BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana alam. Hal itu dilatarbelakangi oleh keberadaan Indonesia yang terletak di atas cincin gunung api (ring of fire) (Dulbahri 2011). Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang berlokasi di batas pertemuan empat lempeng besar dunia yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia serta satu lempeng mikro yaitu Lempeng Filipina (Sunardi dkk, 2012). Menurut Zen (Lembaga Penelitian dan Pengabdian ITB, 2010) lempenganlempengan di bumi tersebut terus bergerak, sehingga menimbulkan aktivitas geodinamik di pinggir lempeng.
Fenomena itulah yang mengakibatkan
konfigurasi bumi di wilayah Indonesia menjadi seperti sekarang ini. Selain itu, menurut Santoso Indonesia merupakan negara yang memiliki kegiatan geodinamik yang aktif, ditandai dengan banyaknya gunung api dan gempa bumi (Lembaga Penelitian dan Pengabdian ITB, 2010). Selain itu, menurut Dulbahri (2011), Indonesia juga memiliki karakteristik wilayah yang memiliki kerawanan terhadap bencana lainnya seperti (1) iklim kemarau dan hujan yang terkadang ekstrim, (2) topografi beragam dari daratan hingga pegunungan (0 sampai ≥ 6000 Mdpl), (3) populasi penduduk yang bertambah relatif cepat, ragam etnik, adat istiadat dan agama, (4) sebagian kota besar berada di wilayah dataran kaki gunung api dan pesisir dan karakter yang ke (5). Memiliki jumlah kepulauan yang banyak, terdapat 13.466 pulau
1
(Menkokesra, 2012) yang mana panjang garis pantainya mencapai 95.181 km (Mukhtar, 2009). Karakter tersebut berperan menjadikan Indonesia sebagai wilayah rawan bencana. Dalam sejarah, tercatat beberapa bencana besar di Indonesia, di antaranya letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi pada tahun 1815. Letusan gunung tersebut mengeluarkan 1,7 ton abu dan material vulkanik, sebagian dari material tersebut membentuk lapisan di atmosfir. Akibatnya, sinar matahari yang masuk melalui atmosfir dan sampai ke permukaan bumi berkurang, sehingga Bumi tidak menerima panas matahari yang cukup, akhirnya, muncul hawa dingin pada tahun 1816 dan terjadi gagal panen serta kelaparan di banyak tempat (Badan Nasional Penaggulangan Bencana, 2009). Pada tahun 1883 terjadi bencana lain yaitu letusan Gunung Krakatau. Erupsi gunung ini diperkirakan memiliki kekuatan setara dengan 200 megaton Trinitrotoluene (TNT) atau kira-kira 13.000 kali kekuatan ledakan bom atom yang menghancurkan Hiroshima pada Perang Dunia ke-2 (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2009) Semenjak bulan Agustus tahun 1945 sampai bulan Juli 2013 di Indonesia, terjadi 1366 kali gempa. Dengan klasifikasi skala 5 sampai 9,5 SR. Kejadian gempa terdata pada kedalaman antara 1 sampai 1000 km berlokasi di antara 6º Garis Lintang Utara sampai 11º Garis Lintang Selatan dan 142º Garis Bujur Timur sampai 94º Garis Bujur Timur. Pada kurun waktu yang sama, telah terjadi gempa bumi yang diikuti oleh tsunami sebanyak 53 kali (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2013).
