BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang berisiko rawan terhadap berbagai bencana alam karena terletak pada daerah yang aktif tektonik dan vulkanik sebagai akibat pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng India-Australia, Pasifik, dan Eurasia (Sutikno, 1995). Indonesia juga terletak di bawah garis khatulistiwa yang mempengaruhi iklim yang ada di negara ini. Bencana alam yang dapat terjadi yaitu banjir, letusan gunung api, longsor, kekeringan, tsunami, gempa bumi, dan lainnya. Bencana merupakan suatu kejadian alam yang mengganggu aktivitas manusia dan dapat menimbulkan kerugian baik berupa kehilangan harta, benda, jiwa, dan menimbulkan kerusakan. Bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta, benda, dan dampak psikologis (UU no.24 tahun 2004 tentang penanggulangan bencana). Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah longsor lahan. Longsor lahan merupakan proses perpindahan suatu massa batuan/ akibat gaya gravitasi (Ani Haryati, 2008). Longsor lahan menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Hary Christady Hardiyatmo (2012) menjelaskan kerusakan yang bersifat langsung yaitu rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, dan adanya korban manusia sedangkan kerusakan yang bersifat tidak langsung yaitu melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Longsor dipicu oleh beberapa hal diantaranya lereng yang terjal dan curah hujan yang tinggi, meski ada faktor pendukung lainnya baik faktor fisik maupun manajemen. Salah satu ancaman bencana alam di kabupaten Purworejo adalah longsor lahan dilihat dari ciri fisik dan pemberitaan longsor di media. Kabupaten Purworejo dilewati perbukitan menoreh dibagian timur, utara, dan sebagian barat. Sebanyak 116 desa pada sembilan kecamatan berada di lereng perbukitan Menoreh. Sembilan
1
kecamatan rawan longsor terdiri atas Bagelen, Kaligesing, Purworejo, Loano, Bener, Gebang, Kemiri, Pituruh, dan Bruno (dimuat dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat Jogja edisi 29 Oktober 2013). Kumpulan data dari lembaga-lembaga survei dan lingkungan kerja menyatakan mulai Januari 2004 hingga Maret 20008 telah mencatat 316 kejadian longsor di kabupaten Purworejo. Semua kejadian longsor tersebar di daerah perbukitan dan pegunungan. Kejadian longsor terbesar pada tahun 2004, yang terjadi karena intensitas curah hujan yang ekstrim (>70mm/hour) pada 29 Januari 2004 dan 27 Desember 2004 (Junun, 2008). Topografi wilayah kabupaten Purworejo sebagian merupakan daerah dataran rendah dan sebagian berupa pegunungan dengan tingkat kemiringan >30% (Jurnal Bumi Lestari volume 10 tahun 2010). Lereng terjal merupakan indikasi bahwa sebagian wilayah kecamatan Bruno mempunyai potensi rawan longsor terlebih bila didukung dengan curah hujan yang tinggi. Untuk menanggulangi terjadinya bencana longsor lahan dan dampaknya yang lebih besar diperlukan adanya pemetaan daerah rawan longsor lahan skala semi detil, tingkat kecamatan. Penginderaan jauh menyediakan data keruangan (data spasial) secara mudah, cepat, dan murah untuk pemetaan kebencanaan dibandingkan dengan survai lapangan. Informasi dari data penginderaan jauh diolah dan dijadikan data masukan untuk pengolahan peta rawan longsor. Pada penelitian ini data penginderaan jauh yang digunakan adalah Landsat 8. Penggunaan citra Landsat akan memberikan keuntungan dalam hal penghematan tenaga, biaya, dan waktu. Parameter-parameter longsor lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta curah hujan, peta jenis batuan, peta jenis, peta zona patahan/gempa, peta kemiringan lereng, dan peta penggunaan lahan. Parameter-parameter tersebut dianalisis dan disajikan menjadi peta rawan longsor dengan bantuan Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah sistem informasi yang memiliki kelebihan yaitu bereferensi geografi. Pengolahan data pada SIG berbasis keruangan sehingga dalam SIG terdapat dua bentuk data yaitu data spasial dan data atribut. SIG mampu menghasilkan informasi baru dengan melakukan analisis pada data masukan secara mudah dan cepat.
