungan yang ekonomis tentunya suatu perusahaan dapat menentukan secara teratur mengenai bagaimana dan berapa jumlah material yang harus disediakan. Ketidakteraturan penjadwalan akan berdampak pemborosan pada biaya sediaan karena menumpuknya sediaan di gudang. Definisi EOQ menurut Prof. Dr. Bambang Rianto: “Economic Order Quantity atau disebut Kuantitas Pemesanan Ekonomis adalah jumlah kuantitas barang yang dapat diperoleh dengan biaya minimal, atau sering dikatakan sebagai jumlah pembelian yang optimal.” Definisi Menurut Drs. Agus Ahyari “Economic Order Quantity adalah jumlah pembelian bahan baku yang dapat memberikan minimalnya biaya sediaan.” Berdasarkan definisi kedua pakar diatas, peneliti simpulkan bahwa EOQ merupakan suatu metode yang digunakan dengan tujuan optimalisasi pembelian bahan baku yang akan digunakan dalam suatu proses produksi dengan cara menekan kos-kos sediaan sehingga efisiensi sediaan bahan baku dalam perusahaan bisa dicapai. Tujuan dari model EOQ adalah untuk meminimalkan total kos sediaan. Kos-kos penting dalam model ini adalah kos pemesanan, kos penempatan order, dan kos membawa atau memegang unit sediaan dalam gudang. Kos-kos lain
29
semisal kos pembelian sediaan itu sendiri adalah konstan, oleh karena itu tidak relevan dengan model EOQ ini. Kos pemesanan juga dikenal sebagai kos pembelian atau kos set up, ini merupakan kos tetap yang tidak berhubungan dengan kuantitas barang yang dipesan, tetapi terkait aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk memproses pesanan. Rumus EOQ adalah sebagai berikut:
EOQ :
2.1
dimana:
S
: Biaya pemesanan per pesanan
D
: permintaan yang diperkirakan per periode waktu
H
: Biaya penyimpanan per unit per tahun
Penggunaan metode EOQ dapat membantu perusahaan menentukan jumlah unit yang dipesan agar tercapai biaya pemesanan dan biaya sediaan yang minimal. Dalam penggunaan model EOQ, ada beberapa asumsi yaitu sebagai berikut: •
Jumlah kebutuhan bahan baku sudah dapat ditentukan terlebih dahulu secara pasti untuk penggunaan satu tahun atau satu periode.
•
Penggunaan bahan baku relatif stabil dalam satu tahun atau satu periode.
•
Harga bahan baku konstan selama periode tertentu.
•
Lead Time atau jangka waktu antara waktu pemesanan dengan datangnya pesanan adalah tetap.
•
Tidak terjadi stockout atau kehabisan bahan baku.
30
2. Reorder Point (ROP) atau Titik (batas/waktu) Pemesanan Kembali Reorder point pada suatu perusahaan sangat penting agar pembelian bahan dalam jumlah tertentu yang sudah ditetapkan dalam EOQ tidak menganggu kelancaran proses produksi. Apabila tenggang waktu antara pemesanan barang dan datangnya barang tersebut atau biasa disebut sebagai lead timesama dengan nol, artinya saat barang dipesan saat itu juga barangnya datang. Maka pada saat jumlah persediaan sama dengan nol, pada saat itulah pemesanan dilakukan. Kenyataannya adalah, lead time nol itu mustahil. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan Safety Stock, yaitu stok ekstra yang dipertahankan untuk mengurangi risiko stockouts (kekurangan bahan baku atau kemasan) karena ketidakpastian pasokan dan permintaan.
Rumus dari Reorder Point adalah sebagai berikut: ROP
= (d * LT) + SS
2.2
dimana: •
d
: Kebutuhan bahan baku harian
•
LT
: Lead Time
•
SS
: Jumlah Safety Stock
Jika Lead Time bisa dipastikan tidak terjadi keterlambatan dari jadwal, maka safety stock bisa diabaikan. 3. Quantity Discount Rate Model ini didasarkan pada potongan harga per unit barang jika perusahaan membeli barang dalam jumlah besar. Apabila holding cost bervariasi ditentukan oleh pemasok, maka penentuan EOQ yang optimal memerlukan seluruh kos-kos minimum yang feasible.
31
Jika holding cost merupakan persentase dari harga yaitu h=i.c , maka prosedur penentuan EOQ-nya adalah sebagai berikut: 1) Hitung EOQ untuk setiap potongan harga 2) Jika EOQ di luar jangkauan pada tiap potongan harga (tidak feasible), maka sesuaikan nilai EOQ dengan menaikkannya pada kuantitas terendah sehingga menjadi feasible 3) Menghitung Total Cost pada tiap EOQ setelah disesuaikan 4) Pilih EOQ yang membebankan Total Cost terendah
Output Sistem Material Requirements Planning (MRP) Hasil dari pengolahan MRP dapat digolongkan menjadi 2 macam output, yaitu primary report dan secondary report yaitu sebagai berikut: 1. Primary report (laporan utama) Laporan utama ini menyangkut perencanaan dan pengendalian sediaan dan produksi. Laporan ini terdiri dari : 1) Planned order schedule/ Planned Order Receipt/ PORec (jadwal pemesanan terencana), yaitu laporan yang berisi jumlah dan waktu dari pemesanan yang akan dilakukan untuk mememenuhi Jadwal Produksi Induk pada saat ini. Jadwal ini ditunjukan oleh inventory record files untuk setiap jenis barang. 2) Order releases/ PORel/ Planned Order Release (pelepasan pesanan), yaitu suatu laporan yang menugaskan pelaksanaan dari planned order schedule, yang berisi jumlah setiap jenis barang yang akan dipesan pada periode waktu sekarang. 3) Change to planned order (perubahan atas pemesanan yang terencana), yaitu suatu laporan yang berisi tentang perubahan waktu kedatangan pesanan atau perubahan jumlah pesanan yang harus dilakukan terhadap pesanan yang sudah dilakukan, atau dapat juga berisi pembatalan atau penundaan pesanan yang sudah dilakukan.
32
2. Secondary report (laporan tambahan) Laporan tambahan ini merupakan pelengkap laporan utama. Dalam laporan tambahan terdapat tiga informasi yakni sebagai berikut: 1) Performance control report (laporan kontrol kinerja) Laporan ini digunakan untuk mengevaluasi operasi sistem, dan membantu manajer dalam mengukur penyimpangan dari perencanaan, misalnyapemilihan bahan yang tidak sesuai dan kurangnyasediaan. 2) Planning report (laporan perencanaan) Laporan ini berguna untuk meramalkan kebutuhan sediaan di masa yang akan datang. Laporan ini mencakup harga dan jumlah kesepakatan pembelian yang juga berguna untuk menilai kebutuhan bahan mentah di masa yang akan datang. 3) Exception report (laporan pengecualian) Laporan ini berisi mengenai ketidakcocokan misalnya: keterlambatan pemesanan, bahan mentah yang datang terlambat tidak sesuai dengan waktu perkiraan kedatangan dikarenakan faktor kelalaian pemasok atau force majeure, dan juga laporan mengenai tidak tersedianya bagian produk tertentu.
33
Bila digambarkan dalam bentuk bagan, maka secara sederhana sistem MRP dapat ditunjukkan pada gambar berikut: Gambar 2.2 Input dan outputsistem MRP
Langkah Dasar Pengolahan MRP Dalam penerapan metode MRP ada empat langkah dasar yang diperlukan, yaitu: 1. Netting Dalam langkah ini kebutuhan bersih atas suatu item dalam satu periode dalam jangka waktu perencanaan diperhitungkan. Besarnya kebutuhan bersih merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan status sediaannya. Dalam persamaan matematis dapat ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut: Kebutuhan bersih =
Kebutuhan kotor – Sediaan yang ada pada periode
sebelumnya
34
2. Lotting Langkah ini merupakan proses penentuan ukuran pemesanan untuk memenuhi kebutuhan bersih dalam jangka waktu satu atau beberapa periode sekaligus,
sehingga
jumlah
sediaan
yang
harus
selalu
tersedia
dapat
diminimumkan.
