BAB
3
KONSEP UMUM TEKNOLOGI BERSIH
Pengantar Bab ini berisi tentang perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap lingkungan. Pentingnya penerapan teknologi yang berwawasan lingkungan juga dibahas dalam bab ini dan contoh proses produksi dari berbagai macam industri di tanah air. Kemampuan akhir yang diharapkan adalah mampu mengidentifikasi proses-proses yang dilakukan berbagai industri dalam memproduksi barang jadi, mampu mengidentifikasi proses-proses yang dilakukan berbagai industri dalam memproduksi barang jadi dan mampu mengidentifikasi sumber dan karakteristik limbah berdasarkan proses industri yang ada. 3.1 PENDAHULUAN Memahami teknologi rancang bangun yang berwawasan lingkungan sebagai suatu konsep harus didahului dengan pemahaman tentang wawasan lingkungan itu sendiri. Artinya bahwa sistem pendekatannya harus didasarkan pada masalah lingkungan yang ada sebab tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari aktivitas penggunaan teknologi tersebut. Dengan demikian, orientasi teknologi yang dimaksud menjadi selaras dengan sistem lingkungan dalam proses pembangunan secara menyeluruh. Karena itulah, perlu kembali ditinjau kembali falsafah yang melatarbelakangi timbulnya konsep teknologi yang berwawasan lingkungan ini dengan melihatnya dalam perpektif pembangunan secara umum. Menurut Emil Salim (1993), terdapat empat pendekatan masalah lingkungan yang dapat dilaksanakan dalam proses pembangunan, yaitu: 1. Pendekatan masalah lingkungan dari sudut kependudukan Pertambahan penduduk Indonesia memberi pengaruh negatif besar kepada lingkungan terutama terhadap lingkungan pemukiman. 2. Pendekatan masalah lingkungan dari sudut sektoral Pendekatan ini dilakukan dengan mengendalikan efek negatif pengembangan sektoral terhadap lingkungan. Misalnya, pembangunan sektor pertanian dengan penggunaan pupuk dan pestisida menimbulkan pengaruh sampingan yang perlu dikendalikan. 3. Pendekatan masalah lingkungan dari sudut media lingkungan seperti tanah, air, ruang, pesisir dan lautan. Perencanaan tata guna media ini secara tepat
35
dengan mengindahkan kelestarian sumber alam dalam proses pemanfaatannya merupakan inti dari pendekatan ini. 4. Pendekatan masalah lingkungan dari sudut unsur-unsur penunjang, seperti pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi, pembinaan hukum dan aparatur serta pengaturan biaya pembangunan lingkungan hidup. Dalam sistem pendidikan maka lingkungan hidup ingin dimasukkan dalam pendekatan pengajaran ilmu, ilmu alam, sosial dan lain-lain tanpa menambah kurikulum. Berpangkal pada pendekatan tersebut maka Garis-garis Besar Haluan Negara menggariskan pokok-pokok pengarahan kebijaksanaan pembangunan dengan pengembangan lingkungan bagi pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup sebagai berikut: a.
Kegiatan inventarisasi dan evaluasi sumber alam perlu lebih ditingkatkan dengan tujuan lebih mengenal sumber alam hutan, tanah, air dan energi yang diperlukan bagi pembangunan;
b.
Dalam penggalian, pengolahan dan pemanfaatan sumber-sumber alam dan pembinaan lingkungan hidup perlu digunakan teknologi yang sesuai sehingga mutu dan kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup dapat dipertahankan;
c.
Dalam pelaksanaan pembangunan perlu diadakan penilaian seksama terhadap pengaruhnya bagi lingkungan hidup, sehingga pengamanan terhadap pelaksanaan pembangunan dan lingkungan hidupnya dapat dilakukan sebaik-baiknya. Penilaian ini perlu dilakukan secara sektoral dan regional. Untuk ini perlu dikembangkan kriteria mutu baku lingkungan hidup;
d.
Rehabilitasi sumber alam berupa tanah dan air yang rusak perlu lebih ditingkatkan melalui pendekatan terpadu daerah aliran sungai dan wilayah. Sehingga program penyelamatan hutan, tanah dan air perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan;
e.
Pendayagunaan daerah pantai dan laut perlu ditingkatkan tanpa merusak mutu dan kelestarian lingkungan hidup;
f.
Dalam pembangunan pemukiman diberi prioritas kepada lingkungan hidup bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
perhatian
Demikianlah enam pokok garis kebijaksanaan pokok pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup, mencakup pertama, pengenalan garis awal (base line) lingkungan; kedua, pilihan teknologi yang sesuai dan tidak merusak; ketiga, penerapan analisa-dampak-lingkungan dalam proses pembangunan; keempat, pendekatan terpadu untuk mengatasi atau mencegah kerusakan lingkungan; kelima, perhatian khusus kepada pendayagunaan daerah pantai dan laut; keenam, orientasi perbaikan lingkungan hidup bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
3.2 PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN Teknologi berkembangan pesat sejak Revolusi Industri dimulai sekitar abad ke 18 yang lalu. Hal ini ditandai dengan tingkat eksploitasi sumberdaya alam yang tinggi
36
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam proses perkembangannya revolusi ini juga membawa dampak yang besar terhadap lingkungan. Kerusakan yang ditimbulkan kemudian terhadap sistem biologis, estetika maupun terhadap sistem planet secara global dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini: Tabel 3.1. Dampak kerusakan lingkungan akibat aplikasi sistem teknologi ditinjau dari beberapa dimensi Kerusakan Terhadap Sistem Biologis
Hujan Asam (Efek Akuatik)
Udara Toksik (mis: smog)
Degradasi Air Tanah
Lokasi Limbah B3
Herbisida, pestisida
Tumpahan minyak (efek kehidupan liar)
Degradasi air permukaan
Radioaktif
Bahan B3 di Sedimen
Bahan B3 di Lumpur
Kehilangan habitat
Degradasi Estetik
Hujan Asam (korosi)
Tumpahan minyak (efek visual)
Kehilangan efek visual
Kehilangan kesempatan untuk mengalami kehidupan yang alami
Kerusakan Terhadap Sistem Planet
Kehilangan keanekaragaman hayati Perubahan sirkulasi laut Pemanasan Global Pengurangan Lapisan Ozon Kehilangan tanah subur
Adanya dampak lingkungan ini tidak lepas dari sifat teknologi saat itu yang cenderung lebih bersifat reaktif terhadap pemenuhan kebutuhan yang sesaat sehingga tidak memperkirakan dampak yang timbul kemudian. Sebagai contoh, beberapa masalah lingkungan yang timbul saat ini adalah merupakan respon dari kebutuhan saat lalu yang diatasi dengan solusi yang tidak diperkirakan dampaknya (Tabel 3.2). Timbulnya berbagai masalah lingkungan menyebabkan reaksi yang berbeda-beda dalam menyikapi teknologi. Berbagai pendekatan dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan lingkungan dari kehancuran. Analisis terhadap pendekatan yang berbeda ini beserta implikasinya, seperti tampak pada Tabel 3.3 memaksa kita untuk menentukan pilihan yang tepat dalam merancang maupun menggunakan teknologi bagi pembangunan.
37
Tabel 3.2. Masalah Lingkungan saat ini sebagai dampak dari respons kebutuhan saat yang lalu Kebutuhan saat yang lalu
Solusi saat yang lalu
Refrigerant yang non-toksik
Chloro Fluoro
dan tidak mudah terbakar
carbons (CFC)
Anti knocking agent untuk
Tetra Ethyl Lead
kendaraan bermotor
(TEL)
Malaria, Locusts
DDT
Pupuk untuk Produksi Pertanian
Pupuk N dan P
Masalah Lingkungan saat ini Lubang ozon
Timbal dalam air dan udara
Efek pada burung dan binatang menyusui Eutrofikasi danau dan estuary
3.3 TREND TEKNOLOGI Dalam perkembangan selanjutnya, teknologi sendiri berkembang dengan kecenderungan yang dapat dikategorikan, menurut Graedel dan Allenby (1995), adalah sebagai berikut: 1. Dematerialisasi, yaitu teknologi yang berupaya memanfaatkan lebih sedikit bahan baku untuk menghasilkan kegunaan atau fungsi yang sama bahkan lebih baik, 2. Substitusi, penggunaan bahan baku yang cenderung lebih bersahabat dengan lingkungan untuk mengganti bahan baku yang kurang bersahabat. 3. Dekarbonisasi, yaitu perubahan dalam pola penggunaan energi yang lebih efisien. Di negara maju, intensitas energi telah berhasil dikurangi lebih dari setengahnya, sehingga hal ini akan mengurangi tingkat polusi terhadap lingkungan. 4. Komputerisasi, sistem ini mencegah berkembangnya hal-hal yang berada diluar kontrol manusia, sehingga pengendalian proses dapat terjamin dengan baik. Tabel 3.3. Berbagai pendekatan ekologi dalam menyikapi dampak lingkungan yang ditimbulkan teknologi Pendekatan
Dampak terhadap Teknologi
Ekologi Radikal
Kembali ke Teknologi Rendah
Implikasi Pertumbuhan populasi tanpa kelola, gangguan terhadap
38
ekonomi, teknologi dan budaya Ekologi Dalam
Teknologi Tepat Guna, jika mungkin Teknologi Rendah
Populasi penduduk yang lebih rendah, perlu banyak penyesuaian dengan ekonomi, teknologi dan status-quo budaya.
