Bab I Menilik Persoalan Konversi Orang Suku Laut
A.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sampai saat ini masih dikategorikan
sebagai negara berkembang. Berbagai upaya perubahan melalui pembangungan hingga saat ini masih dilakukan oleh pemerintah di berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai bidang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan mencatatkan diri sebagai salah satu negara yang dikategorikan negara maju. Upaya pemerintah ini tidak hanya sekedar memajukan negara dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengubah mental dan pola pikir masyarakatnya agar siap dengan berbagai perubahan tersebut. Hal yang sering terjadi dalam upaya pembangunan daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta adalah di samping upaya tersebut ada aspek-aspek lain yang mau tidak mau juga harus ikut berubah agar sejalan dengan pembangunan yang dilakukan. Hal ini menjadi semacam dampak dari upaya pembangunan itu sendiri dan subjek utama dalam pembangunan yang terkena dampak tersebut adalah masyarakat. Oleh karena itu, apapun alasannya kepentingan warga negara atau masyarakat harus tetap menjadi prioritas dalam setiap proyek pembangunan yang diupayakan pemerintah maupun pihak lainnya. Karakter masyarakat Indonesia yang multietinis menjadi tantangan tersendiri bagi pihak yang melakukan upaya pembangunan agar apa yang telah
1
direncanakan tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan harapan masyarakatnya. Dari berbagai etnis masyarakat di Indonesia, beberapa di antaranya masih dikategorikan sebagai masyarakat terasing dan dalam upaya pembangunan yang dilakuan oleh pemerintah mereka dianggap sebagai penghambat. Oleh sebab itu, berbagai upaya konversi terhadap kelompok masyarakat yang dikategorikan terasing tersebut dilakukan oleh pemerintah agar mereka dapat menyesuaikan diri dan sejalan dengan program pengembangan potensi dan pembangunan daerah yang terus berjalan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus banyak yang menunjukkan bahwa upaya tersebut tidak sesuai dengan harapan masyarakatnya sehingga menimbulkan berbagai persoalan. Misalnya saja kasus mengenai komunitas Kajang yang berada di Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka pernah bentrok dengan aparat keamanan dalam sengketa yang telah sekian lama menjadi konflik dengan pihak investor PT London Sumatera (LONSUM) mengenai pembukaan lahan di kawasan tanah adat komunitas Kajang (Syamsurijal Adhan 2007, h. 557). Contoh lainnya adalah kasus yang diteliti oleh Heru Prasetia (dalam Nurkhoiron 2007, hh. 52-54) mengenai pergulatan masyarakat adat di Wet Semokan, Pulau Lombok, atau yang lebih dikenal dengan sebutan komunitas Wetutelu. Mereka menolak pembangunan masjid yang akan dilakukan oleh aparatur negara, meskipun mereka mengaku Islam karena praktek keagamaan Islam yang mereka yakini berbeda dengan cara pandang Islam sebagaimana yang diyakini oleh orang Islam di pada Umumnya. Hingga saat ini, upaya-upaya
2
memurnikan Islam terhadap komunitas Wetutelu di Kecamatan Boyan, Lombok Barat, masih terus dilakukan (Prasetia 2007, h. 127). Beberapa kasus yang disebutkan di atas hanyalah sebagain kecil dari kisah-kisah perlawanan atau ketegangan yang muncul pada kelompok masyarakat etnis minoritas di Indonesia yang menggambarkan sisi lain dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal itu mereka lakukan sebagai salah satu cara mereka untuk mempertahankan eksistensi dari tradisi dan budaya yang menjadi bagian dari identitas mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya perlawanan, upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta tentunya berdampak pada masyarakat yang menjadi subjek pembangunan itu sendiri dan seringkali memunculkan kondisi di mana masyarakat mau tidak mau harus menyesuaikan diri terhadap hal tersebut. Masyarakat terpaksa melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya agar sejalan dengan upaya pengembangan potensi dan pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Sebagaimana halnya yang terjadi pada masyarakat Suku Laut di Kota Batam. Kota Batam merupakan salah satu pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya yang strategis karena dikelilingi oleh lautan dan perairan serta berbatasan langung dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia menjadikan Kota Batam merupakan kawasan yang sempurna sebagai jalur pelayaran
dan
perdagangan
serta
memiliki potensi
besar
untuk
pengembangan dan pembangunan di bidang industri/ekonomi dan pariwisata. Kota Batam yang saat ini dikenal sebagai kawasan industri dan pariwisata yang
3
cukup besar dan terus berkembang menjadi bukti bahwa terjadi perubahan yang sangat cepat sebagai dampak dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pihak sawasta. Hal ini tentu saja harus didukung dengan adanya mental yang tangguh dan pola pikir maju dari masyarakatnya. Akan tetapi, di sisi lain ada salah satu bagian dari masyarakat Kota Batam yang masih dikategorikan sebagai kelompok masyarakat “terasing” dan “terbelakang”, yaitu kelompok masyarakat Suku Laut. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Suku Laut yang berada di Pulau Air Mas Kelurahan Ngenang Kecamatan Nongsa Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Suku Laut diyakini sebagai penduduk asli Kepulauan Riau yang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dikategorikan masyarakat “terasing” dan “terbelakang” dikarenakan pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya, yaitu hidup mengembara di lautan, serta menganut kepercayaan animisme. Selain itu, karakternya nya tertutup dan memiliki pola pikir sederhana menjadikan mereka sulit untuk menerima pengaruh dari luar. Sehingga proses mereka untuk beradaptasi dengan segala kemungkinan adanya perubahan dan pengaruh yang datang dari luar akan menjadi proses panjang dari rangkaian perubahan sosial itu sendiri. Suku Laut hidup dengan karakter dan pola hidup seperti itu di tengahtengah lingkungan dan masyarakat di mana perubahan itu terjadi dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dengan cepat itu terbukti dengan jangka waktu dua dekade terakhir Kota Batam sudah mampu berkembang menjadi daerah perdagangan, perindustrian, dan pariwisata yang cukup maju. Lalu bagaimana
