BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pemerintah daerah pada zaman Orde Baru baik Daerah Tingkat I maupun
Daerah Tingkat II keuangannya sebagian besar berasal dari pusat, berupa subsidi daerah otonom, Inpres, dan dana sektoral lewat anggaran departemen teknis dan sebagian kecil berasal dari pendapatan asli daerah. Semua dana diluar pendapatan asli
daerah
tersebut
yang
menentukan
adalah
pusat,
keputusan
dan
implementasinya menjadi wewenang pusat. Suatu daerah menerima dana tersebut atau tidak, semuanya tergantung sekali pada pemerintah pusat. Akibatnya daerah tidak mampu mengembangkan otonominya secara kreatif dan inovatif Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, merubah secara mendasar model pembiayaan Pemerintah Daerah. Konsepsi dasar model pembiayaan daerah menurut kedua undang-undang tersebut, adalah penyerahan kewenangan pemerintah kepada daerah baik menurut azas desentraliasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan harus diikuti biaya, perangkat, dan tenaga yang memadai, agar daerah mampu menyelenggarakan semua kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan model penganggaran seperti itu maka pemerintah pusat tak lagi menentukan secara subyektif dana tersebut, tapi mengalokasikan dana secara proporsional dan rasional kepada daerah agar pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonominya secara kreatif dan bertanggung jawab. Melalui struktur pendanaan demikian, diharapkan pemerintah daerah makin mampu memberikan pelayanan prima kepada publik yang berujung pada penciptaan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya membawa serangkaian
1
perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan tetapi juga telah membawa perubahan dalam pengambilan kebijakan daerah guna menunjang pembangunan ekonomi daerah. Dalam suasana otonomi daerah terasa begitu banyak permasalahan yang melingkupi daerah sehingga seakan-akan daerah bebas berkehendak untuk mengatur dan menetapkan apa saja melalui peraturan daerah (perda). Substansi otonomi daerah tidak begitu jelas dipahami maknanya sehingga dalam tataran implementasinya banyak menuai bias kesalahan. Setelah berjalan hampir sebelas tahun sejak efektif dilaksanakan pada tahun 2001, otonomi daerah sejauh ini lebih diterjemahkan oleh pemerintah daerah untuk menggali potensi-potensi penerimaan daerah. Implementasi otonomi daerah banyak dimaknai sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam pengertian jangka pendek. Oleh karena itu, banyak sekali peraturanperaturan daerah (perda) dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanya untuk meningkatkan PAD, terutama perda pajak dan retribusi daerah yang seringkali mengabaikan prisip-prinsip dan dasar filosofi pajak dan retribusi. Perda pajak dan perda tentang retribusi seringkali justru tidak kondusif bagi aktivitas ekonomi daerah serta kontraproduktif bagi kepentingan masyarakat terhadap tujuan otonomi daerah. Pajak Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dari pendapatan asli daerah, menurut Pasal 8 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Pasal 158 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditetapkan dengan undang -undang, yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Kedua pasal tersebut merupakan penegasan dari apa yang telah diatur oleh Undang Undang Dasar 1945 hasil Amandemen, khususnya Pasal 23A yang menegaskan, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara
diatur
dengan
undang-undang.
Dalam
perkembangan
selanjutnya, sebagai penyesuaian terhadap Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka
2
Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian diubah menjadi Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009. Dalam pasal 180 Undang - undang Nmor 28 Tahun 2009 mengamanatkan paling lambat 2 (dua) tahun daerah harus membuat peraturan daerah tentang pajak daerah. Berdasarkan kewenangan tersebut diatas, Pemerintah Kota Tangerang Selatan saat ini telah memiliki Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Keberadaan Perda tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam menghimpun sumber-sumber pendapatan daerah dari sektor pajak daerah. Sebagai gambaran awal, Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Berdasarkan Pemerintahan
Undang
Daerah,
Undang
diberikan
Nomor
kewenangan
32
Tahun secara
2004,
tentang
hukum
kepada
kabupaten/kota sebagai daerah otonomi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2, dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah untuk membiayai otonomi serta dalam hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 5 ayat (2). Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a.
Pendapatan Asli Daerah;. 3
b.
Dana Perimbangan; dan
c.
Lain-lain pendapatan.
Pasal 6 ayat (1). Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari : a.
Pajak Daerah;
b.
Retribusi Daerah;
c.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d.
Lain-lain PAD yang sah. Di sisi lain di dalam Pasal 157 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari atas: a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu : 1) hasil pajak daerah; 2) hasil retribusi daerah; 3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; 4) lain-lain PAD yang sah. b. Dana perimbangan; c. Dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Salah satu problema yang dihadapi oleh Kota Tangerang Selatan dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di Kota Tangerang Selatan yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kecenderungan berpikir di atas dapat dipahami karena adanya perspektif sejarah
pemerintahan
daerah
yang
mengungkap
mengenai
penyebab
keterbelengguan daerah baik secara politis maupun secara ekonomis lewat piranti hukum pemerintahan daerah, yaitu Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta 4
semua peraturan pelaksanaannya. Piranti hukum itulah yang membatasi kewenangan daerah untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala potensi ekonomi yang strategis di daerah. Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu memenuhi hanya sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat. Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Perda tersebut ditemukan setelah pihaknya melakukan pengkajian terhadap 2400 Perda dari 3000 Perda yang direncanakan untuk dikaji. Hasil kajian itu menunjukan bahwa terdapat 329 Perda yang bermasalah. Hal tersebut dikemukakannya dalam rapat dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di gedung DPD, Senayan, Jakarta. Secara umum permasalahan yang ada di Kota Tangerang Selatan terdiri dari beberapa hal, antara lain masalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai dalam suatu Pemerintahan baru,selain daripada itu sarana dan prasarana wilayah juga masih mengalami keterbatasan, sehingga berdampak pada laju pembangunan seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Permasalahan yang tidak kalah penting adalah persoalan aset daerah yang belum sepenuhnya diserahkan dari Kabupaten Tangerang ke Kota Tangerang Selatan, sehingga potensi-potensi yang bisa dimaknfaatkan oleh Kota Tangerang Selatan mengalami permasalahan. Serta regulasi-regulasi yang dibutuhkan berupa Peraturan Daerah (Perda) baik berupa pengaturan maupun penetapan belum ada. Sehingga berbagai
5
kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan masih terhambat persoalan payung hukum dan legal formal. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka rumusan
masalah dapat di kemukakan sebagai berikut : 1.
Apakah pembuatan Perda Nomor 7 tahun 2010 tentang pajak daerah telah memenuhi azas-azas pembuatan peraturan perundang-undangan?
2.
Bagaimana efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 7 Tahun 2010
tentang
Pajak Daerah dalam menunjang Otonomi Daerah di Kota Tangerang Selatan? 3.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang akan dicapai didalam penelitian ini adalah sebagai
berikut : 1. Untuk mengetahui apakah pembuatan Perda Nomor 7 tahun 2010 tentang pajak daerah telah memenuhi azas-azas pembuatan peraturan daerah. 2. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Perda nomor 7 tahun 2010 tentang pajak daerah Kota Tangerang Selatan dalam menunjang Otonomi Daerah di Kota Tangerang Selatan. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan. 1.4
Kegunaan Penelitian Atas hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
6
1. Secara teoritis : a.
Melalui penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang pendapatan, terutama dalam bidang pajak daerah di Kota Tangerang Selatan
b.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan awal oleh penelitipeneliti lain yang membahas permasalahan yang sama.
c.
Untuk menambah wawasan keilmuan terutama berkaitan dengan Hukum Pajak dalam hal ini Pajak Daerah.
2. Secara praktis a.
Menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan berdasarkan identifikasi faktor pendukung dan penghambat implementasi Perda tentang Pajak Kota Tangerang Selatan.
b.
Menjadi masukan bagi para pengambil keputusan, khususnya dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui pajak daerah di Kota Tangerang Selatan.
1.5
Sistematika Penulisan. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai hasil penelitian yang
dilakukan, maka tesis ini disusun dalam 5 (lima) bab yaitu : BAB I
Pendahuluan, pada bab ini berisikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Tinjauan Pustaka, pada bab ini berisikan kerangka teori mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah, Pemahaman kebijakan desentralisasi fiskal, Pengertian Pajak, Pendekatan terhadap Pajak, Fungsi dan Azas-Azas Pajak, Asas dan Teori Pemungutan Pajak, Pajak 7
Daerah, Fungsi Pajak Daerah, Pemahaman umum tentang Otonomi Daerah, Pemahaman tentang Kewenangan Daerah, serta.Pemahaman Pemencaran Kewenangan BAB III
Metodologi Penelitian, bab ini akan membahas metode penelitian yaitu tentang kerangka penelitian, metode penelitian, obyek penelitian, bentuk dan pendekatan penelitian, penentuan sampel, sumber data penelitian, tehnik pengumpulan data, definisi operasional, dan tehnik analisa data
BAB IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan , dalam bab ini disajikan hasil-hasil dan analisis penelitian melalui data-data yang terkumpul selama penelitian baik data primer maupun data sekunder dan dianalisis melalui metode yang digunakan. Sub bab dari Bab IV ini meliputi : Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan, Penerapan asas-asas pembuatan peraturan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang Selatan. Pelaksanaan Pemungutan Pajak di Kota Tangerang Selatan, Faktor-Faktor Yang Menjadi hambatan dan kendala Dalam Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan, Peranan Pajak Dalam Menunjang Otonomi Daerah di Kota Tangerang Selatan.
BAB V
Penutup, dalam bab ini dibahas kesimpulan dan saran-saran, sehingga dalam bab ini dapat ditarik suatu kesimpulan dari masing-masing fokus penelitian dan saran-saran yang bersifat konstruktif yang bisa menjadi acuan dan pertimbangan untuk pelaksanaan kebijakan. Daftar Pustaka. Lampiran-Lampiran
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah Menurut Pasal 14 Undang – undangan Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Sejalan dengan ketentuan diatas, Pasal 136 ayat (3) Undang - undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah memberikan ruang lingkup materi muatan Peraturan daerah sebagai penjabaran peraturan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang mengakibatkan terganggunya kerukunan warga, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketertiban/ketentraman masyarakat serta kebijakan/ Peraturan daerah yang bersifat diskriminatif serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan azas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi, kejelasan tujuan, kelembagaan, atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian anatara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, pendayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Adapun materi muatan yang tertuang dalam Perda harus mengandung azas Pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain azas yang dimaksud tersebut perda dapat memuat azas lain sesuai dengan substansi perda yang bersangkutan.
9
Prinsip utama pembentukan perundang-undangan berkaitan dengan hierarkinya adalah peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut pasal 7 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam pembuatan peraturan daerah sesuai dengan pasal 39 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa, perencanaan penyusunan peraturan daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam prolegda Kabupaten/Kota. Didalam program legislasi daerah (prolegda) kabupaten/kota rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD Kabupaten/kota atau Walikota, rancangan peraturan daerah harus disertai dengan penjelasan atau keterangan dan atau naskah akademik. 1 2.2
Pemahaman Kebijakan Pajak Daerah dalam Kebijakan Desentralisasi Fiskal Kebijakan atau policy dipergunakan untuk menunjuk perilaku aktor
(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian semacam ini dapat dipergunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraanpembicaraan biasa, namun menjadi sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan public policy. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik dikemukakan oleh Robert 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Fokusindo Mandiri, 2011, Bandung. Hal 15
10
Eyestone, yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.2 Konsep yang ditawarkan oleh Robert Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti, karena apa yang dimaksudkan dengan kebijakan publik bisa mencakup banyak hal; sedangkan Thomas R Dye menyatakan bahwa public policy adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.3 Pendapat ini pun dirasa agak tepat namun batasan ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah. Budi Winarno mengemukakan bahwa tahap-tahap dari suatu public policy meliputi.4 1. Tahap penyusunan agenda, yaitu tahapan ketika para pembuat kebijakan akan menempatkan suatu masalah pada agenda policy. 2. Tahap formulasi kebijakan, yaitu tahapan pada saat masalah yang sudah masuk agenda policy kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahannya yang terbaik. 3. Tahap implementasi kebijakan, yaitu tahapan pada saat kebijakan yang diambil telah diimplementasikan atau dijalankan. Namun dalam hal tertentu tahap ini tidak mesti untuk diimplementasikan. Mungkin karena sesuatu hal policy yang sudah diambil tidak langsung diimplementasikan. 4. Tahap evaluasi, yaitu tahap penilaian terhadap suatu kebijakan yang telah dijalankan atau tidak dijalankan. Tahap ini untuk melihat sejauh mana kebijakan yang diambil mampu atau tidak mampu untuk memecahkan masalah publik. Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui 2
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, 2000, Yogyakarta, hal 15 Budi Winarno, Loc cit 4 Ibid hal 29-30 3
11
kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.5 2.3
Pengertian Pajak Pengertian pajak amatlah berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana
seseorang memandang masalah pajak, karena sampai saat ini tidak pengertian pajak bersifat universal, namun substansi dan tujuan dari pajak itu sendiri adalah sama. Para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan batasan atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi tersebut mempunyai inti atau tujuan yang sama dan ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para pakar antara lain : 5
http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/10-08-16
12
1. P.J.A. Adriani (pernah menjabat guru besar dalam hukum pajak pada Universitas Amsterdam, mengemukakan sebagai berikut6 : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” 2. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1964, memberikan definisi mengenai pajak sebagai berikut” Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.7 3. Definisi Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut8: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara herdasarkan undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “Dapat dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu, seperti halnya dengan retribusi. 4. Menurut Mr. Dr. N.J Feldman dalam bukunya De overheidsmidsmiddelen van Indonesia, Leiden 1949, Belastigen Zijn Overheid (Volgen Algemene door haar
vastgesteelde
nomen)
verschuldigde
afwigbarepresstties
waar
6
Darwin, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, Mitra Wacana Media, jakarta.Edisi Pertama, 2010. Hal.15. 7 Ibid hal. 15. 8 Ibid hal. 16.
13
tegenprestagie tegonever staat en uitsluiend dienen tot decking van uitgaven, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran umum.9 5. Menurut Prof DR Djajadiningrat Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan negara karena suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, Pengutan tersebut bukan sebagai hukuman, tetapi menurut peraturanperaturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan. Untuk itu, tidak ada jasa balik dari Negara secara langsung misalnya untuk memelihara kesejahteraan umum.10 Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik adanya beberapa ciri atau karakteristik dari pajak sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang atau peraturan pelaksanaannya; 2. Terhadap pembayaran pajak, tidak ada tegen prestasi yang dapat ditunjukkan secara langsung; 3. Pemungutannya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah; 4. Hasil uang dari pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya dipergunakan untuk public investment; 5. Di samping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukan dana dari rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur. 9
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Bandung, Edisi 5, 2011 hal 8. Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum pajak, Malang, Edisi 1, 2006 hal 5
10
14
Apa yang dikemukakan diatas sebagai karakteristik pajak, terutama ditujukan untuk membedakan dengan pungutan-pungutan lain selain pajak Dalam hal ini yang termasuk di dalam pungutan (heffing) selain pajak masih dikenal adanya retribusi dan sumbangan. Retribusi berbeda dengan pajak. Dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontraprestasi itu bersifat langsung. Dalam hal ini, pembayar retribusi justru menginginkan adanya jasa timbal balik secara langsung dari pemerintah. 2.4.
Pendekatan Terhadap Pajak Dilihat dari segi hukum, pajak merupakan suatu ikatan yang timbul karena
Undang Undang. Hal ini disebabkan karena bahwa seseorang membayar atau tidak membayar pajak ditentukan oleh Undang Undang, artinya disini adalah bahwa keterikatan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai wajib pajak semata-mata didasarkan pada Undang Undang pajak (asas legalitas). Di Indonesia asas ini tercantum dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen menjadi pasal 23A UUD 1945. Pada pasal 23 A ini disebutkan bahwa: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang Undang. Berdasarkan Undang Undang mengandung konsekwensi bahwa pungutan pajak oleh negara harus dilakukan negara dengan persetujuan rakyat melalui perwakilannnya yaitu DPR. Secara tidak langsung ini menandakan adanya kedaulatan rakyat di dalam menentukan nasibnya sendiri walaupun melalui perwakilan. Pasal 23 A UUD 1945 ini selain dianggap sebagai dasar hukum utama pengenaan pajak, dapat juga dianggap sebagai dasar filosofi pemungutan pajak di Indonesia11. Sebagai dasar hukum, karena pasal ini menjadi dasar dalam pembentukan Undang Undang perpajakan, sedangkan sebagai dasar falsafah, pasal ini menghendaki adanya persetujuan rakyat apabila negara akan melakukan pemungutan pajak. Rochmat Soemitro mengatakan bahwa pajak dilihat dari segi hukum dapat 11
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, op. cit hal. 50
15
didefenisikan sebagai perikatan yang timbul karena undangundang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam Undang Undang, untuk membayar sesuatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiaya pengeluaran-pengeluaran negara.12 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah perikatan. Akan tetapi, perikatan dalam pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya, karena beberapa hal yakni:13 1. Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula karena Undang Undang, sedangkan perikatan pajak hanya lahir karena Undang Undang dan tidak lahir karena perjanjian; 2. Perikatan perdata berada dalam lapangan hukum privat sementara perikatan pajak berada dalam lapangan hukum publik; 3. Dalam perikatan perdata hubungan terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan yang sama/sederajat. Sementara di dalam perikatan pajak kedudukan para pihaknya tidak sederajat. Dalam hal Subyek Pajak diartikan sebagai mereka yang memnuhi syarat subyektif. Istilah fiscus diartikan sebagai seluruh aparatur pajak sebagai wakil negara ini perikatan pajak melibatkan orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan. Dari pendekatan yang seperti itu pajak lebih menitik beratkan pada perikatan dan pada hak dan kewajiban dari para pihak. Dalam hal ini perikatan terjadi antara pemerintah selaku fiscus dengan rakyat selaku subyek pajak atau wajib pajak. Perikatan antara fiscus dengan subyek pajak/wajib pajak tersebut memberikan posisi yang berbeda kepada para pihak, hal tersebut mengingat dalam hal ini fiscus dilekati oleh adanya kewenangan hukum publik untuk kepentingan 12 13
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, op. cit hal. 51 Rochmat soemitro,Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco Bandung Hal 6.
