BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Fenomena menarik yang dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera
(GMIH) adalah “prahara” yang sedang melandanya ketika terjadi semacam “gugatan” oleh sebagian jemaat terhadap kepemimpinan sinodal dengan dilaksanakannya Sidang Sinode Istimewa (SSI) yang mengusung transformasi atau pembaharuan dalam gereja (sinode) tersebut pada tanggal 6-8 September 2013 di Tobelo. Dengan dilaksanakannya SSI 2013 ini, terkesan keinginan dari beberapa pihak untuk menganulir hasil Sidang Sinode GMIH di Dorume Loloda Utara yang telah berlangsung pada tahun 2012. Fenomena ini telah memunculkan semacam konflik kepentingan dalam tubuh sinode GMIH sebab berakibat munculnya dualisme kepemimpinan, yakni di satu sisi terdapat kepemimpinan sinode “lama” dan di sisi lain ada kepemimpinan sinode Pembaharuan yang dibentuk lewat keputusan SSI tersebut. Bahkan pasca SII muncul informasi yang berkembang pada tingkatan jemaat bahwa Badan Pekerja Harian Sinode GMIH hasil sidang Sinode Dorume tahun 2012 sudah demisioner. Wacana ini digelontorkan oleh beberapa pihak bahkan menjadi pro dan kontra diskusi pemuda GMIH di “forum” jejaring sosial fecebook dengan nama grup “DISKUSI PEMUDA GMIH”. Wacana yang digelontorkan tersebut, telah turut memberi dampak negatif terhadap pengembangan jemaat-jemaat dalam kehidupan bergereja. Kontra terhadap wacana demisioner itu datang dari berbagai pendukung BPHS GMIH hasil keputusan sidang Sinode Dorume 2012, yang mengatakan bahwa SSI adalah tindakan ilegal, tidak sesuai dengan aturan gereja, karena itu BHPS hasil SII juga merupakan badan atau lembaga yang ilegal, dan perlu ditangiani oleh yang berwajib–dipolisikan . Sebagai contoh, Malutpos, 7 September 2013 memuat berita “Polisi Didesak Usut Oknum Dibalik SSI GMIH”. Berita ini merupakan kencaman dari beberapa tokoh GMIH di Halmahera Barat, dikarenakan pelaksanaan SSI GMIH di Tobelo tanpa sepengetahuan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH yang sah. Seorang tokoh GMIH di Halmahera Barat, James Uang, S.Pd., MM., dalam berita tersebut mengungkapkan 1
kekecewaannya terhadap pelaksanaan SSI GMIH bahwa “motivasi pelaksanaan SSI tersebut, diduga kuat dilatari akumulasi kekecewaan, karena mereka yang terlibat di dalamnya didominasi orang-orang yang tidak terpilih pada sidang sinode GMIH di Dorume Loloda Utara, beberapa bulan lalu. Selain itu, juga dilatari kekecewaan karena tidak terpilih dalam Pilgub putaran pertama”. Selain itu, dua hari sebelumnya, tepatnya tanggal 5 September 2013 juga terjadi aksi protes (demonstrasi) oleh Gerekan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kabupaten Halmahera Utara (Halut), yang menolak reformasi dan pembaharuan GMIH di Halut. Massa menuntut agar Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) GMIH memberikan surat pengembalaan dan surat teguran bagi pegawai organik atau pejabat gereja yang ikut melibatkan diri dalam tim reformasi dan tim pembaharuan. Bahkan massa memintah agar Kapolres Halut segera memberhentikan gerakan-gerakan tim reformasi dan tim pembaharuan karena gerakan tersebut banyak diikuti dan diintervensi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga menimbulkan keresahan warga (http://poskomalut.com/2013/09/06/gmki-halut-tolak-reformasi-gmih/). Tuntutan para pendukung BPHS hasil keputusan Sidang Sinode Dorume 2012 mendapat tanggapan positif dari BPHS dengan dikeluarkannya beberapa surat pemecatan tegana organik (pendeta-pelayan) gereja. Hasilnya adalah terganggunya pelayanan bagi jemaat-jemaat. Pasca surat pemecatan, menambah “deretan penderitaan” jemaat sebab beberapa pendeta yang dipecat memiliki “jemaat loyal” yang ikut juga merasa dipecat sebagai GMIH, realitas itu mengakibatkan perpecahan ditingkat jemaat, yakni yang mendukung BPHS lama dan BPHS baru. Salah satu keputusan penting dari SSI GMIH di Tobelo tahun 2013, satu tahun pasca Sidang Sinode di Dorume adalah pembentukan Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) “tandingan”1. Dalam aktivitas keseharian mengurus “gereja baru” badan ini diberi kewenangan untuk menganulir Surat Keputusan (SK) pemecatan pendeta-pendeta yang mendukung SSI dan melaksanakan evaluasi butir-butir rekomendasi dari SSI, untuk disampaikan pada sidang tahunan (Dokumen Hasil SSI, 2013), pertama pada tahun 2014. 1
Tandingan merupakan tambahan penulis, mengingat BPHS hasil Sidang Sinode Dorume masih bekerja seperti biasanya.
2
Sidang Sinode Istimewa (SSI) GMIH di Tobelo tersebut mengusung tema “Lihatlah, Aku Membuat Segala sesuatu Baru” (Wahyu 21:5b). Tema ini memang tidak hanya sekedar tema, namun memang telah membuat segala sesuatunya menjadi baru; yakni dengan membentuk sinode baru (GMIH Pembaharuan); menghasilakn jemaatjemaat baru hasil perpecahan dari GMIH; menimbulkan “konflik baru” ditengah-tengah jemaat; menghasilkan elit-elit baru untuk memimpin Sinode GMIH; dan hal baru lainnya adalah Ketua Sinode GMIH tidak dihadirkan dalam SSI, dan ini bisa dikatakan sebagai pelanggaran baru terhadap tata aturan gereja. Sebenarnya, jika memperhatikan sejarah gereja, maka apa yang telah dilakukan SSI adalah bukan hal baru. Reformasi gereja (yang salah satunya menghasilkan gereja Protestan) memang sejak dari awalnya sudah terjadi, dan hal tersebut adalah wajar guna terus memperbaharui situasi dan kondisi gereja sesuai konteksnya. Masalahnya hanya terletak pada latar belakang reformasi atau pembaharuan yang dilakukan, apakah benarbenar berangkat dari suara jemaat (umat) atau hanya merupakan keinginan dan kehendak sebagian orang, terutama sebagian elite gereja. Mengenai pembaharuan gereja, Martin Luther sekitar tahun 1517 menuntut reformasi gereja dengan dasar argumentasi pemisahan kekuasaan agama (gereja) dari negara. Pemicuh tuntutan Luther dikarenakan gereja dan negara pada masa itu adalah satu–saling kawin-mawin dan tidak terpisahkan. Dasar pemikirannya kemudian “dilanjutkan” oleh John Lock (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), sekalipun dalam beberapa aspek dasar pemicu pemikiran ketiga tokoh ini berbeda, tetapi mereka juga sependapat bahwa monopoli kekuasaan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan berpotensi melanggar kebebasan manusia (Simorangkir, 2011:1). Bagi Luther, yang penting adalah bagaimana agar manusia dapat hidup bebas, sejahtera, mandiri dan tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang berhak dan diberi hak memonopoli kekuasaan gereja sekaligus negara. Martin Luther mereformasi gereja dengan latar belakang atau alasan yang jelas, yakni ketika “gereja” memperjualbelikan indulgensia atau surat penghapusan dosa, yang secara harfiah bisa dimaknai sebagai: agama, sorga, dan keselamatan bisa dibeli dengan uang dan dengan jasa baik (Simorangkir, 2011:8). Luther mengambil sikap untuk 3
melawan gereja akibat kesewenang-wenangan gereja yang memang menjadi sangat dominan dalam kekuasaan agama maupun negara–indulgensia dapat dimaknai sebagai “kawin-mawin dogma gereja dengan paradigma ekonomi guna memperkaya elit gereja– dan ini harus dirombak. Dalam konteks reformasi, pembaharuan, atau tranformasi yang terjadi di GMIH, maka pertanyaannya tentang hal yang melatar-belakangi tindakan itu menjadi relevan. Dalam pemberitaan baik di Radar Halmahera, Malutpos maupun Tobelo Pos, terkesan SSI GMIH di Tobelo 2013 lebih banyak dilatari oleh masalah politik, yang dikaitkan dengan kekalahan salah satu calon Gubernur. Sedangkan hasil wawancara dengan pendeta A. Djurubasa tanggal 11 Oktober 2013, beliau mengatakan bahwa “sebenarnya tidak hanya itu, dan bukan karena itu, namun lebih pada pelaksanaan tata gereja dan perilaku beberapa pimpinan gereja yang terlalu condong ke politik ketimbang pelayanan”. Beliau melanjutkan bahwa “saya pernah menulis di Tobelo Pos akhir tahun 2012 tentang Plus-Minus Sidang Sinode GMIH XXVI di Dorume Loloda Utara, yang antara lain mengkritik pengabaian penatua dan diaken dalam pemilihan pimpinan gereja dalam sidang sinode tersebut”. Walaupun alasan yang dikemukakan pendeta A. Djurubasa di atas baik adanya, namun pertanyaannya adalah apakah cukup hanya dengan alasan seperti itu SSI di Tobelo membuat BPHS GMIH “tandingan”? Phil Erari, ketua PGI, Senior Papua Policy Advisor, Conservation Internasional yang diundang khusus untuk memberikan semacam materi pembekalan sebelum “para pendukung” SSI di Tobelo 2013 mulai bersidang, dalam akhir materinya memberikan semacam pesan atau saran: 1) Supaya dijaga citra GMIH sebagai gereja yang utuh, bersatu, mandiri dan misioner; 2) Hindari setiap gagasan yang mengarah pada pembentukan Kepemimpinan ganda dalam GMIH, termasuk perpecahan sebagai gereja baru di Provinsi Maluku Utara; 3) Dalam semangat di atas, saya mohon agar SSI yang diprakarsai Sekretariat Pembaharuan ini, dirobah statusnya menjadi Sidang Pembaharuan dan Revitalisasi GMIH, demi persatuan GMIH. Namun arahan dan saran hanya bisa menjadi arahan,. Faktanya GMIH sebagai “gereja” yang utuh telah terpecah-belah. Dalam konteks seperti itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sampai terjadi semacam “pemekaran” sinode GMIH 4
dengan dibentuknya BPHS GMIH “tandingan”? Dibentuknya BPHS baru berdampak negatif terhadap pelayanan jemaat-jemaat, realitasnya jemaat itu terpecah mengikuti kemauan para elit. Kemudi bahtera GMIH yang berlayar dilautan bebas sedang diperebutkan, penumpang mengalami kebingungan hendak mendukung siapa, namun yang jelas elit yang berebut kemudi memiliki pendukung loyal–bahtera GMIH tanpa arah dan haluan jelas untuk berlabu–badai masih terus bergelora. Proses “pemekaran” sinode berdampak pada pemisahan jemaat-jemaat sebagai pendukung SSI dan BPHS GMIH pembaharuan 2013 dan jemaat-jemaat pendukung BPHS GMIH hasil keputusan sidang sinode di Dorume 2012. Hasil wawancara dengan ketua BPHS versi SSI, bapak L. Sambaimana, S.Th., M.Si mengutarakan bahwa “dari 435 jemaat GMIH yang menyatakan mendukung SSI sudah mencapai 233 jemaat, walau keinginan awal untuk membentuk SSI itu hanyalah empat jemaat.2” Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa legitimasi terhadap sinode GMIH sedang mengalami resistensi dari bawah. Realitas ini telah menciptakan semacam konflik kepentingan yang juga terjadi ditingkat jemaat, khususnya di desa Wari (Jemaat Wari), yakni dalam satu desa yang awalnya satu jemaat yang beribadah dalam satu gedung gereja setelah adanya hasil keputusan SSI jemaat juga terkotak-kotak, walau masih beribadah di gedung gereja yang sama. Bedanya hanyalah warga jemaat pendung SSI dipimpin pendetanya beribadah saat sore hari dan warga jemaat yang tidak mendung SSI beribadah di pagi hari.3 Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana pola interaksi warga jemaat setelah mengalami perpecahan?
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penetian ini adalah “Konflik Sinode GMIH: Studi Sosiologis Tentang Pola Interaksi
2
Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di Rumah Bapak Pdt. L. Sambaimana, M.Th. bandingkan pernyataan ini dengan hasil Pemetaan yang dilakukan Balitbang dan Statistik GMIH, dalam lampiran. Data tentang pemetaan ini juga telah peneliti masukan ke bab V 3 Informasi diperoleh dari Pendeta Ny. Mathelda Namotemo, pendeta pelayan Jemaat Wari lewat saluran telp, tanggal 10 Oktober 2013, dan hasil amatan peneliti pada saat penelitian berlangsung pada bulan Desember 2013 – Januari 2014 menemukan hal yang sama.
5
Warga Jemaat Ikthus Wari pasca perpecahan Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) tahun 2013”. Elaborasi lebih lanjut dari rumusan masalah tersebut melahirkan pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Faktor apakah yang melatar belakangi perpecahan Jemaat Ikhtus Wari pasca perpecahan Sinode GMIH? 2. Bagaimana relasi (pola interaksi) antar warga jemaat Ikhtus Wari pasca perpecahan itu?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan faktor yang melatar belakangi perpecahan jemaat Wari pasca perpecahan Sinode GMIH 2. Mendiskripsikan pola interaksi warga Jemaat Wari pendukung BPHS baru dan pendukung BPHS lama.
1.4. Manfaat Penelitian Sebagai sebuah tulisan ilmiah, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik praktis maupun teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsi bagi teori konflik dan legitimasi, khususnya dalam konflik kepentingan yang mempersoalkan hubungan agama (gereja) dan negara (politik) yang sedang terjadi dan dialami oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera pasca Sidang Sinode Istimewa di Tobelo tahun 2013. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam praktek bergeraja khususnya di wilayah GMIH, sekaligus memberikan kontribusi bagi masyarakat (jemaat) tentang peran gereja (institusi gerega) dalam jemaat atau masyarakat.
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS Dalam bab ini, dua teori penting akan dibahas guna memberikan gambaran yang lebih komprehensif sekaligus sebagai semacam “arahan” bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Sekalipun demikian, peneliti tidak bermaksud untuk menguji teori-teori tersebut di lapangan, karena itu jika nantinya dalam penelitian terdapat “konsep-konsep lokal” yang digunakan dalam menggambarkan fokus penelitian ini, maka akan diadopsi atau digunakan guna menambah khazana berpikir dalam penelitian dimaksud. Namun sebelum menjelaskan tentang konflik dan legitimasi, peneliti merasa perlu untuk menguraikan konsep kekuasaan. Karena itu, pembahasan bab ini akan difokuskan pada tiga konsep besar, yakni: 1). Makna Kekuasaan; 2). Konflik; dan 3). Legitimasi. 2.1. Makna Kekuasaan Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri dalam gagasan politik formal, seperti negara dan kekerasan diidentikan dengan aktivitas fisik yang merugikan. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang melibatkan entitas-entitas fisikal, seperti tubuh para aktor, sarana-prasarana fisik, institusi dan lainnya. Kekuasaan merupakan gejala yang selalu ada dalam masyarakat manapun, sehingga konsep tentang kekuasaan mengandung kerumitan-kerumitan untuk mendefinisikannya, dan di kalangan para ilmuan terdapat beberapa perbedaan dalam mendefinisikan kekuasaan dikarenakan adanya hubungan sosial atau politik yang dilandasi oleh tindakan-tindakan politik yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar dan menunjukkan perubahan-perubahan yang dinamis. Kekuasaan sering didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga bisa sesuai dengan tujuan dan kemauan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan tidaklah memiliki makna atau definisi tunggal, namun sebaliknya memiliki makna yang begitu luas (Budiharjo, 2005: 35). Akibat dari defenisi kekuasaan yang begitu luas dan beragan, dalam tulusan ini akan dikemukakan pemikiran para ahli tentang kekuasaan hkususnya, 7
Max Weber dan Michel Foucault tanpa bermaksud mengabaikan pemikir atau ahli yang lain. Max Weber (1864-1920), mengaitkan kekuasaan dengan konsepsinya mengenai teori tindakan. Bahwa setiap tindakan menurutnya dapat bersifat; pertama, rasionaltujuan (zweckrational). Kedua, rasional–nilai (wertrational), dan ketiga, bersifat ekspresi dari adat istiadat yang tertata (Weber, 1980:28; Campbell, 1981:176-178). Weber mengatakan bahwa kekuasaan merupakan kesempatan bagi individu dalam berinteraksi sosial untuk mewujudkan keinginannya dalam suatu tindakan komunal sekalipun harus melawan arus tantangan dan resistensi dengan individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut (Ritzer dan Goodman, 2009). Dapat dikatakan bahwa definisi Weber tentang kekuasaan diatas merupakan yang paling banyak dipakai oleh kalangan sosiolog dan seringkali diposisikan sebagai norma atau ukuran para penganut mazhab realisme politik. Politik sendiri bagi Weber, adalah upaya membagi kekuasaan atau upaya mempengaruhi pembagian kekuasaan yang ada dalam Negara-negara atau di antara kelompok di dalam suatu Negara. Jadi menurutnya, kekuasaan dan politik adalah dua sisi mata uang dari logam yang sama; kekuasaan menjadi semacam kemampuan untuk mempengaruhi putusan-putusan politik, sedangkan politik merupakan upaya membagi porsi berbagai kekuasaan yang tengah berpengaruh. Sementara itu, Michel Foucault (1926-1984) juga dikenal sebagai filsuf yang mengkritik pandangan arus utama tentang kekuasaan. Ia tidak memandang kekuasaan sebagai suatu milik yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas yang lain. Bukan pula kemampuan subyektif untuk mempengaruhi dan mendominasi orang lain seperti pandangan Weber. Kekuasaan tidak sekadar terkonstentrasi di tangan para penguasa struktur-struktur yang menonjol seperti negara, perusahaan dan organisasi agama (Foucault, 1997:115). Menurut Foucault “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”. Dalam hubungan itu, tentu saja ada pihak yang diatas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan 8
menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan „merasuki‟ seluruh bidang kehidupan masyarakat modern. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam keluarga, di sekolah, kampus, dan lain sebaginya. Selain itu Foucault menentang pendapat bahwa kekuasaan semata-mata bersifat negatif dan represif (dalam bentuk larangan dan kewajiban) seperti dirumuskan dalam konsepsi yuridis tentang kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan justru beroperasi secara positif dan produktif. Pandangan Foucault yang menilai kekuasaan bukanlah negatif melainkan positif dan produktif menyiratkan bahwa kekuasaan dapat dirawat dan diefektifkan melalui pengetahuan, yaitu membentuk citra yang baik untuk segala kepentingan pemegang kekuasaan. Dalam memproduksi citra, tatanan dan normalitas, rezim pengetahuan selalu menindas pengetahuan yang lain (“minor knowledge”) yang karenanya “pengetahuan marjinal” tersebut juga sebetulnya memiliki kekuasaan untuk berbalik menindas. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kekuasaan adalah suatu tindakan seseorang baik individu maupun kelompok dengan menggunakan berbagai instrumen dalam menopang kekuasaannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, perlu juga dimaknai bahwa kekuasaan selalu berada dalam posisi ambigu, karena untuk mencapai suatu tujuan kekuasaan dapat saja menimbulkan resistensi atau bahkan penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang dikuasai (Andrain, 1992:130). Namun kekuasaan dapat juga bersifat positif dan produktif bila diarahkan untuk pencapaian kesejahteraan dan keadilan bagi semua pihak. Dalam kaitan dengan fenomena “perpecahan” sinode GMIH dengan munculnya semacam resistensi dari berberapa pihak yang membentuk sinode GMIH “tandingan” atau GMIH pembaharuan menunjukan bahwa pihak-pihak tersebut baik GMIH lama maupun GMIH baru sedang mendemosntrasikan kekuasaan yang mereka miliki. Pertanyaannya apakah demonstrasi kekuasaan itu bertujuan membawa bahterah GMIH ke arah yang lebih baik atau malah mengarungi gelombang samudera yang menghancurkan bahterah tersebut? Itulah ambiguisitas kekuasaan.
9
2.2. Memahami Konflik Tokoh sosiologi yang cukup terkenal, Emile Durkheim menekankan bahwa sistem sosial seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai inilah yang mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial dan menciptakan ketidaknyaman bagi individu-individu dalam masyarakat (Durkheim, 1965:121). Walau demikian, pemikiran ini bukan berarti tanpa kritik. Salah satu pengkritikanya adalah para penganut teori fungsionalis yang melihat masyarakat pada awalnya disusun oleh individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan biologisnya secara bersama, namun akhirnya berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial inilah yang membentuk nilai masyarakat. Jadi, kebutuhan biologis individu-individi berkembang menjadi kebutuhan sosial (kolektif), dan nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang. (Soekanto dan Lestarini, 1988:89-93). Sekalipun berbeda pada titik berangkatnya, kedua teori di atas memiliki persamaan bahwa keseimbangan masyarakat terjadi atau terbentuk karena adanya nilainilai yang mengikat. Walaupun demikian, bagi peneliti nilai-nilai perekat keseimbangan masyarakat bukanlah selalu berfisat statis (tetap) namun berada dalam kondisi yang penuh dinamika akibat konflik. Konflik dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada, namun dapat juga mentrasformasi atau memperbaharuinya. Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis (Jary dan Jary, 1991:56). Konflik sebagai relasi-relasi yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interest-interest eksklusif yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan strukturstruktur nilai yang berbeda, sedangkan interaksi yang antagonis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung sampai pada benturan perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, hura-hura, gerilya, perang.
10
Dengan demikian, konflik perlu dimaknai sebagai bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik individu, atau pun kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat perekat kehidupan individu, atau kelompok dalam masyarakat apabila dikelola dengan baik. Dalam masyarakat konflik dapat saja terjadi antara dua orang atau lebih, antara gerakan sosial, antara kelompok kepentingan, antara kelompok kelas sosial, antara kelompok gender, antara organisasi, antara partai politik, antara suku bangsa, maupun Ras.
Dengan demikian,
konflik dapat berasal dari persaingan masa lalu maupun
perbedaan individual, jadi konflik adalah ketidak sepahaman ilmiah yang terjadi di antara individu atau kelompok yang berbeda sikap, kepercayaan, nilai dan kebutuhan (Mulyanto dkk, dalam Suwondo, 2002:85). Kontradiksi internal tersebut bersumber di dalam kenyataan bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority), secara tidak merata, suatu hal yang senantiasa mengakibatkan dua macam kategori sosial dalam setiap masyarakat, yakni mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas (Nasikun, 2007).
Dalam konsepsi seperti ini, Ralf Dahrendorf
(1959:162; Nasikun, 2007:20) mengungkapkan bahwa konflik dalam masyarakat selalu muncul dengan anggapan-anggapan dasar sebagai berikut: a. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau perubahan social merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. b. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan kata lain konflik adalah merupakan gelaja yang melekat di dalam setiap masyarakat. c. Setiap unsur di dalam masyarakat suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan social. d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain. 11
Dalam perspektif seperti ini, maka authority yang “dibayangkan” seperti di atas, mengikuti “anjuran” Max Weber perlu dimaknai sebagai kemungkinan perintahperintah seseorang, di dalam posisi atau kedudukan tertentu, diikuti oleh sekelompok orang-orang tertentu, maka authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya (Dahrendrorf, 1959:166). Berdasarkan pengertian seperti itu, maka di dalam masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara bahkan mengukuhkan status-quo dari pola hubunganhubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereka yang tidak memiliki kekuasaan otoritatif, berupa kepentingan untuk mengubah atau merombak status-quo dari pola hubungan-hubungan tersebut. Karena kepentingan-kepentingan yang dimiliki selalu tidak disadar, maka kepentingan ini dapat disebut sebagai kepentingankepentingan yang bersifat laten (laten intesest). Berdasarkan hal itu, Dahrendorf (1959:179-189) mengemukakan tiga macam prasyarat bersifat kondisional
yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat
terorganisir menjadi kelompok kepentingan, diantanya: pertama, kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi (technical conditions of organization). Kondisi ini hanya akan tampak dengan munculnya orang-orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir laten interests dari sauatu kelompok semu menjadi manifest interests berupa kebutuhan-kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai. Dalam perwujudannya, manifest interests tersebut dirumuskan ke dalam satu bentuk ideologi atau suatu system nilai, yang pada gilirannya akan berfungsi sebagai program suatu kelompok kepentingan. Dalam kaitannya dengan fenomena yang terjadi di GMIH, dapat dikatakan bahwa dokumen Kairos yang disiapkan oleh Sekretariat Pembaharuan dimaknai sebagai system nilai. Kedua, kondisi-kondisi politis suatu organisasi (political conditions of organization), yang dimaksudkan adalah ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat. Artinya sekalipun kondisi-kondisi teknis suatu organisasi terpenuhi, namun tanpa kebebasan untuk berorganisasi kelompok semu tetap tidak akan dapat terorganisir sebagai kelompok kepentingan. Dengan demikian, 12
tanpa kebebasan berorganisasi, maka munculnya kelompok kepentingan hanya akan bersifat potensial. Dalam kaitan dengan yang terjadi di Halmahera khususnya di GMIH, political conditions of organization memang terbuka lebar, bahkan kondisi ini didukung dan sengaja dibuat semakin lebar oleh pemerintah daerah maupun beberapa akademisi yang ada di Universitas Halmahera. Ketiga, kondisi-kondisi social bagi suatu organisasi (social condition of organization), yakni adanya system komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Dengan demikian, dalam kaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan bergereja di Halmahera, social condition of organization memang tampak jelas terbuka dan memungkinkan untuk secara intens setiap anggota bertemu dan berdialog mewujudkan tujuan yang telah mereka sepakati pada prasyarat technical conditions of organization. Sebab secara kondisional mereka hidup dan beraktifitas pada tempat yang sama, apalagi secara political condition juga menunjukan adanya kesamaan kepentingan. Berdasarkan pendekatan teori konflik yang didasarkan pada pemahaman Weber dan Dahrendorf di atas, peneliti mencoba menjelaskan bentuk-bentuk konflik dalam masyarakat. Penjelasan ini merupakan elaborasi lebih lanjut sebagai konsekuensi logis dari pendekatan konflik tersebut. Untuk itu lebih jelas tentang bentuk konflik dapat dilihat pada uraian di bawah ini. 2.2.1. Bentuk-Bentuk Konflik Manusia baik individu atau kelompok pada dasarnya memiliki ciri-ciri, karakter dan prilaku yang berbeda-beda. Dalam proses perkembangan sosial perbedaanperbedaan tersebut telah melahirkan kelas-kelas sosial yang satu sama lain sangat kontras. Dengan demikian, maka konflik yang terjadi dalam relasi sosial baik individu maupun kelompok selalu memiliki dua wajah, yakni positif maupun negatif, karenanya, mengintensifkan konflik kadang memang perlu sehingga perubahan-perubahan yang diperlukan
bisa
terjadi
(Fisher,
2001:5).
Mengintensifkan
konflik
berarti
mengungkapkan konflik laten ke permukaan dan menjadikannya terbuka (manifest), sehingga konflik tersebut dapat dikelola. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan dua bentuk atau tipe konflik yaitu konflik laten dan manifest. 13
a. Konflik Laten (Tertutup) Konflik laten merupakan konflik sosial yang memiliki sifat yang cenderung tertutup, atau dengan kata lain konflik yang tersembunyi. Karena sifatnya tertutup maka konflik laten ini sulit dideteksi dan diprediksi (Fisher, 2001). Bentuk konflik ini memperlihatkan pada bagian permukaan nampak terjadi integrasi sosial, namun pada dasarnya integrasi tersebut bersifat semu. Konflik yang bersifat laten seringkali tidak akan jelas terlihat siapa lawan dan siapa kawan, sehingga sulit untuk dilakukan rekonsiliasi, dan kalau pun terjadi rekonsiliasi sifatnya sangat semu pula. Manifestasi adanya konflik bersifat laten seperti gerakan-gerakan bawah tanah Anthony Giddens mengemukakan bahwa bentuk konflik ini sering terjadi antara umat beragama, terutama karena keberadaan konflik ini dari aspek sejarah telah berlangsung sejak lama, dan terjadi berulangkali di berbagai negara yang kadangkala muncul ke permukaan dan kadangkala tenggelam, tidak kelihatan. Konflik antara Islam dan Kristen terjadi terus menerus sejak abad pertengahan di negara-negara Eropa yang sekarang dikenal dengan Spanyol, Yugoslavia, Bulgaria dan Romania (Giddens, 1989:47) Menurut Fisher (2001:6), karena sifatnya yang tersembunyi dan sulit untuk dideteksi dan diprediksi, maka konflik laten ini perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Jika suatu konflik ditekan, maka akan muncul masalahmasalah baru di masa depan. Konflik itu sendiri mungkin saja menjadi bagian solusi dari suatu masalah. b. Konflik Manifest (Terbuka) Konflik manifest atau konflik terbuka merupakan bagian dari berkembangnya konflik laten. Konflik manifest adalah yang berakar dalam dan sangat nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya (Fisher, 2001). Karena memiliki sifat yang terbuka penyelesaian konflik ini dapat segera diupayakan, untuk terciptanya rekonsiliasi, meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan. Rekonsiliasi ini dapat terwujud manakala proses pembicaraan dalam rekonsiliasi dapat menyetarakan semua unsur yang terlibat dalam konflik.
14
Berdasarkan dimensi timbal balik, konflik seringkali dibedakan dengan istilah konflik vertikal dan konflik horisontal, dapat disebut sebagai konflik vertikal apabila dimensi konflik melibatkan pertentangan antara kelompok kelas yang sifatnya vertikal. Misalnya konflik antara kelompok elite dengan kelompok masyarakat bawah, antara penguasa dengan rakyat, antara kelompok orang kaya dengan kelompok orang miskin, antara penguasa dengan kelompok buruh, dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, konflik yang bernuansa keagamaan dapat bersifat vertikal, misalnya anata tokoh agama dengan penganutnya. Konflik antar umat beragama dengan pemerintah dapat juga dikategorikan sebagai konflik yang bersifat vertikal, namun dalam kaitan ini kelompok umat beragama stutusnya sebagai rakyat (Tholkhah, 2001:39). Sedangkan konflik horisontal adalah sebuah konflik yang terjadi antara kelompok kelas yang berdimensi horisontal (hubungan menyamping). Misalnya, konflik antara kelompok, etnik, konflik antar kelompok pendatang dan penduduk asli, antara kelompok elite, antar agama (Tholkhah, 2001:40). Tidak mudah mengatasi konflik horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap dan kefaktaan yang terkadang membatasi relasi-relasi individu maupun sosial (Soedjatmoko, 1984:3-15). Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko, tentang konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan (Kleden, 1984: xix). Dalam konteks penelitian ini, asumsi yang peneliti bangun adalah bahwa kedua bentuk konflik yang telah dijelaskan di atas, terjadi dalam kasus yang di hadapi Geraja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) saat ini. Tindakan tim pembaharuan melakukan Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo tahun 2013 mungkin merupakan manifestasi dari konflik laten yang selama ini dipendam tentang penatalayanan gereja dan pemberdayaan warga jemaat yang tidak atau belum berjalan maksimal. Namun hal ini baru merupakan asumsi awal. Bahkan dalam beberapa informasi, konflik yang terjadi pada tingkat elite organisasi sinode GMIH dan para pendeta telah berdampak (negatif) terhadap pelayanan 15
terhadap jemaat, yakni terjadinya pemisahan jam ibadah dan bahkan konflik ditingkat jemaat. Diskusi tentang hal ini tampak menarik dilakukan dalam jejaring sosial facebook dengan nama “Grup Diskusi Halmahera”. Dengan demikian, maka penggunaan teori konflik dalam penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pola, model atau bentuk konflik yang terjadi baik di tingkat elite maupun di tingkat warga jemaat, dan belum sampai pada bagimana bentuk resolusi konfliknya. Sekalipun nantinya terdapat sebagian pejelasan tentang hal ini. Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang mencul adalah apakah konflik yang terjadi cukup berdampak pada legitimasi jemaat terhadap kepemimpinan sinode GMIH saat ini? Ataukah legitimasi jemaat ikut terbagi akibat dualisme kepemimpinan GMIH?. Khusus tentang topik legitimasi ini, peneliti memilih salah satu jemaat di Halmahera, yakni jemaat Wari yang menurut informasi telah terbagi dua; sebagian jemaat memilih untuk tetap mengikuti kepemimpinan sinode yang sudah ada dan sebagian lagi memilih untuk mengikuti sinode bagu hasil bentukan SSI. Topik ini akan dibahas pada bab lain. 2.3. Makna Legitimasi Dalam masyarakat pra-modern dan modern telah terjadi hirarki komando yang setiap orang perlu mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan bersama, dalam menegakkan aturan bersama perlu juga ada individu-individu atau lembaga yang diberi kewenangan serta kekuasaan guna penegakan. Dalam perspektif Nasikun (2007) selalu terdapat “mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai”. Merupakan ciri khas negara bahkan organisasi atau lembaga bahwa kekuasaanya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara organisasi atau lembaga dapat disebut sebagai kekuasaan otoritatif. Otoritas atau wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan dan berhak menuntut ketaatan dan berhak memberi perintah. Terhadap wewenang itu timbullah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan (Susilo, dkk., 2003:107-128) Legitimasi terkait erat dengan keyakinan moral yang membenarkan hak untuk dimanfaatkan dalam menuntut ketaatan dan memberi perintah. Walaupun demikian, legitimasi bukan diperoleh dari penguasa (dari atas - kebawah), melainkan dari bawah ke atas, atau dengan kata lain legitimasi berasal dari masyarakat–walau tidak selalu, 16
misalnya dalam teori souverinitas. Sebagai contoh, dimata masyarakat Tibet, Dalai Lama diberikan legitimasi oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin politik mereka sekaligus sebagai pendeta tertinggi (Andrain, 1992:203; Surbakti, 1992:85-99). Dengan
demikian
legitimasi
memperlihatkan
bahwa
berbagai
segmen
masyarakat luas yakin bahwa penguasa memiliki hak untuk berkuasa. Penerimaan keabsahan oleh masyarakat tersebut, juga dapat menghindarkan penguasa dari mengandalkan kekerasan fisik dalam mempertahankan kekuasaannya. Legitimasi juga lebih mempermudah bagi para penguasa untuk membuat berbagai kebijakan dalam situasi yang sulit. Banyak penguasa yang sulit atau cenderung mengelak untuk membuat kebijakan, karena khawatir terhadap konsekuensi-konsekuensi melakukan kesalahan yang berakibat pada hilangnya legitimasi masyarakat dan runtuhnya kekuasaannya. Dengan demikian, antara Kekuasaan (power), Wewenang (authority), dan Keabsahan (legitimacy), tidak dapat dilepas-pisahkan dalam kaitannya dalam menuntut ketaatan masyarakat. Disisi lain, karena kekuasaan memiliki konsekuensi-konsekuensi, untuk ditaati atau tidaknya suatu perintah, maka ketiga konsep tersebut sangat tergantung pada pengakuan dan keyakinan masyarakat sebagai dasar untuk mentaati suatu Perintah. Kajian tentang legitimasi kekuasaan, khususnya mengenai legitimasi negara,4 Weber dianggap sebagai teoritikus legitimasi. Weber menempatkan analisisnya dalam teori kekuasaan yang disebut
dengan dominasi dan legitimasi. Menurut Weber
dominasi adalah upaya untuk memperoleh ketaatan secara sukarela, sebagaimana yang dikemukakan Max Weber (1974:212), bahwa: “... all the way from simple habituation to the most purely rational calculation of advantage. Hence every genuine from of domination implies a minimum of voluntary complience, that is, an interest(based on ulterior motives or genuine acceptance) in obedience”. Konsepnya bahwa kekuasaan dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi, atau klaim-klaim kharismatik pemimpin personal, atau pada prosedur-
4
Dalam konteks Gereja yang menganut sistem Presbitarial Sinodal memang ada sedikit perbedaan, namun dalam prakteknya tidak jauh berbeda. Topik ini akan coba dibahas pada bagian berikutnya.
17
prosedur rasional - legal, dianggap sebagai sumbangan terbesar Weber terhadap sosiologi politik. Sebagaimana di kemukakan oleh J. Freund, bahwa; “Tidak ada otoritas yang puas begitu saja atas ketaatan dan kepatuhan yang hanya muncul berdasarkan common sense, rasa pantas atau penghargaan belaka; kekuasaan akan selalu berusaha menumbuhkan kepercayaan di kalangan pengikutnya untuk meyakini legitimasi yang dia miliki, dan ini ditempuh dengan cara mentransformasikan disiplin-disiplin menjadi sikap tunduk dan patuh terhadap kebenaran yang dia wakili. Weber menemukan tiga tipe otoritas yang legitimate” (Turner, 1991:322). Tiga bentuk legitimasi yang di kemukakan Weber (Budiharjo, 1998:15; Suseno, 1987:5; Ritzer dan Goodman, 2005), adalah: 1. Legitimasi tradisional, yaitu keyakinan dalam suatu masyakarat tradisional, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk memerintah, misalnya kaum bangsawan atau keluarga raja (dinasti) dan oleh karena itu sudah sepatutnya apabila pihak itu ditaati; 2. Legitimasi kharismatik, berdasarkan pada perasaan kagum, hormat, cinta masyarakat terhadap seseorang individu yang sangat mengesankan sehingga masyarakat dengan sendirinya bersedia untuk mentaatinya; misalnya ketaatan masyarakat kepada pemimpin spiritual pada masyarakat primitif, atau ketaatan masyarakat kepada pemimpin agama; dan 3. Legitimasi Rasional – legal, berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang pemimpin. Inilah bentuk legitimasi yang menurut Weber paling ideal pada masyarakat modern. Berdasarkan ketiga konsep legitimasi di atas, Weber mengemukakan seorang pemimpin negara dalam menjalankan kekuasaannya harus dilandaskan pada legitimasi rasional legal, yaitu: “Satu keyakinan akan legalitas aturan-aturan dan legalitas hak mengeluarkan perintah bagi pemegang kekuasaan yang didapatkannya berdasarkan aturan pula; yang lazim disebut otoritas legal” (Turner, 1991:331). Dengan demikian, maka legitimasi rasional legal perlu dipahami sebagai keyakinan akan legalitas pola aturan baku dan mereka yang memegang kekuasaan tersebut sekaligus memiliki kewenangan untuk melaksanakan atauran-aturan bersama. 18
Kewenangan yang dimiliki oleh individu-individu yang dipercayakan memegang kekuasaan tertentu dalam organisasi bahkan negara memiliki kemampuan “memaksa” yang untuk mematuhi kepemimpinannya. Ketidak-patuhan terhadap kepemimpinan legal rasional akan diberi sanksi. Sekalipun demikian, legitimasi yang berasal dari rakyat tidak serta-merta dapat disahgunakan oleh mereka yang dilegitimasi, karena itu ketidak-mampuan pimpinan dalam menjalankan aturan dapat berakibat “penarikan” kembali legitimasi yang telah diberikan, dengan cara resistensi rakyat. Artinya sebuah aturan dapat dipandang legitimite karena aturan tersebut dijalankan berdasarkan prosedur-prosedur yang legimite pula. Weber melihat bahwa sistem pemerintahan yang didasarkan pada legitimasi rasional-legal hanya dapat berkembang pada masyarakat modern, sehingga Weber mengatakan bahwa, bentuk legitimasi lain (tradisional maupun kharismatik) adalah bentuk legitimasi yang menghambat perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern (Ritzer dan Goodman, 2005:38-39). Namun demikian, legitimasi yang merupakan instrumen penting
terhadap
pelaksanaan kekuasaan untuk menuntut ketaatan masyarakat, bagaimanapun bentuknya tentu akan selalu membawa konsekuensi-konsekuensi. Misalnya saja, dalam kaitan dengan penelitian ini, legitimasi jemaat memberikan peluang kepada penguasa (pemimpin GMIH) untuk membuat perubahan-perubahan kebijakan yang menurutnya adalah menyangkut kebutuhan hidup jemaat atau gerja, namun dalam pandangan beberapa pihak, pimpinan Sinode GMIH masih kurang mampu dalam membuat kebijakan-kebijakan pemberdayaan jemaat, malah terkesan “berjalan” sendiri dan mengabaikan aturan-aturan gereja. Sehingga muncul kekecewaan sebagian pihak dalam wujud Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo tahun 2013. Sayangnya, beberapa pihak yang telah “menarik kembali” legitimasi yang telah mereka berikan dalam Sidang Sinode di Dorume tahun 2012 tidak hanya berupaya memperbaikan tatanan organisasi Gereja (GMIH) yang sudah ada namun lebih jauh membentuk semacam GMIH tandingan. Sehingga terkesan ada kepentingan politik lain yang muncul dan mendasari pelaksanaan SSI di Tobelo tahun 2013 itu. Dalam konteks ini, maka dapat diformulasikan bahwa konsekuensi pendayagunaan kekuasaan oleh 19
pimpinan sinode GMIH yang kurang optimal telah mengakibatkan resistensi sebagian warga jemaat.
2.4. Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan fokus masalah yang telah dikemukakan di bab I, dengan memperhatikan pendekatan metode dan teori, terutama teori konflik dan teori legitimasi yang digunakan, maka pemaparan tersebut mengerucut sebagai bentuk kerangka pikir penelitian, yang akan digunakan sebagai “arahan” dalam melakukan penelitin ini. Untuk itu, kerangka piker penelitian dapat diformulasikan sebagai berikut.
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian GEREJA MASEHI INJILI di HALMAHERA (GMIH)
KONFLIK KEPENTINGAN ANTAR ELIT GMIH
BPS GMIH HASIL SIDANG SINODE XXVII
PERPECAHAN
LEGITIMASI JEMAAT
PERPECAHAN JEMAAT IKHTUS, WARI-TOBELO
20
BPS GMIH HASIL SIDANG SINODE ISTIMEWA
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dalam penelitian pendekatakan kualitatif tidak terdapat tuntutan baku tentang terpenuhinya syarat representatifitas sehingga dapat dibuat generalisasi ke arah yang lebih luas, pendekatan kualitatif menghendaki adanya kelengkapan dan keakuratan data (Suwondo, 2005:189). Dengan alasan seperti inilah pendekatan kualitatif dipilih, artinya penelitian ini tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi. Dengan pendekatan seperti itu, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dan eksplanatori. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat atau organisasi tertentu (Koentjaraningrat, 1997: 29). Jenis penelitian deskriptif bertujuan mendiskripsikan pola interaksi jemaat Wari yang telah terpecah pasca SSI di Tobelo 2013, yakni sebagian jemaat mendukung sinode lama dan sebagian lagi mendukung sinode baru (Nordholt, 1973: 88), sedangkan penelitian eksplanatif bertujuan menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi perpecahan GMIH termasuk juga perpecahan jemaat Ikthus Wari akibat konflik kepentingan pada tingkat Sinode GMIH (Malo, 1986: 38). 3.2. Unit Amatan dan Unit Analisa Proses mengumpulkan data atau informasi adalah bagian terpenting dari suatu penelitian guna mendukung analisis. Karena itu, untuk mendapatkan data atau informasi yang baik diperlukan penentuan unit amatan dan unit analisisnya. Satuan Analisis (unit of analisys) ialah aras agregasi dari data yang dikumpulkan untuk dianalisis dalam rangka menjawab persoalan penelitian. Sedangkan satuan pengamatan (unit of observation) ialah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis. Sesuatu yang dapat dijadikan sumber itu dapat orang, tempat atau organisasi (Ihalauw 2004 : 178). 21
Dengan demikian, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang melatar belakangi perpecahan Sinode GMIH termasuk perpecahan Jemaat Ikthus Wari dan pola interaksi warga Jemaat Ikthus Wari pasca perpecahan. Selain itu, unit amatan atau unit observasi dalam penelitian ini adalah pola interaksi Jemaat Wari pasca SSI, Sinode Pembaharuan atau Sinode GMIH baru dan secara umum Sinode GMIH. 3.3. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui informan kunci yakni tokoh-tokoh Jemaat Wari, Pemuda Jemaat Wari, kepala desa Wari, para pengurus sinode pembaharuan hasil SSI GMIH di Tobelo 2013 dan pengurus Sinode GMIH. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari literature, dokumen mengenai persoalan sampah yang pernah dipublis dalam jurnal dan media (koran), salah satu yang penting dari data sekunder adalah hasil keputusan SSI di Tobelo, termasuk tata gereja GMIH. Teknik pengumpulan data adalah cara-cara praktis yang ditempuh peneliti dalam mencari dan mengumpulkan data penelitian dalam bentuk pikiran, kata-kata, tindakan, peristiwa/kasus, tulisan-tulisan, gambar, dan lain-lain, sesuai dengan masalah atau fokus penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menempuh jalur wawancara mendalam (In depth interview), pengamatan (obsevation), penelusuran kepustakaan dan atau dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan atau responden kunci (key informan/responden) sebagai sumber data primer (Moleong, 2006). a. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti. b. Dokumentasi Selain menggunakan tekhnik wawancara peneliti juga melakukan study – study kepustakaan seperti, dokumen sejarah GMIH, dan dokumen berupa gambar/foto, dan lain-lain. 22
c. Pengamatan Guba dan Lincoln dalam Moleong (2006) mengemukakan bahwa pengamatan memungkinkan peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya, dan juga pengamatan memungkinkan peneliti mengatasi aspek bias dari proses wawancara. Ketiga pola strategi ini digunakan untuk mendapatkan data dari informan dalam skala unit analisa dan unit amatan yang telah ditetapkan di atas. 3.4. Teknik Analisis Data Proses analisa data dilakukan mengikuti alur penelitian kualitatif, terdapat tiga tahapan yang digunakan yaitu melalui tiga tahap model alir. Menurut Ridjal (dalam Bungin, 2003), tiga tahap model alir yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Dalam penelitian, ketiga tahapan tersebut akan berlangsung secara simultan. Proses analisa hasil penelitian, dilakukan bersama dengan proses pengumpulan data, diantaranya melalui tiga tahap yaitu reduksi data, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari teknik triangulasi di atas, dimana ada data-data yang mungkin terpotong, dan tidak dapat digunakan, dapat juga dikatakan sebagai mengelompokan data merupakan bagian penting dari deskripsi tentang masalah yang diteliti, kemudian melakukan analisis, terhadap data yang ditemukan dalam rangka menjawab tujuan penelitian dan tahap ketiga adalah verifikasi atau simpulan terhadap hasil analisa data. Ketiga tahap ini merupakan proses yang saling berhubungan, dan tidak berdiri sendiri (Sugiono, 2006: 276-284). .
23
BAB IV BAHTERA GEREJA MESEHI INJILI di HALMAHERA (GMIH) DI LAUTAN LEPAS Bab ini merupakan bab yang mendiskripsikan secara umum tentang situasi dan kondisi GMIH, baik sejarah perjalanan pembentukannya, maupun situasi konflik yang sedang dihadapi yang mengakibatkan perpecahan serta berimplikasi pada dualisme kepemimpinan dalam tubuh GMIH sebagai gereja yang utuh. Namun sebelum melakukan deskripsi tentang situasi dan kondisi GMIH, lebih awal perlu dijelaskan implikasi paradigma Pasca-Modern bagi Misi Gereja terutama misi gereja GMIH yang sedang membangun. 4.1. Implikasi Paradigma Pasca-Modern Bagi Misi Gereja Perkembangan Gereja tentu tidak dapat dilepaskan dari komunitas dan masyarakat di mana gereja tersebut berada atau hidup. Teologi yang dikembangkan oleh gereja tentu (dan harus) diupayakan dalam posisi berdialog dengan tatanan masyarakat yang dilayani gereja. Sekalipun demikian, pada era pasca-modern, teologi yang dikembangkan oleh gereja-gerja termasuk Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah teologi gereja yang tidak dapat dipisahkan dari paradigma pasca-modern, sehingga paradigma yang mempengaruhi pemahaman teologi Gereja mengenai misi tentu dipengaruhi juga oleh paradigma pasca-modern. Menurut Thomas Kuhn, paradigma adalah “An entire constellation of beliefs, values, tecniques and so on shared by the members or a given community” (Widi, 1997:33). Berdasarkan pemahaman di atas, paradigma misi gereja pasca modern perlu dipahami sebagai model interpretasi dan seperangkat nilai-nilai pasca modern yang mempengaruhi pemahaman Gereja tentang teologi misi dalam melaksanakan tugas misioner pada sebuah komunitas dengan konteks pergumulannya. Pasca-moden menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan 24
modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Haryanto, 1994:80). Tema utama yang sering disuarakan pasca-modern antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,
pemencaran,
perbedaan,
diskontinuitas,
dekomposisi, de-definisi,
delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995:44). Secara singkat perbedaan karakteristik antara era modern dan pasca-modern dapat dibedakan dalam dua hal : Modernisme : singular, seragam, tunggal. Sedangkan Post Modernisme : plural, beraneka ragam, bhinneka. Dengan demikian, pasca-modem mendorong manusia untuk menghargai dan menghormati keunikan dan pluralitas, terutama pluralitas dalam teologi. Menyangkut paradigma, menurut David J. Bosch (Bosch, 2000:529-556)5 setidaknya terjadi pergeseran dimensi paradigma era modern ke era pascamodern. Bosch mengemukakan setidaknya terdapat tujuh pergeseran dimensi paradigma dan implikasinya bagi Gereja, yaitu: pertama, pergeseran rasionalitas, bahwa ramalan abad pencerahan tentang agama yang “bermain” pada tataran nilai akan mengalami kemundurun dan bahkan mati, ternyata tidak terbukti kebenarannya. Buktinya pada awal abad ke 20 muncul gerakan Pentakosta dengan mengalahkan pesaing-pesaingnya dalam Protestantisme seperti Lutheran, Reformed dan Anglikan. Di samping itu, kekristenan juga berkembang dengan subur di dataran Cina dan Afrika. Walaupun
demikian,
Bosch
tidak
menganjurkan
untuk
meninggalkan
rasionalitas, karena sebagai manusia kita juga perlu hal-hal yang bersifat rasional dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Tetapi rasional tersebut harus diperluas dengan “dibumbuhi” dimensi spiritual-religius, karena tanpanya maka hidup manusia akan terasa kosong dan hampa. Perwujudan dari perluasan ini adalah sudah tidak berlakunya pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama dan ilmu pengetahuan perlu hidup dalam relasi yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya–menyegani Tuhan adalah permulaan pengetahuan. Kedua, pergeseran skema subjek objek. Dominasi dan objektifitas atas alam 5
Bosch memberikan uraian yang cukup panjang tentang pergeseran dimensi paradigma ini. Dalam bagian ini, saya hanya merangkum beberapa hal yang penting guna memberikan semacam „pencerahan‟ untuk melihat GMIH secara lebih komprehensif, sebab beberapa hal yang dikemukanan Bosch memiliki kemiripan dengan perjalanan GMIH sampai dengan pembaharuan yang sedang terjadi di tahun 2013-2014 ini. Bagian ini selain disarikan dari D.J.Bosch, juga disarikan dari tulisan Ngarbingan, 2004
25
serta penundukan fisik terhadap pikiran manusia, yang selalu menjadi ciri khas Pencerahan ternyata memberikan konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan. Dunia menjadi semakin sederhana, tertutup bahkan unsur misteri dari dunia itu sendiri menghilang, karena dilihat sebagai objek mesinisasi manusia yang kaku. Oleh karena kecenderungan kehidupan yang semakin hancur itulah, maka perlu untuk melakukan reorientasi. Komitmen yang harus dibangun adalah dengan mengakui diri sebagai bagian dari bumi dan saudara dari seluruh umat manusia. Kerangka berpikir Gereja seharusnya diarahkan pada cara berpikir secara holistik yang menekankan kebersamaan antara pikiran dan jasmani, subjek dan objek serta menekankan „simbiosis‟. Karena itu, misi Gereja harus diarahkan pada penggunaan teknologi yang berorintasi pada nilai-nilai Kerajaan Allah dalam menentukan hidup manusia. Ketiga, penemuan kembali dimensi Teologis. Tujuan hidup manusia pada zaman pencerahan menyebabkan hidup manusia semakin tidak ada artinya–hanya mengejar kesenangan, terjebak dalam lingkaran sebab-akibat. Kondisi seperti ini nampaknya bisa bertahan dalam konteks kehidupan dari segelintir orang-orang yang memiliki hak-hak istimewa dalam abad ke 19 di Eropa dan Amerika Utara, karena mereka mempunyai jaminan hidup yang layak. Sementara itu lingkaran sebab-akibat seraca teologis menyebabkan iman yang sifatnya eskatologis semakin tidak dihayati karena tidak ada perubahan yang tidak dapat diramalkan. Pasca-modern melakukan kritik terhadap realitas hidup seperti itu, manusia tidak perlu untuk hidup dalam pola yang lama dan mapan. Segala sesuatu teridentifikasikan dan secara langsung akan memberikan harapan bagi orang bayak, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai hak-hak istimewa. Kondisi ini secara jelas-jelas menggambarkan pertobatan orang-orang yang selama ini tenggelam dalam lingkaran sebab-akibat yang kaku. Dalam konteks ini, misi Gereja menjadi relevan dalam memberikan harapan bagi orang yang kehilangan tujuan hidup. Keempat, pemikiran tentang kemajuan dari Pencerahan membangkitkan ekspansi kolonial dan kemudian melahirkan konsep pembangunan. Karena itu, sejak pencanangan „Pendekatan Komprehensif‟ oleh Konferensi Dewan Misi Intemasional di Yerusalem (1928), Gereja mau tidak mau harus melakukan berbagai hal yang tidak sekedar pelayanan, tetapi terlibat dalam upaya rekonstruksi pedesaan, pemecahan 26
masalah-masalah indusri. Dekade 1960 merupakan periode pembangunan yang dilaksanakan dengan menggebu-gebu baik oleh pemerintah maupun Gereja. Pembangunan yang dijalankan dianggap bisa dan harus menjawab masalah Dunia Ketiga. Kelima, penemuan kembali nilai-nilai dalam fakta kehidupan. Hal mendasar dari pencerahan adalah pembedaan radikal antara fakta dan nilai. Namun, keseluruhan bangunan ini mulai runtuh, tembok-tembok yang dibangun oleh positivisme dan empirisme antara subjek dan objek, fakta dan nilai dalam kenyataannya mulai runtuh. Dalam realitas hidup orang Kristen pada masa pascamodern adalah sikap yang kritis diri, sehingga dengan begitu Gereja dapat terbebas dari ketergantungan kepada utopis yang keliru. Kritis diri ini juga harus disertai dengan memperbaharui dasar-dasar iman Kristen, dengan begitu Gereja akan semakin sadar terhadap sikap misinya terhadap orang-orang dan kepercayaan-kepercayaan lain. Keenam, melampaui optimesme pencerahan. Salah satu unsur yang mengalami tekanan adalah sikap optimistis masyarakat pencerahan yang menganggap bahwa segala pergumulan dan
permasalahan hidup manusia, pada prinsipnya, dapat dipecahkan.
Mimpi- mimpi pencerahan tentang sebuah dunia yang satu di mana semuanya akan menikmati kedamaian, keadilan dan kebebasan telah berubah menjadi mimpi buruk yang penuh konflik, belenggu dan ketidakadilan. D.J Bosch mengemukakan bahwa seruan yang tidak kritis tentang pembaharuan, perubahan dan pembebasan pada tahun 1970-an dalam konferensi-konferensi Gereja sedunia menampakkan ketidakmampuan Barat untuk mempercayai bahwa era hegemoninya telah usai. Orang semakin sadar bahwa wajah dunianya semakin diwarnai oleh kejahatan dalam diri dan struktur masyarakat.6 Ketujuh, dari individualism menuju kesalingtergantungan yang positif. Kepercayaan pencerahan terhadap otonomi individu dalam menentukan dan mencari kebahagiaan hidupnya ternyata membawa dampak negatif. Kemampuan diri sendiri yang diandalkan, yang tidak melihat dan membutuhkan orang lain di sekelilingnya. 6
Dalam konteks GMIH, pola pembaharuan yang dilakukan oleh kelompok reformasi dan pembaharuan dapat dikatakan „tidak kritis‟ sebab telah mengakibatkan mimpi buruk yang penuh konflik, belenggu dan ketidakadilan
27
Karena itu, Gereja perlu hadir dan menciptakan kehidupan yang saling bersama, kesaling-tergantungan, “simbiosis” merupakan wujud dari keyakinan bahwa manusia bukanlah satuan dirinya sendiri melainkan bagian dari organisasi. Disinilah letak manfaat penemuan kembali Gereja sebagai “Tubuh Kristus” dan misi Gereja sebagai pembangunan suatu komunitas dari mereka yang ikut serta dalam sebuah tujuan bersama. Ketujuh dimensi pergeseran paradigma yang dikemukan D. J. Bosch di atas, diyakini turut memberi warna dalam perjalanan Bahtera GMIH sejak awal keberadaannya–tahun 1949 sampai dengan terjadinya prahara GMIH. Prahara yang dimaksudkan
adalah
munculnya
beberapa
kelompok
jemaat
yang
menuntut
pembaharuan GMIH, pembaharuan dimaksudkan untuk mengembalikan GMIH pada “track”
yang
benar–setidaknya
menurut
paradigma
mereka
yang
menuntut
pembaharuan, namun tuntutan ini menjadi “tidak kritis” sebab tidak mampu dikelola secara benar pada tingkat elit dan berimbas pada konflik ditingkat jemaat. 4.2. GMIH Dalam Perjalanan Sejarah Pembentukannya: Keterkaitan GMIH dengan Sistem Politk Negara dalam Perspektif Presbiterial Sinodal Salah satu referensi menarik yang mengisahkan perjalanan sejarah penyebaran Injil di Halmahera adalah “buah tangan” James Haire yang berjudul “Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera” terbitan BPK Gunung Mulia tahun 1998. Dalam buku ini, Haire menguraikan latar sejarah yang melandasi pertumbuhan gereja di Halmahera. Latar sejarah yang dikisahkan berawal dari Papua, ketika terjadi gempa bumi yang mengguncang kepulauan Papua, khususnya Nieu-Guinea pada tahun 1868. Akibat dari gempa bumi tersebut, para zendeling–Utrechtsche Zending Vereeniging (UZV) memperluas wilayah pekabaran Injil yang awalnya di Papua. Dengan demikian, dapat dikakatan bahwa tanpa adanya gempa bumi di Papua, mungkin para zendeling tidak akan berpindah ke Ternate dan memperluas wilayah pekabaran injil sampai ke pulau Halmahera. Selain itu, faktor lain yang turut mempengaruhi pekabaran Injil di Halmahera adalah kedatangan seorang anggota suku Galela yang bernama Moli di ke Ternate. Sebelum tiba di Ternate, Moli bekerja untuk C.W. Ottow salah seorang zendeling Gossner pertama di Neieuw-Guinea, kedatangannya di Ternate akibat 28
zendeling tersebut meninggal dunia (Haire, 1998: 179-181). Dengan demikian, Moli diduga sebagai orang pertama dari Halmehera yang menjadi Kristen (Ngarbingan, 2004:71). Upaya ini memberi jalan bagi zendeling lain guna melakukan
perluasan
pekabaran Injil di Halmahera, diantaranya: De Bode dan Van Dijken yang tiba di Galela pada 19 April 1866, dan memulai pekerjaan Injil dengan semboyan: penginjilan lewat pembangunan negeri. Semboyan ini mengindikasikan bahwa Van Dijken bukan hanya seorang penginjil namun juga seorang petani ulung. Ia menanam kopi, coklat, panili, pala dan segala tanaman palawija serta tembakau. Pertanian ini menarik simpati warga Galela yang masih belum mengenal sistem pertanian secara baik sehingga rumah Van Dijken menjadi tempat berkumpul banyak orang. Kesempatan ini dipakai Van Dijken untuk mengajar mereka. Bahkan ketika wabah kolera menyerang, banyak orang yang disembuhkan Van Dijken, jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui aspek-aspek kehidupan manusiawi, dan pembabtisan pertama baru dilakukan pada 17 Juli 1874, yakni 5 orang laki-laki dan dua orang perempuan (Haire, 1998). Pola pekabaran Injil yang dilakukan van Dijken adalah dengan cara “mengumpulkan massa” kemudian mengajar, setelah itu barulah dibaptis. Kegiatan ini mula-mula dilakukan didaerah pesisir pantai, sebab UZV tidak mendapatkan izin untuk tinggal bersama penduduk. Diperkirakan sekitar tahun 1867 van Dijken berpindah ke tepi danau dan membangun rumah atau boleh dikatakan perkampungan–sebab orangorang yang diajar (mendapatkan pengajaran agama Kristen) olehnya ikut tinggal bersama–perkampungan itu diberi nama Duma yang artinya keheningan (Haire, 1998:187). Kegiatan pekabaran Injil mulai intens dilakukan pada saat itu. Selanjutnya, dalam rangka perluasan pekabaran Injil, maka Anton Hueting diutus ke Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan menjadi penginjil di Ternate. Kehadiran Hueting di Tobelo “bertepatan” dengan terjadinya persoalan politik antara Spanyol dan Portugis yang turut mengadu domba Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Gesekan politik tersebut dalam konteks tertentu dimanfaatkan oleh Hueting guna mendapatkan simpati masyarakat, dia melayani
29
mereka, memberi “pencerahan” dan berhasil meredam pemberontakan. Sehingga tahun 1898 terjadi gerakan masal masuk Kristen dan dibaptis. Pola pekabaran Injil yang Hueting berbeda dengan pola yang dilakukan van Dijken. Hueting dalam prakteknya tidak menganut pertobatan pribadi, namun lebih pada pertobatan masal–pola ini intinya adalah yang terpenting dibabtis dulu baru dibina atau dididik; sedangkan van Dijken menganut pola pertobatan pribadi, yakni mendidik dan mempersiapkan dengan baik warga masyarakat untuk menerima Injil melalui pendidikan, kesehatan, pertanian dan kehidupan sosial, setelah itu barulah mereka dibabtis. Babtisan masal yang pernah dilakukan Hueting adalah membaptis masyarakat desa Wohia–sekarang sering disebut Wosia, dan pada tahun 1898-1910 terjadi pembabtisan orang-orang suku Tobelo (Ngarbingan, 2004:73). Apabila dipetakan dalam rentang waktu, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa 1866-1897 yang berperan penting dalam pekabaran Injil pada wilayah ini adalah van Dijken dengan pola pelayanan “terpusat” atau terkonsentrasi. Artinya dia “mengumpulkan” masyarakat dan mengajar mereka baik dalam hal pengetahuan tentang pertanian maupun penguatan iman Kristen; sedangkan pada periode 1886-1915 yang berperan penting adalah Anton Hueting yang menerapkan metode “misi sosiologis”. Dalam
pandangan
James
Haire
(1998),
metode
ini
dikatakan
bertujuan
memasyarakatkan Kekristenan lewat kerja-kerja yang bertujuan pragmatis. Artinya yang penting masyarakat dibaptis, dijadikan Kristen, dan mendapatkan “surat murid” sebagai tanda meninggalkan agama nenek moyang mereka (Van den End & Weitjens, 1999:137). Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua metode/cara pendekatan pekebaran Injil di Halmahera (Galela dan Tobelo), dapat disimpulkan bahwa metode ini berhasil dalam menanamkan benih Kekristenan yang kemudian tumbuh sebagai sebuah Gereja yang akhirnya dikenal sebagai Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengalaman van Dijken dan Hueting di Galela dan Tobelo merupakan titik tolak pembangunan Gereja di Halmahera. Pola misi sosiologis yang digunakan Hueting terus berlanjut, di mana pada saat Hueting
30
membaptis masyarakat Pitoe (Tobelo) tanggal 3 Juli 1898, terdapat juga orang-orang Loloda yang berasal dari desa Doroeme (Dorume) yang ikut dibaptis. James Haire (1998: 205-210) mengemukakan bahwa setelah pembaptisan itu, mereka (orang-orang Loloda) kembali ke Loloda atas bujukan Hueting, dan Van Baarda diutus juga dalam proses kembalinya orang Loloda tersebut guna membangun basis pelayanan di sana. Basis pelayanan yang mulai difungsikan pada tanggal 20 November 1898 menambah “kantong-kantong” pekabaran Injil yang telah ada sebelumnya, sekalipun demikian, dibangunnya basis pelayanan di Loloda perlu juga ditempatkan sebagai bagian strategi politik dalam pelayanan, mengingat Loloda pada waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa pola pelayanan yang dilakukan oleh Hueting lewat misi sosiologisnya adalah memenangkan dan menarik simpatik warga masyarakat (pribumi) yang diindikasikan masih kurang bersimpatik dengan tradisi kesultatan Ternate, seperti daerah Ibu dan Jailolo (Haire, 1998:225). Upaya keras yang dilakukan guna membaptis masyarakat yang dianggap belum Kristen, khususnya di wilayah Halmahera bagian Barat lewat motode misi sosilogisnya menghasilkan 22 jemaat Kristen di wilayah ini, belum termasuk jemaat-jemaat Kristen di bagian Halmahera lainnya (Ngarbingan, 2004:76). Pada tahun 1940 diadakanlah konferensi di Kupa-Kupa, Tobelo. Konferensi dilakukan akibat munculnya tanda-tanda bahwa Zending hendak menyerahkan usaha penginjilan untuk diteruskan pribumi karena Jepang hampir pasti menguasai ASEAN Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942 – dan Belanda dikuasai oleh Jerman pada 10 Mei 1940. Keputusan yang disepakati dalam konferensi adalah mengumpulkan dana setempat guna menutupi defisit anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan komunikasi dengan negeri Belanda. Selain itu, konperensi membentuk founds Injil dan hasil dana dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil setempat serta cita-cita pengelolahan gereja Halmahera oleh pribumi (Haire, 1998:17). Pada periode ini, Jepang melancarkan kebijakan yang “menghilangkan” segala sesuatu yang telah dilakukan atau di hasilkan oleh Belanda. Imbasnya para Zending bahkan guru Jemaat yang masih melakukan aktivitas dengan Belanda ditawan oleh 31
Jepang. Kebijakan ini mendapatkan reaksi dari jemaat-jemaat yang telah terbentuk, di satu sisi mereka menolak kebijakan Jepang dalam memperlakukan para zending namun di sisi lain mereka “meminta‟ bantuan Jepang dan lewat kesultanan Ternate untuk membicarakan kepentingan Gereja Halmahera. Upaya ini mendapatkan respon dari Jepang yang memerintahkan mempersiapkan suatu badan persiapan kemandirian gereja yang keanggotaannya ditentukan atau berdasarkan persetujuan Jepang. Badan ini akhirnya membentuk Gereja Protestan Halmahera (GPH) yang sebagian besar unsur gerejanya berasal dari wilayah Halmahera bagian Barat (Tolo, 1968). Walaupun telah berhasil menciptakan Gereja sendiri (GPH), namun realitasnya terdapat semacam perbedaan dalam jemaat-jemaat yang telah ada waktu itu. Artinya selain terbentuknya GPH, terdapat jemaat-jemaat khususnya yang berada di wilayah Galela dan Tobelo masih mengharapkan “kedatangan” para zending guna menuntun mereka. Akibatnya adalah muncul keinginan untuk bergabung dengan Gereja Protestan Maluku (GPM) yang merupakan bentukan zending Belanda. Keinginan disampaikan lewat delegasi jemaat Galela dan Tobelo yang menemui Sultan Ternate dan Mentsjibu yang meminta agar Pdt. Kriekhoff (pendeta GPM) di Ternate melayani sakramen di Halmahera khususnya Tobelo dan Galela, dan permintaan ini disetujui. Sebenarnya keinginan ini sangat beralasan karena kedekatan Tobelo dan Galela kepada orang Ambon
(GPM)
karena
banyaknya
penginjil
dan
guru-guru
jemaat
adalah
orang Ambon (Tolo, 1968:1). James Haire (1998:33) menguraikan bahwa pada tahun 1945 para zending mulai kembali ke Indonesia. K. A. Bot dan van den Bent adalah zending yang tiba di Tobelo tahun 1945 dan mendirikan kantor di Daoe-Morotai, namun pada tahun 1946 mereka kembali ke Tobelo. Kembalinya para zending ini disambut dengan baik oleh penduduk Halmahera. Hal ini mengindikasikan bahwa jemaat-jemaat di Halmahera sebenarnya masih terus mengharapkan kedatangan kembali para zending tersebut, ini juga memperkuat dua wacana yang berkembang saat itu, yakni, di satu sisi terdapat jemaat yang menghendaki kemandirian gereja yang benar-benar mandiri di bumi Halmahera, dan di sisi lain masih juga terdapat jemaat yang menghendaki dipimpin oleh para
32
zending. Walaupun demikian, kedatangan para zending mengemban sebuah misi yakni ingin bekerjasama dengan para pemimpin jemaat di Halmahera (Junga, 1978:20). Mencermati uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada semacam ketidaksepakatan pada zending terhadap pendirian Gereja Protestan Halmahera (GPH). O. R. Djawa yang menulis “Sedjarah Singkat Lahirnya G.M.I. di H. dan Usaha-Usahanya Selama Dua Puluh Tahun”, mengatakan bahwa: “Tampaknya sudah saatnya menggunakan kata “Gereja” lagi, ketimbang “zending”, bukan GPH sudah ada sejak usaha-usaha kemandirian yang dilakukan oleh Tolo di Jailolo pada tahun 1942 atau Rapat Umum di Tongotesungi pada tahun 1943, tetapi sejak Juni 1946, ketika zendeling memindahkan kantor administrasinya ke Tobelo dengan papan di depannya bertuliskan “Kantor Bakal GPH” (Djawa 1969:2). Maksudnya adalah bahwa GPH yang telah dibentuk atas dasar persetujuan Jepang pada tahun 1942 masih dipertanyakan kesahihannya sebagai sebuah Gereja di Halmahera pada waktu itu. Dengan demikian, untuk merealisasikan kebutuhan dan keinginan para zending dalam bekerjasama dengan pimpinan jemaat di Halmahera, maka para zending mengambil tiga langkah (Haire, 1998:50), yakni: pertama, mereka berusaha menata kembali pekerjaan rutin Gereja7; kedua, menahbiskan para guru jemaat/sekolah yang senior pada Agustus 1946, kelima orang tersebut adalah, H.B. Hamijs, E. Polnaija, J.F. Noija, J. Djawa dan P.J. Joija; dan ketiga adalah melakukan konferensi di Tobelo dari 11-18 Januari 1947, yang anggotanya terbatas pada kelima guru jemaat yang telah di tahbiskan di atas. Dapat dipahami bahwa usaha kemandirian dalam wujud GPH memang mendapatkan banyak tantangan, baik secara internal–adanya perbedaan pada tingkat jemaat maupun secara eksternal dari akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, saat tentara Sekutu berhasil meruntuhkan kekuatan Jepang dan membangun basis pertahanannya di Morotai–itulah sebabnya K.A. Bot dan van den Bent ketika kembali ke Halmahera memilih Daoe-Morotai sebagai tempat mendirikan kantor sebelum 7
Langkah pertama tampak jelas dari apa yang diuraikan O.R. Djawa di atas. Dan bagi saya (peneliti), ada semacam indikasi ketidaksepakatan dari para zending untuk menerima kenyataan bahwa GPH telah dibentuk dan dipimpin oleh orang-orang pribumi sendiri. Seolah-olah Gereja tanpa campur tangan zending bukanlah gereja.
