BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Cina merupakan salah satu negara komunis di dunia yang menganut sistem dominasi
satu partai. Dengan adanya sistem tersebut, hanya terdapat satu partai yang menguasai pemerintahan Cina, yakni Partai Komunis Cina (PKC).1 Partai Komunis Cina (PKC) merupakan partai komunis yang hingga saat ini masih cukup kuat eksistensinya, bahkan setelah Perang Dingin berakhir. Partai Komunis Cina (PKC) menguasai hampir seluruh aspek pemerintahan, ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan di Cina, termasuk di dalamnya adalah aspek militer. Sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, sudah terdapat tradisi hubungan militer dan sipil yang sangat dekat.2 Berbeda dengan hubungan sipil-militer yang terdapat di negara-negara pada umumnya, hubungan sipil-militer Cina berfokus kepada bentuk hubungan antara partai dan kelompok militer, dalam hal ini adalah Partai Komunis Cina (PKC) dan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR). Bentuk hubungan tersebut sendiri tidak terlepas dari adanya latar belakang sejarah yang terbentuk di antara keduanya. Terdapat kontribusi yang cukup besar dari kelompok militer terhadap pendirian Republik Rakyat Cina yang merupakan hasil dari kemenangan Partai Komunis Cina (PKC) atas Partai Nasionalis Kuomintang (KMT).3 Penelitian ini akan membahas dinamika hubungan sipil militer Cina bermula pada masa pemerintahan Deng Xiaoping sampai dengan masa pemerintahan Hu Jintao. Pasca wafatnya Mao Zedong, Deng Xiaoping merupakan pemimpin pertama yang mengeluarkan kebijakan modernisasi Cina. Kebijakan modernisasi Deng Xiaoping tersebut difokuskan kepada empat sektor yakni sektor agrikultur, industri, militer, serta sektor ilmu pengetahuan dan teknologi.4 Kebijakan modernisasi Deng Xiaoping dianggap telah banyak membawa perubahanperubahan pada bidang sosial ekonomi Cina sehingga hal tersebut juga turut menjadi basis 1
Catatan Kelas Ekonomi dan Politik Cina Kontemporer 2012, diampu oleh Nur Rachmat Yuliantoro dan Randy W.N. 2 R. McGregor, 5 Myths about The Chinese Communist Party, Foreign Policy (daring),
, diakses pada 20 Oktober 2014. 3 M. Kiselycznyk & P. C. Saunders, Civil-Military Relations in China: Assessing the PLA‟s Role in Elite Politics, National Defense University Press, Washington D.C., 2010, p.1. 4 IB Guides, ‗China under Deng Xiaoping, Economic Policies and the Four Modernizations,‘ IB Guides (daring), , diakses pada 10 Oktober 2014.
1
bagi keterbukaan ekonomi yang kemudian menstimulus kemajuan perekonomian Cina pada era kontemporer.5 Mengutip dari S.E. Finer, bahwa semakin lemah dan tradisional, atau yang disebut Finer, ―primitif‖, ekonomi dari suatu negara, maka akan semakin mudah bagi militer untuk turut intervensi dalam politik pemerintahan negara tersebut. Sebaliknya, semakin berkembangnya masyarakat dan juga perekonomiannya, maka semakin kecil pulalah kemampuan militer untuk menguasai dan mengelola masyarakat tersebut.6 Menarik untuk melihat apakah kemudian pasca diberlakukannya kebijakan tersebut, yang mengarah kepada kemajuan ekonomi Cina dan juga modernisasi militer, turut memberi pengaruh terhadap pola hubungan sipil-militer Cina. Meskipun pada awal pendiriannya TPR didirikan dengan tujuan utama untuk menjaga eksistensi dan keamanan Partai Komunis Cina (PKC), dimana ia tidak berfokus pada penjagaan pertahanan dan keamanan negara dari ancaman eksternal, pada beberapa dekade terakhir ditemukan adanya tren pergeseran dari pola tersebut.7 Terdapat pengembangan teknologi dan peningkatan kapabilitas dari sektor-sektor yang tidak terkait dengan kepentingan politik domestik dan belum pernah menjadi prioritas sebelumnya, seperti misalnya pada Angkatan Laut TPR, Angkatan Udara TPR, dan Second Artilery atau Strategic Missile Force.8 Tentara-tentara TPR tidak lagi menggunakan teknologi militer kelas dua bekas Uni Soviet. Saat ini TPR bahkan telah memiliki teknologi-teknologi modern seperti misil balistik, supersonic skimming missiles, dan berbagai teknologi militer modern lainnya.9 Dengan adanya tren peningkatan kemampuan militer Cina menjadikan semakin meningkatnya pula studi mengenai militer Cina. Muncul kekhawatiran akan Cina yang bersifat lebih asertif di kawasan, terutama apabila dilihat berdasarkan pada keterlibatannya di konflik Laut Cina Selatan, jumlah pembelian persenjataan militer yang semakin meningkat, dan tindakan koersif yang dilakukannya terhadap Taiwan.10 Semakin meningkatnya kekhawatiran dari lingkungan internasional mengenai kekuatan militer Cina yang terus berkembang di kawasan serta konflik-konflik teritorial dimana ia mengambil peran besar di 5
E. F. Vogel, ‗China under Deng Xiaoping‘s Leadership‘, East Asia Forum (daring), , diakses pada 25 Oktober 2014. 6 S. E Finer, The Man on the Horseback : The Role of Military in Politics, Frederick A, Praeger, New York, 1962, p.8-10. 7 D. Shambaugh, ‗Civil-Military Relations in China: Party-Army or National Military?‘, Copenhagen Journal of Asian Studies,No. 16, 2002. p. 11. 8 D. Lague, ‗China‘s Hawks take the Offensive‘, Reuters (daring), 17 Januari 2013, < http://www.reuters.com/investigates/china-military/>, diakses pada 10 Oktober 2014. 9 D.Thompson, ‗Think Again: China‘s Military‘, Foreign Policy, No. 178 (March/April 2010), p. 88. 10 D. Shambaugh, ‗China‘s Military in Transition: Politics, Professionalism, Procurement and Power Projection‘, The China Quarterly, No. 146, June 1996, p. 265.
2
dalamnya, menjadikan perkembangan transformasi pola hubungan sipil-militer Cina menjadi sebuah hal yang turut penting dan menarik untuk diamati.11 Kestabilan hubungan antara TPR dan pemerintah Cina, dilihat sebagai salah satu aspek yang dapat turut mempengaruhi berjalannya pemerintahan dan usaha pembangunan Cina. Baik hubungan harmonis ataupun konflik yang terbentuk di antara keduanya akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berjalannya pemerintahan Cina dan juga rencana-rencana strategis pertahanan dan keamanan ke depannya.12 Dengan melihat tren dari pola hubungan sipil-militer yang terbentuk, baik apakah kemudian TPR masih memiliki keterlibatan yang besar di dalam politik domestik ataukah ia mengalami perubahan untuk lebih fokus kepada upaya menjadi militer yang lebih profesional, dapat menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi strategi dari keamanan nasional Cina, yang kemudian juga berpengaruh kepada keamanan di kawasan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba menganalisis sejauh mana transfomasi pola hubungan sipil-militer Cina dimulai pada masa pemerintahan Deng Xiaoping (1978) hingga masa pemerintahan Hu Jintao (berakhir pada 2013), dimana akan terdapat tiga periode hubungan sipil-militer yang akan diteliti, yakni pada masa pemerintahan Deng Xiaoping (1978-1992), Jiang Zemin (1992-2003), dan Hu Jintao (2003-2013). Di sisi lain, latar belakang dari hubungan sipil-militer Cina yang bermula pada masa pemerintahan Mao Zedong (1949-1976) juga turut menjadi salah satu faktor yang berpengaruh di dalam analisis ini.