16
negara.Adanya hubungan hukum yang seperti itulah yang menyebabkan penempatan hukum pajak ke dalam bagian lapangan hukum publik; 4. Prestasi yang dilakukan oleh subyek pajak untuk membayar pajak itu tidak mendapat
imbalan
langsung
yang
dapat
ditunjukkan.Hal
tersebut
membedakannya dengan retribusi. 2.5
Fungsi dan Azas-azas Pajak
Fungsi pajak menurut Erly Suandy ada dua, yaitu14: 1. Fungsi Budgeter; 2. Fungsi Mengatur; Fungsi yang pertama, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut memasukan
uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk mebiayai pengeluaran-pengeluaran
negara.Dalam
upaya
meningkatkan
penerimaan
perpajakan, pemerintah secara konsisten melakukan berbagai upaya pembenhan baik aspek kebijakan maupun aspek sistem dan administrasi perpajakan melalui hal-hal berikut : •
Amandemen undang-undang perpajakan.
•
modernsisasi kantor pajak.
•
Ekstensifikasi dan intensifikasi.
•
extra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak.
•
Pembangunan data base terintegrasi.
•
penyediaan layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi.
•
penegakan kode etik pegawai untuk meningkatkan kedisiplinan dan Good Governance aparatur pajak.
Sedangkan fungsi yang kedua yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut. 14
Erly Suandy, Hukum Pajak, PT. Salemba Empat, Bandung. 2011. Edisi-5, hal .12 s.d. 13.
17
•
Pemberian
intensif
pajak
(misalnya
tax
holiday,
penyusutan
dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. •
pengenaan ekspor pajak untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri.
•
Pengenaan bea masuk dan pajak penjualan atas barang mewah untuk produk-produk tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.
Disamping kedua fungsi diatas, pajak masih mempunyai tujuan-tujuan lain seperti untuk retribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi 2.6
Asas dan Teori Pemungutan Pajak Dalam buku An Inquiry into the nature and causes of the wealth of nation
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke 18 mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama four cannons atau the four maxims dengan uraian sebagai berikut:15 1. Equality Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemapuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equility ini tidak diperbolehkan suata negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda. 2. Certainty Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak kenal kompromi (not arbitary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya. 15
ibid hal 25
18
3. Convenience of payment Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat dekat dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak. 4. Economic of collection Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari pada penerimaan pajak itu sendiri.Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebiyh besar dari pada penerimaan pajak yang akan diperoleh. Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran untuk menjawab penelitian penulis dihubungan dengan Perda No 7 tahun 2010 tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan sesuai dengan teori pemungutan pajak, yaitu : Teori Gaya Pikul. Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan dari membayar dari si wajib pajak (individu-indvidu) jadi tekanan semua pajak-pajak harus sesuai dengan daya pikul si wajib pajak dengan memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja siwajib pajak tersebut. W.J. de Langen berpendapat dalam bukunya, daya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggitingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak pada kebutuhan primer (biaya hidup yang sangat mendasar). Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara (pajak) barulah ada, jika kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak manusia pertama adalah hak untuk hidup, maka sebagai analisir yang pertama adalah minimum kehidupan (bestaans minimum). Mr. A.J. Cohen Stuart berpendapat bahwa, daya pikul diumpamakan sebuah jembatan, yamg pertamatama harus memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan beban yang lain. Beliau menyarankan bahwa yang sangat diperlukan dalam kehidupan tidak dimasukan kedalam daya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup
19
sudah tersedia. Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul seeorang karena akan berbeda dan selalu berubah-ubah. 2.7
Pajak Daerah Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada
pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak Daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri atas 5 jenis pajak daerah provinsi dan 11 jenis pajak daerah kabupaten/kota adalah sebagai berikut: Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
20
g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.16 2.8
Fungsi Pajak Daerah Pajak daerah adalah bentuk pajak yang dipungut oleh negara yang
pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada daerah. Maka pajak daerah merupakan
sumber
pendapatan
daerah
yang
penting
guna
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu pelaksanaannya tetap diatur dalam peraturan perundangan-undangan. Dalam hal pemungutannya secara konstitusional Undang Undang Dasar 1945 menentukan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 18 yang menyatakan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kota, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang Undang”. “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang Undang”. Pasal 23 ayat (2) menyatakan: “ Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang Undang”. 16
Undang-Undang Republik Indonesia , Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pustaka Yustisi, 2010 hal 11
21
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, di antara pasal-pasalnya menentukan antara lain : 1. Pasal 157 yang menyatakan bahwa Sumber Pendapatan Daerah terdiri dari : a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu : 1) Hasil Pajak Daerah; 2) Hasil Retribusi Daerah; 3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4) Lain-Lain PAD yang sah. b. Dana Perimbangan. c. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah. 2. Pasal 158 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah (Perda). Pada dasarnya dengan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan pembangunan daerah, maka dalam hal ini fungsi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah adalah sebagai berikut:17 1. Fungsi anggaran (Fungsi budgeter), Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
negara.
Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 17
Djafar Saidi, Pembaharuan hukum pajak edisi revisi, PT. Rajagrafindo Persada 2007, hal 38.
22
2. Fungsi mengatur (fungsi regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi investasi, yang dimaksud dengan fungsi investasi adalah wajib pajak telah menyisihkan sebagian pengahsilan atau kekayaan untuk kepentingan Negara maupun daerah. Sebenarnya pajak yang dibayar merupakan peran serta wajib pajak menanamkan modal agar dapat mengurangi dan bahkan memberantas kemiskinan. 2.9
Pemahaman Tentang Otonomi Daerah Perkembangan masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi dan
reformasi telah memberikan pengalaman yang cukup berarti, antara lain kebijaksanaan di daerah yang diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan “Top Down” sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan di daerah, maka salah satu cara mengatasi ketidaksesuaian antara kebijaksanaan yang diputuskan dari pusat dan kondisi daerah adalah harus segera dibuat sebuah kerangka kebijaksanaan yang sangat strategis. Salah satu kebijaksanaan yang sangat strategis sesuai dengan kondisi saat ini adalah otonomi daerah. Pengertian pemerintahan daerah menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Asas otonomi daerah yang artinya ialah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat 23
setempat Pengertian pemerintahan daerah menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (1) “Negara Indoensia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”18 Sebagai konsekwensi dari begara kesatuan, Negara republic Indonesia membagi wilayahnya menjadi daerah-daerah, yang terdiri dari daerah Propinsi, daerah Kabupaten, dan kota. Daerah-daerah ini saling berhubungan dengan Pemerintah pusat. Sekalipun demikian, daerah-daerah tersebut diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Pemerintahnnya sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Asas otonomi daerah yang artinya ialah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundangundangan. Dengan daerah otonom dimaksudkan agar daerah dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak bergantung pada Pemerintah Pusat, sehingga daerah harus mampu mengatur pendapatan dan pengeluarannya sendiri. Sistem desentralisasi ini Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk membuat kebijakan dan mengatur rumah tangganya sendiri. Selain itu tujuan kebijakan desentralisasi yakni dalam rangka efisiensi alokasi arus barang publik ke daerah, serta untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal guna mendorong demokratisasi, mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat daerah. Sedangkan upaya yang paling dominan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini cukup menentukan kelangsungan hidup dan otonomnya daerah yang bersangkutan. 18
Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia Bandung, 2010
24
Pada hakekatnya dalam rangka meefesiensikan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah diperlukan peningkatan kinerja aparat perpajakan daerah (dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah kabupaten/kota), maka peningkatan kinerja ini bisa dilaksanakan bila ada peninjauan terhadap kelembagaan perpajakan daerah, sedangkan menurut Osborne dan Ted Gabler tentang “Reinventing Government“ mengharapkan adanya transformasi sektor publik dengan jiwa kewirausahaan (Enterpreneurship) dengan melepaskan aktifitas pelaksanaan administrasi yang mampu dilakukan masyarakat. Dan berdasarkan teori yang terkenal yaitu Reinventing Government ada 10 (sepuluh) kunci pokok yang diajukan salah satu diantaranya adalah pemerintahan yang katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh (Catalytic Government: Steering Rather Than Rowing).19 Dengan demikian secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah dan pembangunan daerah berdasarkan kekuasaan yang dibagi secara vertikal dan horizontal, yaitu: 1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, maksudnya ialah pembagian kekuasan antar beberapa tingkat pemerintahan, sedangkan menurut Carl J Federich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (teritorial Division Of Power). 2. Secara Horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian ini menunjukan perbedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan Trias Politica atau pembagian kekuasaan (Division Of Power). Adapun prinsip-prinsip otonomi daerah tersebut dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah dan untuk mengembangkan kedaulatan daerah yang harus dilihat sebagai suatu dialetika antara kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang berhadapan dengan kepentingan kekuasaan, oleh arena itu kebijakan yang 19
David Osbone dan Tead Gabler, Mewirausahakan Birokrasi, PT Pustaka Binaman Presindo, Jakarta 1996 hal 58
25
mengatur hak dasar daerah, tanpa eksplisit menyebutkan apa hak rakyat akan menyimpan potensi penyimpangan, sehingga dengan demikian proses kebijakan tersebut didefenisikan sebagai sebuah rangkaian tindakan secara defenit berkaitan dengan tujuan. 2.10
Pemahaman Tentang Kewenangan Daerah Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 7 Ayat (1) yaitu: “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain”. Pada Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 10. (1)
Kewenangan daerah Kota dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
(2)
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kota dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hal tersebut secara rinci
telah disebutkan pada Pasal 14 Ayat (1) kewenangan untuk daerah kabupaten/kota meliputi 16 kewenangan dan pada Ayat (2) urusan pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
26
Menurut Syaukani HR, pada Seminar Otonomi Daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah menyatakan bahwa kebijkan otonomi daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan revormasi dan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah.20 Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi daerah. Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan,
kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar inilah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya. Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi hanya diberi kewenangan sebatas yang telah ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. 20
Syaukani HR, Seminar Otonomi daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah (Jurnal Otda, Nomor 3,2001:10
27
Kewenangan
otonomi
luas
adalah
“Keleluasaan
daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah”. Otonomi nyata adalah “Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah”. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah “berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serat pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dasar pemikiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut di atas, menunjukkan bahwa prinsip pemberian otonomi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah meliputi beberapa hal yaitu: 1.
Mengutamakan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanegaragaman daerah.
2.
Otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
3.
Otonomi daerah yang luas, utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota, sedangkan daerah provinsi menunjukkan otonomi yang terbatas.
4.
Otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi
negara, sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
28
otonom oleh sebab itu daerah Kota dan kota tidak ada lagi wilayah administratif. 6.
Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah.
7.
Asas dekonsentrasi masih diberikan dan dilaksanakan di daerah provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
8.
Tugas pembantuan dimungkinkan dari pemerintah kepada daerah maupun dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan dengan melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dengan
memperhatikan prinsip
otonomi
yang dianutdalam Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 yaitu otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan
demokrasi,
keadilan
dan
pemerataan
serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengantar masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik melalaui kegiatan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayananan kepada masyarakat yang semakin dekat. Penyelenggaraan urusan pemerintah pada Undang Undang 32 Tahun 2004 telah diatur dalam Pasal 11, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan, sehingga ada keterkaitan, ketergantungan dan sinergis sebagai satu system pemerintahan oleh sebab itu urusan pemerintahan ada yang wajib dan ada pilihan yang nantinya dalam pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Penelitian Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya membawa serangkaian
perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan tetapi juga telah membawa perubahan dalam pengambilan kebijakan daerah guna menunjang pembangunan ekonomi daerah. Dalam suasana otonomi daerah terasa begitu banyak permasalahan yang melingkupi daerah sehingga seakan-akan daerah bebas berkehendak untuk mengatur dan menetapkan apa saja melalui peraturan daerah (perda). Substansi otonomi daerah tidak begitu jelas dipahami maknanya sehingga dalam tataran implementasinya banyak menuai bias kesalahan. Salah satu problema yang dihadapi oleh Kota Tangerang Selatan dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di Kota Tangerang Selatan yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja terletak pada pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat. Sebagai negara berdasar atas hukum, negara Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Selain itu adalah untuk
memajukan
kesejahteraan umum.
Upaya memajukan
kesejahteraan umum – obyektif yang membuat negara Indonesia terkategori sebagai negara hukum modern ataupun bercorak welfare state ditujukan untuk
30
merealisasikan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual.21 Dari uraian tersebut, terkandung makna bahwa negara atau pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat tersebut, pajak berperan sangat sentral dalam memenuhi kebutuhan anggaran untuk itu. Pasal 18 UUD RI 1945 perubahan kedua tahun 2000 menegaskan bahwa pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dengan Undang Undang, langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh Pemerintah, seperti lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Melalui undang-undang tersebut bangsa Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam sistem administrasi pemerintahannya. Berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, juga disebutkan bahwa: “Daerah otonom, atau yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008, Daerah diberikan kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah. Dengan demikian pungutan daerah itu meliputi pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Pemungutan pajak diatur dengan peraturan perundang-undangan. Merujuk kepada peraturan 21
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, 2007, hal. 73.
31
pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan: “Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.” Apa rasionya sehingga pemungutan pajak harus berdasarkan undangundang? Sebagaimana diketahui bahwa pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah (untuk membiayai pengeluaran negara) tanpa ada jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung ditunjuk, Jadi pajak disini adalah merupakan kekayaan rakyat yang diserahkan kepada negara. Biasanya peralihan kekayaan dari sektor satu ke sektor lain tanpa adanya kontraprestasi (jasa timbal), hanya dapat terjadi, bila terjadi suatu hibah, kekerasan dan perampasan atau perampokan. Pengertian hukum pajak secara umum terdapat beberapa pendapat Menurut Rochmat Soemitro menyatakan bahwa: “Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak menerangkan : siapa wajib pajak (subyek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, obyek-obyek apa yang dikenakan pemerintah, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.” 22 Jenis pajak kabupaten/kota yang dipungut adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan c, dan pajak parkir. Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah hukum pajak daerah (Peraturan Daerah), dengan batasan pada Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Syarat yang ditentukan adalah peraturan daerah yang dipergunakan untuk mengatur Pajak Daerah substansinya 22
Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press, 2008, hal.230.
32
harus selaras dengan substansi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Bangsa Indonesia sebagai negara hukum maka dalam segala tindakannya juga harus berdasarkan atas aturan hukum termasuk bidang perpajakan. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak dari masyarakat karena pemungutan pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan. Ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara harus diatur dengan undang-undang, merupakan landasan yuridis konstitusional bagi Negara untuk memungut pajak. Aspek perpajakan merupakan sarana yang mempunyai peran dalam pembiayaan Negara dan Pembangunan Nasional. Di samping pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah guna pembiayaan pembangunan dalam rangka otonomi daerah, maka dapat dikatakan pemungutan pajak daerah erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi daerah, sehingga dapat dikatakan menurut Todaro keberhasilan ekonomi ditunjukan oleh tiga nilai pokok antara lain: 1. berkembangnya
kemampuan
masyarakat
untuk
memenuhi
kebutuhan
pokoknya (basic needs); 2. meningkatkan harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia; 3. meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) merupakan salah satu Hak Azasi Manusia.23 Berarti antara pembangunan ekonomi dengan perpajakan (pajak daerah) mempunyai
hubungan
yang
bersifat
interdepensi,
artinya
keberhasilan
pembangunan ekonomi akan mampu menaikan penarikan pajak dan retribusi yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah, sebaliknya dengan penarikan pajak daerah akan mampu pula meningkatkan pelaksanaan pembangunan di daerah, 23
Lincolin Arsyad, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE, Yogyakarta, 1999, hal 5-6.