Ekologi Industri
Berdasarkan pada evolusi teknologi dalam batas-batas lingkungan; bukan Teknologi Rendah kecuali bila terpaksa.
Populasi penduduk yang relatif lebih tinggi, perlu banyak penyesuaian dengan ekonomi, teknologi dan status-quo budaya.
Kelanjutan Status Quo
Mengadopsi sementara mandat tertentu (misalnya melarang CFC/freon) sehingga mempunyai efek yang kecil terhadap trend secara menyeluruh.
Pertumbukan populasi tanpa kelola, gangguan terhadap ekonomi, teknologi dan budaya
Walaupun begitu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan karena dapat menentukan perkembangan kencenderungan teknologi di atas, yaitu: 1. Laju perkembangan teknologi sendiri yang tidak dapat diduga dan sangat tak teratur 2. Proses difusi teknologi yang sangat ditentukan pelaksanaannya oleh adanya kehendak politik pemerintah maupun masyarakat 3. Tingkat kesulitan dalam penetapan kebijakan untuk teknologi ramah lingkungan yang harus dipilih padahal sangat tidak mungkin memprediksi teknologi mana yang terbaik dan paling kecil dampak lingkungannya. Kontradiksi Negara Maju vs. Negara Berkembang Perkembangan teknologi yang didasarkan pada negara maju ini, memang disebabkan oleh adanya perbedaan dalam status kondisi pembangunan yang berbeda dengan negara berkembang, sehingga hal ini menyebabkan pola penggunaan sumberdaya alam yang berbeda pula. Pada negara maju, laju penggunaan sumberdaya alam sudah pada tahap endogenous atau penurunan. Sedangkan pada negara-negara berkembang justru pada tahap yang meningkat seperti negara maju saat dimulainya revolusi industri beberapa abad yang lalu. Melesatnya penggunaan sumberdaya alam pada negara berkembang adalah karena dalam abad terakhir ini, pertumbuhan kesadaran akan hak hidup dan hak azasi telah berkembang sedemikian cepatnya sehingga bisa dihitung ada hampir 200 negara di dunia yang menyatakan merdeka menjelang abad 21 ini. Kesadaran akan kebutuhan persamaan hak sebagai bangsa ini kemudian dibarengi dengan upaya peningkatan taraf hidup dengan mengeksploitasi sumberdaya alam (Gambar 3.1).
Saat kini (negara maju)
Penggunaan
Saat kini (negara berkembang)
Kondisi Pembangunan
39
Gambar 3.1. Laju penggunaan SDA dalam kondisi pembangunan yang berbeda. Dengan fakta semakin menipisnya sumberdaya alam dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, manusia di muka bumi semakin kritis terhadap satu sama lain untuk mempertahankan eksistensinya. Negara maju yang sudah berkecukupan dengan taraf hidup yang dicapai, merasa perlu untuk berkonsentrasi pada pemulihan kondisi lingkungan dengan integritas preservasi lingkungan. Sedangkan negara berkembang, yang baru memulai aktivitas pembangunan industrinya, merasa bahwa prioritas utama adalah peningkatan taraf hidup dari batas kemiskinan sehingga masalah pencemaran lingkungan menjadi prioritas yang kesekian. Lagipula, selama ini mereka merasa bahwa kualitas lingkungan yang memburuk adalah akibat aktivitas industri negara maju yang telah “mengekspor” industri dan teknologinya di negara berkembang yang relatif lebih rendah standar peraturan lingkungannya. Adanya perbedaan persepsi dalam pendekatan terhadap masalah lingkungan ini menyebabkan perdebatan yang panjang dalam penetapan konsep penyelamatan lingkungan melalui teknologi dan pembangunan yang berwawasan lingkungan tersebut. 3.4 HUBUNGAN ANTARA TEKNOLOGI DAN LINGKUNGAN Pembakaran biomassa Pembakaran sumber biomassa merupakan sumber utama pencemaran atmosfir. Spesies yang diemisikan adalah karbondioksida, karbon monoksida, nitrogen oksida, methana, methyl klorida, beberapa jenis hidrokarbon dan partikulat. Tingkat komposisi gas bergantung pada jenis material dan proses yang digunakan. Sumbernya dapat berasal dari proses alami (seperti kebakaran hutan) maupun kegiatan manusia (anthropogenic). Saat ini perkiraan pembakaran biomassa adalah sekitar 2 - 5 x 1015 gC/tahun, yang terutama berasal kawasan tropis. Produksi Crop/Benih Produksi benih berhubungan dengan perubahan tataguna lahan dan kimia tanah, sehingga berpotensi untuk mempengaruhi atmosfir. Yang paling banyak berpengaruh adalah karbondioksida saat terjadi oksidasi bahan organik dalam tanah. Sedangkan padi, misalnya, tumbuh dalam kondisi anaerobik sehingga menghasilkan gas methana yang cukup besar. Apalagi dengan adanya program intensifikasi maupun ekstensifikasi produksi padi. Hal ini menyebabkan sawah menjadi salah satu kontributor gas methan yang besar. Dilain pihak transformasi lahan subur menjadi lahan kering juga menjadi hal yang serius. Setidaknya selama kurun waktu 45 tahun terakhir, telah terjadi degradasi lahan subur sekitar 2000 juta hektar. Penyebabnya adalah proses degradasi kimia (kehilangan nutrien, salinisasi, polusi) dan kerusakan fisik (kompaksi, genangan air, dan larian air hujan). Luas area lahan yang digunakan per penduduk untuk produksi hasil pertanian menjadi turun akibat kenaikan jumlah penduduk dan peningkatan efisiensi pertanian, namun penggunaan pupuk dan energi per satuan produksi justru meningkat sangat tajam.
40
Binatang Ternak Binatang ternak dapat menyebabkan timbulnya beberapa jenis gas ke atmosfir. Gas methane merupakan hasil dari fermentasi dari pencernaan binatang ternak, yang walaupun sulit diestimasi tetapi diperkirakan menyumbang 15% dari sumber produksi methan total. Hal ini diperkirakan akan terus berlangsung sejalan dengan tingginya kebutuhan akan konsumsi daging akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Produksi dan Penggunaan Batubara Batubara adalah sumber energi yang relatif murah dan banyak tersedia di alam dibandingkan dengan cadangan minyak dan gas bumi. Namun di lain pihak, batubara juga merupakan sumber emisi gas pencemar yang besar ke atmosfir. Sehingga kondisi yang kontradiktif ini menyebabkan sulitnya menggunakan batubara di masa yang akan datang sebagi alternatif energi yang dapat menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pada saat proses penambangan, batubara dapat mengeluarkan methan yang telah lama terperangkap. Pada saat proses pembakaran, batubara menghasilkan gas-gas CO2, CO, HC, NOX, SO2, dan jelaga. Diduga pula dapat mengemisikan HCl, NH3, dan beberapa jenis logam berat, seperi Hg. Secara umum, kandungan energi persatuan beratnya lebih rendah daripada minyak atau gas bumi, sedangkan jumlah emisi pencemarnya relatif lebih tinggi. Penggunaan minyak bumi Sejak awal abad ke 20, penggunaan minyak bumi sebagai energi meningkat sangat pesat terutama untuk kendaraan bermotor. Bahkan pada tahun 1975, emisi CO2 yang berasal dari sumber minyak bumi ini untuk pertama kali menyusul sumber batubara. Hal ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai abad ke 21 ini. Ekstraksi minyak bumi menghasilkan emisi gas juga, namun bagian terbesar dihasilkan saat pembakarannya. Berbagai jenis gas hidrokarbon dihasilkan disamping CO2, atau dalam bentuk CO bila pembakaran terjadi secara tidak sempurna. Produksi Gas Alam dan Penggunaannya Gas alam mempunyai kadar pencemaran yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak bumi. Kadar pencemar terbesar yang dihasilkan adalah dan sedikit methan. Diperkirakan cadangan gas bumi ini tidak banyak sehingga sampai pertengah abad mendatang, penggunaannya sudah akan dihentikan. Residu Buangan Pembuangan limbah secara tradisional dilakukan ke dalam tanah, yang kemudian dikembangkan dengan menggunakan sistem penutup untuk mencegah timbulnya bau dan penyebaran sampahnya. Di negara maju, problem leaching pun dapat diatasi dengan menggunakan sistem lining, sehingga pencemaran terhadap air tanah dapat dihindari. Namun kedua persoalan pencemaran tersebut, di Indonesia, belum dapat diatasi secara baik mengingat mahalnya biaya penutupan maupun pelapisan liner, sehingga masalah pencemaran dari sektor ini masih merupakan hal yang serius. Pencemaran atmosferik ditandai dengan produksi methan yang relatif tinggi (diduga menyumbang 6-15% dari total emisi methan. Bentuk penanganan alternatif untuk limbah pada ini adalah dengan menggunakan sistem pembakaran, yaitu insinerator. Bentuk pencemaran yang utama adalah
41
karbondioksida sehingga mempunyai efek yang lebih rendah dibandingkan methan. Namun pada sistem pencemaran yang tidak sempurna akan dihasilkan gas yang relatif berbahaya yaitu dioksin, logam berat, HCl dan bahan kimia lainnya. Proses Industri Manufaktur Proses emisi pencemar juga berasal dari proses industri manufaktur yang mempunyai polutan yang dapat berbahaya bagi badan air permukaan maupun air tanah. Misalnya logam berat dari industri pelapisan logam, pestisida dan herbisida dari industri pertanian, pelarut organik dari industri pembersih dan asam kuat dari industri kimia, dan sebagainya. Berbahaya karena disamping kadar toksisitasnya juga umur tinggalnya yang relatif lama. Sedangkan emisi polutan ke atmosfir, ada 3 ciri yaitu: -