3. Offsetting Dalam langkah ini terkait waktu tunggu (lead time) yang dibutuhkan untuk menentukan kapan waktunya membuat perintah pesanan, yang mana penentuan waktu tersebut tergantung pada: 1) Waktu yang dibutuhkan dalam setiap satu kali proses produksi. 2) Waktu yang dibutuhkan untuk proses administrasi pemesanan. 3) Waktu yang dibutuhkan untuk kedatangan pesanan mulai dari saat pemesanan dilakukan oleh perusahaan, sampai dengan kedatangan pesanan yang didistribusikan oleh pihak supplier. 4) Waktu yang dibutuhkan untuk proses inspeksi pesanan Lead time tersebut merupakan jumlah kumulatif dari keempat waktu tunggu yang disebutkan di atas.
4. Explotion Salah satu faktor terpenting dalam MRP adalah keterkaitan yang erat antara item induk sebagai produk atau output akhir dengan item-item komponen penyusunnya sebagaimana ditunjukkan dalam Bill of Materials produk tersebut. Saatjadwalproduksi induk sudah dibuat, maka pada saat itulah ada perintah untuk mencatat kebutuhan kotor untuk setiap item komponen penyusunnya, termasuk kapan komponen tersebut akan digunakan. Explotion merupakan proses perhitungan kebutuhan untuk level yang lebih bawah berdasarkan struktur produk dari item induk
35
Teknik Penentuan Ukuran Lot Menurut Heizer dan Render (2005), sebuah sistem Material Requirements Planning adalah cara yangsangat baik untuk menentukan jadwal produksi dan kebutuhan bersih. Saat teridentifikasi adanya kebutuhan bersih, maka keputusan jumlah barang yang perlu dipesan harus dibuat. Keputusan ini disebut juga sebagai keputusan penentuan ukuran lot (lot-sizing decision). Salah satu cara yang umumnya digunakan untuk menentukan ukuran lot dalam sistem Material Requirements Planning adalah metode Lot for Lot, yaitu suatu metode yang juga dikenal sebagaimetode sediaan minimal, yang mana metode ini didasarkan pada ide menyediakan sediaansebatas kebutuhan saja, jumlah sediaan diusahakan seminimal mungkin. Jumlah pesanan yang disesuaikan dengan jumlah sesungguhnya yang dibutuhkan ini menghasilkan tidak adanya sediaan yang harus disimpan. Sehingga, kos yang timbul hanya berupa kos pemesanan saja, tidak ada kos penyimpanan (holding cost). Metode ini mengasumsikan supplier tidak mensyaratkan ukuran lot minimal per satu kali pesan; artinyaberapapun ukuran lot yang dipilih dapat dipenuhi oleh supplier (Purwati, 2008). Metode ini mengandung resiko, yaitu jika terjadi keterlambatan dalampengiriman
barang.
Jika
sediaan
itu
berupa
bahan
baku,
mengakibatkanterhentinya produksi. Jika sediaan itu berupa barang setengah jadi, menyebabkan gangguan di bagian perakitan atau assembly dalam proses manufaktur, kesamaan antara kedua resiko ini adalah tidakterpenuhinya permintaan konsumen. Adapun metode yang juga banyak digunakan adalah metode EOQ sebagaimana telah dipaparkan pada subtopik sebelumnya. Jumlah barang yang dipesan berdasarkan hasil perhitungan EOQ. Metode ini mengasumsikan lead time untuk setiap bahan baku selalu sama, maka dari itu sangat mengandalkan infrastruktur transportasi yang reliable. Jika lead time mundur dikarenakan faktor pengiriman, maka dari itu sistem safety stock juga digunakan.
36
2.5
Format MRP Menurut Hartini (2006), format MRP adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Format Material Requirements Planning Item:
Lead Time:
Periode
1
2
3
4
5
GR OH NR PORec PORel Sumber: Hartini (2006)
Penjelasan dari tabel di atas: •
GR:Gross Requirement (kebutuhan kotor); keseluruhan jumlah item (komponen) yang dibutuhkan dalam suatu periode tertentu.
•
OH: On Hand (sediaan di tangan); jumlah sediaan akhir pada suatu periode tertentu, dengan mengalkulasikan jumlah sediaan yang ada ditambah dengan jumlah item yang akan diterima.