33
yang merupakan urat nadi dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah serta Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 Jo Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997, dan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam rangka pembangunan daerah melalui penyelenggaraan otonomi daerah selalu dikaitkan dengan kemampuan pemerintah daerah untuk menggali sumber daya keuangan terutama pada sektor pajak, maka dapat dikatakan pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan peningkatan pendapatan daerah. Seluruh penyelenggaran otonomi daerah, pada dasarnya adalah untuk mempercepat pencapaian kepentingan nasional (national interest) serta untuk mewujudkan tujuan nasional (national goal), yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Melalui konsep otonomi daerah, segala potensi yang ada di daerah akan diberdayakan untuk kepentingan daerah, dalam kerangka mencapai tujuan nasional. Meminjam teori yang dikemukakan Devey tentang development from below dapat dikatakan bahwa orang akan lebih bersedia membayar pajak kepada Pemda dari pada kepada Pemerintah Pusat karena mereka dapat melihat manfaat dalam kemudahan dan pembangunan di daerah mereka.24 Pemerintahan di daerah (local government), dalam memberdayakan potensi daerah akan mengemas berbagai kebijakan itu dalam bentuk produk 24
Devey sebagaimana dikutip oleh Kesit Bambang Prakosa, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UII Press, 2003, hlm.: 23
34
hukum (ius constitutum) dan akan menjadi landasan pelaksanaan pemerintahan di daerah. Dalam perspektif hukum, kebijakan yang mengikat warga masyarakat di daerah akan ditetapkan dalam bentuk produk hukum daerah yang salah satunya berupa Perda. Dengan adanya regulasi yang mengatur jelas tentang pungutan yang dibebankan kepada masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan penegakan hukum bagi masyarakat dan investor dalam melakukan aktivitas ekonomi/usaha sehingga menciptakan iklim investasi yang baik. Ini juga akan berdampak baik bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dalam melakukan pembangunan daerah. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
35
Gambar : 3.1. Kerangka Pikir Penelitian
INPUT
PROSES OUTPUT
Inventarisir dasar hukum sistem pemungutan Pajak Daerah
Undang ‐undang PP/Permen Kepmen Perda Perwal
Sistem pemungutuan Pajak Daerah dalam Era Otonomi Daerah di Kota Tnagerang Selatan
1. Mimilih Pasal‐pasal yang bersifat norma hukum 2. Menyusun sistematika dari pasal‐pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu 3. Menganalisis pasal‐pasal tersebut dengan menggunakan asas asas hukum yang ada 4. Menyusun suatu konstruksi dengan persyaratan : a. mencakup semua bahan hukum yang diteliti b. konsisten c. memenuhi syarat syarat etestis d. sederhana
Implentasi Perda Pajak dalam menunjang otonomi Daerah di Kota Tangerang Selatan
Peningkatan PAD
Pembangunan
Peningkatan kesejahteraan Menunjang
OTONOMI DAERAH
Penjelasan bagan diatas, pertama dalam kelompok INPUT penulis, menginventarisir dasar pemungutan pajak daerah sebagai payung hukum antara lain mengumpulkan bahan berupa Undang – undang yang berhubungan dengan perpajakan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan daerah, Peraturan daerah tentang pajak daerah dan peraturan Walikota Tangerang Selatan. Kedua dalam kelompok PROSES penulis meneliti sistem pemungutan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan oleh Instansi 36
terkait yaitu DPPKAD, dengan menganalisa pasal – pasal yang termuat dalam Perda No 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Ketiga kelompok OUT PUT bahwa hasil dari implementasi Perda No 07 tahun 2010 tentang pajak daerah tersebut, apakah sudah di implemntasikan secara efisien sehingga potensi pajak daerah dapat dipungut secara optimat sesuai target yang sudah direncanakan, dan apakah hasil pungutan pajak daerah tersebut benar-benar terealisasi dalam menunjang otonomi
berupa
pembangunan
infrastruktur
daerah
untuk
meningkatan
kesejahteraan masyarakat di Tangerang Selatan. 3.2
Metode Penelitian Penelitian ini
menggunakan survey dengan
pendekatan diskriptif
kualitatif. Pendekatan ini untuk mengetahui dan memahami kondisi dan situasi penelitian secara keseluruhan sebagai suatu kesatuan yang utuh, selain itu untuk memperoleh
informasi dan data
yang sangat rinci khususnya mengenai
implementasi Perda Pajak di Tangerang Selatan. Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan tentang Pajak Daerah khususnya. Menurut Prasetya Irawan (2004: 78) bahwa penelitian kualitatif tidak mengenal populasi dan tidak pula sampel. Metodologi penelitian cenderung bersifat deskriptif , naturalistik dan berhubungan dengan sifat data kualitatif. Pendekatan kualitatif pada penelitian ini menurut Lexy J Moloeng (2004) oleh karena beberapa pertimbangan.Pertama , menyesuaikan pendekatan kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda ; Kedua , pendekatan ini
menyajikan
secara langsung hakikat
hubungan antara
peneliti
dan,
responden ; ketiga, pendekatan ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Penelitian untuk suatu kebijakan publik digunakan antara lain metode deskriptik dan metode normatif (Suryadi dan Tilaar, 1994 : 42). Dari metode tersebut, yang lebih relevan dipergunakan dalam penelitian ini
adalah metode
deskriptif. Tujuan metode deskriptif dalam analisis kebijakan ialah supaya para
37
pengambil keputusan memahami permasalahan yang yang sedang menjadi topik terutama tentang pajak daerah di Kota Tangerang Selatan. Penggunaan metode deskriptif dilandasi oleh pertimbangan bahwa analisis kebijakan pada dasarnya merupakan suatu proses pemahaman terhadap masalah kebijakan, sehingga dapat melahirkan suatu gagasan dan pemikiran mengenai cara –cara pemecahannya. 3.2.1 Obyek Penelitian Dalam penelitian ini objek penelitian tentang peran pajak daerah dalam menunjang otonomi daerah. Alasan pengambilan Kota Tangerang Selatan sebagai lokasi penelitian dikarenakan Kota Tangerang Selatan merupakan daerah baru ( tahun ke-3)
dan
perolehan terbesar Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) berasal dari sektor perdagangan dan jasa. Sehingga sangat relevan dengan penelitian yang sudah dirancang oleh penulis. Selain itu Kota Tangerang Selatan walaupun baru memasuki usianya yang ke -3 telah memiliki Perda Pajak, yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2010 yang telah diundangkan sejak bulan Januari 2010. Hal tersebut menjadi sangat menarik untuk diteliti terkait proses pembuatan perda hingga implementasi Perda Pajak tersebut. 3.2.2 Bentuk dan Pendekatan Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah kajian normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, adapun data yang diketemukan dilapangan hanya merupakan data pendukung Adapun alasan digunakannya pendekatan ini karena permasalahan yang diteliti berkaitan erat dengan pengungkapan seberapa jauh peran pajak daerah dalam menunjang otonomi daerah di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dapat dilaksanakan oleh pemegang peran dan pembuat keputusan baik secara vertikal
38
maupun secara horizontal, serta sinkronisasi perundang-undangan tentang pajak daerah. 3.2.3 Penentuan Sampel Untuk mendapatkan data di lapangan sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling atau penarikan sampel. Tehnik ini dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu.25 Alasan digunakan teknik ini adalah karena populasi* dalam penelitian ini mempunyai karakteristik yang tidak sama, disamping itu dengan menggunakan teknik ini diharapkan sampel yang diambil dapat menjaga populasinya. Sampel diambil dari unsur-unsur yang terdiri dari: 1) Walikota Tangerang Selatan sebagai kepala daerah yang yang mana mempunyai tanggung jawab penuh atas implementasi perda pajak tersebut dalam menunjang otonomi daerah. 2) Kepala Bapeda Kota Tangerang Selatan; bagian koordinasi rencana pembangunan daerah pada Badan ini
yang akan
dijadikan sampel karena akan memberikan konstruksi informasi tentang pengembangan pembangunan daerah di Kota Tangerang Selatan. 3) Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan; dijadikan sampel karena akan memberikan informasi pemungutan pajak daerah serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak daerah.
25 Rony Hanitijo Soemitro ibid hal 51 * Yang dimaksud dengan populasi disini adalah semua anggota masyarakat yang mempunyai keterkaitan langsung dengan pajak daerah.
39
4) Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Tangerang Selatan; bagian perundang-undangan yang akan dijadikan sampel,
karena
bagian
perundang-undangan
ini
adalah
merancang Peraturan Daerah secara tekhnis maupun substansial, terutama yang berkaitan dengan pajak daerah. 5) Kepala Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Tangerang Selatan; bagian Pembukuan, karena bagian ini akan memberikan gambaran/data mengenai Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang bersumber dari Pajak Daerah. 6) Pengusaha restoran sebanyak 42 (Empat puluh dua ) orang, responden ini menjadi sangat penting
terkait dengan
pemahaman tentang Perda Pajak dan mekanismenya. Informasi yang diberikan sangat berarti dalam rangka memberikan berbagai masukan dan sejauh mana Perda pajak diketahui oleh masyarakat Kota Tangerang terutama para pengusaha. 3.2.4 Sumber Data Penelitian Berdasarkan pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber bahan penelitian yaitu bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, Perda Pajak, buku literatur hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan objek penelitian dan bahan hukum sekunder berupa tambahan lembaran Negara yang berkaitan dengan objek penelitian, data yang berbentuk angka hanya merupakan data penunjang dan sumber-sumber data yang menunjang. 3.3
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh
40
langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.26 1.
Data Primer. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu : -
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara baik dengan petugas pada Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan, Dinas Pendapatan Daerah Kota Tangerang Selatan dan Kantor Bappeda Kota Tangerang Selatan atau masyarakat yang mencakup : -
Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah.
-
Sejauhmana peran Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Tangerang Selatan.
2.
Data sekunder. Adapun data sekunder yang diperlukan adalah data diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumentasi yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu, peraturan-peraturan, bukubuku literatur, dokumen-dokumen, majalah, koran dan lain-lain yang ada kaitannya dengan perpajakan nasional pada umumnya serta pajak daerah dan retribusi daerah pada khususnya. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup27 : -
Pertumbuhan dan realisasi penerimaan pajak daerah per sektor dari tahun 2010 s/d 2011;
-
Prosentase kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Tahun Anggaran 2010 s/d 2011
26 Soerjono Soekandi & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta 2004, hal 12 27 Soerjono Soekandi & Sri Mamudji ibid hal. 13.
41
-
Dan data lain yang diperlukan sesuai dengan perkembangan di lapangan.
Kemudian di dalam penelitian juga diperlukan Bahan Hukum Primer maupun Bahan Hukum Sekunder yang meliputi : 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang ada kaitannya dengan permasalahan diatas terdiri dari: -
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
-
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
-
Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
-
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
-
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang Undang Nmor 34 Tahun 2000, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
-
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, tentang Pajak Daerah.
-
Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 7 tahun 2010 tentang Perda Pajak Daerah
-
Peraturan Walikota Tangerang Selatan No 79 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Nama Pengenal Usaha
-
Peraturan Walikota Tangerang Selatan No 73 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Perhitungan harga dasar air sebgai dasar penetapan nilai perolehan air tanah. 42
-
Peraturan Walikota Tangerang Selatan No 78 Tahun 2011 Tentang Nilai Sewa Reklame
-
Serta Peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian diatas.
2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Selain itu dalam upaya memperoleh berbagai macam informasi lapangan secara baik dan akurat, digunakan beberapa metode, yaitu antara lain : 1.
Wawancara Tehnik ini
digunakan
oleh karena
wawancara
mempunyai
sejumlah kelebihan,antara lain sebagai berikut : dapat dipergunakan oleh peneliti untuk lebih cepat mendapat jawaban yang sesuai dengan yang dibutuhkan, oleh karena jawaban lebih tepat dan meyakinkan peneliti bahwa informan menafsirkan pertanyaan dengan benar, informasi dapat lebih siap diperiksa keakuratannya atas dasar isyarat non verbal (Black & Champion ) 2.
Observasi Teknik ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik yang tampak ( kasat mata ) dan guna memperoleh dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang diteliti
3.
Studi Dokumentasi Teknik ini
dilakukan dengan memanfatkan dokumen-dokumen
tertulis yang berkaitan dengan aspek-aspek yang diteliti. 4.
Survey Lapangan
43
Metode ini digunakan melalui teknik wawancara dan dialog langsung dengan subyek dan obyek kegiatan. Wawancara dan dialog ini ditujukan untuk menggali data dan informasi sebanyak mungkin. Hasil data survey ini, akan kami rumuskan dalam bentuk tabulasi, sehingga lebih mudah untuk dilakukan analisis. 3.4
Definisi Operasional. 1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. 2. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang
mencakup
kewenangan
semua
bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 3. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. 4. Otonomi bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
44
5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada
daerah
otonom
untuk
mengatur
urusan
pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Imdonesia. 6. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah
pemerintahan oleh
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu 7. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari daerah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 8. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 9. Pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: a. Hasil pajak daerah. b. Hasil retribusi daerah. c. Perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. Lain-lain pendapatan asli daerah. 10. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
45
penyelenggaraan
11. Retribusi daerah adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 12. Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah
dan
pendapatan
dinas-dinas
yang
sifatnya
insidentil/temporer.yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada hambatan pada pelaksanaannya. 13. Peraturan Daerah yang menunjang
pelaksanaan otonomi
daerah
adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dimasyarakat tidak ada kendala, 14. Peraturan Daerah
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat
adalah Peraturan daerah yang materi muatannya memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. 3.5
Teknik Analisa Data. Semua data yang terkumpul baik itu data primer maupun sekunder secara
garis besar di analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan, menghubungkan dengan peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum dan pemangku kepentingan. Dan untuk mengambil keputusan dilakukan dengan pendekatan deduktif. Analisis data kualitatif adalah “analisis yang dilakukan terhadap data-data non angka seperti hasil wawancara atau artikel-artikel, laporan, bacaan dari bukubuku dan juga termasuk non tulisan seperti foto, gambar atau film” (Irawan;2003). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Menurut Irawan analisis data kualitatif dilakukan bersamaan atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Di dalam penelitian kualitatif tersebut tidak
46
ada panduan baku bagi peneliti untuk melakukan analisis data. Tetapi data kualitatif tetap harus dianalisis dengan cara membaca baris demi baris, diberi kode dan dicari intisari dari data itu. Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data adalah ”proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip, interview, catatan di lapangan, dan bahanbahan lain yang didapatkan yang kesemuanya itu dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman dan membantu untuk mempresentasikan penemuan kepada orang lain” (Irawan , 2003). Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengorganisasikan data, memilah, mencari dan menemukan apa yang penting untuk dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan dengan mendiskripsikan secara kualitatif. Menurut pendapat Seidel (1998) analisis data dan keabsahannya dapat dilakukan sebagai berikut: 1) mengumpukan hasil catatan dari lapaangan, kemudian diberi kode agar sumber datanya dapat dengan mudah ditelusuri, 2) Memilah dan mengklasifikasikan kemudian mensintesiskan dan membuat ikhtisar dan indeks, dan 3) membut kategori yang mempunyai makna, mencari pola hubungan serta membuat temuan umum. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu peneliti membuat analisis hasil observasi, wawancara secara mendalam yang dilakukan terhadap informan kemudian disajikan dan disusun menjadi kasus sesuai dengan proses dan urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola juga kategori dan satuan uraian dasar, akhirnya menarik kesimpulan dari hasil temuan. Langkah- langkah analisis data penelitian kualitatif menurut Irawan adalah sebagai berikut: 1) Pengumpulan data mentah, dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang perlu, seperti tape recorder, kamera, dan lain-lain, 2) Transkrip data, dalam tahap ini merubah catatan ke bentuk tertulis ( apakah itu berasal dari tape recorder atau catatan tulisan tangan) semuanya diketik persis seperti apa adanya (verbatin). 3) Pembuatan koding, pada tahap ini perlu dibaca ulang seluruh data yang sudah di transkrip. Baca pelan-pelan dengan sangat teliti.
47
Pada bagian-bagian tertentu pada transkrip tersebut kita akan menemukan hal-hal penting yang perlu dicatat untuk diproses pada tahap berikutnya. Dari hal-al penting ini, kita ambil ”kata kunci” nya dan kata kunci ini nanti akan diberi kode, 4) Kategori Data, pada tahap ini mulai menyederhanakan data dengan cara ”mengikat” konsep-konsep (kata-kata) kunci dalam satu besaran yang dinamakan ”kategori”, 5) Penyimpulan sementara, 6) Trianggulasi, yaitu proses check dan recheck antara satu sumber data dengan sumber data lainnya, 7) Penyimpulan Akhir (Irawan; 2006 ). Uji keabsahan data ini dilakukan dengan metode Triangulasi (Chek ricek) atau dengan istilah lain teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Pengecekan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Pengecekan dilakukan dengan wawancara kepada beberapa responden (informan) dengan pertanyaan yang sama.
48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan Pada masa penjajahan Belanda, Kota Tangerang Selatan masuk ke dalam
Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu Suku Sunda, Suku Betawi, dan Suku Tionghoa. Pembentukan Kota Tangerang Selatan sebagai kota otonom berawal dari keinginan warga di kawasan Tangerang Selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000, beberapa tokoh dari kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut Cipasera sebagai wilayah otonom. Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah Kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas terabaikan. Pada 27 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu. Pada 22 Januari 2007, Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Tangerang yang dipimpin oleh Ketua DPRD, Endang Sujana, menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan secara aklamasi. Komisi I DPRD Provinsi Banten membahas berkas usulan pembentukan Kota Tangerang Selatan mulai 23 Maret 2007. Pembahasan dilakukan setelah berkas usulan dan persyaratan pembentukan kota diserahkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ke Dewan pada 22 Maret 2007. Pada 2007, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyiapkan dana Rp 20 miliar untuk proses awal berdirinya Kota Tangerang Selatan. Dana itu dianggarkan untuk biaya operasional kota baru selama satu tahun pertama dan merupakan modal awal dari daerah induk untuk wilayah hasil pemekaran. Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten Tangerang akan menyediakan dana bergulir sampai kota hasil pemekaran mandiri.
49
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Pembentukan daerah otonom baru tersebut dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Kota Tangerang Selatan lahir dari cita-cita besar dan hasil perjuangan masyarakat Tangerang Selatan serta dukungan pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayah Kota Tangerang Selatan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah Kota Tangerang Selatan didasarkan pada beberapa peraturan perundangan sebagai berikut: 1. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 2. Undang Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Kota Tangerang Selatan terdiri atas 7 kecamatan, yang dibagi lagi atas 49 kelurahan dan 5 desa. Berdasarkan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2008, Kota
50
Tangerang Selatan terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan: 1. Serpong dengan luas 2.404 Ha 2. Serpong Utara dengan luas 1.784 Ha 3. Ciputat dengan luas 1.838 Ha 4. Ciputat Timur dengan luas 1.543 Ha 5. Pondok Aren dengan luas 2.988 Ha 6. Pamulang dengan luas 2.682 Ha 7. Setu dengan luas 1.480 Ha Batas Wilayah Kota Tangerang Selatan ;
4.2
-
Utara
: Kota Tangerang dan DKI Jakarta
-
Selatan : Provinsi Jawa Barat (Kota Bogor dan Kota Depok)
-
Barat
: Kota Tangerang
-
Timur
: Provinsi Jawa Barat (Kota Depok) dan DKI Jakarta
Penerapan asas-asas pembuatan peraturan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang Selatan Peraturan daerah merupakan produk hukum tertinggi di daerah, oleh
karena itu dalam proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asasasas perundang-undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya, terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku efektif serta diterima oleh masyarakat. Jika kita konsisten berpedoman pada asas-asas perundang-undangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembuatan peraturan daerah, yaitu Asas kejelasan tujuan, Asas manfaat, Asas kewenangan, Asas kesesuaian, Asas dapat dilaksanakan, Asas kejelasan rumusan, Asas keterbukaan, Asas efisiensi, dan asas-asas Materi Muatan. Untuk
mengungkap
bagaimana
implementasinya
telah
dilakukan
penelitian terhadap proses pembuatan peraturan daerah kota Tangerang Selatan mulai dari proses pembuatan rancangan peraturan daerah, pengajuan rancangan
51
peraturan daerah, pembahasan rancangan peraturan daerah sampai persetujuan dan ditetapkannya sebagai peraturan daerah pada masa persidangan periode tahun 2010 dan tahun 2011 Setelah diadakan penelitian terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan khususnya yang berkaitan dengan pajak daerah belum memperhatikan asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik, karena
tujuan pembentukan peraturan daerah
semuanya adalah sama yaitu dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu asas yang pada umumnya tidak mendapat perhatihan oleh perancang peraturan daerah adalah asas keterbukaan karena peran serta masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah dan juga kejelasan rumusan belum terpenuhi karena masih ada isi pasal-pasal yang belum jelas maknanya namun tidak ada penjelasannya baik diketentuan umum maupun dalam penjelasan peraturan tersebut yang pada umumnya tertulis cukup jelas. Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Kepala Daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat (1) menyatakan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Makna “persetujuan bersama” dalam pasal ini tidak selalu bermakna untuk “setuju”, tetapi bisa juga dimaknakan untuk “tidak setuju”. Ketidak setujuan bisa saja terjadi manakala antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah tidak sepakat mengenai substansi yang diatur dalam rancangan Undang Undang atau rancangan peraturan daerah. Peraturan daerah sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk mengatur substansi materi muatan yang sesuai dengan
52
kondisi daerah. Jadi tidak harus berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi dapat juga membuat aturan sesuai dengan kebutuhan daerah masingmasing dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Di dalam peraturan daerah yang dibentuk untuk menyelenggarakan otonomi daerah obyek pengaturannya meliputi baik yang bersifat substantif
maupun yang bersifat teknis tata cara
pelaksanaannya. Di Kota Tangerang Selatan dalam pembentukan peraturan daerahnya pada umumnya dapat dilihat dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari peraturan daerah tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa di dalam produk hukum peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan pada masa persidangan periode tahun 2010 dan 2011, terungkap bahwa rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah didalam setiap konsideran menimbang dan penjelasan umumnya, tujuan dibentuknya peraturan daerah adalah: a.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang berdaya guna dan berhasil guna;
b.
