BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Keamanan dari kedaulatan wilayah merupakan salah satu kepentingan
nasional yang selalu dikejar oleh negara. Setiap negara di dunia ini memerlukan kondisi aman untuk menjalani kehidupan bernegara serta guna memperolehnya maka sistem pertahanan akan selalu dibutuhkan. Demikian pula Indonesia dengan sistem pertahanan yang dimilikinya pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan kondisi aman bagi kepentingan dan kedaulatan nasional, menyangkut wilayah, penduduk, sumber daya alam dan lain-lain. Dalam studi Ilmu Hubungan Internasional, aspek keamanan akan selalu berbenturan dengan kat ancaman. Adapun definisi dari ancaman itu sendiri ialah satu hal terkait yang dapat menciptakan kondisi atau situasi yang membahayakan eksistensi
satu
negara/bangsa
dan
menggoyahkan
kesejahteraan
hidup
negara/bangsa3. Ancaman bagi negara dapat datang baik dari luar negara maupun dari dalam.4 Indonesia sebagai negara yang telah merdeka selama 70 tahun masih mengalami berbagai macam permasalahan keamanan. Permasalahan keamanan menjadi lumrah karena bentuk ancaman juga terus mengalami perkembangan. Hal yang kemudian menjadi penting adalah bagaimana kebijakan pertahanan dari satu negara dalam melihat dan merespon bentuk potensi ancaman yang sedang berkembang dan atau yang akan dihadapi di masa mendatang. Sebagai negara yang wilayah kedaulatannya didominasi oleh lautan, Indonesia memiliki sistem pertahanan maritim. TNI Angkatan Laut merupakan alat pertahanan utama Indonesia dalam bidang keamanan maritim. Namun hingga sekarang, stabilitas keamanan wilayah kedaulatan maritim Indonesia masih lemah. Hal ini menjadi sebuah anomali tersendiri jika dilihat bahwa rezim Orde Baru yang lebih mengutamakan kebijakan pertahanan pada bidang keamanan dalam negeri telah berakhir. Selain itu fenomena globalisasi yang berkembang sejak 3
Yahya A Muhaimin,”Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Pembinaan Pertahanan di Indonesia”, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2008. Hlm 24. 4 Ibid.
1
tahun 1990 telah mengubah bentuk ancaman bagi negara menjadi berbagai macam, tidak terkecuali di bidang maritim. Adapun Indikasi dari instabilitas keamanan maritim ialah banyaknya peristiwa pelanggaran kedaulatan wilayah laut Indonesia. Contoh-contoh kegiatan yang dewasa ini marak terjadi terkait pelanggaran kedaulatan maritim antara lain, 1.) Penangkapan ikan secara ilegal, 2.) Klaim negara lain atas kedaulatan wilayah Indonesia, 3.) Masuknya militer asing ke wilayah Indonesia secara ilegal, 4.) Penyelundupan, baik manusia narkotika, dan SDA, 5.) Kejahatan lain seperti aksi terorisme, bajak laut, dan sebagainya. Jika ditinjau secara geografis, Indonesia merupakan negara yang memiliki cakupan wilayah laut yang lebih luas daripada daratannya. Oleh karenanya, kepentingan atas laut merupakan sebuah kepentingan nasional yang harus lebih diperhatikan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 2/3 wilayahnya merupakan laut, sudah barang tentu laut memiliki arti penting bagi Indonesia. .Adapun klaim dari negara lain terhadap wilayah kedaulatan Indonesia ialah apa yang dilakukan oleh Malaysia terhadap perairan Ambalat. Malaysia mengklaim wilayah zona perairan Ambalat merupakan bagian dari kedaulatannya sehingga negeri jiran tersebut sering melakukan gerakan angkatan laut di wilayah perairan Ambalat yang sebenarnya masih masuk dalam kedaulatan Indonesia. Satu contoh
peristiwa lain, kekalahan Indonesia dalam persengketaan terkait
konsesi wilayah pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia merupakan salah satu cerminan negara kita kurang mampu menjamin secara nyata keutuhan kedaulatan wilayahnya baik dalam upaya preventif maupun defensif. Peristiwa tersebut tentu saja tidak boleh terulang kembali karena kedaulatan Indonesia merupakan sebuah harga mati untuk dibela dan juga dipertahankan. Ketegangan lain yang berhubungan dengan bidang maritim antara Indonesia dengan negara lain ialah terkait sikap agresif Australia. Pada pertengahan Januari 2014, terungkap bahwa kapal-kapal Angkatan Laut Australia
2
telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia dengan memasuki teritori maritim tanpa izin pada beberapa kesempatan dalam operasi perlindungan perbatasannya.6 Fakta lain yang perlu dilihat pula bahwa secara geostrategis, wilayah Indonesia merupakan jalur strategis yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudera Hindia. Selain itu, zona maritim Indonesia juga berbatasan dengan negara-negara seperti Australia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, Timor Leste, India, Palau dan Papua Nugini. Dengan letak dan posisi geografis Indonesia yang sangat kompleks dan berbatasan sejumlah negara tersebut, potensi pelanggaran kedaulatan negara, khususnya di sektor maritim akan semakin besar karena laut lndonesia berbatasan langsung dengan tujuh dari negara di atas.7 Oleh karenanya, Indonesia seharusnya mampu untuk menciptakan kapabilitas militernya demi terjamin keamanan atas kedaulatan negara, khususnya di bidang maritim agar kepentingan nasional terjaga. Sejauh ini memang dalam beberapa kasus, militer Indonesia, dalam hal ini TNI Angkatan Laut mampu menangkap dan mengusir aktor-aktor yang melanggar kedaulatannya, namun hal tersebut belum cukup. Negara seharusnya memiliki kekuatan militer yang mengandung daya tangkal efektif (deterrence) dan berfungsi pula guna menunjang upaya preventif agar pelanggaran-pelanggaran kedaulatan negara tidak lagi terjadi. Guna mencapai derajat kekuatan yang memiliki daya tangkal yang efektif, peran dari kebijakan pertahanan menjadi sangat krusial dan hal tersebut seharusnya selaras dengan dijalankannya perubahan dalam tugas dan fungsi TNI.
1.2 Rumusan Masalah Berkenaan dengan potensi-potensi ancaman yang berkembang pada era modern seperti sekarang, khususnya yang menyangkut keamanan nasional, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian, “Apakah terjadi perubahan kebijakan pertahanan maritim dari era Orde Baru hingga era pemerintahan Presiden Susilo 6
Indonesia-Australia Kembali Tegang, http://www.dw.de/indonesia-australia-kembali-tegang/a17369375. 7 Laut Indonesia berbatasan langsung dengan laut milik India, Singapura, Malaysia, Palau, Filipina, Timor Leste dan Australia.
3
Bambang Yudhoyono?”. Pertanyaan ini penting dalam melihat ada tidaknya perubahan yang lebih menaruh perhatian kepada sektor kemanan laut. Perhatian di sini tidak hanya sebatas wacana normatif saja, namun diikuti dengan produk yang riil dan efektif dari kebijakan pertahanan untuk memperkuat TNI Angkatan Laut sebagai aktor utama dalam pengamanan wilayah maritim Indonesia, yakni persoalan alokasi anggaran pertahanan. Dengan penelitian ini maka penulis berharap mampu mengupas dan menemukan permasalahan inti yang masih menjadi kendala dalam kaitan kebijakan pertahanan maritim di Indonesia.
1.3 Tinjauan Pustaka Fokus penelitian ini menyangkut bidang pertahanan maritim. Mengenai kondisi geografis nusantara yang didominasi perairan, maka hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia. Konfigurasi ini, jika dilihat pada sisi lain, menjadikan potensi-potensi ancaman terhadap keamanan nasional cukup besar mengingat pihak-pihak luar yang melewati perairan Indonesia juga banyak. Mengenai letak strategis Indonesia sebagai alur dan koridor pelayaran dunia dan hubungannya dengan keamanan nasional, dalam kerya tulisnya yang bertajuk “Perubahan Wajah Ancaman dan Keamanan Domestik”, Mayor Jenderal Sudrajat mengklasifikasikan gangguan keamanan yang menyangkut laut adalah yang berhubungan dengan peningkatan Sea Lines of Transportation (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC), secara geografis kawasan maritim Indonesia masuk dalam jalur-jalur tersebut.8 Konfigurasi dari letak teritori maritim Indonesia sangat strategis karena menghubungkan dua Samudera, yakni Samudera Hindia dan Pasifik. Dengan letak yang strategis inilah, teritori maritim yang dimiliki Indonesia telah menjadi perhatian serius dunia internasional. Dalam kajiannya, Sudrajat lebih melihat bahwa ancaman timbul akibat dari letak geostrategis Indonesia. Teritori maritim Indonesia menjadi arti penting dalam dunia internasional. 8
Mayjend TNI Sudrajat MPA, Perubahan Wajah Ancaman & Keamanan Domestik, Seminar Ketahanan Nasional, Denpasar, Juli 2003.
