BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata, material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) dalam rangka wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dapat dilihat dengan adanya pembangunan yang sangat pesat sekali pada akhir-akhir ini, contohnya dengan adanya pembangunan Jembatan Nasional Suramadu, pembangunan Pembangkit Listrik Swasta, pembangunan Bandara Kuala Namu di Medan, dan sebagainya (Yuriandi, 2011). Seluruh pekerjaan pembangunan tersebut dilakukan oleh begitu banyak tenaga kerja, apalagi pada pembangunan Jembatan Nasional Suramadu yang menyerap 20% dari total penduduk Madura untuk bekerja dalam pembangunan jembatan tersebut (Yuriandi, 2011). Tenaga kerja adalah ujung tombak perusahaan, dapat dikatakan sebagai pendukung dalam menjalankan roda perusahaan. Ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang keberhasilan pembangunan. Tenaga kerja merupakan salah satu subjek pembangunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa, disamping itu juga merupakan pihak yang ikut menikmati hasil pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Pekerja juga merupakan salah satu faktor produksi yang terpenting dalam suatu perusahaan, pekerjalah yang menentukan kemajuan suatu perusahaan. Sumber daya manusia merupakan unsur utama dalam pelaksanaaan kerja, peralatan secanggih apapun tidak akan berarti tanpa peran sumber daya manusianya. Dengan demikian, pekerja di perusahaan merupakan aset utama perusahaan,
mereka
menjadi
perencana,
pelaksana,
pengendali
dalam
mewujudkan tujuan perusahaan. Perusahaan dengan pekerja memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, pekerja menjadi salah satu faktor produksi perusahaan untuk mencapai tujuan dan perusahaan memberikan sejumlah upah kepada pekerja yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja (Juliani, 2011). Batasan istilah pekerja/buruh diatur secara jelas dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: ”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam hal ini, upah merupakan komponen penting dalam ketenagakerjaan, yaitu sebagai salah satu unsur dalam pelaksanaan hubungan kerja, yang mempunyai peranan strategis dalam pelaksanaan hubungan industrial. Upah diterima pekerja atas imbalan jasa kerja yang dilakukannya bagi pihak lain, sehingga upah pada dasarnya harus sebanding dengan kontribusi yang diberikan pekerja untuk memproduksi barang atau jasa tertentu (UU RI No.13 Tahun 2003, 2004). Dalam menentukan tingkat upah, pihak-pihak sebagai pelaku penerima pekerjaan (buruh) dan pemberi pekerjaan memiliki persepsi yang berbeda. Bagi pengusaha upah merupakan bentuk biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, yang
Universitas Sumatera Utara
berdampak pada keuntungan perusahaan. Oleh karena itu dalam penetapan tingkat upah mereka sangat berhati-hati. Sedangkan bagi buruh, upah merupakan sumber pendapatan, sehingga mereka sangat mengharapkan peningkatan tingkat upah (Sofiana, 2010). Salah satu bentuk keterlibatan pemerintah dalam hubungan industrial adalah dalam penetapan tingkat upah. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan upah minimum. Upah minimum diartikan sebagai ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan perusahaan untuk membayar upah sekurangkurangnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kepada pekerja yang paling rendah tingkatannya. Dengan kata lain, bahwa upah minimum dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk melindungi kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap perusahaan agar memperoleh upah serendah-rendahnya sesuai dengan nilai atau harga kebutuhan hidup layak (Sofiana, 2010). Penetapan kebijakan upah minimum adalah sebagai jaring pengaman (sosial safety net) dimaksudkan agar upah tidak terus merosot sebagai akibat dari ketidakseimbangan pasar kerja (disequilibrium labour market). Juga untuk menjaga agar tingkat upah pekerja pada level bawah tidak jatuh ke tingkat yang sangat rendah karena rendahnya posisi tawar tenaga kerja di pasar kerja. Agar pekerja pada level bawah tersebut masih dapat hidup wajar dan terpenuhi kebutuhan gizinya, maka dalam penetapan upah minimum mempertimbangkan standar kehidupan pekerja (Suwarto, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan penetapan upah minimum sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 diarahkan untuk mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) selain memberi jaminan pekerja/buruh penerima upah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Program pencapaian upah minimum terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menunjukan perbaikan nyata. Hal ini dimaksudkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup akan dicapai secara bertahap (Desri, 2011). Ada tujuh faktor yang harus dipertimbangkan untuk menetapkan upah minimum, yaitu pendidikan dan ketrampilan pekerja/buruh, komponen Kebutuhan Hidup Layak ( KHL ), Indeks Harga Konsumen ( IHK ), kondisi pasar tenaga kerja, kemampuan perusahaan, kemampuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, produktivitas kerja dan kebijakan pemerintah (Suwarto, 2003). Di lain pihak upah minimum juga diharapkan harus dapat mendorong kemajuan usaha dan daya saing sehingga menaikkan tingkat produktivitas. Di sisi lain dalam penetapan upah minimum juga perlu mempertimbangkan kemampuan membayar upah dari usaha-usaha mikro dan kecil yang paling tidak mampu (marginal) untuk tetap hidup yang nantinya usaha-usaha tersebut diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dalam upaya mengurangi pengangguran dan penciptaan lapangan kerja baru (Sofiana, 2010). Hasil penelitian Safrida (1999) menunjukan bahwa respon laju inflasi terhadap upah minimum dan penawaran uang relatif lemah, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lemahnya respon laju inflasi terhadap upah minimum disebabkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang berlebih dan tingkat upah minimum sektoral di Indonesia masih rendah. Kondisi ini menyebabkan tenaga kerja masih bersedia bekerja pada berapapun tingkat upah yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi yang tinggi berkaitan dengan tingkat upah yang dibayarkan kepada pekerja, faktor-faktor ini juga akan berpengaruh terhadap employment yang ada di Indonesia. Besarnya pendapatan sebagian masyarakat dapat juga mendorong terjadinya indlasi. Upah yang semakin
meningkat membuat permintaan
meningkat dan diiringi oleh
meningkatnya harga dan ini dapat memicu kenaikan inflasi karena peredaran uang melimpah (Sadariawati, 2009). Untuk lebih mencermati perkembangan dalam penetapan upah minimum, Bank Indonesia juga telah melakukan liaison ke berbagai pelaku industri, asosiasi usaha, serikat pekerja, dan Pemerintah Daerah. Dari hasil liaison tersebut, beberapa permasalahan umum yang kerap mengikuti penetapan upah minimum antara lain bersumber dari proses penentuan besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan proses penetapan UMP/UMK. Untuk meminimalkan potensi permasalahan penetapan UMP/UMK, hal yang perlu menjadi perhatian terutama perlunya penyempurnaan standar pelaksanaan survei dalam proses penetapan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), terutama pada aspek spesifikasi dan kualitas komoditas (Tinjauan Ekonomi Regional Triwulan I, 2012). Formulasi upah dilakukan secara tripartit antara pengusaha, pemerintah dan serikat buruh untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah yang adil bagi semua pihak, terutama adil buat buruh (Suwarto, 2003). Dalam menentukan tingkat upah minimum terdapat 4 (empat) pihak yang saling terkait yaitu pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja, Dewan Pengupahan Nasional yang merupakan lembaga independen terdiri dari pakar, praktisi dan lain sebagainya yang bertugas memberikan masukan kepada pemerintah, Federasi Serikat Pekerja Seluruh
Universitas Sumatera Utara
Indonesia (FSPSI) sebagai penyalur aspirasi pekerja dan wakil pengusaha melalui APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Mereka bertugas mengevaluasi tingkat upah minimum yang berlaku pada saat tertentu dan memutuskan apakah tingkat upah tersebut sudah saatnya untuk dinaikkan atau belum (Desri, 2010). Dewasa ini paling tidak ada 5 (lima) faktor utama yang diperhitungkan pemerintah dalam menetapkan tingkat upah minimum, yaitu Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK) atau tingkat inflasi, Perluasan kesempatan kerja, Upah pada umumnya yang berlaku secara regional, dan Tingkat perkembangan perekonomian daerah setempat. Dari sudut kebutuhan hidup pekerja, terdapat 2 (dua) komponen yang menentukan tingkat upah minimum, yaitu kebutuhan hidup minimum (KHM) dan laju inflasi. Berbagai bahan yang ada dalam komponen KHM dinilai dengan harga yang berlaku, sehingga menghasilkan tingkat upah (Desri, 2010). Tjiptoherijanto (dalam Desri, 2010), harga sangat bervariasi antardaerah serta adanya situasi-situasi lokal yang tidak mungkin berlaku secara nasional, maka tingkat upah minimum tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah atau lebih sering dikenal dengan upah minimum propinsi (UMP). Persoalan lain dalam formulasi UMK (Upah Minimum Kota) adalah mengenai Survei KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Persoalan penentuan harga barang yang menjadi item atau komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi salah satunya, buruh menghendaki barang-barang dengan harga yang relatif tinggi sebaliknya unsur pengusaha ingin mendapatkan data barang-barang dengan harga yang relatif rendah. Selain itu survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ternyata hanya merupakan bahan pertimbangan atau rekomendasi saja
