BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam dua dekade terakhir, Republik Rakyat Cina menunjukkan perkembangan yang signifikan sebagai sebuah kekuatan baru dunia. Reformasi dan liberalisasi yang dilakukan Deng Xiaoping selama masa pemerintahannya (1978-1992) membawa Cina menuju arah yang lebih efisien dan liberal.1 Perkembangan positif tersebut terjadi di hampir segala sektor pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi, seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan GDP (Gross Domestic Products) sebesar rata-rata 9,1% per tahun pada rentang waktu tahun 1989 hingga 2014.2 Ini merupakan hasil dari politik pintu terbuka (open door policy) Cina yang menunjukkan semakin pesatnya perubahan dalam hal keterbukaan negeri ini dalam hubungannya dengan negara-negara lainnya. Reformasi kebijakan pun dilakukan untuk mendukung semakin meningkatnya ekonomi Cina. Salah satu tujuan dari reformasi kebijakan tersebut ialah untuk mendorong masuknya investasi asing demi peningkatan ekonomi Cina.3 Pada saat yang bersamaan, Cina juga mulai mengurangi kontrol terhadap para petani dan merangsang jiwa wirausaha rakyat. Hasilnya rakyat Cina mulai bebas menanamkan modalnya pada sektor-sektor industri yang kemudian tumbuh kuat menjadi mesin perekonomian Cina.4 Pertumbuhan ekonomi Cina yang luar biasa yang ditopang oleh perindustrian telah memungkinkannya untuk mencapai kemajuan sosial, memperkuat posisi geopolitik, sekaligus memperkuat strategi politik kepemimpinan domestik. Namun tak dapat dihindari, kemunculan industri-industri tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan energi Cina. International Energy Agency (IEA) memperkirakan bahwa pasca era pemerintahan Deng, impor minyak Cina akan melampaui impor negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). 5 Edisi 1998 dari IEA World Energy Outlook
1
T. G. Rawski, ‘The Rise of China’s Economy’, Foreign Policy Research Institute (daring), June 2011,
, diakses 4 November 2014. 2 ‘China GDP Annual Growth Rate’, Trading Economics (daring), , diakses 4 November 2014. 3 H. Xiao, ‘Hu: A developing China will benefit global businesses’, China Daily, 16 May 2005, , diakses 4 November 2014. 4 L. Brandt & T. G. Rawski, ‘China’s Great Economic Transformation,’ dalam L. Brandt & T. G. Rawski (eds.), China’s Great Economic Transformation, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, p. 10. 5 International Energy Agency, World Energy Outlook 1999 Insights, IEA, Paris, 1999, p. 28.
menunjukkan bahwa minyak yang menempati porsi sebesar 20% dari konsumsi energi komersial Cina pada tahun 1996, akan meningkat menjadi hampir 26% pada tahun 2020 dengan jumlah impor sebesar 8 juta barel per hari atau 400 juta ton per tahun. Proyeksi ini melampaui proyeksi impor bersih negara-negara OECD Pasifik (Jepang, Korea, Australia, dan Selandia Baru) digabungkan. 6 Kebutuhan energi ini akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi Cina. Saat ini Cina merupakan konsumen minyak terbesar kedua di dunia dan pengimpor minyak terbesar kedua dunia.7 Untuk menjamin keberlangsungan kegiatan ekonomi Cina, pemerintah harus mengusahakan ketersediaan energi. Sebuah negara dikatakan memiliki energy security ketika manajemen pasokan dan permintaan energi mampu melayani tujuan pengembangan ekonomi dan masyarakatnya. 8 Sebelum tahun 1993, jumlah produksi dan ekspor minyak Cina lebih besar dibandingkan dengan jumlah impornya. Sebagian besar minyak yang diekspor tersebut diperoleh dari ladang minyak Daqing di penjuru timur laut Cina.9 Seiring berjalannya waktu, persediaan minyak di Daqing semakin menipis sehingga produksi minyaknya tidak lagi mampu mengimbangi permintaan energi untuk industri Cina yang semakin meningkat, dan selanjutnya berdampak terhadap penurunan jumlah ekspor minyak Cina. Tahun 1993 menjadi krusial karena untuk pertama kalinya Cina menjadi net oil importer. 10 Perubahan ini menunjukkan bahwa kondisi self-sufficient energi Cina telah berubah. Perubahan ini menyebabkan energy security menjadi salah satu prioritas politik luar negeri Cina sejak tahun 1993. Impor minyak menjadi salah satu cara yang dipilih oleh pemerintah Cina untuk memastikan ketersediaan pasokan energi yang mencukupi kebutuhan Cina. Sebagai bagian dari pencarian solusi energy security, Cina mulai menerapkan strategi ‘going out’ (zou chuqu) pada masa pemerintahan Jiang Zemin. Melalui strategi ‘going out’, pemerintah mendorong perusahaan-perusahaan nasional Cina untuk meningkatkan investasinya di luar negeri. Kaitan strategi ini dengan energy security adalah untuk memastikan energy security, Cina memerlukan akses terhadap pasar internasional untuk 6