•
NR: Net Requirement (kebutuhan bersih); jumlah kebutuhan bersih dari suatu item yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kasar pada suatu periode tertentu yang akan datang.
•
PORec: Planned Order Receipts (rencana penerimaan pemesanan); jumlah item yang akan diterima sesuai dengan jumlah dalam pesanan yang dilakukan sebelumnya.
•
PORel: Planned Order Release (rencana pemesanan); jumlah item yang direncanakan untuk dipesan agar memenuhi perencanaan di masa yang akan datang. 37
2.6
Rerangka Penelitian Berikut ini adalah rerangka penelitian dalam skripsi ini.
Gambar 2.3 Rerangka Penelitian
38
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari 5 bagian yang diawali dengan pemaparan mengenai profil Perusahaan TMM Yogyakarta sebagai objek penelitian. Selanjutnya dijelaskan proses produksi mulai dari bahan baku hingga produk akhir dan deskripsi produk TMM. Kemudian peneliti menjelaskandefinisi operasional dan variabel penelitian. Berdasarkan sumber dan jenis data yang digunakan dalam peneliatian, selanjutnya ditentukan metode pengumpulan data yang berlanjut pada teknik analisis yang sesuai dengan penelitian.
3.1
Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Perusahaan Tempe Murni
“Muchlar” Yogyakarta, mulai beroperasi pada 1985 pada skala usaha kecil yakni beberapa puluh kilogram tempe saja per harinya. Kini menjadi produsen tempe terbesar di area Yogyakarta dengan kemampuan produksi melebihi 3 ton per harinya. Perusahaan ini didirikan oleh H.Muchlar. Lokasi usaha TMM dari sejak awal berdirinya telah mengalami perpindahan lokasi. Pada awalnya perusahaan ini beroperasi di rumah H.Muchlar yaitu daerah Sambi Sari, Joho, Sleman, DIY selama 10 tahun. Pada tahun 1995 dibukalah lokasi usaha baru yang mampu mengakomodasi kapasitas produksi yang lebih besar yaitu di daerah Muwotan, Kasihan, Bantul, DIY yang hingga kini merupakan lokasi operasional utama perusahaan. Rumah H.Muchlar kini masih beroperasi namun terkonsentrasi hanya untuk pengemasan saja. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai TMM silakan merujuk lampiran A, Profil perusahaan TMM. 39
3.2
Proses Produksi beserta Deskripsi Produk dan Bahan Baku TMM Dalam bagian ini ada dua bagian utama, yaitu bagian proses produksi yang
menjelaskan langkah-langkah pembuatan tempe murni dari kedelai mentah. Bagian selanjutnya menggambarkan produk tempe murni sebagai output produksi TMM. 3.2.1
Proses Produksi Proses produksi mulai dari kedelai mentah hingga menjadi tempe setengah
jadi sebelum dikemas dengan kemasan untuk end user dapat dirunut menjadi 10 bagian, yaitu: (1) pengayakan bijih kedelai mentah, (2) pencucian kedelai, (3) perendaman tahap pertama, (4) perebusan tahap pertama, (5) penggilingan kedelai, (6) pemisahan kulit kedelai, (7) perendaman tahap kedua, (8) perebusan tahap kedua, (9) pendinginan dan peragian, dan yang terakhir adalah (10) pengemasan dalam karung. Supaya lebih jelas, bagan alur proses produksi dipaparkan dalam bagan di halaman selanjutnya.
40
Gambar 3.1 Bagan Alur Proses Produksi TMM
(Sumber: Data Primer Olahan, 2014)
41
Kapasitas pengolahan TMM adalah 2,5 ton kedelai mentah per hari. Penjelasan mengenai bagian-bagian dalam proses produksi Tempe Murni “Muchlar” adalah sebagai berikut:
1) Pengayakan Bijih Kedelai Mentah Bijih kedelai yang masih mentah memiliki ukuran yang berbeda-beda sehingga ukurannya perlu disamakan supaya waktu pematangan di tahap selanjutnya bersamaan. Proses pengayakan menggunakan mesin pengayak karena lebih efisien dibandingkan menggunakan alat pengayak tradisional yang dikerjakan dengan tenaga manusia. Bijih kedelai mentah yang diayak adalah sejumlah 2,5 ton setiap harinya. Bijih kedelai yang ukurannya melebihi batas yang telah ditentukan tidak akan ikut terayak dan dibuang. Kedelai ayakan yang lolos kemudian ditampung dalam kantong-kantong kain dan dipadatkan dengan berat per karungnya adalah 50 kg.
