BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada uraian latar belakang penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yang terdiri dari latar belakang formal dan latar belakang material. Uraian latar belakang formal lebih menekankan kepada posisi keilmuan beserta pendekatan penelitian yang digunakan, sedangkan untuk latar belakang material lebih menitikberatkan kepada teori yang berkaitan dengan penelitian tentang morfologi kota yaitu tinjauan yang menekankan pada bentuk bentuk fisikal dari lingkungan kota yang tercermin pada sistem jalan jalan yang ada, blok blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan / industri) dan juga bangunan bangunan individual beserta penerapannya dengan kondisi daerah penelitian. Berikut ini diuraikan rincian kedua bagian latar belakang tersebut. 1.1.1. Latar Belakang Formal Menurut Daldjoeni (1997) dalam Susanti (2008) geografi adalah ilmu yang menelaah bumi sebagai tempat tinggal atau ruang huni bagi manusia dan manusia sebagai penghuni bumi. Salah satu hakikat geografi adalah sebagai teori tentang ruang bumi, dimana membicarakan tentang adaptasi keruangan manusia dalam berperilaku secara spasial, misalnya kota kota yang makin padat penduduknya. Lebih lanjut Daldjoeni (1987) dalam Nurkolisiyah (2005) menjelaskan bahwa pada hakekatnya geografi adalah (1) ilmu pengetahuan bio-fisik, (2) relasi timbal balik manusia-alam, (3) ekologi manusia, (4) telaah bentang lahan (landscape study), (5) telaah tentang gambaran gejala alam atau gejala sosial tertentu, dan (6) teori tentang ruang bumi (earth space theory). Hakekat geografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang ruang bumi (earth space theory), karena dalam penelitian ini membahas tentang berbagai variasi perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013. Menurut Yunus (2005) pada hakikatnya kata morfologi berarti suatu ilmu yang memusatkan pembahasan pada bentuk. Kenampakan kota dalam tinjauan morfologis menurut Barlow and Newton (1971) dalam Yunus (2005) yaitu kenampakan fisikal kota, bentuk – bentuk maujud, tangible, yang mencerminkan dan ditandai adanya kenampakan internal sesuatu kota. Morfologi merupakan pendekatan dalam memahami bentuk logis
1
sebuah kota sebagai produk perubahan sosio spatial, disebabkan karena setiap karakteristik sosio spatial disetiap tempat berbeda beda maka istilah morfologi sangat erat kaitannya dengan istilah tipologi (Wishaguna dan Saodih, 2001). Zahn (1999) dalam Wishaguna dan Saodih (2001) memberi pengertian istilah morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi biasanya digunakan untuk skala kota dan kawasan, sedangkan tipologi sebagai klasifikasi watak atau karakteristik dari formasi objek-objek bentukan fisik kota dalam skala yang lebih kecil. Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk elemen elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini analisis tipologi disusun dari perkembangan elemen kepadatan bangunan dan kepadatan jalan yang selanjutnya disebut dengan tipologi intensitas areal terbangun, sedangkan variasi perkembangan morfologi kota yang akan dikaji ini meliputi variasi perkembangan pada elemen elemen penyusunnya yang berupa perkembangan penggunaan lahan terbangun, kepadatan bangunan dan kepadatan jalan. Adanya variasi perkembangan pada 3 elemen morfologi kota ini akan berpengaruh terhadap perbedaan morfologi Kota Magelang tahun 2006 dan 2013. Studi geografi memandang permukaan bumi sebagai lingkungan hidup manusia, dimana manusia dapat mengubah dan membangunnya berdasarkan akal dan fikirannya atau menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Menurut Bintarto (1965), geografi sebagai ilmu pengetahuan yang mencitrakan (to describe) menerangkan sifat sifat bumi, serta menganalisa gejala gejala alam dan penduduk, serta mempelajari cara yang khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi dari unsur unsur bumi dalam ruang dan waktu. Obyek kajian geografi adalah wilayah (region) dengan segala isinya serta proses yang terjadi dan dampak yang ditimbulkannya (alam maupun binaan). Menurut Bintarto (1981) dalam Nurkolisiyah (2005) geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi, baik yang bersifat fisik maupun yang menyangkut mahkluk hidup berserta permasalahannya. Studi geografi merupakan suatu disiplin ilmu yang berorientasikan pada masalah atau gejala yang muncul sehubungan dengan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam geografi terpadu (Integreated Geography) pendekatan masalah dalam geografi digunakan tiga macam pendekatan (approaches) yaitu pendekatan keruangan (spatial
2