Mengatur kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota;
c.
Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan kewenangan yang telah menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota.
d.
Peningkatan pendapat asli daerah.
Bilamana dilihat dari aspek penerapan “asas kejelasan tujuan” di dalam pembentukan perundang-undangan, maka pembuatan keduapuluhenam peraturan daerah tersebut di atas, memperlihatkan bahwa tujuan yang hendak dicapai itu
53
sangat beragam. Dalam konteks demikian, tujuan pembuatan peraturan daerah kembali menjadi tidak jelas apakah dalam rangka peningkatan pelayanan, pengaturan
kewenangan,
pembinaan
dan
pengawasan
atau
peningkatan
pendapatan asli daerah. Pemerintah Kota Tangerang Selatan nampaknya menjadikan peraturan daerah khususnya peraturan daerah yang mengatur tentang pajak dan retribusi untuk menghasilkan uang untuk mengisi kas daerah. Melalui payung hukum peraturan daerah tersebut Pemerintah Kota Tangerang Selatan berharap dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD) dalam rangka pelaksanaan pembangunan di daerahnya dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Berikut kutipan wawancara
dengan Walikota Tangerang Selatan dan Kepala
Dinas DPPKAD Kota Tangerang Selatan : “Perda pajak di Tangsel sudah ada dan ini menjadi acuan Pemerintah Kota Tangsel dalam rangka meningkatkan Potensi Asli daerah (PAD). Dengan adanya peningkatan Pendapatan Asli daerah(PAD) maka laju pertumbuhan ekonomipun juga akan meningkat. Karena kita memiliki Pendapatann Asli Daerah sendiri sehingga kita tidak terlalu tergantung sekali dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat” ( Responden : Walikota Tangerang Selatan ) “ ..Sebelum masuk substansi, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 mengatakan Pemerintah Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonomi baru. Dan kita bicara UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa untuk melaksanakan pembangunan perlu pembiayaan. Pembiayaan berasal dari 3 (tiga) item, yaitu : pertama; Pendapatan Asli Daerah, kedua; Dana Perimbangan dan ketiga ;Pendapatan lain-lain yang sah. Kita bicara PAD merupakan penopang pembangunan. Komponen PAD terdiri dari beberapa item antara lain : kesatu Pajak Daerah, kedua Retribusi daerah dan lain-lain pendapatan yang sah atau kekayaan daerah lain yang yang dipisahkan …”
54
Timbul pertanyaan, dapatkah peraturan daerah yang dibuat dengan tujuan beraragam bermanfaat bagi masyarakat? Pertanyaan ini terkait dengan “asas manfaat” dalam pembuatan peraturan daerah. Maksud dari asas manfaat adalah setiap pembentukan peraturan daerah harus benar-benar bisa memberi manfaat yang jelas bagi kehidupan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan daerah tentang pajak daerah tidak memberi manfaat secara langsung kepada peningkatan pelayanan kepada masyarakat, tetapi lebih diorientasikan kepada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Selain asas kejelasan tujuan dan asas manfaat, ada hal lain yang penting yang perlu diperhatikan yaitu penerapan “asas kewenangan” dalam pembuataan peraturan daerah. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal ini peraturan daerah harus dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang berwenang. Peraturan daerah yang dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang tidak berwenang akan berimplikasi peraturan daerah tersebut menjadi batal demi hukum. Secara umum tujuan pembentukan perundang-undangan adalah mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang diatur oleh hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Untuk mewujudkan maksud tersebut dimulai penulisan draf rancangan perundang-undangan yang baik. Oleh sebab itu peraturan daerah sebaiknya menggunakan bahasa yang padat dan sederhana, menghindari penggunaan kata-kata atau kalimat yang bermakna ganda dan berlebihan, tidak proporsional, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya norma ganda, norma kabur dan norma terbuka dan istilah yang digunakan jangan sampai mengundang berdebatan, dan gunakanlah istilah yang lazim dan mempunyai makna yang baku, bersifat mutlak, sedang materinya harus mengenai hal yang aktual, bukan hasil refleksi pemikiran penulis konsep rancangan.
Penulisan
konsep rancangan harus dimulai dari hasil penelitian yang berangkat dari hipotesis-hipotesis yang dibangun dalam memecahkan masalah di masyarakat yang termuat dalam naskah akademik dan diadakan uji publik, sehingga pada
55
pengajuan rancangan peraturan daerah tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, naskah akademik dikirimkan bersama rancangan peraturan daerah. Mengingat peraturan daerah
itu dibuat untuk mengatur kepentingan antara
pemerintah daerah dan masyarakat maka hendaknya bahasanya yang digunakan adalah bahasa indonesia yang baik, tidak rumit, dan bisa dipahami oleh setiap orang yang membacanya, dan dihindari penggunaan perkecualian, kecuali benarbenar diperlukan, sebab ini akan mengakibatkan kaburnya permasalahan pokok yang hendak diatur dalam peraturan daerah. Akibatnya membuka
perdebatan
yang panjang dan tidak ada ujung pangkalnya. Hal semacam ini yang akan mengakibatkan tidak efektifnya pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
berdampak penolakan rancangan yang telah dibuat dengan pengorbanan
biaya dan waktu yang tidak sedikit. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap menyetujui rancangan peraturan daerah tersebut menjadi peraturan daerah dipastikan akan terjadi gejolak di dalam penerapannya di masyarakat sehingga tidak efektif diberlakukan dan menyebabkan peraturan daerah itu lemah karena masyarakat tidak mau mematuhinya. Selain itu terungkap pula dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap orang-orang yang berhubungan dengan perancangan dan penulisan draf awal rancangan peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan, bahwa penulisan rancangan peraturan daerah Kota Tangerang Selatan semua berawal dan dimulai dari konsep pemikiran yang terbangun dalam visi pemerintah daerah, sehingga dapat diindikasikan bahwa produk hukum peraturan daerah terkesan hanya mencerminkan dan merefleksikan kehendak-kehendak pemerintah daerah tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan
masyarakat daerah kota Tangerang
Selatan. Dalam proses penyiapan pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya perlu meminta masukan atau pendapat masyarakat melalui konsultasi publik terutama apabila materi yang akan diatur dalam rancangan peraturan daerah tersebut berkaitan dengan pajak daerah hal mana sangat erat kaitannya dengan masyarakat yang akan menjadi sasaran di dalam peraturan perundang-
56
undangan tersebut, sehingga pada waktu diberlakukan, masyarakat telah siap menerima peraturan daerah tersebut dan membantu pemerintah dalam pelaksanaannya sehingga harapan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dapat terwujud. Untuk mengetahui apakah dalam pembentukan peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan telah diterapkan asas keterbukaan, penulis akan melihat bagaimana mekanisme pembuatan rancangan dan pembahasan rancangan rancangan peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan. Di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan, dan juga mekanisme yang berjalan dalam prosedur penyusunan produk hukum daerah diketahui bahwa materi rancangan yang berasal dari Walikota dirancang oleh Dinas-Dinas, Badan atau Bagian-Bagian yang terkait erat dengan materi yang akan diatur. Dalam penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah oleh pimpinan Unit dapat mendelegasikan kepada Bagian Hukum Sekertariat Daerah Kota Tangerang Selatan dan melibatkan stakeholder. Materi Rancangan peraturan daerah yang telah selesai dipersiapkan oleh Dinas-Dinas terkait, kemudian disampaikan kepada Walikota untuk mendapatkan persetujuannya. Setelah disetujui Walikota, kemudian disampaikan kepada Bagian Hukum
untuk memperoleh tanggapan dari segi yuridisnya,
harmonisasi materi dan singkronisasi pengaturannya. Bagian Hukum mengadakan rapat bersama dengan Dinas atau Bagian yang berkaitan dengan Materi rancangan peraturan daerah, sehingga ada persesuaian atau singkronisasi. Dalam pembahasan konsep rancangan peraturan daerah harus melibatkan Bagian hukum dan unit kerja terkait, LSM dan Akademisi. Setelah rancangan peraturan daerah itu selesai dipersiapkan, kemudian oleh Walikota dengan Nota Pengantar Walikota disampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan kepada seluruh anggota DPRD dan komisi-komisi yang membidanginya untuk dibicarakan. Sesudah dibicarakan bersama-sama kemudian disampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan untuk dibahas
57
pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Penyusunan program legislasi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah daerah dan DPRD, penyusunan prolegda tersebut berdasarkan atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Rencana Pembangunan Daerah, penyelenggaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan aspirasi masyarakat daerah. Program legislasi dilingkungan Pemerintah Daerah, yaitu Kepala Daerah memerintahkan kepala SKPD menyusun Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah, dalam penyusunan prolegda ditetapkan untuk jangka 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan perda sebelum penetapan perda APBD, penyusunan prolegda dilingkungan Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh biro hukum Kota Tangerang Selatan, yang mana mengikut sertakan instansi vertical terkait sesuai dengan kewenangan, materi muatan, atau kebutuhan dalam pengaturan. Hasil penyusunan prolegda diajukan biro hukum Kota Tangerang Selatan kepada Kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Kepala Daerah menyampaikan hasil penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah kepada Balegda melaui pimpinan DPRD. Gambar 4.1 Proses Fungsi Legislasi Proses Fungsi Legislasi
Penyusunan PROLEGDA
Penyusunan RAPERDA
1
2
Sosialisasi PERDA
8
Pengajuan RAPERDA
Pengundanga n
58
3
4
Pengesahan & Penetapan
Pembahasan RAPERDA
6
7
Sosialisasi RAPERDA
5
Gambar. 4.2 Tata cara pembahasan Raperda atas prakarsa DPRD Anggota/Komisi/Gab.Komisi /Baleg, dan daftar nama & tanda tangan pengusul+ draft raperda+Naskah Akademik+ no pokok
Rapat Peripurna, kesepakatan bersama dengan KDH bahwa raperda tersebut sah menjadi perda
PIMPINAN DPRD MENOLAK Rapat Paripurna
MENYETUJUI Meyetujui dengan Perubahan
- Pengusul memberikan Penjelaskan tentang maksud dan tujuan raperda tersebut
- DPRD menugaskan Pengusul untuk penyerpurnaan. - Bentuk Pansus
Pembahasan Raperda oleh Pansus dgn KDH/Pejabat
Jawab Fraksi terhadap pendapat KDH inisiatif tersebut
Pendapat KDH terhadap Raperda Pimpinan DPRD Menyampaikan raperda kepada KDH.
KDH menunjuk Pejabat yang akan mewakili
59
Rapat Paripurna Penjelasan dalam rapat paripurna
Gambar 4.3 Tata cara pembahasan Raperda atas Prakarsa Pemda
Rapat Paripurna persetujuan bersama dengan KDH
KDH melalui bagian hukum penyampaikan usulan raperda disertai Naskah Akademik ke DPRD
Bamus pembentukan Pansus, untuk pembahasan raperda bersama KDH/pejabat
PIMPINAN DPRD
Rapat Paripurna Rapat Paripurna Jawaban KDH terhadap Pandangan Umum fraksifrkasi
- KDH memberikan Penjelaskan tentang maksud dan tujuan raperda tersebut
Rapat Paripurna Pandangan Umum Fraksifraksi
Keseluruhan rangkaian kegiatan proses pembentukan peraturan daerah tersebut diatas, terungkap bahwa didalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan, tidak diatur secara tegas mengenai bagaimana tata cara keterlibatan masyarakat dalam pembahasan Raperda. Jadi apakah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau eksekutif yang mengundang masyarakat yang berkaitan langsung dengan isi dan substansi peraturan daerah yang akan dibahas itu tergantung kebijakan dari keduanya. Tidak ada jaminan prosedural dan forum terbuka bagi masyarakat untuk memberikan kontrol dalam pembentukan peraturan daerah, hal ini mempersempit ruang bagi publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah.
60
Padahal, walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah merupakan representasi dari rakyat, tapi karena dalam kedudukan sejajar, dan bahkan sebagai mitra pemerintah dan juga Kepala Daerah/Walikota adalah bawahan Menteri Dalam Negeri, maka oleh karena itu masih diperlukan keterlibatan langsung masyarakat, khususnya memberikan kontrol dalam proses pembentukan peraturan daerah, agar benar-benar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam memberikan persetujuannya didasari atas pertimbangan bahwa rancangan peraturan daerah yang akan ditetapkan menjadi peraturan daerah adalah benar-benar aspirasi masyarakat. Di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan ditentukan bahwa pembahasan rancangan peraturan daerah dilakukan melalui empat tahapan pembicaraan, yaitu tahap I, II, III, IV, kecuali apabila Badan Musyawarah menentukan lain. Sebelum dilakukan tahap II, III dan IV, diadakan Rapat Fraksi. Apabila dipandang perlu Badan Musyawarah dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap II dilakukan dalam rapat gabungan Komisi atau dalam Panitia Khusus. Pembicaraan Tahap I meliputi: a. Penjelasan Walikota dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Walikota. b. Penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Rapat Komisi/ Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Rancangan Peraturan Daerah usul prakarsa. Pembicaraan tahap II meliputi: a. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Walikota. 1. Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari usul prakarsa Walikota. 2. Jawaban Walikota dalam Rapat Paripurna terhadap pemandangan umum para anggota .
61
b. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: 1. Pendapat Walikota dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Peraturan Daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2. Jawaban pimpinan komisi, pimpinan rapat gabungan komisi atau ketua panitia khusus atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rapat paripurna terhadap pendapat walikota mengenai rancangan peraturan daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pembicaraan tahap III adalah Pembahasan dalam Rapat Komisi atau Rapat Gabungan Komisi atau Rapat panitia Khusus yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk oleh Walikota. Pembicaraan tahap IV meliputi; a. Pengambilan Keputusan dalam Rapat Paripurna, yang didahului dengan: 1. Laporan hasil pembicaraan tahap III. 2. Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya. b. Pemberian kesempatan kepada Walikota untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan Keputusan tersebut. Tahapan pembicaraan sebagaimana ditentukan di atas, meperlihatkan bahwa mekanisme pembahasan rancangan Peraturan Daerah memberikan kesempatan yang seimbang anatara pihak eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam meberikan tanggapannya, baik terhadap Rancangan Peraturan Daerah dari Prakarsa eksekutif maupun dari parakarsa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pembicaraan pada tahap I dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna Dewan, Rapat tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan pihak pemerintah untuk memberi keterangan atau penjelasan terhadap Rancangan Peraturan daerah yang diajukan pemerintah Daerah dan memberi kesempatan Anggota Dewan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan Rancangan Peraturan daerah yang sedang dibahas.
Sesudah itu Fraksi-Fraksi diberi kesempatan Rapat Fraksi. Rapat Fraksi 62
tersebut
dimaksudkan
untuk menentukan sikap atau pandangan terhadap
rancangan peraturan daerah tersebut dan sekaligus menentukan juru bicara FraksiFraksinya dalam Rapat Paripurna pada pembicaraan tahap II. Pembicaraan pada tahap II dilakukan dalam Rapat Paripurna dengan materi pemandangan umum oleh Anggota Dewan yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Perda dari pemerintah dan terhadap keterangan atau penjelasan pemerintah sebagaimana disampaikan pada Rapat Paripurna pembicaraan tahap I. Setelah juru bicara Fraksi-Fraksi menyampaikan pendapat dan suara Fraksinya, maka kesempatan berikutnya adalah jawaban pemerintah terhadap sikap atau pandangan Fraksi-Fraksi atas Rancangan Perda yang diajukan pemerintah daerah. Untuk menetukan sikap Fraksi atas pemandangan umum dan jawaban pemerintah, maka Fraksi-Fraksi diberi kesempatan melakukan Rapat Fraksi, Hasil Rapat Fraksi akan dibawa dalam pembicaraan tahap ke III. Pembicaraan tahap III adalah pembahasan secara mendalam dan secara tuntas tentang isi rancangan peraturan daerah. Rapat tahap III ini dilakukan dalam Rapat Komisi atau dalam Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia khusus. Jenis rapat yang diputuskan tergantung pada pentingnya materi Rancangan Perda yang sedang dibahas sehingga mereka akan menyertakan Anggota Dewan yang dipandang lebih memahami persoalan yang dibahas, tetapi tidak termasuk anggota Komisi atau suatu Panitia Khusus. Pada tahap pembicaraan III inilah Rancangan Perda dibahas secara tuntas dan pada rapat tahap III ini diuji kemampuan wakil pemerintah daerah maupun Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk berargumentasi. Dan pada tahap ini peranan musyawarah sangat menonjol. Pembicaraan tahap III inilah yang menentukan bobot suatu peraturan daerah, menentukan cepat lambatnya diambil keputusan, musyawarah atau suara terbanyak pada pembicaraan tahap IV. Materi pembicaraan tahap IV adalah mengambil keputusan perihal persetujuan terhadap Rancangan Perda menjadi Perda. Pembicaraan pada tahap ini sangat tergantung pada hasil pembicaraan tahap III. Apabila Fraksi-Fraksi di tahap
63
pembicaraan III telah menyetujui Rancangan Perda secara bulat maka dapat dikatakan bahwa rapat pada tahap IV bersifat formalistik belaka. Pengambilan Keputusan pada pambicaraan tahap IV dilakukan dalam Rapat Paripurna dengan didahului laporan hasil laporan pembicaraan tahap III oleh Komisi atau Gabungan Komisi atau Panitia khusus. Dari tahapan-tahapan pembicaraan itu, tahap pembicaraan III dilakukan pembicaraan mendalam antara wakil pemerintah daerah yang ditunjuk oleh walikota dengan Komisi sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang ditugasi membahas Rancangan Peraturan Daerah mengenai masalah prinsip, subtansi dan teknis yuridis rancangan Perda, yang sebentar nanti akan disampaikan pada Rapat Paripurna tahap IV. Pada kesempatan pembicaraan tahap IV sebagai forum mengambil keputusan, maka pemerintah daerah diberi kesempatan memberi sambutan. Kesempatan yang diberikan pemerintah untuk menyampaikan sambutannya sekaligus digunakan oleh pemerintah daerah untuk memperlihatkan pengetahuan dan penguasaan serta sikapnya terhadap pentingnya substansi/materi muatan rancangan peraturan daerah yang baru disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam upaya memberikan pembinaan, pengaturan dan pengawasan kepada objek dan subjek hukum agar masyarakat dapat menumbuhkan kreaktivitasnya untuk berpartisipasi aktif dalam proses penyelenggaraan pembangunan, sehingga tidak terkesan bahwa proses penyusunan Peraturan Daerah hanya didominasi oleh keinginan pemerintah, tetapi justru sebaliknya lebih banyak diharapkan muncul dari masyarakat. Pertanyaan yang muncul apakah mungkin bisa diharapkan munculnya proses draf penyusunan rancangan peraturan daerah dari masyarakat secara langsung, sementara aturan normatifnya, atau pedoman yang melandasi tata cara dan mekanisme pembentukan peraturan daerah yang ada sekarang menghendaki adanya dominasi eksekutif terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Walaupun dalam pembahasan melibatkan stakeholder, orang yang
64
dikenai kewajiban sebagai subjek atau objek pungutan atas ditetapkan peraturan daerah berada pada posisi lemah, diperintah, sehingga secara psikologis tidak akan maksimal memberikan saran dan belum tentu saran itu diterima. Suatu hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan daerah adalah adanya partisipasi Masyarakat diluar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerintah daerah dalam menyusun dan membentuk rancangan peraturan daerah . Ada dua sumber partisipasi yaitu: 1. Dari unsur-unsur pemerintahan diluar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, perguruan tinggi dan lain-lain. 2. Dari masyarakat, baik individu seperti ahli-ahli atau yang memiliki pengalaman atau dari kelompok seperti LSM, tokoh-tokoh masyarakat sesuai dengan keahlian atau pengalamannya. Dengan mengikutsertakan pihak-pihak di luar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan pemerintah daerah sangat penting dalam rangka menjaring
pengetahuan, keahlian, atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan daerah benar-benar memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan yang baik, dapat menjamin peraturan daerah sesuai kehendak dan kenyataan yang hidup dalam masyarakat (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain), dapat menumbuhkan rasa memiliki, rasa bertanggungjawab atas peraturan daerah tersebut. Berbagai faktor tersebut di atas akan memudahkan penerimaan masyarakat terhadap
peraturan daerah, dan memudahkan pula pelaksanaan atau
penegakannya. Oleh karena itu, menurut Manan bahwa keikutsertaan
atau
partisipasi dapat dilakukan dengan berbagai cara mengikutsertakan dalam tim atau kelompok kerja penyusunan rancangan peraturan daerah, mengundang dalam rapat-rapat penyusunan rancangan peraturan daerah , melakukan uji publik kepada pihak-pihak tertentu untuk mendapat tanggapan, melakukan lokakarya (workshop)
65
atas rancangan peraturan daerah, mensosialisasikan atau mempublikasikan melalaui madia cetak atau elektronik agar mendapat tanggapan publik. sebelum secara resmi dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Idealnya keikutsertaan atau partisipasi masyarakat seperti yang disebutkan di atas harus melalui pintu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan melalui pintu eksekutif. Kalau keikutsertaan masyarakat melalui pintu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diharapkan dapat terjadi penyesuaian antara keinginan masyarakat dengan keinginan-keinginan pihak eksekutif. Tapi hal ini masih sangat tergantung dari peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dalam memberikan tekanan
kepada pemerintah. Sebaliknya kalau partisipasi masyarakat melalui pintu eksekutif maka, dihawatirkan aspirasi itu bisa disumbat oleh visi sosial pemerintah yang telah dibakukan dalam visi misi pemerintahan daerah. Partisipasi masyarakat semacam itu hanya akan menjadi sarana pelegitimasi bahwa dalam proses pembentukan peraturan daerah pemerintah melibatkan masyarakat luas, sehingga memenuhi unsur untuk disebut bahwa peraturan daerah itu aspiratifresponsif terhadap tuntutan masyarakat. 4.3
Pelaksanaan Pemungutan Pajak di Kota Tangerang Selatan 4.3.1 Peraturan-peraturan yang melandasi Pajak Daerah Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis
66
pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Prinsip-prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut: 1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional. 2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang. 3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang. 4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi
yang
tercantum
dalam
undang-undang
sesuai
kebijakan pemerintahan daerah. 5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. Materi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 terkait dengan pajak daerah adalah sebagai berikut: 1.
Penambahan jenis pajak daerah Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak 67
daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak daerah kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet.
Sebagai
catatan,
untuk
kabupaten/kota
ada
penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi. a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan
akuntabilitas
pengelolaan
keuangan
daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan
asli
daerah
(PAD).
Undang-Undang
Republik Nomor 28 Tahun 2009 menagtur pajak daerah dan retribusi mulai berlaku 1 Januari 2010 untuk pengelolaan PBB dan BPHTB yang dikelola oleh Pemerintah Pusat akan dialihkan keseluruh Pemerintah daerah paling lambat 31 Desember 201328 b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk 28
Irwansyah Lubis, Kreatif gali sumber pajak tanpa bebani rakyat, Elecmedia computindo, Jakarta, 2011 hal: 21
68
meningkatkan
akuntabilitas
daerah, BPHTB dialihkan Penetapan
BPHTB
sebagai
pengelolaan
keuangan
menjadi pajak daerah. pajak
daerah
akan
meningkatkan PAD. c. Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan PAD. 2.
Perluasan Basis Pajak Daerah Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), termasuk kendaraan pemerintah
3.
b.
Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan
c.
Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.
Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain: a. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus untuk kendaraan
69
pribadi dapat diterapkan tarif progresif. b. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dinaikkan dari 10% menjadi 20%. c. Tarif
maksimum
Pajak
Bahan
Bakar
Kendaraan
Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih rendah. d. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%. e. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20% menjadi 25%. 4.
Bagi Hasil Pajak Provinsi Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi
pelayanan
kepada
masyarakat,
pajak
provinsi
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai berikut: a. Pajak
Kendaraan
Bermotor:
Provinsi
70%,
kabupaten/kota 30%. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%, kabupaten/kota 30%. c. Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor: Provinsi 30%, kabupaten/kota 70%. d. Pajak Air Permukaan: Provinsi 50%, kabupaten/kota 50%.
70
e. Pajak Rokok: Provinsi 30%, kabupaten/kota 70%. 4.3.2
Pemungutan pajak berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2010 di Kota Tangerang Selatan Pemungutan
pajak
di
Kota
Tangerang
Selatan
sebelum
terbentuknya perda Nomor 7 Tahun 2010 masih menggunakan Perda Kabupaten Tangerang, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Undang-Undang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Pasal 2 Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang pajak daerah, Kota Tangerang Selatan dapat memungut 10(sepuluh) jenis pajak, antara lain : 1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan; 4. Pajak Reklame; 5. Pajak Penerangan Jalan; 6. Pajak Parkir; 7. Pajak Air Tanah; 8. Pajak Sarang Burung Walet; 9. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; 10. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 4.3.3. Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah 1. Pendaftaran wajib pajak •
Wajib Pajak wajib mendaftarkan usahanya kepada Fiscus dalam jangka waktu tertentu, selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari sebelum dimulainya kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai Wajib Pajak
71
•
Pemberian identitas kepada Wajib Pajak berupa Kartu NPWPD (Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah) sebagai sarana Administrasi dan Pengawasan bagi petugas (fiscus)
2. Pendataan objek Pajak •
Wajib Pajak yang telah memiliki Kartu NPWPD (Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah), wajib mengisi SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah) yang berisi data objek pajak
•
SPTPD diisi dengan jelas, lengkap dan benar serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya dan disampaikan
selambat-lambatnya
15
hari
setelah
berakhirnya masa pajak •
Wajib Pajak yang tidak melaporkan atau melaporkan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan akan dikenakan sangsi administrasi berupa denda sesuai ketentuan dalam Peraturan Daerah
3. Penetapan objek pajak SELF ASSESMENT : Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan SPTPD yang berisi Dasar Pengenaan (Omset) dan Pajak Terhutangnya pada setiap tanggal 20 bulan berikutnya. Jenis Objek Pajak yang dipungut berdasarkan Self Asessment, adalah: 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Penerangan Jalan 5. Pajak Parkir 6. Pajak Sarang Burung Walet
72
7. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) OFFICIAL
ASSESMENT
:
Berdasarkan
SPTPD
yang
disampaikan oleh WP dan Pendataan yang dilakukan oleh Fiscus,
Fiscus
menetapkan
Pajak
Terhutang
dengan
menerbitkan SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah). Jenis Objek Pajak yang dipungut berdasarkan Official Asessment, adalah : 1. Pajak Reklame 2. Pajak Air Tanah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan & Perkotaan
Gambar 4.4. Sistem dan Prosedur Pajak Official Assesment
MENGISI DATA OBJEK PAJAK
WP
SPTPD
PENDATAAN Kartu d
BANK BJB
PENETAPAN PENGENDALIAN PENGAWASAN PENAGIHAN
73
SPKPD
4. Pembayaran pajak •
Pembayaran Pajak Terhutang dilakukan ke Kas Daerah melalui Bank BJB sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam Surat Ketetapan nya
•
Pembayaran Pajak dilakukan dengan menggunakan SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah)
•
Pembayaran Pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas
•
Pembayaran paling lambat tgl 15 setelah berakhirnya masa pajak (Self Asessment) atau batas tanggal jatuh tempo yang tercantum pada Surat Ketetapan.Dalam hal pembayaran melewati tanggal Jatuh Tempo, maka akan dikenakan sangsi administrasi berupa bunga 2% per bulan (max 24 bulan) dari jumlah Pokok Pajak Terhutang
5. Pengendalian, pengawasan dan Penagihan Ketaatan Wajib Pajak a. Ketaatan membayar pajak pada masa pajak tertentu
-
Tanggal pembayaran paling lambat tanggal 30 bulan berikutnya b. Ketaatan melaporkan hasil penjualan (omset) pada masa pajak tertentu
Tanggal pelaporan paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya c. Secara periodik dapat dilakukan pemeriksaan oleh Fiscus untuk menguji kepatuhan dan kebenaran pelaporan antara hasil penjualan dan pembayaran pajak yang dilakukan dengan hasil penjualan yang sesungguhnya. Penagihan STPD dapat diterbitkan : 1. Pajak tidak atau kurang dibayarkan 2. Hasil penelitian SPTPD kurang bayar akibat salah
74
tulis/hitung 3. WP dikenakan sanksi bunga dan atau denda Sesuai dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa 1. Surat Teguran7 hari 2. Surat Paksa 21 hari 3. Surat Sita 2 hari 4. Pelaksanaan Lelang 14 hari 5. Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus 6. Hak, Kewajiban dan Sanksi bagi wajib pajak dan fiscus 6.1. Hak wajib pajak 1. Mendapatkan kemudahan ataupun keringanan atas kewajiban pajaknya sesuai dengan tahapan prosedur yang telah ditetapkan. a. Pengurangan, keringanan dan pembebasan sanksi adm b. Keberatan dan banding atas Keputusan Pajak yang diterima. c. Pembayaran Angsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak 2. Mempunyai hak untuk meminta dan menerima kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan sesuai prosedur yang sudah ditentukan dalam Peraturan Daerah yang berlaku. 3. Menerima penjelasan dan informasi dari Fiscus, yang lengkap dan benar tentang semua hal yang menyangkut hak, kewajiban dan sangsi sebagai Wajib Pajak. 6.2. Kewajiban wajib pajak 1.
Mencatat, menyimpan semua bukti transaksi yang 75
sah sebagai dasar pelaporan data dan pembayaran yang telah dilakukan. 2.
Melaporkan dan membayar kewajiban pajak dengan benar sesuai dengan waktu yang telah ditentukan .
3.
Memberikan informasi yang benar untuk Fiscus yang bertugas sesuai dengan lingkup penugasan yang diberikan.
6.3. Sanksi wajib pajak Sanksi kepada wajib pajak dapat berupa sanksi administrasi (diatur dalam peraturan daerah ) 1. Pelanggaran atau kelalaian atas kewajiban pembayaran •
Sanksi Administrasi timbul dihitung sejak tanggal batas pembayaran ataupun tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan.
•
Sanksi Administrasi berupa bunga 2 %
setiap
bulan yang dihitung dari Total Pajak yang belum dibayar selama-lamanya (maksimal) 24 bulan 2. Pelanggaran atau kelalaian atas pelaporan data (SPTPD) Fiscus dapat membuat Ketetapan Pajak secara jabatan yang artinya berdasarkan norma-norma yang ada dalam perpajakan bukan berdasarkan isian data yang seharusnya dilakukan oleh Wajib Pajak. Sanksi administrasi yang timbul adalah kenaikan pajak sebesar 25 % dari pajak yang terhutang. Akibat kelalaian/kealpaan menyampaikan
dan
Wajib
Pajak
melaporkan
dalam SPTPD
hal (Self
Assesment), WP dikenakan denda paling banyak 2 kali jumlah pajak terhutang. Jumlah kekurangan pajak
76
yang terhutang dalam SKPDKBT (akibat hasil Pemeriksaan), dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak yang harus dibayar.Selain sanksi administrasi, ada juga sanksi pidana ( diatur dalam peraturan daerah ) Pelanggaran atau kelalaian atas pelaporan data, berikut penjelasan atas sanksi pidana yang dimaksud. a. Kealpaan / ketidaksengajaan Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 2 kali dari jumlah pajak terhutang. b. Kesengajaan Pidana penjara paling lama 2 (dua ) tahun atau denda paling banyak 4 kali jumlah dari pajak terhutang. 6.4. Hak Fiscus 1. Mencatat, memeriksa laporan dan pembayaran dari Wajib Pajak; 2. Melakukan pengendalian, pengawasan dan penagihan berdasarkan semua catatan data pajak dan retribusi yang ada; 3. Menerbitkan Surat Ketetapan atas Pajak Terhutang; 4. Menerbitkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Sita, Lelang dan lain-lain 6.5. Kewajiban Fiscus 1.
Memahami, menyampaikan dan melaksanakan semua tugas perpajakan yang sudah ditetapkan.
2.
Memberi bimbingan, penjelasan dan informasi yang jelas, lengkap dan benar kepada Wajib Pajak.
3.
Melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah
77
sesuai dengan Sistem dan Prosedur Perpajakan yang berlaku. 4.
Merahasiakan data-data Wajib Pajak
6.6. Sanksi bagi fiscus Sanksi bagi fiscus sudah diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah, dan semua aturan hukum yang berlaku menyangkut kedudukan dan statusnya sebagai pegawai negeri sipil. 4.4. Realisasi Pajak 4.4.1. Hasil Pelaksanaan Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah di Kota Tangerang Selatan Hasil penerimaan pemungutan Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dapat dilihat berdasarkan jenis penerimaan, berikut tabel realisasi penerimaan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 yang disajikan sebagai berikut : Tabel 1 Realisasi Penerimaan Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 SELISIH LEBIH KURANG
JENIS PENERIMAAN
RENCANA PENDAPATAN
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir
1.808.000.000 30.000.000.000 3.250.000.000 3.242.000.000
2.236.123.883 36.674.448.481 3.978.251.737 4.518.158.568
428.123.883 6.674.448.481 728.251.737 1.276.158.568
123,68% 122,25% 122,41% 139,36%
34.000.000.000
39.408.169.823
5.408.169.823
115,91%
2.900.000.000
3.168.079.000
268.079.000
109,24%
90.597.425.025
101.931.836.547
JUMLAH
PENERIMAAN
%
122,14%
Sumber Data Sekunder : Dinas Pendapatan Kota Tangerang Selatan Dari Tabel 1 terlihat bahwa realisasi pajak daerah di Kota Tangerang Selatan
tahun
2010
secara
keseluruhan
sebesar
Rp.
101.931.836.547,- melampaui target yang telah ditetapkan sebesar Rp. 90.597.425.025,-. Setara dengan 122,14%. Dari data yang ada,
78
dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan pajak daerah melebihi dari rencana pendapatan yang telah ditetapkan. Penyumbang pendapatan tertinggi diperoleh dari jenis penerimaan pajak penerangan jalan sebesar Rp 39.408.169.823 atau sebesar 115,91% dari rencana pendapatan sebesar Rp 34.000.000.000. Sedangkan penerimaan pendapatan pajak hotel hanya sebesar Rp 2.236.123.883 dari rencana pendapatan sebesar Rp. 1.808.000.000. Penyumbang pendapatan tertinggi berikutnya berasal dari pajak restoran yaitu sebesar Rp 36.674.448.481 atau terjadi peningkatan sebesar 122,25% dari rencana pendapatan. Sedangkan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Realisasi Penerimaan Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011
2.300.000.000
2.337.900.555
SELISIH LEBIH KURANG 37.900.555
Pajak Restoran
47.000.000.000
50.103.065.338
3.103.065.338
106,60%
Pajak Hiburan
5.000.000.000
7.038.435.710
2.038.435.710
140,77%
Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir
4.011.000.000
5.664.735.300
1.653.735.300
141,23%
40.000.000.000
46.444.000.000
6.444.000.000
116,11%
4.000.000.000
4.367.307.274
367.307.274
109,18%
JENIS PENERIMAAN Pajak Hotel
Pajak Air Tanah
RENCANA PENDAPATAN
PENERIMAAN
% 101,65%
1.600.000.000
1.696.958.740
96.958.740
106,06%
BPHTB
170.000.000.000
210.756.818.979
40.756.818.979
123,97%
JUMLAH
273.911.000.000
328.409.221.896
118,20%
Sumber Data Sekunder : Dinas Pendapatan Kota Tangerang Selatan Secara kumulatif terlihat bahwa Realisasi Pajak Daerah telah melampaui target yang telah ditetapkan. Realisasi Pajak Daerah untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp. 273.911.000.000,- melampaui target dari yang telah ditetapkan sebesar Rp.328.409.221.896,-, sehingga pencapaian target seluruhnya adalah sebesar 118,20%.
79
Dibandingkan pada tahun 2010, secara persentase memang terjadi penurunan pencapaian target dari 122,14% menjadi 118,20%. Tetapi jumlah nominal yang diperoleh jauh lebih besar, pada tahun 2010 penerimaan sebesar Rp.101.931.836.547,-, sedangkan pada tahun 2011
sebesar
Rp.328.409.221.896,-,
atau
3,22
kali
dan
peningkatannya sebesar Rp. 226.477.385.349,Kenaikan sebesar Rp.226.477.385.349,- tersebut disebabkan adanya penambahan jenis penerimaaan yaitu Pajak Tanah dan BPHTB yang pada tahun 2010 masih menjadi pajak provinsi, dan pada tahun 2011 telah termasuk pajak daerah untuk kabupaten/kota. Perubahan Pajak Tanah dan BPHTB yang menjadi pajak daerah untuk kabupaten/kota sangat menguntungkan, karena peningkatan PAD pemerintah kota Tangerang Selatan meningkat secara signifikan yang berujung pada pelaksanaan otonomi daerah di daerahnya. “Dan jika dikaitkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, untuk penyelenggaraan pembangunan. Kontribusinya dibandingkan dengan daerah-daerah lain sampai saat ini mendapatkan porsi yang cukup besar 26% sampai 27% dalam bentuk dana perimbangan. Kondisi tersebut secara umum terjadi untuk daerahdaerah baru seperti kota tangerang Selatan “ (Responden : Kepala Dinas DPPKAD) Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan yang didasari UU No. 28 Tahun 2009 dapat dianalisis dengan 3 (tiga) elemen yaitu: 1. Pembenaran (Warrant) Pembenaran merupakan suatu asumsi di dalam argumen kebijakaan yang memungkinkan analisis untuk berpindah dari informasi yang relevan dengan kebijakan ke klaim kebijakan. Pembenaran dapat mengandung berbagai macam asumsi otoritatif, analisentris, kausal, pragmatis, dan kritik nilai, peranan dari pembenaran adalah untuk membawa informasi yang relevan dengan kebijakan kepada klaim kebijakan tentang
80
terjadinya ketidaksepakatan atau konflik, dengan demikian memberi suatu alasan untuk menerima klaim. 2. Dukungan (Backing). Dukungan bagi pembenaran terdiri dari asumsi-asumsi tambahan atau argumen-argumen yang dapat digunakan untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima pada nilai yang nampak. Dukungan terhadap pembenaran dapat mengambil berbagai macam bentuk, yaitu hukum-hukum ilmiah, pertimbangan para pemegang otoritas keahlian, atau prinsipprinsip moral dan etis. Dukungan terhadap pembenaran memungkinkan analisis bergerak ke belakang dan menyatakan asumsi-asumsi yang menyertainya. 3. Bantahan (Rebbutal). Bantahan merupakan kesimpulan yang kedua, asumsi, atau argumen yang menyatakan kondisi dimana klaim asli tidak diterima, atau klaim asli hanya dapat diterima pada derajat penerimaan tertentu. Secara keseluruhan klaim kebijakan dan bantahan membentuk substasi isu-isu kebijakan, yaitu ketidak sepakatan diantara segmen-segmen yang berbeda dalam masyarakat terhadap serangkaian alternatif tindakan pemerintah pertimbangan terhadap bantahan-bantahan membantu analisis mengantisifasi tujuan tujuan dan menyediakan perangkat sistimatis untuk mengkritik salah satu klaim, asumsi, dan argumennya.29 Menganalisa
peraturan-peraturan
yang
telah
dibuat
untuk
meregulasikan pajak daerah berdasarkan pandangan kebijakan publik melalui peraturan-peraturan yang ada, tiga konsep diatas merupakan suatu cara yang paling efektif, pembenaran sebagai kekuatan untuk berperannya suatu perundang-undangan dengan mengkaji ulang dan mengamati substansial undang-undang, secara keilmuan tidak 29
William N Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press, 2000.
81
bertentangan dengan rasa keadilan dan ketertiban umum serta susila, maka suatu peraturan itu dapat dibenarkan. Demikian juga dukungan yang diberikan kepada suatu peraturan untuk menjamin berlakunya suatu peraturan dapat diterima oleh masyarakat, sementara itu bantahan akan diungkapkan melalui pengamatan dan penelitian terhadap kinerja perundang-undangan serta permasalahan yang timbul di masyarakat setelah suatu perundangan tersebut diberlakukan. 4.5. Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan. Dalam sistem perpajakan dikenal ada tiga unsur pokok, yaitu:30 1. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy) 2. Undang-Undang Perpajakan (Tax Laws) 3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration). Ketiga unsur tersebut saling kait mengkait dan terjadi menurut proses sesuai dengan urutan, sebagai sebuah kebijaksanaan pemerintah. Sebagai kebijaksanaan pemerintah maka sistem perpajakan merupakan sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan, yang ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana tindakan-tindakan tersebut akan dilakukan. Kebijaksanaan perpajakan merupakan sesuatu yang akan dituju, sedangkan undang-undang perpajakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan administrasi perpajakan merupakan sarana mengimplementasikan kebijak-sanaan perpajakan dalam bentuk undang-undang. Kebijaksanaan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Alternatif-alternatif tersebut meliputi : 1. Pajak yang akan dipungut 2. Siapa yang akan dijadikan Subyek Pajak. 30
Ilyas dan Burton, Hukum Pajak, Salembat Empat\, Jakarta, 2010, Hal. 30
82
3. Apa saja yang merupakan Obyek Pajak 4. Berapa besarnya tarif pajak 5. Bagaimana prosedurnya Kebijaksanaan perpajakan tersebut selanjutnya akan ditetapkan dalam bentuk undang-undang, yang akan dikelompokkan dalam hukum (UU) pajak Materiil yang mengatur tentang norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, yang meliputi : siapa yang menjadi Subyek Pajak, apa yang menjadi obyek pajak dan berapa besar tarif pajaknya. Dengan kata lain hukum pajak materiil memuat segala sesuatu tentang timbulnya, besar dan hapusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Kelompok kedua dikenal dengan hukum (UU) pajak formil, yang mengatur tentang tata cara menjelmakan hukum materiil menjadi kenyataan. Hukum pajak formil memuat tentang tata cara penyelenggaraan penetapan suatu hutang pajak, pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para Wajib Pajak, kewajiban pihak ketiga dan prosedurnya. Prosedur pelaksanaan, meliputi administrasi pajak atau instansi pajak, tata cara pemungutan yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak serta birokrat (aparatur) pajak. Maksud dari hukum pajak formil disini adalah untuk melindungi, baik aparat pajak maupun Wajib Pajak. Secara hierarki penerbitan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah di Kota Tangerang Selatan adalah sebagai aplikasi dari diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebelum menguraikan dan mengungkapkan serta menganalisis data yang diperoleh melalui penelitian, terlebih dahulu diketengahkan hubungan antara konsep teori dan analisis penelitian mengenai permasalahan diatas sebagaimana tampak pada Tabel 3 berikut ini :
83
Tabel 3 Hubungan Teori dan Analisis Penelitian Untuk Permasalahan Nomor 1 Rumus Permasalahan Bagaimana sinkronisasi Peraturan di Bidang Pajak Daerah dengan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah
Data Penelitian Mengamati sinkronisasi peraturan perundangundangan tentang Pajak Daerah terhadap Perda.
Persoalan Teori yang Potensial Digunakan Konsistensi peraturan Teori Hukum Pajak dalam Modern oleh pelaksanaannya belum Marc Galanter. mencerminkan tentang keinginan masyarakat, sedang keputusan yang diambil masih sepihak (Pemerintah) untuk memenuhi target PAD.
Sumber: Data penelitian diolah. Dari Tabel 3 dapat dijelaskan permasalahan tentang seberapa jauh sinkronisasi peraturan di bidang perpajakan. Bila dianalisis dengan menggunakan teori hukum modern tentang ciri-ciri hukum modern oleh Marc Galenter salah satunya menyebutkan : “Hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang uniform dan konsisten di dalam penerapannya lebih bersifat teritorial daripada personal artinya tidak membedakan agama, suku, kasta dan jenis kelamin.”, maka dapat diketahui bahwa terdapat persoalan potensial mengenai konsistensi peraturan pajak daerah dalam pelaksanaannya belum membuktikan dan mencerminkan tentang keinginan masyarakat, sedangkan keputusan yang diambil masih sepihak (pemerintah) untuk memenuhi target Pendapat Asli Daerah. Terkait dengan sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta konsistensi Peraturan Daerah berdasarkan Tabel 3 dapat diamati melalui hubungan vertikal yang diartikan kebersesuaian peraturan daerah dengan peraturan diatasnya. Jika diamati lebih lanjut dapat diungkapkan secara hierarki tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagai pedoman bagi peraturan-peraturan dibawahnya yang pada prinsipnya kebersesuaian merupakan faktor utama untuk menjamin agar
84
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan di bawahnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok pikiran yang ada pada undang-undang ini. Selanjutnya untuk melaksanakan perundang-undangan pada setiap daerah dibentuk Peraturan Daerah yang berkenaan dengan ketentuan di atas, sebagai aplikasi dan pedoman serta pegangan bagi setiap daerah untuk melaksanakan kebijakan dan operasional administratif, tak terkecuali Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Apabila dilihat isi dari Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan, terlihat bahwa Pemerintah
Kota
Tangerang
Selatan
berupaya
melakukan
pemungutan
menggunakan prinsip-prinsip teori yang antara lain terdapatnya teori asuransi, teori kepentingan, teori daya pikul, teori bakti, teori daya beli, teori pemungutan berdasarkan hukum, teori pemungutan pajak secara sederhana dan tidak mengganggu perekonomian. Dari prinsip-prinsip teori pemungutan pajak, penulis menganalisis bahwa teori yang paling mendukung dalam penelitian ini terkait dengan Perda No.7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan adalah teori daya pikul. Teori daya pikul adalah beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dengan demikian pajak setiap orang berbeda bahkan ada yang bebas pajak jika wajib pajak tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penjelasan tersebut termasuk unsur subyektif. Jika dilihat dari unsur obyektif, besar kecilnya pajak diukur dari obyek, seperti, pajak BPHTB, PBB, dan lain-lain. 85
Teori daya pikul ini tercermin dalam Pasal 17 ayat (3) Perda No. 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan yang berbunyi “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp 15.000.000 per bulan (tidak kena pajak).” Adapun yang dimaksud ayat (2) adalah pelayanan yang disediakan restoran yang kena pajak. Konsistensi Peraturan Pajak Daerah terlihat dari konsistensinya peraturanyang dikeluarkan dan diberlakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dengan prinsip kebersesuaian peraturan seperti yang diuraikan dalam sub 4.3.2 bab IV. 4.6
Peranan Pajak Daerah Dalam Menunjang Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah merupakan legalitas desentralisasi ekonomi dan politik. Dengan mengedepankan pembangunan sektoral diharapkan menguatkan desentralisasi atau otonomi daerah yang dapat mengurangi berbagai ketimpangan regional melalui pemberdayaan daerah khususnya Kabupaten/Kota. Konsekuensi bagi pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan adalah kewenangan sekaligus pertanggungjawaban terlaksananya pembangunan di daerah yang harus menimbulkan manfaat bagi masyarakat setempat. Dari sisi pembiayaan, pemerintah daerah harus cermat dalam menentukan urusan-urusan prioritas, disamping tetap melakukan fungsi pelayanan pokok masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi, dll. Disamping itu pemerintah daerah juga harus melakukan penentuan pilihan yang paling optimal dalam melaksanakan urusan otonominya yaitu apakah akan dilaksanakan oleh sektor publik (pemda sendiri), atau diserahkan kepada swasta, atau dilakukan kemitraan antara
pemerintah
daerah
dan
swasta.
Pentingnya
kehadiran
swasta
mengindikasikan kebutuhan akan investasi pada kegiatan potensial. Strategi pembangunan harus dikembangkan sedemikian rupa bertumpu pada pemanfaatan dan pengembangan potensi daerah. Hal ini penting karena akan berpengaruh
86
terhadap kapasitas penerimaan pemerintah daerah yang bersumber dari kekuatan internal Suatu pembangunan akan berkelanjutan jika terjamin kontinuitas pembiayaan dan penerimaan daerah. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
pendapatan
masyarakat
merupakan
sasaran
penting
dari
kegiatan
pengembangan potensi ekonomi daerah dalam rangka mengimplementasikan otonomi daerah. Gambar 4.5 memperlihatkan mekanisme pembangunan yang disesuaikan pada kondisi sosial, ekonomi dan fisik. ″Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 mengatakan Pemerintah Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonomi baru. Dan kita bicara UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa untuk melaksanakan pembangunan perlu pembiayaan. Pembiayaan berasal dari 3 (tiga) item, yaitu : pertama ;Pendapatan Asli Daerah, kedua;Dana Perimbangan dan ketiga ; Pendapatan lain-lain yang sah” Responden : ( Kepala Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Tangerang Selatan)″ Gambar 4.5. Potensi Daerah,Penggalian PAD dan Peningkatan Pembangunan Daerah Visi dan Misi Daerah
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Infrastruktur Daerah
Informasi Peluang Pengembangan Daerah
Pengembangan Kapasitas dan Potensi Kegiatan Ekonomi Unggulan
PAD / Penerimaan Daerah
Pembiayaan/Investasi - Pemerintah - Swasta
Kinerja Pembangunan Meningkat
Pendapatan Masyarakat Meningkat
87
Rencana Pembangunan Daerah sesuai otonominya memerlukan kebutuhan penganggaran secara agregat baik dalam bentuk anggaran rutin (recurrent expenditures) maupun anggaran pembangunan (capital expenditures). Sumber Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah pasal 157 adalah: •
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
•
Dana Perimbangan.
•
Pinjaman Daerah.
•
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) bahwa Pajak Daerah merupakan komponen yang penting dalam rangka menunjang otonomi daerah sesuai dengan fungsi Pajak Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, tentang Pajak Daerah, dengan demikian Pajak Daerah perlu ditingkatkan penerimaannya sehingga kemandirian Daerah dalam hal pembiayaan penyelenggaraan di daerah dapat terwujud. Arah kebijakan anggaran Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk Tahun Anggaran 2010, meliputi arah kebijakan yang berkenaan dengan Anggaran Pendapatan, Anggaran Belanja dan Anggaran Pembiayaan sebagaimana terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun Anggaran 2010. Anggaran Pendapatan adalah semua rencana penerimaan kas daerah dalam periode Tahun Anggaran 2010, yang menjadi hak daerah. Pendapatan dirinci menurut kelompok Pendapatan, yang meliputi: 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana Perimbangan; dan 3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Belanja Daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung, belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan sedangkan belanja langsung
88
merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sebagai daerah yang baru terbentuk, Kota Tangerang belum memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah sehingga RKPD Tahun 2010 masih mengacu kepada rancangan RPJM Kabupaten Tangerang Tahun 2008 - 2013. Masalah dan tantangan utama yang dihadapi Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010, ditetapkan prioritas pembangunan yang menjadi dasar penentuan fokus dan kegiatan prioritas untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Pemanfaatan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) dalam rangka
pelaksanaan
pembangunan Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 yang dituangkan dalam skala prioritas adalah sebagai berikut : 1. Optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. a. Penyusunan regulasi penyelenggaraan pemerintahan daerah b. Penyediaan sarana dan prasarana pemerintah daerah c. Pengelolaan data sebagai dasar perencanaan pembangunan d. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia 2. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah Fokus dari prioritas tersebut adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui fasilitas pelaksanaannya dan pendataan kependudukan. 3. Peningkatan kualitas infrastruktur dasar a. Peningkatan pelayanan prasarana perkotaan b. Peningkatan sarana perkotaan c. Penataan utilitas perkotaan
89
d. Peningkatan kualitas prasarana dan sarana transportasi e. Pengembangan pengelolaan dan konservasi Sumber Daya Air f. Pengelolaan lingkungan hidup g. Penataan ruang h. Penataan permukiman perkotaan i. Pengendalian banjir 4. Peningkatan kualitas pelayanan pendidikan a.
Peningkatan kualitas sarana pendidikan
b.
Pemantapan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
c.
Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah
d.
Peningkatan kompetensi pendidik
5. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan a.
Peningkatan kualitas sarana kesehatan
b.
Penurunan kematian ibu dan anak, kekurangan gizi dan pemberantasan penyakit menular
c.
Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar
d.
Peningkatan pemanfaatan obat
e.
Pemantapan revitalisasi program KB
6. Peningkatan Akses Masyarakat Miskin Kepada Pelayanan Dasar Fokus dari prioritas tersebut adalah peningkatan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan. 7. Pengembangan Program Pembangunan Berbasis Masyarakat Fokus dari prioritas tersebut adalah peningkatan keberdayaan masyarakat melalui penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM) dan penyelenggaraan padat karya produktif. 90
8. Penanggulangan Pengangguran Fokus dari prioritas tersebut adalah penurunan angka pengangguran perkotaan melalui pelatihan dan pemagangan tenaga kerja usia muda terdidik dan pengembangan informasi pasar kerja. 9. Pengembangan Industri, Jasa dan Perdagangan Fokus dari prioritas tersebut adalah pemberdayaan usaha mikro dan kecil melalui peningkatan akses terhadap permodalan. 10. Pengembangan Pertanian dan Perikanan Fokus dan prioritas tersebut adalah pengembangan pertanian dan perikanan perkotaan. 11. Penanganan Bencana Situ Gintung a. Penempatan kembali (resettlement) para pengungsi b. Penetapan kebijakan terkait perencanaan tata ruang kawasan situ c. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan pasca Situ Gintung d. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan pasca Situ Gintung e. Perbaikan infrastruktur jalan pasca Situ Gintung Pada era otonomi daerah sekarang ini, maka setiap daerah dipacu untuk bisa membiayai keperluan dan urusan rumah tangga daerahnya, hal ini sebagai konsekwensi dari adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya. Dengan demikian mengharuskan setiap daerah bisa mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan di daerahnya dalam rangka otonomi daerah. Otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan yang menarik sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia.
91
Tabel 4 Realisasi Alokasi Anggaran dalam APBD 2010 dan 2011 di Kota Tangerang Selatan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
ALOKASI ANGGARAN KE SKPD Dinas pendidikan Dinas kesehatan RSUD PU Pemadam Kebakaran Dinas Tata Kota Bapeda Dinas Perhubungan Badan Lingkungan Hidup DKPP Disdukcapil Dinas Sosial, Tenaga Kerja & Transmigrasi Dinas Koperasi & UMKN Kantor Kebudayaan & pariwisata Dinas Pemuda & Olah raga Kesbangpol Satpol PP DPRD Walikota & wakil Walikota Sekda Sekwan Inspektorat DPPKAD BP2T BKD BPMPKB KANTOR ARSIP DINAS PERTANIAN DISPERINDAG PERPUSTAKAAN
Tahun 2010
243,337,242,687.00 343,612,783,103.00 89,311,762,970.55 104,250,513,655.00 0.0 7,505,579,482.75 77,248,106,092.72 151,718,839,037.00 3,171,848,724.70 10,218,092,961.88 24,200,616,966.88 62,229,956,692.13 11,023,725,833.00 16,526,163,447.00 8,937,832,411.00 18,521,769,773.00 5,983,711,008.00 13.018,764,686.63 24,359,846,984.33 50,203,195,384.00 9,403,489,408.43 10,299,338,205.63 4,939,341,515.23 8,182,913,949.00 6,365,628,815.80 298,330,750.00
8,243,122,274.38 4,561,581,067.48
8,432,123,850.75 11,631,272,571.13 5,487,501,635.58 8,819,380,146.25 7,261,501,323.53 9,875,451,337.66 8,199,670,846.00 11,243,702,528.00 585,133,833.68 784,395,074.85 40,715,390,296.55 75,013,443,121.51 29,646,708,850.83 48,485,384,377.47 6,653,727,872.00 10,031,452,941.47 120,541,765,620.60 152,562,164,459.00 11,021,219,160.12 12,930,025,708.00 32,309,665,116.50 30,023,625,495.38 5,346,373,180.00 9,966,808,544.81 1,320,691.751.93 4,458,137,778.63 6,286,538,590.68 12,189,769,678.00 5,863,218,680.90 8,359,820,706.77 0 3,700,000,000.00
Sumber : Ringkasan APBD Tahun Anggaran 2010 dan 2011
92
2011
Dikaitkan dengan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan pembangunan daerah harus mengutamakan usaha-usaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga untuk membiayai urusan rumah tangganya diperlukan sumber-sumber pendapatan daerah terutama pajak daerah, dan dalam kondisi yang demikian tersebut membawa paradigma yang baru dalam pembangunan ekonomi daerah dengan timbulnya orientasi pembangunan daerah untuk pendapatan asli daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah Kabupaten/Kota oleh pusat memberikan kesempatan yang besar bagi pemerintah daerah untuk memperbesar peranan dan kemampuannya dalam pelaksanaan pembangunan daerah yaitu dengan pengembangan potensi ekonomi melalui penggunaan sumber daya dan sektor-sektor strategis yang dimilikinya, sehingga penerapan pola pembangunan ekonomi daerah sebagai dasar kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya yang ada harus menjadi landasan utama bagi daerah dalam bertindak. Pelaksanaan pemungutan pajak daerah di dalam menunjang pembangunan daerah di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten yang mempunyai fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan bidang ekonomi dan disamping itu mempunyai fungsi budgeter yang letaknya di sektor publik dan disini pajak dan retribusi merupakan alat (suatu sumber) untuk memasukan ke kas negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. Jadi dengan demikian pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah yang dialokasikan daerah untuk membiayai pembangunan, sehingga dengan demikian pemerintah daerah harus mempunyai hak atas penerimaan pajak daerah. Jadi dengan demikian peranan pajak daerah terhadap pembangunan daerah sangat penting antara lain digunakan : untuk membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan masyarakat. Contohnya : pembangunan jalan, pembangunan rumah sakit, puskesmas, dll yang di sesuaikan dengan Rencana Jangka Pendek, Menengah dan Panjang sesuai dengan visi dan misi daerah masing-masing.
93
Sebelum menguraikan dan mengungkapkan serta menganalisis data yang diperoleh melalaui penelitian, terlebih dahulu diketengahkan hubungan antara konsep teori dan analisis penelitian untuk permasalahan nomor 2 sebagaimana tempak pada tabel berikut ini. Tabel 5 Hubungan Teori dan Analisis Penelitian Untuk Permasalahan Nomor 2 Rumusan Data Penelitian Permasalahan - Data Bagaimana Pendapatan Peranan Pajak Asli Daerah Daerah dalam terhadap Menunjang APBD Otonomi Daerah - Data hasil Penerimaan Pajak Daerah.
Persoalan Potensial Peningkatan Pajak Daerah secara signifikan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Teori yang digunakan Teori Fungsi Pajak (Wirayan,2010,hal 12) Teori Evsey Domar & Roy Harrod ( Arief Budiman 1995, hal 18-19). Konsederan UU No.28 Thn 2009
Dari Tabel 5 dapat dijelaskan bagaimana peranan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Kota Tangerang Selatan. Bila dianalisis dengan menggunakan teori fungsi pajak oleh Miyasto, tentang fungsi budgeter adalah sebagai salah satu sumber penerimaan negara untuk membiaya pembangunan, teori Evsey Domar dan Roy Harrod yang menyatakan bahwa masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah penambahan investasi modal, dan bunyi konsederan UU No.28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, maka dapat disimpulkan bahwa betapa berperannya Pajak Daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah khususnya di Daerah Kota Tangerang Selatan.
94
4.7
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah Kendala-kendala yang selalu timbul dalam suatu sistem perpajakan adalah
bagaimana menciptakan sistem yang dapat menghasilkan suatu pengertian yang baik antara masyarakat sebagai pembayar pajak dan pemerintah selaku pembuat peraturan dan undang-undang perpajakan. Pemerintah selaku fiskus pajak merencanakan dan menggodok undangundang perpajakan atas dasar dan prinsip perpajakan yang seadil-adilnya, yang memliki nilai dan manfaat bagi masyarakat maupun bagi negara itu sendiri. Dalam melaksanakan tugasnya selaku perancang dan pembuat undang-undang perpajakan, pemerintah harus membuat peraturan itu sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti. Jika produk peraturan yang dibuat sulit dimengerti oleh masyarakat, otomatis akan timbul suatu bentuk perlawanan pajak, yang cara, bentuk dan dalihnya bisa bermacam-macam. Secara umum masalah dan kendala dalam rangka pemungutan pajak daerah antara lain : 1.
Kurang tersedianya aparat pemungut yang terlatih
2.
Belum optimalnya pemungutan yang sesuai dengan potensi sebagaimana telah direncanakan
3.
Kurangnya sosialisasi peraturan daerah yang mengatur tentang pajak dan retribusi kepada wajib pajak / retribusi
4.
Koordinasi yang belum optimal diantara masing-masing SKPD dan antara SKPD dengan pihak eksternal Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Selain beberapa alasan tersebut, responden memberikan alasan hambatan dan kendala terkait dengan pemungutan pajak di Kota Tangerang Selatan. Berikut kutipan dari responden perihal tersebut ; ″Pasti ada, karena kita daerah baru, kendala terkait Sumber Daya Manusiannya maupun sistem dan mekanismenya selama ini kita
95
tingkatkan perbaikan-perbaikan dan bagaimana kita mempertahankan yang sudah baik untuk lebih baik lagi dan kita memperbaiki yang kemaren belum sempurna″ (responden : Walikota Tangerang Selatan) Sedangkan pihak pemilik/pengelola restoran yang menjadi responden mengemukakan hambatan yang terkait dengan pemungutan pajak. Berikut kutipannya: “Kita mendukung upaya peningkatan pajak restoran yang memungkinkan pajak dibayar konsumen masuk ke kas daerah, tetapi perlu dilakukan sosialisasi untuk mengingatkan kami akan kewajibatan memberikan laporan pajak.” (responden: Budi Darmawan, Pemilik Restoran Sari Kuring) ’’Jumlah pajak haruslah sesuai keadaan sebenarnya, yang sebelumnya telah ditelaah tim pendataan pajak ke restoran untuk mengetahui jumlah omzet per harinya. Nah, dari jumlah tersebut diambil 10 persen pendapatannya sebagai pajak.” (responden: Valentina Yosephine, PT Nuansa Timur Lestari / Kopi Tiam) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi Perda Pajak Daerah ke dalam kategori Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threaths sebagai dasar untuk menentukan tujuan, sasaran dan strategi mencapainya. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi faktorfaktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan serta faktor-faktor yang merupakan peluang dan ancaman, dan selanjutnya dilakukan pencocokan dengan menggunakan Matriks SWOT.31 Langkah-langkah dalam membuat matriks SWOT adalah sebagai berikut: Membuat daftar peluang eksternal Membuat daftar ancaman eksternal Membuat daftar kekuatan internal Membuat daftar kelemahan internal Mencocokkan kekuatan internal dan peluang eksternal dan mencatat hasil dalam strategi SO Mencocokkan kelemahan internal dan peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi WO. Mencocokkan kekuatan internal dan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi ST Mencocokkan kelemahan internal dan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi WT. 31
JPG, Sianipar dan M. Endang, “Teknik-teknik Analisis Manajemen”, LAN. 2003
96
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis matrik SWOT. Matriks SWOT adalah alat yang dipakai untuk menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Secara ringkas Matriks SWOT dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 6 Matriks SWOT Faktor Internal Strength (S) Weaknesses (W Faktor Eskternal Opportunities (O) STRATEGI (SO) STRATEGI (WO) Gunakan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan memanfatkan peluang. untuk memanfatkan peluang. Threaths (T) STRATEGI (ST) STRATEGI (WT) Gunakan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan mengatasi ancaman. dan menghindari ancaman.
Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya pendapatan dari pajak daerah. Untuk mencapai sasaran dimaksud, perlu dipertimbangkan 2 (dua) faktor, yaitu faktor pendorong dan faktor penghambat, yang berasal dari dalam lingkungan kerja sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal). Faktor pendorong internal disebut sebagai kekuatan (strength) sedangkan yang dari luar disebut peluang (opportunity). Faktor penghambat pun ada dua, yang berasal dari dalam disebut kelemahan (weaknesses) dan yang berasal dari luar disebut ancaman (tkreath). Adapun 1) Identifikasi faktor pendorong Kekuatan (Strengths) •
Adanya Perda tentang Pajak Daerah
•
Tingginya motivasi pegawai
•
Tersedianya dana operasional
Peluang (Opportunites) •
Dukungan dari Dinas terkait
•
Adanya kerjasama dengan wajib pajak
•
Potensi wajib pajak cukup tinggi
97
2) Identifikasi Faktor Penghambat Kelemahan (Weaknesses) •
Kurang jumlah petugas pelayanan pajak
•
Kurangnya sarana transportasi
Ancaman (Threats) •
Jangkauan daerah yang luas.
•
Kesadaran wajib pajak masih rendah
•
Wajib pajak kurang pengetahuan tentang Perda pajak Daerah
3) Analisa Faktor Pendorong a) Adanya Perda tentang Pajak Daerah Adanya kepastian hukum yang mengikat untuk menegakan / menetapkan besarnya pajak daerah sesuai dengan yang telah ditentukan; b) Tingginya motivasi pegawai Dapat meningkatkan kinerja yang optimal dalam upaya pencapaian sasaran. c) Tersedianya dana operasional Menunjang dalam pelaksanaan tugas untuk operasional kegiatan. d) Dukungan dari Dinas terkait Dukungan dari Instansi terkait akan memudahkan potensi data dapat segera diperoleh yang merupakan dasar dari ketepatan pajak. e) Adanya kerjasama dengan wajib pajak Adanya kerjasama dengan wajib pajak akan memperlancar pembayaran pajak daerah tepat waktu dan mendorong wajib pajak berpartisipasi dalam meningkatkan PAD. f) Potensi wajib pajak cukup tinggi Adanya beberapa sumber potensi pajak yang masih/belum tergali dan perluasan dunia
usaha khususnya sektor perdagangan, hotel dan
restoran. 4) Analisis Faktor Penghambat a) Kurangnya pengawasan Adanya peluang untuk penyimpangan yang dilakukan oleh aparat;
98
b) Kurang jumlah petugas pelayanan pajak Kurangnya jumlah petugas pelayanan pajak
akan
menghambat
penagihan terhadap wajib pajak. c) Kurangnya sarana transportasi Kurangnya sarana transportasi akan menghambat kelancaran pelaksanaan tugas. d) Tingkat kesadaran masyarakat masih rendah Kurangnya kesadaran masyarakat akan menghambat kepada penerimaan dari pajak daerah. e) Wajib pajak kurang pengetahuan tentang pajak Kurangnya pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pajak akan menghambat kepada tingkat akurasi data yang dikelola oleh petugas pajak. Dari Identifikasi Masalah dan Potensi, dimana untuk faktor pendorong dipilih 3 (tiga) kekuatan kunci sebagai berikut: D1. Adanya perda tentang pajak daerah. D2. Adanya kerjasama dengan wajib pajak. D3. Tersedianya dana operasional. Sedangkan untuk faktor penghambat dipilih dua (dua) kekuatan kunci yaitu sebagai berikut: H1. Kurangnya sarana transportasi. H2. Kurangnya jumlah petugas pelayanan pajak. H3. Wajib pajak kurang pengetahuan tentang pajak daerah. Berikut ini akan ditetapkan strategi yang mendorong atau memacu kekuatan pendorong dan mengurangi sedini mungkin faktor-faktor penghambat atau kekuatan penghambat. Kunci dan strategi atau ide-ide kekuatan yang akan dilaksanakan tertuang dalam tabel berikut ini.
99
Tabel 7 Ide-ide Strategi No. 1.
Kode. D1
2.
D2
3.
D3
4.
H1
5.
H2
6.
H3
Kekuatan Kunci Adanya perda tentang pajak daerah Adanya kerjasama dengan wajib pajak Tersedianya dana operasional Kurangnya Sarana Transportasi Kurangnya jumlah petugas pelayanan pajak Wajib pajak kurang pengetahuan tentang pajak daerah
Strategi Manfaatkan perda tersebut sebagai panduan Optimalkan kerjasama dengan wajib pajak Gunakan seefisien dan seefektif mungkin Tingkatkan pengadaan sarana transportasi Adanya penambahan petugas pelayanan pajak Adanya penyuluhan tentang pajak daerah
Dari hasil analisa yang telah dilakukan beberapa rekomendasi dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Kerjasama dengan beberapa perbankan setempat untuk mendekatkan lokasi pembayaran dan memudahkan masyarakat dalam membayar pajak. 2. Melakukan sosialisasi Perda Pajak secara intensif, terjadwal dan kontinyu kepada masyarakat. 3. Mengoptimalkan unit-unit pelayanan pajak yang ada di setiap Kecamatan. 4. Diupayakan untuk memenuhi sarana transportasi bagi petugas income pajak di kecamatan Mengamati secara umum tentang pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat diprediksikan dan diungkapkan melalui pemikiran secara universal32 Tentang tarif pemungutan pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tarif sebagai berikut : 32
UU No.28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
100
f.
Pajak Hotel;
max 10 %
g.
Pajak Restoran;
max 10 %
h.
Pajak Hiburan;
max 75 %
i.
Pajak Reklame;
max 25 %
j.
Pajak Penerangan Jalan;
max 10 %
k.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
max 25 %
l.
Pajak Parkir;
max 30 %
m. Pajak Air Tanah;
max 20 %
n.
Pajak Sarang Burung Walet;
max 10 %
o.
Pajak Bumi dan Bangunan (Pds & Pkt);
max 0,3 %
p.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
max 5 %
Tentang tarif pemungutan pajak daerah berdasarkan Peraturn Daerah nomor 7 tahun 2010, tentang Pajak Daerah sebagai berikut : a.
Pajak Hotel;
10 %
b.
Pajak Restoran;
10 %
c.
Pajak Hiburan dirinci sebagai berikut; 1.
tontonan Filme
15%
2.
Pagelaran kesenian 10 % dan Pagelaran Busana
15%
3.
Kontes kecantikan, binaraga
15%
4.
Pameran
15%
5.
Permainan bilyar, pacuan kuda, Kendaraan bermotor 20%
6.
Bowling
25%
7.
Sirkus
15%
8.
Karaoke
30%
9.
Diskotik
35%
10. Golf
25%
11. Permainan Ketangkasan
25%
12. Panti Pinjat dengan fasitlitas Mandi Uap
30%
13. Panti Pinjat tanpa fasitlitas Mandi Uap
20%
101
c.
Pajak Reklame;
25 %
d.
Pajak Penerangan Jalan; 1.
untuk umum
3%
2.
untuk industri
2%
3.
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri
1%
f.
Pajak Parkir;
25 %
g.
Pajak Air Tanah;
20 %
h.
Pajak Sarang Burung Walet;
10 %
i.
Pajak Bumi dan Bangunan
Untuk NJOP sampai dengan 1 milyar
0,1%
Untuk NJOP diatsa 1 milyar
0,2%
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
5%
3. Tentang tanggung jawab (accountability) pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan pajak daerah. Pajak daerah dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), atau dokumen lain yang dipersamakan. Untuk melakukan pembayaran pajak daerah menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), pembayaran dilakukan pada Kantor Pos atau Bank Persepsi. Jika wajib pajak tidak membayar akan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD.33 Disisi
lain
hambatan-hambatan
terhadap
pemungutan
pajak
dapat
dikelompokkan menjadi34 : 1. Perlawanan pasif. Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain : a.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat;
b.
Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat;
c.
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
33
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Bandung, Edisi 5, 2011 hal 143. Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005, hal. 39 34
102
2. Perlawanan aktif. Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain : a.
Tax avoidance, usaha meringkan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
b.
Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
Sebelum menguraikan dan mengungkapkan serta menganalisis data yang diperoleh melalui penelitian, terlebih dahulu diketengahkan hubungan antara konsep teori dan analisis penelitian mengenai permasalahan nomor 3 sebagaimana tampak pada tabel dibawah ini : Tabel 8 Hubungan Teori dan Analisis Penelitian Mengenai Permasalahan Nomor 3 Rumusan Permasalahan Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah
Data Penelitian
Terdapat beberapa faktor kendala teknis dalam bentuk : kesiapan (kuantitatif/ kualitatif) para fiskus, dokumentasi tentang obyek dan subjek pajak, sarana dan prasarana pendukung, persoalan internal obyek pajak (kesadaran, kesiapan, waktu yang tepat), kondisi geografis dll Sumber: Data Penelitian Diolah
Persoalan Potensial Tentang sanksi, penyesuaian tarif dan kinerja aparat birokrasi yang lemah
Teori yang Digunakan Teori hukum kodrat Thomas Aquinas. 35
Dari tabel di atas dapat dijelaskan permasalahan tentang faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah di Kota Tagerang Selatan Barat. Ditemukan sesuai dengan data penelitian dimana terdapat beberapa faktor kendala teknis dalam bentuk kesiapan (kuantitatif/ 35
Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 51.