2
Perpaduan antara penginderaan jauh dan sistem informasi geografi lebih memudahkan dalam perolehan data spasial dan analisisnya sehingga menghasilkan Peta daerah rawan longsor lahan di kecamatan Bruno. 1.2 Rumusan Masalah Kecamatan Bruno adalah salah satu kecamatan di kabupaten Purworejo yang memiliki lereng curam dan termasuk dalam kategori pegunungan. Lereng yang curam ini menjadi salah satu peluang untuk terjadinya longsor lahan. Beberapa kali kejadian longsor pernah terjadi di kecamatan Bruno dan terakhir kali longsor terjadi bulan Desember 2013. Bencana ini tentunya membawa kerugian-kerugian yang jumlahnya tidak sedikit seperti rusaknya infrastruktur, rusaknya lahan pertanian, adanya korban jiwa, kehilangan tempat tinggal, serta kerugian lainnya. Daerah yang berpotensi longsor tidak dapat menghindar dari bahaya tersebut tapi ada upaya untuk menanggulangi dan memperkecil risiko yang ditimbulkan. Dalam upaya menanggulangi ini diperlukan peran aktif masyarakat. Untuk itu perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tingkat bahaya longsor di daerah tersebut dan bagaimana upaya penanggulangannya. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan membuat peta rawan longsor tingkat kecamatan, dimana peta ini belum tersedia. Pembuatan peta longsor lahan akan memakan biaya, tenaga, dan waktu lebih jika dilakukan dengan metode survai terrestrial sehingga diperlukan metode lain yaitu dengan menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG. Penginderaan jauh dapat menjangkau daerah yang susah atau bahkan tidak dapat dijangkau melalui survai lapangan. Longsor lahan dapat dikenali dari berbagai macam parameter. Parameter penyususun longsor lahan dapat dideduksi dari citra penginderaan jauh dan didukung data lainnya yang diolah menggunakan Sistem Informasi Geografi. Atas uraian tersebut penulis tertararik mengadakan penelitian mengenai “Pemetaan Daerah Rawan Longsor Lahan Di Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah”.
3
1.3 Tujuan 1. Ekstraksi data penggunaan lahan dari citra Landsat 8 yang berguna sebagai masukan dalam pemetaan daerah rawan longsor lahan 2. Memetakan daerah rawan longsor lahan menggunakan Sistem Informasi Geografi 1.4 Manfaat Manfaat secara ilmiah dan praktis dari Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut.
Manfaat Ilmiah 1. Memberikan gambaran kemampuan penginderaan jauh dan sistem infomasi geografi dalam memetakan daerah rawan longsor lahan 2. Menambah referensi pemanfaatan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi untuk pemetaan longsor lahan
Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian digunakan sebagai bahan masukan untuk mitigasi bencana longsor di kecamatan Bruno 2. Memberikan informasi daerah rawan longsor lahan
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1
Penginderaan Jauh Pengindraan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk
memperoleh dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. (Lindgren, 1985). Penginderaan jauh ialah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. (Lillesand and Kiefer, 1979). Alat yang dimaksud adalah alat pengideraan atau sensor. Pada umumnya sensor dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik, atau wahana lainnya.Obyek yang
4
diindera atau yang ingin diketahui adalah obyek di permukaan bumi, di dirgantara, atau di antariksa. Sensor yang dipasang jauh dari obyek yang diindera sehingga diperlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut. Antara tenaga dan obyek terjadi interaksi. Hasil interaksi antara tenaga dengan obyek direkam oleh sensor. Perekamannya mengggunakan kamera atau alat perekam lainnya. Hasil rekaman ini disebut data penginderaan jauh 1.5.2
Interpretasi Citra Salah satu data penginderaan jauh adalah citra penginderaan jauh yang
selanjutnya dikenal dengan citra. Citra adalah gambaran obyek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan oleh sebuah lensa atau sebuah cermin. Citra adalah gambaran rekaman suatu obyek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dibuahkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau elektromaknetik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu obyek tidak langsung direkam film. (Simonett et al, 1983) Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. (Estes dan Simonett, 1975) Didalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang dilakukan yaitu deteksi, identifikasi dan analisis. Deteksi berarti penentuan ada atau tidak adanya sesuatu obyek pada citra. Ia merupakan tahap awal dalam interpretasi citra, Keterangan yang diperoleh pada tahap deteksi bersifat global. Keterangan yang diperoleh pada tahap interpretasi selanjutnya yaitu pada tahap identifikasi, bersifat setengah rinci. Keterangan rinci diperoleh dari tahap akhir interpretasi, yaitu tahap analisis. (Lintz dan Simonett, 1976) Dalam interpertasi citra dikenal istilah unsur dan teknik intrepretasi. Unsur interpretasi adalah karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek. Unsur interpretasi citra terdiri dari Sembilan butir, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. Rona merupakan unsur dasar dalam interpretasi. Tiap
5
obyek tampak pertama pada citra berdasarkan rona atau warnanya, setelah rona atau warna yang sama dikelompokkan dan diberi garis batas untuk memisahkannya dari rona atau warna yang berlainan, barulah tampak bentuk, tekstur, pola, ukuran, dan bayangannya. Bersama-sama dengan asosiasi, situs dikelompokkan kedalam kerumitan yang lebih tinggi. Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam kaitannya degan lingkungan sekitarnya. Sedangkan asosiasi diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain.
Gambar 1.1 Susunan Hirarki Unsur Interpretasi Citra (Estes et al., 1983) 1.5.3
Citra Landsat 8 Landsat Data Continuity Mission (LDCM) berhasil diluncurkan NASA
pada tanggal 11 Februari 2013. Satelit ini mulai menyediakan produk citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa. NASA menyerahkan satelit LDCM kepada USGS sebagai pengguna data terhitung 30 Mei tersebut. Satelit ini kemudian lebih dikenal sebagai Landsat 8. Pengelolaan arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and Science (EROS) Center. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Resolusi temporal ini tidak berbeda dengan landsat versi sebelumnya.
6
Gambar 1.2 Satelit Landsat 8 Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1). Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1 diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978.
Generasi penerusnya, Landsat 2
diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22 Januari 1981. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983; Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012, USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5 generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999, masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003. Landsat 8 lebih cocok disebut sebagai satelit dengan misi melanjutkan landsat 7 dari pada disebut sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru pula. Ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip dengan landsat 7, baik resolusinya (spasial, temporal, spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa. Hanya saja ada beberapa tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit (rentang nilai Digital Number) dari tiap piksel citra.
7
Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup kemungkinan umur produktif landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang dicanangkan sebagaimana terjadi pada landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi.
Gambar 1.3 Citra pertama hasil rekaman Landsat 8 Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan landsat 7. Berikut tabel spesifikasi teknis dan julat spectral citra landsat 8 Tabel 1.1 Spesifikasi Teknis dan Julat Spektral Citra Landsat 8 Sensor
Panjang Gelombang
Resolusi
(micrometer)
Spasial
Nama Spektrum
(meter) Onboard
0.433-0.453
30
Ultra Biru
Operastional
0.450-0.515
30
Biru
0.525-0.600
30
Hijau
8
Land Imager
0.630-0.680
30
Merah
(OLI)
0.845-0.885
30
Inframerah dekat
1.560-1.660
30
SWIR 1
2.100-2.300
30
SWIR 2
0.5000-0.680
15
Pankromatik
1.360-1.390
30
Cirrus
Thermal Infrared
10.30-11.30
100
LWIR 1
Sensor (TIRS)
1150-12.50
100
LWIR 2
1.5.4
SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) SRTM merupakan citra yang saat ini banyak digunakan untuk melihat
secara cepat bentuk permukaan. SRTM mempresentasikan topografi bumi dengan cakupan global (80% luasan dunia). SRTM menggunakan teknologi Synthetic Aperture Radar (SAR). SAR adalah salah satu teknik pengambilan data menggunakan radar (Radio detection and ranging) yang menggunakan jendela yang sangat sempit. Teknik ini hanya digunakan oleh alat bergerak terhadap obyek yang relatif diam. Di remote sensing dan pemetaan SAR sangat umum digunakan. SRTM memiliki struktur data yang sama seperti format GRID lainnya, yaitu terdiri dari sel-sel yang setiap sel memiliki wakil nilai ketinggian. Nilai ketinggian pada SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS1984, bukan dari permukaan laut. Tapi karena datum WGS1984 hampir berimpit dengan permukaan laut maka untuk skala tinjau dapat diabaikan perbedaan diantara keduanya. Khusus untuk download, resolusi horizontal data SRTM adalah 90m. Perlu diingat bahwa data sebenarnya adalah 30m, tetapi direduksi menjadi 90m. SRTM memiliki beberapa kelebihan anatara lain:
Gratis, ini adalah kelebihan utama yang dimiliki SRTM. SRTM dapat didownload tanpa bayar.
Digital, SRTM dapat didownload dengan format HGT, ASCII, atau GEOTIFF, yang dapat dikonversi ke format yang diinginkan misalnya Grid ArcView
9
Resoulsi, Resolusi lumayan tinggi untuk sakala tinjau. Resolusi horizontal (yang bisa kita download untuk Indonesia) adalah 90m. Sedangkan untuk kelemahan SRTM adalah dalam pengambilan data
menggunakan RADAR, antara pesawat dan obyek harus tidak terhalangi. Untuk daerah yang bergunung hal ini sangat sulit dilakukan. SRTM memiliki 0.2% data yang tidak terliputi di muka bumi karena berupa pegunungan. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Salah satunya adalah dengan menggunakan algoritma otomatis dengan SRTM Filler. 1.5.5
Sistem Informasi Geografi SIG merupakan salah satu informasi yang menekankan pada unsur
informasi geografis. Sistem merupakan sekumpulan objek, ide, berikut interelasinya dalam mencapai tujuan atau sasaran bersama. Sistem digunakan untuk mendeskripsikan banyak hal, khususnya untuk aktivitas-aktivitas yang diperlukan pada pemrosesan data. Pengertian informasi geografis adalah informasi mengenai tempat-tempat yang terletak dipermukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu obyek terletak di permukaan bumi dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diketahui. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan memanipulasi objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. [Aronoff89]. Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentransformasi, memanipulasi, dan menganalisis data-data geografis. Secara lebih khusus, SIG adalah satu sistem yang powerful yang terdiri dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, dan prosedur-prosedur yang ditujukan untuk 10
mengumpulkan, menyimpan, memanggil, mentrasnfer, manipulasi, analisis, dan menampilkan data spasial dari permukaan bumi yang bereferensi geografi, untuk tujuan memecahkan masalah perencanaan dari yang sederhana sampai yang rumit (Antenucci dkk, 1991; Vieux and Needham, 1993; Burrough, 1993; dan FAO, 1998). SIG sangat membantu pekerjaan –pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang-bidang spasial dan geoinformasi. Dewasa ini hampir semua disiplin ilmu, terutama yang berkaitan dengan informasi spasial, menggunakan SIG atau formatformat yang kompatibel dengan SIG sebagai alat analisis dan representasi yang menarik. 1.5.6
Longsor Lahan Longsoran merupakan gerakan masa (mass movement) tanah atau batuan
pada bidang longsor potensial. Gerakan massa adalah gerakan dari massa tanah yang besar disepanjang bidang longsor kritisnya. Gerakan massa tanah ini merupakan gerakan melorot ke bawah dari material pembentuk lereng, yang dapat berupa tanah, batu, tanah timbunan atau campurn dari material lain. Bila gerakan masa tanah tersebut sangat berlebihan disebut longsor lahan (landslide). Longsoran ini merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah. (Menurut Sharpe dalamThornbury (Irianto,1987) longsor lahan merupakan gerakan massa batuan yang dapat membawa massa batuan, membawa bahan rombakan permukaan bumi yang relatif kering dan massa tersebut bergerak pada lereng dengan kemiringan sedang sampai curam. Banyak faktor penyebab longsoran seperti kondisi-kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca mempengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya longsoran. Sebab-sebab alami yang menggangggu kestabilan lereng, contohnya: pelapukan, hujan lebat atau hujan tidak begitu lebat tapi berkepanjangan, adanya lapisan lunak, dan lain-lain. Sebab-sebab yang terkait aktivitas manusia, contohnya: penggalian di kaki lereng, pembangunan di permukaan lereng, dan lain-lain.
11
Menurut Cruden dan Varnes (1992), karakteristik gerakan massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi lima macam: 1. Jatuhan (fall) Jatuhan adalah gerakan jatuh material (batuan) pembentuk lereng yang dapat berupa tanah atau batuan di udara dengan tanpa adaya interkasi antara bagian material-material yang longsor Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi pada lereng yang terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinyuitas). Jatuhan pada tanah biasanya terjadi bila material mudah tererosi terletak di atas tanah yang lebih tahan erosi 2. Robohan (topple) Adalah gerakan material lroboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang relatif vertical. Tipe gerakan hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan, adalah seperti halnya kejadian jatuhan batuan, yaitu air yang mengisi retakan. 3. Longsoran (slides) Adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah. Berdasarkan geometri bidang gelincir, terdapat 2 jenis bidang longsor (Broms, 1975) yaitu lngsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotational slides) dan longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran translasional (translasional slides). 4. Sebaran Merupakan termasuk longsoran translational dan disebut sebaran lateral (lateral spreading), adalh kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak di bawahnyha. Permukaan 12
bidang longsor tidak berada di lokais terjadinya gerakan terkuat. Sebaran dapat yterjadi akibat liquefaction tanah granuler atau keruntuhan tanah kohesif lunak di dalam lereng 5. Aliran (flows) Adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir seperti cairan kental. Gerakan material terjadi pada banyak bidang geser yang berbeda-beda dan masa yang bergerak mempunyai kadar air yang sangat tinggi. Tanah yang terganggu susunannya cenderung melonggar dan banyak menyerap air saat awal terjadinya longsoran. Longsoran tipe aliran dapat terjadi dalam bidang geser relative sempit, terutama daerah lembah yang diapit lereng curam ketika terjadi hujan lebat. Dwikorita (2002) dalam makalahnya menguraikan menguraikan kondisi lahan atau kawasan yang rawan akan longsor adalah sebagai berikut: Kondisi alamiah: 1. Kondisi lereng yang biasanya mempunyai kemiringan lebih dari dua puluh derajat. 2. Kondisi tanah atau batuan penyusun lereng, umumnya lereng yang tersusun oleh: 1) Tumpukan massa tanah gembur / lepas-lepas yang menumpang di atas permukaan tanah atau batuan yang lebih kedap dan kompak. 2)lapisan tanah atau batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng. 3. Adanya strruktur geologi yang miring searah dengan kemiringan lereng. Struktur geologi ini dapat berupa bidang-bidang lemah sehingga massa tanah sensitif bergerak disepanjang bidang-bidang lemah tersebut. 4. Kondisi hidrologi lereng, terutama kondisi aquifer dan kedudukan muka air tanah dalam lereng. 5. Kondisi dinamika lereng yang dapat dipengaruhi oleh: 1) Hujan (lamanya hujan dan curah hujan) yang dapat mengakibatkan kenaikan tekanan air pori di dalam tanah. 2) Hilangnya penahan lateral dan penahan di bagian bawah lereng. 3) Getaran gempa bumi.