approach), pendekatan ekologi (ecological approach), dan pendekatan komplek wilayah (regional complex approach). Ruang lingkup studi geografi tidak dapat terlepas dari aspek fisik dan manusia termasuk aktivitasnya yang menjadi obyek studi. Aspek-aspek tersebut diungkapkan dalam suatu ruang berdasarkan prinsip-prinsip penyebaran, relasi dan kronologi. Prinsip-prinsip ini diterapkan untuk menganalisa hubungan
manusia
dengan lingkungan yang dapat menjelaskan persamaan, perbedaan, dan penyebaran dalam ruang. Prinsip-prinsip pada studi geografi dapat untuk mengungkapkan karakteristik suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya, sehingga dapat diterapkan untuk keperluan perencanaan pembangunan dan hasilnya dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat. Sistematika dalam ilmu geografi terbagi menjadi 2 bagian yaitu geografi fisikal dan geografi manusia (Hagget 1975, dalam Bintarto dan Hadisumarno, 1979). Geografi fisikal antara lain meliputi: geomorfologi, hidrologi, klimatologi, dan pedologi. Geografi manusia antara lain meliputi: geografi ekonomi, geografi penduduk, geografi pedesaan, geografi kekotaan, dan geografi kemasyarakatan. Geografi kota merupakan cabang ilmu geografi yang mempelajari seluk beluk kota dari segi geografi, meliputi struktur, proses dan masalah masalah yang berhubungan dengan maju mundurnya sebuah kota. Geografi kota (Urban Geography) merupakan cabang dari Geografi Permukiman (Settlement Geography) yang masih termasuk dalam bagian dari Social/ Cultural Geography (Bintarto, 1976). Dalam perspektif geografi kota terdiri dari unsur-unsur fisik dan lingkungan sekitarnya yang mencakup, “situasi” (gambaran tentang letak, keterkaitan dengan sekitarnya, serta suasana suatu tempat), tapak (site), kemiringan tanah, iklim, vegetasi, dan jalan. Geografi mengkaji keterkaitan antara unsur-unsur tersebut, bentuk serta fungsi kotanya. Dalam kajian geografi fisik, studi kota lebih dititik beratkan kepada pengaruh unsur keruangan terhadap kecenderungan fungsional komponen-komponen kota. Dari sudut geografi ekonomi, menekankan kepada keterkaitan antara karakteristik keruangan pada lahan perkotaan dan pada keberadaan dan penyelenggaraan kegiatan industri, komersial, pelayanan dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya di dalam kota. Tinjauan dari sisi geografi sosial yang merupakan induk dari geografi perkotaan meninjau pengaruh lingkungan kepada komposisi, distribusi, sikap dan perilaku penduduk perkotaan (Branch, 1995). Secara sederhana, geografi kota mempelajari seluk beluk kota dari segi geografi, meliputi
3
struktur, proses dan masalah masalah yang berhubungan dengan maju mundurnya sebuah kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan (spatial approach) yang merupakan suatu metode yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) yang berfungsi untuk mengakomodasikan kegiatan manusia. Pendekatan geografi yang digunakan
dalam
melakukan
analisis
morfologi
kota
dan
perkembangannya
menggunakan pendekatan keruangan dengan tema analisis pola keruangan dan proses keruangan. Pola keruangan dapat diartikan sebagai kekhasan sebaran keruangan (special spatial distribution) gejala geosfera di permukaan bumi. Pendekatan keruangan dengan tema analisis pola keruangan digunakan untuk membantu melakukan kajian analisis ekpresi keruangan dari morfologi kota di Kota Magelang tahun 2006 dan 2013. Proses keruangan merupakan perkembangan yang terjadi secara terus menerus dalam rentetan peristiwa atau suatu perubahan yang bersifat gradual dan berlangsung terus menerus secara ajeg menuju ke hasil akhir atau hasil tertentu. Oleh karena didalamnya terkandung makna perkembangan yang dapat diketahui dari rentetan kejadian, maka setiap analisis proses harus mempunyai dimensi kewaktuan. Paling tidak ada dua tonggak atau periode waktu yang digunakan sebagai dasar analisis ( Yunus, 2010 ). Pendekatan keruangan dengan tema analisis proses keruangan digunakan untuk melakukan kajian pada perkembangan morfologi kota di Kota Magelang pada kurun waktu yang telah ditentukan. Kajian morfologi kota yang akan dibahas didalam penelitian ini dibatasi pada pemahaman konsep morfologi kota menurut Barlow and Newton (1971) yaitu kenampakan kota dalam tinjauan morfologi tentang kenampakan fisikal kota, bentuk bentuk maujud, tangible, yang mencerminkan dan ditandai adanya kenampakan internal suatu kota serta konsep morfologi kota menurut Smile (1955) yang perkembangannya dilihat dari 3 elemen yaitu elemen penggunaan lahan yang dalam hal ini dibatasi pada perkembangan penggunaan lahan terbangun, elemen pola pola jalan yang dalam hal ini dibatasi pada analisis persebaran pola jalan dan kepadatan jalannya, serta elemen tipe tipe bangunan yang dalam hal ini dibatasi pada kepadatan bangunan.