1.2
Rumusan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian: Sejauh mana transformasi pola hubungan sipil-militer Cina yang terjadi pada Masa Pemerintahan Deng Xiaoping hingga Hu Jintao?
1.3
Konsep/Teori Dalam menganalisis sejauh mana transformasi pola hubungan sipil-militer Cina pada
masa pemerintahan Deng Xiaoping sampai Hu Jintao, akan digunakan dua landasan konseptual yakni: 11
S. Tisdall, ‗China‘s Military Presence is Growing. Does a Superpower Collision Loom?‘, The Guardian (daring), < http://www.theguardian.com/world/2014/jan/01/china-military-presence-superpowercollision-japan>, diakses pada 25 Oktober 2014. 12 ‗The Evolving Chinese Military Relations‘, Report of Conference organized by The Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), 19-20 November 2004, p.3.
3
1.
Hubungan Simbiosis Sipil-Militer: Simbiosis vs Koalisional
Pada sebuah sistem pemerintahan komunis, hubungan sipil militer di dalamnya menjadi satu set hubungan otoritas yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lain. Isu utama yang seringkali dibahas dalam studi mengenai kontrol sipil terhadap militer didasarkan pada dua asumsi yang seringkali tidak relevan untuk diterapkan dalam sebuah sistem komunis, yakni: 1. Terdapat pemisahan yang jelas antara elite militer dan elite politik yang menyebabkan apabila terjadi konflik di antara keduanya, merupakan konflik interinstitusional antara struktur sipil dan militer. 2. Baik elite militer ataupun politik, ataupun bisa jadi keduanya, mempercayai norma bahwa kelompok militer sudah seharusnya bersifat apolitis, dimana ia tidak turut terlibat atau masuk ke dalam debat politik dimana hal tersebut kemudian dapat menggoyahkan otoritas sipil. 13
Melihat pada aspek-aspek tersebut, tidak ada satupun dari keduanya yang dapat diaplikasikan pada sistem pemerintahan komunis. Oleh karena itu, A. Perlmuttler dan William M. LeoGrande menggambarkan pola hubungan sipil-militer pada sistem pemerintahan komunis ke dalam tiga bentuk hubungan. Tiga pola hubungan tersebut adalah: Koalisional, Simbiosis, dan Gabungan.14 Pola hubungan sipil-militer koalisional digambarkan sebagai sebuah bentuk hubungan yang saling memberikan keuntungan terhadap partnernya, dimana otonomi dari masingmasing struktur individu menjadi poin penting. Menurut konsep ini, dengan adanya kompleksitas yang semakin tinggi dari teknologi militer yang dimiliki, dimana hal tersebut membutuhkan pengetahuan khusus yang tidak dapat diakses oleh elite nonmiliter, hubungan sipil-militer pada negara tersebut akan cenderung menjadi sebuah bentuk hubungan yang koalisional.15 Pola hubungan kedua adalah pola hubungan simbiosis. Hubungan simbiosis ini seringkali ditemui pada negara dengan sistem pemerintahan komunis yang dimana pemerintahannya tersebut berhasil untuk mendapatkan kekuasaan melalui perang gerilya, sebuah pertarungan militer-politik dimana penggabungan antara elite militer dan politik 13
A. Permuttler&W. M. LeoGrande, ‗The Party in Uniform: Toward a Theory of Civil-Military Relations in Communist Political System‘, The American Political Science Review, Vol. 76, No.4, Desember 1982, p. 780 14 Ibid, p. 782 15 Ibid, p.783
4
menjadi sesuatu yang tak dapat terelakkan, sehingga pada akhirnya pemerintahan yang terbentuk di wilayah tersebut merupakan pemerintahan yang juga terdiri dari tentara gerilya tersebut.16 Sedangkan pola hubungan sipil ketiga adalah pola hubungan sipil-militer gabungan. Model hubungan sipil-militer gabungan merupakan suatu pola hubungan militer yang terdapat di Kuba dimana dapat terjadi revolusi sosialis tanpa adanya peran dari partai di dalam perjuangan revolusioner tersebut. Hanya setelah revolusi tersebut berhasil, partai dengan ideologi Marxis Leninis di Kuba terbentuk, dimana kepemimpinan partainya kemudian juga berasal dari tentara revolusioner tersebut sendiri.17 Dalam konteks Cina, dengan perkembangannya di era kontemporer, terdapat perdebatan mengenai pola hubungan sipil-militer yang terbentuk di dalamnya, apakah kemudian pola hubungan yang terbentuk bersifat simbiosis, ataukah, seiring dengan perkembangan teknologi persenjataan modern, ia kemudian membentuk sebuah pola hubungan koalisional sebagaimana yang dikemukakan oleh Amos Permuttler dan William M. LeoGrande. Kelompok sipil yang dimaksudkan dalam hubungan sipil-militer ini adalah Partai Komunis Cina (PKC), dan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) sebagai kelompok militer.18 Untuk melihat hal tersebut, maka akan digunakan dua indikator yang akan mengukur bentuk hubungan sipil-militer yang terdapat di negara tersebut. Indikator tersebut adalah: a.