103
kualitatif) para fiskus, dokumentasi tentang subjek dan obyek pajak,sarana dan prasarana pendukung, persoalan internal obyek pajak (kesadaran, kesiapan waktu yang tepat) Bila dianalisis dengan menggunakan teori hukum kodrat (dalam Andrea Ata Ujan, 2009): diketahui bahwa terdapat persoalan potensial mengenai sanksi, penyesuaian tarif dan kinerja aparat birokrasi yang lemah. Berikut petikan wawancara dengan Bpk. Drs. Uus Kusnadi, M.Si, Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan, ″Tangerang Selatan ini merupakan daerah yang baru terutama dari aspek Sumber Daya. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tapi intinya kami dari jajaran aparat pemungut pajak kami memncoba menerapkan reward and punishment yang jelas sehingga produktifitasnya mereka terukur,, dan minimal moralitas dan mentalitas mereka terjaga dengan pengawasan internal yang cukup handal″ (responden : Kepala Dinas DPPKAD ) Sedangkan petikan wawancara dari pelaku usaha yaitu Ibu Catherine, pemilik PT. Sejahtera Nusa Jaya, Bandar Jakarta sebagai berikut: “Diperlukan suatu peninjauan kembali atas kebijakan penentuan batas minimum penghasilan restoran yang di kenakan pajak. Pemerintah Tangerang Selatan juga tidak perlu terburu-buru untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, karena hal ini semestinya diawali dulu dengan penyelenggaraan program-program pemerintah daerah yang dapat berdampak pada peningkatan kompetensi pengelolaan usaha, setelah itu mendata potensi secara akurat, kemudian menginventarisir dampak yang mungkin muncul atas kebijakan tersebut. Setelah proses tersebut dilakukan, barulah PERDA dapat ditetapkan, agar dapat diterima semua pihak secara lapang hati, bukan karena keterpaksaaan, sebagai akibat dari ketidakberdayaan. (responden : Pemilik Bandar Jakarta) Selain itu kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah daerah khususnya DPPKAD Kota Tangerang Selatan dalam melakukan pemungutan pajak daerah yang secara teknis dapat diungkap antara lain: 1. Tentang sanksi, sering terdapat kendala untuk menerapkan sanksi pada wajib pajak yang sekarang hanya dilakukan dengan menyampaikan surat teguran / peringatan saja.
104
2. penyesuaian tarif, yang kadangkala membingungkan masyarakat sebagai wajib pajak yang tidak pernah diberitahu sebelumnya tentang penyesuaian tarif. 3. Tentang pengesahan Peraturan Daerah Kota / Kab, yang semula dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang telah diubah
dengan
Undang-Undang
Nomor
34
Tahun
2000,
pengesahannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan yang notabene pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan rentang birokrasi yang semakin panjang dan pengendalian/pengawasan menjadi semakin lemah. Disamping itu pemerintah
provinsi
tidak
dapat
lagi
melakukan
pembinaan,
pengawasan serta pengendalian secara intensif terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kabupaten/kota, karena pada hakekatnya pembinaan telah dilakukan atau diambil oleh Pemeintah Pusat, sehingga dimungkinkan sangat lemah pengawasannya, karena terlalu banyak jumlah kota/kota di Indonesia. 4. Kurangnya kesadaran wajib pajak daerah 5. Kemampuan dan keterampilan pegawai yang belum merata. 6. Pengolahan data yang belum tertata secara baik. 7. Pemahaman pegawai terhadap tata kerja dan prosedur belum merata. 8. Jabatan struktural sebagian belum terisi. Adapun usaha-usaha dalam rangka mengatasi atau paling tidak mengurangi hambatan-hambatan sebagaimana tersebut diatas perlu dilakukan langkah-langkah antisipatif sebagai berikut : 1.
Meningkatkan kesadaran wajib pajak dengan memberikan informasi
105
yang seluas-luasnya kepada masyarakat melalui berbagai media antara lain spanduk, dan papan himbauan serta koran lokal. 2.
Mengupayakan peningkatan kompetensi SDM aparatur.
3.
Melakukan pendataan baik pajak daerah serta membantu pendataan PBB.
4.
Memelihara database pajak daerah..
5.
Melakukan monitoring dan pengawasan serta penagihan kepada wajib pajak baik pajak daerah maupun retribusi daerah serta pajak PBB.
6.
Memantapkan koordinasi dan konsultasi baik sesama unit kerja perangkat daerah maupun dengan pemerintah provinsi.
7.
Mengupayakan pemenuhan sarana mobilitas.
8.
Mengupayakan revisi/perubahan terhadap perangkat hukum yang melandasi
berbagai
pungutan
daerah
yang
telah
ada
dan
mengupayakan adanya pungutan daerah yang baru. Menanggapi kendala diatas apabila dihubungkan dengan usaha Pemerintah Daerah Kota Tagerang Selatan untuk melakukan sosialisasi dalam rangka meningkatkan kesadaran wajib pajak tentunya hal tersebut tidak terlepas dari masalah komunikasi, sehingga perlu menyampaikan peraturan hukum kepada rakyat atas pertimbangan moralitas. Adalah suatu sikap yang tidak bermoral apabila rakyat dituntut untuk patuh kepada hukum yang isinya tak diketahui olehnya. Dengan demikian apa yang telah dikemukakan oleh Drs. Uus Kusnadi, M.Si, tidak semata-mata hanya dalam rangka untuk memenuhi target yang telah ditetapkan pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah namun tentunya harus dibarangi dengan timbal balik pemerintah daerah dalam rangka memberikan pelayanan dan kepuasan serta kenyamanan kepada masyarakat pengguna jasa.
106
4.8.
Realisasi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD
Pendapatan Asli Daerah memiliki kecenderungan yang meningkat dengan menurunnya Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah yang meningkat tidak terlalu signifikan, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 9 Komposisi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 dan 2011 Tahun 2010 10,366,185,000.00 13.87%
Tahun 2011 307,176,100,000.00
PAD 23.51% Dana 458,282,516,311.75 57.61% 649,407,222,809.00 46.51% Perimbangan Lain-lain Pendapatan 226,790,716,257.00 28.52% 347,614,480,065.00 29.98% yang Sah APBD 695,439,417,568.75 100.00% 1,304,197,802,874.00 100.00% Sumber Data : DPPKAD Kota Tangerang Selatan, Data diolah
Kalau diperhatikan hasil yang digambarkan pada Tabel di atas terlihat bahwa hasil penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2010 ke 2011 terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Ini membuktikan bahwa dengan adanya Perda Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan, Pendapatan Asli Daerah yang bersumber dari Pajak merupakan penyumbang terbesar. Berikut petikan wawancara salah satu responden tentang Pendapatan Asli Daerah: ″……Trend Pendapatan Asli Daerah dari pajak juga semakin meningkat. Terget kita kemarin khususnya di pajak restoran, target kita 50 milyar ternyata kita lebih daripada 50 milyar.ini sangat baik dan positif . Sehingga perda pajak ini sangat bermanfaat bagi kami Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Sebagai bahan acuan bagi kami untuk melaksanakan sesuai dengan ketentuan″.
107
4.9
Objek Pajak terhadap Realisasi Pajak Daerah Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Pajak Daerah memiliki kontribusi yang paling besar diantara keempat
komponen pendapatan asli daerah. Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah selalu mengalami peningkatan siginikan dari tahun 2010 ke tahun 2011, hal ini dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 10 Komposisi Objek Pajak terhadap Realisasi Pajak Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 dan 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Objek Pajak Realisasi 2010 Realisasi 2011 Pertumbuhan Pajak Hotel 2.236.123.883 2.337.900.555 5% Pajak Restoran 36.674.448.481 50.103.065.338 37% Pajak Hiburan 3.978.251.737 7.038.435.710 77% Pajak Reklame 4.518.158.568 5.664.735.300 25% Pajak Penerangan 39.408.169.823 49.444.000.000 25% Jalan Pajak Parkir 3.168.079.000 4.367.307.274 38% Pajak Air Tanah 0 1.696.958.740 100% BPHTB 0 210.756.818.979 100%
Sumber Data : DPPKAD Kota Tangerang Selatan, Data diolah Tabel 10 di atas dapat dianalisis bahwa terlihat peningkatan penerimaan yang segnifikan dari tahun ke tahun dari target yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Pejabat DPPKAD Kota Tangerang Selatan peningkatan tersebut disebabkan Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah mengimplementasikan Perda Pajak Daerah antara lain Pajak Restoran dan Pajak Hiburan yang pertumbuhannya sangat tinggi.
108
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
maka sebagai jawaban dari tujuan penelitian dalam tesis ini disimpulkan bahwa ″Implementasi Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah dalam Menunjang Otonomi Daerah″ Secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Pertama secara umum Perda tentang Pajak Daerah telah memenuhi kriteria pembuatan peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan yaitu: azas kejelasan tujuan; azas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; azas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; azas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; azas dapat dilaksanakan; azas kedayagunaan dan kehasilgunaan; azas kejelasan rumusan; dan azas keterbukaan. Tetapi ada catatan yang perlu diperhatikan, hasil kajian dan telaah proses pembuatan Perda yang dihimpun dari beberapa responden, dapat disimpulkan bahwa Perda Pajak Kota Tangerang Selatan masih ada yang belum memenuhi salah satu asas pembuatan peraturan daerah yaitu azas keterbukaan. Walaupun demikian secara umum Perda Pajak Daerah Kota Tangerang Selatan dapat dipergunakan sebagai dasar hukum dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang Selatan terutama dalam melakukan pengelolaan sumber-sumber pendapatan sektor pajak.
2.
Kedua Secara umum Pelaksanaan Perda No 7 tahun 2010 tentang Pajak Daerah Kota Tangerang Selatan, sudah dilaksanakan oleh instansi terkait, yaitu Dinas Pendapatan Pengelolaan dan Aset Daerah (DPPKAD) yang mana telah menghasilkan pungutan pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada tahun 2010 sebesar 17%, dan meningkat pada 109
tahun 2011 menjadi 24% dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan. Namun demikian jika ditelaah lebih dalam maka perda pajak tersebut belum sepenuhnya efektif dikarenakan kurang jumlah petugas pelayanan pajak, kurangnya sarana transportasi, jangkauan daerah yang luas, kesadaran wajib pajak masih rendah, wajib pajak kurang pengetahuan tentang Perda pajak Daerah. Seharusnya setelah adanya Perda No. 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, pendapatan dari sektor pajak daerah masih dapat ditingkatkan secara optimal sesuai dengan potensi pajak daerah di Tangerang Selatan. Adapun hasil dari pungutan pajak tersebut untuk
menunjang
otonomi
daerah,
dalam
rangka
membiayai
penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah antara lain dipergunakan untuk Penyelenggaraan Pemilihan Kepala pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan tahun 2010, Peningkatan Kualitas Infrastruktur
Dasar,
Peningkatan
pelayanan
prasarana
perkotaan
(membangun Jalan yang rusak, melebarkan jalan alternatif, untuk mengatasi kemacetan), Pengelolaan lingkungan hidup, Penataan ruang, Penataan permukiman perkotaan Pengendalian banjir, Peningkatan kualitas sarana pendidikan (memperbaiki ruang kelas yang rusak, menambah fasilitas laboratorium di sekolah-sekolah), Peningkatan kualitas sarana kesehatan (membangun rumah sakit umum daerah di Pamulang, membangun puskesmas ditingkat kecamatan), peningkatan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan. 3.
Ketiga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutan pada pajak daerah di Kota Tangerang Selatan pertama kurang tersedianya aparat pemungut yang terlatih, belum optimalnya pemungutan yang sesuai dengan potensi pajak sebagaimana telah direncanakan, kurangnya sosialisasi peraturan daerah yang mengatur tentang pajak kepada wajib pajak, koordinasi yang belum optimal diantara masing-masing SKPD dan antara SKPD dengan pihak eksternal Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Kedua kurangnya kesadaran wajib pajak daerah, Kemampuan dan keterampilan
110
pegawai yang belum merata. Pengolahan data yang belum tertata secara baik/Pemetaan wilayah (mapping) tentang potensi pajak. Pemahaman pegawai terhadap tata kerja dan prosedur belum merata. Jabatan struktural sebagian belum terisi. 5.2
Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, ada beberapa saran untuk dijadikan
bahan pertimbangan dalam rangka optimalisasi implementasi Perda Pajak daerah di Kota Tangerang Selatan, saran-saran yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Dalam pembuatan Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang pajak daerah di Kota Tangerang Selatan masih kurang terakomodirnya salah satu asas pembuatan peraturan perundangan–undangan yaitu asas keterbukaan. Bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai
kesempatan
yang
seluas-luasnya
untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Kekuatan hukum yang menjamin keterlibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik adalah Undang-Undang No 12 Tahun 2011 pasal 5 huruf g, yaitu asas keterbukaan. Begitu juga pasal 96 Undangundang No 12 tahun 2011 menegaskan Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun Masukan tersebut boleh secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui, rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi; dan/atau,
seminar, lokakarya, dan/atau
diskusi. Sementara itu, pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 pasal 139 disebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Dengan kata lain, keterlibatan rakyat untuk bisa terlibat dalam pembuatan
111
perundang-undangan dijamin oleh hukum. Tahap Pertama Ketika usulan sudah masuk dalam program legislasi, rakyat harus mengawal pembahasan dan memastikan poin-poin penting yang diatur dalam peraturan sesuai dengan usulan. Proses pembahasan peraturan merupakan proses politik sehingga seringkali terjadi tarik-ulur, tawar-menawar, negosiasi, dan lobi dari pelbagai pihak yang berkepentingan terhadap peraturan yang disusun. Rakyat harus mampu mengidentifikasi, memetakan, dan menjalin komunikasi yang intensif dengan para pengambil keputusan supaya usulannya ditetapkan sebagai peraturan. Tahap Kedua, setelah peraturan disahkan dan dicatat dalam daerah, rakyat dapat terlibat dalam menyebarluaskan atau mensosialisasikan peraturan tersebut ke publik, baik melalui seminar, publikasi, maupun pelatihan. 2. Agar Implementasi Perda Nomor 7 Tahun 2010 Pajak Daerah Kota Tangerang efektif perlu adanya sosialisasi berkesinambungan yang dilakukan sehingga masyarakat mengetahui tentang isi perda pajak serta meningkatan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam menunjang pemungutan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan. Adapun kontribusi hasil pajak daerah Kota Tangerang Selatan pada umumnya untuk pembangunan daerah, namun demikian hasil penelitian saya, pemerintah daerah dalam penganggaran masih ada kekurangan, yang seharusnya pembiayaan sektor mikro yang berdampak kepada masyarakat belum banyak tersentuh dengan baik sehingga anggaran tersebut masih pilih kasih terhadap dinas-dinas yang diangap besar. Seyogyanya dalam penganggaran harus bertumpu terhadap kinerja atau anggaran berbasis kinerja. Sedangkan yang dimaksud anggaran berbasis kinerja adalah: yang pertama menentukan indikator kinerja. Sedangkan Indikator Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta
112
digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan bermanfaat (berfungsi). Indikator kinerja meliputi: a. Masukan (Input) adalah sumber daya yang digunakan dalam suatu proses untuk menghasilkan keluaran yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya. Indikator masukan meliputi dana, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi lainnya yang diperlukan. b. Keluaran (Output) adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu dengan menggunakan masukan yang telah ditetapkan. Indikator keluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu aktivitas atau tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan baik dan terukur. c. Hasil (Outcome) adalah suatu keluaran yang dapat langsung digunakan atau hasil nyata dari suatu keluaran. Indikator hasil adalah sasaran program yang telah ditetapkan. d. Manfaat (Benefit) adalah nilai tambah dari suatu hasil yang manfaatnya akan nampak setelah beberapa waktu kemudian. Indikator manfaat menunjukkan hal-hal yang diharapkan dicapai bila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi secara optimal. e. Dampak (Impact) pengaruh atau akibat yang ditimbulkan oleh manfaat dari suatu kegiatan. Indikator dampak merupakan akumulasi dari beberapa manfaat yang terjadi, dampaknya baru terlihat setelah beberapa waktu kemudian. Kedua Evaluasi dan pengambilan keputusan terhadap pemilihan dan prioritas program. Kegiatan ini meliputi penyusunan peringkat-peringkat alternatif dan selanjutnya mengambil keputusan atas program/kegiatan yang dianggap menjadi prioritas.
113
3. Untuk mengatasi kendala-kendala adalah dengan meningkatkan motivasi pegawai agar dapat meningkatkan kinerja yang optimal dalam upaya pencapaian sasaran, tersedianya dana operasional yang cukup dalam menunjang pelaksanaan tugas untuk operasional kegiatan, adanya dukungan dari dinas terkait agar memudahkan potensi data dan dapat segera diperoleh yang merupakan dasar dari ketepatan pajak, adanya kerjasama dengan wajib pajak untuk memperlancar pembayaran pajak daerah tepat waktu dan mendorong wajib pajak berpartisipasi dalam meningkatkan PAD.
114
DAFTAR PUSTAKA Andrea, Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta: Kanisius, 2009. Arsyad, Lincolin, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE, Yogyakarta, 1999. Asshiddiqie, Jimly, Konsolidasi Naskah UUD1945 Setelah Perubahan Kedua, Pusat Studi Negara, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2002. Baswir, Revrisond, Politik Ekonomi Indonesia Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. Darwin, Pajak Daerah & Retribusi Daerah , Mitra Wacana Media, jakarta.Edisi Pertama, 2010. Devey sebagaimana dikutip oleh Kesit Bambang Prakosa, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UII Press, 2003. Djumhana, Muhammad, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1994, hal 41 Dunn, William N, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press, 2000. Guruh, Syahda, Menimbang Otonomi Vs Federal, PT. Remaja Rodakarya, Bandung. HR, Syaukani, Seminar Otonomi daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah (Jurnal Otda, Nomor 3,2001:10) Ilyas dan Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2010. Ismail, Tjip, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, 2007, hal. 73. Judisseno, K Rimsky. Pajak dan Strategi Bisnis Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005. Kebijakan Departemen Dalam Negeri di bidang Pendapatan dan Keuangan Daerah, Makalah Rapat Koordinasi Teknis Dirjen Umum Daerah, Jakarta, tanggal 23 Maret 2000 Malarangeng, Andi, dkk, Otonomi Daerah Prospektif, Teoritis dan Praktis, BIGRAF, Publishing, Yogyakarta, 2001. Manan, Bagir, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Undang Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
115
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000. Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press, 2008. Osborne, David & Ted Gabler, Mewirausahakan Birokrasi, PT Pustaka Binaman Presindo, Jakarta 1996. Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Soemitro, Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, 1994 Cet.VIII, Eresco, Jakarta-Bandung, 1977. Soemitro, Rochmat,Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco Bandung Hal 6. Soemitro, Rony Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, PT.Ghalia Indonesia Jakarta. Suandy, Erly, Hukum Pajak, PT. Salemba Empat, Bandung. 2011. Edisi-5. Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2008. Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang Dayaku, Yogyakarta, 2000. Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, 2000, Yogyakarta. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta 1999. Internet: TEMPO Interaktif, Senin, 17 Januari 2011 http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/10-08-16
116