BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tanpa di sadari hingga saat ini proses reformasi sudah satu dasawarsa telah dilalui, perjalanan sejarah ini merupakan suatu proses arah pembangunan dan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, baik itu dari sisi keuangan, human capital (modal manusia), perubahan institusi, politik dan sebagainya. Reformasi telah berdampak pada sistem pemerintahan yang dulunya sentralistik menjadi desentralistik, dengan maksud agar daerah otonomi dapat menentukan keputusan, mengatur dan memberikan pelayanan umum yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Perwujudan dari desentralisasi dengan adanya pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, pengaturan pemugutan pajak, adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Menurut Kuncoro (2004: 3-7) menjelaskan bahwa sistem yang mengatur hubungan fiskal (keuangan) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah telah diatur dalam undang-undang pertama yaitu Undang-undang Nomor 32 tahun 1956. Sebelum terjadinya reformasi di Indonesia, konsep desentralisasi telah ada tetapi masih terbatas pada sistem hubungan antara pusat dan daerah yang berada pada struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi. Sistem hubungan pusat dan daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip berdasarkan Undang-undang Nomor 5/1974, yaitu: Pertama, desentralisasi yang mengadung 1
2
arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenangan dari pemerintah atau kepala atau instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabatpejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan (medebewind) yang berarti pengkordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Ditekankan juga bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan: Pertama, dimensi politik, Dati II dipadang kurang mempunyai fanastisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatism dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. Ketiga, Dati II adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II- lah lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Terjadinya otonomi dan desentralisasi fiskal di Indonesia menjadi suatu fenomena yang hingga saat ini menjadi suatu isu yang strategis yang selalu menjadi perbincangan, karena ini menyangkut tentang hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dalam hal keleluasan bertindak pemerintah daerah untuk membuat keputusan penting terhadap kebijakan pembangunan daerah. Selanjutnya untuk memberikan ruang yang jelas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perubahan terhadap pembangunan di daerahnya, maka dirancanglah dan ditetapkan suatu Undang-undang sebagai payung hukum untuk mengatur sistem hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan
3
diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, tambahan Lembaran Negara Nomor 4548) tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan lembaran Negara Nomor 4438). Undang-undang ini membawa perubahan pada berbagai aspek, antara lain pada aspek kelembagaan (hubungan antara pemerintah pusat dan daerah) dan aspek keuangan (perimbangan keuangan). Perubahan dalam hubungannya dengan keuangan daerah, dicerminkan pada dana dan program yang sebelumnya dilakukan dengan mekanisme tertutup melalui Inpres dengan arahan penuh dari Pemerintah Pusat, sebagian besar dialihkan menjadi dana alokasi umum yang penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai prioritas daerah. Pembentukan kedua UU ini dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, di mana pendanaan tersebut menganut prinsip money follow function, yang berarti pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pada setiap tingkatan. Desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan suatu mekanisme pendanaan melalui APBN pada pemerintah pusat dan APBD pada pemerintah
daerah yang berkaitan dengan kebijakan keuangan dalam
mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam jangka panjang dan termasuk didalamnya menjaga ketahanan utang yang berkelanjutan (debt
4