2) Pencucian Kedelai Ayakan Bijih-bijih kedelai yang lolos pengayakan kemudian dipindahkan ke dalam bak berukuran besar berisi air untuk dicuci. Pencucian kedelai ini dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Tujuan proses pencucian kedelai adalah untuk membersihkan kulit kedelai mentah dari kotoran yang bisa menghambat pengembangan bijih kedelai hingga pelepasan kulit bijih kedelai di proses selanjutnya.
3) Perendaman Tahap Pertama Di tahap ini, bijih kedelai yang sudah dibersihkan direndam dalam air supaya mengembang, kulitnya melunak, dan mengurangi populasi mikroba pembusuk yang berpotensi mengganggu proses fermentasi kedelai . Air rendaman akan meresap kedalam kedelai hingga terjadi peningkatan massa kedelai berkisar antara 50% - 60%. Proses perendaman tahap pertama ini membutuhkan waktu 24
42
jam penuh. Biasanya perendaman diselesaikan maksimal jam 12 siang, supaya pada jam 12 siang di hari berikutnya bijih-bijih kedelai tersebut bisa direbus. 4) Perebusan Tahap Pertama Kedelai yang sudah direndam 24 jam kemudian direbus dalam waktu 10 menit dengan tujuan bijih kedelai menjadi lebih lunak dan lebih elastis sehingga tidak
hancur
dalam
proses
penggilingan.
Untuk
mengurangi
resiko
kerusakankedelai karena suhu pemanasan yang berlebihan dan juga tujuan efisiensi waktu, perebusan dilakukan dengan uap panas yang dihembuskan dari pipa yang ada di dalam bak perebusan ini. Uap panas dihasilkan dari tangki air yang dipanaskan diatas tungku pembakaran berbahan bakar LPG. Output proses perebusan ini adalah kedelai setengah matang yang masih ada kulitnya dan siap untuk digiling.
5) Penggilingan Kedelai Tujuan proses ini adalah untuk memecah bijih kedelai sehingga mudah dipisahkan dari kulitnya. Proses penggilingan kedelai ini menggunakan mesin dan 2 orang tenaga kerja: satu orang mengambil kedelai dari tempat perebusan kemudian ditempatkan di wadah yang disebut tampah supaya air panas dari perebusan tahap pertama tersaring, satu orang lagi memindahkan kedelai dari tampah untuk dimasukkan ke dalam mesin penggilingan, mengawasi kedelai yang sedang digiling, menambahkan air ke dalam penggilingan kedelai jika airnya kurang supaya kedelai tidak terlalu hancur. Kedelai hasil proses penggilingan kemudian sementara ditempatkan pada kolam kecil dengan lubang-lubang di bawahnya untuk membuang air yang masih terikutkan dari proses penggilingan. Setelah tidak ada air yang mengalir melalui lubang tersebut, kedelai yang sudah digiling dipindahkan ke bak-bak lain yang sudah berisi air jernih untuk dipisahkan dari kulitnya. 6) Pemisahan Kulit Kedelai Dalam bak-bak pemisah kulit ini, kedelai yang sudah digiling direndam diaduk-aduk secara manual dengan tenaga manusia untuk mempermudah proses
43
pemisahan kulit kedelai dari bijihnya. Total pekerja di bagian ini adalah 4 orang. Jika pengadukan dilakukan dengan mesin, resiko kerusakan bijih kedelai lebih besar karena dibutuhkan kekuatan dan kecepatan pemutaran adukan yang bervariasi. Kulit kedelai yang terkelupas akan mengambang di permukaan air kemudian diambil dan dibuang.
7) Perendaman Tahap Kedua Perlu diingat bahwa hingga tahap pemisahan kulit kedelai, bijih-bijih kedelai masih berupa kedelai setengah matang. Kedelai setengah matang yang sudah dipisahkan dari kulitnya ini direndam lagi selama 16 jam dari jam 3 sore hingga jam 7 pagi hari berikutnya. Karena perendaman dilakukan dalam kondisi kedelai sudah dipisahkan dari kulitnya, maka air rendaman tahap kedua ini memiliki bau yang lebih kuat daripada air rendaman tahap pertama karena air rendaman tahap kedua berkontak langsung dengan biji kedelai setengah matang. Tujuan dari perendaman tahap kedua adalah untuk mendapatkan bijih kedelai yang lebih lunak lagi sebelum perebusan terakhir dan lebih bersih dari mikroba yang ada dalam bijih kedelai.
8) Perebusan Tahap Kedua Pada tahap ini kedelai direbus hingga matang sepenuhnya, implikasi lainnya adalah mengurangi keasaman kedelai dari perendaman tahap kedua dan membunuh kuman yang masih ada dalam bijih kedelai, yang mana berpotensi mengganggu proses peragian bijih kedelai.
9) Pendinginan dan Peragian Kedelai yang sudah matang dipindahkan dan dikumpulkan ke dalam bak kosong dengan menggunakan saringan. Setelah terkumpul kemudian kedelai matang tersebut ditempatkan ke tampah-tampah dengan alokasi 10 kg kedelai matang di setiap tampah kemudian tampah-tampah tersebut diletakkan lantai. Tujuan ditempatkan di tampah adalah untuk mengurangi kadar airnya lagi sebelum diragi. Sementara itu proses pendinginan di tampah yang diletakkan di
44
lantai dibantu dengan menggunakan kipas angin untuk mempercepat proses pendinginan dan pengurangan kadar air dalam bijih kedelai hingga mencapai suhu ideal peragian yaitu 25 o -30 o C. P
P
P
P
Suhu di ruangan pendinginan sekitar 30 o C dengan kelembaban udara P
P
berkisar 45% - 47%. Setelah bijih-bijih kedelai mencapai suhu ideal peragian, ragi diberikan dengan jumlah 20 gram per tampah atau per 10 kg kedelai kemudian diaduk-aduk.
10) Pengemasan dalam Karung Bijih kedelai yang sudah dicampur dengan ragi dalam tampah-tampah dikumpulkan kembali kedalam karung dengan alokasi 6 tampah atau 60 kg kedelai matang ragian per karungnya. Kemudian karung-karung tersebut dijahit untuk dikirimkan ke rumah H.Muchlar di Sambi sari untuk dikemas. Untuk kedelai matang ragian pesanan pembeli, ukuran beratnya per karung berbeda-beda tergantung pesanan. Umumnya pembeli yang hendak menjual kembali memesan sejumlah minimal 30 kg.