4
pula dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut yang hidup dalam kondisi lingkungan seperti itu? Orang Suku Laut terpaksa dikonversi agar bisa menyesuikan dengan perkembangan zaman dan upaya pembangunan yang terus berlangsung. Dari segi agama misalnya, pada tahun 2005 pihak Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam mengadakan sunat (khitan) massal bagi masyarakat Suku Laut di pulau tersebut dalam rangka untuk mengislamkan mereka (Pak Dollah, komunikasi personal, 12 Maret 2013). Meskipun tidak keseluruhan, tetapi banyak masyarakat Suku Laut yang pada saat itu mengikuti sunat massal dan menjadi pemeluk agama Islam. Hal yang menarik lainnya di sini adalah tidak pernah terdengar berita atau kabar yang menceritakan tentang adanya perlawanan dari masyarakat Suku Laut disepanjang proses perubahan serta pembangunan daerah yang dilakukan seperti halnya yang terjadi pada beberapa kelompok masyarakat minoritas yang telah diceritakan di awal. Lalu bagaimana cara masyarakat Suku Laut beradaptasi dan bertahan hidup hingga saat ini di tengah-tengah kondisi lingkungan dan masyarakat yang terus berkembang dan berbenah diri melalui upaya-upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut. Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan besar tentang bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut tersebut. Oleh karena itu, persoalan ini jelas akan menjadi studi yang sangat menarik dan patut dikaji dengan tujuan untuk melihat dan menjelaskan seperti apa proses-proses perubahan
5
sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut dan siapa saja aktor-aktor yang terlibat di sepanjang proses perubahan sosial tersebut. Tidak hanya itu, studi ini akan menjadi lebih menarik lagi karena tidak hanya identitas yang akan dipersoalkan, tetapi kita juga bisa melacak bagaimana masyarakat Suku Laut bertahan selama berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun di tengah-tengah lingkungan dan mayoritas masyarakat yang memiliki kepercayaan dan budaya yang jauh berbeda dengan mereka. Fokus terhadap perilaku masyarakat tersebut juga menjadi hal yang paling diutamakan. Perlu diketahui bahwa Suku Laut sebagai masyarakat minoritas telah ada lebih dulu, jauh sebelum Pulau Batam dibangun sebagai sebuah kota industri sekitar tahun 1970. Selain itu, kita juga bisa melacak sejauh mana keterlibatan negara dalam fenomena perubahan sosial yang dialami kelompok masyarakat Suku Laut ini, yang mungkin saja bisa membuka jalan bagi kita untuk mendapatkan sebuah penjelasan guna menjawab pertanyaan kunci atau rumusan masalah yang diajukan. Untuk mendapatkan jawaban serta penjelasan mengenai beberapa hal tersebut, maka penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dokumen dan wawancara secara mendalam (indepth interview) akan menjadi sumber data utama dalam studi ini. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan kunci yang akan
diawab dalam penelitian ini adalah:
6
Bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas, Kota Batam? C.
Tujuan Penelitian Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat dan memahami
bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada pada sebuah masyarakat etnis minoritas yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing. D.
Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Strukturasi dari
Anthony Giddens (2011) yang dijadikan sebagai sebuah pendekatan untuk menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi. Fokus pembahasan Teori Strukturasi ini adalah pada upaya memahami agensi manusia dan lembagalembaga sosial. Teori Strukturasi ini menjelaskan tentang keterkaitan struktur dan agen, tentang bagaimana orang bereaksi pada pola struktur yang dibentuk. Teori ini hadir sebagai koreksi Giddens terhadap perspektif dalam ilmu-ilmu sosial yang memproduksi analisis mengenai agensi dan struktur secara terpisah atau sendirisendiri. Misalnya, perspektif strukturalisme yang terlalu fokus pada struktur dan menganggap agen atau pelaku (yang berada di level mikro) bukanlah hal yang penting, ataupun perspektif fungsionalisme yang lebih fokus terhadap individu atau agensi dan mengabaikan struktur. Giddens berpendapat bahwa agensi dan struktur justru memiliki keterkaitan yang erat dalam sebuah analisis sosial dan melihat realitas yang ada dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Teori Strukturasi ini dianggap tepat
7
untuk menjelaskan alasan-alasan serta pelaku-pelaku yang mempengaruhi pilihan atas tindakan-tindakan individu maupun kelompok masyarakat untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu, termasuk dalam menjelaskan aktor-aktor dibalik tidak adanya resistensi ketika terjadi sebuah konversi agama. Artinya, analisis mengenai keterkaitan agensi dan struktur sangat diperlukan dan dirasa mampu untuk menjawab rumusan masalah serta memenuhi tujuan penelitian dari studi ini. Inti dari teori strukturasi ini adalah ingin mengatakan bahwa pembentukan agen (pelaku) dan struktur bukanlah dua hal yang terpisah (dualisme), tetapi merupakan penggambaran dua fenomena yang saling berkaitan (dualitas). Giddens menyebut keterkaitan tersebut dengan istilah ‘dualitas struktur’. Gagasan dualitas struktur ini menjelaskan bahwa sifat-sifat struktural sistem sosial keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang mereka organisir secara rekursif (Giddens 2011, hh. 31-32). Dengan kata lain, agen membentuk struktur dan setelah struktur itu terbentuk, maka agen akan bertindak mengikuti atau mentaati struktur yang telah mereka bentuk tersebut. Inilah yang disebut oleh Giddens sebagai dualitas struktur. Selain itu, dalam gagasan dualitas struktur, aturan dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduski sistem. Penjelasan logis dan lebih terperinci mengenai gagasan dualitas struktur tersebut tersirat dalam dua konsep penting dari Teori Strukturasi yang akan digunakan dalam studi ini yaitu konsep agensi dan konsep struktur.