sustainability). Implementasinya diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terdiri dari pajak daerah (Tax Assignment), dana bagi hasil (Revenue Sharing), dan dana alokasi umum serta dana alokasi khusus. Dalam dataran konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada prinsipnya sudah menjadi pilihan strategis yang tepat dalam pergerakan pembangunan di Indonesia sesuai dengan menguatnya arus demokrasi dan partisipasi publik secara luas. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memiliki tujuan ganda, yaitu: Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagai respon atas tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga sebagai strategi memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional (Mardiasmo, 2003). Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bahwa pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyerahan kewenangan tersebut harus diikuti oleh sumbersumber pendanaan atau penganggaran, berarti anggaran daerah memiliki peran yang penting dalam mendukung perencanaan strategi di daerah. Anggaran daerah adalah desain teknis atau cetak biru (blue print) pelaksanaan strategi untuk mencapai visi dan misi daerah dengan cara-cara benar (Mardiasmo, 2002: 176). Implikasi dari otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat kepada
5
pemerintah daerah bukan hanya pada kewenangan administrasi tetapi juga pada desentralisasi fiskal yang menjadi keharusan dalam pelaksanaan keuangan. Dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan pendapatan lain-lainnya yang sah. Dana perimbangan tersebut menurut Undangundang Nomor 33 tahun 2004, yaitu: 1. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dana bagi hasil berasal dari pajak dan sumber daya alam, di mana pembagiannya diatur dan ditentukan oleh undang-undang antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang bersumber dari sumber daya alam yaitu pertambangan, minyak bumi dan gas, kehutanan dan perikanan, sedangkan yang berasal dari pajak adalah pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB); 2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada daerah yang disesuiakan dengan kondisi dan potensi daerah tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antardaerah. Pada prinsipnya DAU diberikan untuk menghindari terjadinya fiscal gap antardaerah, menurut Halim (2009: 32) bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (provinsi, kabupaten/kota) ditentukan dengan konsep fiscal gap yaitu kebutuhan DAU daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity), dengan maksud agar dapat menutupi celah tersebut karena
6
kebutuhan suatu daerah melebihi dari penerimaan yang ada; 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) menurut Halim (2009: 32) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Kegiatan khusus tersebut telah diatur dalam fungsi yang ditetapkan APBN, dalam pelaksanaannya DAK yang disepakati dengan daerah bersangkutan wajib memberikan dana pendampingan sekurang-kurangnya sebesar 10 persen dari DAK yang dialokasikan di APBD. Perkembangan realisasi dana perimbangan pada Tabel 1.1 yang merupakan transfer pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota melalui APBN yang dialokasikan untuk pelaksanaan desentralisasi. Perkembangan tersebut dapat di lihat pada realisasi APBD kabupaten/kota di Sulawesi dalam waktu 12 tahun terakhir.
7
Tabel 1.1 Perkembangan Dana Perimbangan di Sulawesi dan Indonesia Tahun 2000-2011 Transfer Kabupaten/Kota di Sulawesi
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah
DBH (Triliun) 0,15 0,45 0,44 0,61 0,70 0,86 0,92 1,55 2,06 2,38 2,44 2,20 14,78
DAU (Triliun) 0,83 5,41 6,75 7,93 8,07 8,95 16,27 17,58 19,18 21,02 22,33 25,36 159,70
DAK (Triliun) 0,55 0,07 0,08 0,33 0,52 1,02 1,42 2,89 3,79 3,87 3,00 3,55 21,10
Transfer Pusat ke Seluruh Indonesia DBH (Triliun) 4,45 21,18 25,50 31,37 37,90 27,98 51,64 60,50 76,59 66,07 89,62 83,56 576,36
DAU (Triliun) 14,86 60,52 69,20 76,98 82,13 88,77 145,66 164,79 179,51 186,41 203,61 225,53 1.497,96
DAK (Triliun) 9,78 0,70 0,63 2,72 2,84 4,01 11,57 17,05 21,20 24,82 21,14 25,23 141,70
Sumber: Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan dan Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, 2000-2011.