Universitas Sumatera Utara
dalam menentukan besaran upah dan tidak ditetapkan sepenuhnya. Inilah yang membuat survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) masih sangat lemah (Desri, 2010). Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah survei yang dilakukan oleh dewan pengupahan terhadap item-item KHL yang disepakati dan yang mewakili kebutuhan buruh yang sebenarnya. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) diamanatkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pasal 89 juga dijelaskan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penetapan upah minimum dicapai secara bertahap. Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan (Permenakertrans Nomor PER17/MEN/VIII/2005 Pasal 1) . Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penetapan UMP sangatlah krusial dalam perumusan pengupahan. Sehingga apabila kebijakan upah minimum belum setara dengan hasil survei KHL maka upah yang layak sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 4 dan 89 belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan yang menyatakan bahwasanya UMP haruslah sesuai dengan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang pencapaiannya dilakukan secara bertahap. Tuntutan-tuntutan buruh akan upah yang layak menjadi input dalam formulasi kebijakan pengupahan. Tuntutan yang lahir dari buruh ini selanjutnya akan dikonversi dalam proses formulasi menjadi kebijakan
Universitas Sumatera Utara
pengupahan nantinya. Melalui Formulasi kebijakan pengupahan dirumuskan tingkat upah yang menjadi dasar pengupahan setiap daerah. Oleh karena itu besaran tingkat upah masing-masing daerah kabupaten/kota berbeda. Hal ini disesuaikan berdasarkan kemampuan ekonomi makro setiap daerah (Suwarto, 2003). Penelitian yang dilakukan SMERU (2003) menunjukan bahwa faktor pembentuk Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang di tentukan oleh pemerintah belum bisa mencukupi biaya hidup pekerja. Apalagi faktor penentunya seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sangat berpengaruh dalam menentukan nilai akhir Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Tim peneliti SMERU (2003) menganggap bahwa dalam menentukan nilai faktor-faktor di atas harus melalui survei yang luas dengan mempertimbangkan kebutuhan pekerja karena akan sangat mempengaruhi upah minimum pekerja. Berdasarkan penjelasan dan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul analisis faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP).
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut , permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Apakah faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu makanan dan minuman, sandang pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi berpengaruh terhadap nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL)?
Universitas Sumatera Utara
2. Apakah faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu makanan dan minuman, sandang pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi berpengaruh terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP)? 3. Apakah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) memberikan pengaruh terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terhadap nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). 2. Menganalisis faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP). 3. Menganalisis sejauh mana Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
memberikan
pengaruh terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP).
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini antara lain : 1. Bagi peneliti untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang menarik dan menjadi salah satu masukan dalam mempertimbangkan keputusan penentuan besaran nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Universitas Sumatera Utara
3. Bagi perusahaan dan pekerja, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai upah agar keharmonisan antara pekerja dan pengusaha dapat terus dijaga dan dikembangkan. 4. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan melengkapi temuan empiris yang sudah ada di bidang pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan untuk kemajuan dan pengembangan ilmiah di masa akan datang dan memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara