Kajian Bulanan
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
EDISI 09 - Januari 2008
Faktor Etnis dalam Pilkada
D Faktor Etnis dalam Pilkada Pilkada memberi kesempatan kepada kita untuk melihat lebih dalam kaitan ant ara et nis dengan perilaku pemilih. Hlm. 1 Politik Etnisitas dan Politik Identitas dalam Politik Seberapa penting etnisitas dan identitas yang bersumber dari kategori kelompok etnis mewarnai kontestasi demokrasi? Hlm. 23
I INDONESIA, masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi dan pengamat apakah lat ar belakang et nis kandidat mempengaruhi pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memper banyak k ajian mengenai kaitan antara etnis dan perilaku pemilih. Objek yang dikaji adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada). Arena Pilkada memberi kesempatan kepada kita untuk melihat lebih dalam kaitan antara etnis dengan per ilaku pemilih. Dar i banyak Pilkada yang telah dilangsungkan, tulisan ini memfokuskan pada Pilkada di tiga wilayah: Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga wilayah tersebut diambil dengan pertimbangan wilayah tersebut mempunyai perimbangan etnis—ada dua atau tiga suku (etnis) yang dominan. Di wilayah tersebut, muncul calon yang berasal dari etnis berlainan. Dengan kondisi seperti itu akan dilihat apakah pemilih cenderung untuk memilih kandidat yang mempunyai etnis sama dengan dirinya. Apakah kandidat yang kebetulan berasal dar i etnis mayor it as mendapat k eunt ungan dan ber usaha “mengeksploitasi” kelebihan itu dalam menarik sebanyak-banyaknya pemilih.Aspek etnis tampaknya tidak boleh dilupakan perannya dalam Pilkada. Latar belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih. Tulisan ini menggambarkan posisi etnis agak berbeda antara yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Dalam Pilkada Kalimantan Barat, faktor etnis tampak memainkan peranan penting. Pemilih cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama. Peran ini berkurang dalam pelaksanaan Pilkada di Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Di dua provinsi ini, sentimen etnis pemilih relatif kecil. Pemilih bisa menerima kehadiran kepala daerah yang berbeda dengan etnis di luar dirinya. Bahkan di provinsi Bangka Belitung, terlihat cukup besarnya pemilih dari etnis Melayu memilih kandidat yang berasal dari latar belakang non Melayu.
www.lsi.co.id
2
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
APAKAH etnis kandidat mempengaruhi pilihan pemilih? Apakah pemilih lebih cenderung memilih kandidat atau partai yang sama dengan etnis mereka? Pertanyaan ini menjadi salah satu bahan kajian dalam studi perilaku pemilih. Teori-teori dalam lapangan sosiologis menyebutkan faktor etnis adalah salah satu variabel penting yang bisa menjelaskan pilihan seseorang pada kandidat atau partai tertentu. Kesamaan ras dan etnik antara pemilih dan partai atau calon pejabat publik cenderung mempengaruhi perilaku memilih seseorang1 Di Indonesia, masih terjadi perdebatan apakah latar belakang etnis kandidat me mpeng aruhi pilihan seseorang. Yang menarik, ada dua studi yang dilakukan dengan skala nasional, dan menghasilkan temuan yang berbeda perihal sejauh mana etnis berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Studi pertama dilakukan oleh Ananta (et.al ). 2 Studi ini menunjukkan etnis adalah salah satu penjelas dalam perilaku pemilih di Indonesia. Ada partai yang diidentikkan sebagai Jawa dan partai luar Jawa. Besar kecilnya kontribusi variabel etnis dalam menjelaskan pilihan pemilih tergantung pada partai masingmasing. Temuan Ananta (et.al) menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa terdapat pada PKB dan PDIP. Ini mengukuhkan pandangan bahwa kedua partai ini memang partai Jawa. Wilayah yang banyak suku Jawanya punya kecenderungan untuk memilih kedua partai. Sebaliknya, PPP dan Golkar punya hubungan negatif dengan suku non Jawa. Ini juga mengukuhkan kedua partai ini sebagai partai yang selama ini dikenal sebagai partai non Jawa. Ananta (et.al) menyimpulkan Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty) yang relatif tinggi, dan partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. Studi kedua dilakukan oleh Liddle dan Mujani.3 Penelitian Liddle dan Mujani menghasilkan temuan sebaliknya. Aspek etnis bukanlah variabel penting dalam menjelaskan pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Tidak ada perbedaan yang tegas pilihan seseorang pada partai
1
2
3
4
5
atau kandidat berdasarkan pada etnis mereka seperti pada temuan Ananta (et.al ). Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau non Jawa tidak terlihat punya perbedaan pilihan partai atau kandidat presiden. Mengapa ada perbedaan temuan? Penulis berpendapat perbedaan metode dan data yang dipakai oleh kedua studi turut menentukan perbedaan temuan. Studi Ananta (et.al) menggunakan data agregat—dalam hal ini data etnis di masing-masing kabupaten / kota dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data perolehan suara di masingmasing kabupaten / kota dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).4 Metode dan data yang dipakai Ananta (et.al ) ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Liddle dan Mujani. Liddle dan Mujani menggunakan survei dengan sampel responden yang diambil secara representatif dan menggambarkan suara pemilih di Indonesia. Responden ditanya etnis (suku) mereka dan ditanya preferensi partai dan kandidat. Dari sini, Liddle dan Mujani sampai pada kesimpulan tidak ada perbedaan yang tajam antara preferensi pemilih berdasarkan etnis. Kedua metode ini punya kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan sedikit banyak menentukan perbedaan temuan.5 Temuan Ananta (et.al ) ataupun Liddle dan Mujani itu perlu diperkaya dengan lebih banyak penelitian lain yang mengkaji kaitan antara etnisitas dan perilaku pemilih. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memperbanyak kajian mengenai kaitan antara etnis dan perilaku pemilih. Objek yang d ikaji ad alah pem ilihan kepala daerah (Pilkada). Arena Pilkada memberi kesempatan kepada kita untuk melihat lebih dalam kaitan antara etnis dengan perilaku pemilih. Berbeda dengan pemilihan legislatif atau presiden (nasional), kandidat yang maju dalam Pilkada kemungkinan lebih banyak menggunakan isu dan sentimen etnis. Di sejumah Pilkada misalnya, kita kerap melihat munculnya isu seperti “putra daerah”, “calon pendatang”, “calon penduduk asli”, dan sebagainya. Ada sejumlah alasan mengapa isu etnis lebih mungkin muncul dalam Pilkada dibandingkan dengan pemilihan nasional
Lihat Carol K Sigelman, Lee Sigelman, Barbara J. Walkosz dan Michael Nitz,” Black Candidates, White Voters: Understanding Racial Bias in Political Perception,” Am erican Journal of Political Science, Vol. 39. No.1. 1995. Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata, Indonesian Electoral Behavior: A Statistical Perspective, Indonesia’s Population Series No. 7, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2004. Lihat William Liddle dan Saiful Mujani, The Power of Leadership: Explaining Voting Behavior in the New Indonesian Dem ocracy, Laporan penelitian, 2003. Temuan ini diperkuat dengan studi selanjutnya yang diilakukan oleh William Liddle dan Saiful Mujani. Lihat William Liddle dan Saiful Mujani, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, Laporan penelitian, 2007. Ananta (et.al) menghitung dan mengidentifikasi etnis dominan di suatu wilayah dan membandingkannya dengan perolehan partai di suatu wilayah. Dengan cara ini, mereka sampai pada kesimpulan partai-partai yang punya afiliasi kuat dengan etnis Jawa (seperti PKB, PDIP) mendapat dukungan yang kuat juga di wilayah di mana etnis Jawa dominan. Sebaliknya partai yang punya afiliasi kuat dengan etnis non Jawa (seperti PPP, PAN, PBB) mendapat dukungan di wilayah dengan etnis non Jawa. Lebih lanjut lihat dalam Eriyanto, “Partai Politik dan Peta Studi Perilaku Pemilih”, Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, Edisi No. 6, Oktober 2007.
3
KAJ IAN BULANAN
seperti Pemilu Legislatif dan presiden. Pertama, pertarungan kandidat dalam Pilkada umumnya bersifat lokal. Banyak kandidat yang maju mewakili kelompok tertentu. Ini menyebabkan kandidat yang kebetulan berasal atau didukung oleh kelompok mayoritas menggunakan isu dan se ntime n etnis untuk m endap atkan d ukung an dari pemilih. Ini berbeda dengan Pemilu di tingkat nasional di mana kandidat yang maju justru ingin dikesankan diterima oleh semua kelompok atau golongan. Kedua, isu yang diangkat dalam Pilkada umumnya bersifat lokal, sementara isu dalam Pemilu nasional umumnya adalah isu umum—seperti soal pendidikan, hubungan luar negeri, dan sebagainya. Kandidat yang maju dalam Pemilu nasional (seperti pemilihan presiden) tidak berbicara mengenai kondisi spesifik di suatu wilayah, tetapi lebih kepada program dan upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah nasional.
Dari banyak Pilkada yang telah dilangsungkan, penulis mengambil studi kasus Pilkada di tiga wilayah: Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga wilayah tersebut diambil dengan dua pertimbangan. Pertama, wilayah tersebut mempunyai perimbangan etnis. Ada dua atau tiga suku (etnis) yang dominan. Di Kalimantan Barat misalnya, paling tidak ada tiga etnis yang dominan yakni Melayu, Dayak dan Tionghoa. Di Provinsi Bangka Belitung, ada dua etnis penting, yakni Melayu dan Tiongho a. Sementara di Pro vinsi Sulawesi Selatan, terdapat etnis Makasar dan Bugis. Kedua, di wilayah tersebut, muncul calon yang berasal dari etnis berlainan. Dengan kondisi seperti itu akan dilihat apakah pemilih cenderung untuk memilih kandidat yang mempunyai etnis sama dengan dirinya. Apakah kandidat yang kebetulan berasal dari etnis mayoritas mendapat keuntungan dan berusaha “mengeksploitasi” kelebihan itu dalam menarik sebanyak-banyaknya pemilih.