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas menunjukkan perkembangan dana transfer dari tahun 2000-2011 bahwa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalami peningkatan cukup baik setiap tahunnya, secara kabupaten/kota di Sulawesi maupun nasional. Komponen dana transfer dari Tabel 1.1 menunjukkan bahwa secara nasional dana transfer terbesar adalah DAU sebesar 1.497,96 triliun, kemudian DBH sebesar 576,36 trilliun dan DAK sebesar 141,70 trilliun, sedangkan dana transfer terbesar kabupaten/kota di Sulawesi adalah DAU sebesar 159,70 trilliun, kemudian DAK sebesar 21,10 trilliun dan DBH sebesar 14,78 trilliun. Kenaikan DAU kabupaten/kota di Sulawesi sejak tahun 2000 hingga 2011 sebesar 9,3 persen dari total DAU secara nasional selama dua belas tahun terakhir,
8
sedangkan perkembangan kenaikan DBH kabupaten/kota di Sulawesi sejak tahun 2000 hingga 2011 mencapai 38,9 persen dari total DBH secara nasional selama dua belas tahun terakhir dan DAK kabupaten/kota di Sulawesi sejak tahun 2000 hingga 2011 hanya sebesar 6,7 persen dari total DAK secara nasional selama dua belas tahun terakhir. Perkembangan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan pendapatan domestik bruto, sedangkan perkembangan ekonomi suatu daerah dapat diukur dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB). PDRB per kapita dihitung untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah baik kabupaten maupun kota per penduduk selama satu tahun. Rerata pertumbuhan PDRB per kapita atas harga konstan 2000 setiap tahunnya mengalami peningkatan yang baik secara nasional dalam kurung waktu 12 tahun sebesar 3,84 persen sedangkan di Sulawesi rerata pertumbuhan PDRB per kapita selama 12 tahun terakhir sebesar 4,94 persen. Meskipun rerata pertumbuhan PDRB per kapita di Sulawesi mengalami peningkatan cukup baik, namun PDRB per kapita provinsi di Sulawesi masih berada di bawah rata-rata nasional sebesar Rp8,2 juta/orang sedangkan PDRB per kapita provinis di Sulawesi hanya sebesar Rp4,9 juta/orang. PDRB per kapita provinsi di Sulawesi sebagaimana terlihat pada Gambar 1.1.
9
12,000 Sulawesi Utara 10,000
Sulawesi Tengah
Ribu Rupiah
8,2 8,000
Sulawesi Selatan
6,000
Sulawesi Tenggara
4,9
Gorontalo
4,000
Sulawesi Barat
2,000
Sulawesi Indonesia
-
Rerata Indonesia Rerata Sulawesi
Tahun
Sumber: BPS, PDRB Provinsi di Indonesia, tahun 2000-2011 Gambar 1.1 PDRB Per Kapita Indonesia dan Sulawesi, 2000-2011 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan cita-cita yang
diharapkan
oleh
pemerintah
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakatnya dalam hal ini peningkatan pertumbuhan ekonomi, untuk itu diperlukan tujuan yang dapat menjadi acuan dalam mencapai cita-cata tersebut. Oleh karena itu, tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus menjamin/dapat (Sidik, 2002): 1. kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro dengan tetap memberikan ruang bagi pemerinth pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antardaerah; 2. dapat mengoreksi vertical imbalance; 3. dapat mengoreksi horizontal imbalance;
10
4. meningkatkan efesiensi pengalokasian sumberdaya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah; 5. dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan mobilisasi pendapatan secara maupun nasional; 6. meningkatkan akuntabilitas, transparansi, efesiensi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik; 7. memperbaiki keseimbangan fiskal antardaerah dan memastikan adanya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat di setiap daerah; 8. menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menjadi hal yang menarik bagi daerah kabupaten/kota untuk memekarkan diri dengan maksud memberikan pelayanan publik agar lebih dekat dengan masyarakatnya. Pada dasarnya pemekaran daerah merupakan keinginan daerah untuk melakukan pendekatan dalam upaya mempercepat peningkatan kesejateraan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Pada Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan daerah sebelum pemekaran terdiri dari 26 provinsi, 234 kabupaten dan 59 kota di Indonesia. Dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 sejak tahun 1999 sampai 2009, bertambah menjadi 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota baru. Setelah dikeluarkannya memorandum pemerintah untuk sementara menghentikan pemekaran daerah pada tahun 2010, hingga tahun 2011 jumlah provinsi di Indonesia menjadi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Ringkasan hasil pemekaran daerah otonom baru dapat di lihat pada Tabel 1.2.
11
Tabel 1.2 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Setelah berlakunya UU No. 22/1999 di Indonesia Tahun
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sebelum 1999 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 DOHP Pasca UUNo.22/1999 Total Pemda (2009)
Provinsi
Kabupaten
Kota
26 2 3
234 34
59 9
1
33 47
12 4 2
1
7 33
21 27 2 164 398
4 3 34 93
Prov/Kab/ Kota DOHP 319 45 3 12 38 49 1
25 30 2 205 524
Sumber: Kuncoro (2012: 300) Tabel 1.3 Daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) juga terjadi pada provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi yaitu sebelum UU No. 22/1999 terdiri dari 4 provinsi, 34 kabupaten, dan 6 kota. Setelah pemekaran bertambah 2 provinsi, 29 kabupaten, dan 4 kota, sehingga menjadi 6 provinsi, 63 kabupaten, dan 10 kota.