4
Berbeda dengan pendekatan Sudrajat di atas, Kajian Lemhanas RI dalam Jurnal Hankam yang diterbitkan pada tahun 2012 telah mengkategorikan bentukbentuk potensi ancaman terhadap teritori maritim Indonesia secara terperinci tetapi masih mengacu pada posisi strategis Indonesia, banyaknya pihak-pihak tertentu yang melakukan kegiatan di wilayah maritim Indonesia dan aktor yang melanggar internasional.
ketentuan
peraturan
Penggolongan
perundang-undangan
ancaman-ancaman
nasional
keamanan
maupun
nasional
yang
berkaitan dengan kelautan antara lain10: 1.)
Ancaman kekerasan (violence threat). Ancaman ini adalah
ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir. Contoh dari ancaman ini adalah terorisme, pembajakan, perampokan, dan sabotase. 2.)
Ancaman
terhadap
sumber
daya
laut
(national
resource
turbulation). Ancaman ini berupa pencemaran dan pengrusakan terhadap ekosistem laut dan konflik dalam sumber daya laut yang dipolitisasi dan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer. 3.)
Ancaman pelanggaran hukum (law transgression threat). Ancaman
ini menyangkut dengan tidak dipatuhinya hukum baik dari hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan. Contoh dari bentuk ancaman ini seperti, illegal logging, illegal fishing, dan penyelundupan. 4.)
Ancaman
navigasi
(navigational
hazard).
Ancaman
ini
menyangkut ancaman yang ditimbulkan dari geografi maritim dan hidrografi akibat kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga dapat membahayakan pelayaran.11 Sementara itu, Makmur Keliat memiliki pandangan berbeda terkait kebijakan militer dengan perkembangan potensi-potensi ancaman kedaulatan. Dalam karyanya “Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia” di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 13. No 1. Juli 2009, ia
10
Bentuk-bentuk ancaman global,seperti di Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Buku Putih HANKAM 2008. Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Hlm. 17 11 HANKAM, Jurnal Kajian Lemhanas RI, Edisi 14. Desember 2012. chapter: Penataan Pengamanan Wilayah Maritim. hlm 74.
5
melihat bahwa kebijakan diplomatik-lah yang seharusnya lebih diutamakan.12 Dalam hal ini pentingnya kerja sama maritim antara Indonesia dengan negaranegara lain akan lebih mampu untuk meredam potensi ancaman kedaulatan itu sendiri. Adapun bentuk kerja sama dapat berbentuk bilateral maupun multilateral, tergantung pada dimensi banyaknya aktor-aktor yang terlibat. Apa yang dikatakan oleh Makmun Keliat agaknya terlalu berpatok pada prinsip-prinsip damai yang terkadang dinilai sebagai sebuah hal yang utopia karena kepentingan internasional terhadap laut sangat tinggi dan dalam prakteknya, hal tersebut sering mengalami kegagalan. Sebut saja kerja sama menyangkut teritori maritim antara Indonesia dengan Malaysia, hingga ASEAN Security Committee dan seringnya intensitas latihan bersama antara TNI AL dengan Angkatan Laut Australia. Kegiatan-kegiatan tersebut terbukti tidak serta merta menghilangkan angka pelanggaran kedaulatan, khususnya di bidang maritim yang dialami Indonesia, bahkan yang berasal dari negara-negara di atas. Masih banyak aktoraktor dari negara yang telah menjalin kerja sama maritim dengan Indonesia namun masih saja sering melanggar kedaulatan maritim kita, bahkan aktor pelanggar yang memiliki keterkaitan langsung dengan pemerintahannya, seperti Angkatan Laut dari negara lain, contohnya dari Australia yang telah disebutkan di atas.13 Pada kesempatan lain, Shafiah F. Muhibat sendiri lewat paper penelitiannya secara tegas menyatakan bahwa lemahnya keamanan maritim Indonesia dikarenakan kurangnya kapabilitas dari angkatan bersenjata. 15 Dalam hal ini Shafiah hanya menyoroti tentang minimnya sarana dan prasarana yang memadai milik TNI AL Indonesia yang dianggap telah tertinggal dengan negaranegara lain. Ketertinggalan alutsista yang dimaksud ialah secara kualitas dan
