1
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Penelitian ini berawal dari program tahunan yang diselenggarakan jurusan
Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan lokasi akhir penelitian yang akan diadakan di Jerman, penulis memutuskan untuk mengikuti seleksi, dan akhirnya pergi ke Jerman untuk penelitian di sana. Jerman bukan hanya negara yang sangat maju, namun juga negara yang sangat dominan di bidang ekonomi dan politik Eropa, dan juga sangat terbuka dengan para pendatang dari negara lain di Eropa dan di luar Eropa. Hal ini menjadi daya tarik Jerman sebagai sebuah lokasi penelitian. Keterbukaan Jerman terhadap imigran menjadi hal yang sangat menarik bagi saya. Siapa itu imigran? Di dalam Meriam-Webster (1996) imigran adalah orang yang bermigrasi: pindah dari satu negara, tempat ke tempat yang lain. Tidak hanya berpindah begitu saja, mereka adalah warga negara yang meninggalkan negaranya tidak hanya secara hukum dan administratif tetapi juga secara kultural (Olwig1 2003: 66). Mereka bermigrasi dengan berbagai alasan dan mencoba peruntungannya di negeri barunya tersebut. Migrasi terjadi di seluruh dunia dengan banyak motivasi yang melatarbelakangi mereka. Para migran juga datang dari berbagai negara di dunia. Sebagian datang dari negara dunia ketiga menuju negara
1
“Global Places and Place Identities – Lessons from Caribbean Research”, dalam Globalisation: Studies in Anthropology. Thomas H. Eriksen. London: PLUTO PRESS.
2
maju untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan aman, dan sebagian lagi datang dari negara maju ke negara dunia ketiga atau antara dua negara dengan level yang sama karena alasan dan latar belakang yang berbeda. Tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki bekal apapun, baik secara material, intelektual ataupun kultural. Seiring berjalannya waktu, angka migrasi meningkat tajam, khususnya pada negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat (Jerman, Belanda, dan negara lainnya). Hal ini didukung dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi yang berkembang dengan pesat saat ini. Dengan berkembangnya teknologi transportasi yang canggih dan murah, para migran dengan mudah pergi keluar negeri. Selain perkembangan teknologi, konflik juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya migrasi. Korban perang atau konflik sipil di negara asal imigran, memaksa mereka untuk mencari tempat mengungsi di negara yang mampu melindungi mereka, dan kemudian para imigran menetap di sana. Jerman merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah imigran yang besar. Menurut Federal Statistical Office, pada tahun 2011 terdapat 958.000 orang yang berimigrasi ke Jerman. Angka tersebut naik sekitar 120.000 orang atau 20% dari data tahun 2010, meningkat jauh dari rekor angka tertinggi tahun 1996, yaitu 679.000 orang. Melihat ke belakang, hal ini terjadi setelah holokos perang dunia kedua, yang menyebabkan empat juta orang mati di Jerman. Kekurangan tenaga kerja menjadi sebuah masalah yang besar yang dihadapi oleh pemerintah Jerman. Perekrutan tenaga kerja dari luar Jerman dilakukan untuk mengatasi masalah
3
tersebut. Lepas dari masalah ketenagakerjaan, arus migrasi terus meningkat ke Jerman karena pertumbuhan penduduk yang terus menurun. Seperti dua sisi mata uang, imigran memberikan dampak positif namun juga negatif. Kedatangan mereka tidak serta-merta tanpa masalah. Di satu pihak, imigran di Jerman menjadi penolong, sebab mereka meningkatkan neraca pertumbuhan populasi di Jerman. Tetapi orang Jerman juga melihat imigrasi sebagai sumber konflik antara para imigran dengan ‘native’ Jerman2. Perbedaan latar belakang, membuat para imigran tidak sepenuhnya terintegrasi dengan masyarakat Jerman dan identitas asli mereka tidak bisa lepas begitu saja. Kegagalan proses integrasi tersebut akhirnya membawa masalah demi masalah di Jerman, seperti angka kriminalitas yang semakin tinggi dari tahun ke tahun yang disebabkan banyak imigran yang masuk ke Jerman (Albrecht, 1997: 31). Di kota kecil bernama Freiburg yang berada di bagian selatan Jerman, penulis melihat fenomena tersebut dengan sangat jelas. Saat memesan sesuatu di beberapa tempat makan, atau berbelanja di toko-toko kebutuhan sehari-hari, yang melayani sering kali adalah para imigran dan bukan Jerman. Hebatnya, mereka dapat menggunakan bahasa Jerman, walaupun masih terbata-bata. Keberhasilan para imigran menjalani kehidupan sehari-harinya di luar tanah kelahirannya tentu memerlukan proses yang tidak singkat, karena seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa imigran meninggalkan negaranya juga secara kultural, yang artinya mereka menerima kultur yang baru, di wilayah yang baru. Dari semua fenomena di atas pertanyaan adalah, siapa yang membantu mereka