Tabel 1: Komposisi Etnis Penduduk Provinsi Kalimantan Barat Et nis
J um la h
Persen ( % )
Lainnya
1.161.601
31.12
Sambas
444.929
11.92
Tionghoa
352.937
9.46
Jawa
341.173
9.14
Kendayan, Kenayan
292.390
7.83
Melayu
280.107
7.50
Darat
275.914
7.39
Madura
203.612
5.46
Pesaguan
178.933
4.79
Bugis
120.846
3.24
Sunda
45.064
1.21
Banjar
24.117
0.65
Minangkabau
7.493
0.20
Betawi
1.849
0.05
Banten
1.454
0.04
Total
3.732.419
100.00
Sumber: Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Sinagpore, ISEAS, 2003. Catatan penulis: Dalam publikasi resmi yang dibuat oleh BPS, tidak tercantum etnis Dayak di Kalimantan Barat, seperti terlihat dalam tabel di atas. Yang muncul justru etnis “lainnya”. Fakta ini telah menjadi perdebatan hangat di Kalimantan Barat dan memancing sejumlah protes dan demonstrasi. BPS mengidentifikasi etnis termasuk sub etnis dari semua provinsi di Indonesia. Akan tetapi dalam publikasi resmi, BPS hanya mencantumkan delapan etnis besar saja. Etnis-etnis lain di luar etnis besar itu dikategorikan sebagai “etnis lainnya”. Karena itu, dalam tabel di atas kategori etnis Dayak tidak tercantum. Karena alasan itu pula, publikasi resmi BPS tidak secara jelas menunjukkan jumlah etnis Melayu dan Dayak
4
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
Pilkada Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi multi etnis di Indonesia. P aling tidak ada tiga etnis dominan di Kalimantan Barat, yakni Melayu, Dayak dan Tio ngho a (L ihat Tab el 1 ). S elain ke ragaman etnis, penduduk Kalimantan Barat juga relatif beragam dalam hal agama yang dianut. Menurut Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk di Kalimantan Barat yang beragama Islam sejumlah 57.62% dan Kristen sebanyak 34.01%, Hindu 0.21%, Budha 6.41% dan lainnya 1.74%.6 Meski Islam merupakan agama mayoritas, jumlah penduduk beragama Kristen juga cukup besar di Kalimantan Barat. Di sejumlah kabupaten (seperti Bengkayang, Landak, Sanggau dan Sintang) agama Islam justru minoritas.7 Pilkada Kalimantan Barat sendiri dilangsungan pada 15 November 2007. Pilkada diikuti oleh 4 pasangan calon, dan dimenangkan oleh pasangan Cornelis-Christiandy Sanjaya dengan perolehan suara 43.67%. Pilkada di Kalimantan Barat menarik karena calon yang maju mencerminkan keragaman latar belakang etnis (Lihat Tabel 2). Calon-calon yang maju dalam Pilkada tampakya memperhitungkan keragaman etnis dari pemilih di Kalimantan Barat. Karena itu paket gubernur dan wakil gubernur yang diusung umumnya terdiri dari kandidat dengan latar belakang suku yang berbeda. Pasangan Akil Mukhtar (anggta DPR RI) dan AR Mercer (Ketua Perkumpulan Pancur Kasih) adalah gabungan antara calon dari Melayu dan Dayak. Hal yang sama juga dilakukan oleh pasangan Usman Djafar (incumbent gubernur) dengan LH Kadir (PNS dengan pangkat terakhir Asisten I Setda Provinsi Kalimantan Barat). Pasangan ini juga perpaduan antara
calon dari Melayu dan Dayak. Perpaduan yang mirip juga terdapat pada pasangan Oesman Sapta (pengusaha) dan Ignasius Lyong (mantan Asisten I Setda Provinsi Kalimantan Barat). Ketiga pasangan di atas, merupakan perpaduan antara Melayu dengan Dayak. Persamaan lain dari ketiga pasangan di atas adalah perpaduan antara calon dengan latar belakang Islam dan Kristen—dimana calon gubernur beragama Islam dan calon wakil gubernur Kristen. Perpaduan ini tampaknya juga ingin mengakomodasi keragaman agama di Kalimantan Barat. Yang menarik adalah pasangan Cornelis (sebelumnya Bupati Landak) dan Christiandy Sanjaya (Kepala SMK Immanuel Pontianak). Pasangan ini jika dilihat merupakan perpaduan yang “tidak lazim”. Keduanya beragama Kristen, dan keduanya bukan berasal dari suku Melayu. Tetapi justru pasangan ini yang akhirnya memenangkan Pilkada Provinsi Kalimantan Barat. Banyak analisis yang menyebutkan, perpaduan Cornelis-Christiandy Sanjaya yang berasal d ari Dayak-Tionghoa dan sama-sama Kristen justru menguntungkan. Tiga pasangan lain bertarung di wilayah-wilayah yang menjadi basis dari pemilih Is lam dan Melayu. Se mentara pasangan CornelisChristiandy Sanjaya melenggang sendirian di wilayah yang menjadi basis pemilih Kristen. 8 Analisis ini didasarkan pada fakta kemenangan mutlak Cornelis- Christiandy Sanjaya di kabupaten dengan mayoritas penduduk Kris ten—sepe rti Landak, Sangau dan Bengkayang. Se me ntara d i wilayah-wilayah d eng an pe nd ud uk mayoritas Islam, suara untuk tiga pasangan (Akil MochtarAR Mercer; Usman Djafar- LH Kadir; dan Oesman SaptaIgnasius Lyong) terpecah.
Tabel 2: Komposisi Etnis Kandidat Pasangan Gubernur dan Wakil Gubenur Provinsi Kalimantan Barat No
Pasangan Kandidat
Et nis
Ag am a
1
Akil Mochtar
Melayu
Islam
Anselmus Robertus Mercer
Dayak
Kristen
Usman Djafar
Melayu
Islam
LH Kadir
Dayak
Kristen
Oesman Sapta
Bugis-Padang
Islam
Ignasius Lyong
Dayak
Kristen
Cornelis
Dayak
Kristen
Christiandy Sanjaya
Tionghoa
Kristen
2
3
4
6
7 8
Dikutip dari Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Sinagpore, ISEAS, 2003, hal. 180. Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata, op.cit, hal. 48. Lihat misalnya dalam tulisan “Politik Agama Penyebab “Incumbent” Tumbang di Pilgub Kalbar”, Sinar Harapan, 27 November 2007.
5
KAJ IAN BULANAN
Tabel 3: Perbandingan Sampel Survei dan Komposisi Etnis Penduduk Provinsi Kalimantan Barat
Et nis
Sampel (N= 440)
Populasi / BPS (% )
Sur vei Bulan April 2007 (% )
Sur vei Bulan Mei 2007 (% )
Melayu
41.6
43.3
-
Dayak
37.2
34.4
-
Tionghoa
5.9
3.9
9.46
Jawa
6.8
10.9
9.14
Madura
1.1
2.7
5.46
Bugis
4.3
3.6
3.24
Lainnya
3
1.1
22.16
Keterangan : Data diolah dari tracking survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di Pilkada Kalimantan Barat. Semua survei dilakukan dengan menggunakan metode penarikan sampel yang sama, yakni Multistage Random Sampling. Populasi survei adalah semua pemilih di Bangka Belitung Kalimantan Barat. Jumlah sampel untuk semua survei (April dan Mei 2007) sebanyak 440 responden (dengan sampling error plus minus 4.8% pada tingkat kepercayaan 95%). Wawancara dilakukan secara langsung (face to face interview). Di luar kesalahan dalam penarikan sampel, dimungkinkan adanya kesalahan non sampling. Catatan: Publikasi resmi BPS tidak secara jelas menunjukkan jumlah etnis Melayu dan Dayak (lihat Tabel 1).
Untuk menguji argumentasi tersebut, penulis menggunaan data survei preferensi pemilih di Kalimantan Barat yang pernah dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia. Survei ini dilakukan dengan teknik penarikan sampel yang mencerminkan po pulasi dan haterog enitas etnis di Kalimantan Barat (Lihat Tabel 3). Yang menarik, survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia ini menunjukkan, masih kuatnya sentimen etnis dalam pemilihan pejabat publik di Kalimantan Barat. Sentimen etnis ini diukur dengan menanyakan kepada responden apakah menurut mereka agama dan etnis kandidat merupakan faktor yang diperhatikan ketika memilih. Responden juga ditanyakan apakah bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh kandidat yang berasal dari suku berbeda dengan dirinya, dan apakah bersedia juga jika dipimpin oleh kandidat dengan latar belakang agama yang berbeda dengan dirinya. Grafik 1 menunjukkan baik agama ataupun etnis kandidat menjadi pertimbangan penting. Sebanyak 56.4% responden menyatakan akan memperhatikan latar bekakang agama kandidat dan 44.3% menjadikan etnis kandidat sebagai pertimbangan dalam memilih calon. Grafik 2-4 menyajikan data apakah responden bersedia atau tidak jika dipimpin oleh gubernur dari agama atau etnis tertentu. Dari grafik 3 terlihat, pemilih dari etnis Malayu, dalam jumlah cukup besar kurang bisa menerima apabila kepala daerah berasal dari etnis di luar Melayu. Separoh pemilih yang menjadi responden me nyatakan tidak bisa mene rima jikalau kepala daerah berasal dari etnis Dayak dan lebih dari separoh menolak kepala daerah dari etnis Tonghoa. Sementara dari grafik 4 terlihat, pemilih beragama Islam
dalam jumlah cukup besar (separoh) tidak bisa menerima jika kepala daerah beragama Kristen. Data pada Grafik 2-4 menunjukkan masih cukup kuatnya sentimen etnis di kalangan pemilih di Kalimantan Barat. Pe milih I slam ce nde rung akan me milih kand id at beragama Islam dan menolak kandidat yang beragama Kristen. Pemilih Melayu juga cenderung untuk memilih kandidat dari etnis Melayu, dan dalam jumlah cukup besar menolak kandidat dari etnis Dayak dan Tionghoa. Dari titik ini, sebenarnya posisi pasangan Cornelis-Christiandy Sanjaya agak terjepit. Tetapi mengapa pasangan ini akhirnya bisa menang? Hal ini karena, meski tidak mendapat dukungan dari pemilih etnis non Dayak dan Islam, pas angan ini mend apat dukungan sang at kuat d ari pemilih dari suku Dayak dan Kristen. Grafik 5 menunjukkan, di kalangan pemilih Dayak Cornelis mendapat dukungan mayoritas. Sementara di kalangan pemilih Melayu, dukungan terpecah di antara calon dengan latar belakang etnis Melayu—Usman Djafar dan Akil Mukhtar. Grafik 6 memperlihatkan preferensi pemilih menurut agama. Dari grafik ini terlihat, posisi Cornelis sebagai satu-satunya kandidat gubernur beragama Kristen justru me ng ung tungkan d irinya d alam me ndulang suara. Pemilih Islam sangat kecil yang memilih Cornelis. Tetapi dari pemilih Kristen, hampir semuanya memilih Cornelis. Jika Cornelis melenggang sendirian di kalangan pemilih Kristen, tiga kandidat lain dengan latar belakang Islam harus bersaing. Penulis menduga kemenangan Cornelis banyak disumbang oleh pemilih Kristen ini yang di Kalimantan Barat jumlahnya cukup besar—34.01%.
6
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
56.4%
44.3%
45.0%
33.2%
10.7%
10.5%
Apakah agama kandidat menjadi dasar pertimbangan ketika memilih?
Ya
Apakah etnis kandidat menjadi dasar pertimbangan ketika memilih? Tidak
Tidak tahu/Tidak jawab
Grafik 1: Penilaian apakah Agama dan Etnis Kandidat Menjadi Pertimbangan Pemilih (Kalimantan Barat)
Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (April 2007). N= 440. Q1: Apakah latar belakang agama calon kepala daerah, Ibu/Bapak pakai sebagai dasar pertimbangan dalam memilih calon kepala daerah? Q2: Apakah latar belakang suku (etnis) calon kepala daerah, Ibu/Bapak pakai sebagai dasar pertimbangan dalam memilih calon kepala daerah?