12
Dr. Makmur Keliat. “Keamanan Maritim dan Implikasinya Bagi Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial Salah satu kasus ketegangan antara RI ddengan Australia terkait aktivitas Kapal Angkatan Laut Australia di wilayah NKRI, Indonesia-Australia Kembali Tegang, http://www.dw.de/indonesiaaustralia-kembali-tegang/a-17369375 diakses 03 Mein 2015. 15 Shafiah merupakan salah satu peneliti di lembaga kajian riset CSIS Indonesia. Muhibat, Shafiah. F. Indonesia’s Maritime Security: Ongoing Problems and Strategic Implication. EU-Asia Dialogue Working Paper. Centre of International Studies CSIS. 13
6
kuantitas dan menjadi pokok pemikiran Shafiah. Kondisi tersebut mengakibatkan kurang efektifnya penjagaan yang dilakukan jika dibanding dengan luasnya wilayah laut Indonesia. Tentu saja pada dasarnya kelemahan sistem keamanan maritim tidak berhenti pada tataran persenjataan saja karena angkatan bersenjata adalah sebagai alat negara. Dibutuhkan kebijakan pertahanan yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dari militer sebagai alat negara untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Militer, dalam hal ini Angkatan Bersenjata tidak dapat menentukan kebijakannya sendiri tanpa persetujuan pemerintah. Pemerintah merupakan struktur di atas Angkatan Bersenjata yang membuat dan menentukan, kebijakan pertahanan negara. Bahkan untuk penggunaan beberapa jenis persenjataan militer, seperti kapal perang, juga memerlukan izin dari pemerintah sebagai pihak utama yang mengendalikan angkatan bersenjata. Masih ada struktur di atasnya yang menentukan kebijakan militer dan hanya terkait dengan pelaksanaan kebijakan pertahanan maupun penggunaan sistem persenjataan oleh angkatan bersenjata. Walaupun demikian apa yang ditulis Shafiah memang penting dan realistis. Tingkat kualitas dan kuantitas persenjataan akan berdampak pada tingkat kemampuan teknis dalam menghadapi ancaman keamanan maritim, baik dalam kegiatan pengawasan hingga penangkalan. Dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman ini, maka negara diharapkan memiliki kekuatan pertahanan yang berkualitas. Dalam buku “Si Vis Pacem Para Bellum, Membangun Pertahanan Negara yang
Efektif
dan
Modern”,
Letnan
Jenderal
Purnawiran
Sayidiman
Suryohadiprojo menjabarkan tentang pentingnya kekuatan militer kelautan yang mengacu pada pemikiran Laksamana Alfred Thayer Mahan.16 Kekuatan maritim merupakan sebuah hal yang penting dalam mengembangkan kekuasaan negara dan menjamin kesejahteraan negara. Sayidiman kemudian menilai bahwa kekuatan maritim berbanding lurus dengan peningkatan kemajuan teknologi. Oleh karenanya, guna mengamankan 16
A.T. Mahan dalam teorinya “siapa yang mengusai lautan menguasai dunia”. Sayidiman. Ibid.
7
wilayah kedaulatan maritimnya, maka Indonesia wajib untuk memiliki kemajuan teknologi dalam sistem keamanannya. Teknologi juga dapat berimplikasi pada pendorong berkembangnya potensi ancaman terhadap Indonesia dari luar. Kemajuan
teknologi
dapat
disalahgunakan
aktor-aktor
yang
memiliki
kecenderungan untuk melakukan pelanggaran kedaulatan. Oleh karenanya, diperlukan daya tangkal yang seimbang dan harus dimiliki Indonesia sebagai sebuah upaya preventif. Literatur-literatur yang ada tidak terlalu melihat pada ranah kebijakan pemerintah
sebagai
penyebab
utama
peristiwa-peristiwa
terkait
dengan
pelanggaran teritori maritim Indonesia. Kajian-kajian di atas dinilai lebih menekankan pada keterkaitan strategis dengan apa yang dialami Indonesia terhadap kedaulatan maritimnya. Dengan demikian, penulis akan melihat permasalahan bidang maritim dari ranah politis dengan menguraikan keterkaitan kebijakan pertahanan nasional dengan ketidakefektifan pengamanan maritim Indonesia. Sisi modernitas sistem persenjataan akan diteliti guna memahami sejauh mana kualitas dari alutsista yang dimiliki TNI Angkatan Laut berpengaruh pada efektivitas penjagaan keamanan maritim.