International Energy Agency, China’s Worldwide Quest for Energy Security, IEA, Paris, 2000, p. 7. U.S. Energy Information Administration, China (daring), 4 February 2014, , diakses 17 Juni 2014. 8 Z. Daojiong & S. Breslin, ‘Oiling the wheels of foreign policy? Energy security and China’s international relations’, dalam S. Breslin (ed.), Handbook of China’s International Relations, Routledge, London, 2010, p. 65. 9 H. Timmons, ‘The massive, aging oil fields at the heart of China’s latest corruption purge’, Quartz (daring), 4 September 2013, , diakses 18 November 2014. 10 Net oil importer adalah sebuah kondisi dimana nilai impor minyak di suatu negara atau kawasan lebih tinggi dibandingkan nilai ekspornya dalam sebuah periode waktu tertentu. 7
mendapatkan minyak dan gas alam dalam jumlah yang lebih besar. Oleh sebab itu Cina mulai melakukan pendekatan intensif dan menanamkan investasi di berbagai kawasan, terutama di negara-negara penghasil minyak yang potensial untuk dijadikan pasar bagi barang-barang produksinya sekaligus sebagai pemasok kebutuhan energi Cina. Pendekatan ini ditandai dengan semakin meningkatnya kunjungan pemimpin Cina ke kawasan-kawasan penghasil minyak seperti Timur Tengah, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. 11 Perusahaan minyak nasional Cina berkembang pesat di kawasan-kawasan tersebut dengan membeli aset minyak dan gas melalui akuisisi langsung pinjaman ekuitas dan finansial dengan imbalan pasokan minyak untuk mengamankan pasokan minyak dan gas Cina yang lebih banyak, membuat investasi komersial jangka panjang, dan mendapatkan keahlian teknis.12 Permasalahan
energy
security
menjadi
menarik
ketika
penulis
mencoba
mengaitkannya dengan cita-cita Cina untuk menjadi responsible great power. Pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat pesat memunculkan kekhawatiran dari berbagai negara di dunia bahwa Cina berpotensi menjadi ancaman bagi negara-negara lain. Pandangan ini, yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘The China Threat Theory’, muncul terutama dari negaranegara Barat yang melihat Cina yang semakin kuat memiliki kemungkinan untuk mengacaukan keamanan regional. 13 Pertumbuhan ekonomi berpotensi mengubah populasi besar Cina yang awalnya merupakan kelemahan menjadi kekuatan, dan membuat Cina mampu mengembangkan kemampuan teknologi dan militer. Desakan kebutuhan akan energy security yang semakin besar serta kemunculan ‘China Threat Theory’ terjadi secara berurutan, sehingga pemerintah Cina harus melakukan sesuatu untuk menunjukkan bahwa Cina telah berubah menuju responsible great power. Merespon pandangan tersebut, pemerintah Cina telah mengatur kampanye untuk meredakan kekhawatiran sekaligus meyakinkan negara-negara tetangganya di Asia, Amerika Serikat, dan seluruh dunia bahwa bersamaan dengan semakin kuatnya Cina, ia akan berperilaku kooperatif dan bahwa Cina adalah “responsible great power”. 14 Cina mengatakan ini karena setelah dua puluh tahun reformasi dan membuka diri, Cina telah menjadi insider dalam sistem internasional dan ingin bekerja untuk mempertahankan sistem. Cina juga semakin menerima nilai-nilai dari sistem internasional dan bertindak 11
E. S. Medeiros, China’s international Behavior: Activism, Opportunism, and Diversification, RAND Corporation, Santa Monica, 2009, p. 74. 12 International Energy Agency, China – Overview/Data (daring), , diakses 4 November 2014. 13 D. Roy, ‘The “China Threat” Issue: Major Arguments’, Asian Survey, vol. 36, no. 8, August 1996, p. 758. 14 S. L. Shirk, China: Fragile Superpower, Oxford University Press, New York, 2007, p. 106.