8
D.1. Agensi Dalam konsep agensi, manusia dipahami sebagai pelaku atau pelaku yang memiliki kesadaran dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari yang kemudian menjadi sebuah rutinitas dan akhirnya membentuk struktur. Pada tahap selanjutnya, struktur yang telah dibentuk itu pada gilirannya membentuk perilaku atau tindakan manusia. Singkatnya, struktur itu dibentuk melalui tindakan manusia sebagai pelaku atau agen dan tindakan agen dibentuk oleh struktur. Giddens menyakini bahwa agen-agen selalu bisa menjelaskan atau menguraikan apa yang mereka lakukan beserta alasan-alasan dibalik perilaku atau tindakan mereka tersebut. Para agen selalu memahami kondisi dan konsekuensikonsekuensi atas apa yang mereka lakukan. Intinya, selalu ada penjelasan dibalik pilihan tindakan atau perilaku seseorang. Hal tersebut menjadikan teori ini relevan untuk
digunakan
dalam
menjelaskan
alasan
serta
pelaku-pelaku
yang
mempengaruhi bagaimana individu atau sekelompok orang merespon konversi agama yang dilakukan terhadap mereka. D.2. Struktur Giddens (2011, h. 31) mendefinisikan struktur sebagai seperangkat aturan dan sumberdaya yang diorganisasikan secara rekursif (berulang), berada diluar ruang dan waktu, dan memerlukan koordinasi. Sumberdaya yang dimaksud oleh Giddens (2011, h. 19) adalah merupakan sifat-sifat sistem sosial yang terstruktur, yang ditimbulkan dan direproduksi oleh agen-agen yang berpengetahuan mumpuni selama interaksi berlangsung. Lebih lanjut Giddens menjelaskan bahwa
9
apa yang dilakukan oleh pelaku atau agen muncul dari pelaku-pelaku yang secara eksternal mempengaruhi mereka, yaitu struktur itu sendiri. Konsep struktur yang dikemukakan oleh Giddens dalam Teori Strukturasi yang dikembangkannya menjelaskan bahwa struktur itu tidak hanya memberikan kekangan (constraining), tetapi juga memberikan kemungkinan (enabling) bagi manusia sebagai agensi untuk melakukan sesuatu (Maliki 2012, h. 298). Hal tersebut tergambar dari ungkapan Giddens (2011, h. 32) dalam tulisannya bahwa: Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint), namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling).
Artinya, dari berbagai bentuk pengekangan yang dihasilkan oleh struktur di banyak sisi juga merupakan bentuk pembebasan. Bentuk-bentuk tersebut berfungsi membuka kemungkinan-kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan tindakan tertentu sekaligus membatasi atau mengingkari bentuk-bentuk tindakan lainnya. Kedua aspek ini (struktur yang constarining dan enabling) harus dikaji secara bersama. Dalam menjelaskan hal ini, Giddens banyak mengkoreksi argumen yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi struktural mengenai struktur. Para ahli sosiologi struktural menurut Giddens ketika mendefinisikan structural constraint terlalu memberikan penekanan yang besar dalam mengasosiasikan antara “struktur” dengan “constraint”, salah satunya adalah Durkheim. Giddens mengkritik Durkheim yang mengatakan bahwa struktur itu adalah sebuah kekangan dan mengikat tindakan seseorang (Giddens 2011, h. 209). Artinya, Durkheim menganggap bahwa struktur membuat seseorang tidak bisa melakukan apapun. Di titik inilah Giddens menentang argumen tersebut dengan meyakini 10
bahwa struktur itu tidak sepenuhnya memberikan kekangan bagi manusia atau agensi, tetapi struktur juga bisa meng-enable agensi untuk bisa melakukan sesuatu. Enable di sini memiliki arti bahwa manusia atau agensi dimungkinkan untuk melakukan sesuatu berdasarkan hubungan yang ada antara struktur dan agensi serta agensi dan kekuasaan. Melalui teori strukturasi ini juga, Giddens ingin meminimalkan signifikasi aspek-aspek pengekang dari struktur. Lebih lanjut, Giddens (2011, h. 225) mengungkapkan bahwa structural constraint tidak bekerja secara terpisah dengan penjelasan mengenai motif atau alasan para agen atas apa yang dilakuannya. Pemahaman mengenai ‘constraint’ dalam menjelaskan tindakan seseorang perlu dicermati secara teliti. Hal pertama yang harus dipahami betul adalah bahwa ‘constraint’ tidak ‘mendorong’ siapapun untuk melakukan sesuatu jika orang tersebut memang belum siap untuk ‘didorong’. Kedua, istilah ‘constraint’ memiliki beberapa definisi yang berbedabeda. ‘Constraint’ yang dipahami dalam konsep ‘structural constraint’ sebagaimana yang telah dijelaskan di atas berbeda dengan ‘constraint’ yang ada dalam konsep sanksi. Dalam pengertian sanksi, ‘constraint’ dipahami sebagai kekangan yang muncul akibat dari pemberian sanksi itu sendiri. Artinya, kekangan yang diberikan adalah bentuk hukuman sebagai konsekuensi dari sanksi yang ia dapatkan, misalnya pembatasan atas kebebasan seseorang. Ketiga, untuk mengkaji bekerjanya ‘structural constraint’ dalam konteks tindakan tertentu, berarti kita harus melacak aspek-aspek yang relevan berkaitan dengan pengetahuan agen secara spesifik (Giddens 2011, h. 385). Misalnya saja, kita menspesifikkan hal-hal apa yang mungkin diketahui oleh para agen mengenai
11
berbagai hal disekitanya. Pengetahuan yang dimiliki agen bisa jadi merupakan bentuk kesadaran mereka atas terbatasnya pilihan yang ada sehingga keputusanpun harus diambil. Berbagai jenis pengetahuan yang dimiliki oleh agen bisa digunakan untuk menjelaskan alasan-alasan atau faktor yang menjadi pertimbangan serta motivasi atas perilaku dan tindakan yang dilakukan. Hal ini perlu dilakukan karena ‘structural constraint’ selalu bekerja melalui alasan dan motif-motif agen, yang mampu mencipatakan konsekuensi-konsekuensi dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pilihan-pilihan yang terbuka bagi orang lain, serta apa yang mereka inginkan dari apapun pilihan yang dimiliki. Hal tersebut secara sederhana bisa kita jelaskan melalui fenomena konversi agama. Konversi agama bisa saja tidak memunculkan resistensi jika ada struktur yang mendorong munculnya kebutuhan akan adanya perubahan. Artinya, konversi agama tidak akan memunculkan resistensi karena perubahan itu memang dibutuhkan oleh sebuah kelompok masyarakat. Ketika mereka tidak bisa survive dalam struktur sosial ekonomi yang sedemikian rupa dengan kepercayaan dan budaya yang jauh berbeda dari masyarakat mayoritas disekelilingnya, maka hal tersebut akan mendorong tumbuhnya kebutuhan akan perubahan. Dengan kata lain, struktur sosial ekonomi yang ada di lingkungan sekitar masyarakat tersebutlah yang mempengaruhi dan mendorong mereka untuk melakukan perubahan pada budaya dan tradisi beragama yang selama ini diyakini. Jika yang terjadi adalah benar demikian, berarti nilai-nilai fundamental dan kesakralan dari identitas yang bernama agama tidak lagi menjadi hal yang bisa dan harus dipertahankan dengan segala cara. Nilai fundamental dan kesakralan
12
paraktek beragama juga tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam pilihan identitas. Sehingga kasus ini bukan lagi menjadi persoalan agama sebagai identitas, tetapi lebih pada soal adanya relasi struktur yang mulai bergeser yang kemudian menentukan dan sangat mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang. E.
Kerangka Teori Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
disampaikan di atas, maka pada tahap ini penting untuk memaparkan kerangka teoritik yang akan digunakan untuk menganalisa sekaligus mengkerangkai datadata hasil temuan penelitian untuk mencapai sebuah kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah atau pertanyaan kunci yang diajukan dalam studi ini. Studi ini akan menggunakan Teori Perubahan Sosial yang dijelaskan dengan pendekatan Strukturasi dari Anthony Giddens (2011) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perubahan sosial secara pasti tidaklah mudah, karena ada perdebatan-perdebatan mengenai hal tersebut diantara para ahli yang memunculkan definisi perubahan sosial berbeda-beda. Perubahan sosial memiliki pengertian yang cukup luas karena masyarakat sering diasumsikan sebagai sesuatu yang life, sehingga pasti akan terus mengalami perkembangan dan perubahan (Narwoko & Suyatno 2011, h. 362). Oleh sebab itu, kajian mengenai perubahan sosial semestinya juga menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh, termasuk dimensi struktural, kultural, dan interaksioanl. Akan tetapi, pemahaman yang seperti ini banyak dikritik oleh para sosiolog yang 13
menganggap bahwa asumsi tersebut terlalu luas, sehingga akan sulit untuk melakukan analisis secara mendalam. Para pengkritik berpendapat bahwa harus ada batasan-batasan yang jelas dalam definisi dan orientasi kajian perubahan sosial. Hal ini menyebabkan adanya berbagai macam definisi mengenai perubahan sosial menurut masing-masing ahli. William F. Ogburn pada tahun 1922 (dalam Soekanto 1975, h. 233) dalam tulisannya mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik dari segi materiil maupun immateriil, dengan menekankan bahwa adanya pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaaan materiil terhadap unsur-unsur immateriil. Kingsley Davis (1960) mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Dalam kaitannya dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial itu sendiri merupakan bagian dari perubahan kebudayaan yang mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya termasuk perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Mac Iver pada tahun 1937 (dalam Soekanto 1975, h. 234) dalam bukunya mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Sementara, Gillin dan Gillin mengatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik itu disebabkan oleh kondisi geografis, kebudayaan
14
materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto 1975, hh. 233-234). Sedangkan menurut Wilbert E. Moore (1965, h. 6), perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada sistem sosial termasuk di dalamnya interaksi antar aktor serta aturan atau norma yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam menganalisa perubahan sosial ada tiga hal penting yang harus diamati, yaitu perubahan struktur sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial, termasuk perubahan norma, nilai, dan fenomena kultural yang ada dalam lingkungan masyarakat. Selain beberapa sosiolog di atas, Selo Soemardjan tahun 1962 (dalam Soekanto 1975, h. 234) juga mencoba mendefinisikan apa yang disebut sebagai perubahan sosial. Menurutnya, perubahan sosial adalah segala bentuk perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam sebuah masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Ia sangat menekankan bahwa faktor penting perubahan itu ada pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia yang kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya. Dari sekian banyak definisi tentang perubahan sosial tersebut, penelitian ini sepertinya akan lebih banyak mengarah pada perubahan sosial yang didefinisikan oleh Wilbert E. Moore. Menurut Moore (1965, h. 5), tindakan atau perilaku manusia memiliki keteraturan dan pola tertentu yang ditandai dengan adanya perubahan dari waktu ke waktu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Moore 15
(dalam Soekanto 1975, hh. 232-233) bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terikat oleh ruang dan waktu, tetapi karena sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut belangsung secara terus menerus, meskipun terkadang diselingi oleh keadaan-keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena oleh proses perubahan tersebut. Struktur sosial menjadi hal penting ketika melihat perubahan sosial dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan ketika struktur sosialnya berubah, maka pola relasi antar aktor yang terlibat di dalamnya juga akan turut berubah sehingga mempengaruhi perubahan-perubahan lainnya karena adanya kepentingan aktor yang berbeda-beda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sztompka (2011, h. 5), bahwa struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan operasinya. Sehingga ketika strukturnya berubah, maka semua unsur lainnya juga cenderung berubah, termasuk perubahan sistem secara keseluruhan. Perubahan sosial sendiri memeiliki beberapa bentuk, sebagaimana yang dijelaskan oleh Soekanto dalam bukunya. Berikut adalah beberapa bentuk perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto (1945, hh. 237-242): 1. Perubahan yang berjalan lambat dan perubahan yang berjalan cepat. Perubahan yang berjalan lambat atau yang disebut evolusi ini dikarenakan usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluankeperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat tidak perlu sejalan dengan rentetan
16
peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Ilmuanilmuan yang menjadi pelopor teori evolusi adalah seperti Charles Darwin, August Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Sedangkan perubahan yang berjalan secara cepat yang dinamakan revolusi ini biasanya mengenai perubahan pada dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, mislanya saja revolusi di Inggris. 2. Perubahan kecil dan perubahan besar. Perubahan kecil merupakan perubahan yang tidak membawa dampak dalam masyarakat secara keseluruhan. Contohnya seperti perubahan mode pakaian, perubahan ini tidak membawa pengaruh bagi masyarakat secara keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembagalembaga kemasyarakatan. 3. Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendakai (unintended change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplenned change). Perubahan yang dikehendakai merupakan perubahan yang diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan terhadap masyarakat tersebut. Pihak-pihak ini disebut sebagai agen of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang dipercaya oleh masayarakat untuk memimpin mereka dalam melakukan perubahan. Suatu perubahan yang dikehendakai atau yang direncanakan ini selalu berada di
17
bawah pengendalian dan pengawasan agen of change tersebut. Sedangkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi diluar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menimbulkan akibat- akibat sosial yang tidak diharapkan. Akan tetapi, konsep perubahan yang dikendaki atau tidak dikehendaki ini tidak berarti bahwa perubahan tersebut diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki bisa saja menjadi memnuhi harapan dan dapat diterima oleh masyarakat, begitupula sebaliknya. Lebih lanjut, Soekanto (1945, hh. 234-235) menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya kondisi-kondisi sosial primer yang mengalami perubahan seperti kondisi-kondisi ekonomis, kondisi geografis, teknologis, atau biologis. Perubahan pada kondisi-kondisi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Perubahan sosial terjadi dikarenakan adanya faktor-faktor yang baik yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri (faktor internal) maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut (faktor eksternal). Secara lebih rinci, Soekanto (1945, hh. 243-250) memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1.
Faktor internal a) bertambah dan berkurangnya penduduk b) penemuan-penemuan baru c) pertentangan (conflict) dalam masyarakat d) terjadinya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat itu sendiri 18
2.
Faktor ekternal a) bencana alam b) peperangan dengan negara lain c) pengaruh kebudayaan masyarakat lain Selanjutnya, di dalam proses perubahan itu sendiri, ada faktor-faktor yang
mempengaruhi jalannya proses perubahan, baik itu faktor-faktor yang mendorong proses perubahan tersebut ataupun faktor-faktor yang menghambat proses perubahan sosial. Berikut adalah beberapa faktor tersebut (Soekanto, hh. 283287): 1. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan: a) kontak dengan kebudayaan lain b) sistem pendidikan yang maju c) sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju d) toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang e) sistem lapisan masyarakat yang terbuka f) penduduk yang heterogen g) ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu h) orientasi ke masa depan i) nilai meningkatkan taraf hidup 2. Faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan: a) kurangnya hubungan dengan masyarakat lain b) perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat c) sikap masyarakat yang tradisional 19
d) adanya keinginan-keinginan yang telah tertanam dengan kiut e) rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan f) prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing g) hambatan ideologis h) kebiasaan i) sikap pasrah Berbagai faktor diatas akan ikut menentukan apakah masyarakat tersebut akan melakukan penyesuaian terhadap perubahan, ataupun terjadi ketidakserasian dalam perubahan tersebut sehingga menimbulkan cultural lag (ketertinggalan budaya). Hal ini dikarenakan di dalam masyarakat itu sendiri ada unsur-unsur yang bisa berubah secara cepat dan ada pula unsur-unsur yang sulit untuk dirubah. Unsur-unsur yang sulit dirubah tersebut adalah seperti hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan rohaniah, misalnya agama. Jika hal ini yang terjadi maka cultural lag sangat mungkin terjadi karena ketidakseimbangan taraf kemajuan dari berbagai bgaian dalam masyarakat yang mengalami perubahan. F.
Definisi Konseptual Berdasrakan kerangka teori yang dipaparkan di atas dan dari sekian
banyak konsep perubahan sosial yang dirumuskan oleh para ilmuan, maka konsep yang akan digunakan dalam studi ini adalah konsep perubahan sosial yang merujuk pada perubahan sosial yang dirumuskan oleh Wilbert E. Moore yaitu perubahan sosial yang terjadi pada sistem sosial, termasuk didalamnya struktur sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial.
20
G.
Metode Penelitian Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena permasalahan
yang ingin dikaji sangat kompleks dan memerlukan pemahaman serta pemaknaan secara mendalam, sehingga untuk mendapatkan data dan teknik analisa dalam masalah sosial seperti ini tidak akan cukup jika hanya dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif yang menggunakan instrumen seperti kuesioner, pedoman wawancara, atau obeservasi. Jenis penelitian kualitatif yang akan digunakan adalah metode fenomenologi. Fenomenologi dipilih karena dirasa sesuai untuk bisa memahami secara mendalam mengenai konteks dan fenomena konversi atau perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat etnis Suku Laut yang unik dan jarang terjadi di masyarakat etnis minoritas pada umumnya karena tidak memunculkan konflik atau perlawanan yang masif. Dengan menggunakan metode fenomenologi, pemahaman arti dan pemaknaan dari sebuah pengalaman seseorang atau individu bisa dilakukan secara mendalam. Konversi sebagai sebuah fenomena perubahan sosial yang dialamai oleh masyarakat Suku laut merupakan pengalaman yang bisa dilacak sebagai sebuah pengalaman individu maupun sekelompok orang yang memiliki arti dan makna tersendiri. Untuk bisa menjawab rumusan masalah yang telah diajukan, kita perlu mengetahui tentang bagaimana pergulatan dan dinamika kehidupan masyarakat Suku Laut. Artinya, kita akan melacak sejarah kemunculan dan keberadaan masyarakat Suku Laut. Selain itu, kita juga akan melihat bagaimana relasi kuasa antara masyarakat Suku Laut dengan struktur kekuasaan politik negara, serta bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat disekitarnya. Semua hal tersebut
21
dapat dideskripikan dengan baik dan jelas ketika peneliti mampu mengeksplorasi pengalaman-pengalaman masyarakat Suku Laut tersebut secara mendalam. Hal ini sesuai dengan inti dari penggunaan metode fenomenologi itu sendiri, yaitu untuk memahamai dan mendeskripsikan esensi dari pengalaman yang menjadi fenomena kehidupan seseorang atau sekelompok orang (Herdiansyah 2010, h. 66). Tabel berikut adalah pemaparan secara lebih spesifik data-data yang diperlukan dalam studi ini –tetapi tidak menutup kemungkinan ada data tambahan yang dibutuhkan dalam studi ini-, yaitu: Tabel 1.1 Deskripsi dan Pemetaan Data yang di Perlukan Perubahan Sosial
1. Perubahan apa saja yang terjadi di dalam kelompok masyarakat Suku Laut? Untuk itu, perlu diketahui bagaimana dinamika kehidupan masyarakat Suku Laut sejak awal hingga saat ini. 2. Bagaimana
proses
perubahan
perubahan
tersebut
berlangsung? 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial masyarakat Suku Laut? Agensi atau Aktor
1. Siapa yang berperan sebagai aktor dalam proses prubahan sosial masyarakat Suku Laut. Hal ini berguna untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses perubahan sosial masyarakat Suku Laut. 2. Sejauh mana keterlibatan para aktor dalam proses islamisasi dan perubahan sosial lainnya. 3. Sejauh mana keterlibatan aktor dalam membentuk struktur. Melacak mengenai sejarah mereka, mulai dari asal usul, kemunculan, dan dinamikanya.
22
Struktur
Untuk memahami lebih dalam mengenai hal ini, maka hal yang harus dilacak adalah adanya kemungkinan faktor-faktor yang mempengaruhi individu atau masyarakat Suku Laut dalam mengambil keputusan. Masing-masing individu mungkin bertindak dengan harapan memperoleh keuntungan lebih. 1. Dalam memutuskan untuk beragama islam diantara berbagai pilihan agama/kepercayaan apakah individu didorong atau memang keinginan pribadi? 2. Apakah latar belakang kelas mempengaruhi individu dalam memilih agama? 3. Apakah ada dorongan kebutuhan ekonomi? Jika iya, lacak pendapatan mereka saat sebelum masuk islam dan sesudah masuk islam. 4. Apakah yang mereka bayangkan ketika memutuskan untuk ikut serta memeluk agama islam? Biasanya, masyarakat dari kelompok minoritas atau kelas sosial yang rendah memiliki pemahaman yang realistis terhadap kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi agar tetap mampu bertahan dalam sistem kehidupan sosial dan ekonomi yang ada disekitar mereka. 5. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi yang ada dilingkungan sekitar mereka/masyarakat Suku Laut. Kesadaran
mengenai
mempengaruhi
hal
ini
keputusan-keputusan
dirasa mereka
mampu dalam
bertindak. 6. Bagaimana pengetahuan masyarakat Suku Laut tentang peluang kerja dan bagaimana sikap/pandangan mereka terhadap kerja/pekerjaan. Hal ini bisa dianggap sebagai motivasi bagi masyarakat Suku Laut untuk melakukan
23
perubahan. Islamisasi bisa jadi oleh Orang-orang Suku Laut dipahami sebagai strategi baru untuk mengikuti perkembangan zaman dan perkembangan ekonomi sehingga mampu mengakses peluang
kerja untuk
memperbaiki hidup. 7. Untuk mengetahui bekerjanya ‘structural constraint’, perlu diselidiki bagaimana motif dan proses penalaran aktor dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor dalam pengalaman saat ini dan pengalaman sebelumnya, serta bagaimana
faktor-faktor
tersebut
pada
gilirannya
dipengaruhi oleh ciri-ciri institusional masyarakat umum yang lebih luas.