Emisi yang sejenis dengan freon (CFC) dan turunannya
-
Emisi yang berupa CO2
-
Emisi yang berupa partikel atmosferik (termasuk trace metals)
3.5 TEKNOLOGI RANCANG BANGUN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Teknologi rancang bangun yang berwawasan lingkungan, secara ideal harus dapat mengantisipasi dampak yang ditimbulkan sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Strategi pemerintah kita dalam mengantisipasi masalah lingkungan selama ini adalah dengan mengeluarkan regulasi/kebijaksanaan yang diadaptasi dari negara maju. Misalnya dalam masalah pengendalian pencemaran; teknis penyusunan dokumen Amdal, ambang batas air limbah industri maupun badan air, telah diadaptasi dari peraturan-peraturan yang berlaku di Canada dan Amerika Serikat. Konsekuensi dari kiat ini adalah bahwa bukan tidak mungkin trend penerapan kebijakan dalam masalah pengendalian pencemaran lingkungan hidup di Indonesia, juga akan mengikuti alur perubahan yang berlaku di Amerika Utara tersebut. Kita mungkin mencatat bahwa pada tahun 80-an, di Amerika Serikat dicanangkan target agar setiap industri dapat mengolah limbahnya sedemikian rupa sehingga tidak dihasilkan limbah sama sekali yang dibuang ke lingkungan (zero waste production growth). Pada dekade ini, perkembangan teknologi pengolahan limbah menganut azas 4-R, yaitu recycle, reuse, recovery, dan recuperacy. Namun pada awal tahun 90-an terbukti bahwa hal tersebut lebih merupakan sebuah utopia daripada kenyataan; mengingat keterbatasan perkembangan teknologi pengolahan limbah sendiri maupun semakin tingginya kualitas pencemaran. Strategi berikutnya - karena tidak atau belum mungkinnya menghilangkan limbah sama sekali dari suatu proses industri - adalah berusaha meminimalkan limbah, yang kemudian kita kenal dengan istilah waste minimization. Secara teknis, aspek ini menitik beratkan pengendalian lingkungan pada bagian hulunya bukan bagian hilir (the end-pipe technology). Hal ini dilandasi pada assumsi bahwa pemilihan bahan baku yang tepat (environmentally friendly), akan menghasilkan limbah yang seminimal mungkin, sehingga otomatis pengolahannya pun relatif akan lebih mudah
42
dan ekonomis. Perkembangan ini kemudian menghasilkan pengklasifikasian produkproduk bahan baku industri yang bersahabat dan tidak bersahabat terhadap lingkungan. Pihak industri dihimbau untuk menggunakan bahan-bahan yang bersahabat lingkungan tersebut, dari pada harus memikirkan jenis teknologi canggih apa lagi yang harus digunakan untuk mengolah limbahnya agar memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Hal yang kemudian kita adaptasi dari strategi tersebut adalah 'kembangnya' kiat di atas yaitu pemberian label warna kepada perusahaan dan industri berdasarkan tingkat pencemarannya terhadap lingkungan, penyempurnaan dokumen Amdal yang lebih bersifat teknis, dan yang masih hangat adalah penerapan Sistem Manajemen Lingkungan ISO seri 14000 bagi perusahaan dan industri di Indonesia Hasil dari pelaksanaan kebijakan ini di Indonesia belum kelihatan, setidaknya butuh perioda lima tahun untuk mengetahui apakah kebijakan ini berhasil atau tidak. Namun nampaknya kesuksesan kebijakan ini, sangat bergantung pada pembenahan dalam hal keterpaduan antar institusi yang terkait, mengingat faktor yang menyebabkan degradasi kualitas lingkungan di Indonesia adalah diantaranya disebabkan oleh kegagalan institusi maupun kurangnya informasi ilmiah yang mendukung. Pengembangan teknologi berwawasan lingkungan di Indonesia sampai saat ini, masih mengandalkan teknik konvensional, hal ini diduga akan tetap sama dalam tahun 2000 ini akibat tekanan ekonomi dan moneter yang berat. Hal ini berpengaruh terhadap semakin lambatnya perkembangan teknologi berwawasan lingkungan ini. Trendnya adalah lebih mengutamakan upaya perolehan kembali energy (energy recovery) untuk mengantisipasi semakin terbatasnya sumber energi, serta upaya mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia dan maintenance. Teknologi untuk mengurangi pencemaran udara, baik yang meliputi emisi partikulat maupun emisi gas masih sedang berkembang. Di Amerika Serikat sendiri, teknologi ini masih dianggap belum lengkap. Penggunaan teknologi ini di Indonesia masih sangat jarang, bahkan industri yang menggunakannya pun masih dapat dihitung jari, demikian pula ahli yang menangani bidang ini. Sehingga dalam jangka waktu yang akan datang, bidang ini perlu lebih dikembangkan, mengingat permalahan pencemaran udara oleh aktivitas industri makin meningkat serta dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran udara jauh lebih potensial daripada pencemaran air, karena penyebarannya relatif lebih dinamis. Aspek yang perlu dikembangkan adalah pengembangan metoda pengendali partikulat yang lebih ekonomis, baik emisi partikulat yang berasal dari sumber industri (tradisional) maupun non-tradisional (fugitive sources), serta karakterisasi emisi partikulat. Sedangkan emisi gas, sesuai dengan permasalahan yang ada saat ini, perlu dikembangkan metoda pengendalian gas SOx, NOx dan volatile organic compounds (VOC). Teknik pengendalian air limbah saat ini tampak tidak banyak ditangani oleh penciptaan teknologi rangcang bangun yang baru, sebab pendekatannya dalam dengan mencanangkan program pengendalian pencemaran dari hulunya, sehingga titik beratnya terletak pada pemilahan jenis bahan baku, efisiensi mesin produksi, penggunaan air untuk proses maupun untuk cooling, dan sebagainya. Sehingga pembenahan ke dalam (in-house keeping) menjadi prioritas melalui evaluasi yang
43
terkendali dan mudah dipantau (audit lingkungan). Walaupun teknik-teknik ini bisa 'menjebak' pelakunya menjadi sekedar menjalankan formalitas administratif belaka, namun sebenarnya apabila dikembangkan secara benar akan memperkuat infrastruktur program pengendalian pencemaran lingkungan di Indonesia. Permasalahan teknologi yang paling menantang di masa yang akan datang adalah penanganan limbah B3. Seiring dengan program pengendalian 'hulu' di atas, diharapkan jumlah limbah B3 yang dihasilkan oleh industri akan berkurang. Prinsip dari pengendalian limbah B3 yang utama adalah tindakan preventif, yaitu seminimal mungkin tidak menggunakan bahan baku yang mengandung atau menghasilkan limbah B3. Sedangkan dalam teknik pengolahan limbah B3, yang pertama harus dipertimbangkan adalah teknik re-use, dan baru digunakan proses-proses lainnya; yaitu detoksifikasi kimiawi/fisik, pemisahan emulsi, incinerasi, dan yang terakhir pembuangan. Dalam pandangan penulis, kerjasama dengan pihak swasta untuk mengolah limbah B3 ini secara terpusat dan terintegrasi jauh lebih ekonomis dan lebih kecil resikonya dibandingkan dengan mengolah sendiri. 3.6 PENERAPAN TEKNOLOGI PADA BEBERAPA JENIS INDUSTRI Berikut ini teknologi yang digunakan pada beberapa jenis industri: A.
Pabrik Kertas
Secara umum proses pembuatan kertas dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Tahap Persiapan (Stock Preparation) 2. Tahap Transisi (Approach System) 3. Tahap Pembentukan (Paper Machine Process) Stock Preparation Stock Preparation Paper Machine Process 1. Tahap Persiapan (Stock Preparation) Tahap ini adalah tahapan awal dari proses pembuatan kertas, dimana bahan serat diolah menjadi buburan pulp. Pada tahap ini segala kebutuhan untuk proses pembuatan kertas (baik pulp maupun additives) disiapkan agar kertas yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Pada tahap persiapan ini terdapat berbagai macam proses seperti: a) Repulping Process (Proses Pemasakan Pulp) Pulp yang berbentuk bulk dimasukkan ke dalam pulper melalui belt-conveyor. Di dalam pulper pulp dihancurkan dan dimasak dengan dicampur fresh water atau white water. Setelah pulp berbentuk buburan kemudian dimasukkan ke dalam pulper tower untuk dikirim ke cleaner. b) Cleaning Process (Proses Pembersihan Pulp) Pulp yang berupa buburan dipisahkan dari kotoran. Proses pemisahan ini menggunakan prinsip gravitasi dimana berat jenis buburan yang lebih besar akan turun ke bawah (dibuang) sedangkan yang memenuhi naik ke refine. Tujuan penyaringan ini agar buburan benar-benar homogen. c) Refining Process (Proses Penghalusan Pulp)
44
Buburan yang sudah homogen dimasukkan agar kertas yang dihasilkan sesuai dengan kualitas yang diinginkan. d) Broke Treatment Process (Proses Pengolahan Avalan) Avalan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
Wet Broke
Dry Broke
e) White Water Recovery Process (Proses Pengolahan White Water) Persedian white water diperoleh dari thickener dan seal pit. White water ini digunakan sebagai bahan pembantu di semua proses stock preparation dan mesin. f) Mixing Process (Proses Pencampuran Pulp) LBKP dan NBKP berupa buburan serta broke masuk ke mixing chest. Ketiga bahan tersebut dicampur hingga merata dengan ditambah bahan kimia. Setelah merata dimasukkan ke machine chest.