mendukung pengaturan internasional yang ada. Hal ini kemudian berkaitan dengan salah satu prioritas utama dari politik luar negeri yang dijalankan Cina, yakni memperoleh respect dan international status. Salah satu bentuk nyata dari usaha transisi Cina menuju resposible great power adalah menjadikan strategic partnership sebagai praktik kebijakan luar negeri Cina sejak tahun 1990-an. 15 Pada saat itu, kebijakan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan kerjasama bilateral tingkat tinggi Cina dengan negara-negara lain. Selanjutnya, Cina mengkampanyekan prinsip Peaceful Development yang dicetuskan oleh Hu Jintao dalam politik luar negerinya. Melalui prinsip Peaceful Development, Cina ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya merupakan kekuatan baru yang berbeda dengan kekuatankekuatan besar lainnya. Jika pada zaman dahulu banyak negara yang menjadi great power melalui cara invasi, kolonialisasi, ekspansi, atau bahkan perang, Cina ingin menekankan bahwa kemunculannya sebagai kekuatan baru didorong oleh modal, teknologi, dan sumber daya yang diperoleh melalui cara-cara yang damai.16 Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh energy security terhadap cita-cita Cina menjadi responsible great power. Skripsi ini akan berusaha untuk membahas bagaimana desakan untuk memastikan energy security mempengaruhi langkah-langkah dan kebijakan yang diambil Cina, terutama pada masa pemerintahan Jiang Zemin (1993-2003) dan Hu Jintao (2003-2013). Selanjutnya penulis akan mencoba mengaitkan bagaimana langkah-langkah dan kebijakan tersebut digunakan untuk menunjukkan kepada negara-negara lain bahwa Cina telah berubah dan berkeinginan untuk menjadi responsible great power.
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis mengajukan satu pertanyaan penelitian: Sejauh mana Energy Security mendorong kebijakan luar negeri Cina untuk menjadi Responsible Great Power?
C. Landasan Konseptual Perspektif yang akan digunakan penulis dalam skripsi ini adalah perspektif liberalisme dalam ilmu HI. Beberapa konsep dasar dari perspektif ini antara lain: pertama, 15
Z. Baohui, ‘Chinese Foreign Policy in Transition: Trends and Implications’, Journal of Current Chinese Affairs, vol. 39, no. 2, 2010, p. 45. 16 Z. Bijian, ‘China’s “Peaceful Rise” to Great-Power Status’, Foreign Affairs, vol. 84, no. 5, SeptemberOctober 2005, p. 20.
negara adalah pelaku utama dalam sistem internasional, namun negara tidak unitary dan politik domestik merupakan hal yang penting karena kelompok-kelompok domestik menentukan kebijakan negara; kedua, ada faktor-faktor di luar kemampuan yang membatasi perilaku negara; dan ketiga, kepentingan negara ada banyak dan berubah-ubah.
