BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai
suatu
usaha
atau
kegiatan
yang
melakukan proses atau aktifitas yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, sektor industri berkaitan erat dengan faktor-faktor lingkungan hidup. Perusahaan yang bergerak di sektor industri umumnya rentan menghadapi masalah sosial terutama aspek lingkungan.
Almilia dan Wijayanto
(2007), menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam serta proses produksi yang mau tidak mau menghasilkan
limbah
yang
dapat
mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Lehman (2000), menyatakan bahwa salah satu sektor industri yang rawan lingkungan dan memiliki karakteristik
yang
berdampak
penting
dan
besar
terhadap lingkungan adalah pertambangan.
Sebagai
contoh
operasi
misalnya,
pertambangan
skala
dampak besar
lingkungan seperti
PT
Freeport
Indonesia yang menyebabkan matinya Sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otomona, tumpukan batuan limbah tambang (tailing) yang jika ditotal mencapai 840.000 ton
dan
matinya
ekosistem
di
sekitar
lokasi 1
pertambangan
merupakan
fakta
kerusakan
dan
kematian lingkungan yang nilainya tidak akan dapat tergantikan (WALHI, 2011). kasus
PT
Newmont
Minning
menggunakan
teknologi
pembuangan
limbah
(submarine
tailing
Contoh lainnya adalah Corporation
berbahaya tambang
disposal)
di
laut,
yaitu
ke
laut
(tailing)
yang
yang
terbukti
telah
mengakibatkan pencemaran di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, oleh PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan pencemaran di Teluk Senunu, Sumbawa, oleh PT Newmont
Nusa
Tenggara
(NNT)
(Fatayatiningrum,
2011). Perusahaan-perusahaan
dalam
sektor
pertambangan merupakan perusahaan yang dianggap sebagai biang perusak lingkugan.
Citra negatif ini
tampaknya tidak berlebihan dengan melihat kenyataan yang
ada.
Wahana
Sebagai
Lingkungan
dasarnya, Hidup
berdasarkan
Indonesia
data
(WALHI),
menunjukkan sebanyak 36 perusahaan melakukan perusakan lingkungan sepanjang tahun 2012. perusak
lingkungan
tertinggi
adalah
Aktor
korporasi,
terutama di sektor pertambangan (Perkasa, 2013). Menurut Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA),
bahwa
banyak
korporasi
tambang
belum
memahami pentingnya program tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat atau lingkungan 2
sekitar, padahal selama ini bisnis pertambangan selalu dianggap perusak lingkungan (Rosalina, 2012). Permasalahan
lingkungan
hidup
menjadi
perhatian yang serius, baik oleh konsumen, investor, maupun pemerintah. Pada umumnya, para investor lebih tertarik pada perusahaan yang menerapkan manajemen lingkungan hidup yang baik dan tidak mengabaikan masalah pencemaran lingkungan (Ja`far dan
Arifah,
2006).
Kepentingan
bisnis
menunjukkan reputasi, kredibilitas, dan
yang
value added
bagi perusahaan di mata stakeholder menjadi dorongan perusahaan untuk melakukan environmental disclosure (pengungkapan lingkungan) di dalam annual report (Epstein dan Freedman, 1994). Environmental disclosure penting untuk dilakukan karena melalui pengungkapan lingkungan hidup pada laporan
tahunan
memantau
perusahaan,
aktivitas-aktivitas
masyarakat
yang
dilakukan
dapat oleh
perusahaan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosialnya (Brown dan Deegan, 1998). Dengan cara demikian,
perusahaan
akan
memperoleh
manfaat
positif yakni perhatian, kepercayaan dan dukungan dari masyarakat. Sun et al. (2010) menyatakan bahwa pengungkapan sukarela dalam annual report seperti corporate environmental disclosure dipandang perlu untuk
menunjukkan
kepada
stakeholders
akan 3
kesadaran perusahaan dari kepentingan yang lebih luas
dan
akuntabilitas
dengan
cara
berperilaku
tanggung jawab sosial. Kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan dan tanggung jawab sosial di Indonesia, telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas No 40 pasal 74 tahun 2007 yang
menjelaskan
menjalankan
bahwa
kegiatan
perusahaan
usaha
yang
dalam
berhubungan
dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam Pasal 66 ayat 2c UU No. 40 tahun 2007, dinyatakan bahwa semua perseroan
wajib
untuk
melaporkan
pelaksanaan
tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan.
Sementara itu, dalam Pernyataan Standar
Akuntansi
Keuangan
khususnya
pada
(PSAK)
paragraf
No.1
tahun
kesembilan
2009
dinyatakan
secara implisit yang menyarankan perusahaan untuk mengungkapkan
tanggung
jawab
akan
masalah
lingkungan dan sosial. Mencermati
kedua
peraturan
yang
mengatur
pelaksanaan dan pelaporan tanggung jawab lingkungan dan
sosial,
tampak
bahwa
masih
belum
ada
keseragaman terkait sifat pengungkapan laporannya apakah wajib atau sukarela.