2. Tahap Transisi (Approach System) Tahap transisi pada dasarnya menunjukkan fungsi dari fan pump dimana campuran pulp dilarutkan dan dicampur dengan bahan kimia yang diperlukan. Hasil campuran tersebut kemudian di cleaner dan di screen lagi agar lebih bersih sebelum menuju ke head box. Tahap transisi melibatkan beberapa alat, yaitu: a) Machine ches Untuk menampung suspensi serat dari mixing chest juga overflow dari stuff box serta mengatur konsentrasi secara otomatis. b) Stuff box Untuk menampung campuran yang masih kental sebelum masuk ke silo tank danmengatur flow buburan. c) Silo tank Berfungsi untuk menampung white water yang jatuh secaragravitasi dari wire part, suvtion box, couch roll, press part dan wire pit. Air ini digunakan sebagai pengencer aliran stock yang masuk ke fan pump. d) Fan pump Merupakan pompa yang digerakkan oleh motor denga kapasitas tertentu yang dapat diatur sehingga dapat digunakan untuk mendorong buburan pulp dengan kecepatan tinggi ,enuju cleaner. e) Dearator Alat ini berfungsi untuk memisahkan serat dari campuran. Setelah terpisah dan ditambah bahankimia dipompa masuk ke cleaner dan screen. f) Cleaner & sreen
45
Kedua alat ini berguna untuk memisahkan dan menyaring campuran dari kotoran sehingga campuran benar-benar bebas dari kotoran sebelum dimasukkan ke head box untuk disemprotkan ke wire dan dibentuk menajdi lembaran kertas. 3. Tahap Transisi (Approach System) Tahap ini merupakan tahap pembentukan kertas sesuai dengan yang dikehendaki (meliputi: GSM, ukuran dan jenis kertas). Tahap pembentukan melibatkan beberapa alat, aykni: a) Head box Head box menrima stock yang idkirim dari fan pump melalui cleaner dan screen untukkemudian memancarkan secara merata selebar mesin kertas dan mengirim ke lice dengan kecepatan sesuai dengan kecepatan mesin pada konsistensi yang seragam. b) Wire Alat ini berfungsi untuk menganyam campuran dari head box menjadi lembaran kertas. Pada wire terdapat shower yangberfungsi sebagai pemotong lembaran kertas sesuasi dengan lebar roll pada wire dan juga sebagai pencuci roll. c) Presspart Alat ini berfungsi untuk mengurangi kadar air dari kertas dan membuat kertas lebih halus dan padat sesuai dengan grammmature yang diinginkan. d) Pre dryer Alat ini berfungsi untuk mengeringkan kertas dari press part dengan penguapan. e) Sym-sizer / size press / size part Alt ini untuk menambahkan bahan sizing pada kertas (agar kertas tidak luntur jika dipakai untuk menulis, lebih tahan lama, lebih putih, tidak berpori, dll). f) After dryer Fungsinya sama seperti pre-dryer hanya pada tahap ini kertas sudah di coating. g) Calendar Fungsi alat ini adalah agar kertas memiliki smoothness dan thickeness yang baik. h) Pope Reel Fungsi alat ini untuk menggulung lembaran kertas menjadi roll paper. i)
Rewinder Fungsi alat ini adalah untuk memotong dan menggulung kertas sesuai dengan ukuran yang diiinginkan.
Setelah ketiga tahap di atas selesai, maka kertas yang tergulung (roll paper)siap untuk dijual atau diproses lebih lanjut.
46
DIAGRAM ALIR PEMAKAIAN AIR BERSIH (m3/hari)
47
1701 6045 5150
7247
Gambar 3.2 Diagram Alir Pemakaian Air Bersih Pabrik Kertas B.
Pabrik Pembuatan Tahu
Berikut ini diagram alir proses pembuatan tahu.
48
Gambar 3.3 Diagram Alir Pemakaian Air Bersih Pabrik Tahu Berdasarkan diagram alir di atas, dapat diuraiakan proses pembuatan tahu sebagai berikut: 1. Merendam kedelai dalam air selama 3 jam untuk memudahkan penggilingan 2. Merendam kembali selama 30-45 menit untuk menghilangkan kulit dn kotoran lainnya. 3. Melakukan pemecahan dan penggilingankedelai dengan penambahan air selama 10 menit. 4. Mendidihkan kedelai yang sudah halus selama 30-45 menit dan dilakukan penambahan air secara bertahap sebanyak 8-10 kali volume kedelai. 5. Menyaring kedelai yang telah didihkan, ampasnya dibuat oncom atau makanan ternak dan filtratnya dikoagulasi dengan asam cuka, dibungkus dengankain tipis dan diproses untuk meniriskan air dan memadatkan tahu.
49
6. Setelah tiris dan padat, tahu dipotong-potong dan siap dipasarkan. Berdasarkan proses pembuatan tahu di atas, dapat diketahui bahwa sumber-sumber air limbah berasal dari perendaman, pengulitan dan air pembuatan tahu. Air bekas pembuatan tahu suhunya cukup tinggi (30-40OC) dan warnanya keruh seperti putih susu. Sedangkan karakteristik tahu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.4. Karakteristik Limbah Tahu Parameter
Satuan
Nilai 6000 – 7300
COD soluble
mg/l mg/l
Alkalinity (HCO3)
mg/l
800 – 1000
CO2 terlarut
mg/l
1450 – 1750
TSS
mg/l
200 – 550
SO4-
mg/l
326
NH3 bebas
mg/l
121,3
BOD5 / COD
mg/l
0,63
pH
mg/l
3,5 – 5,5
COD total
C.
4500 – 6500
Pabrik Minuman Ringan
Ada beberapa tahapan proses produksi yaitu seperti pencucian botol, proses pengisisan minuman dalam botol, dan pengepakan serta penggudangan. 1) Pencucian Botol/Washer Setiap botol-botol yang digunakan untuk produksi harus terlebih dahulu dicuci lewat proses pencucian botol yang sering disebut dengan washer. Sebelum botol-botol minuman tersebut dicuci, terlebih dahulu botol-botol tersebut diseleksi oleh inspector sebagai pre-inspector yang bertugas menyeleksi botol-botol yang tidak dapat dibersihkan di dalam washer, seperti leher botol yang berkarat, botol pecah, terdapat cat pada botol, dan berbeda jenis botol yang akan diproduksi, serta sampah-sampah plastik atau sedotan di botol. Selanjutnya botol yang ada di krat (cases) diangkat menuju load table oleh uncasher. Uncasher mampu mengangkat 2x24 botol. Load table berfungsi untuk mensuplai botol ke washer, dan moving guide membantu agar botol sesuai jalurnya. Di load table ini terdapat lubricant/pelicin berupa lubodrive. Dari load table, botol oleh transfer level dimasukkan ke dalam pocket. 1 rol terdiri dari 20 pocket, dan dalam washer terdiri atas 314 rol. Setelah masuk pocket baru kemudian proses pencucian botol dimulai. Proses pencucian yang dilakukan melewati 2 tahap yaitu: a. Pembilasan Awal (Pre-Rinse) Sebelum botol direndam di washer, terlebih dahulu botol dilakukan pembilasan awal agar dapat membersihkan botol-botol yang kotor atau yang susah dibersihkan, agar botol-botol tersebut dapat digunakan untuk proses produksi. Saat Pre-Rinse, diberikan panas awal pada botol agar tidak terjadi suhu kejut. Dimana airnya berasal dari air bilasan dari final rinse. b. Perendaman dengan caustic dan larutan aditive
50
Setelah dilakukan pembilasan awal, selanjutnya botol tersebut direndam di washer dengan menggunakan caustic (NaOH) dan larutan additive. dimana didalam washer tersebut dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
Perendaman bagian I (L1) Tujuan dari perendaman bagian I adalah untuk melepaskan dan menghilangkan kotoran serta mikroorganisme yang terdapat di botol serta mengkilapkan botol. Volume air pada bagian I (L1) sebanyak 14.700 liter dengan konsentrasi caustic (NaOH) 3-3,5 % dengan temperatur air yang digunakan berkisar 60-70ºC untuk CSD dan 70-80°C untuk frestea, sedangkan larutan additive sebanyak 0,35-0,45 % volume larutan. Botol dalam L1 direndam selama 5menit .