12
Tabel 1.3 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Setelah berlakunya UU No. 22/1999 di Sulawesi No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tahun
Provinsi
Kabupaten
Kota
4
34 5
6
Sebelum 1999 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 DOHP Pasca UUNo.22/1999 Total Pemda (2009)
1 1 1 1
3 11 1
2 6
Prov/Kab/ Kota DOHP 44 5 1 1 4 12 1
6 4
1
7 4
29 63
4 10
35 79
Sumber: Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri (data diolah) Pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota di Sulawesi serta induk pemekaran daerah setelah UU No. 22/1999 berdasarkan undang-undang secara ringkas dapat dijabarkan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Daerah Otonom Baru (DOB) di Sulawesi Tahun 2000-2013 No 1 2
Daerah Otonom Baru
Ibukota
3 4 5 6
Kab. Boalemo Kab.Banggai Kepulauan Kab. Buol Kab. Morowali Kab Luwu Utara Prov. Gorontalo *
7 8
Kota Bau-Bau ** Kab. Kepulauan Talaud
Melonguane
9
Kab Parigi Moutong
Parigi
10 11
Kota Palopo ** Kab. Mamasa
Palopo Mamasa
Induk
Provinsi
Undang-undang Pembentukan
Tilamuta Salakan
Kab. Gorontalo Kab. Banggai
Gorontalo Sulteng
No. 50 No. 1999 No. 51 Tahun 1999
Buol Bungku Masamba Gorontalo
Kab. Buol Toli-Toli Kab. Poso Kab. Luwu Prov. Sulawesi Utara Kab. Buton Kab. Sangihe Talaud Kab. Donggala
Sulteng Sulteng Sulsel Sulut
No. 51 Tahun 1999 No. 54 Tahun 1999 No. 13 Tahun 1999 No. 38 Tahun 2000
Sultra Sulut
No. 13 Tahun 2001 No. 8 Tahun 2002
Sulteng
No. 10 Tahun 2002
Kab. Luwu Kab. Polewali Mamasa
Sulsel Sulbar
No. 11 Tahun 2002 No. 11 Tahun 2002
13
No 12
Daerah Otonom Baru
Ibukota
Induk
Provinsi
Undang-undang Pembentukan
Amurang
Kab. Minahasa
Sulut
No. 10 Tahun 2003
13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kab. Minahasa Selatan * Kab. Minahasa Utara * Kota Tomohon Kab. Bone Bolango * Kab. Pohuwato Kab. Tojo Una-Una * Kab. Luwu Timur * Kab. Mamuju Utara * Kab. Kolaka Utara * Kab. Konawe Selatan
Airmadidi
Sulut Sulut Gorontalo Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Sultra
No. 33 Tahun 2003 No. 10 Tahun 2003 No. 6 Tahun 2003 No. 6 Tahun 2003 No. 32 Tahun 2003 No. 7 Tahun 2003 No. 5 Tahun 2003 No. 29 Tahun 2003 No. 4 Tahun 2003
22 23 24
Kab. Bombana * Kab. Wakatobi * Prov. Sulawesi Barat *
Rumbia Wangi-Wangi Mamuju
Sultra Sultra Sulsel
No. 29 Tahun 2003 No. 29 Tahun 2003 No. 26 Tahun 2004
25
Kab.Bolaang Mongondow Utara * Kab. Kep. Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) * Kab. Minahasa Tenggara * Kota Kotamobagu
Boroko
Kab. Minahasa Kab. Minahasa Kab. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Poso Kab. Luwu Utara Kab. Mamuju Kab. Kolaka Kab. Konawe (d/h Kab. Kendari) Kab. Buton Kab. Buton Prov. Sulawesi Selatan Kab. Bolaang Mongondow Kab. Sangihe Talaud
Sulut
No. 10 Tahun 2007
Sulut
No. 15 Tahun 2007
Sulut
No. 9 Tahun 2007
Sulut
No. 4 Tahun 2007
Kwandang Buranga Wanggudu Tutuyan
Gorontalo Sultra Sultra Sulut
No. 11 Tahun 2007 No. 14 Tahun 2007 No. 13 Tahun 2007 No. 29 Tahun 2008
Sulut
No. 30 Tahun 2008
34 35 36
Kab. Gorontalo Utara * Kab. Buton Utara * Kab. Konawe Utara * Kab. Bolaang Mongondow Timur * Kab.Bolaang Mongondow Selatan * Kab. Sigi * Kab. Toraja Utara * Kab. BanggaiLaut*
Sulteng Sulsel Sulteng
No. 27 Tahun 2008 No. 28 Tahun 2008 No. 5 Tahun 2013
37
Kab. KolakaTimur*
Tirawuta
Kab. Minahasa Selatan Kab. Bolaang Mongodow Kab. Gorontalo Kab. Muna Kab. Konawe Kab. Bolaang Mongodow Kab. Bolaang Mongodow Kab. Donggala Kab.Tana Toraja Kab. BanggaiKepulauan Kab. Kolaka
Sultra
No. 8 Tahun 2013
26
27 28 29 30 31 32 33
Suwawa Marisa Ampana Malili Pasangkayu Lasusua Andolo