33
berpindah ke Tobelo. Kekalahan Jepang memberikan atau membuka kembali jalan zending untuk memimpin jemaat di Halmahera dan “menganulir” GPH dengan bentukan badan (gereja) baru pada tanggal 6 Juni 1949 dengan nama Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Sekalipun demikian, upaya kerjasama zending dan para pemimpin jemaat di Halmahera (termasuk para pemimpin GPH) tidak bisa seluruhnya dipandang negatif. Kerjasama tersebut telah dengan sadar bertujuan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Halmahera guna dipersiapkan sebagai pemimpin Gereja mandiri. Upaya itu ditunjukan dengan mengirimkan enam orang guru jemaat atau guru sekolah untuk melanjutkan belajarnya di Sekolah Theologia untuk Indonesia Timur tahun 1947 di SoE, Timor. Keenam orang tersebut adalah: 1) C Ray-Ray dari Tobelo, 2) F. Nanere dari Kao, 3) B. Mailoa dari Galela, 4) D. Djumaty dari Jailolo/Sahu, 5) R. Salakparang dari Buli, dan 6) H. Samange dari Loloda (Ngarbingan, 2004:88). Harapannya dengan pengembangan sumber daya manusia ini, gereja di Halmahera dapat berdiri secara mandiri terlepas dari campur tangan orang Ambon. Pembentukan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) diawali dengan diadakannya peretemuan pada tahun 1948 yang dalam arsip GMIH disebut Proto-Sinode kedua–Proto-Sinode pertama diakui terjadi pada tahun 1940 di Kupa-Kupa, Tobelo. Keputusan Proto-Sinode kedua adalah dibentuknya sebuah badan persiapan Sinode Gereja, badan ini dipercayakan menyusun Anggaran Dasar atau Tata Gereja, masa kerja badan persiapan ini ditetapkan antara bulan Juni 1948-Juni 1949. Hasil kerja badan persiapan Sinode Gereja di sampaikan dalam Sidang Pertama tanggal 4-14 Juni 1949 di Tobelo. Sidang pertama ini kemudian ditetapkan sebagai Sidang Sinode Pertama dalam Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Dalam sidang ini disepakati Anggaran Dasar atau Tata Gereja yang merupakan hasil kerja badan persiapan, yang terdiri dari sembilan pasal, yang dalam pandangan James Haire (1998:59) disebut sebagai “dokumen yang agak tradisional”, diantaranta: : 1) Geredja; 2) Djoema'at; 3) Djawatan; 4) Pelajanan Al-Kalam dan Tanda-Tanda Ezrar (Sakramen); 5) Nikah; 6) Oemat Kristen di dalam Persekoetoean adat dan masjarakat Baroe; 7) Keoeangan; 8) Perhoeboengan dengan Geredja lain; 9) Permohonan peratoeran Gereja. 34
Selain menerima Anggaran Dasar atau Tata Gereja tersebut, dalam sidang ini juga terjadi perdebatan soal nama Gereja yang baru akan dibentuk itu. Hasil perdebatan mengerucut pada kesepakatan nama gereja, akhirnya tanggal 6 Juni 1949 dilakukan ibadah pertama dan secara resmi Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) ditetapkan sebagai nama yang disepakati dan tanggal 6 Juni ditetapkan sebagai hari kelahirannya. Ketua sinode yang pertama adalah Pdt. A. Ploeger dari VNZ. Keenam anggota lainnya dari Badan Pengurus ini terdiri dari tiga orang Halmahera (J. Junga, sebagai Sekretaris; Pdt. J. Djawa dan R.B. Djago) serta tiga orang Ambon (Pdt. E. Polnaija, Wakil Ketua; S.B. Lesnussa, Bendahara: dan J. Noija).8 Susunan atau struktur organisai Sinode GMIH pertama (1949-1960) adalah: a) Badan Pengurus Sinode, yang susunannya terdiri dari: seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, seorang Bendahara, dan Anggota-Anggota; b) Badan Pengurus Klasis (BPK) terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Anggota; c) Badan Ring terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota; dan d) Majelis Gereja yang teridiri dari: Guru Injil (guru Jemaat), PenatuaPenatua dan Syamas. Jumlah Majelis Gereja disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam perkembangnnya ketika memasuki masa kepemimpinan Sinode GMIH kedua (1960-1967), Badan Ring kemudian dihapus demi efesiensi dan kelancaran penyaluran keuangan ke Klasis. Namun pada level Badan Pekerja Sinode (BPS), posisi sekretaris ditambahkan satu orang (Sekretaris II), alasannya adalah demi kelancaran organisasi–membantu sekretaris mengurus administrasi gereja. Selain itu, ada penambahan struktur dengan posisi: a) Kepala Perkebunan, b) Ketua Yayasan Kesehatan, c) Ketua Sinar Pemuda Masehi Halmahera (SPMH), d) Pimpinan Sekolah Pendidikan Guru Kristen, f) Hubungan Masyarakat, dan g) Ketua Kaum Wanita Kristen (KWK). Beberapa organisasi seperti SPMH, Pendidikan/Sekolah Guru Kristen dan KWK sebenarnya berdiri sendiri sebab memiliki Anggaran Dasar sendiri, namun gereja mengakomodir mereka guna membantu pelayanan gereja. Dengan demikian, struktur organisasi yang ditetapkan dan diputuskan dalam Sidang Sinode ke-XV GMIH yang berlangsung pada bulan September 1971 untuk 8
Hasil wawancara dengan Pdt. Anton Piga (Ketua Sinode GMIH), tanggal 10 Januari 2014; Pdt Leonard Duan (Mantan Ketua Sinode GMIH), tanggal 12 Januari 2014
35
periode kepemimpinan Sinode GMIH 1971-1975 adalah: a) Ketua Umum dan dibantu dua orang Ketua–jadi terdapat tiga Ketua, Wakil Ketua dihapus, b) Sekretaris Umum yang dibantu 3 Sekretaris Departemen, yakni: departemen Koinonia, departemen Diakoni, dan departemen Marturia, c) Bendahara, d) Kepala Perkebunan, e) Ketua Yayasan Kesehatan, dan f) Ketua Yayasan Pendidikan. Dalam fase kepemimpinan Sinode ini (1971-1975) pola persidangan Sinode GMIH tidak mengalami perubahan dengan periode sebelumnya, yakni dua kali sidang. Periode ini BPS melaksanakan tugasnya selama 4 tahun, dan melaksanakan dua kali persidangan, yakni: Sidang Sinode Antara yang dilakukan pada tahun 1973 dan Sidang Sinode yang dilakukan tahun 1975. Mencermati penjelasan James Haire (1998: 85-93) ditemukan dua tema besar yang menjadi pergumulan GMIH dalam rentang waktu 1969-1979, yakni: pertama, masalah kesukuan yang berdampak pada “bongkar-pasang” struktur organisasi GMIH guna terus mengakomodir kepentingan-kepentingan orang Halmahera, dan kedua tema pembangunan yang perlu digumuli oleh gereja. Pergumulan pembangunan oleh gereja tampak dalam setiap tema yang diusung dalam Sidang Sinode GMIH, yakni: tahun 1969, "Membangun Di Dalam Kristus", sub temanya "Wujudkanlah PELITA"; tahun 1971, "Diutus ke Dalam Dunia", sub temanya "Partisipasi Gereja di Tengah-Tengah Negara Yang Sedang Membangun"; tahun 1974, "Yesus Kristus Memberikan Pertumbuhan", sub temanya "Peranan Gereja dalam Pembangunan Maluku Utara"; tahun 1975, "Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan", sub temanya "Meningkatkan Pendidikan untuk Membangun Gereja dan Negara". Pada periode selanjutnya pergumulan GMIH masih belum mengalami perubahan, yakni menyangkut struktur gereja dan kesukuan, termasuk pergumulan teologis tentang pembangunan, seperti tema yang diusung dalam Sidang Sinode tahun 1987, yakni: “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”, Sub Tema “Melalui Jalan yang ditunjukan Yesus Kita Tingkatkan Kesaksian dan Pelayanan Gereja Dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”. Demikian pula dengan tema Sidang Sinode sebelumnya pada tahun 1983 di Tobelo, yakni: “Yesus Kristus Kehidupan Dunia”, Sub Tema “Pembaharuan Kristus Harus Merupakan Dampak Dalam 36
Meningkatkan Peran Serta dan Pergumulan Gereja di Tengah Bangsa Yang Sedang Membangun”. Tem-tema Sidang Sinode yang selalu berkaitan dengan pergumulan teologis akan pembangunan bangsa dan negara termasuk di dalamnya masyarakat dan jemaat GMIH di Halmahera, bagi peneliti mengkonformasikan adanya keinginan gereja untuk ikut membangun bangsa dan negara. Implikasi dari tema seperti ini tentu sangat banyak, salah satunya membuka ruang bagi para pelayan (pendeta) untuk ikut memikirkan tidak saja pelayanan gereja (ibadah) namun juga ekonomi masyarakat (jemaat), dan memikirkan atau membicarakan ekonomi tentu memiliki keterkaitan erat dengan pengambilan kebijakan politik di Ternate dan Halmahera. Pergulatan teologis (gereja) dan pembangunan yang tampak dalam setiap tema Sidang Sinode, berimplikasi pada keinginan gereja termasuk Pendeta untuk ikut memikirkan tentang dunia ekonomi, sosial, bahkan politik dalam rangka mewujudkan kehidupan gereja dan jemaatnya yang lebih baik. Konsepsi ini berkonsekuensi logis bagi munculnya keinginan para pendeta untuk terjun dalam dunia politik, bahkan politik praktis sebagai anggota partai politik maupun anggota legislatif. Hal menarik lainnya adalah kembali dirubahnya Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH dalam Sidang Sinode ke-XXIII tanggal 30 Agustus – 6 September 1992 di Doruba, Morotai. Sidang ini mengambil tema: “Roh Kudus Memberi Kuasa Menjadi Saksi”, dengan sub tema “Bersama-sama Memantapkan Kemandirian Theologia, Daya dan Dana Selaku Tanda Pembaharuan Umat Yang Taat Melaksanakan Persekutuan dan Pelayanan Gereja Dalam Pembangunan Nasional”. Perubahan Tata Gereja ini didasarkan pada kebutuhan serta perkembangan gereja yang beriringan dengan perkembangan masyarakat. Dalam Sidang Sinode ini pula, asas Presbiterial Sinodal (berjalan bersama tua-tua) ditetapkan sebagai dasar gerak GMIH dalam pelayanannya. Dalam struktur organisasinya, terjadi perubahan dari Badan Pekerja Sinode (BPS) GMIH menjadi Majelis Pekerja Sinode (MPS) GMIH. Selain itu, juga terjadi perubahan yakni dihapusnya Majelis Sinode–yang merupakan wakil dari gereja sebagai bentuk yang mewakili asas presbiterial sinodal. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan MPS langsung berada di bawah Sidang Sinode. Kelihatannya memang terjadi 37
kontradiksi dalam keputusan Sidang Sinode tersebut, di satu sisi ditetapkan asas presbiterial sinodal sebagai dasar gereka GMIH, namun di sisi lain Majelis Sinode yang merupakan representasi jemaat-jemaat sebagai bagian penting asas presbiterial sidonal dihapus. Sehingga asas presbiterial sinodal menjadi kurang bermakna, namun keputusan itu tetap dijalankan dan tidak ada protes yang berujung pada pembaharuan. Dihapusnya Majelis Sinode yang merupakan “lembaga” perwakilan dari gerejagereja (terdiri dari penatua-penatua) didasarkan pada keinginan optimalisasi fungsi pelayanan dengan memberikan kewenangan besar pada MPS untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan mendesak, sebab tidak mungkin mengumpulkan Majelis Sinode secara cepat mengingat wilayah pelayanan yang semakin luas atau semakin besar.
Namun tindakan ini juga telah membuat GMIH kehilangan aspek
Presbyterial Sinodalnya, dimana keputusan ini mengerucutkan struktur organisasi dan sistem dilihat sebagai sesuatu yang hirarkis. Aspek pertimbangan bersama dan keputusan bersama hilang digantikan dengan pertimbangan dan keputusan dari pemegang mandat tertinggi. Walaupun demikian, nampaknya keputusan tentang dihapusnya Majelis Sinode memiliki keterhubungan dangan tema-tema Sidang Sinode GMIH sebelumnya yang berupaya mempertautkan Gereja (GMIH) dengan perkembangan ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik pada lingkup bernegara, yang oleh pemerintah Orde Baru ditempatkan dalam satu komando tertinggi guna menyukseskan pembangunan dalam segala bidang tersebut. Dengan demikian, keputusan Sidang Sinode GMIH tentang dimasukannya asas presbiterial sinodal dalam Tata Gereja untuk pertama kalinya perlu dibaca dalam perspektif seperti itu, apalagi presbiterial sinodal gereja NHK di Belanda memang memberi tempat yang lebih khusus bagi Sinode atau kewenangan berada ditangan Sinode. Sehingga gereja dan negara bersatu dalam hal pembangunan. Konsepsi ini membuka ruang bagi munculnya elit-elit gereja (pendeta) untuk terjun dalam dunia politik di Halmahera. Realitas inilah yang terjadi sampai dengan saat ini, yakni, para pendeta ikut langsung mengambil bagian dalam perhelatan demokrasi politik di bumi Maluku Utara, baik sebagai calon dan anggota legislatif, maupun ikut berkecimpung dalam proses-proses pemekaran daerah di Halmahera. Dengan demikian, 38
diguga kuat bahwa asas presbiterial sinodal yang dicanangkan pada Sidang Sinode keXXIII tanggal 30 Agustus – 6 September 1992 di Doruba, Morotai adalah mengikuti versi Gereja NHK di Belanda yang kemudian dipertautkan dengan kebijakan Orde Baru dimana diperlukan sistem komando dalam proses pembangunan. Keputusan ini seolah menjadi “titik api” pertama yang terus menyalah walau tidak langsung membakar. Pergumulan teologis Gereja kelihatannya mengalami sedikit pergeseran dalam menggumuli asas presbitarial sinodal ini. Hal ini tampak dalam tema yang diusung pada Sidang Sinode berikutnya di Balisoan, Sahu tanggal 7-14 September 1997 (Sidang Sinode ke-XXIV, periode 1997-2002), yakni: “Ya Roh Kudus Baharuilah Dan Persatukanlah Kami”, dengan sub tema “Peningkatan Dedikasi dan Loyalitas Pelayan dan Warga Gereja Berdasarkan Takut akan Tuhan Dalam Rangka Melaksanakan
Tri
Panggilan
Gereja
dan
Berperan
Aktif
Dalam Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila Memasuki Abad XXI”. Dalam sidang ini, selain menggumuli dan memperdebatkan asas presbitarial sidonal, juga diwarnai dengan pergumulan gereja akan konflik horizontal yang terjadi diseluruh wilayah pelayanan GMIH. Program kerja GMIH yang telah ditetapkan dalam periode sebelumnya diyakini kurang efektif terlaksana akibat konflik tersebut, akumulasi permasalahan ini menambah beban tersendiri bagi periode kepemimpinan ini. Diakui pula bahwa MPS GMIH yang terpilih pada periode ini tidak dapat menjalankan fungsi pelayanannya dengan baik akibat konflik yang melanda Halmahera, bahkan para pelayan (pendeta) ikut mengambil bagian atau terjun ke dunia politik mengakibatkan masalah pelayanan menjadi terbengkalai. Akibatnya adalah akumulasi kekecewaan atas masalah baik presbiterial sinodal maupun ketidakberdayaan struktur organisasi GMIH menggerakkan pelayanannya di jemaat-jemaat. Kekecewaan ini diduga “ditumpahkan” pada persidangan Sinode berikutnya di jemaat Ikhtus Wari, Tobelo. 4.3. Kondisi dan Situasi GMIH Pasca Konflik Horizontal: Pergulatan Asas Presbiterial Sinodal dan Kepentingan Pendeta Berpolitik Praktis Sidang Sinode GMIH ke-XXV (periode 2002-2007) di Jemaat Ikhthus Wari, Tobelo merupakan sidang yang bertujuan membawa kembali bahtera GMIH menjadi gereja yang utuh. Sidang ini masih menggumuli situasi konflik yang belum benar-benar 39
pulih di wilayah pelayanan GMIH. Hasil wawancara dengan bapak Anton Piga, tanggal 11 Januari 2014, dikatakan bahwa “sedianya Sidang Sinode ini dilaksanakan di Ternate, namun akibat situasi konflik yang belum pulih akhirnya dilakukan di jemaat Ikthus Wari. Dalam persidangan itu, banyak perdebatan tentang boleh tidaknya pendeta berpolitik praktis, selain juga menggumuli tentang situasi konflik yang masih belum benar-benar berakhir”. Akibat konflik, maka keutuhan GMIH menjadi bagian penting yang digumuli dalam persidangan Sinode tersebut. Dengan demikian, struktur organisasi dengan asas presbiterial sinodal sebagai dasar gerak penatalayanan GMIH kembali perlu menjadi perhatian bersama peserta Sidang, guna menemukan format yang tepat dalam melayani dan memperbaharui tatanan masyarakat Kristen di Maluku Utara yang sedang “sakit” akibat konflik. Permasalahannya adalah asas presbiteril sinodal seperti apa yang dikehendaki sebagai dasar gerak GMIH? Mengingat model prebiterial sinodal yang telah ditetapkan masih diindikasikan sebagai adopsi asas gereja NHK di Belanda.9 Pergumulan gereja (GMIH) tantang persatuan yang sudah sejak lama digumuli (sejak sidang sinode sebelumnya) kembali “diangkat” sebagai tema dalam sidang Sinode ke-XXV yakni “GMIH Yang Utuh”. Masalah persatuan dan keutuhan menjadi pergumulan utama, sebab memasuki melenium ketiga, terjadi berbagai gejolak sosial yang terjadi baik di Indonesia secara umum maupun di Maluku Utara secara khusus, apa lagi kondisi saat itu diperhadapkan dengan konflik horizontal di bumi Maluku Utara yang sedang dan dalam proses perdamaian. Dengan demikian, diperlukan pendasaran Iman Kristiani bagi warga jemaat (termasuk gereja) yang sedang dilanda konflik. Dalam sidang ini, menurut catatan Julianus Mojau (2014:14-15) beliau mengusulkan agar sidang “membentuk bidang Ajaran dan Teologi mengingat sudah saatnya GMIH memiliki kesadaran iman kristiani secara kontekstual”. Usulan tersebut diterima sidang, dan pada tahun 2003 (setahun setelah sidang sinode), dalam rangka hari ulang tahun GMIH ke-54 bidang Ajaran dan Teologi di bawah koordinasi Ketua I, Pdt. Sartje Papoeling, M.Th., menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya tentang
9
Topik ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
40
Calvinisme.10 Mencermati “catatan” Mojau (2014) dapat diketahui bahwa aktivitas atau program kerja yang dilakukan oleh bidang Ajaran dan Teologi ini memberi dasar pijak bagi keinginan mengembalikan GMIH pada azas presbiterial sinodal yang sebenarnya, yang dikemudian hari dijadikan alasan kritis oleh Sekretariat Pembaharuan sebagai landasan Sidang Sinode Istimewa GMIH.11 Julianus Mojau dalam bukunya “Sejarah Pembaharuan GMIH” (2014) mencatat setidaknya terdapat 5 (lima) hal penting yang sudah “diingatkan” dan dilakukan oleh kepemimpinan MPS GMIH periode 2002-2007 sebagai peletak dasar bagi tumbuhnya GMIH yang utuh dengan asas presbiterial sinodal12. Ketidak-mampuan dilakukannya kelima hal tersebut oleh kepemimpinan Badan Pekerja Harian Sinode selanjutnya (2007-2012 dan 2012-sekarang), dibawa kepemimpinan Pdt. Anton Poga, diduga berimplikasi pada mencuatnya keinginan dari beberapa tokoh GMIH untuk melakukan pembaharuan GMIH yang berujung pada konflik dan perpecahan. Kelima hal tersebut secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut13: pertama, Pendeta dan Politik Praktis–politik kekuasaan. Masalah ini sebenarnya telah diwacanakan sebelum sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikthus Wari Tobelo, agar pendeta GMIH seharusnya fokus pada panggilan pelayanannya sebagai gembala di dalam jemaat. Menurut catatan persidangan, dalam sidang tersebut Gubernur Maluku Utara (care-taker), Drs. S.H. Sarundajang, M.PA, dalam sambutannya sudah mengingatkan agar pendeta-pendeta GMIH tidak terlibat dalam politik praktis. Namun himbauan ini tampaknya tidak disambut dengan baik, malah menimbulkan debat yang keras antara beberapa warga jemaat (angggota sidang) dengan beberapa pendeta. Bahkan perdebatan itu malah mengerucut pada salah satu Keputusan Sidang Sinode ke-26 sebagai “payung hukum” pendeta berpolitik. Keputusan Sidang tersebut kemudian ditindak-lanjuti oleh MPS GMIH lewat Surat Keputusan MPS GMIH Nomor: 10
Bidang Ajaran dan Teologi pada saat pembentukannya dipimpin atau diketuai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si. namun karena rangkap jabatan sebagai Kepala Biro Personalia dan Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Kristen GMIH (YPTK GMIH), maka pada bulan Mei 2005 Julianus Mojau ditunjuk menggantikan Anton Piga. 11 Interpretasi peneliti terhadap program kerja bidang ini telah membuka ruang bagi tuntutan yang lebih besar pasca sidang sonode tahun 2012 di Dorume yang berujung pada Sidang Sinode Istimewa. 12 Mengenai asas ini akan diuraikan dibagian selanjutnya. 13 Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Julianus Mojau, Buku I “Sejarah Pembaharuan GMIH, Tobelo 2014 hal. 12-31
41
370/Kpts/A-2/2003 tentang Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH Dalam Bidang Politik, dan pada tahun 2008 (lima tahun kemudian) keputusan tersebut direvisi oleh BPHS GMIH dengan Surat Keputusan Nomor: 597/Kpts/XXVI/A-2/2008 tentang Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH Dalam Proses KPU, Pemilu Legislatif, Pilkada Privinsi dan Kabupaten/Kota. Akibat disepakatinya aturan tersebut, maka pada tahun 2004 dalam perhelatan demokrasi politik (pemilu legislatif), sebanyak 37 pendeta GMIH mencalonkan diri sebagai anggota legislatif namun hanya sebagian yang terpilih (Djurubasa, 2013). Selain itu, dalam pemilu legislatif tahun 2009 juga terdapat pelayan gereja (pendeta) yang ikut mengambil bagian praktek politik praktis tersebut. Pertanyaannya jika hal ini telah merupakan Keputusan Sidang Sinode GMIH, yang konstitusional, mengapa pasca Sidang Sinode tahun 2012 di Dorume masalah keikutsetaan pendeta dalam politik dijadikan alasan mendasar yang berujung pada munculnya SSI?. Kedua, membentuk bidang Ajaran dan Teologi. Usulan pembentukan bidang ini datang dari Julianus Mojau yang kemudian di terima oleh sidang, dan menjadi salah satu keputusan Sidang Sinode XXV tahun 2002. Bidang ini pada awal pembentukannya di pimpin oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., namun karena kesibukan rangkap jabatan, maka pada bulan Mei 2005 Julianus Mojau ditunjuk untuk menggantikan Anton Piga. Beberapa kegiatan yang dilakukan bidang ini adalah: a). Semiloka tentang Calvinisme, pada tanggal 4-5 Juni 2003 menghadirkan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dengan materi ceramah “Beberapa Catatan untuk Diskusi dalam Rangka Mencari Ajaran dan Teologi GMIH”, dan Pdt. Dr. J.M. Saruan dengan materi “Eklesiologi Calvinis dan Pengembangannya”; b). Satu program penelitian lapangan tentang Ajaran dan Teologi yang dibiayai oleh Kerkinactie-Belanda. Penelitian ini diketuai oleh Julianus Mojau yang beranggotakan 9 (sembilan) orang (delapan pendeta dan satu vikaris). Penelitian ini menghasilkan “draft pemahaman dasar iman GMIH” yang kemudian oleh MPS GMIH periode 2002-2007, disampaikan secara bersamaan dengan draft perubahan Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH ke Sidang Sinode ke-26 di Jeemaat Tiga Saudara, Ibu. Namun dalam laporan Mojau, draft ini tidak sempat dibahas dalam persidangan tersebut. 42
Ketiga, draft Tata Dasar dan Peraturan-Peraturan. Dalam periode 2002-2007 muncul kesadaran untuk mengembalikan peran kemajelisan, sekalipun belum berhasil didiskusikan lebih mendalam dan belum tertuang dalam Tata Rumah Tangga GMIH tahun 2002. Dengan adanya wacana ini, MPS GMIH melalui Lembaga Pembinaan Warga Gereja (LPWG) melakukan Semiloka yang dikoordinir oleh Ketua LPWG, Pdt. Izhak Sumtaki, M.Th., dengan topik “Asas Presbiterial Sinodal” tanggal 18 Agustus 2005 di Jemaat Imanuel Gamsungi Tobelo. Usaha ini kemudian ditindaklanjuti oleh Tim Revisi Tata Gereja GMIH, kerja Tim ini menghasilkan perubahan atas Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH 2002 dan menghasilkan draft Tata Dasar GMIH 2007. Menurut Julianus Mojau, dalam “draf itu cukup jelas perbedaan penerapan praktik Asas Presbiterial Sinodal GMIH secara drastis, yaitu: menerjemahkan jiwa dan nafas asas presbiterial sinodal secara konsekuen ke dalam pasal dan ayat Tata Dasar 2007; hubungan-hubungan hierarkis dihapus. Itulah sebabnya Wilayah dan/atau Klasis pun dihapus; hubungan yang ada Jemaat–Sinode (Mojau, 2014:21). Perubahan ini kemudian diterima dan menjadi keputusan Sidang Sinode GMIH ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu (BPHS GMIH, 2008). Walaupun demikian, ada kesan bahwa perubahan ini tidak ditindaklanjuti dengan perubahan Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH pada periode yang sama. Keempat, Arah Hidup Menggereja yang Liberatif dan Rekonsiliatif. Salah satu keputusan Sidang Sinode
ke-25 adalah mengembangkan hidup menggereja yang
liberatif dan rekonsiliatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era otonomi daerah. Guna mengkonkritkan keputusan Sidang tersebut dilakukan Study Meeting dalam Rapat Kerja Tahunan, tanggal 31 Oktober – 4 November 2004 di Jemaat Elim Gura Tobelo. Study Meeting ini bertujuan sebagai bentuk pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat (Jemaat) dalam menjalin relasi-relasi kehidupan yang liberatif dengan sesama. Dua tokoh yang diminta untuk membawakan materi adalah: 1). Ir. Hein Namotemo (Ketua III MPS GMIH, dengan materi “Gereja dan Masyarakat; dan 2). Dr. Julianus Mojau, dengan materi “Hidup Menggereja GMIH yang Kontekstual dalam Konteks Dinamika Sosial di Propinsi Maluku Utara”. Gagasan study
43
meeting kemudian diakomodir dalam Tata Dasar GMIH 2007 sebagai salah satu hasil Keputusan Sidang Sinode ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu. Kelima, Perbaikan Jaminan Hidup para Pengereja GMIH. Untuk upaya ini, MPS GMIH periode 2002-2007, berdasarkan “catatan” Julianus Mojau, dia diminta untuk melakukan penelitian kecil guna melihat kemampuan/potensi jemaat-jemaat dalam Sinode GMIH apakah dengan kemampuan yang mereka miliki mampu meningkatkan jaminan hidup para pengereja GMIH. Hasil penelitian Mojau dengan menggunakan metode secara acak (random-sample method)14 adalah bahwa kemampuan atau potensi jemaat yang ada bisa atau mampu meningkatkan jaminan hidup para pengereja. Hasil penelitian ini dipaparkan dalam Rapat Kerja Tahunan tahun 2006 di Hatetabako, dan dia “mengusulkan kenaikan perbaikan jaminan hidup pengereja GMIH dengan kenaikan 150% dari pendapatan dasar saat itu. Namun usulan ini kurang diterima oleh peserta Rakerta, akhirnya dilakukan pembahasan dalam kelompok dengan “simulasi ujipotensi” yang dipimpin oleh Ir. Hein Namotemo, M.Sp, dan disepakati kenaikan hanya sebesar 100% (Mojau, 2014:25). Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa dalam Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikthus Wari Tobelo, keinginan-keinginan bersama untuk perbaikan struktur organisasi gereja (GMIH) dan perbaikan jaminan hidup para pendeta dan pegawai gereja lainnya (pengereja–meminjam istilah Julianus Mojau), telah dengan sadar dipikirkan, ditetapkan, dan diputuskan dalam Sidang Sinode, baik Sidang ke-24, Sidang Sinode ke25, maupun Sidang Sinode ke-26, termasuk juga diputuskan dalam Rapat Kerja Tahunan, atau secara kontekstual keinginan pembaharuan GMIH telah muncul sejak periode kepemimpinan MPS GMIH 2002-2007. Benih ini diharapkan untuk dirawat dan dipupuk oleh periode kepemimpinan Sinode GMIH sejanjutnya. Namun apadaya “Apolos” dikatakan tidak juga menyiram benih itu, dan agar tidak mati sia-sia, benih itu dipaksakan tumbuh dengan “wajah yang berbeda”.
14
Dalam tulisannya, Mojau tidak memaparkan berapa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini, termasuk variasi sampelnya tidak juga diuraikan. Yang jelas dia mengatakan bahwa potensi yang dimiliki jemaat memungkinkan untuk meningkatkan taraf hidup para pengereja.
44
4.4. Pergantian Kepemimpinan Sinode GMIH: Pergulatan Presbiterial Sinodal dan Pendeta Berpolitik Praktis, Memunculkan Tanda-Tanda Keretakan Kepemimpinan Sinode GMIH periode 2002-2007 harus berakhir dan tongkat estafet (kepemimpinan) itu harus diserahkan kepada orang lain. Pergumulan tentang asas presbiterial sinodal yang telah disepakati bersama
juga dibebankan kepada
kepemimpinan periode baru ini untuk dilanjutkan. Dalam bahasa Mojau (2014:12) dibuat dengan judul: “Suara dari Jemaat Ikthus Wari ke Jemaat Tiga Saudara.” Topik ini membahas lima hal penting yang juga telah peneliti jelaskan di atas (bagian 4.3), yang oleh Mojau dikatakan sebagai “benih pembaharuan penghayatan dan praktek hidup menggereja GMIH secara kontekstual dimulai oleh keputusan Sidang Sinode XXV yang kemudian secara konsisten diwujudkan oleh kebesaran hati masa kepemimpinan MPS GMIH, periode 2002-2007…yang kemudian disemaikan dalam persidangan Sinode ke26 di Jemaat Tiga Saudara-Ibu, tanggal 17-22 Juli 2007” (Mojau, 2014:26-27) 15. Mengikuti alur penjelasan Julianus Mojau, peneliti mengkonstruksikan makna penjelasan di atas sebagai “rawatlah benih itu agar ia dapat tumbuh menjadi bunga mawar yang bisa mengharumkan bahtera GMIH yang sedang berlayar”. Pesan ini agaknya kurang mendapat tanggapan yang serius dari periode kepemimpinan yang baru (setidaknya menurut kelompok pembaharuan), sebab realitasnya pendeta masih saja terlibat dalam politik praktis, bahkan Ketua Sinode diketahui juga memegang jabatan penting dalam salah satu partai politik, termasuk juga Sekretaris Sinode yang ikut mencalonkan diri sebagai kandidat dalam perhelatan politik praktis pemilihan Bupati di salah satu kabupaten di Maluku Utara. Namun pertanyaannya siapa yang harus disalahkan? Atau siapa yang harus bertanggungjawab? Bukankah keterlibatan pendeta dalam politik praktis turut terlegitimasi secara kelembagaan pada periode 2002-2007. 15
Yang terdiri dari: 1). Pdt. L.P. Duan, S.Th sebagai Ketua, 2). Pdt. Sartje Papoeling, M.Th sebagai Ketua I, 3). Pdt. Reinhard Salakparang, S.Th sebagai Ketua II, 4). Ir. Hein Namotemo, M.Sp sebagai Ketua III, 5). Dr. J. Nanere sebagai Ketua IV, 6). Pdt. M.D. Boediman, M.Th sebagai Sekretaris, 7). Ph. Thomas, BA sebagai Wakil Sekretaris, 8). Pdt. W. Petonengan sebagai Bendahara, dan 9). Pnt. M. Thomas sebagai Wakil Bendahara (Mojau, 2014:26-27).
45
Struktur organisasi GMIH jika ditelaah secara objektif sejak kemunculan GMIH sebagai Gereja Mandiri tahun 1949 selalu mengalami “pasang-surut” perubahan atau pembaharuan struktur organisasi, dan bagi peneliti ini adalah dinamika yang memang harus muncul dalam setiap organisasi. Namun jika perubahan struktur organisasi itu mengakibatkan perpecahan dalam tubuh GMIH dan memunculkan dualisme kepemimpinan
seperti
saat
ini,
maka
siapakah
yang
harus
dimintai
pertanggungjawaban? Kedua kubu sama-sama mengklaim diri sebagai yang benar, dan kebenaran masing-masing kubu turut terlegitimasi oleh jemaat-jemaat sebagai pendukung setia mereka. Julianus Mojau dalam kata pengantar “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode ke26 tahun 2007 di Jemaat Tiga Saudara Ibu, mengatakan “kita berterima kasih kepada BPHS (dulu: MPS), periode 2002-2007, yang dengan keberanian tanpa takut kehilangan kekuasaan dalam jabatan-jabatan struktural telah meletakan Pembaharuan eklesiologis GMIH…kita juga berterima kasih Bupati Halmahera, Bapak Ir. Hein Namotemo, M.Sp dalam kapasitas sebagai Ketua III, telah ikut mengawal Pembaharuan eklesiologis GMIH ini dengan memfasilitasi secara teknis…” (Mojau, 2014:27-28). Pertanyaannya mengapa Mojau harus begitu “vulgar” mengatakan bahwa gereja (GMIH) harus berterima kasih secara khusus kepada seseorang? Bukankah “pesan” dari Ikthus Wari ke Tiga Saudara Ibu tidak “kemas” oleh seorang individu? Bukankah “pesan” itu merupakan kerja keras secara kolektif atau dalam bahasa yang bernada teologis bukankah pesan itu merupakan keputusan bersama tua-tua yang merupakan konsekuensi logis dari praktek presbiterial sinodal yang mereka usung bersama?.16 Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mengkonfirmasikan asas “berjalan bersama tua-tua” (presbiterial sinodal) diduga tidak muncul dari kesadaran menggereja pada tingkat jemaat. Sidang Sinode ke-XXVI di Jemaat Tiga Saudara Ibu menghasilkan struktur kepemimpinan Sinode GMIH yang baru. Kepemimpinan GMIH yang baru ini
16
Pertanyaan-pertanyaan ini (mungkin) dapat mengkonfirmasi tulisan Egbert Hoata (Biro Hukum, Demokrasi dan HAM GMIH), dalam Surat Kabar Obor Halmahera, Edisi I/X/2013, hal. 6, dengan judul “Ompongnya Akademisi Tobelo: Menyorot keterlibatan sejumlah Akademisi Tobelo dalam Gerakan Pembaharuan GMIH”
46
dinahkodai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, selain itu, Keputusan Sidang tersebut juga merubah Majelis Pekerja Sinode (MPS) menjadi Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS). Ada harapan besar yang dibebankan kepada kepengurusan (BPHS) GMIH yang baru ini, yakni merawat dan menjaga agar benih Presbitarial Sinodal dalam wujud kepemimpinan kolektif akan terus diwujudkan dalam GMIH guna menghasilkan penatalayanan Gereja yang memberdayakan jemaat, dan meniadakan struktur organisasi hierarkis yang sebelumnya ada, yang seolah menjauhkan pengereja dan jemaat. Apabila mencermati program kerja yang dilakukan oleh periode kepemimpinan Sinode (BPHS) GMIH 2007-2012 yang dinahkodai Pdt. Anton Piga, tidak ada masalah serius dan berat (pelanggaran terhadap Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga) yang dilakukan oleh kepengurusan periode ini. Membaca semua topik yang dibahas Julianus Mojau dalam buku kecilnya (Buku I Sejarah Pembaharuan GMIH, 2014), yang dikemukakan sebagai alasan mendasar oleh penulis17 yang juga adalah pendukung Sekretariat Pembaharuan adalah: “seharusnya benih pembaharuan penghayatan dan praktek hidup mengereja GMIH itu dipelihara dan diberi ruang yang baik oleh BPHS GMIH, periode 2007-2012. Tetapi tampaknya benih itu tidak cukup diberi kebun hijau dan airair segar sehingga benih itu terasa sulit berkembang, sekalipun di hati warga Jemaat dan anggota majelis jemaat sudah mendapat tempat sebagai lahan yang subur seiring dengan perubahan sosial di Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Kepemimpinan BPHS GMIH 2007-2012 di bawah Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si tidak mampu mengkonsolidasikan team-worknya menjadi sebuah team-work yang berkinerja optimal dan efektif. Malahan ditengarai tidak terbangunnya team-work yang solid” (Mojau, 2014:28-29). Buah pikir Mojau yang dikutip di atas, apabila memperbandingkan dengan paragraf selanjutnya (dalam tulisan tersebut), maka menurut peneliti terjadi kontradiktif yang cukup hebat/besar antar argumentasi yang dikemukakan penulis buku. Kontradiktif pemikiran penulis (Julianus Mojau), misalnya dapat terbaca dalam kutipan di bawah ini: “tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap usaha-usaha serius dari beberapa anggota BPHS dalam team-work itu,18 antara lain, Pdt. Jerda Djawa, 17
Interpretasi yang peneliti lakukan (mungkin) akan dianggap sangat subjektif – pembaca lain (mungkin) bisa berinterpretasi berbeda. Namun jika membaca secara keseluruhan buku kecil tersebut, peneliti cukup yakin bahwa interpretasi yang peneliti lakukan berdasarkan fakta yang tampak dalam tulisan Julianus Mojau tersebut. 18 Bandingkan dengan kritik Mojau terhadap team-work dalam kutipan di atas.
47
M.Th., sebagai Ketua Bidang Ajaran dan teologi, telah mengambil langkah konkret dalam bentuk membuat kelender liturgi GMIH tahunan secara reguler. Juga beliau, dalam kerja sama dengan Fakultas Teologi Universitas Halmahera, pernah melakukan Semiloka Oktober 2010… kita juga perlu menghargai dan menyebutkan usaha-usaha individual yang mengupayakan pembaharuan liturgi seperti yang dilakukan oleh Pdt. Grace Morene Rubawange, S.Si.Teol sekitar awal tahun 2012 dengan menerbitkan kumpulan liturgi. Kita juga perlu mencatat kerja keras Ketua III, Ir. Hein Namotemo, M.Sp., yang telah dengan sungguh memperjuangkan perlunya peningkatan jaminan hidup para pengereja GMIH secara kontinu…” (Mojau, 2014:29-30). Pernyataan yang bagi peneliti kontradiktif tersebut dikonfirmasikan oleh salah satu pertanyaan (renungan peneliti ketika membaca buku tersebut), apa yang salah dengan BPHS 2007-2012? Bukankah itulah esensi dari presbitarial sinodal, bahwa keputusan diambil bersama dan dikerjakan bersama oleh seluruh elemen GMIH? Bagi peneliti akan menjadi masalah dalam presbiterial sinodal tersebut jika dalam aktivitas atau usaha-usaha individual (meminjam pernyataan Mojau) dilarang oleh Ketua BPHS. Sehingga tidak ada alasan mengatakan BPHS GMIH 2007-2012 tidak memberi “kebun hijau” dan “air-air segar” guna menumbuhkan benih presbitarial sinodal itu. Walaupun demikian, GMIH telah retak dengan kepentingan berbagai pihak yang sulit dipetakan dengan baik dan benar, “tali kekang” GMIH telah kusut dan sulit ditemukan ujung-pangkalnya–yang jelas keikutsertaan pendeta dalam politik praktis menjadi topik yang kembali diwacanakan. GMIH tidak hanya retak namun telah terpecah, aktor berebut menjadi nahkoda, dan arah pelayaran menjadi tidak tentu. Ketidak tentuan arah pelayaran itu diakibatkan oleh dualisme kepemimpinan akibat Sidang Sinode Istimewa GMIH menghasilkan BPHS baru yang diamanatkan untuk memimpin GMIH disaat BPHS hasil Dorume masih aktif. Satu Bahtera Dua Nahkoda, qua vadis, GMIH?. 4.5. Dualisme Kepemimpinan GMIH: Perseteruan Antara BPHS versi SSI dengan BPHS Hasil Sidang Sinode di Dorume Pemicu awal perjuangan Tim Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi Tim Penyelamat GMIH, dan akhirnya mengkristal sebagai sebuah lembaga dengan nama Sekretariat Pembaharuan adalah masalah Presbiterial-Sinodal yang hendak dipakai sebagai dasar gerak GMIH dalam mengarungi samudra luas. Namun sebelum 48
menganalisis lebih dalam tentang asas presbiterial sinodal, ada baiknya lebih dulu dilihat konteks persidangan Sinode GMIH di Dorume yang juga telah menghasilkan kepemimpinan GMIH yang baru (periode 2012-2017). 4.5.1. Dorume Memanas: Bercerai Pasca Pilkada Maluku Utara Dalam perspektif Weber, konsepsi kekuasaan dan teori tindakan saling terkait erat. Bahwa setiap tindakan bersifat rasional-bertujuan, rasional-nilai dan bersifat ekspresi dari adat istiadat yang tertata. Sebagai sebuah gereja, sejak awal kemandiriannya GMIH telah menetapkan nilai Kristiani yang di ajarkan oleh Yesus Kristus sebagai dasar gerak organisasinya. Praktek nilai Kristiani ini pada awal-mulanya memang agak sulit berdialog secara liberatif dengan ekspresi adat-istiadat masyarakat setempat. Sejarah terbentuknya GMIH dan proses perjalanan GMIH memang memperlihatkan fenomena tersebut, sekalipun tidak dalam kondisi yang berdarah-darah. Pendekatan KASIH Kristiani memang diyakini sebagai kekuatan yang membuat GMIH mampu bertahan sampai dengan saat ini, setidaknya sampai dengan Sidang Sinode ke27 di Dorume, Loloda Utara. Ujian berat pertama yang dihadapi GMIH secara kelembagaan adalah tragedi berdarah yang dibalut dengan isyu SARA. Tragedi ini melanda hampir semua wilayah Maluku, dan khusus untuk Maluku Utara, semua wilayah pelayanan GMIH memang dilanda tragedi ini. Dalam ujian kekuatan nilai dasar (kasih) yang diembannya, pergumulan GMIH kemudian diarahkan pada bagaimana membangun relasi yang saling menghidupkan dengan liyan. Dalam konteks seperti ini, dasar pijak dan dasar gerak GMIH yang ditetapkan di Jemaat Ikhthus Wari Tobelo menjadi bermakna. Dalam Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari, pergumulan tentang bagaimana membangun relasi dengan agama lain, terutama Islam menjadi tema yang digumuli secara kelembagaan oleh GMIH. Karena itu, salah satu butir yang direkomendasikan oleh komisi rekomendasi kepada Majelis Pekerja Sinode (MPS) terpilih adalah mengupayakan rekonsiliasi menyeluruh dengan umat Islam. Selain itu, komisi program juga memprogramkan upaya rekonsiliasi dengan pemeluk agama Islam. Dengan Visi GMIH yang Utuh, program GMIH dalam 5 tahun pertama mengarahkan upaya pembangunan kembali jemaat-jemaat yang telah hancur oleh konflik. 49
Pembangunan yang dimaksudkan bukan saja pada sarana fisik berupa gedung gereja dan pemulangan warga jemaat yang mengungsi namun lebih dari pada itu adalah berupaya membagun rasa percaya umat GMIH kepada pemeluk Islam. Dalam hal ini langkah yang dilakukan adalah dengan berupaya mengobati trauma yang disebabkan oleh konflik itu sendiri. Namun realitasnya hubungan ini belum terwujud dengan baik, sebab diakui bahwa secara kelembagaan GMIH belum memiliki dasar yang jelas dalam hubungan dengan agama lain, khususnya Islam. Alasan inilah yang menjadi salah satu faktor penting yang mendorong GMIH untuk merumuskan kembali Ajaran dan Teologi secara menyeluruh. kajian tentang ajaran dan teologi ini kemudian di bawah dalam Sidang Sinode GMIH ke-26 di Jemaat Tiga Saudara Ibu (Mojau, 2014). Bahkan dalam makalah “pengantar perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga GMIH”, Pdt. Dr. Julianus Mojau mengungkapkan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap AD/ART GMIH haruslah memiliki dasar pada ajaran tradisi gereja yaitu tradisi Calvinis dengan model organisasi Presbyterial Synodal. Bahwa AD/ART GMIH yang selama ini digunakan hanya semacam perangkat organisasi yang tidak memiliki dasar jelas pada ajaran-ajaran gereja. Akibatnya GMIH seolah menganut sistem tertentu tetapi ajaranajarannya tidak mencirikan hal tersebut. Untuk itu perubahan ini penting dilakukan demi memperlihatkan ciri khas GMIH. Pertanyaannya adalah apakah konflik bernuansa SARA yang terjadi sekitar tahun 1999 yang membuat GMIH terpecah? Apakah hubungan dengan pemeluk agama lain khususnya Islam yang belum tertata dengan baik itu yang membuat GMIH terpecah? Atau masalah praktek Presbiterial Sinonal yang menjadi pemicunya? Jika menelaah lebih mendalam tentang deskripsi yang ada dalam Bab IV, maka pemicu utamanya adalah masalah praktek model kepemimpinan (pemerintahan) Presbiterial Sinodal. Namun sebenarnya faktor paling
berpengaruh dalam pecahnya GMIH,
menurut peneliti adalah faktor politik–pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara, kalau tidak ingin dikatakan politik sakit hati. Dalam deskripsi yang dilakukan Julianus Mojau (2014)–yang sudah peneliti kritisi pada bab IV tulisan ini, gerakan-gerakan pembaharuan GMIH memang telah 50
dimulai sejak Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari. Embrio itu tampak muncul dan berupaya mengawal keputusan Sidang Sinode sampai ke Sidang Sinode selanjutnya di Jemaat Tiga Saudara Ibu. Kelompok yang awalnya mengidentifikasi diri dengan “Tim Penyelamat GMIH” memang berupaya keras mengawal aturan-aturan gereja dengan model presbiterial sinodal untuk tetap dilakukan. Upaya kelompok ini dalam banyak hal kurang berhasil sebab memang tidak ada pelanggaran oleh kepemimpinan GMIH periode 2007-2012 dalam Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH. Perjuangan mereka kemudian difokuskan pada “pendeta berpolitik”. Namun yang terjadi GMIH secara kelembagaan malah memberi kekuatan bagi pendeta berpolitik, buktinya dikeluarkan dua aturan dalam bentuk Surat Keputusan. Tim Penyelamat GMIH kemudian melebur diri dan membentuk Tim Reformasi GMIH, perjuangannya masih berkisar pada dua tema utama, yakni organisasi gereja yang harus didasarkan pada model presbiterial sinodal19, dan tuntutan agar pendeta tidak terlibat dalam politik praktis. Anehnya perjuangan kelompok ini tidak juga mendapat “respon positif” dari jemaat-jemaat. Fase selanjutnya Tim Reformasi juga melebur diri dan membentuk kelompok baru, yakni kelompok pembaharuan GMIH. Pertanyaannya apa yang dibaharui? Tema yang diusung kemudian diperlus, yakni pendeta yang berpolitik praktis, pengaturan organisasi gereja yang melenceng dari asas presbiterial seinodal, dan soal jaminan hidup para pengereja–setoran jemaat 30% yang diduga pengaturannya tidak transparan. Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) khususnya BPHS periode 20072012, dan 2012-Sekarang dikatakan sedang “sakit‟ oleh kelompok pembaharuan. Perjuangan (tindakan) yang menuntut rasionalitas bertujuan sekaligus rasionalitas nilai, kelihatannya dibungkus kepentingan kekuasaan. Dikatakan demikian, sebab ketika BPHS melakukan berbagai klarifikasi kelompok Pembaharuan GMIH masih tetap tidak menerima. Bahkan dalam catatan “Pemetaan Permasalahan GMIH” yang dilakukan oleh Tim Balitbang dan Statistik GMIH, dikatakan bahwa: “Aksi mereka kemudian terhenti ketika Sidang Majelis Sinode I yang dilakukan di Jemaat Betlehem Tobelo pada bulan Februari 2013. Dalam sidang tersebut, BPHS melakukan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan 19
Lihat penjelasan lengkapnya pada bagian berikut
51
yang dilakukan oleh Kelompok Reformasi. Dengan hasil dari penjelasan tersebut, peserta SMS merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan konsiliasi kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran atau buku yang telah disebarkan. Rekomendasi tersebut diindahkan oleh mereka”20. Setelah Tim Reformasi “dibubarkan” kondisi GMIH kembali normal, gerak organisasi GMIH kembali berjalan normal, anehnya kelompok ini kembali melakukan aksi bahkan membentuk Sekretariat Pembaharuan. Rekomendasi Pengampunan yang diberikan oleh Sidang Majelis Sinode bulan Februari 2013 menjadi dokumen indah yang hanya baik untuk dibaca dan tidak perlu ditaati. Ada apa gerangan, situasi GMIH kembali memanas setelah Sekretariat Pembaharuan terbentuk. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh peneliti, baik yang didapatkan dari surat kabat (lokal) maupun informan kunci yang diwawancarai, tuntutan tentang presbiterial sinodal, dan lain sebagainya menjadi kabur, atau dikaburkan dengan masalah politik–sekretaris BPHS dikatakan berkampanye untuk calon tertentu, dan Ketua Sinode dikatakan mendukung calon tertentu pula. Dengan demikian, menurut peneliti telah terjadi pergeseran tujuan pembaharuan. Dalam buku I “Sejarah Pembaharuan GMIH”, Julianus Mojau (2014:50) menulis: “Sayang sekali, di tengah-tengan proses berjalan ke arah yang lebih baik itu sebagaimana amanat Sidang Majelis Sinode I, untuk membaharui tata organisasi GMIH agar lebih sesuai Asas Presbiterial Sinodal tidak mendapat perhatian BPHS GMH periode 2012-2017. Malahan, … Ketua, Sekretaris, Wakil Ketua II, Wakil Ketua IV dan Wakil Sekretaris, sibuk mengurus politik praktis politik kekuasaan di tengah-tengah hiruk-pikuk agenda demokrasi lokal di Maluku Utara, yaitu: Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur” Wacana ini kemudian menjadi topik utama pembicaraan di Sekretariat Pembaharuan, bahkan sampai dikomunikasikan ke Jemaat-jemaat lewat sosialisasi yang dilakukan, membentuk opini pada tingkat Jemaat bahwa pimpinan gereja meninggalkan mereka. “Pimpinan gereja sebagai gembala ternyata hanya mengeksploitasi mereka (jemaat), dan mereka sangat kecewa dan marah karena mereka menganggap bahwa 20
Yang dimaksudkan dengan aksi mereka adalah kelompok (Tim) Reformasi. Lihat lampiran Pemetaan Permasalahan GMIH, khusunya point 2
52
pimpinan gereja justru meninggalkan mereka dan memihak calon lain secara terangterangan karena rupanya lebih banyak memberikan sumbangan daripada dua calon dari warga GMIH” (Mojau, 2014: 54-55).21 Selain itu, Mojau (2014:55-56) juga menguraikan topik diskusinya dengan kedua calon Gubernur Maluku Utara di Sekretariat Pembaharuan GMIH Tobelo, Halmahera Utara dan pada saat peletakan batu pemula Gereja Protestan Halmahera di Tosoa Halmahera Barat22. Hasil diskusi dengan kedua calon Gubernur ini, diuraikan oleh Mojau sebagai berikut: “Sekiranya Ketua Sinode tidak dukung kami tidak apa-apa, asalkan jangan menjelek-jelekan kami dan berkampanye secara terbuka untuk orang lain. Kami dapat memahami posisi dia sebagai pimpinan umat. Tetapi apa yang dilakukan oleh Ketua Sinode adalah sangat menyakitkan hati kami dan kami sulit terima dan akan melawannya. Kami juga malu karena dia melacurkan diri untuk uang dan politik. Dia pendeta kami jadi jangan menjadi lonte/pelacur politik seperti itu. Jangan melacurkan diri hanya uang dan politik. Panggilan kependetaan kan suci dan menjadi pemberi air sejuk dan tidak boleh tamak uang?” Pertanyaannya mengapa topik ini dibicarakan di Sekretariat Pembaharuan, dan pada saat peletakan Batu Pemula pembangunan Gereja Protestan Halmahera di Tosoa?. Dan mengapa hal ini dibahas begitu mendalam oleh sang penulis buku “Sejarah Pembaharuan GMIH”. Menurut peneliti tema yang diusung kelompok pembaharuan GMIH memang telah mengalami pergeseran, seolah yang diperlihatkan dalam buku “Sejarah Pembaharuan GMIH” adalah model politik sakit hati akibat kekalahan dalam bertarung di pemilihan Gubernur. Perhatikan kalimat “kami sulit terima dan kami akan lawan.”
21
Ketua Sinode (Pdt. Anton Piga) ketika diwawancarai tanggal 29 Desember 2013, mengatakan bahwa secara kelembagaan GMIH tidak pernah mengeluarkan seruan atau himbauan agar Jemaat memilih calon tertentu. Kami sadar setiap anggota Jemaat memiliki hak politik, dan bebas memilih, kalau saya himbau tentu melanggar dan salah. Saya sendiri juga punya hak politik secara pribadi, bukan lembaga. Karena itu saya berhak memilih siapa saja calonnya. Kalau soal sumbangan yang lebih besar itu tidak tepat, tanpa bukti dan itu bisa dikatakan fitnah. 22 Peletakan Batu Pemula sesuai dengan pasal 9 (huruf g) Peratuan No. 1 Tentang Sinode yang adalah merupakan Tugas Badan Pekerja Harian Sinode. Namun sesuai dengan informasi yang terhimpun, peletakan batu pemula pada dua gereja yang dibangun tersebut, BPHS hasil bentukan Sidang Sinode di Dorume tidak diundang.
53
Tim Reformasi yang telah dimaafkan oleh BPHS dalam Sidang Majelis Sinode bulan Februari 2013 memang telah “membekukan” diri. Kelompok ini baru kembali beraksi setelah adanya demonstrasi yang dipimpin oleh seorang Penatua pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara. Itulah sebabnya menurut hemat peneliti perjuangan Tim Reformasi sarat kepentingan karena bisa saja dikatakan ikut ditunggangi secara politik. Faktanya, pasca pemilihan Gubernur Maluku Utara, barulah terbentuk Sekretariat Pembaharuan, dan diduga kuat salah satu calon yang kalah dalam pemilihan itu ikut menjadi motor dalam membentuk atau mendirikan Gereja Protestan Halmahera (GPH) di Tosoa, Halmahera Barat. Dengan demikian, pertanyaannya siapa yang membawa politik ke dalam gereja?. Pasca
pemilihan
Gubernur
Maluku
menjadi
momen
penting
yang
melatarbelakangi terpecahnya GMIH sebagai Gereja yang Utuh dan Mandiri. Akibat dari terbentunya Sekretariat
Pembaharuan, dan aktivitas-aktivitas (sosialisasi) yang
dilakukan tentang “dosa-dosa” BPHS 2007-2012 dan BPHS GMIH 2012-2017 membuat GMIH menjadi “kehilangan arah”. „Kemudi‟ bahtera GMIH yang hendak direbut tidak membuahkan hasil, akibatnya muncul upaya menghadirkan GMIH “baru.” Realitasnya GMIH telah terpecah menjadi dua–BPHS hasil Sidang Sinode Dorume dan BPHS versi Sidang Sinode Istimewa (SSI). Namun mereka yang melakukan ini masih saja “bersembunyi” dibalik jubah dan berkata “GMIH hanya satu, dan BPHS hasil Dorume telah demisioner atau dibubarkan”. Anehnya wacana ini diterima oleh jemaatjemaat sebagai yang benar adanya. Benar bahwa BPHS versi SSI ada dan melakukan pelayanan gerejawai, benar juga bahwa BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume ada dan juga melakukan pelayanan gerejawi, bahkan Gereja Protestan Halmahera juga ada dan melakukan pelayanan gerejawi. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Balitbang dan Statistik GMIH terhadap konflik kepentingan di tingkat elite yang merembes pada tingkat jemaat, dan ketika memetakan jumlah jemaat-jemaat pendukung ditemukan bahwa jumlah jemaat pendukung BPHS GMIH hasil Sidang Sinode ke-27 di Dorume adalah sebanyak 85%, jemaat pendung BPHS versi SSI adalah sebanyak 13% dan jemaat pendukung GPH adalah sebesar 2%. Hasil ini dihitung berdasarkan jumlah jemaat pendukung GMIH 54
adalah sebanyak 432 Jemaat. Dengan demikian, jemaat pendukung BPHS Dorume adalah 367 Jemaat; yang mendukung BPHS versi SSI adalah 56 Jemaat, dan yang mendukung GPH adalah 9 Jemaat. Walaupun demikian, hasil wawancara dengan Kepala Badan Litbang dan Statistik GMIH, bapak Anthon Ngarbingan, M.Si dikatakan bahwa: “Dalam hal prahara atau konflik elite GMIH yang berdampak sampai pada tingkat jemaat, dan berdasarkan data yang sudah kami himpun agak sulit untuk mengatakan bahwa yang berpindah ke SSI maupun GPH itu adalah Jemaat. Menurut kami yang berpindah itu Rumah Tangga atau boleh dibilang orang per orang. Alasannya adalah bahwa dalam satu Jemaat terdapat kelompok yang mendukung BPHS, BPHS versi SSI dan mungkin juga GPH di Halmahera Barat. Jadi kelihatannya Jemaat terkontaminasi dengan konflik elite di GMIH kemudian anggota jemaat memilih untuk mendukung yang mana, karena itu dalam satu Jemaat ada yang mendukung BPHS dan ada juga yang mendukung BPHS versi SSI”23 Meminjam perspektif Foucault, “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu”. Dalam hubungan itu, tentu saja ada pihak yang diatas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini tidak berarti kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan „merasuki‟ seluruh bidang kehidupan masyarakat modern. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam keluarga, di sekolah, kampus, dan lain sebagainya. Namun dalam praktek memperebutkan dan menggunakan kekuasaan itu, bagi peneliti ada mekanismenya. Semua orang (individu) memiliki kekuasaan tetapi dalam organisasi kekuasaan organisasi itu diatur dalam mekanisme yang baku–dimiliki organisasi, karena itu tidak semua orang berhak menggunakan atau mengekspresikan kekuasaan organisasi, termasuk Gereja. Dalam hubungannya dengan masalah GMIH, “pertunjukan” kekuasaan setiap orang sedang terjadi, seolah GMIH tanpa aturan atau konstitusi. Dalam perspektif legitimasi, „pertunjukan kekuasaan‟ tersebut berimplikasi pada munculnya pengkotak-kotakan anggota jemaat dalam mendukung atau mengabsahkan kebenaran secara parsial. Faktanya adalah bahwa aktor yang “bermain” di Halmahera 23
Wawancara pada tanggal 5 Januari 2014
55
Barat sebut saja Bupati Halmahera Barat yang ikut memotori dibangunnya gereja baru atas referensi sejarah munculnya Gereja Protestan Halmahera (GPH), mampu membangkitkan semangat „kekeluargaan‟ atau dalam perspektif antropologis mampu membangkitkan “klan” manusia Halbar yang “bangkit” mempersatukan dan mengeratkan kembali sistem kekeluargaan tersebut dengan mendeklarasikan diri sebagai sebuah gereja baru, atau gereja kekeluargaan?. Begitu juga yang terjadi di Halmahera Utara, kemampuan aktor sebut saja Bupati Halmahera Utara dengan kharisma yang dimiliki mampu memainkan kekuasaan simbolis yang hampir tidak tampak secara kasat mata, namun memiliki kekuatan atau posisi tawar yang tinggi bagi beberapa akademisi Uniera. Hasil „pertunjukan kukuatan‟ ini berimplikasi pada munculnya dokumen kurios (pembaharuan) yang membuat GMIH harus menelan pil pahit perpecahan di Halut. Pertunjukan kekuasaan yang mengkonfirmasikan dukungan berbagai pihak, termasuk para Pendeta, menghasilkan tindakan radikal yang diambil oleh BPHS SSD dengan “mendisiplinkan” beberapa pendeta yang oleh BPHS SSD dianggap melanggar Tata Gereja.24 4.5.2. Presbiterial Sinodal: Pemicu Awal yang Hilang dalam Wacana Politik Mencermati sejarah GMIH, sejak gereja ini disahkan keberadaanya tahun 1949, asas presbiterial sinodal (sekalipun tampak dilaksanakan), namun secara kelembagaan asas ini baru dicantumkan dalam Tata Gereja berdasarkan hasil keputusan Sidang Sinode ke-23 tahun 1992 di Morotai. Itu artinya sejak berdirinya GMIH tahun 1949 baru pertama kalinya asas presbiterial-sinodal dimasukan sebagai dasar gerak GMIH pada tahun 1992, dan 23 tahun kemudian (2013) baru dipermasalahkan praktek asas ini dalam kehidupan bergereja di GMIH. Apa gerangan?. Sejak Sidang Sinode ke-23 di Morotai tahun 1992, setiap keputusan Sidang Sinode selanjutnya (ke-24 di Balisoan, hingga ke-27 di Dorume), selalu dicantumkan bahwa struktur organisasi GMIH adalah menganut asas/paham Presbiteril-Sinodal, dan dalam rentang waktu 1992–2007 tidak ada elit gereja (GMIH) yang mempermasalahkan
24
Termasuk Ibu peneliti yang adalah Pendeta GMIH “didisiplinkan” oleh BPHS.
56
praktek presbiterial-sinodal ini dalam bergereja. Wacana tentang presbiterial-sinodal baru mulai diperdebatkan sejak munculnya Tim Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi Tim Penyelamat GMIH dan terakhir menjadi Sekretariat Pembaharuan tahun 2013, maka pertanyaan yang mengemuka adalah presbiterial-sinodal seperti apa yang dikehendaki oleh Sekretariat Pembaharuan?. Berbicara tentang sistem presbiterial-sinodal tentu tidak lepas dari pemahaman tentang gereja (ekklesiologi) Johanes Calvin, sebab sistem ini merupakan bagian penting dari pemahaman Calvin tentang gereja. Baginya gereja harus dipimpin secara bersamasama antara pendeta atau pastor, pengajar, orang yang berusia lanjut (Penatua), dan Diaken atau Syamas. Tugas Pastor atau Pendeta adalah memberitakan Firman Tuhan Allah, melayankan sakramen-sakramen dan bersama dengan para penatua mengawasi kehidupan jemaat agar mereka hidup sesuai dengan kehendak Tuhan Allah. Para pengajar (doctor), mereka melakukan pengajaran iman kepada anggota gereja, namun dalam perkembangannya, jabatan pengajar ini dirangkap oleh para pastor/pendeta. Oleh sebab itu, menurut Calvin, para pendeta harus mempelajari Alkitab dan juga ajaran gereja serta teologi sebaik mungkin, supaya dapat memberikan pengajaran yang berbobot kepada anggota gereja. Sedangkan tugas para Syamas atau Diaken membantu orang-orang miskin dan sakit. (de Jonge, 1998: 103 ). Pola kepemimpinan gereja yang kolektif seperti itu mengkonfirmasikan makna consistorium yang dikemukakan oleh Calvin. Consistorium bermakna sebuah “ruang” dimana para pendeta/pastor dan penatua bertemu setiap minggu untuk membicarakan kasus-kasus penggembalaan dan disiplin (de Jonge, 1998:110). Setiap permasalahan yang dihadapi dibicarakan bersama dan keputusan yang ada adalah keputusan bersama bukan keputusan perorangan. Dengan demikian akan tampak makna system presbiterialsinodal yang sebenarnya. Secara emologis, frase presbiterial sinodal merupakan penggabungan dari kata Yunani presbiterion yang berarti “dewan tua-tua”, dan sun yang berarti “bersama, oleh, melalui,, dengan”, serta hodos yang berarti “jalan, perjalanan”. Dengan demikian, makna dari presbiterial sinodal merupakan komitmen „tua-tua‟ di dalam jemaat untuk berjalan bersama bagi tugas pelayanan gereja di dalam dunia (Hontong, dkk, 2013:1757
20).25 Berdasarkan pengertian ini, Mojau merumuskan pengertian presbiterial sinodal sebagai: “dasar berpikir dan bertindak yang menjadi landasan hukum gereja ketika menjalankan misi Allah di dalam dunia; dimana proses menjalankan misi Allah itu dilaksanakan berdasarkan semangat „berjalan bersama-sama‟ para tua-tua di jemaat, dalam hal ini adalah pendeta, penatua, dan diaken”. Dalam kaitannya dengan GMIH, diartikan sebagai “suatu kesadaran hidup menggereja yang menjunjung tinggi kesepakatan para pendeta, penatua, dan diaken dalam jemaat-jemaat GMIH untuk menjalankan misi Allah di dalam dunia…yang mewujud dalam berbagai keputusan gereja, ditingkat jemaat setempat maupun ditingkat jemaat-jemaat di dalam sinode GMIH (Hontong, dkk, 2013:18-19). Secara normatif, model kepemimpinan presbiteril sinodal tampak memiliki kemiripan dengan model demokrasi perwakilan, artinya wakil-wakil jemaat (penatua, diaken, dan pendeta) merupakan representasi jemaat yang diberi kewenangan untuk mengurus dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, baik masalah organisasi maupun masalah yang dihadapi anggota jemaat. Para tua-tua ini sekaligus juga memiliki kapasitas untuk diutus oleh jemaat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat atas (sinode). Perbedaannya dengan demokrasi perwakilan adalah bahwa pendeta, penatua, dan diaken dalam perundingan untuk mengambil keputusan tidak didasarkan pada “suara terbanyak”, melainkan berdasarkan pertimbangan “suara terbaik” sesuai kehendak Kristus (Hontong, dkk, 2013:26). Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa model kepemimpinan “tuntutan” presbiterial sinodal merupakan model yang sangat ideal, sebab pertimbangan “suara terbaik” sesuai kehendak Kristus tentu dapat diperdebatkan dan diklaim kebenarannya oleh setiap orang yang dikategorikan sebagai “tua-tua”–suara terbaik adalah konsep abstrak yang sulit ditemukan padanannya apalagi dikatakan sebagai
25
Buku kecil dengan judul “HIDUP MENGGEREJA: Asas Presbiterial Sinodal Gereja Masehi Injili di Halmahera”, merupakan kumpulan tulisan dari tiga orang dosen UNIERA, yakni: Julianus Mojau, Arkipus Djurubasa, dan Sefnat Honton. Mereka ditugaskan secara khusus oleh BPHS versi SSI lewat surat: BPHS/15/B-6/XX-VII-SSI/2013 tanggal 2 Oktober 2013, untuk menyusun buku ini sebagai “buku saku” yang sedianya akan dibagikan kepada jemaat. Bahkan dalam kata sambutannya, Dekan F.Teol Uniera (Sefnat A. Hontong) menulis “…semoga melaluinya, kemandirian jemaat setempat dan jemaatjemaat dalam Sinode GMIH bisa didesak untuk bersegera dan bergegas supaya „menjadi‟.
58
“sesuai kehendak Kristus”. Frase ini jika diperhadapkan dengan prinsip pertama26: Imamat Am Orang Percaya, yang mendasari asas presbiterial sinodal ini, maka akan menimbulkan masalah sebab setiap orang bisa mengklaim bahwa suaranya adalah “suara terbaik” sesuai kehendak Kristus. Mercermati sejarah perjalanan GMIH, pertanyaan mendasarnya adalah perlu merujuk kemana asas presbiterial sinodal ini? Mengingat sejarah masuknya agama Kristen di Halmahera “dikomandoi” oleh gereja Belanda, yakni: Nederlandse Hervormde Kerk (NHK), yang faktanya dapat disebut sebagai “gereja negara” karena memiliki hubungan istimewa dengan pemerintah Belanda. Untuk itu, „nuansa‟ Sidang Sinode Istimewa GMIH yang mengusung pembaharuan kepemimpinan kepada asas presbiterial sinodal seperti yang dikemukan di atas perlu “diintip” sebagai pintu masuk guna mendudukkan persoalan tentang apakah asas presbiterial sinodal merupakan kesadaran kolektif kemajelisan ataukah asas yang ideal ini “dipaksakan” kepada jemaat dan tua-tuanya (kemajelisan) untuk dilaksanakan?.27 Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) sekalipun merupakan “gereja negara”, namun dalam sistem penataan atau asas organisasinya menggunakan asas “berjalan bersama tua-tua”–presbiterial sinodal. Dalam hal ini jemaat setempat dipimpin oleh Majelis Jemaat, lalu ada Klasis untuk jemaat-jemaat sewilayah, kemudian ada sinode provinsi dan sinode nasional. Sekalipun secara resmi ajaran gereja NHK memisahkan antara gereja dan negara/politik, namun dalam kenyataannya, hal itu sulit dilakukan oleh gereja; gereja sama dengan negara dan negara itulah gereja. Hal ini berakibat pada menjadi besar dan kuatnya peran serta wewenang Sinode dalam kehidupan menggereja NHK, baik dalam hal menentukan keuangan gereja maupun dalam hal pemanggilan para pendeta (Hontong, dkk, 2013:39). Uraian di atas menarik untuk mengaitkan “situasi” Sidang Sinode Istimewa tanggal 6-8 September 2013 dengan tujuan utama yang mendasari dilakukannya SSI, yakni menghendaki penatalayanan GMIH dengan asas presbiterial sinodal. Dalam SSI 26
Terdapat 4 (empat) prinsip mendasar dari asas ini, yang membedakannya dengan asas episkopal dan asas kongregasional, yakni: a). Imamat Am Orang Percaya; b). Tidak Ada Hirarki dalam Gereja; c). Kepemimpinan Kolektif (kemajelisan); dan d). Berjalan Bersama (Hontong, dkk, 2013:27-36). 27 Perhatikan catatan kaki no. 13 khususnya kalimat “jemaat didesak untuk bersegera dan bergegas supaya „menjadi‟.
59
tersebut, Bupati Halmahera Utara Ir. Hein Namotemo, MSP diundang secara khusus untuk memberikan sambutan.28 Kehadiran Bupati Halmahera Utara dalam pelaksanaan SSI, bisa diformulasikan sebagai: pertama, kehadirannya perlu dilihat sebagai “orang nomor satu” di Halmahera Utara dan kebetulan beragama Kristen, sehingga legitimasinya dianggap penting sebagai bagian dari pengakuan pemerintah Halmahera Utara terhadap eksistensi SSI yang dilaksanakan dalam wilayah pemerintahan tersebut; dan kedua, konsekuensi dari posisinya sebagai “orang nomor satu” di Halmahera Utara, harusnya Bupati hadir dan mengambil sikap netral, sembari memberikan pemahaman yang baik akan keutuhan GMIH. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Bupati hadir dalam kapasitas sebagai pendukung SSI dan tentu dukungan ini menambah rumit permasalahan yang dihadapi GMIH. Ketidak-netralan negara (dalam hal ini Bupati yang merupakan representasi pemerintah), diakibatkan posisi Bapak Ir. Hein Namotemo, MSP (Bupati Halmahera Utara) yang pada periode kepemimpinan Sinode 2002-2007 memegang jabatan Ketua III dalam Sinode, sehingga kehadirannya dalam SSI perlu “dibaca” dalam romantisme jabatan Ketua III tersebut. Dengan demikian, maka dalam pelaksanaan SSI dapat diduga muncul hegemoni kekuasaan negara terhadap gereja, atau (mungkin) kolabirasi kekuasaan negara dan agama (gereja). Dengan demikian, sebenarnya asas presbiterial sinodal atau asas “berjalan bersama tua-tua” yang ditawarkan oleh SSI menurut pandangan peneliti masih sarat atau muatannya adalah kepentingan penguasa dan kelompok tertentu, bukannya muncul dari kesadaran Majelis Jemaat apalagi kesadaran anggota jemaat. Akibatnya kritik Sekretariat Pembaharuan tentang praktek asas Presbiterial Sinodal yang dilakukan oleh BPHS hasil SS Dorume menjadi sangat dangkal bahkan terkesan hilang karena tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat dan bermanfaat. Selain itu, apabila memperbandingkan hasil Sidang Sinode Dorume (SSD) dan hasil SSI khusunya pada 2 (dua) Surat Keputusan yang dihasilkan, yakni: 1) Keputusan
28
Sambutan tertulis tersebut dimuat dalam Buku Panduan Sidang Sinode Istimewa (GMIH) Tobelo, 6-8 September 2013. Sambutan tersebut dibuat dalam kertas yang berlogo “Bupati Halmahera Utara” dengan Burung Garuda di atasnya. Sambutan ini menjadi bagian dari dokumen gereja. Selengkapnya sambutan tersebut dapat dilihat dilampiran.
60
Persidangan Sinode GMIH XXVII No. 08/Kpts/SS XXVII/2012 tentang Tata Geraja dan Peraturan-Peraturan, yang dihasilkan di Dorume; dan 2) Keputusan Persidangan Sidang Sinode Istimewa GMIH No. 07/Kpts/SSI/2013 tentang Peraturan Tentang Sinode, yang dihasilkan di Tobelo. Lebih khusus lagi pada turunan dari 2 (dua) surat keputusan tersebut, masing-masing Peraturan Nomor 01 Tentang Sinode, memang ditemukan beberapa perbedaan, namun tidak sangat mendasar dalam dua rumusan peraturan yang dihasilkan oleh dua BPHS berbeda tersebut. Realitasnya adalah bahwa dalam Ketentuan Umum (Peraturan No. 1–untuk masing-masing BPHS), khususnya pasal 1 ayat 3 mencantumkan bahwa: “Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah Badan Musyarawah para Penatua (presbyteros) utusan Majelis Jemaat dan BPHS (pasal 1 ayat 3. versi SSD); Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (MS-GMIH) adalah badan musyawarah para Penatua (presbyteros) yang mewujud dalam persidangan-persidangan (pasal 1 ayat 3. versi SSI)”. Mencermati dua kutipan ayat di atas, menurut peneliti yang tampak adalah lebih banyak persamaan ketimbang perbedaan, bahwa kedua BPHS tersebut pada titik ini bersepakat “Sidang Majelis Sinode adalah badan musyawarah para presbyteros. Yang membedakannya adalah: menurut BPHS SSD, badan musyawarah para Penatua merupakan „utusan Majelis Jemaat dan BPHS‟, sedangkan menurut BPHS hasil SSI badan musyawarah penatua „yang mewujud dalam persidangan-persidangan‟–frase ini bisa saja multi tafsir, seandainya tidak dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 1 ayat 4 tentang “anggota Majelis Sinode adalah wakil-wakil anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH. Untuk memperjelas tentang anggota yang diharuskan hadir dalam Sidang Majelis Sinode sebagai perwujudan dari asas Presbiterial Sinodal, maka perlu melihat dan memperbandingkan pasal yang mengatur tentang peserta Sidang. Dalam Tata Gereja dan Peraturan-peraturan yang dihasilkan pada Sidang Sinode GMIH di Dorume, khususnya pasal 5 (ayat 1 dan 2) Peraturan No. 1, dijelaskan bahwa: “Ayat 1: Peserta Sidang Sinode dan Sidang Sinode Istimewa terdiri dari: a). Utusan Jemaat: Ketua, Sekretaris dan Bendahara; b). Para Koordinator Wilayah; c). Badan Pekerja Harian Sinode; d). Ketua-ketua Kelembagaan; e). Rektor UNIERA, Direktur Rumah Sakit Bethesda; dan f). Undangan. 61
Selanjutnya, ayat 2: Peserta Sidang Majelis Sinode terdiri dari: a). Ketua PBHJ; b). Para Koordinator Wilayah; c). Badan Pekerja Harian Sinode; d). Ketua-ketua Kelembagaan; e). Rektor UNIERA, Direktur Rumah Sakit Bethesda; dan f). Undangan”. Selain itu, Peraturan No. 01 tentang Sinode GMIH hasil Keputusan SSI di Tobelo, Pasal 11 (ayat 1, 2, dan 3) menyebutkan bahwa: “Ayat 1. Peserta Sidang Lima Tahunan adalah: a). Tiga orang wakil dari anggota-anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH; b). Mejelis Pertimbangan Sinode, Badan Pekerja Harian Sinode dan Badan Pemeriksa dan Pembinaan Perbendaharaan GMIH; c). Ketua-ketua Kelembagaan; d). Undangan. Ayat 2 dan 3 tentang Peserta Sidang Sinode Istimewa dan Sidang Sinode Tahunan adalah sama dengan peserta Sidang Lima Tahunan”. Masalahnya memang terletak pada peserta atau anggota persidangan tersebut. Jenis Sidang GMIH adalah Sidang Majelis Sinode yang dilakukan setahun sekali, Sidang Sinode Istimewa yang dilakukan jika terdapat kepentingan yang sangat mendesak, dan Sidang Sinode yang dilakukan lima tahun sekali. Titik kritik Sekretariat Pembaharuan adalah soal siapa (peserta) yang harus mengikuti sidang tersebut, terutama Sidang Majelis Sinode dan Sidang Sinode. Dalam Sidang Sinode masalahnya adalah Keputusan Sidang Sinode Dorume sudah menetapkan secara jelas “utusan Jemaat” yakni: Ketua, Bendahara dan Sekretaris–ini berarti ada tiga orang yang harus diutus. Sedangkan Keputusan SSI secara abstrak menetapkan “utusan Jemaat” adalah “Tiga orang wakil dari anggota-anggota Majelis Jemaat dalam Sinode GMIH”. Dengan demikian, menurut kelompok Sekretariat Pembaharuan, utusannya harus “tiga orang wakil” namun tidak perlu ditetapkan dengan pasti bahwa tiga orang utusan itu haruslah Ketua, Bendahara dan Sekretaris. Bahwa keputusan rapat di tingkat Jemaatlah yang memutuskan siapa yang diutus, dan tidak perlu ditetapkan dalam aturan Sinode secara jelas. Selanjutnya Sidang Mejelis Sinode yang dilakukan sekali dalam setahun, keputusan SSD menetapkan yang berhak hadir adalah “Ketua BPHJ”, sedangkan keputusan SSI mengaruskan “tiga orang wakil” yang perlu diputuskan dalam rapat Mejelis Jemaat untuk diutus sebagai peserta SMS, jadi tidak perlu langsung ditetapkan seperti versi SSD.
62
Masalahnya adalah hal ini tidak memiliki implikasi organisatoris apapun, sebab yang dilakukan oleh BPHS hasil SSD adalah konstitusional, karena aturan itu telah ditetapkan dalam sebuah Sidang Sinode. Artinya keputusan SSD adalah konsensus bersama dalam menggereja ala GMIH yang perlu dilakukan selama 5 tahun. Sehingga ketika aturan itu dilaksanakan bukan berarti ada pelanggaran terhadap asas presbiterial sinodal, seperti yang dituduhkan oleh Sekretariat Pembaharuan. Kalaupun terdapat keberatan dalam penetapan peserta sidang seperti yang diatur dalam aturan tersebut, maka hal ini perlu dicatat sebagai bagian yang nantinya direkomendasikan pada Sidang Sinode selanjutnya, dan bukan diselesaikan lewat Sidang Sinode Istimewa (SSI). Realitas lainnya adalah bahwa perbedaan perspektif tentang asas presbiterial sinodal dari kedua kelompok terletak pada “Kepemimpinan Mejelis Sinode”. Dalam Peraturan No. 1 (pasal 7) versi SSD dikatakan bahwa: “Mejelis Sinode dipimpin oleh Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS)”, yang keanggotaannya (diatur dalam pasal 6) terdiri dari: a) Para Ketua PBHJ; b) Para Koordinator Wilayah; c) Anggota BPHS; dan d) Ketua-ketua Kelembagaan tingkat Sinode. Selanjutnya, dalam Peraturan No. 1 (pasal 4 ayat 2) versi SSI dikatakan bahwa “kepemimpinan Majelis Sinode diketuai oleh tiga orang Ketua atau lima orang Ketua yang didampingi oleh seorang Sekretaris yang dipilih setiap kali persidangan Mejelis Sinode”. Selain itu–masih menurut versi SSI, pada Pasal 6 yang mengatur tentang Masa Jabatan Majelis Sinode, dikatkan: (ayat 1) “masa jabatan Anggota Majelis Sinode adalah 5 (lima) tahun untuk satu periode pelayanan” dan (ayat 2) “masa jabatan Kepemimpinan Majelis Sinode adalah 1 (satu) tahun untuk satu periode persidangan Majelis Sinode. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa struktur organisasi yang diusung oleh BPHS versi SSI tampak “gemuk” dan tidak jelas kewenangannya. Artinya Kepemimpinan Majelis Sinode yang masa jabatannya hanya 1 (satu) tahun, dan anggota Majelis Sinode yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun menjadi aneh dan tidak bermanfaat dari sudut pandang organisasi. Selain itu, dari sudut pandang legitimasi, Kepemimpinan Majelis Sinode tidak berarti apa-apa atau bahkan bisa dikatakan “jabatan tanpa makna”, sebab kepemimpinan itu ada (diadakan) pada saat Sidang Majelis Sinode setelah itu tidak memiliki kewenangan lagi setelah sidang berakhir, 63
fungsi apa yang akan “dimainkan” dalam waktu setahun berjalan, sedangkan anggotanya menjabat selama 5 tahun?. Mencermati uraian di atas, peneliti mencoba memformulasikan dua alur berpikir dengan memperhatikan keanggotaan (peserta) Sidang Lima Tahunan dan Sidang Tahunan, seperti: pertama, menurut versi SSI: Peserta Sidang Sinode Lima Tahunan (Peraturan No. 1, pasal 11), adalah: a) tiga orang wakil dari antara anggota-anggota Mejelis Jemaat dalam Sinode GMIH; b) Majelis Pertimbangan Sinode–5 orang (pasal 13 ayat 2), Badan Pekerja Harian Sinode dan Badan Pemeriksa dan Pembinaan Perbendaharaan GMIH; c) Ketua-ketua Kelembagaan; dan d) Undangan. Sekian banyak orang tersebut berkumpul 5 tahun sekali, selain membahas agenda baku yang ditepakan29, sidang tersebut harus terlebih dahulu membahas agenda utama yakni Kepemimpinan Majelis Sinode yang baru untuk menjabat selama 1 tahun–logikanya sebab Kepemimpinan Majelis Sinode yang lama telah berakhir. Wewenang yang diberikan kepada Majelis Sinode (mungkin kepemimpinan yang baru dibentuk) adalah menjalankan Sidang Majelis Sinode, sampai pada puncaknya, mengangkat dan memberhentikan
Majelis
Pertimbangan
Sinode,
Badan
Pemeriksa
Perbendaharaan GMIH dan Badan Pekerja Harian Majelis Sinode.
30
Pembinaan
Anehnya setelah
menetapkan berbagai macam keputusan dalam Sidang Majelis Sinode tersebut, Kepemimpinan Majelis Sinode ini berakhir pada tahun berikutnya (tahun berjalan). Pertanyaannya adalah siapa yang akan mengontrol berbagai aturan termasuk kinerja kelembagaan yang dibentuk dan berjalan selama 5 tahun itu? Dikembalikan pada Anggota Majelis Sinode? Apakah anggota memiliki kewenangan untuk itu? Bukankah tugas pekerjaannya juga menumpuk dalam 5 tahun berjalan?. Selain itu, berdasarkan pada Sidang Majelis Sinode Tahunan (Pasal 7 ayat 2 a). Setelah kepemimpinan Majelis Sinode terbentuk, melakukan tugas dan tanggung jawabnya selama satu tahun berjalan, dan pada Sidang Majelis Sinode tahunan pertama– keanggotaan masih tetap sama, setelah laporan-laporan dipaparkan dan dievaluasi, agenda berikut (mungin) adalah memilih dan menetapkan Kepemimpinan Majelis Sinode yang baru. Tugas kepemimpinan Majelis Sinode ini adalah merancang program 29 30
Lihat pasal 8 Peraturan No. 1 Tentang Sinode Lihat tugas dan wewenang Majelis Sinode dalam Pasal 5, Peraturan No. 1 Tentang Sinode
64
kerja tahunan untuk tahun berjalan–pola ini akan kembali berulang untuk tahun-tahun berikutnya, sampai pada Sidang Sinode yang baru. Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa pola kepemimpinan (presbiterial sinodal) yang ditawarkan BPHS versi SSI menarik pasa sisi sirkulasi kepemimpinan, namun pada sisi kewenangan dan pertanggungjawaban perlu dipertimbangkan lagi. Setidaknya dengan pola ini, sirkulasi kepemimpinan Majelis Sinode dapat berjalan dengan baik, dan proses kaderisasi mungkin juga menemukan format yang tepat, sehingga terhidar dari kecurigaan-kecurigaan penyalagunaan kewenangan. Namun kelemahannya adalah pada aspek miskinnya kewenangan, fungsi, peran, atau yang paling penting adalah soal pertanggungjawaban, sebab struktur organisasi terlihat tampak “gemuk” namun fungsinya menjadi “kurus” khususnya dari sudut pandang sirkulasi kepemimpinan Majelis Sinode, sehingga kepemimpinan Majelis Sinode yang hanya 1 tahun bertugas bisa saja melepas tanggungjawab untuk masalah-masalah mendasar. Kedua, menurut versi SSD: pasal 7 Peraturan No. 1, menjelaskan bahwa “Majelis Sinode dipimpin oleh Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS). Perlu dipahami bahwa Sidang Sinode menghasilkan program kerja 5 tahun, sehingga kepemimpinan Majelis Sinode oleh BPHS dimaksudkan agar kepemimpinan tersebut melakukan kajian, penialain dan evaluasi terhadap seluruh program kerja 5 tahun yang dimanivestasikan dalam Sidang Majelis Sinode (sidang tahunan). Ini artinya, struktur organisasinya “ramping” namun memainkan tugas dan fungsi yang besar. Dengan demikian, Kepemimpinan Majelis Sinode yang harus dibentuk dan dibentuk ulang dalam setiap tahun persidangan tidak perlu dilakukan, sebab hanya akan menguras energi baik aktor maupun organisasi. Pertanggungjawabannya menjadi jelas, sebab dalam SMS selain BPHS mengevaluasi program kerja yang telah dilakukan dan melaporkannya, BPHS juga dievalusi oleh peserta SMS tersebut. Hasil evaluasi terhadap kinerja BPHS dalam SMS akan dicatat sebagai pertimbangan Persidangan yang perlu diakumulasikan sampai pada Sidang Sinode selanjutnya, dan bukannya kelemahan dan kekurangan BPHS yang mungin terevalusi dalam SMS langsung diselesaikan lewat mekanisme Sidang Sinode 65
Istimewa (SSI). Akumulasi catatan persidangan itu akan menjadi bahan dasar evalusi 5 tahun program kerja BPHS dalam Sidang Sinode, sehingga BPHS bisa atau baru dapat “dihakimi” dalam Sidang Sinode tersebut – inilah makna hari penghakiman bagi mereka (BPHS) yang tidak mampu jelankan fungsi dan perannya selama 5 tahun. Wujud penghakiman itu bisa termanivestasi dalam tindakan tidak akan memilih figur yang sama untuk memimpin GMIH, itulah makna pertanggungjawaban. Mencermati penjelasan tentang “perbandingan peraturan” versi SSD dan SSI di atas, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang salah dan keliru dalam gerak organiasi GMIH. Sirkulasi, komunikasi organisasi (GMIH) oleh BPHS SSD dilakukan atas dasar konsensus nilai bersama yang terdokumenkan sebagai Tata Gereja sehingga oleh mereka yang dilakukan adalah konstitusional. Akan menjadi masalah apabila konsensus bersama itu tidak dilakukan. Pertannyaannya, presbiterial sinodal seperti apa yang hendak dituntut? Bukankan asas presbiterial sinodal sudah terkonsensuskan dan telah menjadi tindakan berpola yang tampak dalam perilaku organisasi yang dikomandoi BPHS hasil keputusan Sidang Sinode di Dorume tahun 2012? Perjalanan masih panjang, dan kalaupun BPHS melakukan penyelewengan peraturan GMIH yang menciderai asas persbiterial sinodal, Sidang Sinode Istimewa bukan solusinya. Sekalipun demikian, realitasnya adalah SSI telah dilakukan dan menghasilkan BPHS GMIH yang baru. Dualisme kepemimpinan ini ternyata tidak menghasilkan solusi tepat namun berujung pada keretakan dan perpecahan ditingkat Jemaat-jemaat. BPHS versi SSI mencoba menawarkan “air segar” tetapi mekanisme yang ditempuh keliru dan dapat dikatakan inkonstitusional terhadap konstitusi GMIH. Keinginan untuk menegakkan asas presbiterial sinodal “terbungkus” interest lain yang membuat presbiterial sinodal itu turut tercemar. Selain itu, ada fakta sejarah yang membuktikan bahwa
Utrechtsche Zendings Vereeninging (UZV) adalah utusan gereja NHK di
Belanda dalam pekabaran injil di Halmahera, yang asasnya adalah presbiterial sinodal dengan kewenangan berada di tangan Sinode. Sehingga keingian untuk merubah asas presbiterial sinodal menjadi yang ala Halmahera, maka diperlukan kesiapan dan pengkajian mendalam untuk memberdayakan dan mempersiapkan jemaat-jemaat
66
terlebih dahulu, dan tidak “memotong kompas” lewat jalur cepat (SSI), apalagi bercerai pasca Pemilihan Gubernur Maluku Utara, sehingga terkesan sarat kepentingan politik. 4.6. Pasca Perpecahan GMIH: Satu Bahtera Dua Nahkoda Judul sub bab di atas “satu bahtera dua nahkoda” memang terasa menggelitik, menggemaskan, namun akhirnya terasa sangat menakutkan. Ibarat sebuah bahtera atau kapal jika diketahui terdapat dua nahkoda yang sedang berebut kemudi maka pertanyaannya siapakah penumpang yang sudi untuk berlayar dengan bahtera tersebut? Dalam kondisi normal, tidak ada penumpang yang ingin untuk berlayar dengan jenis bahtera seperti itu. Dalam bahasa yang bernada teologis, qua vadis bahtera itu? Inilah yang terjadi dengan Gereja Masehi Injili di Halmahera atau GMIH. Bahtera GMIH yang sedang berlayar kemudian diarahkan untuk berlabuh sejenak di Dorume, Loloda Utara pada tanggal 23-30 Agustus 2012, dan kemudian diputuskan agar “kapten” Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, kembali menahkodai bahtera GMIH itu adalah sebuah keputusan yang dalam Tata Gereja boleh dan bisa dikatakan konstitusional. Terlepas dari adanya keberatan dari beberapa pihak yang menamakan dirinya “Tim Reformasi GMIH” atau “Sekretariat Pembaharuan GMIH”, namun pemilihan kepengurusan Sinode GMIH atau BHPS GMIH dalam Sidang Sinode keXXVII di Jemaat Dorume, Loloda Utara adalah konstitusional. Bagi peneliti kalaupun GMIH harus direformasi atau dibaharui, itu merupakan hal yang wajar saja dalam sebuah organisasi, apalagi organisasi gereja Protestan yang sejak awalnya memang lahir dari sebuah proses reformasi–sebuah protes yang dilakukan oleh Martin Luther denegan “memaparkan” dalil-dalilnya tahun 1517. Namun pembaharuan atau reformasi GMIH yang dikomandoi oleh Sekretariat Pembaharuan, bagi peneliti waktunya menjadi kurang tepat–kalau tidak ingin dikatakan sarat kepentingan. Pertanyaan mengemukan adalah mengapa hal tersebut terjadi pasca Pilkada Gubernur Maluku Utara? “Titik keberangkatan” yang keliru inilah yang membuat Sekretariat Reformasi dalam beberapa tulisan yang dibuat oleh para pendukungnya terkesan memaksakan argumentasi. Sekalipun demikian–adanya titik berangkat yang keliru, namun upaya yang dilakukan oleh Sekretariat Pembaharuan pada tataran tertentu perlu diapresiasi sebagai 67
bentuk “penyegaran” terhadap organisasi GMIH, setidaknya upaya itu membuktikan bahwa Sumber Daya Manusia GMIH sudah cukup mumpuni dalam mempertautkan perkembangan ilmu pengetahuan dengan agama atau iman. Sayangnya bentuk penyegaran ini tampak terlalu bergairah sehingga memicuh konflik pada tingkat Jemaat. Meminjam perspektif D.J.Bosch, rasionalitas ilmu pengetahuan harus “dibumbui” dimensi spritualitas-religius. Artinya bahwa perubahan, trasformasi, atau pembaharuan terhadap struktur organisasi gereja (GMIH) ke arah yang lebih modern perlu memperhatikan syarat spiritualitas-religius tersebut. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah pengatan kelembagaan pada tingkat jemaat, agar warga/anggota jemaat benar-benar berdaya dan sadar bahwa pembaharuan memang diperlukan secara berkelanjutan dalam kehidupan menggereja. Kesadaran dan pemahaman jemaat tentang asas presbiterial sinodal perlu ditingkakan atau terus diupayakan. Dengan demikian, tanpa melalui mekanisme SSI asas itu akan diperjuangkan oleh warga jemaat yang rasional dengan dasar spritualitas-religius itu, sehingga konflik dapat terhindarkan. Realitas yang terjadi saat ini, sekelompok orang terkesan memaksakan rasionalitasnya kepada jemaat-jemaat sehingga memunculkan pengkotakan-pengkotakan warga jemaat yang mengakibatkan konflik kepentingan atas dasar dukungan. Dalam terminologi seperti ini, asas presbiterial sinodal menurut peneliti terkesan ikut dipaksakan agar dimengerti oleh warga jemaat yang belum diberdayakan. Mencermati buku kecil yang disusun oleh Julianus Mojau dengan judul “Sejarah Pembaharuan GMIH”, topik utama yang dijadikan masalah bagi Sekretariat Pembaharuan adalah masalah asas Gereja, yakni Presbitarial Sinodal. Namun jika membaca secara saksama (lebih mendalam) argumentasi yang dibangun penulis, yang tampak adalah keikutsertaan pendeta dalam politik, serta beberapa wacana lain sebagai turunan, yakni: tidak transparannya pengelolaan keuangan, terjadinya pengelembungan suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS GMIH periode 2012-201731, dan kemudian semua permasalahan yang dilakukan oleh BPHS 2007-2012 dan 2012-sekarang, yang diinventarisir oleh Sekretariat Pembaharuan dan disebar-luaskan lewat “Materi 31
Permasalahannya adalah mengapa tidak diprotes dan diboikot jika terjadi pengelembungan suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS GMIH 2012-2017 pada saat pemilihan? Mengapa harus menunggu satu tahun dulu baru diprotes??