1.4 Landasan Konseptual Guna menganalisis permasalahan terkait dengan kekuatan pertahanan maritim Indonesia dalam menghadapi dinamika ancaman-ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional, maka penulis berangkat dengan menggunakan prespektif realisme. Prespektif realisme dinilai menjadi sebuah peta landasan berpikir yang representatif karena negara menjadi aktor utama dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian kepentingan nasional. Seperti dari apa yang telah disebutkan pada pendahuluan sebelumnya bahwa keamanan nasional merupakan salah satu aspek yang berkaitan dengan kepentingan nasional, maka dalam hal ini negara merupakan satu pihak yang mutlak memiliki peran yang menentukan dalam hal tersebut. Pemerintah sebagai
8
pihak utama dalam menyelenggarakan negara memiliki peranan besar dalam kaitan kebijakan pengamanan keamanan nasional. Berangkat dari satu konsep pemikiran realis dari yakni William Tow, yang berpendapat tentang realisme sebagai, “attempts to deal with human nature as it is and not as it ought to be, and with historical events as they occurred, not as they should have occurred.”17 Melanjutkan dari pernyataan diatas, Tow kemudian merefleksikan sifat-sifat manusia ke dalam analisisnya mengenai perilaku negaranegara yang mengejar kepentingan nasionalnya dan hal tersebut juga menyebabkan dunia yang anarkis.18 Dalam usaha satu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka orientasi dari kebijakan pertahanan menjadi satu hal yang menentukan sejauh mana kepentingan yang dimaksud dapat diraih.
1.4.1 Konsep Kebijakan Pertahanan Definisi dari konsep pertahanan itu sendiri menurut K.R. Adams ialah sebuah aksi keamanan yang dilakukan alat pertahanan negara, dalam hal ini militer, untuk memukul mundur serangan dari negara lain dan untuk meminalisir kerugian yang dialami negara serta menghilangkan potensi gangguan bilamana negara lain ingin mencoba melakukannya kembali.25 Pada pendekatan yang sama, Hans J, Morgenthau mengatakan bahwa pertahanan nasional dalam hal kesiapan militer merupakan satu elemen pokok dari kekuatan nasional.26 Berkaitan dengan pertahanan nasional, maka peranan pemerintah menjadi satu hal yang krusial dalam membuat kebijakan pertahanan terkait dengan keamanan nasional. Proses berjalannya sistem pertahanan sendiri kemudian juga ditentukan oleh orientasi dari pemerintah dalam mencapai kepentingan nasional. Samuel P. Huntington melihat bahwa hubungan militer dengan pemerintah merupakan sebuah hubungan fungsionis dan militer menjadi alat pemerintah
17
W.T.Tow, Asia-Pacific Strategic Relations; Seeking Convergent Security, Cambridge Univeristy Press, New York 2001. pg. 3. 18 Tow,Ibid. 25 Kenneth Ruth Adams, Attack and Conquer? International Anarchy and the Offense-DefenseDeterrenceBalance, International Security, winter 2003/04. vol 28, no 28. no 3. Hlm. 53. 26 Midranies, Midriem, c.s.a., Kajian Kebijakan Alutsista Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia, Agus Hartanto (ed), LIPI Press, Jakarta 2013. Hlm 2.
9
untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara.27 Fungsionalisme Huntington di atas lebih melihat bahwa hubungan fungsionalis antara pemerintah dan militer juga merupakan sebuah hubungan simbiotik.28 Secara definitif, fungsionalisme mengartikan nilai sebagai hal-hal yang diinginkan, dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. 29 Keamanan merupakan salah satu bentuk dari nilai-nilai yang diperjuangkan, dan dalam kaitan negara, keamanan nasional merupakan satu nilai mutlak dan ideal yang selalu dibutuhkan, harus dicapai, dan dipertahankan Kebijakan pertahanan sendiri merupakan satu hal yang diformulasikan secara tetap, secara jelas ditetapkan, operasi yang efisien dalam suatu organisasi yang besar.30 Kebijakan pertahanan dapat didefinisikan ke dalam empat cara, yaitu31: 1.) Sebuah perencanaan atas kegiatan yang berkaitan dengan rekrutmen, latihan, perngorganisasian, pemberian perlengakapan, pengerahan dan penggunaan kekuatan bersenjata. Dalam hal ini, kebijakan pertahanan merupakan sebuah output dengan tujuan kepentingan nasional. 2.) Komponen militer dari strategi kemanan nasional, kebijakan pertahanan merujuk pada bagaimana menjaga negara, keselamatan rakyatnya, dan kepentingan nasional melalui ancaman dan penggunaan militer secara nyata. 3.) Kebijakan pertahanan merupakan sebuah proses politik, di mana di dalamnya terjadi komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Aspek kebutuhan sebagai sebuah input yang berangkat pada keadaan domestk maupun internasional. 27
Tesis Samuel. P. Huntington dalam melihat hubungan antara pemerintah dengan militer. Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Raja Grasindo, Jakarta. 2000. Hlm 7-9. 28 Samuel. P. Huntington, The Common Defense, New York, Columbia University Press, 1961. Hlm 1-25. 29 Penjabaran nilai dalam konsep fungsionalisme dengan ketertaikannya terhadap sebuah proses politik. Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, Kompas Gramedia, Jakarta, Hlm 8-10. 30 Makmur Supriyatna, “Tentang Ilmu Pertahanan”, Yayasan Pustaka Obor. Jakarta 2014. Hlm 115-117. 31 Makmur Supriyatna, Ibid. hlm 130-131. rujukan dari Peter Hays, Brenda Vallance, dan Alan Van Tassel, “American Defense Policy”, John Hopkins University Press, 7th Edition, 1997. Hlm 3.
10
4.) Suatu bidang kajian yang mengkombinasikan hubungan internasional dan politik negara dengan beberapa elemen komparatif seperti ilmu politik, filsafat politik, sejarah, ekonomi, hukum, psikologi dan sosiologi ( Peter L, Hays, Brenda Vallance, dan Alan Van Tassel, 1997). Mengacu pada definisi tentang kebijakan pertahanan di atas, maka hubungan antara pemerintah yang merupakan pembuat kebijakan dengan militer sebagai pihak yang melakukan implementasi menjadi sangat erat dan timbal balik. Dalam melaksanakan kebijakan sendiri, militer memiliki tugas-tugas dasar atas fungsinya dan untuk menjalankannya, maka peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memberi dukungan yang memadai. Dari definisi tentang kebijakan menurut Hays, Vallance, dan Tassel yang pertama maka keterkaitan alutsista TNI merupakan sebuah indikator mengenai kualitas dari kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini penilaian sebuah kebijakan militer tidak hanya merujuk pada mengubah paradigma militer dengan menjadikannya kembali kepada hakikatnya, namun sisi lain, dukungan persenjataan sebagai alat penunjang utama pelaksanaan tugas dan fungsi militer menjadi sangat penting. Menurut Prof. Dr. Yahya Muhaimin, seorang Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan pakar kajian militer dan politik, beliau mengatakan bahwa anggaran pertahanan kemudian menjadi sangat penting karena hal ini berkaitan dengan kebijakan pertahanan satu negara. 32 Dalam memenuhi kebutuhan untuk urusan pertahanan, baik menjalankan tugas dan fungsinya serta kesejahteraanya, militer memerlukan anggaran pertahanan yang dialokasikan oleh pemerintah.
32
Lihat, Yahya. A. Muhaimin. Hlm 102.