Kondisi ini tampaknya disadari oleh Cornelis. Sejak awal Cornelis memang berharap pada suara dari pemilih etnis Dayak dan pemilih Kristen. Dalam kampanyenya, Cornelis tidak segan menggandeng kalangan gereja dan ketua adat. Materi kampanye Cornelis juga banyak menjanjikan perlindungan kepada warga etnis Dayak dan pemeluk Kristen. Ia misalnya menjanjikan perlindungan maksimal kepada masyarakat marginal, minoritas, terpinggirkan, pemerataan pembangunan, mempermudah izin mendiri-
9 10
kan gereja, memberikan perhatian maksimal kepada masyarakat di pedalaman, menghapus dominasi kelompok mayoritas, membuat perimbangan jabatan struktural antara kelompok Islam dan kristiani di Kantor Gubernur Kalimantan Barat.9 Isu ini ternyata cukup ampuh dalam menarik pemilih beragama Kristen. Ini dibuktikan dari kemenangan telak Cornelis-Christiandy di tiga kabupaten pemilih mayoritas kristiani.1 0
Lihat Sinar Harapan, 27 November 2007. Fenomena Pilkada di Kalimantan Barat ini mungkin bisa dipersamakan dengan apa yang terjadi pada Pilkada Simalungun (Sumatera Utara). Untuk kurun waktu yang lama, jabatan kepala daerah di kabupaten ini dikuasai oleh pejabat yang beragama Kristen. Tetapi dalam Pilkada 12 September 2005, kandidat yang menang adalah kandidat beragama Islam (Zulkarnaen Damanik)—didukung oleh koalisi PNBK, PAN, PPP, PKS, PKPB. Pilkada Simalungun itu sendiri diikuti oleh 4 pasangan calon. Semua calon kepala daerah (terkecuali Zulkarnaen Damanik) berlatar belakang Kristen—John Hugo Silalahi, Radjisten Sitorus, dan Yan Santoso Purba. Banyak analisis yang menyebutkan, kemenangan Zulkarnaen Damanik banyak “dibantu” oleh banyaknya kehadiran calon dari kalangan Kristen. Hal ini menyebabkan suara dari pemilih Kristen terpecah ke 3 calon lain. Ini dibuktikan dengan perolehan suara kandidat yang terpecah, berada pada kisaran suara 21-25%. Sementara suara untuk Zulkarnaen Damanik berasal dari kantong kecamatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di wilayah-wilayah tersebut, Zulkarnaen Damanik nyaris tanpa saingan. Dengan mengantongi suara 38.77%, Zulkarnaen Damanik berhasil memenangkan Pilkada.
7
KAJ IAN BULANAN
92.3%
92.2%
71.5% 64.9% 49.2%
50.8%
5.1% 28.5%
7.7%
Bersedia dipimpin oleh gubernur dari agama Islam
7.8%
Bersedia dipimpin oleh gubernur dari agama Kristen Bersedia
Bersedia dipimpin oleh gubernur dari suku Melayu
Bersedia dipimpin oleh gubernur dari suku Dayak
Bersedia dipimpin oleh gubernur dari suku Tionghoa
Tidak bersedia
Grafik 2: Apakah Bersedia Atau Tidak Dimpimpin Oleh Kepala Dae rah Dari Etnis /Agama Tertentu (Kalimantan Barat) Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (April 2007). N= 440. Q1: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang beragama Islam ? Q2: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh GUBERNUR yang beragama Kristen ? Q3: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Melayu ? Q4: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Dayak ? Q5: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin gubernur yang berasal dari suku Tionghoa?
8
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
69.8%
52.2% 46.3% 39.5% 35.8%
16.0% 9.0% 3.7% 3.8%
Prosentase (%) yang tidak bersedia dipimpin gubernur dari etnis Dayak
Melayu
1.1%
3.8% 0%
Prosentase (%) yang tidak bersedia dipimpin gubernur dari etnis Melayu
Dayak
Tionghoa
Prosentase (%) yang tidak bersedia dipimpin gubernur dari etnis Tionghoa
Lainnya
Grafik 3: Prosentase Menolak / Tidak Bersedia Dipimpin Oleh Kepala Daerah Dari Suku tertentu Menurut Etnis Responden ( Kalimantan Barat) Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (April 2007). N= 440. Q1: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Melayu ? Q2: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Dayak ? Q3: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Tionghoa?
9
KAJ IAN BULANAN
59.0%
18.6%
4.1% 0.8%
0.0% Prosentase (%)
Prosentase (%)
yang tidak bersedia dipimpin gubernur yang beragama Islam Islam
0.0%
Kristen
yang tidak bersedia dipimpin gubernur yang beragama Kristen Lainnya (Hindu, Budha, Tionghoa, selainnya)
Grafik 4: Prosentase Me nolak / Tidak Bersedia Dipimpin Ole h Kepala Daerah Dari Agama tertentu Menurut Agama Responden ( Kalimantan Barat) Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (April 2007). N= 440. Q1: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang beragama Islam ? Q2: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh Gubernur yang beragama Kristen ?
10
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
19.5%
23.8%
47.1%
27.2%
10.6% 1.3%
28.9%
24.7% 17.9%
11.8% 5.9%
56.3%
14.8% 3.7%
0.5% 17.6% 33.2%
17.6%
29.6%
7.9% Melayu
Dayak
Tionghoa
Lainnya
Akil Mukhtar Cornelis Oesman Sapta Odang Usman Djafar Tidak tahu/Rahasia/Belum memutuskan
Grafik 5: Preferensi Pem ilih Menurut Etnis (Suku) Dalam Pilkada Kalimantan Barat Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Mei 2007). Q: Seandainya Pemilihan Kepala Daerah Kalimantan Barat dilakukan hari ini. Ada 4 orang calon yang akan maju sebagai calon Gubernur. Dari 4 nama berikut, mana yang ibu/bapak pilih?
11
KAJ IAN BULANAN
21.9%
24.3%
28.0%
9.2% 1.3%
62.5%
16.8% 55.9%
2.2%
12.5% 0% 12.5%
31.2% 9.2%
Islam
Kristen (Protestan/Katolik)
12.5% Lainnya (Hindu, Budha, Konghucu)
Tidak tahu/Rahasia/Belum memutuskan Usman Djafar Oesman Sapta Odang Cornelis Akil Mukhtar
Grafik 6: Preferensi Pemilih Menurut Agama Dalam Pilkada Kalimantan Barat Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Mei 2007). Q: Seandainya Pemilihan Kepala Daerah Kalimantan Barat dilakukan hari ini. Ada 4 orang calon yang akan maju sebagai calon Gubernur. Dari 4 nama berikut, mana yang ibu/bapak pilih?
12
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
Pilkada Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan juga merupakan provinsi multi etnis. Dari beragam etnis yang ada di Sulawesi Selatan, terdapat dua etnis besar, yakni etnis Bugis (41.9%) dan etnis Makasar (25.43%). Etnis lain yang cukup menonjol adalah Toraja ( Lihat Tabel 4). Dalam peta geografis, basis tradisional dari etnis Makasar adalah Kabupaten / Kota Makasar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, serta Selayar, dan Maros yang campuran. Adapun wilayah orang Bugis di bagian utara meliputi Kabupaten Bone, Pangkep, Barru, Sinjai, W ajo, Soppeng, Pinrang, Parepare, Bulukumba, serta Enrekang.11 Pilkada Sulawesi Selatan dilakukan pada 5 November 2005 dan diikuti tiga pasang kandidat, yakni Amin SyamMansyur Ramly, Aziz Qahhar Mudzakkar-Mubyl Handaling, dan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang.12 Lima gubernur sebelumnya dipilih melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, yakni Ahmad Lamo (1966- 1978), Andi Oddang (1978-1983), A Amiruddin (1983-1993), ZB Palaguna (1993-2003), dan Amin Syam (2003-2008). Melihat asal-usulnya, para Gubernur Sulsel selama ini semuanya berasal dari suku Bugis, yaitu dari Enrekang, Barru, Wajo, Soppeng, dan Bone. Belum satu pun yang berasal dari suku / etnis Makassar. Meski isu etnis tidak sekuat seperti dalam Pilkada Kalimantan Barat, calon yang maju dalam Pilkada Sulawesi Selatan juga tampak mengakomodasi keragaman etnis di Sulawesi Selatan. Amien Syam berasal dari etnis Bugis. Ia menggandeng Mansyur Ramly sebagai calon wakil gubernur yang berasal dari etnis Makasar. Calon gubernur Syahrul Yasin Limbo (etnis Makasar) menggandeng calon wakil gubernur Arifin Nu’mang yang berasal dari Sidrap, Ajatappareng, salah satu basis komunitas Bugis.
Tabel 4: Komposisi Etnis Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Et nis
J um la h
Persen ( % )
Bugis
3.266.440
41.90
Makasar
1.982.187
25.43
Toraja
702.951
9.02
Lainnya
596.369
7.65
Mandar
475.505
6.10
Luwu
318.134
4.08
Jawa
212.273
2.72
Duri
121.688
1.56
Selayar
93.183
1.20
Sunda
8.145
0.10
Madura
5.788
0.07
Minangkabau
4.294
0.06
Betawi
4.065
0.05
Banjar
3.657
0.05
Banten
3.657
0.00
Total
7.794.923
100.00
Sumber: Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Sinagpore, ISEAS, 2003.
11 12
“Etnik, Genetik dan Program di Sulsel”, Kompas, 5 November 2007. Hingga tulisan ini dimuat, masih belum ada keputusan tetap mengenai pemenang Pilkada. Semula KPUD Sulawesi Selatan menetapkan pasangan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang sebagai pemenang Pilkada dengan perolehan 39.53%. Tetapi Mahkamah Agung meminta dilakukannya Pilkada ulang di 4 kabupaten.
13
KAJ IAN BULANAN
Tabel 5: Perbandingan Sampel Survei dan Komposisi Etnis Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Et nis
Sampel (N= 440)
Populasi / BPS (% )
Survei Juli 2007 (% )
Sur vei Oktober 2007 (% )
Bugis
44.2
49.9
41.90
Makasar
28.6
24.2
25.43
Toraja
10.3
10.5
9.02
Mandar
0.7
0.1
6.10
Luwu
4.8
3.2
4.08
Jawa
3.9
1.6
2.72
Lainnya
7.5
10.5
10.75
Keterangan : Data diolah dari tracking survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di Pilkada Sulawesi Selatan. Semua survei dilakukan dengan menggunakan metode penarikan sampel yang sama, yakni Multistage Random Sampling. Populasi survei adalah semua pemilih di Sulawesi Selatan. Jumlah sampel untuk semua survei (Juli dan Oktober 2007) sebanyak 440 responden (dengan sampling error plus minus 4.8% pada tingkat kepercayaan 95%). Wawancara dilakukan secara langsung (face to face interview). Di luar kesalahan dalam penarikan sampel, dimungkinkan adanya kesalahan non sampling.