Interpenetrasi secara hierarkis dari kelompok militer di dalam pos-pos non-
militer dan sebaliknya, adanya cross-boundary movement antara kelompok sipil dan militer. 19 b.
Military Political Work System. Menunjukkan adanya penugasan terhadap
militer di bidang-bidang non-militer seperti pada bidang politik, terutama politik domestik dan intrapartai.20
Konsep pola hubungan sipil-militer simbiosis dicirikan dengan adanya crossboundary movement antarelite yang sangat tinggi. Konsep simbiosis ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk hubungan dengan rendahnya tingkat pembedaan antara elite militer maupun 16
Ibid, p.784. Lihat juga N. Li, ‗Changes in Chinese Civil-Military Relations‘, IDSS NTU Commentaries, 5 October 2005, p.1. 17 Ibid, p.785. 18 Kiselycznyk & Saunders, p.13. 19 N. Li, ‗Changes in Chinese Civil-Military Relations‘, IDSS NTU Commentaries, 5 October 2005, p.2. 20 Ibid, p.3. Lihat juga D. Shambaugh, ‗The Soldier and the State in China: The Political Work System in the People‘s Liberation Army‘, China Quarterly, No. 127, September 1991, p.527.
5
elite politik dimana sirkulasi, atau pergantian elit pada pos-pos militer maupun pos sipil menjadi norma di dalamnya. Di sisi lain, kelompok militer juga memegang peranan penting dalam suksesi kepemimpinan partai.21 Sementara itu, pada aspek military political work, hubungan simbiosis yang erat antara politik dan militer, atau dalam hal ini adalah PKC dan TPR, dapat dilihat dengan adanya penugasan terhadap TPR untuk mempromosikan nilai-nilai doktrin politik dan ideologi partai. TPR dipandang sebagai salah satu agen yang juga bertugas untuk mempromosikan nilai-nilai tersebut, baik di dalam tubuh TPR sendiri maupun kepada masyarakat. Kelompok militer digunakan sebagai instrumen politik dari partai yang berkuasa, yakni Partai Komunis Cina (PKC) untuk melindungi kepentingan partai dari ancamanancaman internal maupun eksternal. Di sisi lain, pola hubungan sipil-militer koalisional berkebalikan dengan pola hubungan simbiosis, dimana ia dicirikan dengan sudah terbentuknya pembedaan antara kelompok militer dan kelompok sipil. Masing-masing dari kelompok tersebut memiliki otonominya tersendiri yang menjadikannya kemudian terfokus hanya kepada bidang keahliannya saja. Tidak ditemukan adanya elite militer yang memiliki posisi dalam level pemerintahan, ataupun elite sipil yang turut memegang kekuasaan dalam pos militer. Selanjutnya, pada aspek military political work, pola hubungan koalisional sipil-militer meyakini bahwa militer hanya memiliki tugas untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Hal ini berimplikasi dengan tidak adanya tugas politik yang dimiliki oleh militer terhadap partai berkuasa. Klien yang ia miliki, dalam cakupan tugasnya menjaga pertahanan dan keamanan, adalah negara.