68
Sosialisasi Penyimpangan Yang Dilakukan BPHS GMIH”32. Dalam materi sosialisasi ini termuat “29 dosa” yang dituduhkan ole kelompok Pembaharuan GMIH. Dalam “catatan” Mojau (2014:36-38) dikatakan bahwa “selain keterlibatan pendeta dalam politik praktis–politik kekuasaan, sejumlah pokok serius dalam manajeman organisasi GMIH selama periode 2007-2012 yang telah mempercepat benih gerakan pembaharuan penghayatan dan praktik hidup menggereja GMIH sebagaimana diletakan oleh MPS GMIH 2002-2007 mencari jalan keluar dari tumpukan batu-batuan staus quo periode 2007-2012”. Dikatakan, pada awalnya tim tersebut33 menamakan diri sebagai “Tim Penyelamat GMIH” yang melakukan rapat pertamanya tanggal 1 Juni 201134, yang kemudian menambahkan sejumlah kelalaian serius dalam kepemimpinan BPHS GMIH 2007-2012 yang dinahkodai oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si, sebagai berikut: a. Soal Balai Pengobatan Bethesda yang tidak dikelola secara profesional sehingga mutu layanan memburuk dan pegawai tidak terima gaji; b. Soal pengelolaan keuangan yang tidak transparan (bahkan ditengarai Ketua BPHS GMIH–Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si selalu membawa ATM); c. Soal Akte pendirian Unira (Universitas Halmahera) yang ditengarai tidak jelas dan dikuatirkan nanti menjadi milik pribadi; d. Pengembalian dana pensiaun dari PGI yang menggunaannya tidak jelas; e. Di antara anggota BPHS tidak lagi harmonis (retaknya team-work); f. Pemecatan pendeta tanpa pendampingan pastoral. Permasalahannya apabila hasil identifikasi permasalahan oleh Tim Penyelamat GMIH yang ditudukan kepada BPHS 2007-2012 ini benar, dan Tim ini telah melakukan rapat pada tanggal 1 Juni 2011 (setahun sebelum Sidang Sinode GMIH di Dorume), maka diyakini hasil keputusan rapat Tim Penyelamat GMIH telah tersosialisasikan kepada Jemaat-Jemaat. Namun masalahnya mengapa pada saat pemilihan Ketua Sinode GMIH pada tahun 2012, Pdt. Anton Piga kembali terpilih? Bukankah dengan terpilihnya Pdt. Anton Piga yang dituduh melakukan “kelalaian serius” (meminjam istilah Mojau), telah mengeliminir tuduhan dari Tim Penyelamat GMIH?. 32
Lihat lampiran Materi Sosialisasi Penyimpangan Yang Dilakukan BPHS GMIH Tim yang mencari jalan keluar dari tumpukan batu-batuan status quo BPHS 2007-2012 34 Keanggotaan Tim ini adalah: 1) Pdt. S.S. Duan, M.Th, 2) Pdt. J.Biso, M.Th (alm), 3) Pdt. S. Ray-Ray, S.Th, 4) Pdt. A. Djurubasa, M.Th, 5) Pdt. A. Puasa, M.Th, 6) Pdt. F.Putjutju, M.Th, 7) Pdt. Drs. Karwanto Hohakay, M.Th, 8) Pdt. Ekson Tonoro, S.H., M.Th, 9) Willy Kuat (pemuda GMIH), 10) Pdt (Em) Hans Alexander Annu, M.Th, 11) Pdt. Eduard R. Mailoa, dan 12) Pnt. A. May-Luhulima. 33
69
Apabila mencermati sumber daya manusia keanggotaan Tim Penyelamat GMIH (lihat catatan kaki nomor 15), dapat dikatakan bahwa sangat mumpuni untuk dapat membaca fenomena yang terjadi setelah kembali terpilihnya Pdt. Anton Piga dalam Sidang Sinode tersebut. Selain itu dua anggota Tim Penyelamat GMIH yang kemudian mengundurkan diri, atau “membelot” (meminjam istilah Mojau), yakni Pdt. Ekson Tonoro, S.H., M.Th, dan Pdt. F. Putjutju, M.Th, perlu di ”baca” oleh Tim Penyelamat GMIH sebagai apa yang dituduhkan tidak semuanya benar. Namun yang terjadi adalah Tim ini tetap “memainkan” perannya dalam mencari kesalahan-kesalahan BPHS GMIH periode 2007-2012, puncaknya, benih yang ditanamkan Tim Penyelamat GMIH berbuah menjadi Tim Reformasi GMIH dan akhirnya terbentuklah Sekretariat Pembaharuan GMIH. Julianus Mojau mencatat dalam “Sejarah Pembaharuan GMIH” bahwa: Setelah Sidang Sinode GMIH XXVII tahun 2012, Tim Reformasi semakin gencar melakukan gerakan menentang BPHS GMIH hasil Sidang Sinode GMIH XXVII dengan mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai Tim Reformasi GMIH pada tanggal 31 Oktober 2012 di Jemaat Elim Wosia Tobelo yang dihadiri oleh sejumlah jemaat-jemaat dalam Sinode GMIH di wilayah Galela, Tobelo dan Kao.” Dalam pertemuan itu, Tim ini kembali menyuarakan soal ATM yang (katanya) masih dipegang oleh Ketua Sinode, dan soal pengelolaan dana pensiun GMIH yang dikembalikan oleh PGI. Isyu lama yang kembali diwacanakan oleh Tim Reformasi GMIH, dibungkus dengan beberapa issue (temuan?) baru pasca Sidang Sinode Dorume, diantaranya: a. Sumbangan pihak ketiga kepada Panitia Sidang Sinode tidak diteruskan oleh Pdt. Anton Piga, S.PAK., M.Si; b. Telah terjadi pengelembungan suara dalam pemilihan Sekretaris BPHS GMIH periode 2012-2017; c. Wakil Sekretaris terlibat dalam kecurangan penghitungan suara pada saat pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pulau Morotai; d. Tata Gereja GMIH 2012 sungguh-sungguh telah menyimpang dari prinsip dasar dan semangat Asas Presbitarial Sinodal; e. Penyimpangan itu disebabkan karena terjadi pengubahan dalam editing akhir, yang; f. Berujung pada pelantikan anggota Majelis Sinode (Duan, 2012; Mojau, 2014).
70
Perang wacana, mungkin itulah yang terjadi. Namun wacana tersebut telah terakumulasi menjadi tindakan yang menghasilkan Sidang Sinode Istimewa (SSI) pada tanggal 6-8 September 201335 di Sekretariat Pembaharuan yang menghasilkan BPHS versi SSI. Pertanyaannya apakah pelaksanaan SII 2013 diketahui oleh Ketua Sinode GMIH hasil pemilihan dalam Sidang Sinode Dorume tahun 2012, Pdt. Anton Piga? Ketika peneliti menemui dan mewawancarai Pdt. Anton Piga pada tanggal 26 Januari 2014 beliau mengatakan “saya tidak tahu adanya SSI, saya tidak diundang oleh Panitia Pelaksana, padahal kalau melihat aturan Gereja (GMIH), harusnya saya sebagai ketua Sinode hadir dalam Sidang Sinode Istimewa itu. Jadi, bisa saya katakan pelaksanaan SSI melanggar aturan dan mekanisme GMIH, apalagi Ketua Sinode tidak sedang berhalangan tetap.” Mengenai segala macam wacana (isyu dan tuduhan) Tim Reformasi atau Sekretariat Pembaharuan GMIH, yang sebagian telah diuraikan dibagian atas, Ketua Sinode GMIH (Pdt. Anton Piga), dalam Surat Kabar Obor Halmahera (Edisi I/X/2013: 1), ketika diwawancarai oleh tim OH tentang 29 “dosa” yang ditudukan kepadanya, dia malah mempersilahkan atau menganjurkan kepada setiap orang yang percaya dengan tuduhan-tuduhan itu untuk langsung saja mengkroscek ke Badan Pemeriksa Pengawasan Perbendaharaan Gereja (BP3G), sebab badan itulah yang bisa mengklarifikasi soal penggunaan dana BPHS GMIH. Pdt. Anton Piga mengungkapkan “kalau masalah keuangan Sinode selama ini tidak beres, maka kami sudah pasti dimintai pertanggungjawaban. Malah mungkin kami sudah harus dilaporkan karena penggelapan dana gereja, tapi nyatanya kan tidak”. Selanjutnya dalam laporan Obor Halmahera yang mengkroscek hal ini kepada Sekretaris BP3G, Drs. Ames Bassay, M.Si, tidak ditemukan adanya pengelapan anggaran atau dana gereja. Bassay menjelaskan bahwa “setiap pelaporan keuangan BPHS sudah diperiksa oleh BP3G dan sudah diterima oleh perwakilan Jemaat di Sidang Sinode dan Sidang Majelis Sinode”. (Obor Halmahera Edisi I/X/2013) 35
Terdapat perbedaan tanggal dengan hasil “Pemetaan Persoalan GMIH” yang dilakukan dan dikeluarkan oleh BALITBANG dan STATISTIK GMIH tahun 2013. Dalam laporan pemetaan perrsoalan GMIH tersebut, pada point 8 dijelaskan “pelaksanaan SSI pada tanggal 13-15 September 2013. Sedangkan pada Buku Panduan SSI GMIH tertulis, SSI dilakukan pada tanggal 6-8 September 2013. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada Kepala Balitbang dan Statistik GMIH, Anthon Ngarbingan, M.Si, dia mengatakan bahwa “ada kesalahan pengetikan pada hasil pemetaan persoalan GMIH dan telah direvisi”.
71
Pertanyaannya adalah apabila dalam Sidang Sinode ke-27 di Dorume sudah menerima laporan pertanggungjawaban keuangan GMIH dan Pdt. Anton Piga kembali dipercaya untuk memimpin GMIH dalam periode 2012-2017, dan dalam Sidang Majelis Sinode tahun 2013 laporan keuangan GMIH juga sudah diterima dalam sidang tersebut apakah isyu tentang penggelapan dana GMIH masih relevan untuk dituduhkan?. Mencermati permasalahan yang muncul dan menimpa GMIH, Kepala Balitbang dan Statistik GMIH, Anthon Ngarbingan, M.Si melakukan kajian (penelitian), dan hasilnya adalah “Pemetaan Persoalan GMIH”. Laporan yang berjumlah 9 (sembilan) halaman itu telah memetakan dengan cukup baik masalah yang dihadapi sampai dengan perhitungan “kekuatan” jemaat pendung BPHS GMIH hasil Sidang Sinode Dorume 2012, dan jemaat pendukung BPHS hasil SSI tahun 2013, termasuk jemaat yang kemudian mendukung Gereja Protestan Halmahera (GPH) di Halmahera Barat. 36 Intinya hasil pemetaan itu menunjukan bahwa semua hal yang dituduhkan oleh Sekretariat Pembaharuan GMIH adalah tidak berdasar, bahkan terkesan tindakan itu diambil akibat kekalahan salah seorang calon dalam pertarungan politik–suksesi pemilihan Gubernur Maluku Utara. Intinya bahwa berbagai tuduhan itu telah diklarifikasi oleh BPHS GMIH dalam Sidang Majelis Sinode I pada bulan Februari 2013 di Jemaat Betlehem Tobelo. Bahkan setelah melakukan klarifikasi, Sidang Majelis Sinode “merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan konsiliasi kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran atau buku yang telah disebarkan. Rekomendasi tersebut diindahkan oleh mereka (Kelompok Reformasi).”37 Hasilnya kondisi GMIH kembali tenang sekitar 5 bulan lamanya. Kelompok ini (reformasi) kembali melakukan aksi dipicu oleh adanya demonstrasi dari sekelompok orang yang menuntut Ketua dan Sekretaris Sinode mundur dari jabatannya karena mendukung calon tertentu.38
36
Lihat lampiran Pemetaan Persoalan GMIH Lihat lampiran, laporan Pemetaan Persoalan GMIH khususnya point 2, 3, dan 4 38 Pdt. Anton Piga dalam Obor Halmahera, Edisi I/X/2013 mengatakan bahwa “secara kelembagaan BPHS Sinode tidak pernah mengeluarkan seruan atau dukungan kepada salah satu Calon Gubernur. Kami sadar Gereja tidak punya kapasitas untuk mengeluarkan seruan politik seperti itu. Oleh karena itu kami netral. Tapi jika dalam keberadaan selaku pribadi, khan masing-masing BPHS GMIH punya hak pribadi 37
72
Akibat demonstrasi yang dipimpin Pnt. Benny Bitjoli (Majelis Jemaat Elim Gura), berbagai isyu-pun mulai dikembangkan–bagai bola liar terutama di Jemaatjemaat Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Isyu penyelewengan, isyu keterlibatan politik, penyalahgunaan keuangan dan sebagainya digulirkan ke jemaat-jemaat. Kelompok Reformasi yang pada SMS Betlehem telah dibubarkan, kembali ikut menyemarakan isyu-isyu tersebut. Pada beberapa wilayah tertentu, mulai dilakukan pertemuan-pertemuan kecil untuk membahas isyu-isyu yang telah berkembang, mulai dari wilayah Kao, Tobelo dan Galela. Akhirnya BPHS melakukan pertemuan klarifikasi kepada Pegawai Organis Gereja (POG) di Jemaat Siloam Gosoma, tanggal 23 Juli 2013. Hasil klarifikasi tidak memuaskan beberapa pendeta yang menyebut diri kelompok Reformasi, dibantu oleh beberapa dosen Uniera, tim reformasi melebur diri menjadi Tim Pembaharuan GMIH dan menyiapkan dokumen Kairos (dokumen pembaharuan) yang dikomandoi oleh Fakultas Teologi Uniera. Puncaknya adalah pelaksanaan SSI dengan menghasilkan BPHS versi SII. Terlepas dari berbagai permasalahan–konflik kepentingan pada tingkat elite GMIH dan (mungkin) juga beberapa elite politik di Halmahera, pertanyaan pentingnya adalah mengapa konflik kepentingan ini tidak mampu dikelola secara baik di tingkat elite, malah dibiarkan mengelinding bagai bola liar? Kepentingan siapa yang membuat sampai bola liar (yang telah berapi) ini harus mengelinding sampai membakar emosi jemaat-jemaat yang tidak atau belum memahami permasalahan sebenarnya?. Meminjam kata-kata anak mudah dalam pergaulan “penyesalan selalu datang terlambat”. Walaupun demikian, siapa yang menyesal dalam realitas GMIH yang telah terpecah dan memiliki dua nahkoda ini? Jawabannya tentu jemaat yang tidak ingin gerejanya terpecah. Untuk itu, dalam bab selanjutnya, peneliti akan membahas realitas salah satu jemaat dalam menanggapi konflik kepentingan yang mengakibatkan bahtera GMIH tidak saja retak tapi telah memiliki dua nahkoda ini. Keterpecahan warga jemaat, secara langsung juga menunjukan proses legitimasi jemaat mengikuti pilihan dukungan terhadap kepada elit gereja yang dalam perspektif warga jemaat sama-sama benar, atau
untuk menentukan dukungan pada siapapun juga. Untuk hal ini, kita juga harus menghargainya sebagai hak politik setiap anggota BHPS GMIH.
73
sesuatu yang dikalim benar menurut rasionalitas berbasis spiritualitas-religius setiap elit gereja.
74
BAB V POTRET JEMAAT IKHTHUS WARI: SATU BAHTERA DUA NAHKODA Bab ini bertujuan menjawab dua masalah penelitian, difokuskan pada analisis mengenai perpecahan GMIH serta dampak perpecahan tersebut bagi kehidupan warga jemaat di Jemaat Ikhthus Wari. 5.1. Dampak Pembaharuan GMIH Pada Kehidupan Jemaat Ikhthus Wari Jemaat Ikhthus Wari adalah jemaat yang menurut interpretasi peneliti sebagai tempat peletak dasar GMIH memasuki milenium ketiga. Alasannya adalah bahwa ketika Sidang Sinode ke-25 di Jemaat Ikhthus Wari, keinginan untuk merubah Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga GMIH itu diutarakan oleh Majelis Pekerja Sinode (MPS) GMIH pada saat itu. Upaya reformasi aturan GMIH ini kemudian terus dikawal guna berjalan dalam rel presbiterial sinodal. Namun dalam perjalanan perkembangan dinamika organisasi (GMIH) ini, wacana politik kemudian ikut memperkeruh situasi dan akhirnya Sidang Sinode Istimewa dipilih sebagai jalan yang me-radikal-kan GMIH, sebab SSI membuat GMIH terpecah. Jemaat Ikthus Wari yang “mula-mula” menjadi pelabuhan teduh bagi bahtera GMIH ikut menerima dampak “gelombang tsunami” yang diakibatkan oleh konflik kepentingan di tingkat elite GMIH, akhirnya “pelabuhan teduh” itu bergoyang mengakibatkan robohnya tiang-tiang penyangga, anggota jemaat tercerai-berai mengikuti kepentingan elite. Meminjam pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik, Anthon Ngarbingan, “yang terjadi adalah rumah tangga berpindah gereja”. Realitas itulah yang terjadi di Jemaat Ikthus Wari saat ini. Namun sebelum menguraikan pokok ini lebih mendalam, ada baiknya peneliti deskripsikan sekilas tentang sejarah jemaat Ikthus Wari. 5.1.1. Sekilas Tentang Sejarah Jemaat Ikthus Wari Berdasarkan data yang dihimpun di Kantor Jemaat Ikthus Wari (dokumen tanpa tahun), diketahui bahwa sejarah perkabaran injil di Halmahera utara, dimotori oleh Hendrik van Dijken, dan orang Wari yang pertama kali menerima injil itu adalah Nenek Kukula, kemudian dengan semangat kepelayanannya ia menyebarkan injil dan 75
membentuk persekutuan di Wari, waktu itu ada 7 Kepala Keluarga (KK) yang telah menerima injil39. Segala hal menyangkut pelayanan pemberitaan injil di Wari dibiayai oleh Nenek Kukula dari hasilnya menjual pinang. Nenek Kukula bersama dengan 7 KK mulai membangun tempat beribadah darurat yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun rumbia. Guna mempermudah pelayanan, maka waktu itu diangkatlah kepengurusan jemaat yang terdiri dari: seorang Penatua, yaitu Pnt. Babronga-Ina, dan dua orang Diaken, yaitu, Diaken Kanaba Pagama dan Diaken Kotarame Pohodo. Dalam proses perkembangan injil di desa Wari, kemudian datanglah bapak Metiari dari Ambon sebagai guru sekolah dan guru jemaat. Kehadiran bapak guru Metiari di Wari tidak begitu lama. Sebagai penggantinya adalah bapak guru Yosias Noya, yang selain menaruh perhatian dibidang pendidikan, beliau bergiat dalam pembinaan kerohanian jemaat. Atas prakarsa bapak guru Yosias Noya maka direncanakan untuk membangun sebuah gereja yang lebih layak, maka dengan kebulatan tekad, pekerjaan pembangunan gerejapun dimulai. Pada saat pembangunan gereja dilakukan, belum semua penduduk Wari beragama Kristen. Dalam proses pembangunan itu, ada seseorang anggota jemaat yaitu, bapak Mangalo, mungkin berniat melarikan dari tanggung jawab pekerjaan gedung gereja, dan kemudian meminta izin untuk “pukul sagu”40 ke Limau, tapi tidak berapa lama bapak Mangalo dibawa pulang dengan tubuh tidak bernyawa. Tidak berselang beberapa lama musibah penyakit sampar menyerang masyarakat Wari, setiap hari ada yang meninggal dunia, dan itu berlangsung lama sehingga peti mayat yang biasanya terbuat dari papan diganti dengan pelepah rumbia. Dengan berbagai peristiwa yang menimpa masyarakat Wari selama pembangunan gedung gereja, akhirnya mereka menjadi takut dan kemudian memilih menjadi Kristen. 39
Sejarah Jemaat Ikhthus Wari belum tercatat dengan baik dalam dokumen Gereja. Satu-satunya yang ditemukan hanyalah “catatan pinggiran” yang ada dalam dukumen penthabisan gereja pertama dan kedua, itupun tanpa tahun, dan tidak memadai. Karena itu, selain berpedoman pada catatan yang ada dalam „dokumen‟ gereja Ikhthus Wari, bagian ini juga “diperkaya” oleh penuturan: Pdt. Irene Souhoka, S.Si.Teol., Pdt. Mathelda Namotemo, S.Si.Teol., dan Pdt. A. Towondila. Walaupun demikian, diskusi soal Sejarah ini-pun tidak sampai pada menuturkan tahun per tahun perjalanan jemaat Ikthus Wari. 40 Pukul sagu artinya memanen sagu: menebang pohon sagu, membelahnya dan menghaluskan batang sayu yang telah dibelah kemudian diperas untuk mendapatkan sarinya.
76
Setelah penduduk Wari memilih untuk masuk agama Kristen, pekerjaan pembangunan gerejapun kemudian dikerjakan secara bersama-sama, dan akhirnya gedung gerejapun selesai dibangun dan diberi nama gereja “IMANUEL“ dan diresmikan pada tahun 1931 oleh guru jemaat Yosias Noya. Bapak guru Yosias Noya bertugas di Wari kurang lebih 27 tahun lamanya. Selanjutnya silih-berganti pelayan atau pendeta yang bertugas. Dalam perkembangannya, jumlah anggota jemaat Imanuel Wari terus bertambah, dan gedung gereja tidak mampu menampung semua anggota jemaat dalam ritual peribadatan, maka direncanakan pembangunan gedung gereja baru. Dalam proses pembangunan gedung gereja baru memakan waktu yang sangat panjang sampai pada penthabisannya, dikarena panitia pembangunan kurang bertangtanggung jawab terhadap masalah keuangan, akhirnya beberapa kali diadakan pergantian panitia pembangunan. Proses akhir pembangunan dan penthabisan gereja baru dilakukan tanggal 27 November 1999 gedung gereja yang baru dithabis dengan nama baru, yakni: IKHTHUS. Jemaat Ikthus Wari pada saat gereja baru tersebut diremikan, terbagi dalam tujuh (7) lingkungan pelayanan41. Tidak dalam waktu lama, sejak gereja Ikthus dithabiskan terjadilah kerusuhan di Tobelo. Kerusuhan ini seakan membawa berkah bagi desa Wari, sebab Wari merupakan salah satu tempat “berteduh” bagi para pengungsi yang sebagian besar pengungsi berasal dari Loloda. Kedatangan para pengungsi, dan kemudian menetap, membuat jemaat Ikhthus Wari bertambah banyak, terhitung sampai akhir tahun 2009 jemaat Wari sudah terbagi menjadi 10 lingkungan pelayanan, dan ketika tahun 2012 akibat jumlah anggota jemaat yang terus bertambah, maka lingkungan pelayanan “dimekarkan” lagi menjadi 12 lingkungan pelayanan. Data yang tercatat di kantor gereja Ikthus Wari, diketahui bahwa jumlah kepala keluarga jemaat Ikthus Wari berdasarkan hasil Rapat Sidi Jemaat tahun 2014 adalah 525 kepala keluarga, dengan jumlah 2062 jiwa.
41
Lingkungan pelayanan merupakan pembagian jemaat yang dimasukan dalam lingkungan-lingkungan. Jika dikaitkan dengan pola pembagian penduduk Desa yang dipilah berdasarkan Rukun Tetangga dan Rukun Warga, maka dalam satu lingkungan bisa terdiri dari beberapa RT atau RW.
77
5.1.2. Faktor Yang Ikut Mendukung Perpecahan Jemaat Ikhthus Wari Julianus Mojau dalam kesimpulan buku yang ditulisnya “Sejarah Pembaharuan GMIH” (2014:126) mengatakan “ pembaharuan adalah wujud dari kemajuan iman. Itulah sebabnya setiap usaha melawan pembaharuan adalah usaha melawan kemajuan iman. Apalagi di tengah-tengah perubahan sosial-budaya, ekonomi dan politik masa kini…”. Mencermati pernyataan Mojau, peneliti mengambil posisi untuk bersepakat dengan kesimpulan yang dibuta Mojau. Namun, yang menggelitik peneliti adalah “kemajuan iman” siapa? Jemaat GMIH? Rasanya Mojau terlalu memaksakan kesimpulan ini. Pertanyaan itu mengkonfirmasi pikiran peneliti tentang topik yang dikaji Mojau dalam buku kecilnya (Sejarah Pembaharuan GMIH), tentang: “5 Juli 2013: Saat Tuhan Menegur Para Pemimpin umat-Nya”. Topik ini dibahas panjang lebar tentang keberatan Sekretariat Pembaharuan akan tindakan Ketua Sidone (secara pribadi–namun seolaholah dikatakan mewakili lembaga) yang tidak mendukung salah salah satu calon dari dua calon warga GMIH yang ikut “meramaikan” suksesi Gebernur Maluku Utara Waktu itu. Sehingga pertanyaannya adalah apakah Tuhan sedang menegur Ketua Sinode (Pdt. Anton Piga) atau Tuhan sedang menegur dua orang calon Gubernur yang nota bene adalah warga GMIH karena membuat Ketua Sinode bingung untuk menentukan pilihan? Pertanyaan terakhir ini tentu sulit untuk dijawab. Namun yang jelas jemaat Ikthus Wari terpecah pasca suksesi pemilihan Gubernur Maluku Utara. Sidang Sinode Istimewa (SSI) dilakukan para tanggal 6-8 September 2013. Dalam laporan persidangan (Dokumen Hasil Sidang Sinode Istimewa GMIH di Tobelo, 2013), tercatat tiga nama sebagai sebagai peserta persidangan dari Jemaat Iktuhus Wari, yakni: Pnt. S. Labuha, O. Kumihi42, dan Pdt. M. Namotemo43. Keberangkatan keempat “elite” untuk mengikuti SSI, menurut penuturan Pdt. M. Namotemo adalah “atas 42
O. Kumihi dalam kesehariannya di Jemaat Ikthus Wari dianggap sebagai yang dituakan atau tua-tua Jemaat. 43 Hasil wawancara dengan Pdt. M. Namotemo tanggal 20 Desember 2013, dikatakan bahwa yang mengikuti sidang tersebut sebanyak 4 orang. Tiga orang yang telah disebutkan di atas, dan seorang lagi, yakni: Pdt. Eko Djurubasa, yang adalah Ketua Jemaat Ikhthus Wari pada saat itu. Namun di dalam Dokumen Persidangan (SSI) tanggal 6-8 September 2013 nama Pdt Eko Djurubasa tidak tercatat dalam dokumen (daftar hadir) persidangan tersebut. Peneliti tidak dapat melakukan konfirmasi soal ini kepada Pdt. Eko Djurubasa, karena pada saat penelitian, Pdt. E. Djurubasa telah dipindah-tugaskan.
78
kesepakatan majelis Jemaat dan juga jemaat, dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan apa yang dibicarakan dalam SSI atau apa yang dibahas dalam persidangan tersebut”. Seusai persidangan, keempat utusan tersebut kembali ke Ikhthus Wari dan mensosialisasikan hasil persidangan tersebut. Melihat materi sosialisasi yang disampaikan oleh para utusan tersebut, terdapat kesan bahwa para utusan tidak lagi menempatkan posisi sebagai utusan yang mencermati permasalahan yang dibahas dalam SSI (posisi netral), namun keempat “utusan” tersebut kemudian mengambil sikap sebagai pendukung SSI, tanpa sepengetahuan Jemaat Ikthus Wari. Realitas ini bagi peneliti, makna “utusan” sebagai yang netral dalam mengikuti SSI menjadi tidak berarti lagi. Argumentasi “makna utusan tidak bermakna lagi” dikarenakan hasil diskusi dengan ketiga “utusan” ini pada waktu penelitian tampak bahwa mereka telah memposisikan diri sebagai pendukung SSI ketika hadir dalam Sidang Sidone Istimewa tersebut, jadi ketiganya tidak hadir dalam kapasitas sebagai utusan yang “netral” namun telah terkontaminasi ketika mengikuti sidang. Hasilnya ketika ketiga utusan ini kembali ke Jemaat Ikhthus Wari, pelaporan (atau siosialisai) yang dilakukan dalam Ibadah Rumah Tangga (ibadah keluarga), tampak telah menyimpang dari tujuan awal mereka diutus untuk mengikuti SSI. Dua topik yang di sosialisasikan adalah: a). Penyimpangan pengelolaan keuangan oleh BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume tahun 2012, secara khusus yang dilakukan oleh Ketua Sinode; b). Selain memberikan sosialisai ini, pendeta pelayan (M. Namotemo), tokoh masyarakat (O. Kumihi), Sekretaris jemaat (Pnt. S. Labuha), dan Ketua Jemaat (Pdt. Eko Jurubasa) juga melakukan pelayanan pribadi atau pastoral bagi anggota Jemaat tentang penyelewengan atau penyinmpangan pengelolaan keuangan dan realitas Ketua Sidone yang berpolitik. Pola sosialisasi yang dilakukan oleh “para utusan” ini tidak mampu menarik perhatian anggota jemaat secara keseluruhan. Buktinya berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretaris Jemaat (Pnt. S. Labuha) yang
79
biasanya dipanggil pak Nus, ditemukan bahwa anggota Jemaat yang mendukung SSI sampai dengan penelitian ini dilakukan adalah sebanyak 44 Kepala Keluarga (KK).44 Melihat upaya yang dilakukan oleh para utusan ketika kembali ke Jemaat Ikhthus Wari, tampak bahwa ada upaya yang sistematis dilakukan untuk membangun dan membentuk oponi pada warga jemaat bahwa kepengurusan BPHS periode 20072012 dan 2012-2017 talah melakuan kesalahan serius. Pola sosialisasi yang dilakukan oleh “para utusan” menimbulkan permasalahan tersendiri pada tingkat jemaat. Meminjam perspektif Emile Durkheim (1965) bahwa sistem soaial (termasuk agama) hanya akan seimbang jika nilai-nilai bersama masih diyakini sebagai perekat, seperti nilai moral dan agama. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial dan menciptakan ketidaknyamanan bagi individu-individu dalam masyarakat. Sosialisasi hasil SSI oleh “para utusan” diyakini mengakibatkan ketidaknyamanan pada tatanan sosial (jemaat) Ikhthus Wari Tobelo. Dikatakan demikian, sebab setelah sosialisasi dilakukan, warga jemaat malah terpecah kedalam kubu-kubu atau kelompokkelompok pendukung, baik pendukung BPHS Dorume, maupun pendukung BPHS versi SSI, bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan Pdt. M. Namotemo, diketahui bahwa warga jemaat tidak hanya terbagi dalam dua kelompok, namun terdapat kelompok yang netral. Berdasarkan data yang himpun dari kantor gereja Ikthus Wari, keseluruhan anggota jemaat Ikthus Wari adalah berjumalah 2062 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga adalah sebanyak 525 KK, yang tersebar dalam 12 Lingkungan Pelayanan (LP). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
44
Berdasarkan data survey yang dilakukan peneliti 44 KK ini tersebar dalam 12 Lingkungan Pelayanan yang ada dalam Wilayah Pelayanan Ikhthus Wari. Dengan demikian, maka data ini sebenarnya mengkonfirmasi pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik GMIH (Anton Ngarbingan) bahwa yang terpecah bukanlah Jemaat, namun Rumah Tanggah yang berpindah mendukung BPHS versi SSI 2013 dan BPHS hasil Sidang Sinode Dorume tahun 2012.