4
1.1.2. Latar Belakang Material Kota merupakan hasil karya manusia yang berbudaya. Dengan cipta, rasa dan karsa serta karyanya maka manusia dapat membentuk karakteristik suatu kota. Terdapat hubungan yang sangat erat antara fisik kota dan kebudayaan masyarakatnya. Menurut Bintarto (1977) secara umum dari segi geografi, pengertian kota adalah merupakan sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala- gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibanding dengan daerah di belakangnya. Kota sebagai perwujudan geografis selalu mengalami perubahan (aspek fisik dan non fisik) dari waktu ke waktu. Kedinamisan kota adalah suatu fenomena yang terjadi karena berbagai keadaan, misalnya karena perkembangan sosial ekonomi, kelembagaan, penguasaan teknologi dan lainnya. Bila kita membicarakan perkembangan kota, maka ini menyangkut aglomerasi dan pemekaran kota (urban sprawl), yang menurut sejarahnya perkembangan kota itu berawal dari suatu permukiman yang sederhana kemudian mengalami pertambahan baik dari pertambahan jumlah penduduk dan fasilitas kehidupan. Bintarto (1976) mengemukakan bahwa perubahan dan perkembangan suatu kota ditimbulkan oleh beberapa macam, yaitu pertama, kebutuhan warga kota yang selalu berubah sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, kemajuan tingkat pendidikan dan kemajuan teknik penduduk kota; kedua, kontak atau hubungan nasional maupun internasional yang dapat merubah ide-ide ruang kota dalam mengembangkan kota sebagai ajang hidupnya, terutama di bidang pengaturan tata ruang kota dan arsitektur kota; ketiga, unsur-unsur geografi seperti: topografi, tanah, sumber air, lokasi, site dan situation. Faktor-faktor tersebut menimbulkan dua proses perkembangan yakni perluasan keluar (outward extension) dan pembangunan ke dalam (internal reorganization). Menurut pendekatan morfologi, kota dapat didefinisikan sebagai berikut: a. Menurut Kostof bahwa kota adalah tempat kumpulan bangunan dan manusia. b. Menurut Sandi Siregar kota adalah artifak yang dihuni. Kota sebagai lingkungan buatan manusia yang memperlihatkan karya anjiniring besar dan kompleks, terdiri dari kumpulan bangunan (dan elemen-elemen fisik lainnya) serta manusia dengan konfigurasi tertentu membentuk satu kesatuan ruang fisik.
5
c. Menurut E.N. Bacon bahwa kota adalah artikulasi ruang yang memberikan suatu pengalaman tertentu kepada partisipator. Oleh karena itu lingkup perhatian perancang kota akan lebih lengkap jika meliputi bangunan, setting dan karakter kota. d. Menurut Ali Madanipour bahwa kota adalah kumpulan berbagai bangunan dan artefak serta tempat untuk berhubungan sosial. Morfologi kota merupakan suatu geometri dari proses perubahan keadaan yang bersifat sosio-spatial. e. Menurut Also bahwa kota adalah karya kolektif. f. Menurut Paul D. Spereiregen juga menekankan pada pengertian kota sebagai bentukan fisik yang secara keseluruhan mengisi satu sama lainnya dan membentuk satu kesatuan penampilan kota. g. Menurut Gallion and Eisner adalah suatu laboratorium tempat pencarian kebebasan dilaksanakan dan percobaan percobaan diuji mengenai bentukan bentukan fisik. Bentukan bentukan fisik kota adalah perwujudan kehidupan manusia, polanya dijalin dengan pikiran dan tangan yang dibimbing oleh suatu tujuan. Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang juga mengemukakan lambing-lambang pola-pola ekonomi, sosial, politis, dan spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota merupakan ekpresinya. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik suatu rumusan bahwa morfologi kota adalah sebuah pendekatan dalam memahami kota sebagai suatu kumpulan geometris bangunan dan artefak dengan konfigurasi kesatuan ruang fisik tertentu produk dari perubahan sosio-spatialnya (Wishaguna dan Saodih, 2001). Pada hakikatnya kata morfologi berarti suatu ilmu yang memusatkan pembahasannya pada bentuk. Kenampakan kota dalam tinjauan morfologi adalah kenampakan fisikal kota, bentuk bentuk maujud, tangible, yang mencerminkan dan ditandai adanya kenampakan internal suatu kota (Barlow and Newton, 1971). Menurut Smailes (1955) dalam Yunus (2000) morfologi kota meliputi 3 unsur, yaitu (1) unsur unsur penggunaan lahan (2) pola-pola jalan dan (3) tipe-tipe bangunan (land use, street plan/ lay out, architectural style of buildings & their design). Terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan morfologi kota yaitu pertumbuhan penduduk dan kegiatan penduduk.
