BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan Indonesia yang dilaksanakan dalam empat Pelita (1969 1989), telah berhasil mencapai beberapa tujuan yang penting. Usaha peningkatan produksi pangan sekaligus peningkatkan pendapatan dan peningkatan taraf hidup petani melalui program intensifikasi padi sawah (Bimas, fnmas. dan Insus). telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke tingkat swasembada pangan p;#ia aras 151 kgfjiwa pada tahun 1984 (Asnawi, 1988: 7).
Keberhilan tersebut tu~ut
me~iurunka~i persentase penduduk pang berada dibawah garis kemtskinan, yaitu di desa turun dari 47.6% (1976) menjadi 22,3% (1984) dan di kota turun dari 49.7% ( 1976) menjadi
26.8 % ( 1984) (Sajogyo. 1987: 2 1-24).
Meningkatnya pendapatan atau meningkatnya perokhan prcduksi baik barang dan jasa dikalangan sebagian besar penduduk di pedesaan paling sedikit akan memberikan dua kemungkinan, pertama meningkatnya konsumsi barangbarang dan jasa, sedangkan yang kedua menmgkatnya
tabungan serta pembelian
barang-barang produksi yang pada gilirannya akan memperbesar investasi. Kedua peluang tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang saling kait mengkait secara rumit, baik faktor-faktor struktural, faktor nilai-nilai sosial budaya, faktor mariajemen dan kewiraswastaan, kebijaksanaan pemerintah, faktor-faktor yang bersifat fisik serta faktor-faktor lainnya. Berbagai pengaruh tersebut pada gilirannya dapat merigakibatkan keragaman surplus produksi dan pembentukan modal dalam berbagai lapisan sosial serta wilayah.
Di Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan,
bertambahnya tabungan dan inves-
tasi atau pembentukan modal merupakan pokok yang penting serta merupakan sebagian dari tujuan pembangunan itu sendiri. Dari sudut pandang ekonomi, investasi dan pembentukan modal yang dilakukan oleh sebagian penduduk akan dapat menggerakkan perekonomian pedesaan untuk maju. lnvestasi akan mempengaruhi kesempatan kerja di pedesaan, serta dengan bertambahnya barang-barang modal akan mempunyai akibat yang besar pada kesejahteraan ekonomi pada umumnya. Disamping itu, meningkatnya investasi di pedesaan akan sejalan dengan harapan para pengambil kebijaksanaan dan para pelaksana pembangunan di Indonesia, bahwa pembangunan rnelalui berbagai program lnpres pseda hakekatnya merupakan langkah awal, yang pada gilirannya diharapkan akan diikuti perkembangan kemampuan petani untuk mengembangkan dirinya sendiri, serta menjadikan dukuh serta desanya sebagai pusat pertumbuhan melalui eksploami smnberdaya serta keahlian potensialnya
(Tpdronegoro S84 : 4).
Mengingat pentingnya masalah surplus produksi dan pembentukan modal d i pedesaan, maka pengetahuan yang cukup mendalam tentang aspek tersebut dalam kaitan dengan pembangunan di Indonesia mngatlah dibutuhkan.
Sejauh mana
korrdisi-kondisi ekonomi rnaupun sosial yang tercipta melalui pembangunan, yang antara lain ditandai oleh penurunan
jumlah penduduk miskin, telah berhasil
menumbuhkan surplus produksi serta kemampuan ekonomi dan sosial di kalangan penduduk di pedesaan, semi seberapa jauh faktor-faktor nilai-nilai sosial hdaya, kekuasaan, kebijaksanaan pemerintah, cara dan proses produksi mempengaruhinya. Disamping itu, pengetahuan tentang keberhasilan pembangunan tersebut tidak cukup kalau hanya berbenti pada besarnya surplus produksi dan penggunaannya, namun harus diketahui pula bagaimana surplus itu dihasilkan pada berbagai kelom-
pok serta siapa atau kelompok mana yang paling mampu menyerap manfaat pembangunan yang diupayakan. Dengan demikian secara singkat melalui pemahaman sosiologis ingin diketahui apakah surplus produksi dan pembentukan modal telah terjadi secara nyata di tingkat rumahtangga di pedesaan, bagaimana prosesnya serta distribusinya diantara penduduk di pedesaan?, atau siapakah dan kelompok manakah di dalam masyarakat pedesaan yang paling mampu menyerap manfaat pembangunan itu? Selama ini studi yang dilakukan mengenai masalah pembentukan modal, terutama dikalangan ilmuwan sosial dapat dikatakan masih terbatas.
A.Dewey
(1969 : 230-255) misalnya. mengungkapkan tulisan tentang "Capital, Credit and
Saving in Javanese Marketing" yang membahas tentang pembentukan modal di kalangan pedagang di kota Pare, Kediri melalui kegiatan pasar. Dari sudut pandang ekonomi pedesaan masalah ini pernah digurnuli oleh Soeharjo (1976) melalui disertasi yang berjudul "Estimates of Eflect of the Package of Practices Program
on Capital Formation in Rice Producing Farming" yang dipertahankan di IPB. Bogor.
Kemudian studi yang sifamya l&ih makro ditulis oleh Richard Robison
dengan judul " Indonesia :The Rise of Capital" yang membahas tentang terbentuknya modal elite ekonomi nasional di Indonesia. Studi lain yang penting umumnya mempunyai cakupan yang lebih luas, serta lebih menekankan pembahasan tentang sistem ekonomi pedesaan Jawa dan indonesia secara keseluruhan. Dalam literatur tersebut, dalam telaahnya tentang pembentukan modal, studi tersebut
membahas peluang terbentuk atau tidaknya surplus
produksi dan pembentukan modal dikalangan penduduk di pedesaan Jawa. Studi tersebut terbit dalam buku "Economics and Economic Policy of Dual Socieq as
E\-eniplified by Indonesia " ( 1953) yang ditulis oleh J. H. Boeke dan "Agricltlture
involution" (1963)' yang ditulis oleh Geertz. Dua buku ini mengungkapkan bahwa surplus produksi dan pembentukan modal di pedesaan Jawa tidak terjadi.
Ada
berbagai sebab yang menjadi alasannya. Boeke antara lain menunjuk alasannya pada ketidak-mampuan pelaku ekonomi pribumi dalam memasuki dunia kapitalisme, sedangkan Geertz
menunjuk pada adanya mekanisme "kemiskinan berbagi"
atau shared poverty di pedesaan akibat terjadinya involusi pertanian. Sedangkan dalam penemuan baru, terutama yang muncul setelah tahun tujuh-puluhan antara lain Collier, (1977) mengungkapkan bahwa gejala-gejaia surplus produksi dan pembentukan modal di pedesaan telah terjadi.
Dari segi perkembangan -perkem-
bangan teoritis inilah studi ini diletakkan. Apakah nilai-nilai tradisionil yang cenderung nenekankan konformitas diantara sesarna penduduk p a h a a n telah luntur dan digantikan dengan nilai-nilai komersial. sehingga rumahtangga-rumahtangga ~nernpunyaipeluang u n t u k rnenurnpuk modal? Apakah proses involusi telah rerpatahkan, sehingga kemiskinan berbagi telah berhenti?
Bagaimana prosesnya dan
sejauh rnana peran kekuasaan dan kelembagaan dapat mempengaruhinya ? Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dari aspek surplus produksi dan pembentukan modal di pedesaan Jawa d ilakukan penelitian guna memperoleh gambaran dari masing-masing tipe komunitas yaitu sawah dan ladang, serta membandingkannya.
Seperti diketahui pola
pemukiman penduduk pedesaan Jawa secara garis besar dapat digolongkan dalam dua komunitas tersebut, yaitu komunitas sawah yang umumnya terletak di wilayah dataran rendah atau sepanjang hilir sungai, serta komunitas ladang yang umumnya terletak di wilayah pegunungan, atau disekitar hulu sungai, sehingga gambaran
I .Tcrjcnial~a~~ dalatn haltas? i~ndorlcsiadi~erhitkanpada talltill 1976 (cotnkan pcrtaota) tlan t;Jiuti 198.3 (crtakaa krdua) oleti Pe~~erhit Bl~rataraKarya Aksara untuk LPSP-IPB daa Yayasari O h ~ r dcr~ganju
yang diperoleh dari kedua tipe wilayah tersebut merupakan gambaran yang lengkap. Satuan daerah aliran sungai seperti itu merupakan pola yang lengkap yang mencakup dua tipe komunitas, yang umum terdapat di sebagian besar pedesaan Jawa dan karena itu, sekaligus dapat dil ihat dalam perspektif perbandingannya dalam kaitan dengan kegiatan pembangunan. DAS (Daerah Aliran Sungai) Jratunseluna merupakan daerah aliran sungai di Jawa Tengah yang terdiri atas sungai-sungai Jragung, Tuntang, &rang, b s i dan sungai Juwana, yang meliputi areal seluas 7.900 km2, seluas 4.986-2 km2 atau 63,l % merupakan DAS bagian huiu, sedangkan 2.913.8 km2 atau 36.9 % merupakan
DAS bagian hilir, yang terletak di tiga eks karesidenan Semarang, Pati, dan Surakarta, yang meliputi 9 kahpaten, masing-masing Kabupaten Semarang, Demak, Kudus, Blora. Grobogan, Jepara, Boyolati dan Sragen. Selama dua dasawarsa terakhir ini, dua sub wilayah DAS hulu dan DAS hilir ini menampilkan dua kontras pelaksanaan program pembangunan. Sejak tahun
1970 an bagian hilir mengalami pembangunan serta perbaikan irigasi yang sangat pesat, pembangunan sarana pengendali banjir, sementara di bagian DAS hulu baru awal 1980 an dilakukan program konservasi tanah.
Perbedaan perlakuan ini
mengakibatkan perbedaan tingkat perkembangan serta tingkat kemakmuran diantara petani serta penduduk di dua wilayah pedesaan tersebut, sehingga kemungkinan terjadi perbedaan dalam surp4us produksi dan pembentukan modal, cukup besar. Keragaman potensi dalam mengupayakan surplus produksi dan pembentukan modal oleh petani serta penduduk di pedesaan tidak hanya ditentukan oleh adanya perbedaan tipe lahan. akan tetapi juga ditentukan oleh besarnya satuan usaha. Satuan usaha yang lebih besar sudah barang tentu akan menghasilkan surplus produksi yang lebih besar pula. demikian pula sebaliknya pada satuan usaha yang kecil. Namun perbedaan yang sifatnya deterministis ini akan menjadi Iebih tajam
bila d iatas perbedaan tersebut diletakkan dasar untuk membedakan apakah seseorang boleh mengambil kredit atau tidak. Kebanyakan program peningkatan produksi pangan yang dilaksanakan dalam dua dasawarsa ini seperti Bimas, menuntut adanya agunan tanah dalam memberikan kreditnya. Dengan demikian asas "yang besar" lebih terlayani berlaku disini, dan pada gilirannya dapat mengakibatkan makin timpangnya perbedaan yang ada. Terbatasnya pemahaman tentang modal di pedesaan Jawa di satu pihak serta arti pentingnya permasalahan modal di pedesaan terutama dalam kaitan kemungkinan penciptaan lapangan kerja serta kesempatan berusaha pada sisi lain, menjadikan pemahaman tentang modal menjadi penting.
Oleh karenanya pemahaman
entang aspek modal dan surplus produksi dan pembentukan modal dari berbagai pendekatan. seperti misalnya dari pendekatan sosiologis perlu dilakukan.