Untuk menguji ada tidaknya sentimen etnis dalam Pilkada Sulawesi Selatan dan sejauh mana etnisitas menentukan pilihan pemilih, penulis menggunakan data survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). LSI mengadakan tracking survey sebanyak 6 kali menjelang Pilkada. Data yang dimanfaatkan dalam tulisan ini adalah survei yang dilakukan bulan Juli dan Oktober 2007. Tabel 5 memperlihatkan, sampel survei (baik bulan Juli atau Oktober 2 007) repre sentatif dan meng gambarkan keragaman suku yang ada di Sulawesi Selatan. Sentimen etnis di Provinsi Sulawesi Selatan, tidaklah sebesar di Kalimantan Barat. Sama dengan di Kalimantan Barat, sentimen etnis ini diukur dengan menanyakan kepada responden seberapa penting etnis kandidat me ne ntukan p ilihan mereka. Ap akah pem ilih bisa menerima atau tidak jika dipimpin oleh kepala daerah yang berasal dari etnis yang berbeda dengan mereka. Grafik 7-9 memperlihatkan sentimen etnis di kalangan pemilih Sulawesi Selatan. Dari grafik ini terlihat, sentimen etnis sangat kecil. Pemilih di Sulawesi Selatan bisa menerima ( tidak menjadi masalah), kalaupun kepala
13
daerah berasal dari etnis yang berbeda dengan mereka. Pemilih yang tidak menerima kepala daerah dari etnis yang berbeda jumlahnya di bawah 10%. Bandingkan dengan di Provinsi Kalimantan Barat, dimana separoh (50%) pemilih tidak bisa menerima kepala daerah yang berasal dari etnis yang berbeda. Meski menyatakan bisa menerima kepala daerah yang berasal dari etnis berbeda, pemilih di Sulawesi Selatan dalam taraf terte ntu mas ih m ene mpatkan etnisitas sebagai aspek penting. Ini terlihat dari peta dukungan dari kandidat Amien Syam (Bugis) dan Syahrul Yasin Limpo ( Makasar). Di kalangan pemilih etnis Makasar, suara untuk Syahrul Yasin Limpo sangat dominan. Sebaliknya, di kalangan pemilih etnis Bugis, suara Amien Syam juga mayoritas—meski angka kemenanganya tidak mutlak. Selengkapnya lihat Grafik 10. Dari hasil rekapitulasi perhitungan suara juga terlihat, di kabupaten / kota basis etnis Makasar, umumnya ditandai dengan kemenangan Syahrul Yasin Limpo. Sementara di kabupaten / kota basis etnis Bugis , umumnya ditandai dengan kemenangan Amien Syam.13
Dari hasil rekapitulasi suara PPK dan KPU kabupaten/kota, pasangan Amien Syam-Mansyur Ramli unggul di 11 daerah yakni Parepare, Soppeng, Luwu Timur, Sidrap, Maros, Enrekang, Pinrang, Bone, Sinjai, Jeneponto, dan Wajo. Pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang menang di 10 daerah yakni Bulukumba, Makassar, Barru, Gowa, Selayar, Pangkep, Takalar, Luwu Utara, Toraja, dan Bantaeng. Sedangkan pasangan Aziz-Mubyl mampu menjadi pemenang di dua daerah, Palopo dan Luwu. DI wilayah dimana selama ini dikenal sebagai basis etnis Bugis/ Makasar, dtandai dengan kemenangan telak Amien Syam atau Syahrul Yasin Limpo. Di Makasar, pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang menang dengan suara atau 43,46 persen. Di Talakar, pasangan ini juga menang telak dengan suara 69%. Di Gowa, pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang bahkan menang telak dengan suara 78.54%. Sementara pasangan Amien Syam-Mansyur Ramli juga unggul telak di kabupaten / kota yang menjadi wilayah komunitas etnis Bugis. Seperti di Enrekang, pasangan ini menang telak dengan perolehan suara 51.3%. Di Pinrang, pasangan Amien Syam-Mansyur Ramli unggul dengan 45.6%.
14
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
63.2%
39.6%
38.2%
22.1% 18.7%
18.0%
Apakah etnis kandidat menjadi dasar pertimbangan ketika memilih? Ya
Tidak
Apakah agama kandidat menjadi dasar pertimbangan ketika memilih? Tidak tahu/tidak jawab
Grafik 7: Penilaian apakah Agama dan Etnis Kandidat Menjadi Pe rtimbangan Pemilih (Sulawesi Selatan)
Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Juli 2007). N= 440. Q1: Apakah latar belakang agama calon kepala daerah, Ibu/Bapak pakai sebagai dasar pertimbangan dalam memilih calon kepala daerah? Q2: Apakah latar belakang suku (etnis) calon kepala daerah, Ibu/Bapak pakai sebagai dasar pertimbangan dalam memilih calon kepala daerah?
15
KAJ IAN BULANAN
85.6% 81.1%
14.1%
11.2% 4.8%
3.2%
Bersedia dipimpin gubernur dari etnis Bugis Bersedia
Bersedia dipimpin gubernur dari etnis Makasar Tidak bersedia
Tidak tahu/tidak jawab
Grafik 8: Apakah Bersedia Atau Tidak Dimpimpin Oleh Kepala Daerah Dari Etnis Terte ntu (Sulawesi Seletan)
Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Juli 2007). N= 440. Q1: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Bugis ? Q2: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Makasar?
16
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
8.3% 7.3%
5.4%
4.1%
0.8% 0.5% 0%
0% Prosentase (%) yang tidak bersedia dipimpin gubernur dari etnis Bugis Bugis
Makasar
Prosentase (%) yang tidak bersedia dipimpin gubernur dari etnis Makasar Toraja
Lainnya
Grafik 9: Prosentase Menolak / Tidak Bersedia Dipimpin Oleh Kepala Daerah Dari Suku tertentu Menurut Etnis Responden ( Sulawesi Selatan)
Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Juli 2007). N= 440. Q1: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Bugis? Q2: Apakah Ibu/Bapak bersedia atau tidak bersedia dipimpin oleh gubernur yang berasal dari suku Makasar?
17
KAJ IAN BULANAN
21.0% 39.5%
43.0%
26.0%
32.9% 49.1% 15.6% 17.8% 7.5%
2.7% 12.1%
4.2% 37.5%
38.4% 27.1%
25.7%
Makasar
Bugis
Toraja
Lainnya
Rahasia/Belum memutuskan/Tidak tahu/Tidak jawab Syahrul Yasin Limpo & Agus Nu’mang Aziz Qahar Muzakar & Mubyl Handaling Amin Syam & Mansyur Ramli
Grafik 10: Prefe rensi Pemilih Menurut Etnis (Suku) Dalam Pilkada Sulawesi Se latan Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Oktober 2007). N= 440. Q1: Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan akan dilangsungkan 5 November Tahun 2007 ini. Dari 3 pasangan CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR berikut, siapa yang akan ibu/bapak PILIH? Q2: Kalau “tidak tahu/ tidak jawab”, “belum memutuskan” atau “rahasia”, di antara 3 pasangan tersebut mana yang PALING PANTAS DIDUKUNG menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan? Q3: Kalau “tidak tahu/ tidak jawab”, “belum memutuskan” atau “rahasia”, di antara 3 pasangan tersebut mana yang PALING DISUKAI menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan?
18
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
Pilkada Bangka Belitung Provinsi Bangka Belitung juga termasuk ke dalam provinsi yang mempunyai keragaman etnis. Ada dua etnis besar di Bangka Belitung, yakni Melayu (71.89%) dan Tionghoa (11.654%). Suku lain yang juga cukup besar adalah Jawa (Lihat Tabel 6). Pilkada Bangka Belitung ( dilangsungkan pada 2 Februari 2007) diikuti oleh 5 pasangan calon gubernur / wakil gubernur, yakni pasangan Eko Maulana Ali (mantan bupati Bangka)- Syam sudin B asari (Ketua DP RD Bang ka Belitung); pasangan Basuki T. Purnama (mantan bupati Belitung Timur) - Eko Cahyono (mantan Ketua Bappeda Provinsi); pasangan Hudarni Rani (gubernur incum bent) - Ishak Zainuddin (mantan Bupati Belitung); pasangan Sofyan Rebuin (mantan Walikota Pangkalpinang) - Anton Gozelie (anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung) dan pasangan Fajar Fairi Rusni (anggota DPR RI) - Hamzah Suhaimi (Wakil Ketua DPRD Kota Pangkalpinang). Pilkada dimenangkan oleh pasangan Eko Maulana Ali-Syamsudin Basari.
Semua calon yang bertarung dalam Pilkada berlatar be lakang etnis Me layu— etnis terb es ar di Bang ka Belitung—kecuali Basuki T. Purnama, calon gubernur yang berlatar belakang Tiongha. Basuki T. Purnama sebelumnya adalah Bupati Belitung Timur. Ia menjadi bupati dari etnis Tionghoa pertama di Indonesia yang dipilih secarta langsung. Basuki T. Purnama juga beragama Kristen—agama minoritas di Provinsi Bangka Belitung. Di provinsi ini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, sebanyak 86.98% penduduknya beragama Islam. 14 Karena latarbelakang ini, Basuki T. Purnama kerap menjadi sasaran kampanye hitam, baik ketika mencalonkan diri se bagai bupati di Belitung Timur ataupun ketika maju sebagai calon gubernur di Bangka Belitung. Untuk melihat ada tidaknya sentimen etnis dalam Pilkada Bangka Belitung, penulis menggunakan data survei Lingkaran Survei Indonesia. Sampel survei yang dipakai oleh LSI ini representatif dan bisa menggambarkan keragaman etnis di Bangka Belitung (Lihat Tabel 7).
Tabel 6: Komposisi Etnis Penduduk Provinsi Bangka Belitung Et nis
J um la h
Persen ( % )
Melayu
646.194
71.89
Tionghoa
103.736
11.54
Jawa
52.314
5.82
Lainnya
49.628
5.52
Bugis
24.162
2.69
Madura
9.985
1.11
Sunda
8.316
0.93
Minangkabau
3.047
0.34
Betawi
1.043
0.12
Banten
279
0.03
Banjar
185
0.02
Total
898.889
100.00
Sumber: Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Sinagpore, ISEAS, 2003.
14
Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata, op.cit, hal. 35
19
KAJ IAN BULANAN
Tabel 7: Perbandingan Sampel Survei dan Komposisi Etnis Penduduk Provinsi Bangka Belitung Et nis
Sampel (N= 440)
Populasi / BPS (% )
Sur vei Bulan Januari 2007 (% )
Sur vei Bulan Febr uari 2007 (% )
Melayu
70.2
77.0
71.89
Tionghoa
5.5
7.3
11.54
Jawa
4.3
8.4
5.82
Bugis
0.5
0.7
2.69
Madura
0.5
1.1
1.11
Lainnya
19.1
5.5
6.95
Keterangan : Data diolah dari tracking survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di Pilkada Bangka Belitung. Semua survei dilakukan dengan menggunakan metode penarikan sampel yang sama, yakni Multistage Random Sampling. Populasi survei adalah semua pemilih di Bangka Belitung. Jumlah sampel untuk semua survei (Januari dan Februari 2007) sebanyak 440 responden (dengan sampling error plus minus 4.8% pada tingkat kepercayaan 95%). Wawancara dilakukan secara langsung ( face to face interview). Di luar kesalahan dalam penarikan sampel, dimungkinkan adanya kesalahan non sampling.
Jika diamati, pola perilaku pemilih Pilkada di Bangka Belitung agak berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Barat atau Sulawesi Selatan. Di Bangka Belitung, sentimen etnis kecil. Kemungkinan pemilih memilih kandidat dari etnis yang berbeda cukup tinggi. Lihat misalnya dalam Grafik 11. Kandidat Basuki T. Purnama (etnis Tionghoa) mend apat dukungan kuat d ari pem ilih d engan latar belakang etnis Tionghoa. Yang menarik, kandidat ini juga mendapat dukungan cukup besar dari etnis Melayu. Di kalangan pemilih Melayu, Basuki T. Purnama hanya kalah dari Eko Maulana Ali. Tidak mengherankan jikalau hasil akhir Pilkada menempatkan Basuki T. Purnama di urutan dua. Perolehan suara Basuki T. Purnama bahkan lebih besar dari suara yang diperoleh incumbent gubernur (Hudarmi Rani). Jika akhirnya Basuki T. Purnama kalah, ini lebih karena persiapan kandidat ini yang kurang dibandingkan dengan kandidat lain. Jika kandidat lain sudah mempersiapkan diri satu tahun menjelang Pilkada, Basuki T. Purnama baru siap-siap maju sebagai calon beberapa bulan menjelang Pilkada. Grafik 12 dan 13 menggambarkan trend dukungan untuk Basuki T. Purnama dan kandidat lain dari survei bulan Januari dan Februari 2007. Dari grafik ini terlihat, ada pergerakan dan trend kenaikan dukungan untuk Basuki T. Purnama . Meski ini tidak berhasil menghantarkannya sebagai pemenang Pilkada. Fakta menarik untuk dicatat, bagaimana pemilih di Bangka Belitung yang mayoritas suku Melayu bisa menerima kehadiran calon dari etnis Tionghoa.