6
Keadaan morfologi kota merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang dan sifatnya dinamis. Perkembangan ini antara lain ditunjukan oleh tingginya pertumbuhan penduduk, peningkatan investasi, dan kontribusi sektor non agraris serta cepatnya proses alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian (Giyarsih, 2009). Perkembangan morfologi kekotaan tidak terjadi secara rutin dan teratur. Walaupun perkembangan ini terjadi secara terus menerus, akan tetapi kuantitas, pola dan bentuk yang dihasilkan tidak selalu sama setiap waktunya. Hal ini menyebabkan perkembangan morfologi kota di setiap daerah dapat berbeda beda. Permasalahan yang terjadi di kota sangat menarik dibahas, diantaranya adalah permasalahan tentang perkembangan morfologi kota yang terjadi di perkotaan. Adanya permasalahan dalam perancangan kota yang secara khusus berkaitan dengan bentukan fisik kota yaitu mulai dari masalah perkembangan fisik kota yang tidak terkendali hingga menembus batas administrasinya; masalah ketidakjelasan kaitan fungsional kawasan akibat perkembangan pola penggunaan lahan secara tidak terkendali; masalah pengendalian tata bangunan yang meliputi pemadatan, pelanggaran ketentuan tinggi bangunan, pelanggaran garis sempadan; isu perkembangan muti fungsi dan superblock komersial dipusat kota; masalah hilangnya ruang ruang terbuka hijau digantikan dengan masa masa bangunan padat, isu kota kontemporer; masalah estetika kota, hilangnya bangunan bangunan bersejarah digantikan oleh factorcy outlet; ketidakjelasan karakter kota serta masih banyak lagi isu masalah yang dihadapi kota. Secara garis besar masalah masalah bentukan fisik ini terfokus pada physical conflict spatial entity (masalah kesatuan ruang) dan lebih banyak disebabkan perubahan sosio dan spatial yang saling menstimulasi. Di lain pihak bentukan fisik kota perlu dirancang secara berkualitas baik dari aspek lingkungan, fungsional, maupun visualnya. Lebih lanjut lagi kota memerlukan rancangan bentukan fisik yang baik maliputi (1) Singularity yaitu adanya batasan yang jelas baik antar kawasan maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan sekitarnya (2) Continuity yaitu kaitan fungsional antara satu tempat yang lain secara efektif dan efisien, (3) Simplicity yaitu kejelasan dan keterpaduan morfologi dan tipologinya, (4) Dominance yaitu memiliki bagian kota yang mempunyai karakter khusus dan penting, (5) Clarity of joint yaitu bagian strategis yang mampu berhubungan dengan sisi lain, (6) Visual Scope yaitu tempat terbuka atau tinggi yang dapat memandang secara bebas dan lepas ke semua penjuru kota, (7) Directional differentiation yaitu beragam
7
ragam bentukan fisik yang diatur secara harmonis, (8) Motion awareness yaitu kemampuan menggerakan emosional yaitu perasaan nyaman dan dinamis. Benturan antara masalah bentukan fisik dan tuntutan kualitas perancangan kota yang baik tersebut telah mendorong pada kebutuhan mengkaji kota secara khusus dari aspek morfologinya (Wishaguna dan Saodih, 2001). Masalah utama yang dihadapi kota-kota adalah ketidakseimbangan perkembangan penduduk kota dengan ketersediaan perumahan, prasarana utilitas umum dan fasilitas pelayanan. Selanjutnya kekurangan lahan merupakan masalah pokok pada perkembangan penggunaaan lahan terbangun sebagai elemen morfologi kota. Perkembangan wilayah terbangun secara sporadis di bagian-bagian pinggiran dalam atau luar wilayah kota merupakan fenomena yang terjadi pada kebanyakan kota besar di Indonesia. Lingkungan perumahan padat di bagian tengah kota atau kampung padat merupakan masalah perumahan yang juga menjadi perhatian khusus. Perkembangan morfologi kota pada wilayah perkotaan (umumnya kota besar) dalam lingkup yang lebih luas ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya daerah pinggiran kota dalam bentuk kawasan perumahan skala besar, kawasan industri, kawasan rekreasi dan lainnya. Pertumbuhan ini seringkali tidak terkendali sehingga berdampak pada terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian dalam skala yang besar. Selain itu, perkembangan morfologi kota pada kota-kota besar juga ditandai oleh berlangsungnya pergeseran fungsi kota inti, dari pusat kegiatan manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa-jasa dan keuangan. Sementara kegiatan industri manufaktur bergeser ke daerah pinggiran kota. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, terutama pada kawasan perumahan yang seringkali berubah menjadi fungsi lain. Perkembangan morfologi pada kota-kota besar di Indonesia pada umumnya memiliki pola perkembangan yang melebar membentuk urban sprawl, sehingga sangat sulit untuk dilayani oleh sistem transportasi masal yang efisien. Perkembangan morfologi kota merupakan perkembangan kota yang umumnya merupakan
perkembangan
keruangan
secara
horizontal
yang
berupa
proses
perkembangan spasial sentrifugal. Perkembangan spasial sentrifugal akan mempengaruhi daerah pinggiran kota yang berkaitan dengan peri kehidupan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan biotik, abiotik, dan spasial sendiri. Oleh karena perkembangan spasial sentrifugal berada di daerah pinggiran kota maka dampak yang muncul akan dirasakan
8
oleh sektor kekotaan sendiri maupun sektor kedesaan, karena daerah pinggiran kota pada hakikatnya merupakan daerah yang mempunyai sifat kekotaan di satu sisi dan sifat kedesaan disisi lain. Menurut Yunus (2005) dampak negative dari perkembangan spasial sentrifugal diantaranya adalah makin mengendornya rasa gotong royong masyarakat, makin kuatnya peri kehidupan konsumeristis, makin maraknya sifat sifat negatif budaya kota yang masuk seperti penggunaan obat obat terlarang, makin banyak konsumen yang minum minuman memabukan, makin meningkatnya tindakan kriminalitas, makin lemahnya komitmen petani terhadap lahan pertanian, makin lemahnya komitmen petani terhadap kegiatan pertanian, dan makin berkurangnya petani. 1.2. Permasalahan Penelitian Luas wilayah Kota Magelang adalah 1812 Ha atau sekitar 0,06 % dari keseluruhan luas wilayah Provinsi Jawa Tengah. Secara administrasi Kota Magelang hingga tahun 2006 masih dibagi dalam 2 kecamatan dengan 14 kelurahan, namun pada tahun 2007 dengan adanya Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 tahun 2005 tentang pembentukan Kecamatan Magelang Tengah dan Peraturan Kota Magelang Nomor 6 tahun 2005 tentang pembentukan kelurahan-kelurahan yaitu Kramat Utara, Kramat Selatan, Tidar Utara, Tidar Selatan, Jurangombo Utara dan Jurangombo Selatan secara administrasi Kota Magelang terbagi menjadi 3 kecamatan dengan 17 kelurahan. Kecamatan Magelang Tengah berasal dari sebagian wilayah Kecamatan Magelang Utara dan Kecamatan Magelang Selatan yang meliputi 6 kelurahan yang terdiri dari kelurahan Magelang, kelurahan Cacaban, kelurahan Kemirirejo, kelurahan Gelangan, kelurahan Panjang, kelurahan Rejowinangun Utara. Wilayah Kecamatan Magelang Utara setelah dikurangi dengan wilayah Kecamatan Magelang Tengah meliputi 5 kelurahan yang terdiri dari Kelurahan Kramat utara, Kelurahan Kramat Selatan, Kelurahan Kedungsari, Kelurahan Wates, dan Kelurahan Potrabangsan. Wilayah Kecamatan Magelang Selatan setelah dikurangi dengan wilayah Kecamatan Magelang Tengah meliputi 6 kelurahan terdiri dari Kelurahan Tidar Utara, Kelurahan Tidar selatan, Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kelurahan Magersari, Kelurahan Jurangombo Utara, dan Kelurahan Jurangombo Selatan. Pemekaran kecamatan yang dilakukan pemerintah Kota Magelang ini dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat untuk melaksanakan penataan
9
wilayah. Pemekaran kecamatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi dan kondisi sosial budaya masyarakat. Wilayah Kota Magelang secara regional terletak di posisi yang strategis. Kota Magelang berada di tengah-tengah (pusat) wilayah Jawa Tengah. Lokasi kota berada di jalur jalan arteri yang menghubungkan wilayah Yogyakarta-Semarang. Letak Kota Magelang yang strategis sangat mendukung dalam mengembangkan Kota Magelang. Perkembangan Kota Magelang ini dapat dilihat dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Hasil penelitian perubahan penggunaan lahan yang dilakukan di Kota Magelang dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup besar dalam kurun waktu 10 tahun tersebut yaitu mencapai 338,75 Ha dan jika dilihat dari penyimpangannya terhadap RTRWK mencapai 109,58 Ha (Hari, 2005). Adanya fakta perubahan dan penyimpangan penggunaan lahan ini menunjukkan bahwa di Kota Magelang telah terjadi perluasan areal lahan terbangun dan jalan sehingga akan berpengaruh kepada perkembangan morfologi kotanya. Tingginya kecenderungan perluasan bentuk morfologi kota di Kota Magelang merupakan isu menarik untuk diangkat lebih jauh lagi apalagi jika dikaitkan dengan meningkatnya kebutuhan ruang hunian (living space) penduduk kota dan kepentingan konservatif lahan-lahan produktif di kota tersebut. Proses perluasan kota ini terkait dengan perubahan kenampakan morfologi kota yang tidak hanya secara fisik keruangan saja namun juga secara sosial dan kultural. Perkembangan pola keruangan wilayah menjadi penting dikedepankan untuk memberikan arah dalam merumuskan kebijakan ruang, guna mengarahkan sasaran pengembangannya agar supaya proses perubahan tersebut dapat berlangsung sesuai dengan arah dan tahapan yang benar. Keberadaan lahan kekotaan mencerminkan permasalahan keruangan yang berbeda untuk bagian dalam (inner city areas) dan pinggirannya (urban fringe areas). Pokok permasalahan lahan di dalam kota negara berkembang terkait dengan proses pemadatan penduduk dan bangunan yang tidak terkendali sehingga memacu deteriorisasi lingkungan. Sementara itu, pokok permasalahan di daerah pinggiran kota terkait dengan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali sehingga memicu terciptanya kesemrawutan pemanfaatan lahan, hilangnya lahan pertanian subur dan pemekaran yang tidak terkendali (unmanaged sprawling) yang tidak sesuai dengan konsep tata ruang (Yunus, 2001).