2.
Profesionalisme Militer
Konsep profesionalisme militer pertama kali dicetuskan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya, The Soldier and The State. Konsep Profesionalisme Militer membentuk militer yang bersifat apolitis, dimana ia tidak ikut intervensi ke dalam politik domestik. Secara kontras, militer yang tidak profesional ditunjukkan dengan keterlibatan yang reguler di dalam politik domestik.22 Profesionalisme militer berbasis pada tiga komponen utama, yakni keahlian, tanggung jawab, serta corporateness. Konsep profesionalisme militer yang akan digunakan dalam tulisan ini mengacu kepada indikator-indikator profesionalisme tersebut, yakni: 21
Permuttler & Leogrande, op. cit., p. 784-785. S. P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachussets, 1957, p. 83. 22
6
a.
Militer yang profesional memiliki keahlian di dalam bidangnya. Keahlian ini mengacu kepada keahlian militer dalam mengelola penggunaan kekerasan atau ―the management of violence‖. Fungsi utama dari sebuah kekuatan militer adalah kemampuan yang mumpuni dari angkatan bersenjatanya. Personel militer yang profesional memiliki keahlian dalam mengelola penggunaan kekerasan pada berbagai macam kondisi lapangan yang terjadi.23 Kemampuan militer untuk dapat mempraktikkan keahliannya secara efisien tersebut diperoleh dengan melalui berbagai pelatihan dan juga berdasarkan pada pengalaman-pengalaman yang telah diperoleh. Selain melalui praktik, pelatihan, dan pengalaman, diperlukan juga pengetahuan keilmuan yang memadai. Pengetahuan tersebut mencakup beberapa disiplin ilmu yang turut membangun dasar dari pengetahuan militer seperti ilmu pengetahuan alam, misalnya. Keahlian ini kemudian juga dapat diukur melalui beberapa aspek yakni: doktrin militer, taktik dan komando, serta kontrol dan pelatihan yang akan berpengaruh kepada kesiapan militer tersebut dalam berperang.24 Dalam konteks Cina, indikator-indikator yang paling tampak dan akan digunakan di dalam penelitian ini adalah doktrin militer serta kontrol dan pelatihan yang dikembangkan pada masing-masing periode kepemimpinan, sejak masa Deng Xiaoping hingga Hu Jintao.
b.
Tanggung jawab. Definisi profesional menurut Huntington adalah seseorang yang mengaplikasikan keahliannya, dan bekerja dalam konteks sosial serta memberikan sebuah bentuk jasa atau layanan dalam bidang-bidang tertentu, seperti misalnya, kesehatan, pendidikan, ataupun hukum dimana bidang-bidang tersebut merupakan bidang-bidang yang esensial di dalam masyarakat. Klien bagi seorang profesional adalah masyarakat, baik secara individual maupun kolektif.25 Tanggung jawab sosial inilah yang membedakan antara seseorang yang profesional dengan orang-orang dengan keahlian yang sama namun hanya memiliki kemampuan intelektual saja. Tanggung jawab untuk melayani dan pengabdian yang kuat terhadap keahlian yang dimilikinya merupakan faktorfaktor yang membentuk profesionalisme.26 Tanggung jawab yang dimiliki oleh militer kemudian, meliputi: Pertama, untuk menjaga keamanan di sebuah negara
23
Ibid, p.11. Ibid, p.14. 25 Ibid, p.9. 26 Ibid, p.15. 24
7
dari potensi kekacauan yang berasal dari lingkungan internasional. Kedua, memberikan solusi-solusi alternatif kepada pemerintah dengan didasari oleh sudut pandang militer yang dimiliki. Dan ketiga, tanggung jawab untuk turut membantu implementasi suatu kebijakan yang terkait dengan bidang keahlian mereka tersebut.27 c.
