BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN Praktik suap di kalangan jurnalis masih terjadi hingga saat ini. Suap adalah hadiah yang diberikan pada nara sumber baik yang berpengaruh pada berita maupun yang tidak berpengaruh. Makin tinggi intensitas pemberian suap, jurnalis akan terbentur dalam konflik kepentingan. Jenis-jenis suap yang dilakukan oleh jurnalis yakni freebies, junkets, perks, freelancing, serta sogokan. Semua jenis suap ini dilakukan oleh wartawan muda dan tua, wartawan dengan gaji rendah maupun tinggi, wartawan dengan status kerja tetap ataupun kontributor, serta wartawan yang bekerja di wilayah pemerintahan maupun non pemerintahan. Jenis-jenis suap ini dapat diuraikan sebagai berikut. a. Freebies : pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu seperti tiket gratis (menonton, pertandingan, dan lain-lain), undangan makan dan minum gratis, buku, kalender, pensil, kartu ucapan selamat, parcel, amplop saat jumpa pers (Rp 25.000,- hingga tak terhingga), dan pemberian lainnya.
Freebies ini sama halnya dengan gratifikasi yang bisa
berpengaruh atau tidak berpengaruh pada penulisan berita. Mayoritas freebies ini diterima secara insidental oleh jurnalis ketika meliput suatu acara. Khusus untuk wilayah pemerintahan dan pendidikan terdapat dana 183
anggaran khusus seperti
yang dianggarkan dalam APBD. Ada yang
dinamakan uang triwulanan sekitar Rp300.000,-.
b. Junkets, berkaitan dengan pekerjaan jurnalis yang diselingi dengan berpesiar. Beberapa kategorinya yakni tiket jalan-jalan gratis dengan memberikan akomodasi penuh (penginapan, transportasi, makan, dan lainnya) pada jurnalis baik di luar kota maupun luar negeri dengan uang saku. Untuk penginapan biasanya adalah hotel sekelas bintang 3. Uang saku pun berkisar Rp 500.000,- hingga jutaan. Biasanya sembari jalanjalan gratis atau beriwisata, jurnalis “sengaja” diberi objek wisata yang bisa diliput. Junkets ini biasanya selalu dianggarkan dalam sekali dalam satu tahun. c. Perks, berkaitan tunjangan pada jurnalis. Kategori perks diantaranya, ruangan kerja/press room di gedung pemerintahan serta anggaran APBD daerah yang diperuntukkan untuk jurnalis (meliputi uang dalam jumpa pers, press tour, Tunjangan Hari Raya (THR), dan lainnya. Keberadaan press room ini dilengkapi dengan komputer, jaringan internet gratis, telepon, minuman dan makanan ringan, serta AC. Press room ini bebas digunakan oleh wartawan saat melakukan kerjanya. d. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan
yang dilakukan
wartawan. Dari hasil penelitian, pekerjaan kedua yang mayoritas dikerjakan wartawan adalah mencari iklan. Pekerjaan ini ada yang diminta
184
oleh perusahaan, ada pula yang menjadi kemauan sendiri. Pekerjaan ini mendatangka komisi untuk jurnalis. e. Suap/ Sogokan. Suap atau sogokan ini lebih berkaitan dengan ikatan janji yang dilakukan oleh nara sumber dengan pihak perusahaan/jurnalis untuk memberitakan atau tidak memberitakan. Sogokan banyak diberikan oleh nara sumber ketika mereka terlibat dalam kasus tertentu. Sogokan biasanya berupa uang atau fasilitas mewah lainnya. Sogokan lain adalah dalam bentuk iklan. Biasanya ini merupakan kerjasama terlebih dahulu yang dilakukan perusahaan media. Contoh sogokan lain yang ditemukan adalah dalam penelitian ini adalah pihak nara sumber dengan mengadakan lomba menulis dengan hadiah yang mewah seperti uang jutaan rupiah, serta hadiah mewah lainnya. Syaratsyarat dalam lomba menulis tersebut ditentukan oleh pihak penyelenggara seperti salah satunya pemuatan berita mereka di media. Ketentuan isi berita ditentukan mereka. Alasan praktik ini juga terdiri dari berbagai faktor yakni: a. Lemahnya komitmen individual jurnalis. Lemahnya komitmen ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu latar belakang individu jurnalis dari berbagai macam yang berpengaruh pada pemahaman mereka terhadap kode etik jurnalistik, belum pahamnya individu terhadap profesi jurnalis sendiri,s erta persepsi yang salah dari individu jurnalis soal praktik suap.
185
b.
Keberadaan kode perilaku perusahaan media. Masih banyak media yang belum menerjemahkan kode etik jurnalistik dalam kode etik perilaku. Padahal, kode etik perilaku ini akan memudahkan jurnalis untuk bekerja sesuai koridor kode etik jurnalistik. Banyak perusahaan media justru terkesan acuh soal pelaksanaan praktik suap ini. Tak hanya
acuh,
sebenarnya
mereka
sudah
mengetahui,
namun
membiarkan begitu saja. Bahkan tak hanya di tingkatan jurnalis, bahkan di tingkat redaktur atau di atasnya, praktik ini cenderung dibiarkan. Perusahaan media banyak yang tidak memberikan aturan tertulis soal praktik ini. Karena itu sanksinya pun tak tegas, paling-paling juga hanya teguran lisan. Namun ada pula perusahaan yang memberikan sanksi tegas yakni pemecatan terhadap jurnalisnya. Kelonggarankelonggaran inilah yang menjadi celah jurnalis untuk terus melakukan praktik ini. Lebih lagi, pengawasan oleh perusahaan juga masih minim. Hal lainnya adalah persoalan penghargaan perusahaan terhadap jurnalisnya. Penghargaan ini berupa gaji, tunjangan, dan lainnya. Banyak perusahaannya yang tidak seimbang memberikan penghargaan pada jurnalis dengan kerja yang mereka lakukan. c. Kontrol organisasi profesi yang kurang optimal dalam pendisiplinan anggotanya. Berdasarkan hasil penelitian, PWI cenderung membiarkan praktik ini terjadi, dengan catatan tidak memeras nara sumber.
186
Sedangkan organisasi profesi AJI yang melarang keras praktik ini, belum
banyak memberikan solusi
untuk
membantu
individu
jurnalisnya. Artinya sosialisasi sudah banyak dilakukan, hanya saja konkret untuk menambah penghasilan individu belum optimal dijalankan. d. Tekanan komersial industri pers. Hal ini menyebabkan jurnalis memiliki kerja beban berlebih. Ironisnya, kerja berlebih ini tidak diimbangi dengan gaji yang memadai. Akibatnya, praktik suap menjadi salah satu cara untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Selain itu, industri pers saat ini mendorong jurnalis untuk menyalahgunaan profesinya. Terjadi apa yang dinamakan dualism wartawan, dimana wartawan menjalankan profesi sebagai jurnalis dan pencari iklan. Hal ini di beberapa media terjadi karena alasan kondisi internal perusahaan yang kurang baik. Sayangnya, banyak dari jurnalis memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh komisi yang tinggi dari perusahaannya. Tentu saja jurnalis cenderung mudah untuk mencari iklan karena ia memiliki kedekatan dengan nara sumber. e. Tidak adanya sanksi sosial dalam masyarakat. Kultur masyarakat Jawa yang ewuh pakewuh dan pandangan salah kaprah dari nara sumber melanggengkan praktik suap ini. Banyak nara sumber yang masih berpandangan bahwa ketika tidak memberi sesuatu pada jurnalis ada perasaan tidak enak.
187
Pandangan ini dikuatkan oleh persepsi nara sumber soal profesi jurnalis yang memiliki derajat tinggi. Jurnalis adalah pihak yang harus diperlakukan baik karena akan berpengaruh pada pemberitaan citra institusi mereka. Semakin perlakukan yang diberikan nara sumber baik dan memadai, maka keuntungan yang diperoleh oleh institusi akan tinggi.
Pandangan
win-win
solution
inilah
yang
akhirnya
menjerumuskan nara sumber untuk terus menganggarkan dana khusus untuk
jurnalis
serta
menyediakan
fasilitas
yang
cenderung
”berlebihan”.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memberikan analisis terkait efek bias pada pemberitaan akibat suap. Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa unsur berita yang tidak terpenuhi lantaran jurnalis terbentur konflik kepentingan. Praktik ini masih sulit untuk dihilangkan hingga saat ini. Perlu dukungan dari berbagai faktor untuk memberantasnya. Salah satu cara yang sudah dilakukan saat ini adalah dengan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) baik yang diselenggarakan oleh Dewan Pers maupun organisasi profesi untuk terus memberikan pemahaman soal kode etik jurnalistik. Kesimpulan atas penelitian ini juga menyatakan bahwa penerapan kode etik jurnalistik khususnya praktik suap belum bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Bila ditelaah dari etika deontologi, individu jurnalis justru makin jauh dari aturan dan berusaha membuat aturan-aturan 188
masing-masing yang disahkan secara universal. Bilamana hal ini masih dilanjutkan dan tidak berusaha diberantas, maka profesionalitas jurnalis menjadi hal yang dipertaruhkan. Profesi ini kian tidak dipercaya oleh masyarakat, lebih lagi hakekat dari profesi ini adalah terbuka bagi siapa saja. Untuk itulah, perlu kesadaran masing-masing individu jurnalis untuk melaksanakan kode etik jurnalistik. Soal kode etik untuk menerima atau tidak menerima memang menjadi pilihan masing-masing individu. Hanya saja dibutuhkan rangsangan lain seperti pengawasan dan sanksi yang tegas atas tindakan ini dari media serta organisasi profesi. Beberapa sanksi yang bisa dilakukan teguran lisan, tertulis, pencabutan sementara izin profesi, serta tidak boleh bergelut di profesi jurnalis lagi. Untuk bisa memberikan sanksi yang tegas ini pekerja media memang harus menyadari bahwa pekerjaan media adalah profesi, dimana harus taat pada kode etik.
5.2 SARAN Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, peneliti memberikan saran atau rekomendasi untuk mengurangi praktik suap di kalangan jurnalis. Beberapa saran diantaranya: 1. Perusahaan media bisa memberikan kenaikan jabatan ataupun penghasilan dengan cara menstimulasi jurnalis dengan prestasi.
189
2. Sanksi atau aturan yang jelas dari perusahaan media bila melakukan praktik suap. Sanksi yang bisa diberikan seperti teguran, peringatan tertulis, hingga dipecat dari perusahaan. 3. Organisasi profesi memberikan pendidikan atau melakukan pembinaan pada anggotanya soal kode etik. Beberapa cara yang bisa dilakukan diantaranya anggota diwajibkan
mengikuti Uji
Kompetensi Jurnalis (UKJ), seminar kode etik, serta kegiatan lain yang mendukung. 4. Organisasi profesi bisa memfasilitasi anggotanya untuk mencari penghasilan tambahan yang masih dalam koridor jurnalistik misalnya menulis buku, penelitian, menulis opini di media, dan sebagaianya. 5. Sanksi teguran, tertulis, dan pemecatan dari organisasi profesi. 6. Untuk eksternal, organisasi profesi bisa membantu peningkatan kapasitas humas atau narasumber soal kode etik. Hal ini penting agar pihak pemberi juga memahami dengan betul kode etik jurnalistik.
Penelitian ini masih banyak memiliki kelemahan dan kekurangan. Penelitian ini masih bisa dikembangkan lagi dengan meneliti unsur teknik berita dari jurnalis yang menerima suap. Praktik suap sangat erat dengan dimensi evaluatif pada berita karena berkaitan dengan konteks sebuah fakta. Dimensi evaluatif terdiri dari dua komponen yakni keseimbangan 190
(balance) dan netralitas (netrality). Keseimbangan diartikan sebagai elemen penting dalam organisasi media karena masalah independensi ditegaskan. Sedangkan netralitas berkaitan dengan proses seleksi dan substansi seluruh berita. Namun penelitian lanjutan dari penelitian ini juga harus berdasarkan pada kasus tertentu. Hal ini memudahkan peneliti untuk melihat seberapa besar independensi jurnalis terhadap sebuah kasus yang didalaminya.
191