17
Kepentingan dikejar (baik secara kompetitif maupun kooperatif) melalui institusi (formal dan informal) seperti pasar, asosiasi, networks, perusahaan, dan lain-lain. Kerjasama mendominasi dalam dunia yang interdependen sehingga membuat negara tidak bisa lagi menutup diri dari dunia internasional.18 Dalam konteks Cina, perspektif ini digunakan untuk melihat keterbukaan Cina terhadap negara-negara lain dimana untuk mengejar kepentingan energy security, Cina membuka dirinya terhadap interaksi dan kerjasama dengan negaranegara penghasil minyak. Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan penelitian penulis akan menggunakan dua konsep yakni: 1. Energy Security Energy security mengacu pada ketersediaan pasokan energi yang dapat diandalkan, stabil, dan berkelanjutan dengan biaya yang terjangkau. Energy security memiliki banyak aspek, terutama dalam jangka panjang dan jangka pendek. Energy security jangka panjang terkait dengan investasi tepat waktu untuk memasok energi yang sejalan dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan lingkungan. Di sisi lain, energy security jangka pendek berfokus pada kemampuan sistem energi untuk bereaksi secara cepat terhadap perubahan mendadak dalam keseimbangan supply-demand. 19 Energy security (neng anquan) juga dapat didefinisikan sebagai kebutuhan untuk mendapatkan pasokan energi yang cukup dan stabil dengan harga yang sesuai dan dalam kondisi yang tidak membahayakan ‘nilai-nilai dan tujuan nasional’.20 Menurut Asia Pacific Energy Research Centre (APERC), beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami energy security yang biasa disebut sebagai ‘The 4 A’s’, antara lain:21
17
E. van de Haar, Classical Liberalism and International Relations Theory, Palgrave Macmillan, New York, 2009, pp. 31-34. 18 M. Mas’oed, Teori HI dalam Perspektif Liberal, Materi Kuliah ke-4 Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2013. 19 International Energy Agency, Energy Security (daring), , diakses 19 Oktober 2014. 20 D. Yergin, ‘Energy Security in the 1990s’, Foreign Affairs, vol. 67, no. 1, Fall 1988, p. 111. 21 Asia Pacific Energy Research Centre, A Quest for Energy Security in the 21st Century: Resources and Constraints, APERC, Tokyo, 2007, p. 1-2.
a. Ketersediaan sumber daya energi (Energy resource availability) Meliputi sumber daya energi konvensional, non-konvensional, dan terbarukan. Dalam skripsi ini, indikator availability dibatasi pada ketersediaan sumber daya energi minyak saja. Indikator ini mengacu pada jumlah pasokan sumber energi minyak dari sumber cadangan yang dikenal.22 Mengingat status Cina sebagai net oil importer, sumber cadangan yang dimaksud adalah sumber minyak di luar negeri yang berasal kawasan-kawasan penghasil minyak dunia seperti Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tengah. Ketersediaan sumber daya minyak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti infrastruktur penambangan dan pengilangan minyak, serta infrastruktur transportasi minyak dari wilayah sumber ke Cina. b. Hambatan aksesibilitas (Accessibility barriers) Selain ketersediaan sumber daya energi, kemampuan untuk mengakses sumber daya merupakan salah satu tantangan utama untuk mengamankan pasokan energi untuk memenuhi pertumbuhan permintaan di masa mendatang. Indikator accessibility digunakan untuk menggambarkan hambatan yang ada dalam upaya pengadaan sumber energi, termasuk hambatan untuk mengeksploitasi dan mengembangkan sumber daya yang tersedia. Hambatan aksesibilitas pasokan energi meliputi faktor ekonomi, faktor politik, dan teknologi. 23 Dalam kasus Cina, hambatan aksesibilitas sumber daya minyak meliputi hambatan yang dapat bersumber dari geopolitik, kendala keuangan dan manusia, rezim fiskal, dan kebutuhan akan infrastruktur utama dan penyebaran teknologi yang memadai. Kesulitan dalam mengakses sumber daya memiliki baik dimensi politik maupun fisik, yang menggambarkan kemungkinan tumpang tindih antara variabel availibility dan accessibility.24 c. Penerimaan lingkungan (Environmental acceptability) Indikator ini menyangkut pada masalah penerimaan oleh lingkungan dan keselamatan yang muncul akibat keberadaan sumber daya energi. Tren permintaan energi diperkirakan dapat meningkatkan dampak lingkungan yang berhubungan dengan energi. Dalam kasus Cina, variabel ini dapat dilihat dari 22
L. Hughes & D. Shupe, Creating Energy Security Indexes with Decision Matrices and Quantitaive Criteria, Dalhousie University, Halifax, 2010, p. 3. 23 Asia Pacific Energy Research Centre, p. 17. 24 B. Qureshi & H. Sonnsjö, Securitizing Energy: An Integrated Approach Towards A Secure Energy System, School of Business, Economics, and Law of University of Gothenburg, Gothenburg, 2011, p. 4.
berbagai studi kelayakan yang dilakukan oleh Cina sebelum mengeksplorasi sumber energi di suatu kawasan, serta kebijakan yang diterapkan oleh Cina di kawasan penghasil minyak yang melibatkan unsur-unsur lingkungan dan sosial. d. Keterjangkauan biaya investasi (Investment cost affordability) Affordability merujuk pada kemampuan konsumen untuk membayar jasa energi, modal, dan struktur biaya operasional untuk mengembangkan berbagai sumber energi. Dalam kasus Cina, variabel ini dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan Cina
untuk
mendapatkan
sumber
minyak
dengan
harga
dan
biaya
pengembangan infrastuktur serta biaya transportasi minyak dari negara sumber ke Cina yang terjangkau. Secara spesifik, Xiaojie Xu kemudian menjelaskan ada dua implikasi energy security dalam konteks yang dihadapi Cina.