10
Adanya dinamika pertambahan jumlah penduduk kota yang terjadi secara terus menerus akan memberikan dampak spasial bagi kota. Dengan terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam waktu yang lama tentunya akan memberi tekanan terhadap ketersediaan lahan yang tersedia. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kota Magelang Tahun 2006 -2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelurahan Jurangombo Magersari Tidar Rejowinangun Selatan Rejowinangun Utara Kemirirejo Cacaban Magelang Panjang Gelangan Wates Potrabangsan Kedungsari Kramat Kota Magelang
Jumlah Penduduk ( Jiwa ) 2006 2009 8.474 10.793 8.738 8.349 12.098 13.841 8.832 8.571 11.257 11.030 5.566 6.166 7.402 8.146 7.231 7.560 6.146 6.640 6.985 7.652 7.145 8.664 9.072 9.027 7.278 7.047 12.422 12.118 118.646 125.604
Sumber: BPS Kota Magelang Tahun 2006 dan 2009
Hal ini berlaku di Kota Magelang, dalam periode tahun 2006 hingga 2009 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 6.958 jiwa. Menurut data Kota Magelang dalam angka jumlah penduduk Kota Magelang pada tahun 2006 adalah 118.646 jiwa namun pada tahun 2009 jumlah penduduk Kota Magelang menjadi 125.604 jiwa, untuk lebih jelasnya dirinci pada Tabel 1.1. Tingginya peningkatan jumlah penduduk secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi luas lahan terbuka atau lahan non terbangun di Kota Magelang. Lahan terbuka tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan permukiman dan bangunan lain sebagai sarana dan prasarana aktivitas-aktivitas penduduknya. Berdasarkan Tabel 1.2. dapat diketahui bahwa luas lahan sawah sebagai lahan terbuka di Kota Magelang pada tahun 2006 adalah sebesar 213,09 Ha, sedangkan pada tahun 2009 menjadi 211,73 Ha atau terjadi penurunan
11
sebesar 1,36 Ha dalam periode 3 tahun. Luas pekarangan atau lahan untuk bangunan pada tahun 2006 adalah sebesar 1324,36 Ha, sedang pada tahun 2009 adalah sebesar 1325,71 Ha atau terjadi penambahan sebesar 1,35 Ha. Berdasarkan Tabel 1.2. hanya dalam kurun waktu tiga tahun terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup luas. Tabel 1.2. Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Magelang Tahun 2006 -2009 No
Jenis Penggunaan Lahan
Luas Masing Masing Jenis Penggunaan Lahan ( Ha ) 2006
2009
1 Tanah Sawah Pengairan Teknis
213,09
211,73
2 Pekarangan/ Bangunan
1324,36
1325,71
13,46
13,43
3 Tegal/ kebun/ ladang 4 Tambak 5 Kolam/Empang
6,68
6,68
6 Perkebunan/ Hutan Rakyat
99,56
99,56
7 Industri
51,97
51,97
8 Lainnya
102,91
102,91
Sumber: BPS Kota Magelang Tahun 2006 dan 2009
Kondisi sebagaimana ditampilkan di atas apabila tidak dikontrol dengan baik akan dapat mengakibatkan munculnya berbagai dampak negatif seperti menurunnya pendapatan penduduk dari sektor pertanian, karena beberapa hal telah mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan. Makin hilangnya lahan pertanian jelas mempunyai dampak yang tidak kecil terhadap jumlah pendapatan asli daerah dari sektor pertanian serta menurunnya kemampuan berswasembada pangan di tingkat lokal, regional, bahkan nasional. Perkembangan penggunaan lahan terbangun yang berakibat berkurangnya lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan perkembangan morfologi kota yang jika tidak dikontrol akan menimbulkan permasalahan menjadikan terciptanya bentuk kota yang tidak ideal dalam arti tidak tersedianya ruang terbuka hijau dan lahan pertanian yang ada didalamnya serta menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari fakta fakta ini menarik untuk diteliti apalagi jika dikaitkan dengan melihat morfologi kota yang terbentuk akibat adanya perkembangan kota yang ditandai dengan adanya perkembangan penggunaan lahan terbangunnya. Pengenalan pengenalan bentuk inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk menentukan visi spasial kota dengan memasukan unsur perancangan dan perencanaan ke dalamnya sehingga dimungkinkan
12
untuk membentuk bentukan spasial kota ideal yang telah dirumuskan. Bentuk kota masa kini merupakan mata rantai dari bentuk kota masa lalu dan bentuk kota pada masa yang akan datang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk spasial kota yang ada pada saat ini merupakan produk dan sekaligus merupakan proses. Dalam proses perwujudannya, maka morfologi kota dapat dilihat sebagai evolusi dari sejarah kota masa lalu, perancangan kota untuk masa kini serta perencanaan kota untuk masa depan. Di satu sisi, dalam kontek kekinian morfologi merupakan sesuatu yang kasat mata secara fisik, namun disisi lain tersimpan makna sejarah yang sifatnya lebih abstrak, yang menjadi alasan dari keberadaannya. Selain itu morfologi merupakan hasil dari proses perencanaan dan perancangan kota melalui sistem formal yang berlaku, misal: Rencana Tata Ruang Wilayah/ RTRW, Rencana Detail Tata Ruang/ RDTR, hingga Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan/ RTBL (Ernawi, 2010). Morfologi juga terbentuk dari proses yang bekerja diluar jangkauan atau kendali sistem formal yang ada sehingga sering berdampak pada terjadinya penyimpangan penyimpangan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW seperti yang sudah terjadi di Kota Magelang seperti yang sudah diuraikan diatas. Bentuk Kota Magelang yang terbentuk pada tahun 2006 dan 2013 menjadi penting untuk diketahui sebagai panduan untuk mengarahkan proses perkembangan spasial kota yang ada kearah bentuk idaman atau ideal yang dikehendaki. Dengan mengetahui gambaran bentuk Kota Magelang tahun 2006 dan perkembangannya di tahun 2013 maka dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Kota Magelang untuk mengenali kecenderungan perkembangan kotanya yang sangat berguna sebagai dasar penentuan visi spasial kotanya yaitu suatu angan angan ideal mengenai bentuk spasial kota di masa depan. Berdasarkan uraian-uraian yang melatarbelakangi permasalahan, maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu dijawab melalui penelitian tentang perkembangan morfologi kota. Pertanyaan pertanyaan penuntun penelitian tersebut yaitu: 1. bagaimanakah perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 ? 2. bagaimanakah arahan pemanfaatan ruang Kota Magelang terhadap perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 ?
13
Dengan berdasar kepada permasalahan dan pertanyaan pertanyaan penuntun penelitian, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Morfologi Kota Magelang Dari Tahun 2006 Sampai Dengan Tahun 2013”. 1.3. Tujuan Penelitian 1. mengkaji perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013. 2. mengkaji arahan pemanfaatan ruang Kota Magelang terhadap perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013. 1.4. Manfaat Penelitian Ada dua manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dari sisi teoritis dan praktis empiris. a. Manfaat dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan akan memperkaya teori teori mengenai perkembangan morfologi kota. Konstribusi terhadap ilmu pengetahuan berasal dari orisinalitas tema penelitian yang lebih bersifat pendalaman dan uraian secara lebih lengkap terhadap penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. b. Manfaat dari sisi praktis empiris, yaitu sebagai acuan bahan pemikiran pemerintah daerah dan perencana kota maupun wilayah. Pemerintah bersama perencana kota dan wilayah diharapkan dapat memanfaatkan temuan-temuan dalam penelitian ini untuk diterapkan. 1.5. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sejenis yang terkait dengan perkembangan morfologi kota pernah dilakukan, namun demikian dari beberapa penelitian tersebut terdapat beberapa perbedaan dengan apa yang dilakukan oleh peneliti terutama terkait dengan lokasi penelitian, tujuan yang akan dicapai serta metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Perbedaan yang terkait dengan tujuan dan metode lebih bersifat melengkapi ataupun mengurangi dari hasil penelitian penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh peneliti atas pertimbangan karakteristik daerah penelitian yang berbeda dengan karakteristik daerah daerah
14
penelitian yang dilakukan oleh peneliti peneliti sebelumnya dan pendalaman penelitian tentang perubahan penggunaan lahan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya pada daerah penelitian yang sama dengan yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Penelitian ini mempunyai beberapa perbedaan dan kesamaan dengan penelitian penelitian sebelumnya. Perbedaan secara umum diantaranya adalah (1) lokasi penelitian di Kota Magelang Provinsi Jawa Tengah dan tahun penelitiannya, (2) dilihat dari tujuan penelitian yang akan dicapai dan metode yang digunakan, selanjutnya diuraikan sebagai berikut: 1. Penelitian ini bertujuan mengkaji perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013. Kajian ini meliputi sebaran keruangan penambahan atau pengurangan penggunaan lahan terbangun, perkembangan kepadatan bangunan, pola jalan dan kepadatan jalannya, serta analisis tipologi intensitas areal terbangun. Dari analisis perkembangan penggunaan lahan terbangun, kepadatan bangunan, pola jalan dan kepadatan jalannya dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 akan dapat digunakan untuk mengkaji perkembangan morfologi kota sehingga akan bisa dilihat ekpresi keruangan morfologi kota yang terbentuk pada tahun 2006 dan tahun 2013. Tipologi intensitas areal terbangun disusun berdasarkan korelasi antara indek morfologi kota tahun terbaru (2013) dan perkembangannya (2006-2013). Analisis tipologi wilayah digunakan untuk mengkaji bagaimana intensitas perkembangan morfologi kotanya dengan mempertimbangkan kondisi morfologi kota tahun terbaru (2013). Tujuan penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Saputra (2007) dan Nurkolisyah (2005) yang membedakan adalah bahwa di dalam penelitian yang dilakukan ini di dalam mengkaji distribusi keruangan perkembangan morfologi kota di Kota Magelang menggunakan analisis peta citra untuk melihat perkembangan persebaran penggunaan lahan terbangunnya dan melakukan analisis atribut untuk melihat persebaran kepadatan jalan dan kepadatan bangunan pada setiap blok areal terbangun guna melihat bentuk kota yang terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2013, sedangkan kedua peneliti tersebut tidak memasukan kedua unsur tersebut tetapi hanya melihat perkembangan kota dari aspek perubahan penggunaan lahannya dan tidak sampai pada tahap melihat ekpresi keruangan morfologi kotanya. Selain itu kekhasan penelitian ini adalah menghasilkan indek
15
morfologi kota dalam penyusunan tipologi intensitas areal terbangun yang tidak dihasilkan oleh peneliti peneliti sebelumnya. 2. Penelitian ini bertujuan mengkaji arahan pemanfaatan ruang Kota Magelang terhadap perkembangan morfologi kota di Kota Magelang. Arahan pemanfaatan ruang disusun atas dasar tipologi intensitas areal terbangun. Kajian penelitian tentang arahan pemanfaatan ruang kota terhadap perkembangan morfologi kota atas dasar tipologi intensitas areal terbangun ini tidak dilakukan oleh Susanti (2008), Nurkolisyah (2005), dan Saputra (2007). Perbedaan penelitian juga dapat dilihat dari metode yang digunakan. Didalam penelitian ini menggunakan tehknik interpretasi citra penginderaan jauh, observasi, dan pengolahan
data
atribut
dalam
memperoleh
gambaran
tentang
unsur
unsur
perkembangan morfologi kota di Kota Magelang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013, sedangkan peneliti lain tidak menggunakan teknik interpretasi citra penginderaan jauh seperti Saputra (2007) menggunakan populasi sampling research dan survey research, Nurkolisyah (2005) menggunakan purposive sampling. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu tujuan penelitian yang dilakukan adalah mengkaji tentang perubahan penggunaan lahan sebagai salah satu unsur dalam melihat perkembangan morfologi kota, seperti pada Saputra (2007), Nurkolisyah (2005), dan Susanti (2008). Secara ringkas beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya disajikan pada Tabel 1.3.
16
Tabel 1.3. Perbandingan Penelitian Yang Dilakukan Sebelumnya Dengan Penelitian Yang Dilakukan Peneliti No Nama 1
Peneliti
Judul
Tujuan
Metode
Sutomo, Yoan Adi (2005)
Kajian Perkembangan Morfologi Kekotaan Kecamatan Depok Kabupaten Sleman
2
Nurkolisyah, Siti (2005)
Perkembangan Fisik Kota Kediri Dari Tahun 1996 Sampai Dengan Tahun 2003
3
Saputra, Erlis (2007)
Perubahan Spasial dan Tendensi Perkembangan Fisik Kota Pekanbaru Tahun 1990 – 2006
4
Hari Manditya (2005)
Perubahan 1. Mengkaji luas, penggunaan lahan; Penggunaan Lahan 2. Mengkaji faktor yang berpengaruh; Di Kota Magelang 3. Mengkaji luas penyimpangan terhadap RTRW Kota Magelang. Dari Tahun 1991 Sampai Dengan Tahun 2001
1. Mengetahui perkembangan luasan penggunaan lahan kekotaan; 2. Mengetahui pola jalan; 3. Mengetahui perkembangan tipe bangunan; 4. Mengetahui perkembangan morfologi kekotaan; 5. Mengetahui implikasi kebijakan tata ruang. 1. Mengetahui distribusi keruangan dari perkembangan fisik Kota Kediri; 2. Mengetahui faktor faktor yang berpengaruh; 3. Mengetahui kecenderungan arah perkembangan fisik Kota Kediri. 1. Mengkaji proses perubahan spasial; 2. Menganalisis tendensi; 3. Mengkaji faktor penyebab; 4. Mengevaluasi dampak .
17
Hasil
Didominasi 1. Kecamatan Depok mengalami luasan lahan dengan analisis terbangun sebesar 470,7 ha periode tahun data sekunder 1993-1998 dan 97,5 ha periode 1998-2003. dengan tambahan 2. Pola jalan di Kecamatan Depok mendekati tipe grid. data primer yang 3. Peningkatan jumlah bangunan setiap tahun didapat dengan rata rata 962 bangunan. metode observasi. 4. Perkembangan terpusat pada ektensifikasi. 5. Intensifikasi lahan dan fungsi kota. Teknik 1. Distribusi perkembangan fisik kota Kediri pengambilan yaitu, terjadi penambahan penggunaan lahan sampel terluas pada lahan permukiman. menggunakan 2. Faktor penentu perkembangan fisik kota, purposive yaitu aksesibilitas. sampling. 3. Kecenderungan arah perkembangan fisik dengan dominasi arah ke tenggara. 1. Terjadi penambahan luas lahan terbangun Populasi sebesar 7614, 56 Ha. sampling 2. Ketersediaan fasilitas umum merupakan research faktor penentu perubahan spasial Keterkaitan 3. Tendensi perkembangan fisik ke arah barat. dengan objek: survey research 4. Dampak yang ditimbulkan adalah penurunan luas lahan pertanian. Teknik 1. Perubahan penggunaan lahan mecapai Pengambilan 338.754 Ha. 2. Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi sampel oleh perubahan jumlah anggota rumah menggunakan tangga. stratified random 3. Penyimpangan penggunaan lahan terbesar sampling. terdapat di Kelurahan Tidar.
Lanjutan Tabel 1.3. 5
6
Susanti, Arkiyana (2008)
Hari, Manditya (2013)
Perkembangan Morfologi Kota Kawasan Solo Baru Kabupaten Sukohardjo Provinsi Jawa Tengah 1990- 2006 Perkembangan Morfologi Kota Magelang Dari Tahun 2006 Sampai Dengan Tahun 2013.
1. Mengkaji pola perkembangan morfologi kota; 2. Mengkaji faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan morfologi kota.
Metode slovin, 1. Pola perkembangan morfologi kota adalah proporsional berpola linear dan sektoral. random sampling 2. Faktor pengaruh paling kuat terhadap perkembangan morfologi kota adalah dan systematic karakteristik lahan. sampling
1. Mengkaji perkembangan morfologi kota; 2. Mengkaji arahan pemanfaatan ruang kota terhadap perkembangan morfologi kota.
Teknik 1. Perkembangan penggunaan lahan terbangun, Interpretasi kepadatan bangunan dan kepadatan jalan Penginderaan jauh berpengaruh secara signifikan terhadap dan Observasi perkembangan morfologi kota di Kota Magelang. Pada tahun 2006 morfologi kota yang terbentuk adalah ellip irregular namun pada tahun 2013 berkembang kearah ellip yang lebih sempurna atau regular. 2. Pembagian tipologi wilayah intensitas areal terbangun yang berbeda akan menyebabkan arahan pemanfaatan ruang yang berbeda pada masing masing blok disetiap kelurahan. Arahan pemanfaatan ruang yang disusun secara garis besar merupakan saran yang bersifat mempercepat atau menghambat, bahkan menghentikan laju perkembangan morfologi kota pada masing masing kelurahan.
18