Perendaman bagian II (L2) Tujuan dari perendaman bagian II adalah untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih tertinggal didalam botol pada saat perendaman I serta mengkilapkan botol. Volume air yang digunakan pada perendaman II (L2) sebanyak 4900 liter dengan konsentrasi caustic 2,0-2,5% dan temperatur sekitar max. ∆t 22ºC, artinya bahwa perbandingan temperatur antara L1 dan L2 tidak boleh lebih dari 22ºC. Sedangkan larutan additive sebanyak 0,35-0,45 % volume larutan.
Air yang digunakan dalam perendaman botol tersebut adalah soft water, dengan suhu panas yang berasal dari uap panas yang dihasilkan oleh boiler. Uap air ini berfungsi untuk memanaskan air yang digunakan untuk perendaman karena caustic akan efektif untuk membersihkan pada suhu sekitar 60º-80ºC dan jika suhu melebihi 80ºC maka botol akan mudah pecah, sedangkan larutan additive yang digunakan di washer tersebut adalah untuk menurunkan tegangan permukaan caustic agar kotoran dapat dengan mudah terlepas dan proses pencucian benar-benar efektif serta mengkilapkan botol. 2) Penyemprotan (Spraying) Dengan Nozzle Proses penyemprotan dilakukan setelah perendaman, hal ini bertujuan agar kotoran pada botol dapat terlepas karena disemprot dengan air bertekanan. Penyemprotan pada washer bagian I dan II menggunakan caustic dan larutan additive. Setelah dari nozzle II, botol masuk ke semi press yang terdiri dari 3 buah nozzle berisi air dari sisa bilasan final rinse. Selanjutnya, botol disemprot oleh 2 buah nozzle pada final rinse. Air pada final rinse ini berasal dari soft water yang diklorinasi. Fungsi penyemprotan pada final rinse sama dengan di semi press yaitu untuk menghilangkan kadar caustic. Sumber air final rinse harus potable (dapat diminum) atau treated water yang mengandung residual free chorine 1-5 mg/L dan memenuhi persyaratan mikrobilogi rinse water. 3) Discharge dan Pemeriksaan Botol Setelah dari final rinse, botol akan keluar dari washer (discharge) oleh elevator discharge. Botol dari washer masih mempunyai kemungkinan untuk kotor / pecah sehingga harus dicek oleh empties inspection secara manual (dengan mata). Dari empties, botol dicek kembali kebersihannya oleh EBI (Empties Bottle inspection). EBI tidak dapat dipakai sebagai pengganti inspeksi visual tetapi dapat menambah efektivitas inspeksi visual. EBI beroperasi
51
menggunakan prinsip photoelectric yang mampu mendeteksi dan menyingkirkan botol yang mengandung benda asing. 4) Persiapan Beverage/Minuman Setelah dilakukan proses pengolahan air dan proses pengolahan syrup maka selanjutnya dilakukan persiapan beverage/minuman, dimana beverage/minuman merupakan pencampuran antara treated water, syrup untuk Frestea dan tambahan carbondioksida (CO2) untuk produk CSD. Penggunaan CO2 disini adalah sebagai penyegar rasa dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pencampuran antara treated water, syrup dan carbondioksida (CO2) dilakukan didalam carbocooler dimana suhunya harus dingin yaitu < 50C karena CO2 dapat menyatu dengan air hanya pada suhu dingin. 5) Proses Masuknya CO2 ke dalam Beverage Sebelum masuk bowl, final syrup diproses terlebih dahulu di proportioner agar menjadi beverage. Pada proportioner terdapat air dan final syrup, yang selanjutnya dimixing sehingga menjadi beverage. CO2 masuk ke dalam beverage melalui 2 (dua) cara yaitu melalui dirrect injection dan difusi pada tangki bertekanan. Beverage dialirkan dari atas carbocooler sehingga menyentuh platplat yang telah dingin oleh NH3 lalu CO2 dialirkan. Proses ini disebut cooling plate. Secara bersamaan CO2 disemprotkan ke beverage dari atas carbocooler secara carbo troll dibantu rotarimeter. CO2 hanya dapat masuk ke beverage dalam temperatur rendah (kondisi dingin). Dari carbo cooler kemudian beverage dialirkan ke bowl yang terdapat pada filler untuk kemudian diinjeksikan ke dalam botol. 6) Proses Pengisian Minuman ke Dalam Botol Botol yang akan diisi harus benar-benar bersih dan lulus dari pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian quality assurance, dimana parameter yang diperiksa untuk sample botol yang telah dicuci adalah residu caustic dan mikrobiologi serta MB test. Selama dalam proses produksi, botol-botol yang telah dinyatakan aman oleh bagian quality assurance diperiksa kembali oleh inspektor bagian Empties dengan kategori botol yang disortir adalah: -
botol yang pecah
-
botol yang lain jenis dan ukuran
-
botol yang masih kotor dan tampak oleh mata
7) Proses Pengepakan dan Penggudangan Setelah proses pembotolan selesai, maka dilakukan pengepakan dan penggudangan oleh karyawan, dimana pengepakan botol minuman menggunakan krat yang disusun diatas paleet plastic. Krat untuk ukuran medium dan small berisi 24 botol sedangkan krat untuk ukuran botol 1 liter berisi 12 botol dan dalam 1 palet plastic ukuran medium dan small memuat 54 krat sedangkan 1 palet plastic ukuran 1 liter memuat 30 krat.
52
Sumber Limbah Limbah merupakan sisa dari hasil proses produksi yang sudah tidak dipergunakan lagi. Limbah dari terdiri dari 2 jenis yaitu limbah padat dan limbah cair. 1. Limbah Padat Limbah padat biasanya berupa bahan padat yang tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan seperti sedotan, botol pecah, crown, kardus maupun pembungkus concentrate, sisa daun teh dan lain-lain. Limbah padat tersebut kemudian dikumpulkan dalam tempat yang sudah disediakan oleh perusahaan. Kemudian diangkut oleh truk sampah Dinas Tata Kota yang selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir. 2. Limbah Cair Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan air di unit Water Treatment, pembuatan simple dan finish syrup pada unit Syrup Making, proses produksi baik dari washer, filler, sanitasi, laboratorium, kantin, masjid, toilet dan lain sebagainya. Semua limbah cair tersebut mengalami proses pengolahan di Waste Water Treatment Plant (WWTP) agar pada saat dibuang ke badan air, limbah yang dihasilkan tidak lagi mencemari lingkungan. Karakteristik Limbah Limbah yang dihasilkan dari aktifitas industri dan yang diolah pada Waste Water Treatment Plant (WWTP) memiliki karakteristik sebagai berikut :
Karakteristik Kimia limbah : Tabel 3.5. Hasil Uji Influent
Week
BOD (mg/l)
COD (mg/l)
TSS
OIL
pH
DO
W1 (9 May)
2112.5
1.99
W2 (16 May)
1039.1
1.71
W3 (24 May)
606.1
3.676
W4 (31 May)
185.6
429.1
199.1
13
10.68
3.1
W5 (7 Juni)
570.2
0.74
W6 (15 Juni)
206.1
2.87
W7 (21 Juni)
1330.7
2.64
W8 (28 Juni)
1099.3
1.25
W9 (5 Juli)
1287.4
3.68
W10 (12 Juli)
1273.06
2.95
Sumber : Data hasil uji eksternal (minguan)
Karakteristik fisik limbah :
53
Warna
: Coklat tua
Suhu
: - Pada saat produksi frestea suhu dapat mencapai 65o C - Pada saat produksi CSD suhu sekitar 34-40o C.
Kandungan air
: ± 95%
Kandungan Sluge : ± 5%
D.
Pabrik Gula
Untuk mengetahui proses produksi pada pabrik gula, dapat dilihat pada gambar berikut.
54
Gambar 3.4 Proses Produksi Pada Pabrik Gula
55
Proses Produksi Secara Global Dalam pengolahan gula, proses pengolahannya dibagi dalam beberapa proses, yaitu: penggilingan, pemurnian, penguapan, pemasakan, pemutaran, pengeringan dan pengemasan. Proses pembuatan gula diawali dari emplacement (tempat penimbunan tebu). Emplacement merupakan tempat antrian untuk truk dan lori tebu sebelum digiling. Emplacement sangat sangat berperan dalam pengaturan bahan baku. Pengaturan bahan baku ini sangat penting. Jika bahan baku tebu kurang akan menyebabkan masa giling menjadi lebih lama, jika tebu yang akan digiling terlalu banyak akan menyebabkan kerusakan sacharosa dan penguapan nira sehingga menyebabkan keasaman pada nira dan pembentukan dextran. Pembentukan dextran ini menyebabkan rendemen tebu turun sehingga merugikan perusahaan. Tebu yang akan digiling ditempatkan berurutan. Dengan menggunakan sistem First In First Out, tebu yang datang terlebih dahulu digiling terlebih dahulu sehingga waktu tunggu untuk tebu menjadi lebih pendek. Hal ini dapat mengurangi penguapan nira tebu yang dapat menyebabkan kematian sel-sel tebu dan keasaman nira. Setelah bahan baku tebu siap, tebu masuk ke stasiun penggilingan. Fungsi dari stasiun penggilingan adalah memisahkan nira dan ampasnya. Penggilingan di PG. Pesantren Baru menggunakan 5 unit gilingan. Tebu yang masuk akan digiling di unit penggilingan I, kemudian ampasnya digiling di unit penggilingan II dan seterusnya. Ampas yang keluar dari unit penggilingan V digunakan sebagai bahan bakar ketel. Nira yang keluar dari unit penggilingan III digunakan unruk membasahi (imbibisi) ampas gilingan I, nira dari unit penggilingan IV digunakan untuk membasahi ampas di gilingan II, dan nira yang keluar dari unit penggilingan V digunakan untuk membasahi unit gilingan III, sedangkan nira dari unit penggilingan I dan II ditampung sebagai nira mentah. Ampas yang keluar dari unit penggilingan IV disemprotkan air imbibisi dengan suhu 60 - 70°C dengan maksud untuk untuk mengambil kandungan nira yang masih tertinggal dalam ampas sebanyak mungkin. Lalu masuk ke gilingan V. Ampas yang keluar dari gilingan V akan menuju ke boiler dan dipergunakan sebagai bahan bakar. Nira mentah yang keluar dari unit penggilingan tidak dapat langsung diolah menjadi gula karena dalam nira masih terdapat banyak kotoran seperti:
Serabut tebu yang terapung dalam nira
Zat-zat mengendap seperti: pasir, lempung dan lain-lain.