Ketentuan dalam PSAK
tersebut tidak secara tegas mengharuskan perusahaan untuk melaporkan tanggungjawab lingkungan dan 4
sosial mereka. adalah
Akibat yang terjadi dalam praktiknya
perusahaan
hanya
dengan
sukarela
mengungkapnya. Menurut Anggraini (2006), bahwa perusahaan manfaat
akan
yang
mempertimbangkan
akan
diperoleh
biaya
ketika
dan
mereka
memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila
manfaat
yang
pengungkapan
akan
informasi
dibandingkan
biaya
diperoleh
tersebut
yang
dengan
lebih
dikeluarkan
besar untuk
mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut. Oleh karena kebijakan pengungkapan lingkungan bagi perusahaan di Indonesia masih bersifat sukarela, maka
didalam
praktiknya
masih
banyak
terjadi
variabilitas luasnya item-item yang diungkapkan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. penelitian
ini
faktor-faktor
yang
Dalam
diprediksikan
mempengaruhi pengungkapan lingkungan, khususnya pada perusahaan pertambangan diantaranya adalah karakteristik
good
corporate
governance,
ukuran
perusahaan, profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik. Good Corporate Governance
(GCG) merupakan
suatu sistem check and balance, baik yang berasal dari dalam
dan
luar
perusahaan,
yang
menjamin
perusahaan untuk melaksanakan pertanggungjawaban 5
kepada
semua
stakeholder
dan
bertindak
sesuai
dengan pertanggungjawaban sosial dimana perusahaan melakukan aktivitasnya (Solomon, 2007). Keberadaan dan
implementasi
manajerial
untuk
memastikan dalamnya
konsep
sistem adalah
GCG,
dapat
bertanggung
jawab
pengendalian, tanggung
memaksa
jawab
dalam
termasuk sosial
di dan
lingkungan (Said et al., 2009). Karakteristik GCG yang dipilih dalam penelitian ini meliputi dewan komisaris dan komite audit. Ukuran perusahaan adalah variabel yang paling banyak
digunakan
dan
diduga
mempengaruhi
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut
Suripto (1999)
bahwa perusahaan besar
umumnya memiliki aktiva
yang besar, penjualan
besar, skill karyawan yang baik, sistem informasi yang canggih,
jenis
produk
yang
banyak,
struktur
kepemilikan lengkap, sehingga membutuhkan tingkat pengungkapan yang lebih besar. Profitabilitas diprediksi sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Profitabilitas
menunjukan
kemampuan perusahaan memperoleh laba melalui penjualan, total aktiva dan ekuitas (modal sendiri). Semakin
tinggi
profitabilitas
maka semakin tinggi
efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan fasilitas 6
perusahaan (Sartono, 2001). Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial
dan
lingkungan
kepada
pemegang
saham
(Heinze, dalam Hackston & Milnem, 1996). Leverage menunjukkan tingkat ketergantungan perusahaan
terhadap
kegiatan operasinya.
hutang
dalam
Leverage
demikian mencerminkan
ini
tingkat
membiayai
juga
resiko
dengan keuangan
perusahaan (Sembiring, 2005). Sehubungan dengan kepemilikan saham publik, menurut Nur (2012) bahwa perusahaan go public dan telah
terdaftar
dalam
BEI
adalah
perusahaan-
perusahaan yang memiliki proporsi kepemilikan saham oleh publik, yang artinya bahwa semua aktivitas dan keadaan perusahaan harus dilaporkan dan diketahui oleh publik sebagai salah satu bagian pemegang saham. Akan tetapi tingkat kepemilikan sahamnya berbeda-beda satu sama lain. Keterkaitan diantara karakteristik good corporate governance, ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik terhadap pengungkapan lingkungan sebelumnya.
telah
dikaji
oleh
sejumlah
peneliti
Akhtaruddin et al. (2009) menemukan
bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap luas pengungkapan sukarela, 7
sedangkan Yulfaida dan Zhulaikha (2012) menemukan tidak ada pengaruh signifikan dari ukuran dewan komisaris terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Said et.al. (2009) menemukan bahwa ukuran komite
audit
pengungkapan
berpengaruh tanggung
jawab
positif
terhadap
sosial,
sedangkan
Setyawan dan Zhulaikha (2012) menemukan bahwa ukuran komite audit tidak berpengaruh terhadap corporate environmental disclosure. Galani et al (2011) menemukan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap pengungkapan lingkungan dalam
laporan
tahunan
perusahaan,
sedangkan
Fatayatiningrum (2011) menemukan bahwa ukuran perusahaan
tidak
mempunyai
pengaruh
terhadap
pengungkapan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan. bahwa
Fatayatiningrum
profitabilitas
(2011)
mempunyai
menemukan
pengaruh
positif
terhadap pengungkapan lingkungan dalam laporan tahunan
perusahaan,
sedangkan
Politon
dan
Rustiyaningsih (2013) menemukan bahwa profitabilitas tidak mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Effendi
dkk
perusahaan
(2012)
menyatakan
berpengaruh
bahwa
negatif
leverage terhadap
environmental disclosure, sedangkan Sembiring (2005) menemukan
bahwa
leverage
tidak
mempunyai 8
pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan.