Kesimpulan Aspek etnis tampaknya tidak boleh dilupakan perannya dalam Pilkada. Latar belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih. Ini terutama terjadi di wilayah-wilayah yang mempunyai perimbangan etnis— ada dua atau lebih suku dominan di wilayah tersebut. Tulisan ini menggambarkan posisi etnis agak berbeda antara yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Dalam Pilkada Kalimantan Barat, faktor etnis tampak memainkan peranan penting. Pemilih cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama. Peran ini berkurang dalam pelaksanaan Pilkada di Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Di dua provinsi ini, sentimen etnis pemilih relatif kecil. Pemilih bisa menerima kehadiran kepala daerah yang berbeda dengan etnis di luar dirinya. Bahkan di provinsi Bangka Belitung, terlihat cukup besarnya pemilih dari etnis Melayu memilih kandidat yang berasal dari latar belakang non Melayu. Tulisan ini masih perlu diuji dengan penelitian-penelitian lain di wilayah lain, untuk membuktikan lebih dalam ada tidaknya pengaruh etnis dalam Pilkada. Yang perlu dicatat, tulisan ini mempunyai sejumlah keterbatasan. Pertama, tulisan ini secara sengaja membatasi diri pada masalah etnis. Keberhasilan dan kegagalan dari kandidat untuk keperluan studi secara sengaja “diisolasi” semata pada masalah etnis. Padahal, faktor etnis hanyalah salah satu faktor saja dari se kian fakto r yang m enentukan kemenangan kandidat. Faktor lain yang tidak dibahas dalam tulisan ini ( seperti program, kompetensi kandidat, kepribadian dsb) bisa jadi memberikan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan sekedar persamaan etnis
20
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
20.35%
31.25%
21.62% 28.13%
22.12%
9.38%
32.43%
9.38% 3.13%
28.13%
32.74%
35.14%
56.25%
28.13% 20.94% 2.95% 0.88%
8.11% 2.7% 0%
0% Melayu
Tionghoa
6.25% 0% Jawa
Lainnya
Fajar Fairi Husni & Hamzah Suhaemi Sofyan Rebuin & Anton Gozalie Basuki T Purnama & Eko Cahyono Eko Maulana Ali & Syamsudin Basari Hudarni Rani & Ishak Zainuddin Rahasia/tidak tahu/belum memutuskan
Grafik 11: Preferensi Pe milih Menurut Etnis (Suku) Dalam Pilkada Bangka Belitung
Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Februari 2007). Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Februari 2007). Q1: Pemilihan Kepala Daerah Bangka Belitung akan dilangsungkan 22 Februari mendatang. Dari 5 pasangan CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR yang maju dalam Pilkada mendatang, siapa yang akan ibu/bapak PILIH? Q2: Kalau “tidak tahu/ tidak jawab”, “belum memutuskan” atau “rahasia”, di antara 5 pasangan tersebut mana yang PALING PANTAS DIDUKUNG menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Bangka Belitung? Q3: Kalau “tidak tahu/ tidak jawab”, “belum memutuskan” atau “rahasia”, di antara 5 pasangan tersebut mana yang PALING DISUKAI menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Bangka Belitung?
21
KAJ IAN BULANAN
37.5%
9.4% 3.1%
16.7% 56.3%
16.7% 8.3% 0%
0% Januari 2007 Februari 2007 Fajar Fairi Husni & Hamzah Suhaemi Sofyan Rebuin & Anton Gozalie Basuki T Purnama & Eko Cahyono Eko Maulana Ali & Syamsudin Basari Hudarni Rani & Ishak Zainuddin
Grafik 12: Trend Dukungan Pada Kandidat Pasangan Gubernur / Wakil Gubernur di Kalangan Pemilih Etnis Tionghoa. Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia ( Januari dan Februari 2007).
22
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
23.7%
22.1%
32.7% 37.3%
9.7%
20.9%
6.2% 0.3%
2.9% 0.9% Januari 2007
Februari 2007
Fajar Fairi Husni & Hamzah Suhaemi Sofyan Rebuin & Anton Gozalie Basuki T Purnama & Eko Cahyono Eko Maulana Ali & Syamsudin Basari Hudarni Rani & Ishak Zainuddin
Grafik 13: Trend Dukungan Pada Kandidat Pasangan Gubernur / Wakil Gubernur di Kalangan Pemilih Etnis Melayu. Sumber: survei Lingkaran Survei Indonesia (Januari dan Februari 2007).
dengan mayoritas pemilih. Kedua, tulisan ini mengambil sec ara s engaja (p urpos if) wilayah-wilayah di m ana terd apat pe rimbangan etnis—wilayah yang ditandai dengan adanya beberapa etnis yang dominan. Karena itu, tulisan ini tidak menggambarkan pola umum yang berlaku di semua wilayah (Eriyanto).
Daftar Pustaka Antlov, Hans dan Sven Cederroth (ed), Election in Indonesia: The New Order and Beyond, New York, Routledge Curzon, 2004. Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata, Indonesian Electoral Behavior: A Statistical Perspective, Indonesia’s Population Series No. 7, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2004.
Evans, Kevin R., The History of Political Parties and General Election in Indonesia, Jakarta, Aries Consultancies, 2003. Gaffar, Afan, Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System , Yogyakarta, Gadjah mada University Press, 1992 Liddle, R. William dan Saiful Mujani, The Power of Leadership: Explaining Voting Behavior in the New Indonesian Democracy, Laporan penelitian, 2003. ———————————,Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, Laporan penelitian, 2007. Sigelman, Carol K., Lee Sigelman, Barbara J. Walkosz dan Michael Nitz,” Black Candidates, White Voters: Understanding Racial Bias in Political Perception,” American Journal of Political Science, Vol. 39. No.1. 1995. Suryadinata, Leo , Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Sinagpore, ISEAS, 2003.
23
KAJ IAN BULANAN
Politik Etnisitas dan Politik Identitas dalam Politik
S
ENTIMEN etnis seringkali dinilai sebagai salah satu kekuatan sekaligus problematika dalam arena demokrasi. Tak terkecuali pada kontestasi Pemilu dan Pilkada di Indonesia. Etnisitas sebagai salah satu kategori dalam sosiologi politik berkembang seiring dengan perubahan pola politik identitas. Dalam tatanan rezim politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja dicoba untuk dieliminasi dari panggung arena politik. Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu terus bermain dalam politik identitas dalam panggung kekuasaan secara laten. Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru nampak terus mengalami penguatan, mendapatkan ruang ekspresi yang semakin luas—kendatipun saling bertarung di arena yang bersifat terbuka dan tertutup—dan kadangkala menjadi dasar legitimasi mayoritas dalam arena pemilihan. Bahkan etnisitas seringkali menjadi dasar legitimasi sejarah sosial politik/ struktur politik pada level lokal/daerah. Seberapa pentingkah etnisitas dan politik identitas yang bersumber dari kategori kelompok etnis mewarnai kontestasi demokrasi? Dan bagaimanakan pola-pola ekspresi dan kontestasi politik etnis dan politik identitas etnis dalam arena kontestasi demokrasi langsung di Indonesia pada arena demokrasi lokal, tingkat propinsi dan kabupaten? Sejauh mana, riset dan kajian tentang etnisitas dan politik identitas selama ini dilakukan dalam memahami perkembangan demokrasi di Indonesia pasca reformasi? Tulisan di bawah secara umum, hendak mereview beberapa pertanyaan di atas. Beberapa deskripsi dan analisis akan dihadirkan dalam menjelaskan dinamika politik etnisitas dan politik identitas dalam erana pemilihan langsung di Indonesia.
PADA Minggu akhir bulan November, 25 November 2007 lalu, sekitar 10.000 pengunjuk rasa etnis India melakukan protes di Kuala Lumpur. Aksi etnis India itu (yang mayoritas dari Tamil) bertujuan mendukung gugatan yang diajukan ke sebuah pengadilan di London pada Agustus 2007 oleh organisasi bernama Kekuatan Aksi Hak-hak Hindu (Hindu Rights Action Fo rce) . Aksi pro tes jug a meng ecam diskriminasi yang dilakukan Pemerintah Malaysia. M Kulasegaran, anggota oposisi di parlemen Malaysia berpendapat bahwa sekitar 50 tahun etnis India sudah terpinggirkan. Mereka ingin menuntut hak yang dinikmati etnis lain.
1
Kompas, 26 November, 2007.
Dari kalangan politisi keturunan etnis Cina, Lim Kit Siang, oposisi dari parlemen dan Ketua Partai Aksi Demokrasi, mengecam tindakan aparat, yang digambarkan sebagai refleksi dari pemerintahan yang tidak demokratis. Etnis India juga meminta kebijakan Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy/NEP) diakhiri. NEP pernah diakhiri tahun 2005. Politisi dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) memperpanjang NEP 15 tahun lagi hingga 2020. NEP bahkan dijadikan sebagai Agenda Nasional Baru. Tujuannya, memberdayakan Melayu, dengan alasan penguasaan aset ekonomi yang kalah dari etnis China1 .
24
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
Fenomena yang terjadi di Malaysia tersebut, pada level lokal bahkan beberapa kali pernah terjadi di Indonesia. Hanya saja, yang membedakan, protes kalangan etnis di Malaysia di atas ditujukan kepada Negara (konflik vertikal) ketika etnis dominan dianggap kian dominatif. Berbeda dengan di Malaysia, beberapa fenomena di Indonesia, yang berlangsung bukan sem ata-mata aks i protes, namun berupa konflik yang bersifat horisontal. Beberapa kasus yang dap at disimak m is alnya, K onflik yang melibatkan suku Dayak, Melayu dan Madura di Sampit dan Palangkaraya, Kota Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan di Sambas, Kalimantan Barat 2 . Kejadian konflik horisontal lainnya terjadi di beberapa daerah konflik lainnya dipengaruhi oleh faktor agama, suku dan etnisitas serta faktor-faktor ekonomi dan politik. Persoanal etnisitas dan politik identitas hingga saat ini nampak te rus menimbulkan b erbagai persoalan di beberapa negara, termasuk mereka yang telah menganut sistem demokrasi. Etnisitas dan politik identitas nampak mendapatkan perhatian penting dari berbagai kalangan. Pertama, dari kalangan akademisi dan peneliti, persoalan identitas dan politik identitas masih cenderung dianggap se bagai s alah satu perso alan me ndasar d alam perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahkan politik etnisitas dan politik identitas sempat memicu menguatnya berbagai konflik sosial di Indonesia. Dalam banyak hal, bahkan konflik sosial tersebut semakin sulit diuraikan dari berbagai arus kepentingan ekonomi-politik dan seringkali terus hadir menyertai peristiwa politik lokal dan nasional. Kedua, di kalangan partai politik dan elit politik, keberadaan politik etnisitas dan politik identitas nampak masih dipandang penting sebagai salah satu medium dalam arena mobilisasi politik (political tools) , membangun jaringan politik (political networking), membangun koalisi-koalisi politik, dan membangun jaringan lobi politik. Hingga saat ini, bahkan nampak masih sulit dihindari bagi kalangan partai politik dan elit politik untuk dapat membangun sistem kepartaian modern yang mampu lepas dari politik etnisitas dan politik identitas. Ketiga, di kalangan birokrasi dan jajaran eksekutif, politik etnisitas dan politik identitas juga nampak terus mewarnai wajah birokrasi nasional dan lokal. Politik etnisitas dan politik identitas dalam hal ini terus berkembang— baik secara laten dan manifest—dan seringkali sangat
2 3
menentukan dalam berbagai arena pengambil kebijakan hingga implementasi kebijakan. Keempat, di kalangan budayawan, politik etnisitas dan politik identitas bahkan nampak lekat dan bahkan menjadi domain utama dalam arena kebudayaan. Pada konteks ini, etnisitas dianggap cenderung sulit terpisahkan dari identitas kebudayaan. Namun dalam konteks ini yang lebih ditonjolkan adalah aspek identitas kebudayaan dibandingkan aspek etnisitas/suku. Kelima, di kalangan publik, politik etnisitas dan politik identitas nampak terus hadir di lingkungan sosial, lingkungan politik d an juga lingkungan e konomi-politik. Kesadaran publik pasca kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah nampak sempat muncul isu kedaerahan, termasuk di dalamnya isu putra daerah dan etnis asli/ pribumi dan pendatang, etnis terbesar dan etnis minoritas. Arena politik etnisitas dan politik identitas nampak terus berkembang pasca reformasi. Berbagai kekhawatiran nampak terus disuarakan oleh beberapa kalangan akademisi/peneliti, kalangan politisi, elit politik dan para tokoh politik akan berbagai resiko kegagalan pengelolaan seiring dengan menguatnya politik etnisitas dan politik identitas. Review Terhadap Perkembangan Kajian tentang Etnisitas, Identitas dan Perilaku Politik Fenomena etnis cukup kompleks dan terus menjadi daya tarik bagi berbagai kalangan untuk meresponsnya dengan cara beragam. Dari sinilah kemudian membahas tentang kajian etnisitas menjadi daya tarik dari berbagai disiplin ilmu sosial. Di sini penulis akan mencoba menyajikan beberapa kajian tentang etnisitas terkait dengan perilaku politik. Riset-riset dalam ilmu politik, sosiologi dan psikologi sering beranggapan bahwa identitas sosial dapat menjadi faktor penting dan menentukan bagi perilaku pemilih. Bagi kalangan politisi seringkali identitas sosial menjadi referensi dalam menentukan berbagai pendekatan—berdasarkan kelompok dan identitas sosial—agar memilihnya. Erich Dickson dan Kenneth Scheve (2004) misalnya melakukan kajian bagaimana model penyampaian pesan politik dari para politisi (political speach) tentang identitas sosial dan kebijakan publik terhadap para konstituen dilakukan dalam arena pemilihan3. Dickson dan Kenneth
Lihat Kompas, 19 Maret, 2001. Erich Dickson dan Kenneth Scheve, Social Identity, Political Speech and Electoral Com petition, Working Paper, New York University, 2004.
KAJ IAN BULANAN
Scheve (2004) menyimpulkan bahwa kemampuan para kandidat dan politisi dalam memahami identitas sosial dan kebijakan publik yang dibutuhkan oleh konstituen dapat menjadi dasar yang menentukan dalam kampanye politik. Melalui pemahaman yang baik terhadap identitas sosial tersebut, masing-masing politisi dapat menentukan strategi, positioning, dan keberpihakan terhadap isuisu publik (political advocacy) melalui sejumlah model penyampaian pesan politik dari para politisi (political speach) tertentu. Studi yang melihat bagaimana politik etnis, interaksinya dalam institusi-institusi politik dan juga kedekatannya dengan masing-masing partai politik dalam arena pemilu di Afrika antara lain dilakukan oleh Daniel N. Posner (2005). Daniel N.Posner (2005) berpendapat bahwa dimensi etnis merupakan faktor penting untuk memahami proses demokrasi di Afrika. Selain itu, Daniel N.Posner (2005) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa masing-masing individu memiliki beberapa identitas/ dimensi etnis, seperti hubungan keturunan/keluarga dalam kelompok, bahasa, budaya, kebudayaan, agama dan juga asal daerah. Identitas-identitas ini bahkan seringkali menjadi faktor yang dianggap penting—baik oleh publik maupun elit— ke tika peris tiwa politik berlangsung. Daniel N.Posner (2005) misalnya menjelaskan perkembangan di Afrika bagaimana faktor identitas kesukuan (tribal) berpengaruh terhadap perilaku elit dan massa dan menjadi wacana politik/tema kampanye politik yang efektif. Daniel N.Posner (2005) dalam studinya juga mengembangkan matrik identitas etnis (ethnic identity matrix) dimana di dalamnya antara lain menjelaskan dua dimensi etnisitas yang menjadi daya tarik bagi pemilih dan kunci kemenangan partai dan kandidat di Afrika4. Pippa Norris dan Robert Mattes(2003) juga pernah melakukan penelitian terkait dengan identitas sosial dan etnisitas dan pengaruhnya terhadap perilaku pemilih di 12 negara Afrika. Dalam riset tersebut, Pippa Norris dan Robert Mattes (2003)—melalui pendekatan dengan teoriteori struktural—menyimpulkan bahwa identitas sosial dan etnisitas berpengaruh terhadap perilaku pemilih dan partai politik pada masyarakat agraris tradisional dengan latarbelakang pendidikan dan tingkat akses terhadap pemberitaan yang rendah. Dalam penelitian tersebut, keduanya melakukan analisis pengaruh dari karakteristik
4 5
6
7
25
ethno-linguistic dan ethno-racial dan sikap identifikasi mereka terhadap partai pemerintah(pemenang) di 12 negara Afrika. Keduanya menggunakan data survey yang dilakukan oleh Afro-Barometer yang diselenggarakan sejak tahun 1999-2001 di 12 Negara Afrika dari Boswana hingga Zimbabwe5 . Penelitian tentang etnisitas dan proses pemilu di Kenya antara lain dilakukan oleh Walter O. Oyugi (1997). Walter O. Oyugi (1997) menjelaskan bahwa dalam pemilu multi partai di Kenya tahun 1992 etnisitas menjadi kekuatan dominan yang berpengaruh terhadap perilaku politisi dan para pemilih dalam proses pemilihan. Kalangan elit politik di Kenya dalam Pemilu 1992 tersebut menurut Walter O. Oyugi (1997) nampak menggunakan isu-isu etnisitas untuk menarik dukungan dan mengakomodasi kepentingan politik (political interest) para pemilih. Penelitian ini secara umum memaparkan bagaiman interaksi antara katakter masyarakat Kenya yang berbasis kesukuan (tribalism ) dan partisipasi politik mereka dalam sistem pemilihan umum6 . Kajian tentang etnisitas di Negara bagian di Amerika antara lain pernah dilakukan oleh Lisa Handley (2001). Lisa Handley (2001) yang bekerja di sebuah lembaga konsultan politik di Amerika, Frontier International Electoral Consulting, melakukan riset tentang bagaimana pola pemilihan dari beragam ras/etnis dalam pemilu kongres dan legislatif di Negara bagian Arizona dalam pemilu 1996, 1998 dan 2000. Dalam penelitian tersebut, Lisa Handley (2001) menemukan bahwa mayoritas minoritas yang ada di Negara bagian Arizona—yaitu Hispanic, Native America dan Black—mayoritas memilih Partai Demokrat dibandingkan Partai Republik. Handley (2001) juga menemukan bahwa kendatipun tidak selalu, namun secara umum terjadi apa yang disebutnya dengan “Racial Block Voting” di Negara bagian Arizona7. Penelitian pada level federal lainnya dilakukan oleh Kevin A. Hill dan Dario V. Moreno (1999) pada Negara bagian Florida Selatan (South Florida). Kevin A. Hill dan Dario V. Moreno (1999) menemukan bahwa para politisi di Negara bagian tersebut seringkali menggunakan pendekatan voting block berdasarkan isu-isu tertentu pada komunitas mino ritas di F lorid a S elatan, m isalnya Hispanic— keturunan Spanyol. Kevin A. Hill dan Dario V. Moreno (1999)
Lebih lanjut lihat Daniel N.Posner, Institution and Ethnic Politics in Africa, New York, Cambridge University Press, 2005. Pippa Norris dan Robert Mattes, Does Ethnicity Determ ines Support for the Governing Party : The Structural and Attitudinal Basis of Partisan Identification in 12 African Nations, Cambridge, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, 2003. Walter O. Oyugi, “Ethnicity In The Election Process: The 1992 General Election in Kenya”, African Association of Political Science, 1997. Lisa Handley, Voting Patterns By Race/Ethnicity in Arizona Congressional and Legislative Elections, 1996-2000, Frontier International Electoral Consulting, 2001.
26
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
menyimpulkan bahwa peng uasaan bahasa kalangan minoritas yang ada di Florida Selatan bagi kalangan politisi dan kandidat presiden merupakan variabel penting bagi daya tarik mereka dalam pemilihan. Dalam peristiwa pemilihan presiden, misalnya kemampuan para kandidat di d alam mengg unakan bahas a Spanyo l dijad ikan indikator pe nilaian dari kalang an Hispanic d alam membentuk sikapnya terhadap kandidat presiden8 . Identitas ras/etnis nampak masih berpengaruh dalam kontestasi pemilihan di Amerika. Salah satu penelitian yang membahas hal ini antara lain dilakukan oleh Dianne M. Pinderhuges (1988). Dianne M. Pinderhuges (1988) dalam hal ini mengkaji keterbatasan model status sosioekonomis dalam partisipasi pemilihan. Dianne M. Pinderhuges (1988) mengembangkan model partisipasi politik (the political participation model) sebagai alternatif dalam menjelaskan faktor-faktor yang kemungkinan berpengaruh terhadap ekspresi kelompok-kelompok ras dan etnis dalam arena politik. Di sini Dianne M. Pinderhuges (1988) mengkaji beberapa etnis yang ada di Amerika, yaitu kalangan kulit hitam (b lac ks), A sia, d an Me xi ca n Americans9. Identitas sebagai unit analisis dalam studi sosiologi, politik dan psikologi seringkali mewujud dalam kategori in-group dan out-group. Identifikasi diri masing-masing individu memunculkan pertentangan antara in-group dan out-g rup , pada umum nya semakin menguat karena ad anya “arena kom pe tis i” yang m emp erebutkan “sesuatu”. Salah satu penelitian ini dilakukan oleh Sherif di tahun 1950-an. Sherif membuat dua kelompok besar di satu “summer camp.” Dalam minggu pertama, tak ada pertemuan antara dua kelompok itu. Pada minggu kedua, kedua kelompok ini dipertemukan dalam situasi kompetisi se pe rti p ertandingan. Hasilnya ad alah id entitas pengelompokan menjadi bertambah kuat dan terjadi sikap bermusuhan antara kedua kelompok itu. Di minggu ketiga, Sherif membuat kedua kelompok tersebut untuk me lakukan ke rja s am a d alam tugas-tug as yang diberikan. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa antagonisme kelompok jauh berkurang di minggu ketiga akibat berkembangnya rasa kepercayaan antara kedua kelompok10 .