Untuk menghilangkan kotoran tersebut maka diperlukan suatu proses pemurnian atau penjernihan. Proses pemunian tersebut dilakukan dalam Stasiun Pemurnian. Nira mentah dari hasil penggilingan ditimbang dan ditampung dalam tangki penampung nira mentah tertimbang. Kemudian ditambah dengan TSP and fosfat hingga konsentrasinya 300 ppm. Kemudian dipanaskan dengan suhu 75°C dengan juice heater yang menggunakan uap dari badan penguapan. Pemanasan dilakukan untuk membunuh mikroorganisme, mempercepat/menyempurnakan reaksi serta mengumpulkan koloid. Setelah iitu ditambahkan susu kapur dalam precontactor hingga pH 7,2. Lalu dimasukkan defecator I untuk menyempurnakan pengadukan. Dari defecator I dimasukkan defecator II dan ditambah susu kapur lagi hingga pH mencapai 8,6. Fungsi dari perlakuan ini adalah untuk mengikat asam-asam serta kotoran, membentuk inti endapan, menghilangkan Fe dan Al, serta membentuk garam-garam yang diendapkan seperti Ca3(PO4)2. Setelah itu dinetralisir dengan SO2 untuk mencegah pemecahan monosakarida, sebab monosakarida stabil dalam suasana asam tetap stabil dalam suasana alkalis. Setelah itu dipanaskan dalam juice heater 2 hingga suhunya 105°C untuk mempercepat reaksi, mengurangi viskositas nira, dan persiapan ke badan penguapan. Setelah itu dilewatkan melalui flash tank untuk mengeluarkan gas terlarut
56
yang dapat mengganggu pengendapan. Lalu ditambah flokulan dan dilakukan pengendapan. Setelah itu dilewatkan door clarifier untuk dipisahkan antara nira jernih dan nira kotor. Nira encer dialirkan ke badan penguapan dan nira kotor ditampung dalam penampung nira kotor lalu dipisahkan dengan rotary vacuum filter menjadi blotong dan nira tapis. Blotong digunakan untuk bahan baku kompos dan nira tapis dikembalikan ke dalam tangki nira tertimbang. Nira encer yang keluar dan stasiun pemurnian dimasukkan dalam evaporator untuk menguapkan air yang terkandung dalam nira encer. Evaporator di PG. Pesantren Baru Kediri menggunakan sistem Quadrafel Effect. Prinsip kerja dari sistem ini adalah menggunakan uap dari evaporator I digunakan untuk pemanas pada evaporator II demikian seterusnya sampai pada evaporator IV. Dengan sistem ini pemakaian uap dapat dihemat dan prinsip penguapan dapat dijalankan pada suhu rendah sehingga timbulnya zat warna dapat dicegah, menekan kerusakan sakarosa dalam gula, dan uap yang dihasilkan dapat dipakai untuk proses lain. Nira dari evaporator dimasukkan dalam vacum pan pada kondisi vacum (hampa). Prinsip dan kontruksinya hampir sama dengan evaporator. Perbedaannya pada vacum pan bekerja secara individual (sendiri) sedangkan pada evaporator bekerja secara secara paralel. Pada proses kristalisasi pada stasiun masakan, diharapkan dapat diperoleh hasil dan daya guna yang tinggi antara lain a. Pembentukan inti kristal. b. Pembentukan inti kristal sampai didapat ukuran yang diharapkan c. Merapatkan kristal sehingga dihasilkan produk masakan yang tinggi Nira kental yang sudah dikristalkan mengalami proses pemisahan antara kristal stroop di stasiun putaran. Proses di sini menyerupai proses penapisan nira kotor pada rotary vacum filter. Berat kristal dibuat dengan menggunakan kekuatan sentrifugal. Dengan demikian prosesnya akan lebih cepat daripada proses penapisan sehingga apabila suatu masakan dimasukkan didalam suatu wadah yang berputar akan mendapat tenaga dorong menjauhi sumbu wadah tersebut (gaya sentrifugal). Pemisahan kristal dengan stroop tidak hanya dengan prinsip gaya sentrifugal saja, tetapi dengan gaya adhesi yang besar antara permukaan kristal dengan larutan stroopnya,maka akan membentuk lapisan tipis yang melekat di permukaan kristaL Cara menghilangkan lapisan tipis tersebut dilakukan dengan usaha pencucian dengan air dan uap. Perlakuan ini bertujuan untuk membilas lapisan yang melekat pada permukaan krista1 gula sehingga menembus keluar melalui tabung saringan dan memberikan kenaikan suhu yang dapat berpengaruh pada penurunan viskositas larutan yang sangat melekat pada permukaan kristal, sehingga akan didapat hasil gula yang putih dan kering. Untuk mencegah timbulnya keburukan warna karena hasil pencucian ini, maka waktu pencucian dan jumlah bahan pencuci harus diperhitungkan. Proses terakhir adalah proses pengeringan dan pengepakan. Tujuan dari pengeringan adalah mengeringkan gula SHS agar bebas dari air karena kristal gula dari prose pemutaran masih mempunyai kadar air yang tinggi. Gula SHS dari stasiun peringan yang sudah dipak disimpan dalam gudang penyimpanan. Stasiun Persiapan Sebelum masuk ke stasiun gilingan, tebu dipersiapkan di emplacement yang kemudian secara bergiliran menuju timbangan tebu. Emplacement mempunyai dua peranan yaitu pengaturan dan pengawasan. Pengaturan dimaksudkan untuk menyediakan tebu di halaman pabrik untuk menjamin kelancaran proses produksi. Pengawasan pengawasan terhadap penimbangan tebu harus diutamakan, karena berat tebu yang digiling
57
merupakan parameter dasar untuk perhitungan proses produksi. Atas dasar itu, kelayakan operasional dan ketelitian timbangan yang digunakan harus selalu mendapat perhatian. Pemeriksaan terhadap ketelitian timbangan dilakukan oleh Dinas Metrologi di luar masa giling. Selain itu juga harus diadakan pengawasan terhadap kebersihan tebu yang masuk ke pabrik. Stasiun Gilingan Tujuan dari stasiun gilingan adalah mengambil nira sebanyak-banyaknya dari batang tebu dan menekan kehilangan gula dalam ampas seminimal mungkin.
Pengerjaan Pendahuluan (Cane Preparation)
Tujuan dari pekerjaan pendahuluan adalah untuk mendapatkan ekstraksi yang tinggi pada pemerahan tebu diantara rol-rol gilingan dengan memotong, mencacah dan membuka sel-sel tebu.
Pesawat Gilingan
Pesawat gilingan digunakan untuk memerah serabut tebu sehingga didapatkan nira yang sebanyak-banyaknya. Satu unit gilingan yang terpasang di PG. Pesantren Baru terdiri dari 3 buah rol dan 2 buah rol pengumpan. Pada masing-masing unit dipasang accumulator hidraulik yang berfungsi sebagai penyeimbang tekanan isi rol atas pada saat gilingan terisi sabut, sehingga posisi poros rol atas selalu mengapung tidak terlalu keras mengena pada bantalan, di samping itu juga untuk mendapatkan ekstraksi perahan yang optimal.