menunjukkan
Penelitian
bahwa
Hasibuan
kepemilikan
saham
(2001) publik
berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan yang lebih
luas,
sementara
itu
temuan
Nur
(2012)
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan kepemilikan saham publik terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Ada beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di atas. Pertama, penelitian ini lebih difokuskan pada pengungkapan tema lingkungan oleh
perusahaan,
sementara
itu
pada
beberapa
penelitian sebelumnya di atas mengkaji pengungkapan tanggung jawab sosial yang mana didalamnya tidak saja
melihat
tema
lingkungan
pengungkapan lainnya.
tetapi
juga
tema
Kedua, penggunaan proksi
pengukuran variabel profitabilitas dan pengungkapan lingkungan
yang
berbeda
dengan
penelitian
sebelumnya di atas. Sebagai contoh, Fatayatiningrum (2011) menggunakan proxy Return On Asset
(ROA),
Politon dan Rustiyaningsih (2013) menggunakan proxy Net Profit Margin (NPM) untuk mengukur profitabilitas. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan proxy Return on Equity (ROE). Pengungkapan lingkungan pada penelitian sebelumnya seperti Fatayatiningrum (2011) serta Nur (2012) menggunakan indikator yang 9
dikembangkan oleh Global Reporting Initiative (GRI), sedangkan dalam penelitian ini menggunakan
indeks
social responsibility disclosure yang dikembangkan dari Hackson and Milne (1996); Deegan, Rankin and Tobin (2002); Branco, Eugénio and Ribeiro (2008); William and Pei (1999); dan Gray, et al (1995) seperti dikutip oleh
Eugenio
(2009).
Ketiga,
penelitian
ini
menggunakan objek penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya di atas, dimana dalam penelitian ini dipilih perusahaan dalam sektor pertambangan. Pemilihan sektor pertambangan selain karena sektor ini belum banyak dijadikan sebagai obyek kajian penelitian terutama mengenai pengungkapan lingkungannya, juga karena sektor ini dianggap sebagai penyebab terbesar kerusakan
lingkungan.
dinyatakan
oleh
Sedunia
Ali
terbesar
perusak
Ketua
Masykur
Hal Audit Musa
lingkungan
ini
sebagaimana
Lingkungan bahwa itu
Hidup
penyumbang
ada
di
sektor
pertambangan (Wahyudi, 2013). Berdasarkan
beberapa
temuan
penelitian
sebelumnya tersebut, tampak bahwa masih terdapat inkonsistensi karakteristik
temuan good
hasil
corporate
penelitian
diantara
governance,
ukuran
perusahaan, profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik terhadap pengungkapan lingkungan. Hal ini mendorong untuk perlu dilakukannya kembali 10
pengujian
faktor-faktor
penentu
pengungkapan
lingkungan dengan mengambil objek perusahaan sektor pertambangan yang listing di Bursa Efek Indonesia. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah terdapat pengaruh karakteristik good corporate
governance,
ukuran
perusahaan,
profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik secara parsial terhadap pengungkapan lingkungan
pada
perusahaan
sektor
pertambangan? 2. Faktor
manakah
corporate
diantara
governance,
karakteristik
ukuran
good
perusahaan,
profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik
yang
pengungkapan
paling
dominan
lingkungan
mempengaruhi
pada
perusahaan
sektor pertambangan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk
mengetahui
ada
tidaknya
pengaruh
karakteristik good corporate governance, ukuran perusahaan, kepemilikan
profitabilitas, saham
publik
leverage secara
dan parsial 11
terhadap
pengungkapan
lingkungan
pada
perusahaan sektor pertambangan. 2. Untuk mengetahui faktor diantara karakteristik good corporate governance, ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik
yang
paling
pengungkapan
dominan
lingkungan
mempengaruhi
pada
perusahaan
dapat
memberikan
sektor pertambangan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian manfaat
baik
ini
diharapkan
praktis
maupun
akademis
sebagai
berikut: 1. Manfaat Praktis a. Bagi
perusahaan
pertambangan,
hasil
penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan
mengenai
pengungkapan tahunan
lingkungan
serta
pentingnya dalam
laporan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, sehingga nantinya dapat dijadikan
pertimbangan
bagi
kebijakan
perusahaan
terkait
pembuatan tanggung
jawabnya terhadap lingkungan. b. Bagi calon investor, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai
informasi
dalam
mempertimbangkan keputusan investasinya 12
pada perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. 2. Manfaat Akademis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
akuntansi
lingkungan
mengenai
faktor-faktor
pengungkapan
lingkungan
terutama penentu
oleh
sebuah
perusahaan. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang tertarik untuk
melakukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai pengungkapan lingkungan.
13