11
Bidang Pertahanan
Kebijakan Pertahanan
Program Pertahanan
Anggaran Pertahanan
Pengadaan Persenjataan
Sumber: Yahya A. Muhaimin (2008)
Dalam kebijakan pertahanan terdapat tiga komponen yang saling terkait yakni program pertahanan, anggaran pertahanan, dan pengadaan persenjataan. Anggaran pertahanan merupakan sebuah faktor yang menentukan kualitas dari kapabilitas pertahanan itu sendiri. Pemerintah sendiri sering terjebak dalam sebuah dilema, apakah akan mengeluarkan anggaran yang besar dengan tujuan meningkatkan kemampuan pertahanan atau melakukan efisiensi dengan implikasi melemahnya bidang pertahanan. Hal itu sering terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia yang kondisi ekonominya masih fluktuatif. Dalam konteks penyediaan dan penyempurnaan persenjataan, beberapa prinsip yang perlu dijadikan pertimbangan, antara lain, perkiraan bentuk ancaman yang mungkin akan dihadapi, pembangunan kapasitas pertahanan jangka panjang, alokasi anggaran pertahanan, biaya pemeliharaan dan pembaruan, dan lain-lain bagi alat persenjataan.33 Fungsi anggaran pertahanan menjadi sentral sebab mengandung biaya yang diperlukan dalam program pertahanan dan pembangunan persenjataan. Lebih lanjut, hal di atas senada dengan konsep penyesuaian fisik bagi pertahanan maritim yang dibawa oleh Julian Corbett, ahli maritim dari Inggris. Khusus di dalam bidang maritim, penyesuaian fisik merupakan aspek penting dalam pencapaian keamanan terkait dengan pertahanan maritim (Corbett, 1999). Penyesuaian fisik dapat berupa peningkatan sistem persenjataan dan personil dengan mengikuti tingkat kebutuhan yang ada dan lebih mengacu pada 33
Lihat. Yahya A. Muhaimin. Hlm 103
12
perkembangan ancaman yang bisa saja terjadi.34 Oleh karenanya, penyesuaian fisik merupakan sebuah upaya jangka panjang dengan dasar tujuan yang tidak terbatas dalam masa-masa tertentu. Aspek ini lebih dilihat dari sebuah upaya penyesuaian yang dilakukan negara, dalam hal ini pembangunan-pembangunan fisik guna mendukung armada maritimnya. Tentu saja penyesuaian fisik ini memerlukan sebuah kebijakan pemerintah dan fungsi anggaran di dalamnya sebagai dasar perhitungan dari implementasi kebijakan. Yahya Muhaimin mengatakan bahwa mengenai pengadaan persenjataan tentunya harus pula mempertimbangkan faktor-faktor yang sifatnya kondisional.35 Kondisional disini dapat dimisalkan dengan kondisi persenjataan negara-negara tetangga Indonesia yang perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan yang sangat penting mengingat perselisihan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga sering terjadi semisal menyangkut sumber daya alam, perbatasan, imigrasi dan emigrasi, investasi, lalu lintas modal.36 Jika direfleksikan dengan keadaan pertahanan teritori maritim Indonesia, maka dalam hal ini, tingkat persenjataan dan kemampuan dari TNI Angkatan Laut kemudian menjadi satu faktor yang menentukan sejauh mana kualitas kekuatan maritim Indonesia dalam meredam ancaman-ancaman terhadap keamanan nasionalnya. Kebijakan dari pemerintah menjadi muara utama dalam konteks pemenuhan kebutuhan operasional TNI Angkatan Laut. Utamanya kebijakan pemerintah menjadi landasan dari terciptanya kualitas pertahanan yang unggul. Letak komitmen pemerintah menjadi sangat penting dengan menaruh perhatian yang tinggi terhadap militer sebagai alat penjamin keamanan nasional. Hal tersebut seharusnya tidak lagi bersifat normatif, namun lebih didasarkan dengan kebijakan yang jelas, dengan prioritas yang berdasarkan hal-hal mendesak seperti pola ancaman yang sedang berkembang dan akan berkembang, kepentingan nasional, dan disertai dengan alokasi anggaran yang sesuai dengan tingkat kebutuhan militer. 34
Julian Corbett, Some Principles of Maritime Strategy, dalam Roots of Defense Strategy, Book 4th, David Jablonsky ed. Stackpole Books Publisher, Mechanicsburg. 1999. Hlm.161. 35 Lihat. Yahya A. Muhaimin. Ibid. 36 Ibid.
13
Kebijakan pertahanan negara kemudian menjadi satu bagian yang sangat menentukan. Bila pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat, diikuti dengan orientasi dari kebijakan pertahanan terhadap sektor maritim yang sesuai dengan kebutuhan dan kekuatan maritim Indonesia memiliki persenjataan yang berkualitas, yang tidak hanya meliputi personil, namun juga terkait sarana pertahanan, maka TNI Angkatan Laut sebagai alat pertahanan negara tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga diharapkan stabilitas keamanan maritim Indonesia akan semakin tercapai.