Proses Pada Stasiun Gilingan
Nira dipisahkan dari ampasnya dengan jalan memerah batang tebu di stasiun gilingan. Penggilingan dilakukan dapat dilakukan secara bertahap artinya tebu masuk dalam unit penggilingan I, kemudian digiling dalam unit penggilingan II dan seterusnya. PG. Pesantren Baru menggunakan 5 unit gilingan untuk memerah tebu. Setelah ditimbang tebu masuk dan dengan bantuan truck tippler (untuk tebu yang diangkut truk) ataupun cane unloading crane (untuk tebu yang diangkut Ion) tebu ditumpahkan ke dalam cane carier yang sebelumnya melewati meja tebu (hanya tebu yang dari lori). Tebu yang di cane carier akhimya akan dicacah oleh cane cutter I dan cane cutter II dan ditumbuk oleh heavy duty hammer shredder. Melalui elevator tebu masuk ke unit penggilingan I, nira yang keluar ditampung dan ampasnya menuju kegilingan II melalui intermediate carier, nira yang keluar dan unit penggilingan II juga ditampung dan ampasnya terus digiling sampai unit penggilingan V. Ampas yang keluar dari unit penggilingan V digunakan untuk bahan bakar ketel uap. Ampas dari tiap-tiap gilingan semakin halus dan kadar gula yang terkandung di dalamnya semakin berkurang. Untuk mengambil gula yang masih tertinggal dalam ampas dilakukan imbibisi pada semua ampas yang keluar dari tiap-tiap gilingan, kecuali ampas gilingan V. Di PG. Pesantren Baru menggunakan imbibisi majemuk yaitu menggunakan nira dan air (50-70°C). Pemberian imbibisi diusahakan agar benar-benar dan masuk dalam ampas sehingga dapat melarutkan nira yang masih tertinggal dalam ampas. Mekanisme pemberiannya adalah sebagai berikut:
Ampas gilingan I ditambahkan nira dari gilingan III
Ampas gilingan II ditambahkan nira dan gilingan IV
58
Ampas gilingan III ditambahkan nira dari gilingan V
Ampas gilingan IV ditambahkan air (30 % dari berat tebu)
Dengan proses ini diharapkan kadar gula dalam ampas V dapat ditekan serendah mungkin. Nira yang masuk ke peti nira mentah adalah nira dari gilingan I dan gilingan II. Sebelum masuk ke peti nira mentah nira disaring dengan DSM screen/rotary system untuk menyaring pasir ataupun ampas halus yang ikut dalam nira. Karena pemakaian yang terus menerus alat pada pesawat gilingan tentunya akan panas. Untuk mendinginkan alat ini agar dapat terus bekerja maka disemprotkan air pendingin. Air yang digunakan adalah air sungai. Sehingga limbah yang dihasilkan dari stasiun gilingan adalah limbah yang berasal dari proses pendingin tadi dan minyak pelumas yang menetes karena kebocoran alat serta tumpahan nira. Stasiun Pemurnian Setelah keluar dari stasiun gilingan, nira mentah diolah pada stasiun pemurnian dengan tujuan untuk menghilangkan atau membuan bahan baku gula yang terdapat pada nira mentah semaksimal mungkin.
Proses Pada Stasiun Pemurnian
Proses pemurnian diawali dengan penimbangan nira mentah tersaring menggunakan timbangan boulogne, dan ditampung dalam tangki penampungan nira mentah tertimbang. Kemudian asam phospate cair ditambahkan ke dalam tangki penampungan sehingga didapatkan kada phospate dalam nira mencapai 400 ppm. Selanjutnya nira mentah dipanaskan dalam juice heater I sampai suhu nira mentah mencapai 75oC. Kemudian nira panas ditambahkan susu kapur. Penambahan susu kapur dilakukan dalam dua tahap: 1. Pada Pre Con tactor (sampai pH 7,2) 2. Pada Defecator II(sampai pH 8,6) Nira terkapur (dari defecator II) lalu dinetralisir dengan gas belerang dalam sulfitator, untuk mencegah timbulnya pemecahan monosakarida yang tidak diinginkan. Nira mentah tersulfitasi dipanaskan pada juice heater II sampai mencapai temperatur 105°C. Setelah dari juice heater II nira dialirkan ke bejana pengendap (clarifier), tapi sebelumnya nira dilewatkan flash tank untuk dikeluarkan gas-gas terlarut yang dapat mengganggu proses pengendapan dan juga dilewatkan ke snow balling untuk ditambahkan flokulan agar proses pengendapan bisa berjalan lebih cepat Di dalam clarifier dilakukan pemisahan antara nira jernih dan nira kotor. Nira jernih ditampung dalam penampung nira jemih untuk selanjutnya dialirkan ke dalam evaporator. Sedangkan nira kotor ditampung dalam penampung nira kotor dan selanjutnya dilakukan penapisan dengan penapisan hampa di rotary vacum filter. Sebelum mengalami proses penapisan, nira kotor dicampur dengan bagasilo (bagasilo adalah ampas debu yang berbentuk tebu, jumlah yang dipakai untuk campuran ini adalah 0,68% dari berat tebu) untuk memperbesar ukuran kotoran sehingga kotoran bisa dipisahkan. Dalam operasi penapisan hampa dilakukan pemisahan antara blotong dan nira tapis (filtrat). Blotong sebagai limbah padat dibuang untuk bahan baku pupuk kompos, sedangkan nira tapis dialirkan kembali ke dalam timbangan nira mentah.
59
Pada alat juice heater dilakukan pembersihan dengan air sungai. Pembersihan ini di lakukan dengan menggunakan sikat baja dan setelah itu dilakukan penggelontoran menggunakan air sungai. Air buangan dari proses pembersihan ini merupakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pemurnian. Stasiun Penguapan Stasiun penguapan berfungsi untuk menguapkan air yang terkandung dalam nira encer yang berasal dari stasiun pemurnian sehingga didapat nira kental (nira pekat). Untuk memenuhi kondisi tersebut maka diperlukan suatu peralatan penguap yaitu “evaporator''.
Skrapping
Skrapping adalah pembersihan pipa-pipa di dalam evaporator dengan menggunakan sikat dan pemberian soda yang bertujuan supaya nira yang tersisa pada pipa-pipa di dalam evaporator tidak menyumbat jalannya nira saat evaporator beroperasi. Dari proses skrapping ini dihasilkan air buangan yang mengandung larutan soda yang selanjutnya akan dibuang ke saluran menuju IPAL. Dari tujuh buah evaporator di PG. Pesantren Baru setiap hari dilakukan skrapping pada 1 buah evaporator secara bergantian tanpa menghentikan proses penguapan secara keseluruhan.
Proses Pada Stasiun Penguapan
Tujuan proses penguapan adalah menghilangkan air yang terdapat dalam nira jernih hasil proses pemurnian. Nira jernih hasil pemurnian masuk kedalam dua buah evaporator I secara paralel. Dalam evaporator I yang digunakan sebagai bahan pemanas adalah uap bekas (turbin gilingan). Setelah mengalami pemanasan dalam evaporator I, nira mengalir kedalam dua buah evaporator II secara paralel. Dalam evaporator II yang digunakan sebagai bahan pemanas adalah uap nira dari evaporator I. Proses penguapan selanjutnya berlangsung pada evaporator II dengan bahan pemanas uap nira dari evaporator II dan penguapan dalam evaporator IV menggunakan bahan pemanas uap nira dari evaporator III. Evaporator IV dihubungkan dengan kondensor. Ke dalam kondensor tersebut dialirkan air injeksi dan dihubungkan dengan vacum pump, sehingga pada saat beroperasi evaporator III dan evaporator IV berada pada kondisi vacum. Tujuan penguapan pada kondisi vacum adalah untuk menurunkan titik didih nira sehingga kerusakan sacharosa akibat temperatur tinggi dapat dihindari. Dalam proses penguapan yang berjalan normal penurunan tekanan uap bekas turbin pada evaporator I sampai tekanan hampa pada evaporator IV terbagi secara beraturan. Karena perbedaan tekanan inilah uap nira dapat mengalir dari satu evaporator ke evaporator selanjutnya. Pada proses perpindahan panas yang terjadi dalam penguapan di mana niranya dipanaskan dan uapnya didinginkan maka uap nira (uap nira ini telah berubah menjadi air karena niranya telah ditangkap oleh alat penangkap nira dan dikembalikan ke dalam evaporator melalui saluran pengembalian) akan menjadi air embun (air kondensat). Untuk mencegah agar tidak terjadi hambatan dalam pemanasan maka air kondensat pada masing-masing BP (badan penguapan) harus segera dikeluarkan dengan pompa air kondensat dan ditampung dalam sebuah tangki. Air yang memenuhi :esvaratan dipakai sebagai air pengisi ketel.
60
Luas bidang pemanas dari evaporator I lebih besar dibanding evaporator II. Demikian juga luas pemanas evaporator II lebih besar dibanding evaporator III. Karena perbedaan luasan pemanas (heating surfaces) ini akan terjadi kelebihan uap nira dari evaporator yang mempunyai heating surfaces yang lebih besar. Kelebihan uap dari evaporator I digunakan untuk bahan pemanas secondary heater dan vacum pan. Kelebihan uap nira dari evaporator II digunakan untuk bahan pemanas primary heater. Nira kental hasil penguapan dipompakan ke tangki penampung untuk selanjutnya dialirkan ke reaktor sulfitasi nira kental. Proses sulfitasi ditujukan untuk mengurangi intensitas warna nira kental karena gas-gas yang tidak diinginkan, sehingga didapatkan warna nira yang baik. Stasiun Masakan Tujuan proses kristalisasi dalam vacum pan adalah untuk mengkristalkan sacharosa yang terdapat pada nira kental dan stasiun penguapan menjadi bentuk kristal dengan spesifikasi tertentu, yakni mempunyai ukuran dan keseragaman yang distandarkan. Pada Stasiun masakan proses yang terjadi merupakan proses penguapan lanjutan dari nira kental yang didapat dari stasiun penguapan sampai mencapai titik jenuhnya. Terbentuknya kristal dalam proses kristalisasi disebabkan oleh saling tarik-menarik dan terkumpulnya molekul sacharosa dalam bentuk larutan, penguapan lebih lanjut menuju fase jenuh akan menyebabkan bergabungnya sub micron-sub micron menjadi rantairantai yang saling mengikat membentuk kristal. Pembentukan kristal ini disebut pembentukan kristal inti. Selain kristal inti, terbentuk pula kristal-kristal palsu yang terjadi pada fase lewat jenuh yang melebihi super saturasi pada saat pembentukan kristal inti. Untuk memperkecil jumlah kristal palsu maka kondisi lewat jenuh dari larutan harus dikendalikan segingga yang terjadi adalah pembentukan kristal sekunder yakni pembesaran dari kristal inti. Hasil dari stasiun masakan di PG. Pesantren Baru adalah Massecuite A, Massecuite C dan Masseciute D yang digunakan sebagai bibit dari gula. Bahan pemanas yang digunakan pada stasiun masakan adalah uap bekas dari badan penguapan maupun uap bekas dari turbin yang bertekanan 0,9 kg/ cm2 dengan temperatur 70oC yang sudah dapat mendidihkan nira karena dalam keadaan vacuum.