13
Kondisi non alamiah: 1. Getaran-getaran misalnya getaran kendaraan atau getaran akibat penggalian pada lereng. 2. Bertambahna pembebanana pada lereng, misal adanya konstruksi bangunan atau meresapnya air dari permukaan. 3. Hilangnya penahan pada lereng karena penggalian di bawah lereng. Tim Bakornas (2005) menguraikan ciri-ciri daerah yang rawan akan longsor yaitu: 1. Daerah berbukit dengan kemiringan lereng lebih dari 20 derajat. 2. Lapisan tanah tebal di atas lereng. 3. Sistem tata air dan tata guna lahan yang kurang. 4. Lereng terbuka atau gundul. 5. Terdapat retakan pada bagian atas tebing. 6. Banyaknya mata air atau rembesan air pada lereng. 7. Adanya aliran sungai di dasar lereng. 8. Pembebanan yang berlebihan pada lereng seperti adanya bangunan atau sarana dan prasarana lainnya. 9. Pemotongan tebing untuk pembangunan rumah atau jalan. Upaya mengurangi tanah longsor: 1. Menutup retakan pada atas tebing dengan material lempung. 2. Menanami lereng dengan tanaman serta memperbaiki tata air dan lahan. 3. Waspada terhadap mata air atau rembesan pada lereng. 4. Waspada pada saat curah hujan yang tinggi pada waktu yang lama.
14
1.5.7
Penelitian Sebelumnya Decky Sayogo (2007), melakukan penelitian mengenai “Aplikasi
Penginderaan Jauh dan SIG Untuk Pemetaan Zonasi Kerentan Tanah Longsor di Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur”. Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor dengan pemanfaatan citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di kecamatan Plaosan, kabupaten .Magetan, provinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan yaitu pengharkatan/skoring pada tiap-tiap parameter yang digunakan. Ani
Haryati
(2008),
melakukan
penelitian
mengenai
“Aplikasi
Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Zonasi Kerentanan Tanah Longsor Di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta”. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui ketelitian citra Landsat untuk memetakan faktor-faktor penyebab longsor dan untuk mengetahui distribusi daerah-daerah yang rentan longsor di kabupaten Gunungkidul. Metode penelitian yang digunakan adalah Interpretasi citra Landsat dan overlay parameter-parameter penyusun tanah longsor. Yunita Surastuti (2010) melakukan penelitian mengenai “Pemanfaatan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografi Untuk Pemetaan Daerah Rawan Longsor Di Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri. Tujuan Penelitian adalah untuk memetakan kondisi fisik lahan yang berhubungan dengan terjadinya longsor dan untuk memetakan zona rawan longsor dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG di kecamatan Tirtomoyo. Metode penelitiannya dengan interpretasi citra ALOS dan overlay parameter penyusun tanah longsor. 1.5.8
Batasan Istilah
Penginderaan Jauh Penginderaan jauh ialah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. (Lillesand and Kiefer, 1979).
15
Sistem Informasi Geografi SIG adalah satu sistem yang powerful yang terdiri dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, dan prosedur-prosedur yang ditujukan untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil, mentrasnfer, manipulasi, analisis, dan menampilkan data spasial dari permukaan bumi yang bereferensi geografi, untuk tujuan memecahkan masalah perencanaan dari yang sederhana sampai yang rumit (Antenucci dkk, 1991; Vieux and Needham, 1993; Burrough, 1993; dan FAO, 1998). Kerawanan Merupakan ciri-ciri fisik atau karakteristik fisik dari kondisi suatu wilayah yang rentan terhadap suatu bencana tertentu. Istilah kerawanan adalah suatu tahap sebelum terjadinya bencana. (Scheinerbauer&Ehrlich,2004 dalam Sare, 2009) Longsor Lahan Longsor lahan adalah proses perpindahan atau pergerakan massa dengan arah miring atau vertical dari kedudukan semula sebagai akibat gaya berat atau proses perpindahan suatu massa batuan/ akibat gaya gravitasi. Bencana Bencana merupakan suatu kejadian alam yang mengganggu aktivitas manusia dan dapat menimbulkan kerugian baik berupa kehilangan harta, benda, jiwa, dan menimbulkan kerusakan.
16