Ondong Siau
Ratahan
Bolaang Uki Sigi Biromaru Rantepao Banggai
* Inisiatif DPR RI ** Peningkatan status dari kota administratif menjadi kota otonom Sumber: Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri (data diolah) Bertambahnya Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) akan berdampak pada alokasi dana transfer di daerah yang dari sisi keuangan akan mempengaruhi jumlah penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus
(DAK) terjadi penurunan dan mempengaruhi daerah otonom lainnya dalam proses
14
pembangunan karena DAU dan DAK merupakan sumber yang paling besar bagi kabupaten/kota
dalam
membiayai
pembangunan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dari bukti empiris tersebut di atas menunjukkan bahwa dana perimbangan yang merupakan sumber keuangan terjadi peningkatan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh positif. Namun pada kenyataan, kondisi tersebut berbeda dengan apa yang terjadi di Sulawesi tingkat pertumbuhannya masih berada di bawah rata-rata secara nasional. Berdasarkan uraian tersebut, maka desentralisasi fiskal dapat dikatakan belum memberikan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara efesien dan efektif. 1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dalam bentuk pertanyaan merumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah: 1. Seberapa jauh variasi desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi tahun 2006-2011? 2. Bagaimana desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi sebelum pemekaran tahun 2000 hingga 2005 dan setelah pemekaran tahun 2006 hingga 2011? 3. Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di
Sulawesi Tahun 2006-2011 ?
15
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. menganalisis variasi desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi tahun 2006-2011; 2. menganalisis perbedaan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi sebelum pemekaran tahun 2000 hingga 2005 dan setelah pemekaran tahun 2006 hingga 2011; 3. menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Sulawesi tahun 2006-2011. 1.3.2. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. memperkaya khasanah studi empiris bagi kalangan akademisi dalam memahami dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di Sulawesi; 2. sebagai bahan masukan bagi pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi dalam melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi.
1.4 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini secara rinci dibagi dalam lima bab utama, dan secara berurutan disajikan secara sistematis, sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
16
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka, yang menjelaskan landasan teori tentang desentralisasi fiskal, anggaran pendapatan dan belanja, human capital, teori pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah dan studi empiris terdahulu, serta keaslian penelitian. Bab III: Metoda Penelitian, menguraikan tentang pendekatan penelitian, definisi operasional variabel yang diamati, jenis dan sumber data, alat analisis, analisis regresi data panel dan model penelitian. Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang menguraikan tentang analisis koefisien variasi, analisis uji beda rata-rata dan analisis regresi data panel. Bab V: Kesimpulan dan Saran, yang menguraikan simpulan hasil penelitian yang telah dilakukan, dan memberikan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan oleh pihak lain sebagai pengambil kebijakan.