80
Tabel 5.1. Jumlah Lingkungan Pelayanan, Kepala Keluarga dan Anggota Jemaat Ikthus Wari Tobelo Tahun 2013 Lingkungan Pelayanan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah
Jumlah KK
Jumlah Jiwa L 67 85 79 77 73 83 86 82 53 96 105 106 992
39 51 43 39 37 40 45 46 32 45 52 56 525
P 74 101 84 90 74 89 86 91 66 96 107 112 1070
Jumlah 141 186 163 167 147 172 172 173 119 192 212 218 L+P = 2062
Sumber: Data Jemaat Ikthus Wari 2013, Diolah. Berdasarkan data yang tampak dalam tabel di atas, dengan memperhatikan jumlah anggota jemaat yakni 2062 jiwa dan jumlah kepala keluarga yakni 525 KK, maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah jiwa dalam satu kepala keluarga adalah 3,9 orang. Artinya dalam satu rumah tangga dihuni oleh 4 orang. Di atas telah dikatakan bahwa perpecahan yang terjadi dalam warga jemaat tidak bisa dihitung atau dipatok berdasarkan lingkungan pelayanan. Artinya dalam setiap lingkungan pelayanan selalu terdapat tiga kelompok pendukung, yakni BPHS hasil Dorume, BPHS hasil SSI, dan juga kelompok netral. Selain itu, sebelum terjadi perpecahan pada Jemaat ini, pola interaksi antar dan antara lingkungan pelayanan terjadi dalam kondisi yang sangat harmonis. Dimana setiap anggota jemaat dalam satu lingkuang hidup dalam suasana kekeluargaan yang saling membantu satu sama lain, demikian pula interaksi antara warga jemaat lingkungan pelayanan. Pola tolongmenolong menjadi perekat utama antar sesama anggota warga jemaat. Situasi atau pola interaksi yang terjadi atas dasar kekelurgaan pasca SSI menjadi berantakan, sebab setiap warga jemaat atau kepala keluarga mulai menentukan pilihan, layaknya orang sedang mengikuti pemilihan dalam pemilu. Implikasi dari penentuan 81
pilihan ini adalah pola interaksi yang tidak lagi berjalan atas dasar kekeluargaan dan kegotong-royongan, namun lebih pada kepentingan dukungan pada elit-elit gereja tertentu–antara SSI dan SSD . Untul lebih jelas, dalam tabel di bawah ini akan dijelaskan jumlah kepala keluarga pendukung dalam setiap lingkungan pelayanan. Tabel 5.2. Jumlah KK Pendukung BPHS hasil Dorume, BPHS hasi SSI dan KK Yang Netral Lingkuan Pelayanan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah
Kepala Keluarga Pendung BPHS Dorume
Kepala Keluarga Pendung BPHS SSI
Kepala Kluarga Netral
Jumlah
8 14 7 5 4 8 5 12 6 8 7 9 93
3 5 3 4 4 4 3 3 3 4 6 2 44
28 32 33 30 29 28 37 31 23 33 39 45 388
39 51 43 39 37 40 45 46 32 45 52 56 525
Sumber: Data Jemaat Ikthus Wari 2013. Diolah Berdasarkan data yang tampak dalam tabel 2 di atas, terlihat jelas bahwa legitimasi warga jemaat masih sangat kuat mendukung BPHS hasil Sidang Sinode GMIH di Dorume, yakni sebanyak 93 kepala keluarga (KK). Terpecahnya warga jemaat Ikhthus Wari dalam memberikan dukungan kepada GMIH berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, baru terjadi pasca Sidang Sinode Istimewa yang dilakukan di Tobelo tanggal 6-8 September 2013. Dengan demikian, data jemaat tersebut di atas mengkonfirmasikan setidaknya beberapa hal penting, yakni: Pertama, bahwa keberangkatan 4 (empat) tokoh untuk mengikuti Sidang Sinode Istimewa (SSI) benar-benar hanya diutus untuk mencermati dan mengikuti SSI, dan bukan hadir sebagai pendukung SSI. Dengan demikian, harusnya ketika “para utusan” ini kembali ke jemaat mensosialisasikan hasil pertemuan di SSI secara jujur dan 82
bertanggungjawab pula sebagai utusan yang netral, dan bukan utusan yang “berat sebelah” sebab “keberadaannya” di SSI hanya untuk mencermati Sidang tersebut; Kedua, kepercayaan warga jemaat kepada “para utusan” menjadi berkurang sebab sekembalinya mereka, dan kemudian melakukan sosialisasi, “para utusan” telah mengambil sikap keberpihakan kepada hasil SSI yang mengakibatkan jemaat ikut mengambil sikap resistensi terhadap para utusan. Artinya tujuan awal diutusnya mereka ke SSI, menurut sebagian jemaat (93 KK?) telah diingkari. Sehingga keputusan warga jemaat yang tetap mendung BPHS hasil Dorume dan tidak mendengarkan para pelayan mereka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap “suara kenabian” yang dibawa oleh pendeta atau “para utusan” tersebut; dan, Ketiga, yang menarik dari data tersebut adalah keputusan 388 kepala keluarga (KK) yang mengambil sikap tidak mendukung, atau dengan kata lain “lebih radikal” terhadap gereja (GMIH). Dalam perspektif gereja, jemaat adalah adalah segala-galanya, dan masuk dalam ikatan nilai bersama yang tidak mungkin mengambil sikap netral terhadap gereja, sebab mereka perlu dilayani. Namun realitas unik ini terjadi dalam jemaat Ikhthus Wari Tobelo, fenomena ini menimbulkan pertanyaan siapakah yang berwenang melayani 388 kepala keluarga yang mengambil sikap netral tersebut? Sebab dalam realitasnya terjadi pembagian jam Ibadah, yakni kelompok Sidang Sinode Dorume (SSD) beribadah minggu pada pagi hari dan kelompok SSI beribadah pada sore hari.45 Dalam konteks permasalahan seperti di atas (khusus point ketiga), pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana kelompok netral ini melakukan ritual (peribadatannya)? Siapa yang melayani mereka? Jika pendeta yang bertugas di jemaat juga ikut terkotak sebagai pendeta SSD dan pendeta SSI? Beberapa informan kunci yang diwawancarai, diantaranya: Pdt. Irene Souhoka, Pdt. M. Nometemo, Pdt. Tuwondila46 mengalami kesulitan memberikan jawaban terhadap pertanyaan siapa yang akan melayani mereka. Intinya para informan kunci ini mengatakan bahwa “mereka
45
Wawancara dengan Pdt. Irene Souhoka, S.Si. Pendeta SSI yang ditugaskan di Jemaat Ikthus Wari, tanggal 4 Januari 2014. 46 Masing-masing adalah Pendeta SSI, pendeta GMIH yang telah dipecat akibat mendukung SSI, dan Pendeta SSD.
83
lebih memilih untuk tidak mengikuti baik SSD maupun SSI, mereka bertahan menunggu masalah ini selesai, dan soal ibadah mereka mengikuti saja, kadang-kadang masuk ibadah SSD dan kadang masuk ibadah SSI”. Bagi peneliti sunggu miris melihat kenyataan seperti ini. Namun para informan kunci “enggan” mengutarakan eksistensi mereka dalam ritual keagamaan kelompok netral ini lebih jauh. Pendeta Irene Souhoka ketika ditanya lebih lanjut tentang hal ini mengatakan bahwa “pembinaan akan berjalan baik jika gembalanya adalah gembala yang baik yang membawa umatnya dengan baik, gembalanya ke air yang jernih bukan ke air yang keruh”. Ketika peneliti mencoba mendiskusikan lebih lanjut tentang pernyataan “gembalanya ke air yang jernih bukan ke air yang keruh”, beliau mengatakan bahwa sudah jelas adalah hasil SSI bahwa terdapat sekian banyak “dosa” yang harus dipertanggungjawabkan oleh BHPS hasil Dorume, khususnya Ketua dan Sekretaris Sinode. Mereka perlu mempertanggungjawabkan “dosa-dosa” itu agar jemaat bisa meminum air yang jernih, bukan keruh. Pendeta Tuwondila (Pendeta jemaat SSD) yang diwawancarai soal konflik yang melanda GMIH sampai akibatnya terhadap jemaat Ikthus Wari, mengatakan bahwa: “Kalau saya melihat dari aturan gereja, SSI jelas tidak memenuhi prosedur karena SSI itu berada pada sistem sinode GMIH, jadi kalau terjadi masalah di sinode GMIH mengenai tata dasar GMIH itu baru dibuat SSI dan itu sudah disepakati waktu sidang lima tahunan sebelumnya waktu di Wari, Ibu, Morotai dan lain-lain. Dan kalau saya lihat kenyataan lapangan bahwa BPHS SSI ini itu orang-orang yang kalah dalam pemilihan ketua dan pengurus sinode diantaranya Pendeta Mailoa, Pendeta Djurubasa, Pendeta Amos Puasa dan Pendeta Biso, waktu sidang sinode di Dorume itu, dan mereka dan mereka membentuk sinode itu. Mereka tidak melihat posisi mereka di sinode, padahal kalau sesuai peraturan ketika keluhan-keluhan atau saran-saran dari pengurus SSI ini kita bahas pada sidang sinode tahunan, tetapi mereka menutup diri dan kemudian mereka mengusut 23 dosa sinode GMIH itu. Mereka membuat sinode itu atas dasar apa? Sesuai dengan tugas dan wewenang mereka atau? Dan apa yang mereka buat itu? Mereka yang benar tanpa melihat keputusankeputusan dari ketua dan juga BPHS. Saya mengatakan bahwa keputusan tertinggi adalah Sidang Sinode di Dorume itu, apabila masih ada kejangalankejangalan lagi maka harus diselesaikan pada Sidang Tahunan. Yang lebih salah lagi mereka membentuk BPHS dan Sinode dengan pakai nama GMIH, kalau mereka membuat sinode haruslah pakai nama lain. Mereka mengatakan 84
sinode lama itu dimisioner, dan juga dengan dosa sinode yang mereka usut itu mereka tidak bisa pertanggung jawabkan itu mereka tidak bisa membenarkan itu mengenai dana pensiun,beasiswa dan lain-lain.” Konflik pada tingkat elit GMIH menjadi “buah bibir” setiap pelayan (Pendeta) bahkan warga jemaat GMIH. Tidak hanya dibicarakan (buah bibir) saja, namun tampak dalam sikap dan perbuatan. Masing-masing mengklaim dirinya benar, pendeta jemaat terkotak-kotak berdasarkan interest masing-masing yang akhirnya berimbas pada terkotak-kotaknya jemaat, bahkan rumah tangga ikut mengambil sikap mendukung “calon” tertentu, dan ada yang mengambil sikap diam, yang penting aman. Ibarat dunia politik terdapat faksi-faksi, maka dalam gereja juga terdapat faksi-faksi dalam mendukung, memperebutkan dan mendapatkan “kasih” yang menurut ucapan masingmasing pelayan (pendeta) benar dalam dirinya sendiri. Sikap dan tindakan ini telah mengabaikan nilai bersama yang disepakati dalam Sidang Sinode GMIH di Dorume tahun 2012. Sekalipun demikian, SSI perlu juga dipahami sebagai benar menurut versi mereka. Atas dasar kebenaran menurut versi mereka itulah SSI dapat didukung, dilakukan dan menghasilkan dokumen gereja sebagai nilai bersama (kesepakatan kolektif sebagaian jemaat) yang menjadi dasar gerak SSI. Namun dalam perspektif gereja (GMIH), hasil keputusan Sidang Sinode GMIH di Dorume tahun 2012 adalah yang sah. Setidaknya menurut sebagian besar jemaat–dan dalam perspektif peneliti, dengan mempelajari berbagai dokumen yang ada, maka yang sah dalam GMIH itu adalah BPHS hasil Dorume tahun 2012 itu. Akan menjadi lain, jika dalam SSI Ketua Sinode (Pdt. Anton Piga) ikut diundang untuk menjelaskan atau mengklarifikasi berbagai macam “dosa” yang telah dituduhkan kepadanya, dan apabila klarifikasi itu tidak diterima maka SSI dapat mengeluarkan rekomendasi bahwa SSD telah demisioner. Mencermati pernyataan kedua Pendeta (Pdt. Tuwondila dan Pdt. I. Souhoka) di atas, sulit mengambil sikap siapakah yang sedang bermain, berada, atau melayani di “air keruh” sebab masing-masing mempertahankan posisi berada di “air jerih”. Jika Pendeta sudah bertindak dan bersikap seperti itu maka dapat dikatakan bahwa “para pendeta” (gembala) memang sedang membawa jemaat ke “air keruh”. Bagi peneliti, harusnya 85
para gembala tidak ikut terlena dan terlibat dalam konflik elit tersebut, mereka harusnya mengambil posisi netral dalam melayani, bukannya jemaat yang netral. Fenomena warga Jemaat yang netral di Ikthus Wari harusnya menjadi tamparan keras bagi para gembala yang memilih “lehernya diikat” dan ditarik ke mana-mana. Gembala harusnya netral karena mereka adalah panglimanya warga jemaat. Kalau gembala sudah berpihak akibatnya warga Jemaat tercerai-berai, atau dengan bahasa yang lebih bermakna teologis “domba-domba mengalami kebingungan” karena gembalanya telah dan lebih memilih “rumput tetangga yang lebih hijau.”47 Yang dimaksudkan dengan rumput tetangga lebih baik atau lebih hijau adalah pendeta lebih memilih untuk mendukung salah satu “calon” yang sedang berkonflik, dan memilih memuaskan dahaga (kehausan) jemaat yang dilayaninya lewat Sumber Air Kehidupan, yang dikatakan Pdt. Irene Souhoka sebagai “air jernih”. Namun bagi peneliti Pdt. Irene Souhoka sendiri sedang atau belum tentu menawarkan “air jernih” karena konflik ini belum selesai, dan domba-domba masih terus kebingungan. 5.2. Relasi Antar Anggota Jemaat Ikhthus Wari Pasca Perpecahan Berdasarkan deskripsi yang telah dilakukan, hal menarik yang dapat pelajari adalah bahwa nilai-nilai perekat keseimbangan masyarakat adalah tidak selalu bersifat statis (tetap), namun berada dalam kondisi yang penuh dinamika akibat konflik. Dengan demikian, terjadinya konflik dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada, namun dapat pula mentrasformasi atau memperbaharui nilai-nilai bersama yang telah ada sebagai perekat atau kohesifitas sosial, dan di dalam konflik saja saja terdapat “dombadomba yang bingung” akibat keributan yang terjadi. Dalam kebingungan itu, “domba-domba” terus berupaya mencari perlindungan pada mereka yang memiliki otoritas, dalam proses “mencari” perlindungan atau keteduhan itu, diakui bahwa ada “domba” yang berhasil mendapatkan lahan terbaik yang kemudian diakui sebagai keabsahan yang dapat menaungi kepentingan dan kebutuhannya, ada juga “domba” yang mencari namun tidak menemukan lahan hijau akhirnya lari atau keluar dari lingkaran nilai bersama dan berdiam di wilayah entah47
Kata-kata “rumput tetangga lebih hijau atau lebih baik” adalah kata-kata sebuah Iklan Televisi yang peneliti gunakan sebagai bentuk analogi dalam tulisan ini.
86
berantah, yang mungkin tak bertuan, dan dapat saja domba-domba yang sedang kebingungan ini saling menyerang satu sama lainnya. Analogi
“domba-domba yang kebingungan” menurut hemat peneliti adalah
tepat digunakan guna mengelaborasi akibat konflik kepentingan elite yang terjadi di GMIH dan berdampak pada Jemaat Ikthus Wari Tobelo. Tabel 2 di atas mengkonfirmasikan “domba-domba yang kebingungan” tersebut. Setidaknya sebanyak 93 kepala keluarga yang tetap pada nilai bersama yang disepati oleh Sidang Sinode GMIH di Dorume tahun 2012, dan 44 kepala keluarga memilih untuk ikut melegitimasi “transformasi atau pembaharuan” nilai bersama yang dilakukan oleh Sidang Sinode Istimewa (SSI) di Tobelo, serta 388 kepala keluarga memutuskan untuk tidak melegitimasi (walau awalnya mereka adalah warga GMIH) kedua kepentingan (nilai bersama) yang dibangun oleh kedua kelompok tersebut. Bagi peneliti, keputusan 388 kepala keluarga untuk tidak terlibat, memihak pada salah satu “calon” adalah keputusan menarik, walaupun agak “menggelitik” jika ditempatkan dalam perspektif Gereja yang pola pelayanan atau penatalayananya rapi dan tersistematis. Dikatakan menggelitik sebab jika ditempatkan dalam struktur gereja – apalagi para pendeta juga ikut terkotak-kotak, maka pertanyaannya adalah siapakah yang berhak atau dapat mengklaim 388 kepala keluarga ini sebagai anggota jemaat mereka? Bukankan mereka sedang berada dalam kondisi “tanpa status”? Itulah realitas domba-domba yang kebingungan, yang dalam konteks 388 KK itu dapat dikatakan sedang menampar dengan sangat keras para pelayan (pendeta) GMIH yang berkonflik. Implikasinya Pendeta yang berkonflik itu mengusik ketenangan domba-domba yang kebingungan sehingga ikut saling menanduk. Hasil wawancara dengan Pdt. Irene Souhoka, tanggal 4 Januari 2014 tentang realitas yang terjadi di Jemaat Wari, pada intinya mengatakan bahwa: “Sudah tidak lagi terlihat keadaan aman tetapi sudah ada kelompok-kelompok dan tak ada lagi ketulusan yang ada bukan kebersamaan tetapi kepentingan kelompok-kelompok. Di jemaat Ikhthus Wari terjadi kekacauan pada saat ibadah di gereja, ada sekelompok orang yang memberontak dengan parang. Kami dari pendeta SSI tidak bisa menanganinya karena kami terus diancam dan bahkan di tindas kalau melakukan pelayanan kita di usir dari jemaat tersebut. Gereja Yesus telah menjadi bahan elok-elokan. Gereja atau pengikut Yesus tidak lagi menjadi garam dan terang bagi dunia, tetapi dunia yang 87
menjadi terang bagi gereja, Yesus di khianati dengan 30 keping perak sekarang pengikut Yesus di pecahkan dengan 30%48. Kepentingan kelompok tertentu dan kepolosan umat dijaadikan pertikaian dan perhinaan antara satu sama lain. Dilihat dari sisi negatif sangat meresahkan warga jemaat, jemaat bingung. Namun, sisi positifnya, umat bingung membuat umat harus bergumul supaya mengenal Tuhan dengan keberadaannya. Sekalipun setiap informan kunci yang diwawancarai mengatakan bahwa “mereka tidak menganggap yang lainnya sebagai musuh”, namun dalam realitas keseharian kehidupan warga jemaat, pasca perpecahan ini mengakibatkan pola interaksi tidak lagi berjalan dengan baik, sebagaimana sebelum perpecahan. Hal ini misalnya seperti yang dikatakan oleh Herlina Keper49 bahwa “dalam kehidupan sehari-hari kelihatannya rukun, namun sudah tidak kayak (seperti) dulu lagi, antara kedua kubu ada senyum namun senyum sinis”. Sekalipun demikian, menurutnya “reformasi itu baik walaupun ada tantangan dan ada yang menjadi korban anarkis, tetapi reformasi itu baik untuk pembaharuan GMIH”. Lain posisi (jabatan) lain pula pandangannya, ketika peneliti bertemu dan mewawancarai Edison Bubala50 dengan topik pola interaksi jemaat Ikhthus Wari, pada intinya mengatakan bahwa “sebelum terpecahnya Sinode kerukunan itu masih terjaga sangat baik, harmonis, seperti kerja bakti semua hadir dari bidang-bidang kategorial. Namun setelah perpecahan, jemaat kelihatannya saling mencurigai, saling tidak senyum, senyumpun dipaksakan”. Mengenai soal perpecahan ini, Edison Bulaba dalam pernyataannya mengambil posisi berbeda dengan Herlina Keper, dia mengatakan bahwa “reformasi memang baik, namun dalam konteks GMIH hal ini sangat tidak baik, sebab tidak sesuai prosedur gereja. SSI itu ada dalam Tata Gereja, tidak dilarang, tapi melakukannya harus sesuai mekanisme dan masalah yang dibahas itu jelas, kalau begini siapa saja bisa buat SSI, walau masalahnya cuma pendeta salah mengucapkan kata-kata
48
30% adalah setoran jemaat ke Sinode yang memang telah disepakati dan diatur dalam aturan Gereja (GMIH), dan oleh kelompok Pembaharuan 30% ini dituduhkan sebagai salah satu “dosa” akibat pengelolaannya tidak transparan 49 Menjabat sebagai Syamas di Jemaat Ikhthus Wari (dari kelompok SSI), diwawancarai tanggal 29 Desember 2013. 50 Menjabat sebagai Penatua di jemaat Ikhthus Wari (dari kelompok SSD), diwawancarai tanggal 30 Desember 2013
88
waktu khotbah, kita buat SSI, jadi aneh, sangat tidak baik reformasi ini, dan itu yang buat kita (jemaat) terpecah”. Informan kunci yang mengemukakan pendapatnya dengan mencoba mengambil posisi netral dalam konflik tersebut adalah On Lumeling, S.Pd51 dalam wawancaranya Lumeling mengatakan: “Realitas di jemaat kami Ikhthus Wari ini, memang benar kita sudah terpecah ada sebagian jemaat yang memilih tetap di Sinode lama dan juga ada yang masuk ke Sinode baru atau SSI, bahkan juga majelis dan teman-teman pemuda kami. Saya selaku Ketua Pemuda bahkan sebagai Kordinator atau Ketua Bidang pemuda khususnya Tobelo Utara ini, saya sudah menyampaikan kesan dan pesan saya pada saat ibadah gabungan pemuda Tobelo Utara. Saya menyampaikan kepada mereka agar tidak terprofokasi dan ikut dalam konflik bahkan memihak salah satu sinode. Tetapi bagaimana kita bisa bersikap netral dan tidak memihak. Karena kalau kita memihak akan kacau, karena tugas kita sebagai pemuda sekarang haruslah berpikir bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat kita yang sekarang hancur dan berkonflik. Kesan ini juga saya sampaikan waktu natal pemuda kita di jemaat Wari ini agar kita tidak terprofokasi dan harus bersikap netral. Saya juga berharap agar pemuda-pemuda kita yang lahir dari GMIH ini harus mempertahankan ini dan berupa memulihkan kembali GMIH yang sebenarnya. Karena kita lahir dan dibesarkan oleh GMIH dengan pendidikan dari sekolah-sekolah GMIH. Saya akan terus berjuang dengan teman-teman pemuda lainnnya agar memulihkan GMIH dan tidak terprofokasi dan berupaya menyatukan kembali umat kami yang lagi berkonflik ini untuk jemaat wari yang utuh kembali dan rukun seperti semula.” Bagi peneliti inilah suara penyejuk hati, atau suara kenabian yang harusnya disuarakan oleh para pendeta dan tua-tua jemaat. Namun realitasnya pendeta dan tua-tua jemaat mengambil sikap memihak salah satu “calon” dan terus mendorong menguatkan kelompok mereka, seolah menjalankan strategi “teologi jiwa-jiwa” dalam mencari domba-domba kebingungan untuk mendukung dan melegitimasi salah satu kelompok yang sedang bertikai (BPHS Dorume vs BPHS versi SSI).
51
Beliau adalah tokoh Pemuda Wari, yang diwawancarai tanggal 20 Desember 2013
89
Tentang tua-tua jemaat yang tidak mengambil posisi netral, dan berupaya mendamaikan situasi adalah seperti yang dilakukan oleh Opa Kumihi 52 yang ketika diwawancarai pada intinya mengatakan: “Berita ini perpecahan di jemaat ini ternyata sudah ada dari kelompok dari produk Sidang Sinode Dorume sudah mempengaruhi umat kami sehingga mereka terpecah. Setelah mengamati awalnya peristiwa ini bahwa kelompok yang paling dominan membuat konflik agar memihak mereka adalah kelompok Sinode Lama. Setelah melihat perdebatan itu dan saya melihat peraturan sinode itu Presbiterial Sinodal dan mereka melanggar itu ada pendeta yang masuk ke politik, dan itu saya tidak setuju karena pendeta tugasnya melayani umat, gereja dalam bidang pelayanan rohani sehingga lewat pribadi saya, saya masuk SSI. Karena SSI ini memperbaharui GMIH dan itu akan saya sampaikan ke masyarakat, karena asas-asas gereja ini mereka tiadakan. GMIH ini kan pakai asas, ada aturan dan apa yang mereka lakukan ini tidak mengarah pada asas presbiterial sinodal, para penatua, diaken, pendeta, dan tua-tua itu jalan bersama dan apa yang yang dilakukan Sinode Lama ini sudah keluar dari situ dari aturan gereja. Dan apa yang dilakukan pihak sinode lama ini mereka mengaitkan dengan persoalan PILGUB53 dan mereka membenci bupati kita, karena dengan sesuai amatan saya SSI dibuat oleh bupati dan saya setuju. Persoalan ini mereka masuk kepolitik dan juga mereka mengabaikan asas gereja. Saya mengambil kesimpulan bahwa sinode pembaharuan yang tepat karena mereka mengembalikan asas gereja tersebut… saya sudah memberika pemahaman kepada mereka, tetapi baru 1 dan 2 orang54, kalau masyarakat secara umum belum. Karena saya lihat kondisi yang ada kalau ada seseorang yang menyampaikan hasil SSI, itu pasti mereka berkelahi dan mereka tidak akan terima, jadi saya akan sampaikan kepada warga jemaat secara orang per orang dan ternyata mereka mendukung pembaharuan.” Namun ketika peneliti coba menanyakan tanggapannya tentang konflik di tingkat jemaat, Opa Kumihi pada intinya mengatakan “menurut saya dengan melihat umat saya yang sudah pecah kalau melihat budaya-budaya, nilai-nilai yang saya tanamkan saya memohon kalau kita punya masalah janganlah membuat konflik dan merusak masyarakat dan marilah kita sama-sama membangun”. Bagi peneliti, pernyataan terakhir opa Kumihi memang sangat menyejukkan, namun faktanya opa Kumihi tidak lagi netral
52
Di Jemaat Wari, beliau diposisikan sebagai tua-tua adat. Wawancara tanggal 19 Desember 2013. Beliau juga merupakan salah satu utusan Jemaat untuk mengikuti SSI 53 Mengenai hal ini peneliti mencoba bertanya “apakah opa sudah baca buku “Sejarah Pembaharuan GMIH”? beliu mengatakan belum membaca, dan peneliti „berseloroh‟ ada topik menarik coba nanti opa baca. 54 Jawaban ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana sosialisasi yang dilakukan setelah mengikuti SSI tanggal 6-8 September 2013
90
mengambil sebagai tua-tua jemaat yang harusnya menyuarakan suara kenabiaan, tapi telah berpihak, sehingga dalan ungkapan beliau di atas, juga tampak kekhawatiran karena sebagian warganya tidak lagi melegitimasikan dirinya sebagai tua-tua (yang ditua-kan) oleh mereka. Hal ini terlihat dari pola sosialisasi yang beliau lakukan. Hal menarik lainnya dari domba-domba yang kebingungan ini adalah apa yang diungkapkan oleh Arnold Yaro yang dimuat dalam Surat Kabar Obor Halmahera (OH), Edisi I/X/2013, halaman 3. Beliau adalah salah satu anngota jemaat Ikthus Wari (lingpel 11). Menurut catatan OH, beliau adalah anggota jemaat yang paling “getol” memprotes SSI, untuk kepentingan penelitian ini, peneliti mencatata pernyataan Arnold Yaro, karena menyampaikan sikap berbeda dengan sikap sejumlah Badan Pekerja Harian Jemaat (BPHJ) sebagai berikut:55 “dari dulu-dulu kita GMIH ini khan. Trus kenapa lagi sekarang ini sudah jadi dua begini? Saya sangat tidak suka dengan cara-cara sekelompok orang dari sekretariat pembaharuan yang mendirikan sinode tandingan. Apalagi isyu yang dibuat kelompok pembaharuan itu menyangkut hal-hal yang sangat diragukan. Masak diisyukan kalau uang pensiun pendeta sudah habis dipakai oleh Ketua Sinode sebanyak 1,3 milyar. Tetapi buktinya setiap bulan khan kita liat para istri guru jemaat itu datang menerima uang pensiun khan selalu tepat waktu. Malah saya dengar pendeta Emiritus juga ada menerima uang pengabdian sekitar 40 juta dari Sinode, lalu apalagi yang diprotes oleh mereka? Saya juga merasa senang dengan pergantian ketua jemaat dari Pdt. Eko Jurubasa kepada Pdt. Towondila. Semoga saja pergantian pinpinan jemaat itu akan membawa suasana sejuk dalam jemaat Ikthus Wari. Dan semoga saja dengan pergantian ini jemaat Ikthus Wari akan tetap menjadi jemaat yang dipimpin oleh BPHS GMIH yang resmi dan sah. Namun, sekalipun saya harus mati untuk membela kehormatan GMIH, saya siap untuk itu”. Arnold Yaro, seorang pekerja di pelabuhan juga ikut terusik batinnya ketika mendengar dan mengetahui konflik yang melanda GMIH, separah itukah para elite GMIH dalam mengolah konflik di antara mereka sehingga masyarakat pada level paling bahwa pun mengetahui dan ikut berbicara dan mengambil bagian dalam konflik itu? Atau konflik ini memang sengaja digelontorkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab guna menaikan citra diri (pencitraan)?. Apapun itu bahtrera GMIH sedang
55
Pada saat penelitian, peneliti beberapa kali berkunjung ke rumahnya, namun tidak sempat bertemu, karena selalu berada (bekerja) di palabuhan.
91
diambang-ambingkan badai dalam samudra luas, dan jika nahkodanya kurang berpengalaman maka kemungkinan bahtera GMIH tenggelam tidak terhindarkan. Masalahnya bagaimana menjinakkan “domba-domba yang sudah liar akibat kebingungan” itu? Dalam salah satu ayat Alkitab yang pernah saya dengar (saya lupa nama Kitabnya), kira-kira berbunyi demikian “Aku mengutus engkau ke tengah-tengah serigala”. Dengan demikian, para pelayan di Jemaat Ikhthus Wari harus memaknai bahwa medan yang sekarang mereka layani sedang dihuni oleh “domba-domba liar” kalau tidak ingin dikatakan serigala. Badan Pekerja Harian Jemaat (BPHJ) Ikthus Wari perlu mengambil sikap netral. Belajar dari jemaat yang cerdas (388 kepala keluarga yang netral), dan jangan berpihak. Tinggalkan ego masing-masing pimpinan atau pelayan jemaat dan selamatkanlah domba-domba yang tersesat, agar tidak menjadi semakin liar. Namun jika para pelayan tetap dengan pilihan mendukung salah satu “calon”, maka domba-domba yang kebingungan itu niscahya akan mencari rumput tetangga yang kelihatan lebih baik, atau kawanan domba itu akan bangkit merusak tatanan yang telah ada. Qua vadis Ikhthus Wari? Inilah pertanyaan tersisah bari para pelayan (BPHJ).
92
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka kesimpulan penting yang penelitian guna menjawab tujuan penelitian tentang alasan-alasan perpecahan jemaat Ikthus Wari dan pola interaksi jemaat pasca perpecahan, dapat diformulasikan sebagai berikut: terpecahnya jemaat Ikthus Wari diakibatkan oleh dua hal, yakni: a). konflik kepentingan elit yang terjadi pada tingkat Sinode GMIH berimplikasi pada dukungan anggota jemaat pada elit tertentu hasil Sidang Sinode Istimewa. Dukungan ini tampak atas dasar kesamaan kepentingan, baik kepentingan politik-administratif-merujuk pada status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun kepentingan kekeluargaan–merujuk pada menguatnya persaudaraan dalam sistem klan; dan b). Perilaku elit ditingkat Jemaat yang tidak netral. Hal ini merujuk pada kesepakatan Jemaat mengutus 4 orang “elit” mereka dalam Sidang Sinode Istimewa sebagai utusan yang netral. Sekembalinya “para utusan” ini, pola sosialisasi yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka kepada jemaat sudah tidak lagi netral, artinya telah memihak keputusan SSI sehingga berimplikasi pada hilangnya kepercayaan anggota Jemaat dan berakibat perpecahan. Selain itu, dampak yang timbul dari perpecahan Jemaat mengakibatkan harmoni sosial menjadi rusak atau tidak harmonis lagi. Interaksi antar anggota Jemaat juga terkait dengan pimpinan Jemaat menjadi tidak harmonis, masing-masing saling mencurigai, senyum yang dipaksakan, dan tegur-sapah menjadi sekedar “basa-basi‟ belaka. Anggota jemaat terjebak dalam pengkotakan sebagai “pendukung BHPS SSD”, pendukung BPHS SSI”, dan kelompok netral. Pengkotakan ini menambah rumit pola interaksi antara mereka, tegur-sapah dan senyum merupakan ungkapan keterpaksaan akibat pernah hidup bersama sebagai orang saudara. Namun tidak lagi setulus yang pernah ada pada waktu-waktu sebelum perpecahan. Realitas ini semakin diperparah dengan pembagian jam ibadah Minggu di gereja, dan realitas elit (terutama pendeta dan tua-tua) yang ikut terpecah dan mendukung aktor dan kelompok tertentu, atas dasar keyakinan akan kebenaran menurut versi masing-masing, semakin memperkeruh situasi Jemaat Ikthus Wari. Pada tataran anggota Jemaat kehausan akan “air segar” membuat mereka 93
bingung menentukan sikap sebab setiap kelompok (elit) menawarkan “air bersih dan segar” sesuai selera yang sebenarnya hanya mewakili serpihan-serpihan kebenaran. 6.2. Rekomendasi Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, maka beberapa hal yang diformulasikan sebagai rekomendasi penelitian ini adalah: Bagi kelembagaan GMIH, BPHS disarankan untuk lebih giat berupaya dalam memberi pemahaman yang benar kepada jemaat-jemaat tentang konsensus bersama dalam Sidang Sinode di Dorume tahun 2012. Memperbaiki dan terus meningkatkan pola komunikasi yang baik dan bermartabat dengan semua pihak terutama dengan jemaatjemaat. Perlu dengan arif dan bijaksana mengelola konflik yang terjadi pada tingkat elit dan tidak “meneruskan” konflik tersebut ke tingkat jemaat dalam rangka menarik dukungan jemaat untuk melegitimasi kepentingan elit. Bagi BPHS versi SSI, disarankan untuk menahan diri. Pembaharuan Gereja memang perlu selalu dilakukan, namun waktunya perlu dipersiapkan dengan matang, sehingga tidak terkesan ditunggangi secara politik. Tuhan (mungkin) sedang menegur GMIH, namun teguran itu perlu dimaknai sebagai mempersiapkan diri dan kapasitas kelembagaan untuk bangkit, mempersiapkan Jemaat-jemaat dan membaharui kehidupan menggereja, tetapi perlu memperhatikan dan menempu mekanisme organisasi yang telah juga disebakati bersama sebagai “suara terbaik” yang dibimbing Tuhan. Berilah kesempatan bagi BPHS SSD untuk bekerja dan membuktikan diri, sebab hari penghakiman pasti akan datang untuk semua orang. Tanggal 5 Juli 2013 kalaupun dipahami sebagai “Saat Tuhan menegur para pemimpin Umat-Nya”, namun tidak perlu meradikal dalam bentuk mekanisme SSI sebab “hari penghakiman” perlu disesuikan dengan mekanisme gereja yang telah melembaga. Bagi para pelayan (pendeta dan majelis) di Wari, disarankan untuk tidak ikut terkontaminasi konflik pada tingkatan elit (sinode) tetapi perlu memposisikan diri sebagai pelayan yang menyuarakan Suara Kenabian. Berhentilah mendukung elit dan kelompok tertentu, sebab realitasnya jemaat Ikthus Wari telah terpecah dan masingmasing kelompok merindukan sentuhan kasih dari seorang pelayan. Belajarlah dari jemaat yang mengambil posisi netral dalam konflik perpecahan ini, mereka (jemaat 94
yang netral) sedang mengkritik anda (pendeta) yang mempertontonkan pelayanan setengah hati, yang berbicara atau meneriakkan “air segar” tetapi tidak mampu menempatkan posisi atau lebih memilih mengekor. Sebagai pelayan yang tahu dan taat asas presbiterial sinodal anda perlu menempatkan posisi tak berkepentingan dengan konflik elit, sebab yang perlu “diselamatkan” adalah jemaat dan bukan elit. Itulah konsekuensi panggilan anda sebagai pelayan Yesus Kristus. Bagi anggota Jemaat, disarankan untuk berbesar hati dan kembali saling memaafkan sebagai „orang saudara‟ yang hidup dengan kekuatan nilai dan norma bersama yang diikat oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kearifan lokal yang telah dimiliki. Jangan beri ruang bagi rusaknya persaudaraan dan kekeluargaan hanya karena kepentingan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dalam gereja. Anggota jemaat perlu bersatu hati dan mengambil sikap resistensi bagi pendeta yang terkontaminasi kepentingan elit yang berkonflik, dengan sikap ini para elit akan belajar untuk tahu diri, sebab mereka ditolak oleh jemaatnya. Bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian tentang “prahara GMIH” disarankan untuk mengkaji topik-topik, seperti: a). Gereja dan Politik; b). Peran aktor politik dalam konflik perpecahan GMIH; c). Peran aktor Gereja dalam perpecahan GMIH; d). Dualisme kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan dalam Sinode GMIH; e). Penerapan asas presbiterial sisnodal dalam GMIH; f). Perpecahan GMIH dan kekerabatan, dan lain sebagainya.