Proses Pada Stasiun Masakan
Proses kristalisasi di PG. Pesantren Baru dilakukan dalam 7 buah vacum pan secara diskontinyu. Prinsip kerja vacum pan sama dengan evaporator, hanya operasionalnya dilakukan secara individual. Proses kristalisasi dilakukan dalam 3 tahap (A, C dan D), untuk tahap C dilakukan bila harga kemumian nira kental rendah dan bila harga kemumian dari nira kental tinggi tidak diperlukan lagi masakan C. Gula produksi diperoleh dari massecuite A, sedangkan massecuite C dan D digunakan untuk bibit. Di stasiun pemasakan juga menggunakan kondensor untuk mendinginkan uap yang dihasilkan dari vacum pan. Hasil dari proses pengembunan ini menghasilkan air jatuhan. Selanjutnya air jatuhan ini akan ditampung di bak penampung yang akan bergabung dengan air jatuhan yang dihasilkan dari proses penguapan. Sementara itu, di vacum pan menghasilkan kristal-kristal gula yang selanjutnya ditampung. Hasil akhir dari proses masakan ini selain menghasilkan kristal gula kering dan larutan yang masih dapat diolah menjadi kristal gula kering. Larutan ini terdiri dari tetes yang merupakan hasil akhir yang tidak dapat diolah lagi menjadi kristal dan dapat digunakan untuk bahan baku alkohol, etaanol, spiritus dan lain - lain. Sedangkan larutan lain adalah strup yang masih dapat diolah menjadi kristal gula kering.
61
Stasiun Putaran Stasiun putaran berfungsi untuk memisahkan kristal-kristal gula dari larutan tetes strup yang sudah dijelaskan sebelumnya. Alat pada stasiun putaran menggunakan centrifugal machine. Alat ini bekerja dengan putaran yang di kehendaki secara otomatis oleh hidraulik untuk melakukan kerja berdasarkan pada waktu, yaitu mulai masuk gula, penyemprotan air hingga pada penyekrapan gula untuk dikeluarkan.
Proses Pemisahan Kristal
Pemisahan kristal gula dari larutan induknya dilakukan dengan menggunakan centrifugal machine. Massecuite dimasukkan ke dalam centrifugal machine akan terlempar ke dinding basket karena adanya gaya centrifugal. Kristal gula yang mempunyai ukuran lebih besar dari lubang saringan akan tertahan dan menempel pada permukaan saringan dan larutan induknya yang terdapat disekeliling kristal akan keluar melalui lubang saringan. Penyiraman air dan penyempropatan steam (uap) dilakukan untuk membantu mengeluarkan keseluruhan lapisan induk dari permukaan kristal. Stasiun Pengeringan Dan Penyimpanan Tujuan dari pengeringan adalah untuk mengeringkan gula SHS agar bekas dari air kristal gula SHS masih mempunyai kadar air yang tinggi.
Proses Pengeringan Kristal
Gula SHS dari HGF (high grade centrifugal) masih berada pada temperature 65 oC dengan kadar air 0,5 - 1,5%. Pengeringan dilakukan dengan alat pengering gula (Sugar dryer). Sampai kadar air mencapai 0,1%. Temperatur udara pengering yang dipakai di kendalikan pada suhu 80 - 85°C. Gula SHS kemudian didinginkan dengan menggunakan udara. Diharapkan gula SHS yang keluar dari pengering gula dan pendingin berada pada temperatur 37 - 40°C. Pada saat proses pengeringan dan pendinginan kristal gula yang berukuran kecil akan ikut terhisap oleh exhaust fan yang berfungsi untuk mengeluarkan gas buang dari dalam sugar dryer. Untuk mencegah agar gula debu tidak ikut keluar cerobong aliran, udara pengering dilewatkan melalui alat pemisah (cyclone separator) yang dilengkapi dengan Sprog. Gula debu yang berhasil dipisahkan dialirkan kedalam tangki leburan untuk digunakan sebagai bahan dasar dalam proses kristalisasi. Gula SHS kemudian dilewatkan pada alat penyaringan (Vibrating Screen). Ukuran screen yang dipakai adalah 23 x 23 masih untuk menahan gula SHS bentuk halus. Gula SHS ukuran normal merupakan gula produksi yang dikemas dalam karung goni dengan lapisan plastik di bagian dalamnya. Proses produksi menghasilkan limbah cair yang memerlukan pengelolaan. Limbah cair tersebut dihasilkan dari unit-unit proses produksi. Bahan-bahan penting yang bocor atau tumpah pada saat proses produksi seperti nira dan oli ditampung dan dikembalikan lagi ke dalam proses sehingga tidak ada material yang terbuang atau tercampur dengan air limbah yang dapat menambah beban pencemaran. Sedangkan air yang digunakan untuk membersihkan mesin harus dibuang. Air ini merupakan limbah yang harus diolah dalam IPAL.
62
Limbah cair yang dihasilkan di PG. Pesantren Baru antara lain berasal dari: 1.
Stasiun Gilingan Limbah caimya berasal dari proses pendinginan. Air digunakan untuk menyemprot alat-alat yang panas pada stasiun ini supaya dingin dan air bekas penyemprotan mesin ini merupakan limbah cair, karena tidak tertutup kemungkinan tercampur dengan kotoran-kotoran mesin, minyak pelumas yang menetes karena kebocoran alat, serta tumpahan nira.
2.
Pengepakan Limbah cairnya berasal dari gula yang tumpah pada saat pengepakan yang dibersihkan dengan air.
3.
Stasiun Putaran Limbah caimya berasal dart stroop dan kondensat yang tumpah.
4.
Stasiun Masakan Limbah caimya berasal dari stroop dan fetes yang tumpah.
5.
Ketel
6.
Mesin yang menghasilkan uap untuk membangkitkan listrik. Ketel ini menghasilkan abu yang berwarna hitam dan terkadang tercampur dalam air limbah.
7.
Stasiun pemurnian Limbah cairnya berasal dari alat juice heater pada stasiun pemurnian. Pada alat ini akan dilakukan pembersihan dengan air. Pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan sikat baja dan setelah itu dilakukan penggelontoran menggunakan air. Air gelontoran Mil merupakan limbah cair dan mengandung bahan-bahan yang terkandung dalam nira yang diproses dalam juice heater seperti belerang, phosphat, kapur, dan sebagainya.
Limbah cair di sini memerlukan 2 tahap pengelolaan, yaitu dikelola di: 1.
Inhouse keeping Inhouse keeping di sini sebenarnya merupakan istilah yang digunakan untuk mengontrol dan mencegah kebocoran-kebocoran di setiap unit, sehingga meminimalisasi bahan-bahan cair penting yang terbuang dan mengurangi beban pencemaran pada limbah cair. Misalnya dengan memasang pembatas semen pada peralatan proses produksi sehingga dapat membendung material yang bocor atau tumpah. Pengelolaan di inhouse keeping bertujuan untuk: a.
Pemantauan dan menekan kebocoran
b.
Menghindari kebocoran air panas
Inhouse keeping yang telah dilakukan pada PG. Pesantren Kediri adalah dengan membuat bak penangkap minyak yang berfungsi untuk memisahkan minyak pelumas yang ada dalam inhouse keeping, agar air limbah yang nantinya menuju ke IPAL tidak mengandung minyak sehingga minyak tersebut tidak menjadi penghalang fotosintesis bakteri yang ada di dalam IPAL. Bahan yang bocor akan
63
ditahan oleh inhouse keeping kemudian beberapa jenis bahan yang bocor ada yang dikembalikan ke dalam proses produksi. Inhouse keeping dapat dilakukan misalnya dengan membangun pembatas di sekitar alat/mesin sehingga material yang tumpah akan tertahan oleh pembatas tersebut dan material tersebut dikembalikan ke dalam proses produksi. 2.
IPAL (Instalasi pengolahan Air Limbah) Unit-unit IPAL PG. Pesantren Kediri terdiri:
Gambar3.5 Diagram Alir Pengolahan Limbah Pabrik Gula
Kesimpulan Teknologi yang makin pesat berkembang berpengaruh pada penurunan kualitas lingkungan. Dari semua kegiatan manusia memberika efek yang umunya menurunkan kualitas lngkungan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi rancang bangun yang mengedepankan kualitas lingkungan.
64