1.2. Permasalahan
Dalam masyarakat yang sedang membangun. yaitu dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan penduduk pedesaan pada khususnya, upaya
peningkatan modal petani dan penduduk pedesaan yang meru-
pakan bagian penduduk terbesar di Indonesia merupakan suatu usaha yang penting. Meningkatnya modal yang mereka mil iki disamping akan meningkatkan pendapatan juga memungkinkan terbukanya peluang kerja dan peluang berusaha dalam komunitasnya . Di kebanyakan negara-negara di dunia ketiga. seperti juga di pedesaan Jawa, tingkat ketersediaan modal bagi para petani umumnya rendah. Kebanyakan petani mempunyai luas lahan usaha yang relatif sempit. hidup miskin dan tingkat pendapatannya rendah. Pemilikan mereka merupakan kendala yang utama dalam
penciptaan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya tabungan dan pembentukan modal (Firth R. 1969 : 19). Melalui pembangunan dalam berbagai Pelita pemerintah Indonesia ingin mengatasi masalah tersebut dengan melancarkan berbagai program ke pedesaan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dari berbagai laporan diisyaratkan bahwa sebagian upaya pembangunan itu telah mencapai beberapa hasil. Bagaimana keberhasilan itu nyata ditingkat petani serta bagaimana distribusinya merupakan masalah yang menarik. Sementara itu. masalah surplus produksi, tabungan, modal dan pembentukan modal diantara petani dan penduduk pedesaan bukanlah semata-mata masalah individu. tetapi merupakan masalah yang dibimbing oleh sejumlah ide-ide dan nilainilai umum tentang akumulasi modal dalam komunitas tertentu, serta kelembagaan
.
yang memangkunya (Firth. 1969 : 23) dan dipengaruhi pula oleh kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah (Hart. 1989). cara berproduksi serta struktur pemilikari tanah atau asset produksi yang ada (Geertz 1989: 3 18-322). Dengan demikim dapat diajukan permasalahan yang menyangkut sosial dan ekonomi petani baik di witayah pedesaan hulu maupun di wilayah pedesaan hilir pada masa sekarang. yaitu sejauh mana surplus produksi telah mereka capai. bagaimana surplus produksi dan tingkat pendapatan serta modal petani dapat ditingkatkan?
Faktor-faktor apakah yang mernpesgaruhi surplus produksi serta
pembentukan modal di pedesaan. Kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang bagaimanakah serta kemungkinan-kemungkinan perbaikan tingkup struktur sosiat mana yang mampu meningkatkan surplus produksi dan pembentukan modal?
Hubungan-
hubungan sosial yang bagaimanakah yang mempengaruhi peningkatan modal baik bagi ind ividu maupun masyarakat? Dinam ika sosial-ekonomi yang bagaimanakah yang terjadi dalam proses pembentukan modal baik yang terjadi dalam komunitas tersebut maupun dalam hubungannya dengan komunitas yang lain?
1.3. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga tujuan yang akan dicapai yaitu :
1.
Menjelaskan proses dan cara produksi barang-barang dan jasa rumahtanggal satuan usaha dalam kaitan dengan pencapaian surplus produksi serta pembentukan modal di komunitas pedesaan hulu dan hilir.
Menjelaskan berbagai strategi penggunaan surplus produksi dalam kai-tan dengan pembentukan modal rumahtanggalsatuan usaha dan komunitas di komunitas pedesaan hulu dan hilir.
Menjelaskan pengaruh nilai-nilai dan kelenibagaan. kekuasaan dan kebiiaksanaan pemerintah, proses dan cara produksi. struktur pemilikan tanah. terhadap proses dan cara produksi. strategi penggunaan surplus prduksi dan pembentukan modal rumahtangga/satuan usaha dan komunitas di komunitas pedesaan hulu dan hilir.
1.4. Kegunaan Penelitian.
Penelitian tentang surplus produksi dan pembentukan modal di komunitas pedesaan hulu dan hilir akan mengungkapkan proses pembentukan modal di kalangan penduduk di pedesaan. Diharapkan penelitian ini dapat mengungkapkan bukan hanya proses pembentukan modal pada rumahtangga- rumahtangga di pedesaan dan prosesnya dalam komunitas. akan tetapi juga mengungkapkan kelompok-kelompok masyarakat yang mana yang mampu dan yang tidak mampu melakukan ekstraksi
surplus produksi, dan pembentukan modal serta dapat diproyeksikan untuk melihat pengaruhnya terhadap proses diferensiasi dan stratifikasi serta kelembagaan di pedesaan. Demikian pula penelitian ini diharapkan dapat dipakai oleh para pengambil kebijaksanaan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan program peningkatan produksi dan pendapatan, pemerataan pendapatan dan perkreditan. Disamping itu, dari segi ilmu, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemahaman sosiologis tentang proses pembentukan modal didataran rendah dan pegunungan pedesaan Jawa.