2
Di awal abad ke-21, Indonesia mengalami berbagai bencana alam. Bencana mempengaruhi kehidupan dan mendatangkan kerugian pada manusia, baik secara materi ataupun mental. Bencana yang datang silih berganti telah memporak-porandakan sendi kehidupan masyarakat (Anonim, 2007). Bencana yang pernah terjadi pada awal abad ini antara lain: bencana gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh, pada tahun 2004. Akibat bencana tersebut sekitar 160.000 jiwa meninggal dunia (Jayasuriya dkk, 2010). Selain itu, dampak bencana tersebut mengakibatkan lima macam cagar budaya hilang, yang terdiri dari kompleks makam, sarana ibadah, sarana pendidikan, gedung perkantoran, dan sarana umum (Marduati, 2011). Pada tahun 2006 terjadi gempa bumi di Yogyakarta. Akibat bencana tersebut lebih dari 6.000 jiwa meninggal dunia (Daryono, 2010; Rakhman dan Kuswardani, 2012). Selain itu, akibat bencana juga terdapat 42 cagar budaya yang rusak, baik bangunan peribadatan, sarana perlindungan atau keamanan, sarana transportasi, rumah tinggal maupun sarana rekreasi (Tim Pengabdian Kepada Masyarakat, 2006). Secara khusus bencana gempa bumi tersebut juga membawa
dampak
kerusakan
pada
cagar
budaya
Candi
Prambanan
(Suryolelono, 2009; Adrisijanti dkk, 2011). Pada tahun 2010, terjadi Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Akibat bencana tersebut 242 jiwa meninggal di Yogyakarta dan 97 jiwa meninggal di Jawa Tengah (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2011). Menurut Wahyuni (2011) erupsi Merapi yang mengandung
senyawa-senyawa
asam
(yang
dominan
asam
sulfat)
mengakibatkan kekusaman pada permukaan batu Candi Borobudur, hal
3
demikian dapat mengakibatkan percepatan pelapukan yang dipicu oleh reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis adalah reaksi karena adanya air, yang dipercepat oleh adanya asam (Wahyuni, 2011). Berdasarkan penyebabnya, bencana dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni bencana yang datang dari alam dan dari prilaku manusia. Pendapat ini didukung juga oleh Dulbahri (2011) yang menyatakan bahwa selain alam, manusia juga dapat menjadi pemicu bencana. Dalam konteks transformasi data arkeologi atau perubahan cagar budaya, bencana oleh alam termasuk Noncultural atau N-transform sedangkan, bencana karena ulah manusia termasuk Cultural atau C-transform (Tanudirjo, 2009) Klasifikasi N-Transform di antaranya; 1. Earth Moving (Gerakan Tanah) dapat berupa Longsor, gempa tektonik, kembang-kerut tanah, pengangkatan dan pelipatan. 2. Volcanism (Gunung Api) dapat berupa Lahar panas, lahar dingin, awan panas, materi erupsi yang mengubur, gempa volkanik, api. 3. Eolian (Gerakan Angin) dapat berupa Puting beliung (Tornado), hujan badai (Hurricane), erosi angin, hujan asam, hujan petir, pasir gerak, api. 4. Hydrological Process (Gerakan Air) dapat berupa erosi air, abrasi daerah pantai, banjir, tsunami, pelarutan di kawasan karst, glasiasi, dan 5. Fauna-Flora (Hewan-Tanaman) Pembuatan liang, trampling, scavenging, tanaman tumbuh, belitan akar tunjang, kerusakan oleh jasad renik dan jamur (Tanudirjo, 2009). Klasifikasi C-Transform di antaranya : 1. Kegiatan Pembangunan yang berupa Perubahan lahan, pendirian fasilitas umum (dam, irigasi, jalan, pasar, menara komunikasi), korporat maupun pribadi (rumah, perumahan, mall, pabrik), penggusuran, penambangan, penimbunan sampah, pembuangan limbah, wisata
4
masal. 2. Vandalisme dapat berupa perang, serangan teroris, sabotase, konflik antar kelompok, penggalian liar, pencurian. 3. Perilaku budaya dapat berupa Kebiasaan
mengganti
(replacement),
meninggalkan
(abandonment),
konsumerisme. 4. Keteledoran dapat berupa api, salah (re)konstruksi, kurang pengamanan (Tanudirjo, 2009). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, akibat dari bencana terhadap cagar budaya adalah rusak dan hilang. Padahal, cagar budaya memiliki ikatan dengan masyarakat, yakni sebagai identitas budaya mereka. Bencana dapat memicu rusak dan hilangnya budaya kebendaan, sehingga masyarakat tidak dapat mengenali lagi identitas mereka di masa mendatang. Secara formal, menurut Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan. Dalam hal ini, cagar budaya dapat berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya. Cagar budaya tersebut dapat ditemui di darat dan di air, yang perlu dilestarikan keberadaannya. Hal tersebut dilakukan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dalam UU No. 11 Tahun 2010, beragam cagar budaya diberikan pengertian sebagai berikut; Benda cagar budaya adalah benda yang memiliki kaitan dengan warisan budaya kebendaan yang merupakan kesatuan atau kelompok.Benda cagar budaya terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia serta sisa-sisa biota yang berhubungan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia.
5
Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.Bangunan cagar budaya dapat berunsur tunggal atau banyak dan/atau berdiri bebas atau menyatu pada formasi alam. Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.Struktur cagar budaya ini dapat berunsur tunggal atau banyak dan/atau sebagian atau keseluruhan-nya menyatu dengan alam. Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat atau di air yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian masa lalu. Kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau yang lebih letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Berdasarkan laporan pada tahun 2011 di Indonesia diketahui bahwa terdapat sebanyak 9,262 BCB/Situs (baca: cagar budaya) tidak bergerak dan 34,143 BCB/Situs bergerak (Guntur, 2011). Akan tetapi, saat ini tidak ada data terbaru yang lebih akurat, tentang jumlah cagar budaya yang ada di Indonesia. Namun, dari data tahun 2011 tersebut tidak dapat disangkal lagi negara ini sangat kaya cagar budaya ataupun objek yang diduga sebagai cagar budaya. Selain itu, bukti keberadaan cagar budaya dapat dilihat di berbagai museum yang tersebar di banyak tempat. Bukti lain adalah banyaknya lembaga yang dibentuk untuk mengurusi cagar budaya baik di daerah maupun di pusat. Sejarah panjang perkembangan budaya di Indonesia, telah meninggalkan beragam cagar budaya dari Masa Prasejarah hingga Masa Kolonial. Beberapa di antaranya bahkan telah dimasukkan dalam daftar Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, seperti Sangiran Early Man Site (no. 593), Borobudur Temple Compound (no. 592), dan Prambanan Temple Compound (no 642), informasi tentang status warisan budaya dunia tersebut dapat dilihat dalam daftar world heritage list di 6
website
(lihat:http://whc.unesco.org/en/statesparties/ID/).
Selain
itu,
masih
banyak lagi cagar budaya dari berbagai masa di Indonesia, baik berupa punden berundak berlatar belakang Masa Prasejarah candi-candi berlatar belakang Hindu maupun Budha, mesjid-mesjid kuno, kraton atau pusat kerajaan khususnya dari Masa Pengaruh Islam, tinggalan berupa prasasti-prasasti yang penting dalam mengungkap sejarah di Kepulauan Indonesia, serta kota tua atau kota bersejarah dari Masa Kolonial. Kekayaan cagar budaya tersebut, tentu tidak luput dari ancaman bencana yang sering terjadi di negara kepulauan ini. Tingginya frekuensi serta besarnya dampak bencana yang terjadi di Indonesia memunculkan potensi kehilangan cagar budaya bagi masyarakat dan Bangsa Indonesia. Padahal sejarah pelestarian warisan budaya di negeri ini sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama sejak awal abad ke-18 hingga 1990-an. Dalam tahap perkembangan tersebut dinamika terjadi cenderung pada perkembangan teori serta pendekatan keilmuan. Fenomena kebencanaan pada cagar budaya di Indonesia belum dilirik sebagai salah satu perhatian, sehingga tidak ada catatan yang merekam bagaimana cagar budaya yang sesungguhnya merupakan sumber data keilmuan tersebut, dapat dikelola dalam ranah manajemen kebencanaan. Sayangnya, hingga saat ini di Indonesia, belum ada mekanisme yang komprehensif mengenai manajemen cagar budaya dalam penanggulangan kebencanaan. Dengan demikian, potensi kehilangan akan cagar budaya menjadi tinggi, kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi upaya-upaya pelestarian cagar budaya. Meskipun dalam dasawarsa terakhir telah muncul kesadaran tentang pentingnya manajemen kebencanaan terhadap cagar budaya, tetapi masalah ini
7
belum dikaji dengan baik. Terkait dengan kondisi ini, karya ilmiah ini mencoba untuk melakukan kajian terhadap penanganan atau manajemen kebencanaan pada cagar budaya. Kajian ini akan menggunakan studi kasus terhadap penanganan yang terjadi di Kota Padang, yang pada tahun 2009 mengalami Bencana Alam Gempa Bumi, sehingga membawa dampak terhadap cagar budaya di kota tersebut, dampaknya berupa kerusakan bahkan hilang.
B. Permasalahan Kota Padang merupakan pusat kegiatan nasional (PKN) karena kota ini mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong kemajuan
daerah sekitarnya
(Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 14 butir 3). Di kota ini terdapat 74 cagar budaya yang dilindungi, tindakan penetapan dalam bentuk Perwako No. 03 Tahun 1998 Tentang Benda Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang belum diikuti dengan peraturan daerah (Perda) baik yang mengatur penanganan maupun pengelolaannya. Pada tahun 2009, di Sumatera Barat terjadi gempa dengan skala 7,6 SR. Gempa tersebut telah memberikan dampak berupa kerusakan atau perubahan fisik pada cagar budaya. Dampak gempa terhadap cagar budaya, telah ditanggapi dengan langkah penanganan bencana oleh pihak-pihak terkait dengan cara-cara tertentu. Namun, hingga saat ini belum ada upaya baik untuk menilai atau mengevaluasi hasilnya maupun cara-cara penanganan cagar budaya dalam bencana yang telah diterapkan. Dengan alasan itulah, maka dalam karya tulis ini dicoba dilakukan kajian untuk menjawab dua pertanyaan utama, sebagai berikut:
8
1. Bagaimanakah hasil penanggulangan kebencanaan cagar budaya yang dilakukan di Kota Padang? 2. Bagaimanakah standard penanggulangan kebencanaan cagar budaya yang seharusnya diterapkan?
C. Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan, maka penelitian dimulai dari persiapan hingga pengumpulan data di lapangan, proses penelitian dilakukan selama empat bulan dari bulan Desember tahun 2012 hingga bulan April tahun 2013. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian dengan cara ini dilakukan karena lebih bersifat alamiah, dan mencoba mengetahui fenomena dan peristiwa yang terjadi terhadap objek penelitian (Neville, 2007). Menurut Creswell (1997) penelitian kualitatif adalah penelitian yang berangkat dari pertanyaan bagaimana atau apa, dari hasilnya akan diketahui hal yang telah atau sedang berlangsung, selain itu penelitian seperti ini bersifat eksplorasi dan di mana hasilnya tidak mudah diidentifikasi, sehingga teori-teorinya perlu dikembangkan, untuk itu diperlukan beberapa sisi pandang untuk menjelaskan topik permasalahan (Creswell, 1997). Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menemukan hubungan antara manajemen cagar budaya dan manajemen kebencanaan, dan bertujuan mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan dalam penanggulangan dan penanganan bencana pada cagar budaya. Guna mendapatkan data yang memadai maka, penulis melakukan pengumpulan data, berupa data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari hasil observasi cagar budaya dan lingkungannya yang ada di Kota Padang serta wawancara dengan stakeholder 9
(terlampir). Data sekunder terdiri dari data demografi, data geografi, data geologi, data sejarah, data inventaris dan penetapan cagar budaya Kota Padang serta laporan penanganan bencana pada objek cagar budaya. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dilakukan beberapa langkah. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: mengidentifikasi pemilik data di lokasi penelitian, mempersiapkan surat izin penelitian, dan melakukan observasi ke lokasi penelitian. Setelah terkumpul data primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan identifikasi dan klasifikasi, sehingga data tersebut dapat digunakan sebagai bahan deskripsi serta analisis.
Data yang
telah didapat dari hasil observasi dan studi pustaka yakni foto, catatan lapangan, koordinat cagar budaya, hasil wawancara, buku, makalah, jurnal, peta, dan laporan. Data tersebut diolah hingga menghasilkan bentuk data teks, peta sebaran cagar budaya, peta penaksiran resiko bencana, dan tabel, diagram, serta foto pada cagar budaya. Khusus data tabel, diagram dan foto terdiri dari, variabel yang didapat dari laporan penanganan bencana pada cagar budaya. Untuk penyajian informasi terkait dengan alur proses dalam penulisan ini, penelitian akan menggunakan permodelan atau process. Menurut Frank dan L.M Gilbret (1921), the process chart is a device for visualing a process as a means of improving it. Proses yang telah dimodelkan masing-masing akan terlihat dalam bentuk flow chart, tujuannya untuk memudahkan dalam membaca informasi dan menghasilkan rekayasa model baru. Hasil rekayasa tersebut, akan digunakan sebagai alat analisis untuk merekomendasi kegiatan manajemen kebencanaan cagar budaya selanjutnya di Kota Padang.