8
9
10
11 12
Dalam penelitian Sherif, ternyata terlihat bahwa kedua kelo mpok itu sudah m emiliki rasa tak suka ke pada kelompok lain pada saat mereka baru saja bertemu, sebelum kompetisi mulai diadakan. Tajfel melanjutkan experimen Sherif di tahun 1971 untuk melihat apakah id entitas ke lo mpo k seb etulnya me nyebabkan antagonisme itu. Ia membagi para partisipan ke dalam dua kelompok, di mana ia berusaha keras bahwa tak ada perbedaan yang menyolok antara kedua kelompok. Hasil pe ne litiannya sangat mence ngang kan. Tanpa ada provokasi p un, ke dua kelompok itu sud ah memiliki pandangan yang tidak bagus kepada kelompok lain. Lebih mencengangkan lagi, diskriminasi kepada kelompok lain dilakukan hanya dengan basis bahwa orang-orang lain bukan kelompoknya, padahal tak ada persamaan apapun dalam anggota kelompoknya.11 Seseorang menjadikan dirinya berbeda dari kelompokke lo mpo k lainnya (o ut group ) . Se cara o to matis, keputusan-keputusan yang diambilnya pun akan sangat dipengaruhi rasa identitasnya kepada kelompoknya. Keputusannya akan sangat menguntungkan kelompok pribadinya dan ia menjadi sangat curiga kepada kelompok lain. Dengan ini, seseorang akan merasa tekanan kepada kelompoknya adalah tekanan kepada dirinya sendiri, dan keuntungan kelompoknya adalah keuntungannya sendiri. Di eksperimen lain yang dilakukan Sherif, di mana satu anggota kelompok perlu memberikan uang kepada orang lain, hanya de ngan me ngetahui bahwa orang yang dibe rikan me rup akan ke lom po knya, orang itu memberikan jauh lebih besar daripada kepada orang yang dari kelompok lain; padahal mereka belum pernah bertemu sebelum eksperimen ini. Alasan dari sikap te rs ebut adalah o rang itu yakin bahwa o rang di kelompoknya akan melakukan tindakan yang sama, yakni me mb erikan uang yang leb ih ke pad a ang go ta kelompoknya daripada kepada kelompok lain. Terlihat bahwa seorang individual sangat bergantung kepada kelompoknya sebagai sarana untuk mendapatkan sebuah kestabilan, dimana terjadi prinsip “I scratch your back and you scratch mine”12.
Kevin A. Hill dan Dario V. Moreno, Language as a Variable : English Spanish, Ethnicty and Political Opinion Polling in South Florida, Working Paper, Department of Political Science, Florida International University, 1999. Lihat Dianne M. Pinderhuges, “Racial and Ethnic Politics in America”, Paper Conference on Comparative Ethnicity University of California, Los Angeles. Institute for Social Science Research, 1998. Dikutip dari Y.Sulaiman, Pendekatan Teoritis Dalam Pem aham an Konflik Etnis, dalam psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ysulaimn/ My_articles/20010830.doc. hal. 1. Ibid , hal.3. Ibid , hal.4.
KAJ IAN BULANAN
Etnisitas juga merupakan faktor yang dianggap penting dalam melihat respon publik terhadap kepemimpinan politik di Rusia. Chistopher Marsh dan James W. Warhola (2001) pernah melakukan riset untuk melihat bagaimana etnisitas, etno-teritorial dan geografi politik publik Rusia dan tingkat dukungannya terhadap Presiden Putin dalam Pemilu Presiden Rusia tahun 2000. Chistopher Marsh dan Jam es W. Warhola (200 1) me lakukan analisis terhadap dua dimensi etnisitas pada daerah pemilihan Presiden di wilayah Federasi Rusia yang terdiri dari 89 unit konstituen. Dua dimensi yang dilihat yaitu dimensi ethnoregional, dan geografi politik dari tingkat dukungannya terhadap Putin di masing-masing unit konstituen. Chistopher Marsh dan James W. Warhola (2001) menyimpulkan bahwa sikap Putin yang menunjukkan rasa persahabatan dan mengakomodasi semua etnis minoritas di wilayah Federasi Rusia menjadi faktor daya tarik dalam pemilihan. Selain itu, kebijakan Putin untuk membangun hubungan pusat dan daerah secara berimbang di wilayah Federasi Rusia juga mendapatkan simpati dari banyak kalangan menjelang pemilihan13 . Etnisitas, identitas dan perilaku pemilihan hingga saat ini masih menjadi topik penelitian yang me narik di berb agai Neg ara deng an latar belakang etnis yang beragam. Di atas hanya beberapa contoh riset yang pernah dilakukan dalam melihat faktor etnisitas dalam kaitannya dengan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif maupun presiden. Etnisitas dan politik identitas dalam peristiwa tersebut seringkali menjadi persoalan penting dalam proses kelangsungan demokrasi di beberapa Negara. Dalam beberapa kasus, persoalan etnisitas dan id entitas dap at terkelola d eng an baik o le h s istem demokrasi dan budaya politik masyarakatnya, namun dalam beberapa kasus lainnya, etnisitas dan identitas nampak terus melahirkan deretan persoalan, mulai dari persoalan etis, politis hingga me mberikan dam pak negatif bagi masa depan demokrasi di negara masingmasing. Persoalan Etnisitas dan Politik identitas bagi Demokrasi dan Regim Politik. Etnisitas seringkali menjadi paradoks dari pelaksanaan sistem demokrasi di berbagai negara. Paradoks muncul
13
14 15
16
27
karena sebagai rule of the game , sistem demokrasi dimaksudkan untuk mengakomodasi relasi kekuasaan yang mampu mengakomodasi dan memberikan jaminan tercapainya tujuan bersama, termasuk di dalamnya dalam pengelolaan problem etnisitas dalam sistem politik dan demokrasi. Paradoks etnisitas dan politik identitas di sini juga dipengaruhi oleh jenis rezim politik yang dianut oleh masing-masing negara. Dalam prakteknya, aktor dan struktur politik yang berperan dalam sistem demokrasi tersebut tidak dapat terlepas faktor etnisitas dan identitas. Etnisitas sering kali d idefinisikan sebagai perasaan (senses) terhadap identitas etnis yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam kelompok secara subjektif dan simbolik untuk menghasilkan kohesi internal dan dif erensias i de ngan kelompo k-ke lomp ok lainnya1 4 . Perdebatan kontemporer tentang etnisitas pada umumnya mengarah pada dua faktor. Pertama, proses terbentuknya etnisitas. Etnisitas dalam hal ini terbentuk karna adanya konstruksi sosial (social construction) dari kondisi sejarah masing-masing. Kedua, kegunaan atau keuntungan dari etnisitas dalam berbagai latarbelakang. Proses terbentuknya etnisitas dalam hal ini terkait dengan imajinasi kebersamaa (imaginary association), kesamaan daerah, dan kesamaan keyakinan dan nilai-nilai yang membedakan suatu kelompok tertentu dengan lainnya15. Pe rs oalan etnisitas dan p olitik ide ntitas menjadi persoalan penting ketika demokrasi berlangsung dalam struktur s ocial masyarakat yang terbe lah (d iv id ed societies). Arend Lijphart (2002) berpendapat bahwa adanya keragaman etnis dan struktur sosial masyarakat yang terbelah (divided societies) merupakan tantangan besar bagi demokrasi, dibandingkan dengan demokrasi yang berlangsung pada masyarakat homogen (hom ogenous societies). Arend Lijphart (2002) juga berpendapat bahwa keragaman etnis dan pembelahan masyarakat tersebut lebih mampu terkelola dengan baik pada negaranegara yang memiliki kematangan sistem demokrasi, dibandingkan negara-negara yang belum sepenuhnya memiliki sistem demokrasi16 . Identitas sosial, etnisitas dan pelilaku politik cenderung menjadi referensi penting dalam melihat arah kontestasi
Chistopher Marsh dan James W. Warhola, “Ethnicity, Ethno-territoriality and the Political Geography of Putin’s Electoral Support”, dalam Post-Soviet Geography and Economic, Vol. 42, No.4, 2001. P.R. Brass, Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison, New Delhi, Sage, 1991,hal. 8. John Markakis, “Nationalism and Ethnicity : A Theoretical Perspective”, dalam Juma Okuku Anthony (ed), Ethnicity, State Power and The Democratisation Process in Uganda, IGD Occational Paper No.33, Bramfortein, South Africa : Institute for Global Dialogue, 2002, hal. 3. Arend Lijphart,”The Wave of Power-Sharing Democracy” dalam Andrew Reynolds (ed), The Architecture of Democracy. Oxford: Oxford University Press, 2002, hal. 37.
28
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
politik. Pendapat yang membahas adanya keterkaitan antara identitas sosial dengan perilaku politik dan pemilihan setidaknya ada dua hal. Pertama, identitas sosial yang sama dapat ditemukan pada keanggotaan sebuah kelompok sosial dimana dalam arena pemilihan hal ini direpresentasikan melalui keberpihakannya terhadap kebijakan-kebijakan publik tertentu17. Kedua , pendapat yang menyatakan bahwa identitas sosial merupakan fakto r yang m elekat p ada m asing-masing ind ividu sehingga berpengaruh pada motivasi individu dalam sebuah arena pemilihan. Masing-masing individu di sini bahkan mengembangkan kelekatan psikologis ( psychological attachm ent) kepada kelompok sosial masingmasing 18 .
bahkan tidak dapat terdistribusikan untuk kesejahteraan publik (the problem of indivisibility). Menurut Jeremy Horowitz dan James D.Long (2006) fenomena ini terutama yang dihadapi negara-negara miskin dengan struktur politik dijalankan oleh jaringan elit yang berbasis patronase etnis. Dalam praktiknya, struktur politik yang dikendalikan oleh patronase etnis ini lebih cenderung mendistribusikan kemampuan penguasaan sumber daya publik (public property) kepada kelompoknya masingmasing dan tid ak p ernah me mikirkan kelom po kkelompok etnis lainnya. Dalam arena kontestasi pemilihan, struktur p olitik clie nte lism ini juga s eringkali dijadikan perangkat politik (political tool) untuk melakukan mobilisasi dan dukungan terhadap kandidat dan partai.
Jeremy Horowitz dan James D.Long (2006) berpendapat bahwa demokrasi dalam masyarakat multi etnik memiliki beberapa tantangan utama19 . Pertama, dalam sistem pemilu langsung memungkinkan salah satu atau beberapa dari etnis akan selalu menjadi pihak yang selalu terus menerus menang (permanent winners) dan pihak yang selalu terus menerus kalah (permanen lossers) . Persoalan akan kian memburuk ketika dalam lingkungan masyarakat tersebut hanya memiliki dua etnis saja yang bersaing. Namun persoalan pada umumnya akan lebih berkurang jika dalam lingkungan masyarakat tersebut terdiri dari beragang suku yang kecil dan mampu melakukan koalisi. Adanya koalisi-koalisi tersebut dalam arena pemilihan dapat memungkinkan masing-masing etnis tidak akan selamanya menjadi pihak yang selalu terus menerus menang (permanent winners) dan pihak yang selalu terus menerus kalah (permanen lossers). Lingkup arena kontestasi demokrasi juga menjadi hal yang berpengaruh bagi proses demokrasi dalam masyarakat multi etnik. Dalam hal ini apakah, kontestasi berlangsung pada level lokal(kabupaten/kota), privinsi dan nasional. Horowitz dan Long (2006) juga melihat bahwa persoalan etnisitas dalam arena kontestasi ini dapat direduksi jika para kandidat dan politisi yang terpilih dalam arena pemilihan mampu memberikan sejumlah kebijakan publik yang memperhatikan dan mengakomodasi kalangan etnis minoritas yang kalah dalam kontestasi.