25
Pertama, pemerintah memberikan
perhatian besar terhadap energy security dengan mengadakan sejumlah studi strategis mengenai permasalahan energi. Energy security juga diletakkan pada prioritas kepentingan nasional dan dimensi utama pengambilan keputusan oleh para elit politik pembuat kebijakan. Kedua, perusahaan nasional Cina yang bergerak di bidang energi, yaitu China National Petroleum Company (CNPC), The China Petroleum and Chemical Corporation (Sinopec), dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan energy security dalam negeri. Perusahaanperusahaan tersebut harus berjuang keras untuk menyediakan energi yang mencukupi, baik melalui pemaksimalan eksplorasi sumber-sumber energi dalam negeri maupun menjalin bisnis dengan negara lain. Berbagai upaya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap kawasan-kawasan penghasil minyak turut mendukung aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut dan menjadi faktor penting dalam menjamin energy security Cina.
2. Responsible great power Pada bulan Mei 1994, untuk pertama kalinya Cina menggelar konferensi mengenai keamanan regional yang bertajuk “Post-Cold War Security Situation in the Asia-Pacific and its Prospects”. Konferensi ini dihadiri oleh dua puluh pemikir strategis Cina dari think-tank militer dan pemerintah, serta partisipan dari negara-negara Asia dan Amerika. Pembuat kebijakan Cina sadar akan fakta bahwa pertumbuhan kekuatan ekonomi dan 25
X. Xu, Chinese NOCs’ Overseas Strategies: Background, Comparison and Remarks, The James A. Baker Institute for Public Policy, Houston, 2007, p. 2.
militer negara itu membuat negara-negara tetangganya khawatir. Saluran diplomatik dan publik ramai dengan pembicaraan tentang ancaman Cina. Jika negara-negara Asia bergabung dengan Amerika Serikat untuk mencoba membendung Cina dan membuatnya tetap lemah, hal ini akan menyebabkan masalah pada stabilitas domestik Cina.26 Setelah jatuhnya Uni Soviet, Deng Xiaoping memberikan instruksi bahwa Cina harus bersikap low profile dalam dunia internasional untuk menghindari konflik. Dalam konferensi tersebut, dengan mengindahkan saran Deng, partisipan membantah bahwa Cina bukan dan tidak akan pernah menjadi ancaman bagi siapapun. Menteri Luar Negeri Cina Qian Qichen menyatakan bahwa “bahkan ketika Cina menjadi negara yang kuat dan maju, Cina akan terus menahan diri dari agresi dan ekspansi.” 27 Selanjutnya, Mayor Jenderal Pan Zhenqiang dari National Defense University Cina menyatakan Cina harus meyakinkan negara-negara di sekitarnya, termasuk Amerika Serikat, bahwa Cina tidak memiliki niat agresif dan menginginkan lingkungan yang damai untuk berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi.28 Melalui konferensi ini, Cina menyadari bahwa reputasi sebuah negara di dunia internasional merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, Cina berusaha mengkampanyekan bahwa dirinya sedang berubah menuju responsible great power. Namun istilah responsible great power sendiri sebenarnya belum memiliki definisi khusus dan masih banyak diperdebatkan dalam hubungan internasional, teruma dalam konteks Cina sebagai responsible great power. Istilah ini pertama kali muncul dalam tulisan Wang Yizhou pada tahun 1999: “Maintaining a proactive and constructive posture, China will enter the twenty-first century with the image of a responsible big power. With the passing of time, the so-called ‘China threat theory’ will be defeated automatically.”.29 Berdasarkan tulisan Wang tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Cina sebagai responsible great power adalah Cina yang mempertahankan sikap proaktif dan konstruktif dalam politik internasional. Untuk menunjukkan sikap yang
26
Shirk, p. 105. Pidato Qian Qichen dalam Konferensi “Post-Cold War Security Situation in the Asia-Pacific and its Prospects” pada Mei 1994. Terjemahan pidato didistribusikan di konferensi, kemudian dikutip oleh Shirk dalam bukunya, China: Fragile Superpower, p. 106. 28 Shirk, p. 106. 29 Shirk, p. 107. 27