10
Data yang telah terkumpul dari penelitian akan disajikan dalam pembahasan, khususnya pada Bab III dalam karya ilmiah ini, informasi yang disajikan adalah gambaran umum lokasi penelitian, yang terdiri atas kondisi geografis kota dan sejarah kota, serta kegiatan manajemen kebencanaan pada cagar budaya. informasi tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Selain analisis di atas, pada penelitian ini juga digunakan analisis sejarah. Menurut Lemon (2003) historical analysis are the work and thinking that goes into attempts to generalize from particulars in order to arrive at useful notions about past
phenomena
maksudnya
dari
analisis
sejarah
adalah
cara
untuk
menjelaskan fenomena di masa lalu dengan memakai hasil dan pemikiran yang telah ada. Pada karya ilmiah ini, diinformasikan bagaimana Kota Padang tumbuh di masa lalu serta bagaimana kota ini berkembang dalam beberapa hal, seperti pembangunan sarana perkotaan, bencana yang pernah ada, hal ini dilakukan karena sejarah tersebut memiliki hubungan penting dengan eksistensi cagar budaya. Maka, dalam melakukan rekonstruksi sejarah tersebut digunakan analisis sejarah. Pada Bab IV, terurai analisis perbandingan atas beberapa bentuk manajemen kebencanaan pada cagar budaya, yang mana bentuk tersebut telah diuraikan sebelumnya pada Bab II. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui bentuk ideal manajemen kebencanaan cagar budaya, hal itulah yang dimaksud dengan rekayasa model. Dalam menjelaskan hasil rekayasa tersebut, dibantu dengan data dan analisis dari bidang geografi, yakni spatial analysis. Menurut de-Smith dkk (2013) analisis ini ditinjau dari: “Spatial autocorrelation is the degree of relationship between spatial variables, when one changes, the other also change, can either be in the 11
same direction, which is a positive auto correlation, or negative autocorrelation” (de-Smith dkk, 2013). Data spatial berawal dari informasi yang bisa didapat pada peta rupa bumi, peta geologi, serta peta tematik lainnya, data peta mengandung variable-variable yang dijadikan sebagai informasi. Informasi yang didapat pada peta bersifat terhubung satu dan lainnya, apabila terjadi perubahan, maka hal lain dalam peta ikut berubah secara otomatis. Dalam hal ini tidak semua informasi yang terdapat pada masing-masing peta digunakan, hanya sebagian saja yang digunakan sebagai bahan dasar dalam menganalisis situasi cagar budaya secara spatial.
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan memiliki manfaat terhadap nilai akademis dan praktis. Kontribusi terhadap aspek akademis dapat berupa gambaran
tentang
manajemen
kebencanaan
cagar
budaya,
selain
itu
memberikan perspektif baru dalam ranah penanggulangan dan penanganan bencana secara umum dan bencana pada cagar budaya secara khusus. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi penting bagi peminat, perbandingan bagi peneliti lainnya, dan penyanggahan atau kajian dalam manajemen cagar budaya di Indonesia. Untuk kontribusi terhadap aspek praktis adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan, pertimbangan dan masukan bagi para pihak yang terlibat serta berkepentingan dalam hal pengelolaan dan penanganan sumber daya cagar budaya, kebencanaan atau bidang-bidang ilmu yang memiliki keterkaitan dengan bidang kearkeologian dan bencana. Bidang kearkeologian yang dimaksud adalah bidang yang memiliki hubungan dengan tinggalan
12
purbakala yang saat ini dikenal dengan istilah cagar budaya menurut UndangUndang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Selain itu, penelitian ini akan bermanfaat khususnya pada bidang manajemen kebencanaan cagar budaya.
13
14