1.5. Argumen Utama Menyangkut pertanyaan penelitian yang telah diajukan, walaupun Orde Baru telah berakhir, namun berkaca pada pencapaian keamanan di sektor maritim, maka penulis berargumen bahwa “tidak terjadi perubahan terhadap kebijakan pertahanan yang lebih berorientasi pada bidang maritim di Indonesia pasca berakhirnya rezim Orde Baru hingga Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”. Argumen ini muncul setelah melihat bidang keamanan maritim tidak menjadi fokus orientasi utama dari kebijakan pertahanan negara. Hal tersebut sama seperti yang terjadi di masa Orde Baru, yang mana pemerintah tidak menaruh perhatian dan komitmen yang lebih pada keamanan sektor maritim dikarenakan orientasinya yang lebih memprioritaskan keamanan domestik sehingga TNI Angkatan Darat lebih diutamakan. Permasalahan keterbatasan persoalan anggaran yang didapat oleh TNI Angkatan Laut masih menjadi inti dari lemahnya daya tangkal matra tersebut dalam merespon segala bentuk ancaman di sektor keamanan maritim. Alokasi anggaran dan program-program modernisasi pertahanan yang diperoleh TNI Angkatan Laut tetap mejadi paling minim, walaupun pada dasarnya terjadi perubahan mengenai peningkatan anggaran di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
14
1.6 Metodologi Penelitian Dalam menjalankan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan bersumber pada data-data sekunder dan studi pustaka. Dengan metode ini, maka akan melatih peneliti dalam menganalisis data-data sekunder dengan menggunakan prespektif dan konsep-konsep yang telah ditentukan. Data yang akan digunakan antara lain mengenai kondisi dari sistem pertahanan maritim, alokasi nilai anggaran dari pemerintah, dan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Setelah mendapatkan data yang relevan terhadap penelitian ini, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengklasifikasian data berdasar bagian-bagian bahasan yang ada dalam penelitian. Data tersebut akan dapat membantu peneliti untuk mendukung ide penelitian ini dan mencari jawaban dari pertanyaan penelitian yang diangkat.
1.7 Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian ini berkaitan dengan periode waktu yang diambil penulis untuk dianalisis. Di awal, Penulis mengambil jangkauan penelitian dari Orde Baru dan era transisi demokrasi, Kedua periode di atas diambil untuk melihat bagimana kebijakan di masing-masing rezim dan ada tidaknya perubahan dari rezim sebelumnya ke rezim penerusnya. Kemudian periode yang dijadikan fokus utama dalam penelitian ini merupakan rentang waktu rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rentang tersebut diambil karena penulis telah menemukan beberapa pelanggaran terhadap keamanan maritim Indonesia, khususnya dari luar negeri.
1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini melihat pokok permasalahan secara berurutan dan dalam penulisannya terdiri dari empat bab. Bab I merupakan bagian yang berisi pendahuluan yang berisi latar belakang dari permasalahan, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen awal, metodologi penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian-bagian di atas juga merupakan tata urutan dari
15
berjalannya proses penelitian ini. Kemudian di Bab II, penulis akan menfokuskan penelitian pada kebijakan pertahanan di era Orde Baru, era pasca eformasi (transisi demokrasi). Pembahasan akan meliputi kebijakan pertahanan di masingmasing periode untuk melihat ada tidaknya perubahan kebijakan pertahanan yang kemudian lebih berorientasi ke arah maritim. Analisis terakhir akan tersaji pada Bab III. Bab ini peneliti secara keseluruhan akan lebih terfokus pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan pertahanan yang akan dilihat pada bagian ini mengenai program pertahanan dan anggaran pertahanan. Pada bab ini peneliti akan melihat dalam kerangka pentingnya penyesuaian fisik menyangkut program modernisasi alutsista yang diambil pemerintah dan dihubungkan dengan kebutuhan pokok dari TNI Angkatan Laut dalam menjalankan fungsinya. Penulis akan lebih terkonsentrasi pada dimensi-dimensi yang menjadi acuan mengapa sektor pengamanan maritim perlu diprioritaskan pemerintah dalam kebijakan modernisasi persenjataan dan terkait penganggaran. Mengenai kondisi alutsista TNI Angkatan Laut akan dijabarkan menjadi bagian tersendiri dengan melakukan perbandingan terhadap kondisi alutsista matra TNI lainnya dan juga terhadap kondisi alutsista angkatan laut negara lainya. Hal ini sebagai acuan tidak adanya perubahan kebijakan pertahanan di sektor pertahanan yang signifikan. Terakhir, di Bab IV, penulis akan menentukan kesimpulan dari penelitian ini. Kesimpulan ini juga akan dihubungkan dengan studi Ilmu Hubungan Internasional dalam kaitan pelajaran apa yang dapat dipetik dari penelitian ini.
16
17