Untuk bisa memperoleh data-data tersebut, penelitian kualitatif akan sangat membantu untuk bisa mengekplorasi informasi dan data secara mendalam dengan cara menemukan informan yang tepat dan relevan. Pemilihan informan akan dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan informan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya orang yang dianggap paling tahu mengenai permasalahan yang ada dan mengerti apa yang diharapkan peneliti, atau mungkin orang yang dianggap sebagai penguasa atau yang disegani sehingga memudahkan peneliti memperoleh data yang dibutuhkan. Yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah individu-individu dalam kelompok masyarakat Suku Laut yang mengalami fenomena konversi agama yang sama di Pulau Air Mas, Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Masyarakat Suku Laut atau yang lebih sering disebut dengan Orang Suku Laut ini adalah kelompok masyarakat etnis yang sering ditemukan di daerah-daerah perairan Provinsi
24
Kepulauan Riau, Indonesia. Akan tetapi, saat ini sudah jarang ditemukan Orang Suku Laut yang menghabiskan hidupnya di laut atau perairan, mereka saat ini lebih banyak membangun rumah di pesisir pantai dan menetap di sana. Orang Suku Laut di wilayah Kota Batam tidak hanya terdapat di Pulau Air Mas Saja, tetapi juga bisa ditemukan di bagian-bagian wilayah Kota Batam lainnya. Akan tetapi, untuk penelitian ini, unit analisisnya tetap hanya akan fokus pada masyarakat Suku Laut yang ada di Pulau Air Mas saja. Hal ini dirasa penting untuk ditegaskan agar penelitian ini lebih jelas, terarah, dan lebih fokus. G.1. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini lebih berdasarkan pada ‘social situation’ atau situasi sosial yang ditemukan dilapangan seperti tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis. Akan tetapi, sebagai gambaran awal peneliti, ada beberapa sumber data yang dianggap relevan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan–tetapi tidak menutup kemungkinan akan ada sumber data tambahan selain ini-, yaitu: 1. Masyarakat Suku Laut Informasi atau data dari masyarakat Suku Laut sangat penting karena mereka menjadi fokus analisis dari penelitian ini. Mereka adalah pihak yang paling mengetahui seluk beluk dan dinamika kehidupan masyarakat Orang-orang Suku Laut. Karena yag akan dianalisis adalah pengalaman individu dari kelompok masyarakat Suku Laut dalam fenomena konversi agama, maka informasi dengan cara wawancara secara langsung kepada
25
orang-orang tersebut sangat dibutuhkan. Data atau informasi dari masyarakat Suku Laut ini akan menjadi data utama yang digunakan oleh peneliti. 2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Batam LAZ menjadi sumber data penting karena mereka adalah pihak yang terlibat secara langsung dalam konversi agama yang dilakukan terhadap masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas. 3. Pemerintah Setempat Pemerintah setempat seperti Pemerintah Kota Batam, Dinas Sosial, dan pihak kelurahan merupakan pihak yang memiliki otoritas atas masyarakat Suku Laut sehingga relevan untuk dijadikan sebagai informan penting. 4. Data Dokumen Berbagai data dokumen berbentuk tulisan, gambar, maupun karya-karya seseorang akan digunakan untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari masyarakat Suku Laut dan juga LAZ. Misalnya saja media massa baik internet maupun cetak, data-data literatur seperti buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, dan dokumen-dokumen lainnya yang mencatat sejarah mengenai
Orang-orang
Suku
Laut
juga
menjadi
penting untuk
memperoleh konsep-konsep dan teori yang berkaitan dengan studi ini. G.2. Teknik Pengumpulan Data Untuk bisa memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan secara lengkap agar bisa menjawab pertanyaan penelitan, maka teknik pengumpulan data yang akan dilakukan yaitu dengan menggunakan observasi, wawancara 26
mendalam, dan data dokumen. Observasi dan wawancara mendalam menjadi data primer yang akan digunakan daam studi ini. Sedangkan teknik pengumpulan data dengan dokumen akan menjadi data sekunder. Wawancara langsung secara mendalam akan dilakukan dengan masyarakat Suku Laut, Guru Agama yang ditempatkan di Pulau Air Mas, Pihak LAZ Kota Batam, dan informan-informan lainnya yang dianggap relevan dalam penelitian ini. Pemilihan informan ini sebagaimana yang telah dijelaskan di atas akan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini diharapkan bisa membantu peneliti untuk memperolah data secara mendalam dan akurat serta membantu peneliti melakukan pengecekan atas kebenaran data atau informasi yang diberikan oleh informan satu dan yang lainnya. Sementara observasi akan sangat berguna untuk bisa memahami lebih dalam terkait bagaimana kehidupan masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas dengan cara mengamati kegiatan sehari-hari mereka, serta mengamati bagaimana relasi mereka dengan masyarakat sekitarnya dan juga pemerintah setempat. Observasi ini akan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti mengenai berbagai hal tentang Masyarakat Suku Laut yang mungkin saja tidak bisa didapatkan pada saat wawancara. Selain Observasi dan wawancara langsung, studi dokumen juga diperlukan guna memperoleh data tambahan/penunjang yang akan digunakan untuk memperkuat dan melengkapi data dari hasil wawancara dan observasi. Studi dokumen yang akan dilakukan berbentuk tulisan, gambar, atau hasil karya seseorang. Dokumen dalam bentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah
27
kehidupan yang menceritakan tentang masyarakat Suku Laut, artikel, jurnal, laporan-laporan hasil penelitan terdahulu mengenai Orang-orang Suku Laut, peraturan dan kebijakan pemerintah, atau informasi-informasi dari media massa seperti surat kabar dan internet (website) yang sekiranya relevan dengan penelitian ini. G.3. Teknik Analisa Data Selanjutnya, metode triangulasi akan digunakan untuk menganalisis data hasil observasi, wawancara dan dokumen. Penggunaan teknik triangulasi seperti ini sekaligus bertujuan untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh. Dalam studi ini, peneliti akan melakukan analisa data dalam dua tahap yaitu pada saat proses pengumpulan data berlangsung dan setelah proses pengumpulan data selesai. Hal seperti ini sangat mungkin dilakukan dalam metode penelitian kualitatif. Inilah yang juga menjadi salah satu alasan mengapa peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif. Analisa data pada saat proses pengumpulan data berlangsung berarti bahwa untuk melakukan analisa data, peneliti tidak harus menunggu seluruh data terkumpul. Analisa data bisa dimulai dengan mengumpulkan hasil temuan yang telah diperoleh dan membuat semacam transkrip ataupun catatan-catatan dari hasil obeservasi dan wawancara di lapangan. Hal tersebut juga bermanfaat bagi peneliti untuk mengecek data-data apa saja yang masih kurang dan harus dicari lebih lanjut. Kegiatan seperti ini akan dilakukan secara terus menurus hingga seluruh data yang diperlukan terkumpul. Setelah seluruh hasil temuan penelitian baik dilapangan (observasi dan wawancara mendalam), media, maupun literatur dan dokumen-dokumen telah 28
diperoleh, maka peneliti akan melakukan analisa secara menyeluruh. Selanjutnya, data-data tersebut akan dibaca secara berulang dengan tujuan untuk memahami dan memilah data-data yang dianggap relevan
dan berguna dalam studi ini.
Artinya, tidak semua informasi yang didapat selama proses pencarian data akan digunakan. Dengan adanya proses penyaringan data, maka peneliti bisa memahami dan memastikan bahwa data yang digunakan benar-benar relavan dan dibutuhkan untuk bisa menjawab rumusan masalah yang diajukan. Penyaringan data ini sekaligus dilakukan untuk mengkategorikan data–data yang ada sesuai dengan perencanaan bab yang telah ditentukan. Membaca data secara berulangulang juga bisa membantu peneliti untuk lebih mudah memahami gambaran permasalahan secara utuh. Dengan demikian, data dan informasi yang diperoleh akan tersusun secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain sebagai pembaca. Rangkaian proses analisa data ini akan memudahkan peneliti untuk menarik kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. H.
Sistematika Penulisan Seluruh hasil temuan atau data penelitian yang telah dianalisa akan
dipaparkan dengan membaginya menjadi empat bagian. Akan tetapi, seluruh bagian dalam tulisan ini tetap akan memperilhatkan secara jelas bagaimana prubahan sosial itu berlangsung dalam masyarakat Suku Laut. Bagian pertama, kita akan melihat siapa dan bagaimana sejarah serta dinamika kehidupan masyarakat Suku laut yang ada di Pulau Air Mas, termasuk budaya, tradisi dan agama atau kepercayaan yang mereka anut dimulai sejak kemunculannya hingga
29
saat ini. Penjelasan mengenai hal ini penting untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat atau Orang-orang Suku laut ini menjadi agen utama yang membentuk strukur kehidupan mereka sendiri. Pada bagian kedua, kita akan melihat bagaimana proses konversi yang dilakukan terhadap kelompok masyarakat Suku Laut serta alasan-alasan dibalik dilakukannya konversi tersebut. Bagian ini juga akan menjelaskan bagaimana keterkaitan antara negara dengan agama, serta pemetaan agen atau pelaku yang terlibat dalam proses islamisasi dan bagaimana keterkaitan antar pelaku tersebut. Di sinilah konsep agensi akan sangat berperan. Pada bagian ketiga, kita akan melihat bagaimana kelanjutan proses konversi tersebut dan bagaimana dampak dari proses panjang konversi yang dilakukan terhadap Suku Laut tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan tidak adanya resistensi dalam proses islamisasi yang dilakukan oleh LAZ terhadap masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas. Dalam menjelaskan hal ini, konsep mengenai struktuk akan sangat berperan penting. Di sinilah akan dijelaskan bagaimana struktur dan faktor-faktor lainnya berperan dalam mendorong adanya kebutuhan akan perubahan yang terlihat melalui konversi agama yang diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas. Bagian terakhir, akan dipaparkan kesimpulan dari berbagai pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai jawaban atas rumusan masalah yang telah diajukan dan mencoba memetik sebuah pelajaran penting yang bisa kita
30
ambil dari studi ini sebagai kontribusi bagi teoritisasi perubahan sosial dalam ilmu sosial dan politik.
31