proaktif, Cina harus mengambil inisiatif untuk melakukan suatu hal dalam dunia politk internasional dan kemudian bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Sikap proaktif menuntut Cina untuk selalu mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip dan nilainilai yang dipegangnya. Prinsip-prinsip yang dipegang oleh Cina dalam pembuatan kebijakan luar negerinya – yang kemudian disebut sebagai Five Principle of Peaceful Coexistence – yakni saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah, non-agresi, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, kesetaraan dan saling menguntungkan, dan hidup berdampingan secara damai.30 Sedangkan sikap konstruktif mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh Cina bersifat positif dan mendukung tatanan politik internasional yang ada. Dengan mempertahankan sikap yang proaktif dan konstruktif, Cina dapat membuktikan bahwa China Threat Theory tidaklah benar dan bahwa dirinya berkeinginan untuk menjadi responsible great power. Dalam tulisan lainnya, Xia Liping berpendapat bahwa untuk disebut sebagai responsible great power, sebuah negara harus memiliki kriteria sebagai berikut: pertama, negara tersebut harus memerankan perannya dalam masyarakat internasional tidak hanya sesuai dengan kepentingan nasionalnya saja, tetapi juga untuk perdamaian regional dan dunia, pembangunan, stabilitas, dan kemakmuran; kedua, melakukan kewajiban internasionalnya secara lebih serius; dan ketiga, berpartisipasi dalam perumusan aturan internasional.31 Cina sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB memiliki tanggung jawab khusus dalam menjaga perdamaian dan pembangunan dunia, sehingga Cina harus bisa menggunakan hak veto yang dimilikinya secara bijaksana. Selain itu, sebagai salah satu kekuatan politik dan ekonomi terkemuka dunia, kebijakan domestik dan eksternal Cina pasti akan berdampak terhadap negara-negara lain. Dampak eksternal tersebut bisa jadi merupakan hasil dari kebijakan yang dirancang dengan sengaja atau konsekuensi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kriteria sebagai responsible great power, Cina harus bisa membuat kebijakan dalam negeri dan luar negeri secara bijaksana dengan mempertimbangkan dampak eksternal, sehingga kebijakan yang diambil oleh Cina bisa menghasilkan dampak positif terhadap negara lain dan dunia internasional. Susan L. Shirk selanjutnya merumuskan tiga formula yang bisa digunakan Cina untuk mengembangkan reputasinya sebagai responsible great power. Formula ini dapat 30
X. Gao, ‘China as a “Responsible Power”: Altruistic, Ambitious or Ambiguous?”, International Journal of China Studies, vol. 4, no. 3, December 2013, p. 421. 31 X. Liping, ‘China: a responsible great power’, Journal of Contemporary China, vol. 10, no. 25, 2001, p. 17.
diterapkan dalam berbagai isu, termasuk isu energy security. Formula yang diajukan Shirk antara lain: 32 a.) Mengakomodasi negara-negara tetangganya; b.) menjadi team player dalam organisasi-organisasi multilateral; dan c.) menggunakan hubungan ekonomi untuk menjalin pertemanan. Penggunaan formula yang diajukan Shirk ini bisa kita lihat dalam langkah-langkah yang diambil Cina demi memastikan energy security. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, energy security mendorong Cina untuk membuka diri terhadap dunia internasional dan bersikap lebih kooperatif. Kebutuhan akan minyak dunia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun serta statusnya sebagai net oil importer membuat Cina berupaya lebih untuk bersahabat dengan negara-negara lain, terutama dengan negara penghasil minyak karena Cina bergantung terhadap pasokan energi dari negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, Cina membuka diri terhadap kerjasama dengan negara-negara lain, bahkan dengan negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki hubungan dekat dengannya. Dalam melakukan kerjasama, Cina tidak hanya mengambil sumber daya yang dibutuhkannya dari negara-negara penghasil minyak, tetapi juga berusaha membantu pembangunan di negara tersebut, baik di sektor ekonomi, sosial, infrastruktur, teknologi, dan sektor-sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Cina berusaha untuk mengakomodasi negara-negara mitranya dengan menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih bertanggung jawab. Melalui strategi yang spesifik, Cina juga mendukung pembangunan, stabilitas, kemakmuran, dan perdamaian negara mitranya, sekaligus memastikan pasokan energi langsung dari negara sumbernya. Dengan demikian, energy security mendorong Cina untuk mengadopsi kebijakan luar negeri yang menunjukkan karakteristik sebagai responsible great power. Kebijakan energy security yang diambil oleh Cina tidak akan terlepas dari prinsip-prinsip awal yang dibawanya, dan kebijakan tersebut dibuat dengan tidak hanya mempertimbangkan immediate interest Cina untuk mendapatkan sumber energi saja, tetapi juga dengan mempertimbangkan dampak penerapannya terhadap negara lain.