Corporateness. Aspek ini mengacu kepada sistem birokrasi tersendiri di dalam militer. Di dalam militer yang profesional terdapat sistem birokrasi yang sifatnya hierarkis dimana tingkatan yang terbentuk berupa piramida dengan panglima sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dengan adanya sistem hierarki, perintah yang dikeluarkan oleh komandan yang terdapat di ujung atas piramida dapat mengalir dengan baik ke bawahan-bawahannya.28
Dengan menggunakan konsep Profesionalisme Militer, penelitian ini akan mencoba melihat bentuk profesionalisasi TPR sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping sampai dengan Hu Jintao sebagai faktor yang mempengaruhi hubungan sipil-militer antara TPR dan PKC. Indikator-indikator yang digunakan tersebut akan diteliti pada masing-masing periode kepemimpinan yakni pada masa Deng Xiaoping, Jiang Zemin, dan Hu Jintao.
1.4
Hipotesis Sistem dominasi satu partai yang dianut oleh pemerintahan komunis Cina
menyebabkan hubungan yang dekat antara kelompok sipil dan kelompok militer. Dalam menjalankan tugasnya, militer Cina yang disebut Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) mendasarkan pada kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh Partai Komunis Cina (PKC). Akan tetapi, sejak masa kepemimpinan Deng Xiaoping, dengan mendasarkan pada indikatorindikator hubungan sipil militer dan profesionalisme militer yakni interpenetrasi elite militer ke dalam pos politik dan sebaliknya, military political work system, penggunaan doktrin militer, taktik dan komando, serta perkembangan jenis persenjataan yang digunakan oleh TPR dan besaran anggaran militer pada masing-masing periode pemerintahan, telah terjadi transformasi di dalam pola hubungan sipil-militer Cina sejak masa pemerintaha Deng Xiaoping hingga Hu Jintao dari yang semula berbentuk hubungan simbiosis menjadi sebuah bentuk hubungan yang menyerupai bentuk hubungan koalisional (quasi-koalisional).
27 28
Ibid, p.16. Ibid, p. 17.
8
1.5 Metode Riset Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan sumber data utama berupa pustaka literatur. Data yang digunakan untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah adalah literatur buku, jurnal, laporan, dan artikel-artikel internet. Data yang dikumpulkan akan dibatasi pada periode masa pemerintahan Deng Xiaoping (1979) sampai dengan Hu Jintao pada tahun 2013. Adapun data-data yang akan diperoleh adalah jumlah personel TPR, perkembangan jenis persenjataan yang digunakan oleh TPR, perkembangan doktrin militer yang digunakan, jumlah anggaran militer, sistem komando militer, dan jumlah personel militer yang berada di dalam pemerintahan pada masing-masing periode pemerintahan Deng Xiaoping, Jiang Zemin, dan Hu Jintao. Pemilihan periodisasi yang diakhiri pada masa Hu Jintao dikarenakan periode tersebut telah purna sehingga diharapkan dapat diperoleh data yang lebih komprehensif.
1.6
Sistematika Penulisan Skripsi ini direncanakan akan terdiri dari empat bab. Bab Pertama akan memuat
setting dari pengkajian isu yang diteliti, latar belakang mengenai isu tersebut dan mengapa isu tersebut kemudian menjadi penting dan menarik untuk diangkat. Selanjutnya, pada Bab Kedua akan dijelaskan mengenai gambaran sistem pemerintahan dan militer Cina dalam kaitannya dengan hubungan yang terbentuk di antara kedua organ negara tersebut, atau hubungan sipil-militer, khususnya pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, Jiang Zemin, dan Hu Jintao. Bab Ketiga akan memuat analisis mengenai sejauh mana transformasi yang terjadi dari pola hubungan sipil-militer sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping hingga Hu Jintao. Skripsi akan ditutup dengan Bab Keempat yang berisi perihal kesimpulan dan inferens dari hasil temuan penelitian yang didapatkan.
9