95
DAFTAR PUSTAKA Andrain, Charles F. Political Life and Social Change. (terj). Lukman Hakim Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana. 1992. Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Jakarta : BPK Gunung Mulia. 1997 Bertens, Hans. The Idea of The Postmodern: A History. Routledge-London, 1995. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Motodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta : PT. Raja Grafindo. 2003 Budiharjo. Miriam. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta; Dian Rakyat.1998. Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen : Seiarah Teologi Misi Yang Mengubah DanBerubah. (terj) Stephen Suleeman. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000. Campbell, Tom. Seven Theorities of Human Society. Oxford University Press. 1981. Dahrendorf, Ralf. Case and Class Conflik in Industris Society, Stanford University Press, Stanford-California, 1959. Djawa, O.R. Sedjarah Singkat Lahirnya G.M.I. di H. dan Usaha-Usahanya Selama Dua Puluh Tahun. Arsip GMIH di STT Tobelo. Payahe. 1969.(Tidak Diterbitkan) Durkheim Emile, The Elementary Froms of Religious Life : New York, The Free Press, Macmillan Publishing, 1965. Fisher Simon, Mengelola Konflik : Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak : Jakarta, The British Council Indonesia, 2001 Foucault, Michel. Sejarah Seksualitas. Seks dan kekuasaan (terj). Jakarta. Gramedia. 1997. Giddens Anthony, Sociology, Cambridge Polity Press, 1989. Haire, James. Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1998. Heryanto, Ariel, „Postmodernisme: Yang Mana ? Tentang Kritik dan Kebingungan‟, dalam Debat Postmodernisme di Indonesia. Junal Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta. 1994.
96
Hontong, Sefnat., Mojau, Julius., Djurubasa, A. Hidup Menggereja: Asas Presbiterial Sinodal Gereja Masehi Injili di Halmahera. Yogyakarta: Alinea Baru, 2013. Ihalauw, John J.O.I. Bangunan Teori. Edisi 3 Milenium. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. 2004. Jary, D Dan Julia Jary, Collinss Dictionary Of Sociology, Great Britain : Harper Coolinss Publisher, 1991. Junga, J.,. Ringkasan Perkembangan G.M.I. di H. Bagian I, UZV ke GPH:1942-1943. Tobelo, 1978. (Tidak Diterbitkan) Kleden, Ignas., Soedjatoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko, “Etika Pembebasan”. Jakarta: LP3ES, 1984. Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1997. Malo, Manasse. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunika. 1986. Moleong, L. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006 Mojau, Julianus. Sejarah Pembaharuan GMIH. Tobelo, GMIH, 2014. Nasikun.” Sistem Sosial Budaya Indonesia”. Jakarta : PT RajaGrafind Persada, 2007 Ngarbingan, Anton, Alberth, 2004. Upaya Membangun Teologi Misi Yang Kontekstual di Gereja Masehi Injili di Halmahera, Salatiga, Fakultas Teologi UKSW, (Skripsi-Tidak Diterbitkan) Nordholt, Schulte. Metodologi dan Metodik Sosiologi. Salatiga: LPIS Satya Wacana. 1973. Ritzer. George dan Goodman. Douglas J. Modern sociological theory. 6th Edition. (Terj). Triwibowo Budi santoso Teori Sosiologi modern. edisi ke-6 cet.3. Jakarta; Kencana. 2005. Soedjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta: LP3ES, 1984) Sookanto, Soejono Dan Lestarini Ratih, Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi : Jakarta, Sinar Grafika, 1988. Suwondo, Kutut, Gereja Dan Kemajemukan : Gereja Dalam Konflik Dengan AgamaAgama Lain ; Jalan Baru Menuju Terbentuknya “Civil Society” : Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002.
97
_____________, 2005. Otonomi Daerah Dan Perkembangan Civil Society Di Aras Lokal. FISIPOL – UKSW, Salatiga. Suseno, Franz Magnis. Etika politik Prinsip-pronsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. 1987. Susilo Suko, Basrowi, Sukidin, Sosiologi Politik. Yayasan Kampusiana: Surabaya. 2003. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992. Sugiyono. Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA. 2006. Turner. Bryan S. Religion and Social Theory.(Terj). London. SAGE publications Ltd. 1991. Tholkhah Imam, Mewaspadai Dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama, Departemen Agama RI : Badan LITBAG Agama Dan DIKLAT keagamaan, Jakarta, 2001. Tolo, S.B. Sedjarah Singkat Tentang G.P.H. Yang Adalah Rintisan G.M.I. di H. Djailolo, 1968. (Tidak Diterbitkan) Van Den End, Th. dan Weitjens, J. Ragi Cerita II: Sejarah Gereja di Indonesia dari 1860-an samapai Sekarang. Jakarta BPK Gunung Mulia. 1999. Weber, Max. The Nature of Action. (ed). WG. Runciman. Max Weber. selection in translation. E. Matthews. Cambridge : Cambridge University Press. 1980. Weber, Max. Economy and Society. (ed) . Roth and Wittich. California. University Press. 1974
SUMBER LAIN: Tata Gereja dan Tata Rumah Tangga Gereja Masehi Injili di Halmahera. Hasil Sidang Sinode Tahun 1997 di Balisoan. Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja Masehi Injili di Halmahera. Hasil Sidang Sinode Tahun 2012 di Dorume, Loloda Utara. Dokumen Hasil Sidang Sinode Istimewa Gereja Masehi Injili di Halmahera, Tahun 2013 di Tobelo. Buku Panduan Sidang Sinode Istimewa GMIH Tahun 2013. Surat Kabar „Obor Halmahera‟ Edisi VI/XII/2013. 98
Lampiran 1 GEREJA MASEHI INJILI di HALMAHERA ANGGOTA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA di INDONESIA BALITBANG dan STATISTIK GMIH
Jl. Kemakmuran, Tobelo 97762 Telp. (62) 0924-2621166, Fax. (62) 0924-2621302 Email :
[email protected] Halmahera Utara - Maluku Utara PEMETAAN PERSOALAN GMIH Pengantar Dalam tiga bulan terkahir, Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) dilanda dengan konflik internal. Dalam berbagai media, baik dari media jejaring sosial maupun media massa (Koran lokal), i
dikatakan bahwa : “perahu GMIH sedang dalam kondisi bocor ”. Analogi persoalan GMIH dengan “perahu yang bocor” tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah memang benar bahwa perahu tersebut sedang bocor sehingga tidak bertahan sampai ke pelabuhan Buli (SS XXVIII) ? Siapakah yang membuat sampai bocor ? Mengapa sehingga dapat dikatakan bocor ? Kondisi seperti apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi ? Upaya untuk menjawab analogi tersebut di atas_apakah benar analogi tersebut dapat menggambarkan polemik GMIH saat ini_sangat bergantung pada cara kita melihat persoalan tersebut. Kebutuhan cara pandang untuk dengan jujur melihat persoalan tersebut, maka pemetaan persoalan ini dilakukan dengan berupaya untuk menghindar penilaian subjektif terhadap persoalan yang sedang dihadapi GMIH. Oleh karena itu, pemaparan dimulai dari fakta-fakta lapangan, kemudian kondisi data jemaat pasca SSI dan GPH serta pemetaan kepegawaian.Dengan fakta dan data tersebut, kemudian diidentifikasi faktor-faktor pendukung persoalan tersebut.Diharapkan dengan identifikasi tersebut dapat dipakai untuk menganalisis fakta, data dan faktor-faktornya guna memperoleh persepsi yang benar terhadap persoalan GMIH. Kompilasi Fakta 1) Setelah Sidang Sinode GMIH XXVII yang dilaksanakan di Dorume Loloda Utara, 23-30 Agustus 2012, muncul sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai Kelompok Reformasi. Kelompok ini kemudian mengeluarkan selebaran dan bahkan sebuah Buku yang berisi keberatan mereka terhadap hasil Sidang Sinode tersebut, mulai dari hasil pemilihan BPHS sampai pada tata kelola keuangan GMIH. Kelompok tersebut dengan gencar melakukan sosialisasi kepada jemaat-jemaat GMIH. 2) Aksi mereka kemudian terhenti ketika Sidang Majelis Sinode I yang dilakukan di Jemaat Betlehem Tobelo pada bulan Februari 2013. Dalam sidang tersebut, BPHS melakukan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan yang dilakukan oleh Kelompok Reformasi.Dengan hasil dari penjelasan tersebut, peserta SMS merekomendasikan untuk dilakukan pengampunan dan konsiliasi
99
kepada Kelompok Reformasi dan dilakukan penarikan selebaran atau buku yang telah disebarkan.Rekomendasi tersebut diindahkan oleh mereka (Kelompok Reformasi). 3) Kondisi yang nyaman kembali berjalan sekitar 5 bulan. Karena pada bulan Juli dilakukan Pemilihan Gubernur Maluku Utara, yang mana dalam proses tersebut, dua warga GMIH maju dalam pencalonan, Bupati Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Momentum pertarungan politik ini juga memengaruhi kinerja pelayanan para Pendeta di Jemaat. Karena disadari dengan sungguh bahwa ii
Pendeta dan Jemaat juga “terseret” dalam pertarungan tersebut, terutama dua kandidat dari warga GMIH. Selain itu pula, proses penyeretan tidak hanya untuk 2 kandidat tersebut, namun juga berlaku bagi kandidat lain, yang bukan warga GMIH. Ranah pertarungan politik pemilukada tersebut menjadi salah satu momentum dimana Pendeta ikut dalam proses kampanye kandidat. Hal ini terlihat dari begitu banyak Pendeta yang ikut dalam kampanye, baik itu secara diam-diam maupun dengan terang-terangan. 4) Pada awal Agustus 2013, ada kelompok jemaat yang melakukan aksi demo yang dipimpin oleh Pnt. Benny Bitjoli (Majelis Jemaat Elim Gura), yang pada saat itu adalah sekretaris Tim Pemenangan salah satu kandidat Calon Gubernur Maluku Utara periode 2013-2018. Adapun tuntutan mereka adalah Ketua dan Sekretaris Sinode GMIH segera mengundurkan diri karena terbukti mendukung salah satu kandidat calon Gubernur Maluku Utara periode 2013-2018. 5) Berselang beberapa hari kemudian, di Jailolo-Sahu, dilakukan pertemuan mendadak untuk menyikapi demo yang telah dilakukan. Pertemuan tersebut digagas oleh beberapa politisi dan Pendeta. Maksud dari pertemuan tersebut adalah menggagas sikap Halmahera Barat terhadap iii
fenomena yang terjadi di Halmahera Utara. Pertemuan yang dihadiri oleh Pendeta dan anggota Majelis Jemaat serta tokoh-tokoh masyarakat, menghasilkan Tim Kecil untuk merumuskan sikap dan kemudian disampaikan kepada Badan Pekerja Harian Sinode. 6) Berbagai isu pun mulai berkembang dan bergulir ibarat bola liar ke jemaat-jemaat, terutama di Halut dan Halbar. Isu penyelewengan, isu keterlibatan politik, penyalahgunaan keuangan dan sebagainya digulirkan ke jemaat-jemaat.Kelompok Reformasi yang pada SMS Bethelehem telah dibubarkan, kembali ikut menyemarakan isu-isu tersebut. Pada beberapa wilayah tertentu, mulai dilakukan pertemuan-pertemuan kecil untuk membahas isu-isu yang telah berkembang, mulai dari wilayah Kao, Tobelo dan Galela. 7) Karena panasnya suhu isu-isu tersebut, Badan Pekerja Harian Sinode melakukan pertemuan Pegawai Organik Gereja (POG) pada tanggal 23 Juli 2013 di Jemaat Siloam Gosoma. Dalam pertemuan tersebut56, dilakukan dialog antara POG dengan BPHS, terutama terkait dengan isu-isu yang berkembang.Dalam pertemuan itu, BPHS melakukan klarifikasi terkait dengan berbagai tuduhantuduhan yang dilakukan oleh segelintir orang.
56
100
8) Dengan pertemuan tersebut, tidak memadamkan niat para Pendeta yang menamakan kelompok Reformasi untuk menjalankan niatnya. Hal tersebut terlihat dari isu yang kemudian berkembang, yakni isu Pembaharuan GMIH.Isu tersebut semakin kental digulirkan ke jemaat-jemaat.Selain itu pula, akademisi Universitas Halmahera (UNIERA) juga mengusung Pembaharuan GMIH sambil menyiapkan Dokumen Kairos (dokumen pembaharuan) melalui Fakultas Teologi.Kelompok Reformasi yang pernah ada setelah Sidang Sinode XXVII di Dorume kemudian meleburkan diri menjadi kelompok Pembaharuan. Kelompok yang terakhir ini kemudian menetapkan sekretariat di depan Kantor Bupati Halmahera Utara. Dari sini berbagai upaya dilakukan ke jemaat-jemaat untuk mendukung aksi pembaharuan.Salah satu upaya mereka adalah dengan mengadakan Sidang Sinode Istimewa (kemudian disingkatSSI).Utusan-utusan Pendeta maupun PNS dan juga yang lainnya datang ke Jemaat untuk menghimpun tanda tangan sebagai bukti penyelenggaraan SSI. Puncak pergerakan Kelompok Pembaharuan GMIH adalah pelaksanaan SSI pada tanggal 13-15 September 2013 di Sekretariat Pembaharuan dengan menghasilkan BPHS versi SSI. 9) Pada tanggal 13 Agustus 2013, dilakukan pertemuan antara BPHS dengan kelompok Pembaharuan GMIH. Dalam pertemuan tersebut, kelompok Pembaharuan GMIH meminta kepada BPHS untuk melaksanakan SSI. Namun dengan berbagai pertimbangan serta kondisi yang ada, BPHS menolak. 10) Dalam menghadapi pergolakan gerakan Pembaharuan GMIH, BPHS melakukan konsolidasi umat ke beberapa titik wilayah pelayanan di Halmahera, mulai dari pertemuan BPHS dengan ketua Badan Pekerja Harian Jemaat (selanjutnya disebut BPHJ) dan Tua-tua Jemaat se-Kab. Halmahera Utara di Jemaat Betlehem Wosia Tobelo pada tanggal 12 September 2013; pertemuan se-Kab. Halmahera Timur di jemaat Marantah Waijou pada tanggal 13 September 2013; pertemuan se-Halmahera Tengah & Selatan, Tidore Kepulauan dan Ternate di Jemaat Eben Haezer Ternate pada tanggal 17 September 2013; pertemuan se-Halmahera Barat di Jemaat Imanuel Akelamo pada tanggal 18 September 2013 dan pertemuan se-Kab. Pulau Morotai di jemaat Eben Haezer Sabatai Morotai Selatan pada tanggal 20 September 2013. Kesimpulan konsolidasi dari semua pertemuan itu adalah : a)
Menolak penyelenggaraan SSI dan keputusan-keputusannya, karena tidak berdasar pada Tata Gereja;
b) Pemberlakuan sanksi organisasi kepada POG yang menyelenggarakan dan mengikuti SSI maupun pergerakan Sinode GPH. c)
Penyetoran 30% sesuai hasil keputusan SS XXVII Dorume harus tetap dilaksanakan.
d) Tetap mempertahankan hasil keputusan SS XXVII Dorume. Pemaksaan kepemimpinn GMIH semakin jelas ketika BPHS hasil SSI mengukuhkan diri sebagai pemimpin GMIH dan menyatakan BPHS hasil SS XXVII Dorume sudah demisioner. Pemaksaan tersebut merajalela ke berbagai aspek, BPHS SSI menjalankan tugasnya dengan memakai alamat sekretariatnya, sedangkan BPHS SS XXVII Dorume tetap berkantor di Jln. Kemakmuran Tobelo.
101
11) Pada tanggal 19 September 2013, Biro Hukum, HAM dan Demokrasi GMIH melakukan pengaduan terkait dugaan penyelewengan 30% oleh 5 orang Pendeta GMIH, serta penggunaan Cap dan Logo GMIH serta penerbitan surat-surat berharga. Pengaduan tersebut dilaporkan ke Polres Halmahera Utara. 12) Pada tanggal 01 Oktober 2013, gerakan persiapan Sinode Gereja Protestan Halmahera (GPH) melakukan ritual peletakan batu pertama kantor sinodenya. Ritual yang dilaksanakan di desa Tosoa tersebut menimbulkan keresahan pada warga GMIH yang ada di Halmahera Barat. Akibatnya berbagai bentuk penolakan terjadi, demo GMKI dan GAMKI serta majelis jemaat dilakukan sebagai bentuk penolakan mereka.Disamping itu pula, berbagai aksi demo juga sering dilakukan oleh mahasiswa di Halmahera Utara untuk menolak indikasi keterlibatan Pemerintah Daerah turut campur tangan terhadap pelaksanaan SSI. 13) Pada tanggal 03 Oktober 2013, Kementerian Agama RI, Kantor Wilayah Provinsi Maluku Utara, mengeluarkan sebuah surat yang menyatakan sikap pemerintah terhadap konflik internal GMIH. Surat tersebut kemudian didistribusikan ke jemaat-jemaat secara serentak. 14) Pasca surat Kemenag Kakanwil Maluku Utara, sosialisasi terus dilakukan oleh BPHS GMIH. Pada saat yang bersamaan, pihak Pembaharuan GMIH terus melakukan sosialisasi serta melantik kelengkapan kelembagaan BPHS hasil SSI.Sementara itu, kondisi Halmahera Barat yang berhadapan dengan GPH, terus mengalami perkembangan. Dengan mana, beberapa jemaat telah mengalami segregasi massa pada kedua kubu, baik yang masih mempertahankan GMIH maupun ada yang telah menyatakan diri ke GPH. Salah satu fenomena konflik tersebut adalah konflik yang terjadi antara desa Tosoa dan Lata-lata pada hari senin, 04 November 2013. Pemetaan Jemaat Konflik pada aras pimpinan tersebut secara perlahan namun pasti merembes ke kehidupan berjemaat. Jemaat-jemaat GMIH yang berjumlah 432 jemaat sudah mulai menyatakan sikapnya terhadap hasil SSI dan SS XXVII Dorume. Adapun pemetaannya adalah dapat dilihat pada gambar berikut :
102
Sumber : Tim Riset GMIH Dari gambar 1., di atas terlihat bahwa 13% jemaat GMIH telah terkontaminasi hasil SSI dalam berbagai kategori. Sedangkan 2% terkontaminasi GPH. Namun begitu ada 86% jemaat GMIH masih tetap mempertahankan hasil SS XXVII Dorume. Dari 13% jemaat yang telah terkontaminasi tersebut di atas, perlu untuk dilakukan pengkategorian indikasinya.Hal ini diupayakan untuk melihat sejauh mana pengaruh SSI bagi jemaatjemaat. Adapun gambarannya dilihat pada gambar berikut :
Sumber : Tim Riset GMIH Dari gambar 2., terlihat bahwa dari 13% atau 55 jemaat yang terindikasi SSI terdapat 35% yang masuk dalam kategori sangat tinggi, 5% yang kategori tinggi, 18% kategori kurang dan 43% yang termasuk dalam kategori sangat kurang. Dari data di atas, dapat dibaca juga bahwa dari 55 jemaat, terdapat 40% jemaat yang dapat dikatakan rawan sedangkan 60% masih dapat dikatakan belum rawan.
103
Selanjutnya, jika dilihat menurut wilayah, maka akan diketahui bahwa pengaruh SSI terpusat pada wilayah-wilayah di Kabupaten Halmahera Utara. Adapun gambaranya adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Prosentase Jemaat yang Terindikasi SSI menurut Wilayah
Sumber : Tim Riset GMIH Dari gambar 3., di atas diketahui bahwa 55 jemaat yang terkontaminasi SSI sebagian besar berada di wilayah pelayanan Tobelo Tengah yang mencapai 16%, kemudian wilayah Tobelo sebesar 15%dan Kao Utara sebasar 11% serta Tobelo Selatan dan Galela Barat masing-masing 9%. Pemetaan Kepegawaian Salah satu kesepakatan pertemuan BPHS dengan ketua BPHJ dan Tua-tua Jemaat pada beberapa wilayah adalah memberikan sanksi organisasi menurut klasifikasi kepada POG yang mendukung secara aktif terhadap pelaksanaan SSI dan juga dengan gerakan pendirian Sinode GPH.Realisasi dari kesepakatan tersebut adalah BPHS sudah memberikan sanksi skorsing kepada POG tersebut secara bertahap. Sampai saat ini, BPHS sudah mengambil langkah tersebut dalam tiga tahap dengan gambaran sebagai berikut :
104
Sumber : Tim Riset GMIH Dari gambar di atas, diketahui bahwa terdapat 15% atau 68 PO yang terkena skorsing.Sisanya 85% atau 373 orang yang tidak terpengaruh dengan SSI maupun GPH. Meneropong Faktor-faktor yang Mendukung Persoalan GMIH Berdasarkan kompilasi fakta dan data yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu juga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung polemik ini semakin parah. Dalam berbagai pandangan serta pendapat, minimal diketahui ada 4 faktor utama yang turut berpengaruh, diantaranya adalah : 1.
Faktor Politik Faktor politik yang dipahami dalam kondisi ini adalah kondisi dinamika politik daerah, baik dalam skala Kabupaten maupun skala Provinsi.Dinamika tersebut dilihat dari sejauh mana penggunaan kekuasaan untuk kemudian mempolitisasi wacana yang muncul di jemaat.Pemilihan Gubernur Maluku Utara menjadi salah satu acuan kuat dalam upaya menyebarkan isu politis ke jemaat.
2.
Faktor Ekonomi Faktor ekonomi dilihat sebagai kondisi ekonomis, seperti pekerjaan, pendapatan dan juga modalmodal yang lain yang turut memengaruhi praksis individu atau keputusan-keputusan individu dalam ranah dan atau praksisnya. Faktor ini dinilai berdasarkan keterlibatan PNS Halmahera Utara dalam hal sosalisasi dukungan SSI ke jemaat-jemaat.Faktor ini juga tidak berjalan sendiri, melainkan juga sangat ditopang oleh faktor politik Halut.
3.
Faktor Sosial Faktor sosial adalah dilihat pada kondisi status sosial seseorang yang turut berpengaruh pada relasi dan tindakan sosial.Penilaian terhadap faktor ini adalah status Penatua dan Diaken serta Tua-tua Jemaat yang juga turut bermain secara aktif maupun pasif dalam menyokong pelbagai opini yang muncul.
4.
Faktor Pengetahuan Sedangkan faktor pengetahuan dipahami sebagai faktor tingkat pemahaman pelayan akan tugas dan panggilannya. Faktor ini memang bukan persoalan baru, karena persoalan teologi GMIH yang belum kunjung selesai, turut memengaruhi tingkat pemahaman pelayan.Muara dari kondisi ini adalah kebingungan pelayan dalam hal memposisikan diri dalam pergumulan politik daerah, pergumulan sosial dan budaya.Penilaian terhadap faktor ini adalah terseretnya para pelayan dalam pusaran politik penguasa. Keempat faktor di atas bukanlah inti dari persoalan yang dihadapi oleh GMIH, melainkan pra-
kondisi yang turut berpengaruh terhadap inti persoalan yang terjadi. Memahami Kembali Persoalan GMIH Dalam upaya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di GMIH, perlu untuk merekonstruksi fakta-fakat yang terjadi, data yang telah diolah serta faktor-faktor yang turut berpengaruh. Hal ini perlu
105
untuk dilakukan dalam rangka menemukan inti persoalan yang sedang melanda GMIH.Di samping itu pula, untuk menemukan pemahaman yang jujur terhadap persoalan GMIH serta mencari solusinya. Sebagaimana yang telah diungkapkan pada fakta pertama, bahwa Kelompok Reformasi muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan mereka terhadap hasil SS XXVII.Ketidakpuasan tersebut dilihat dari dokumentasi yang disebarluaskan ke jemaat-jemaat.Hal ini sudah tentu diupayakan untuk membangun opini ketidakpercayaan jemaat terhadap kepemimpinan hasil SS XXVII. Isu yang dipakai mulai dari penggelembungan suara, penyelewengan dana pensiun pegawai sampai pada refleksi teologis terhadap cara pemilihan pimpinan gereja dengan mengundi. Butir-butir pemikiran tersebut minimal telah membentuk opini sendiri bagi jemaat-jemaat, walau ada penolakan terhadap aksi mereka. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa permulaan aksi Kelompok Reformasi adalah awal mula ketegangan yang sengaja diciptakan, namun masih dalam skala yang cukup kecil. Pembekukan kelompok tersebut pada bulan Februari 2013, sebagaimana yang digambarkan dalam fakta kedua, bukan serta merta turut menghapus opini atau wacana yang telah lahir di kalangan jemaat sebagai imbasan dari aksi mereka. Karena wacana ketidakpercayaan (distrust) kepada Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) sudah mengalir dengan perlahan namun pasti. Grafik ketidakpercayaan beberapa kalangan mulai merembes kepada kalangan Pendeta dan awam/jemaat.Rembesan tersebut cukup berpengaruh terhadap penurunan grafik kepercayaan jemaat terhadap BPHS.
iv
v
Kepercayaan (trust) membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan.Ketepatan antara harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan.Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial. Jarak antara harapan dan kenyataan seperti itulah yang dimanfaatkan oleh Kelompok Reformasi.Puncak dari ketidakpercayaan (distrust) tersebut adalah dengan momentum Pilgub Maluku Utara.Salah satu indikator kepercayaan (trust) adalah kebajikan dalam melihat dan menempatkan diri dalam lingkup organisasi, sehingga dapat menghasilkan perilaku individu dalam ranah organisasinya yang bertanggung
jawab.Dengan
momentum
Pilgub
Malut
putaran
I,
indikator
ini
cukup
memrihatinkan.Mengapa ?Karena Pelayan cukup terseret dalam segregasi politik yang terjadi.Cara pandang dan posisi diri dalam arus politik pemilihan sangat terpengaruh oleh faktor pemahaman, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Faktor pengetahuan politik gereja belum selesai pada aras pelayan dan jemaat GMIH. Dengan minimnya faktor pemahaman tersebut, turut memperkeruh suasana distrust yang telah diciptakan oleh kelompok reformasi. Selain itu, diperparah dengan hasil perhitungan Pilgub Malut putaran I, yang kemudian menimbulkan gesekan kelompok, yang kemudian bermuara pada demo besar-besaran di depan Kantor Sinode, sebagaimana yang diurai dalam fakta keempat. Demontrasi hasil perhitungan yang
106
kemudian dipolitisasi menjadi demo kepada pimpinan Gereja dengan berbagai tuduhan politis telah membawa babakan baru. Proses pewacanaan gap/jurang harapan dan kenyataan dalam fenomena bergereja mulai digulirkan kembali dan dimanfaatkan oleh kelompok Reformasi. Kelompok ini ibarat memperoleh angin segar dan pintu masuk untuk memanfaatkan kondisi. Isu reformasi kembali digulirkan, namun dengan nafas Pembaharuan GMIH.Dengan demikian, dapat diketahui bahwa faktor politik turut menyuburkan bunga pembaharuan GMIH, dengan terus menyebarkan semerbaknya ke seluruh jemaat.Apalagi aksi tersebut sangat didukung oleh Universitas Halmahera (UNIERA) melalui Dokumen Kairos-nya. Kesemerbakannya yang terus meluas tersebut dilihat dari pengumpulan tanda tangan jemaat serta pengerahan Pegawai Negeri Sipil Halmahera Utara untuk melakukan sosialisasi dukungan.Dari kondisi ini, faktor ekonomi turut berpengaruh.Karena status mereka sebagai PNS tidak terlepas upaya politis untuk mengerahkan mereka. Upaya yang dilakukan oleh kelompok pembaharuan tersebut, dengan cara pengumpulan tanda tangan serta pewacanaan isu-isu dengan mengedepankan “dosa-dosa BPHS”, adalah cara politis untuk membangun distrust kepada BPHS. Namun begitu, sebagaimana dalam data pada Gambar 1 di atas, diketahui bahwa 85% jemaat menolak cara tersebut beserta pelaksanaan SSI. Hal tersebut terlihat dalam uraian fakta kesepuluh, yang mana mereka menolak SSI dan hasil keputusannya. vi
Indikator lain dari dialektika trust (kepercayaan) adalah komitmen. Sebagai bentuk komitmen tersebut, BPHS GMIH dengan perangkat organisasinya tetap melakukan langkah-langkah organisasi untuk tetap berkomitmen terhadap aturan main organisasi yang telah disepakati dalam SS XXVII di Dorume.Dalam kompilasi fakta kesebelas, diketahui bahwa melalui Biro Hukum, HAM dan Demokrasi GMIH telah mengambil jalur hukum untuk semua pelanggaran organisasi. Hal tersebut juga semakin diperkuat dengan surat dari KEMENAG KANWIL Provinsi Maluku Utara. Pengakuan Negara tersebut minimal menjadi landasan hukum untuk mengembalikan trust (kepercayaan). Penutup Dari kompilasi fakta serta pengolahan data lapangan, ditambah lagi dengan inventarisir faktorfaktor yang berpengaruh serta proses analisa, maka diketahui beberapa hal diantaranya adalah : 1.
Kekuatan bergereja GMIH masih tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena kekuatan 85% jemaat yang belum terinfeksi dengan hasil SSI, merupakan kekuatan penuh untuk mengimplementasikan pendekatan kelembagaan.
2.
Faktor politik adalah faktor utama yang turut berpengaruh terhadap pewacanaan SSI di kalangan jemaat. Selain itu pula, ada beberapa faktor ikutan yang juga turut memberikan kontribusi, diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial dan pengetahuan.
3.
Inti dari persoalan yang melanda GMIH adalah bukan persoalan politik, melainkan persoalan distrust (ketidakercayaan). Selain persoalan distrust tersebut, polemik ini juga ditopang oleh pengetahuan teologis tentang peran aktif Pelayan dalam jemaat.
107
i
Bahasa Melayu Maluku Utara. Kata tersebut dipakai bukan untuk memberikan kesan negatif. Kondisi tersebut dapat dibaca dalam konteks Hak Politik warga Gereja sebagai warga negara yang menjalankan hak politiknya dalam proses pemilukada. iii Pertemuan tersebut sebenarnya adalah pertemuan evaluasi para Kordinator Wilayah, namun diperluas karena kebutuhan.Pertemuan tersebut sebenarnya adalah pertemuan evaluasi para Kordinator Wilayah, namun diperluas karena kebutuhan. iv Indikasi dari penurunan grafik kepercayaan jemaat kepada BPHS adalah isu penyelewengan dana pensiun tetap terpelihara dengan baik di benak setiap orang (walau sudah dilakukan klarifikasi). Selain itu pula, ada sikap defensive Pegawai Organik untuk mengurus dana Pensiun mereka. v Perhatian pada kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir sebagai wacana akademik pemerhati sosiologi. Perkembangan selanjutnya, banyak thesis yang meneguhkan trust, sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan. Fukuyama (1995) menegaskan bahwa trust adalah salah satu hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini kemudian ditekankan oleh Sztompka (1999) yang menegaskan bahwa trust menjadi modal penting yang mengkondisikan masyarakat dapat berfungsi. Rumusan dari Möllering tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah: a) Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis-individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif. b) Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi. c) Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan. d) Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab. e) Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. f) Modal sosial. Trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur-struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. vi Komitmen dimengerti sebagai konsistensi, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Dengan komitmen seperti ini, akan memampukan para pegawai untuk bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kewajibannya, serta ekspektasi masyarakat. Sudah tentu bahwa hal ini akan memampukan dirinya dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Bandingkan hasil penelitian Seok Eun Kim “The Role of trust in the Modern Administrative State : A Integrative Model”, Administration and Society Journal,Vol 37, No. 5, November 2005, hal 611-635. ii
108
109
110
111