D. Hipotesis Energy security mendorong Cina bertransisi menjadi responsible great power yang terlihat dalam aspek semakin terbukanya negara tersebut terhadap investasi asing dan
32
Shirk, p. 109.
penekanan pada cara-cara yang kooperatif untuk memastikan energy security. Energy security menjadi salah satu alasan dasar Cina membuka diri dan menjaga hubungan baik dengan negara lain. Kebutuhan akan minyak dunia yang semakin meningkat serta ketergantungan terhadap minyak impor membuat Cina berupaya lebih untuk membangun hubungan yang harmonis dengan negara-negara lain, terutama dengan negara penghasil minyak. Cina secara aktif menggunakan hubungan ekonomi yang didorong oleh kebutuhan energi untuk menjalin pertemanan dan berusaha menerapkan kebijakan yang bisa mengakomodasi negara mitranya, sekaligus mulai berperan lebih aktif dalam berbagai organisasi multilateral. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi hambatan akses dan penerimaan lingkungan, mendapatkan investasi dengan biaya yang terjangkau, serta memastikan ketersediaan sumber daya energi langsung dari negara asalnya. Melalui kebijakan tersebut, Cina memberikan kesempatan bagi negara lain untuk berkembang bersama dengan Cina sebagai bentuk komitmennya untuk menjadi responsible great power.
E. Metode Penelitian Penelitian akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif dengan sumber data utama berupa pustaka literatur. Data yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah adalah literatur buku, jurnal, laporan resmi pemerintah dan organisasi, serta artikel-artikel dari internet. Data yang dikumpulkan akan dibatasi pada periode masa pemerintahan Jiang Zemin (1993-2003) sampai dengan masa pemerintahan Hu Jintao (2003-2013). Jenis energi yang akan dibahas dalam skripsi akan difokuskan pada satu jenis saja, yakni energi minyak. Adapun data-data yang akan diperoleh antara lain jumlah ekspor dan impor minyak Cina, jumlah kebutuhan energi Cina, proyeksi pertumbuhan kebutuhan energi, jenis-jenis kerjasama yang dilakukan terkait energy security, serta kebijakan atau strategi yang dikeluarkan pemerintah. Pemilihan periodisasi yang diawali pada masa pemerintahan Jiang Zemin dikarenakan untuk pertama kalinya Cina menjadi net oil importer pada masa tersebut. Periodisasi diakhiri pada masa pemerintahan Hu Jintao dikarenakan periode tersebut telah purna sehingga diharapkan dapat diperoleh data yang lebih komprehensif.
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari empat bagian utama yakni pendahuluan, pembahasan pertama, pembahasan kedua, dan penutup. Dalam bagian pendahuluan, penulis akan menyajikan latar belakang yang menjadikan tema ini menarik untuk dibahas, pertanyaan
penelitian, serta landasan konseptual dan hipotesis. Kemudian dalam bagian kedua, penulis akan menyajikan penjelasan mengenai profil energi Cina, prediksi kebutuhan masa depan, ketersediaan sumber energi Cina, dan strategi energy security Cina. Lalu pada bagian ketiga, penulis akan memberikan analisis mengenai bagaimana dorongan untuk memastikan energy security membuat Cina berusaha untuk menjadi responsible great power. Dalam bagian terakhir, penulis akan menarik kesimpulan dari keseluruhan pembahasan.