2
Informasi ini diperoleh dari Emnid Bertelsmann Foundation
4
dalam proses tersebut? Integrationkurse atau integration course atau kursus integrasi menjadi salah satu jawabannya. Lantas, mengapa kursus integrasi menjadi salah satu jawabannya? Menurut Immigration Policy in The Federal Republic of Germany, sejak Juli 2006, para imigran wajib mengikuti kursus integrasi. Kursus ini diadakan dalam rangka transparansi hukum integrasi yang dibuat oleh pemerintah Jerman. Keterbukaan pemerintah Jerman terhadap para pendatang tentu dilandasi dengan persyaratan hukum yang ketat, untuk menjamin kehidupan mereka di Jerman. Kursus integrasi sendiri merupakan kursus yang diberikan kepada para imigran untuk mengasah kemampuan komunikasi mereka. Di dalam kursus ini para imigran diperkenalkan dan diajarkan bahasa Jerman, baik dalam berbicara, menulis, membaca, maupun mendengarkan. Hasil dan sertifikasi dari kursus ini sangat berguna bagi mereka dalam kehidupan selanjutnya di Jerman. Selain kursus bahasa, para imigran juga diberikan pengetahuan umum tentang Jerman seperti bidang politik, hukum, pemerintahan, sosial dan kultur. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kursus integrasi sudah menjadi medium yang ideal bagi para imigran dalam proses integrasi mereka? Dari pertanyaan tersebut, muncul keinginan penulis untuk menelaah lebih dalam tentang kursus integrasi di Jerman.
2.
Permasalahan Pada skripsi ini, penulis hendak memaparkan tentang persepsi para migran
akan kehadiran kursus integrasi di keseharian mereka dan apa yang mereka
5
dapatkan dari kursus tersebut. Para imigran datang dari berbagai latar belakang kewarganegaraan, bahasa, budaya, umur dan pekerjaan yang berbeda. Dari berbagai literatur yang ada, imigran memiliki peran tersendiri bagi Eropa, khususnya Jerman. Pemerintah Jerman menyadari pentingnya keberadaan imigran di negara mereka dan mulai memfasilitasi kebutuhan para imigran dengan banyak kebijakan dan salah satunya mengadakan kursus integrasi bagi para imigran demi kelancaran komunikasi para imigran di Jerman dan juga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki. Terdapat tiga turunan pertanyaan menjelaskan tentang keberadaan kursus integrasi dalam persepsi para imigran di Jerman, khususnya Freiburg: 1. Apa itu kursus integrasi? 2. Bagaimana persepsi imigran terhadap kursus integrasi? 3. Apa manfaat kursus integrasi dalam proses integrasi imigran?
3.
Tinjauan Pustaka Isu migrasi sudah banyak dikupas oleh tokoh antropologi maupun kajian
sosial lainnya, mulai dari migrasi yang dilakukan ratusan tahun yang lalu, abad pertengahan, hingga migrasi yang terjadi di abad modern ini. Salah satu contohnya adalah buku yang ditulis oleh Patrick Manning (2005). Manning dalam bukunya Migration in World History menggambarkan perubahan dan pola-pola migrasi dari masa ke masa. Kehidupan para imigran juga ia tuliskan dalam bukunya. Sebagai acuan tentang beberapa jenis pengakomodasian imigran sebagai minoritas, penulis memakai tulisan dari Thomas Hylland Eriksen (1998) dari
6
bukunya yang berjudul Small Places, Large Issues An Introduction to Social and Cultural Anthropology. Lebih spesifik lagi penulis melihat tulisan dari Christian Joppke (2007) dalam artikel yang berjudul Beyond National Models: Civic Integration Policies for Immigrants in Western Europe. Dalam artikel ini dibahas secara jelas bagaimana integrasi sipil berjalan di Eropa bagian barat, salah satunya adalah Jerman. Berikutnya, penulis mengacu pada tulisan Joppke yang lain tentang kursus integrasi yang ada di beberapa negara di Eropa, yang berjudul Do Obligatory Civic, Integration Courses for Immigrants in Western Europe further Integration? (2007). 4.
Kerangka Pemikiran Globalisasi menyebabkan masyarakat dunia bermigrasi dengan sangat
mudah, namun kemampuan berkomunikasi tetap dibutuhkan di manapun seseorang berada. Saat komunikasi tidak berjalan, maka tahap-tahap berikutnya tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini, masalah utama imigran dalam proses integrasi adalah komunikasi, di mana bahasa menjadi kunci utama. Pemerintah Jerman cukup tanggap dalam menyelesaikan masalah ini dengan memfasilitasi imigran dengan mengadakan kursus integrasi sebagai medium utama imigran untuk berintegrasi. Lewat kursus bahasa, para imigran diharapkan dapat lebih lancar berkomunikasi, namun kebijakan pemerintah tersebut memerlukan masukan balik dari imigran sendiri. Dalam tulisan ini, kita akan melihat kursus integrasi dalam sudut pandang atau persepsi dari imigran, dengan asumsi fasilitas yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan para imigran. Komunikasi merupakan salah satu hal yang penting bagi makhluk sosial.
7
Thomas M. Scheidel (1976) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun menurut Scheidel tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita. Lebih dalam lagi Zimmerman (1977) merumuskan bahwa kita dapat membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita-untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan rasa penasaran kita akan lingkungan dan menikmati hidup. Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Kemampuan berkomunikasi dibutuhkan di manapun seseorang berada, karena komunikasi berkaitan erat dengan bagaimana seseorang beradaptasi dengan lingkungannya, khususnya lingkungan yang sama sekali baru bagi seseorang. Pengertian komunikasi di atas mempertegas bahwa dalam pemenuhan kebutuhan pokok, seperti makan, pakaian, pekerjaan memerlukan kemampuan berkomunikasi yang baik. Kemampuan berkomunikasi dibutuhkan terutama bagi kelompok minoritas. Mengapa kelompok minoritas lebih memerlukannya daripada kaum mayoritas? Minoritas didefinisikan sebagai satu kelompok yang secara politis tidak dominan, dan berada sebagai satu kategori etnis (Eriksen, 1998). Sebagai kelompok yang tidak dominan mereka (kelompok minoritas), memerlukan usaha yang lebih untuk memenuhi atau memperjuangkan haknya. Sudah menjadi kebiasaan dan
8
mungkin keharusan jika kelompok minoritas harus menyesuaikan dirinya dengan kelompok yang lebih dominan dengan menjadi bagian dari kelompok mayoritas atau setidaknya menjalin komunikasi dengan kaum mayoritas yang memiliki posisi politis lebih strategis demi tercapainya sebuah hubungan yang lebih harmonis. Para imigran atau perantau adalah kaum minoritas yang khusus. Mereka berada di negeri orang terkadang tanpa memiliki kewarganegaraan yang sah, dan hanya berdiam diri di negeri yang didatanginya. Riset antropologis tentang migrasi dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya terutama terpusat pada tiga tema ini, yaitu segi-segi diskriminasi dan diskualifikasi pada pihak penduduk negara tuan rumah; rupa-rupa strategi untuk melestarikan identitas kelompok; serta relasi antara kebudayaan imigran dan kebudayaan kaum mayoritas. Dalam tataran negara, pemerintah atau negara itu sendiri berperan dalam proses integrasi kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas yang ada. Mengapa integrasi? Pengakomodasian kelompok minoritas dalam sebuah negara bisa terjadi dalam tiga model, segregasi, asimilasi dan integrasi (Eriksen, 1998). Segregasi, ini berarti bahwa kelompok minoritas dipisahkan secara fisik dari kelompok mayoritas, sering kali bersamaan dengan gagasan bahwa para anggota kaum minoritas itu bermutu rendah. Berbeda dengan segregasi, asimilasi menyebabkan menghilangnya kaum minoritas, yang sengaja dibaurkan dalam kelompok mayoritas. Yang terakhir, integrasi; Integrasi merujuk pada partisipasi dalam pranata-pranata bersama masyarakat, dibarengi pelestarian identitas kelompok dan, sampai pada taraf tertentu, kekhasan budayanya. Saat mendengar kata ‘integrasi’ maka kebanyakan orang akan mengacu pada banyak pihak yang
9
berjalan bersamaan. Tentu hal tersebut tidak salah; integrasi memang menampilkan satu kompromi antara dua pilihan utama sebelumnya. Mengacu pada European Unite (EU) ‘Common Basic Principles’ of Immigrant Integration Policy, pengertian integrasi disederhanakan menjadi a dynamic, two way process of mutual accommodation by all immigrants and residents of the Member States’. Terjalinnya hubungan dua arah yang saling menguntungkan satu sama lain tidak begitu saja terjadi. Campur tangan pemerintah menjadi tulang punggung proses integrasi di teritorialnya, salah satunya dengan membuat kebijakan serta fasilitas sebagai instrumen utama dalam mengatur jalannya proses integrasi. Disamping itu semua, dengan lebih dalam lagi, Eriksen (1998) mengatakan bahwa integrasi merupakan salah satu cara pengakomodasian hubungan antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Apa sebenarnya integrasi dalam studi tentang imigran, khususnya tentang kursus integrasi di Jerman? Integrasi sendiri merujuk pada partisipasi dalam pranata-pranata bersama masyarakat, dibarengi dengan pelestarian identitas kelompok sampai pada taraf tertentu (Eriksen, 1998: 482). Berbeda dengan dua cara akomodasi yang disebutkan sebelumnya, integrasi meminta seluruh pihak berpartisipasi dalam membentuk pranata bersama masyarakat, yang artinya tanpa terkecuali. Negara memiliki kewajiban untuk menyama-ratakan hak dan kewajiban bagi para penduduknya, tanpa memandang mereka mayoritas atau minoritas. Namun, keistimewaan dari integrasi adalah latar belakang budaya setiap pihak dihargai sepenuhnya. Mereka diberi ruang untuk menunjukkan identitas asli mereka dengan tidak memaksakan mereka meninggalkannya dan menggantinya dengan yang baru.
10
Pengadaan kebijakan dan fasilitas tentunya harus bisa memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung. Persepsi dari masing-masing kelompok diperlukan untuk menilai apakah fasilitas yang ada sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing kelompok, terutama kelompok yang secara khusus ditangani dan difasilitasi. Persepsi menurut Tim Ingold (2000), adalah how anything can be translated or ‘cross over’ from the outside to the inside, from the macrocosm of the world to the microcosm of the mind. Di sini berarti sudut pandang individu menjadi sangat penting, apakah sesuatu bermanfaat bagi diri seseorang, atau malah merugikan.
5.
Tujuan Penulisan Skripsi Perkembangan imigrasi di dunia terus melaju dengan pesat dan globalisasi
membuat imigrasi menjadi lebih fenomenal. Tetapi seperti banyak fenomena lainnya di dunia, imigrasi memiliki masalahnya sendiri, baik dari sisi pemerintah dari sebuah negara (baik negara asal imigran atau negara tujuan imigran), orangorang lokal, dan yang paling penting adalah masalah yang dirasakan oleh para imigran sendiri. ‘Migrants are often perceived as people who come from a qualitative different place, and who are therefore radically different culturally, which marks them as different’ (Olwig 2003: 66). Tanda yang disematkan pada imigran terkadang membuat mereka sulit untuk masuk ke dalam komunitas lokal. Melihat apa yang sebenarnya menjadi masalah mereka dapat menjadi satu kunci untuk mengetahui apa yang harus dilakukan berikutnya atau setidaknya memitigasi
11
masalah mereka. Lewat penelitian, persepsi imigran terhadap kursus integrasi sebagai sebuah medium untuk membantu proses integrasi. Adapun tujuan khusus dari skripsi ini, tersedianya literatur tambahan bagi program penelitian tandem antara Jurusan Antropologi UGM dengan Jurusan Ethnologie Albert-Ludwig Universität.
6. 6.1.
Metode Penelitian Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di kota Freiburg im Breisgau, di Jerman Selatan.
Lokasi penelitian yang dipilih dari program tandem penelitian antara jurusan Antropologi UGM dengan Ethnology Albert-Ludwig Universität, Freiburg. Tahun 2013 giliran mahasiswa Antropologi bertandang ke Freiburg setelah tahun 2012 lalu mahasiswa etnologi mengadakan penelitian di Yogyakarta. Kegiatan penelitian ini berlangsung dari 3 Juni sampai dengan 30 Juni 2013.
6.2. Pengumpulan Data 6.2.1 Tandem Program Pengumpulan data saya lakukan lewat tandem program. Rekan kerja saya dalam tandem membantu saya dalam memahami bahasa informan yang tidak semuanya dapat berbahasa Inggris. Tandem memiliki fungsi sebagai interpreter dan peneliti utama. Penelitian tandem ini seperti yang diungkapkan oleh Heinz Göhring dalam makalah yang ditulis oleh Sebnem Bahadir, “Major emphasis is put on close contacts and exchanges with members of the cultures concerned in multicultural working groups and during
12
longer stays in those cultures. In this context Göhring proposes and applies in his teaching praxis the idea of Tandem-Lehre or ‘tandemlearning,’ a type of training based on the principle of consciousnessraising through ‘intercultural exchange’ that can only be realized in inter-/multicultural group settings (1977:175)” (Bahadir, 2004: 809)
Sebelum penelitian ini dilakukan di kota Freiburg, tandem saya di Yogyakarta adalah Alena Rohrbach dan Christie Afriani. Untuk penelitian di kota Freiburg, jumlah tandem saya bertambah satu orang, yaitu Alena Rohrbarch, Siobhan Kaltenbacher dan Lena Kebi. Siobhan dan Lena adalah mahasiswa Ethnologie semester dua yang mengikuti program ini sebagai sarana pelatihan metodologi penelitian dan Alena adalah mahasiswa program master di jurusan yang sama. Kami saling melengkapi satu sama lain dalam melakukan penelitian. Mereka memperkenalkan saya pada kota Freiburg, mencari informasi tentang tempat kursus integrasi di sana, membuat jadwal wawancara dengan para informan, terlebih saat menyepakati jadwal dengan institusi resmi seperti kursus integrasi yang harus menggunakan surail dalam bahasa Jerman dan yang paling penting mereka membantu saya sebagai interpreter saat melakukan wawancara dengan para informan, sehingga saya dapat memahami isi apa yang dimaksud oleh informan kami. Ada dua kali workshop dalam penelitian ini. Workshop pertama dilakukan pada minggu pertama. Dalam workshop ini kami mempresentasikan rencana penelitian kami; apa dan bagaimana kami akan melakukan penelitian ini selama satu bulan ke depan. Workshop kedua dilakukan di akhir penelitian kami. Dalam workshop ini kami kembali mempresentasikan hasil penelitian kami selama satu bulan dan bagaimana alur kerja sama kami saat penelitian berlangsung. Di sela-sela
13
penelitian, kami diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan para dosen, baik dosen dari UGM maupun dosen dari Freiburg Universitat.
6.2.2 Menentukan Informan Terdapat dua informan yang diwawancarai dalam penelitian ini, yaitu informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan atau yang dianggap mengetahui persoalan yang dikaji (Pelto dan Pelto, 1978: 73). Informan kunci dalam penelitian ini adalah para imigran yang mengikuti Integration Course. Sedangkan informan pendukung merupakan informan yang dipakai untuk menjawab latar belakang serta melengkapi data dari informan kunci. Penentuan informan menggunakan proses seleksi dengan kriteria tertentu. Kriterianya adalah imigran yang mengikuti kursus integrasi dan guru kursus integrasi. Di luar informan kunci, peneliti memilih beberapa informan, yaitu mereka yang bekerja di kursus integrasi bagian administrasi. Hal ini sangat membantu peneliti untuk mendapatkan informasi administratif di sebuah kursus integrasi. Untuk menentukan informan kunci, langkah yang penulis ambil adalah mencari tahu keberadaan kursus integrasi di kota Freiburg. Setelah menemukan beberapa kursus integrasi, penulis mulai menghubungi staf yang ada di sana, kemudian mewawancarai mereka sebagai dasar awal mengetahui aktivitas di Integration Course. Dengan para staff pula penulis diberikan kontak beberapa imigran untuk menjadi informan kunci. Di iOr Sprachschule, penulis dan rekan kerja penulis ditawarkan untuk bergabung dalam salah satu kelas, dengan tujuan
14
membantu kami dalam mengobservasi kelas integrasi itu sendiri. Selain imigran yang kontaknya diberikan oleh pihak kursus integrasi, penulis juga menghubungi beberapa imigran Indonesia dari komunitas Indonesia yang ada di Freiburg.
6.2.3 Dokumentasi dan Data Sekunder Data lapangan saja tentu tidak memadai untuk penulisan ini. Jarak waktu dan dana menjadi kendala utama sehingga penulis membutuhkan literatur sebagai pendukung. Pustaka yang digunakan dalam skripsi ini antara lain literatur yang mengulas tentang kursus integrasi di Jerman, brosur dan artikel yang ada di laman masing-masing tempat kursus integrasi dan dari laman imigrasi Jerman. Dokumentasi penulis ambil melalui hasil observasi penulis dalam bentuk foto. Selain itu peneliti juga mengambil beberapa foto dan data statistik dari laman dan jurnal terkait.
6.2.4 Wawancara Mendalam dan Partisipasi Observasi Wawancara mendalam merupakan alat yang paling penting dalam penelitian ini. Lewat wawancara mendalam peneliti mampu melihat secara lebih dalam perilaku dan keseharian informan. Informan merupakan mereka yang mengetahui dengan baik bagaimana proses dalam komunitas berjalan. Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan keterangan, informasi dan pendapat tentang kehidupan informan.
Kegiatan ini
merupakan pembantu
utama
metode observasi
(Koentjaraningrat, 1997: 129). Aktivitas yang tidak dapat dilihat atau dipahami lewat observasi di lapangan dapat ditelusuri lewat wawancara mendalam.
15
Wawancara bertujuan untuk melihat pengalaman, sudut pandang dan sejarah individu terhadap topik tertentu. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang sudah disebutkan di subbab sebelumnya. Pendekatannya adalah penulis pergi ke beberapa tempat kursus integrasi, dan meminta izin untuk mendapatkan kontak para peserta kursus. Pertama penulis dipersilakan untuk ikut berpartisipasi dalam kelas, diperkenalkan oleh guru, dan yang terakhir penulis mulai mengumpulkan kontak dari peserta kursus. Dari situ penulis menghubungi mereka satu per satu untuk melakukan wawancara lebih mendalam. Ada yang bersedia, ada juga yang tidak. Alasan mereka yang tidak bersedia adalah masalah keterbatasan berbahasa, baik bahasa Inggris maupun Jerman. Ada tujuh informan yang penulis libatkan dalam wawancara mendalam ini. Wawancara mendalam penulis lakukan dengan membuat janji sebelumnya, dan dilakukan di manapun yang informan mau, seperti di tempat makan atau di kampus. Kami menyusun pertanyaan besar, yang akan kami kembangkan saat wawancara berlangsung. Suasana wawancara kami bangun secara informal, sehingga informan merasa nyaman untuk bercerita menjawab pertanyaan kami. Wawancara diusahakan dalam bahasa Inggris, jika informan keberatan, maka akan diadakan dengan bahasa Jerman. Partisipasi observasi dilakukan di tempat kursus integrasi dengan cara ikut serta dalam kelas. Para guru sangat senang kami berada di kelas, para imigran pun terlihat antusias dengan keberadaan kami. Mereka (para imigran) bertanya banyak hal kepada kami, begitu pun kami bertanya banyak hal dengan mereka. Tidak segan-segan mereka memberitahukan keluh kesah tentang sulitnya pelajaran yang
16
mereka tempuh. Observasi ini berlangsung dua kali.