3.2.2
Deskripsi Produk & Bahan Baku TMM Perusahaan Tempe Murni “Muchlar” memproduksi tempe setengah jadi
yang dikemas dengan merek mereka sendiri dan juga tempe dalam bentuk karung yang ditujukan kepada pembeli partai besar yang nantinya akan dikemas dengan merek para pembeli tersebut untuk dijual kembali. Tempe setengah jadi yang diproduksi oleh Perusahaan Tempe Murni “Muchlar” adalah 3,7 – 4,3 ton per harinya. Output harian tersebut dihasilkan dengan input kedelai mentah import dari Amerika Serikat, relatif konsisten sejumlah 2 - 2,5 ton kedelai mentah tiap harinya. Bahan baku kedelai yang diolah oleh perusahaan Tempe Murni “Muchlar” merupakan kedelai yang diimport dari Amerika Serikat. Alasan tidak menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku pembuatan tempe adalah karena faktor ekonomis dan operasional yang tidak sesuai dengan harapan. Pandangan 45
dari segi ekonomis, pengolahan 2 ton kedelai lokal hanya menghasilkan 1,7-1,8 ton tempe sedangkan jika menggunakan 2 ton kedelai import dari Amerika Serikat yang biasa digunakan sekarang menghasilkan lebih dari 3 ton tempe. Bahkan, hasil yang lebih sering muncul pada pengolahan 2 ton kedelai import tersebut menghasilkan 3,5 ton tempe. Sedangkan dari segi operasional, pengolahan kedelai lokal membutuhkan waktu yang lebih lama dan usaha yang lebih banyak di tiap rangkaian proses produksinya dibandingkan dengan pengolahan kedelai import sehingga kurang efisien. 3.3
Definisi Operasional dan Variabel Penelitian yang Digunakan Berdasarkan definisi-definisi beberapa pakar manajemen operasi (Kiddler,
Thomas, Silverman), maka peneliti menyimpulkan bahwa variabel penelitian adalah suatu objek, atribut, yang memiliki variasi nilai, yang ditetapkan oleh peneliti dan akan dipelajari serta memiliki unsur sifat yang berbeda untuk nilai yang berbeda atau bervariasi. Definisi operasioal yang digunakan dalam penelitian ini adalah perencanaan sediaan bahan baku.Perencanaan sediaan bahan baku adalah suatu sistem yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengondisikan sediaan bahan baku di perusahaannya mencapai level kos yang optimal dalam mendukung kinerja dan tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagaimana dikemukakan oleh Fujita, Hayashi, Chauduri (2014). Merujuk definisi tersebut diatas, maka indikator dari variabel perencanaan sediaan bahan baku ada dua. Pertama, data permintaan yang diperoleh 36 minggu sebelumnya yang dinyatakan dalan satuan ukur ton. Kedua, kebutuhan komponen bahan mentah meliputi kedelai dan ragi dalam kilogram (kg) untuk menyusun perencanaan sediaan bahan baku 4 minggu selanjutnya. 3.4
Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data Sumber data berasal dari internal Perusahaan TMM Yogyakarta. Selain itu
jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder TMM di bagian
46
produksi. Data primer tersebut diantaranya aliran proses produksi, kos pemesanan dan kos penyimpanan, dan Lead Time pemesanan bahan baku. Selain data primer, terdapat data sekunder diantaranya Bill of Materials, komposisi bahan-bahan dalam produk akhir, data permintaan terhadap produk perusahaan, dan data aktual sediaan bahan mentah. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data ada dua. Pertama teknik wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung dengan pemilik TMM Yogyakarta, yaitu Bapak Muchlar sendiri. Kedua adalah dokumentasi perusahaan, yaitu dengan mencatat data dari nota-nota transaksi TMM Yogyakarta dengan penyuplai bahan baku dan para pembeli produk tempenya. 3.5
Teknik Analisis Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada website
referensi 32TU
manajemen
operasi
https://sites.google.com/site/operasiproduksi/contoh-aplikasi-mrp
U32T
(2013)
dan
studi empiris mengenai Forecasting Functionality oleh Peter Maurice Catt (2007). Setelah semua data mengenai produk dan permintaan diperoleh, data-data tersebut kemudian dianalisis secara garis besar dalam tiga langkah utama. Langkah pertama adalah analisis data terkait produk, kemudian analisis data permintaan, dan yang terakhir adalah penyusunan tabel MRP (Material Requirements Planning). Analisis data terkait produk meliputi penentuan struktur produk dan Bill of Materials (2 langkah). Analisis data permintaan meliputi data permintaan masa lalu dan peramalan permintaan masa depan (2 langkah). Kemudian penyusunan tabel MRP meliputi pembuatan jadwal produksi induk, data sediaan, data kos, kalkulasi kebutuhan bersih, kalkulasi rencana sediaan bahan baku, dan penyusunan tabel MRP berdasarkan metode paling ekonomis dari kalkulasi rencana sediaan bahan baku (6 langkah). Lebih jelasnya proses analisis data ditunjukkan dalam Gambar 3.2:
47
Gambar 3.2 Bagan Proses Teknik Analisis
Penentuan struktur produk pada dasarnya adalah perunutan unsur produk dalam bentuk bagan, sementara Bill of Materials merincikan unsur produk dalam bntuk tabel. Untuk pemaparan data permintaan masa lalu, data historis permintaan disusun dalam tabel menggunakan software Microsoft Office Excel kemudian dibuat diagram garisnya (line chart). Hasil pengolahan data tersebut maka selanjutnya menampilkan pola permintaan, dapat diketahui apakah mengikuti pola trend ataukah acak. Peramalan permintaan masa depan berdasarkan data permintaan masa lalu menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel dengan memperhatikan empat data diantaranya MAD (Mean Absolute Deviation) atau rata-rata penyimpangan absolut, MSE (Mean Square Error) atau rata-rata kuadrat kesalahan (dengan nilai terkecil), MAPE (Mean Absolute Percentage Error) atau
48
atau rata-rata persentase kesalahan absolut, dan MPE (Mean Percentage Error) atau rata-rata persentase kesalahan. Keempat data tersebut kemudian digunakan sebagai evaluasi metode ramalan permntaan masa depan. Mean Absolute Deviation (MAD) mengukur ketepatan ramalan dengan merata-rata kesalahan dugaan (nilai absolut masing-masing kesalahan). MAD paling berguna pada waktu seseorang ingin mengukur kesalahan ramalan dalam unit yang sama sebagai deret asli. Berikut rumus MAD:
3.1 Mean Squared Error (MSE) adalah metode yang bertujuan mengevaluasi metode peramalan. Masing-masing kesalahan atau selisih tersebut dikuadratkan. Kemudian, kuadrat kesalahan dijumlahkan dan dicari nilai rata-ratanya. Pendekatan ini mengatur kesalahan peramalan yang besar karena kesalahankesalahan itu dikuadratkan. Suatu teknik yang menghasilkan kesalahan moderat bisa jadi lebih baik untuk suatu perhitungan yang memiliki nilai kesalahan kecil, tapi terkadang menghasilkan nilaikesalahan yang sangat besar untuk perhitungan yang lain. Berikut ini rumus untuk menghitung MSE:
3.2 Ada pula persamaan yang berguna untuk menghitung kesalahan-kesalahan peramalan dalam bentuk persentase daripada jumlah, yaituMean Absolute Percentage Error (MAPE). MAPE dihitung dengan menggunakan kesalahan absolut pada tiap periode dibagi dengan nilai observasi yang nyata untuk periode itu. Kemudian, merata-rata kesalahan persentase absolut tersebut. Pendekatan ini berguna ketika ukuran atau besar variabel ramalan itu penting dalam mengevaluasi ketepatan ramalan. MAPE mengindikasi seberapa besar kesalahan dalam meramal yang dibandingkan dengan nilai nyata pada deret. Metode MAPE
49
digunakan jika nilai data-data pada periode tertentu besar. MAPE juga dapat digunakan untuk membandingkan ketepatan dari teknik yang sama atau berbeda dalam dua deret yang sangat berbeda dan mengukur ketepatan nilai dugaan model yang dinyatakan dalam bentuk rata-rata persentase absolut kesalahan. MAPE dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3.3 Terkadang perlu untuk menentukan apakah suatu metode peramalan bias (peramalan tinggi atau rendah secara konsisten) ataukah tidak bias. Maka dari itu digunakan Mean Percentage Error (MPE) dalam kasus ini. MPE dihitung dengan mencari kesalahan pada tiap periode dibagi dengan nilai nyata untuk periode itu. Kemudian, merata-rata kesalahan persentase ini. Jika pendekatan peramalan tidak bias, maka MPE akan menghasilkan angka yang mendekati nol. Jika hasilnya mempunyai presentase negatif yang besar, metode peramalannya dapat dihitung. Jika hasilnya mempunyai persentase positif yang besar, metode peramalan tidak dapat dihitung. MPE dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3.4 Dimana: Yt : nilai data time series pada periode t Ŷt : nilai ramalan dari Yt Hingga pada penyusunan tabel MRP dimulai dari pembuatan jadwal produksi induk hingga penentuan metode yang paling ekonomis dalam perencanaan sediaan bahan baku diantara metode berjalan atau tanpa perubahan, Lot for Lot, ataukah EOQ, seluruh proses perhitungan menggunakan software Microsoft Office Excel.
50