Ketiga, problem etnisitas akan semakin menguat ketika sistem demokrasi dijalankan oleh struktur partai politik dan elit politik—yang berbasis patronase etnis—yang menjadi pemenang tidak mampu be rsikap mo derat dalam kebijakan publik yang dijalankannya kepada pihak yang kalah dalam kontestasi pemilihan. Fenomena ini terutama dapat dijumpai pada negara-negara demokrasi dimana partai-partai politik terbentuk dari jaringan etnis— kadangkala aliran keagamamaan dan dinasti politik. Persoalan kian rumit ketika partai dan kandidat yang menang tersebut terus menimbulkan sejumlah provokasi dan sentimen yang mengundang reaksi balasan dari pihak yang kalah. Fenomena kekerasan seringkali muncul karena hal ini.
Kedua, problem etnisitas akan semakin menguat ketika sistem demokrasi dijalankan oleh struktur patronase politik—terutama bersumber dari warisan kolonialisasi dan sistem otoriter—sehingga sumber daya publik (public property) tidak dapat terdistiribusikan secara merata, atau
Daniel N.Posner dkk (2007) berpendapat bahwa ada dua kecenderungan kalangan elit politik dan kandidat dalam menggunakan isu-isu etnis (playing ethnic card). Pertama, para po litisi dan kandid at b ias anya me ng gunakan berbagai pola pendekatan terhadap etnisitas menjelang
17 18 19
Keempat, problem etnisitas akan semakin menguat ketika sistem demokrasi dijalankan oleh struktur partai politik dan elit politik memasuki kompetisi yang sengit dalam peristiwa utama pemilu. Hal ini terutama kompetisi yang dimaksudkan untuk m emo bilis as i ang ka pencoblosan pemilu (voter turnout) dan juga persaingan internal dalam masing-masing kelompok etnis. Persoalan kian rumit ketika masing-masing partai politik dan kandidat terus menerus melakukan mobilisasi pemilih dengan pe ndekatan se ntim en e tnis dan is u-is u antar etnis dengan berbagai cara yang tidak etis untuk mendapatkan kemenangan.
Lihat Robert Bates, “Ethnic Competition and Modernization in Contemporary Africa”, Comparative Political Studies, January, 1974. Lebih lanjut lihat Donald Horowitz, Ethnic Groups in Conflict. Berkeley, University of California Press, 1985. Jeremy Horowitz dan James D.Long, Dem ocratic Survival in Multi-Ethnic Countries, Working Paper. Department of Political Science, University of California, California, 2006.
KAJ IAN BULANAN
arena pemilihan. Target yang ingin didapat adalah adanya kelekatan dengan etnis yang menjadi obyeknya (ethnic attachment). Kedua, para politisi dan kandidat memainkan kartu etnis (playing ethnic card) untuk mengamankan batas keunggulan yang dimilikinya dalam sebuah arena ko mpetisi baik ketika pe milu be rlangsung maup un setelah pemilu20 . Apa yang disampaikan oleh Posner dkk(2007) tersebut nampaknya cukup penting dalam melihat kecenderungan dinamika etnisitas dalam berbagai peristiwa Pilkada di beberapa daerah di indonesia. Dari ratusan event Pilkada yang pernah berlangsung di Indonesia, polarisasi etnis nampak mewarnai keseluruhan pros es pelaksanan Pilkada. Tidak hanya itu, etnisitas juga berhimpit dengan beberapa faktor lainnya seperti agama dan suku dimana keseluruhan faktor tersebut berpengaruh terhadap geopolitik, ethno-politik dan demografik para konstituen dalam Pilkada. Dinamika Etnisitas dalam Pilkada di Indonesia. Dalam arena Pemilu Presiden 2004, isu etnisitas nampak tidak muncul ke permukaan. Namun dalam beberapa event Pilkada, isu etnisitas nampak sempat muncul ke permukaan, sebagai cara dalam melakukan mobilitasi politik. Fenomena inilah yang seringkali menjadi alasan bagi sebagian kalangan elit yang menilai bahwa Pilkada hanya akan membuka berbagai arena konflik etnis secara terbuka diberbagai daerah di Indonesia21. Isu etnisitas sempat muncul dalam Pilkada Jakarta, terutama nampak dari sejumlah iklan kampanye para kandidat yang berkompetisi. Pasangan Fauzi-Prijanto mengeksplorasi personil Si Doel Anak Sekolah sebagai model dalam kampanyenya di televisi. Identitas Betawi ini kemudian diperkukuh dengan pakaian yang digunakan pasangan Fauzi-Prijanto yang menampilkan khas Betawi. Pasangan Adang -Dani jug a mengeks plorasi B etawi dengan mengerahkan personil Bajai Bajuri minus Rieke Dyah Pitaloka sebagai model kampanyenya di televisi.
20 21
22
23 24
29
Persoalan etnis dalam banyak hal menjadi pertimbangan para elit dalam menentukan pasangannya ketika maju dalam Pilkada tingkat propinsi dan kabupaten. Dari beberapa Pilkada pada akhir tahun 2007 misalnya pertimbangan etnis nampak menjadi hal penting yang dilakukan oleh oleh pasangan kandidat. Hal ini misalnya dapat dilihat d alam P ilkada Sulawe si Selatan, K ep.Riau, Sumatra S elatan22 , Kalimantan Barat d an Bang ka Belitung. Di Sulawesi Selatan misalnya dari perspekstif geopolitik, dalam wilayah Sulawesi Selatan terdapat beberapa suku yang berkontestasi (Bugis, Makassar, Luwu, Massenrepulu, dan Toraja) walaupun dari wilayahwilayah tersebut akan mencair lagi dalam sub-sub etnis. Para ko ntestan kadang meng klaim dirinya sebagai representasi dari etnis tersebut sehingga dalam paket pilkada p rovinsi untuk p as ang an se lalu me re ka mengambil dari asal etnis sang kontestan23 . Politisasi etnis nampak juga pernah menjadi kekhawatiran kalangan elit menjelang Pilkada Kalimantan Barat. Kendatipun efektifitas dan signifikansi polisasi etnis masih menjadi perdebatan, namun Isu etnisitas menjadi kekhawatiran utama kalangan elit politik di Kalimantan Barat. Kepolisian Dae rah (Polda) Kalimantan B arat bahkan memprakarsai adanya komitmen bersama dari se mua p as ang an kand id at untuk tidak me lakukan eksploitasi isu etnisitas dan agama dalam mendukung pilihan dalam Pilkada K alimantan Barat. Selain itu, kesepakatan tersebut juga berisi agar tidak menggunakan yel-yel atau slogan yang memicu munculnya fanatisme sempit karena dapat menimbulkan konflik antaretnis dan agama. Komitmen tersebut tertuang dalam kesepakatan bersama antara calon gubernur dan wakil gubernur serta tim kampanye dan pimpinan partai politik, di Pontianak pada hari Jumat, 28, September 200724. Dalam memahami isu e tnisitas dalam P ilkada K alimantan Barat tersebut terjadi perbedaan pandangan tentang signifikansi faktor etnis dalam Pilkada. Pertama, kalangan yang meyakini bahwa isu etnisitas adalah tidak
Daniel N Posner, loc.cit, hal. 1-2. Pada awal tahun 2005 sebelum Pilkada dilaksanakan diberbagai daerah di Indonesia, banyak statement dari kalangan elit— terutama dari kalangan konservatif—yang menilai bahwa Pilkada membawa berbagai ancaman akan terbukanya konflik komunal, konflik etnis dan agama di berbagai daerah di Indonesia. Namun kekhawatiran yang berlebihan tersebut selama tiga tahun terakhir Pilkada di Indonesia nampak tidak sebesar yang dibayangkan. Beberapa konflik muncul lebih pada proses pelaksanaan Pilkada dan sikap ketidakpuasan terhadap kegagalan kandidat. Sejumlah kekhawatiran akan adanya politisasi etnis dalam Pilkada di Sumatra Selatan antara lain dikemukakakn oleh Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Palembang Soleh Idrus. Soleh Idrus melihat adanya pengaruh politik yang masuk ke organisasi etnis dari beberapa tokoh yang akan maju dalam pilkada. Namun, dia menilai, dalam kadar tertentu hal itu tidak masalah. Lebih lanjut, lihat “Organisasi Etnis Diminta Netral”, Seputar Indonesia, 28 Oktober, 2007. Tasrifin Tahara, “Kontestan Pilkada dan Sloganisasi”, Tribun Tim ur, 23 April 2007 Lihat “Calon Kepala Daerah Kalimantan Barat Antisentimen Etnis”, Media Indonesia, 30 September, 2007.
30
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
signifikan dalam Pilkada Kalimantan Barat 25 . Kedua, kalangan yang meyakini bahwa isu etnisitas masih sangat relevan dan me nentukan d alam Pilkada Kalim antan Barat26. Isu etnisitas juga nampak terus berkembang menjelang Pilkada Lampung. Konidisi faktual menunjukkan di mana sekitar 61,9 persen masyarakat Lampung merupakan masyarakat pendatang dari etnis Jawa, sementara etnis asli Lampung 11,9 persen, etnis Sunda 8,8 persen, etnis Banten 2,5 persen, etnis Palembang 2 persen, etnis Seme ndo 1,6 persen, dan etnis lainnya 11 pe rsen (Kom pas, 19 Juni, 2007).. Munculnya pasangan kandidat yang menggunakan sentimen etnis secara tidak etis nampak terus menjadi pemikiran kalangan elit di daerah ini. Ke khawatiran m unculnya sejum lah konflik yang bersumber dari isu etnisitas dan agama juga muncul menjelang Pilkada Sumatera Utara. Ketua KPUD Sumatra Utara, Irham Buana Nasution menilai potensi konflik di Pilkada Sumatra Utara cukup tinggi. Indikasinya, sejumlah nama yang disebut-sebut akan ikut maju, sudah mulai menjual isu etnis dan agama untuk menarik simpati rakyat. Sejumlah kandidat baik yang dari parpol maupun birokrat dari pusat dan daerah dan tokoh-tokoh masyarakat, sudah atraktif dalam menarik simpati massa, dengan mencoba membangun ikatan emosional secara etnis d an keagamaan2 7 . Te ma-tema e tnis itas juga nampak terus berkembang menjelang Pilkada. Misalnya sejumlah kelompok yang tergabung dalam asosiasi Pujakus um a yang m em and ang perlunya d ibang un kesadaran kolektif etnis Jawa, sekaligus meningkatkan hubungan silaturahmi dengan etnis lainnya28 . Penggunaan sentimen etnis ini dalam arena Pilkada bahkan dianggap salah satu konflik potensial menjelang
25
26
27 28
29
dan pasca Pilkada. Kekhawatitan munculnya konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Mobilisasi politik atas nama etnik dan agama, baik secara bersama maupun terpisah, potensial muncul di wilayah-wilayah di mana ketegangan etnis cenderung tinggi seperti di Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, Bangka Be litung , Sumatra Se latan dan Maluku, serta daerah-daerah di mana proporsi penduduk se cara etnik d an/atau ag ama relatif b erimb ang. Sementara itu, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama daerah asal (asli-pendatang) mungkin po te ns ial m unc ul d i ham pir s em ua daerah yang menyelenggarakan pilkada. Sementara itu, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama “golongan darah” (bangsawan atau bukan), potensial muncul di daerah-daerah bekas kerajaan atau kesultanan di masa lalu, dan daerah-daerah di mana relasi politik atas dasar kelas sosial masih cukup dominan29 . Dari s inilah kem udian etnis itas dan p olitik ide ntitas memb utuhkan pola pengelolaan dengan baik. Pola pengelolaan secara etis dalam jangka panjang akan melahirkan budaya politik dan sistem politik lokal dan nasional yang lebih baik. Pengelolaan Secara Etis Belajar dari berbagai pengalaman selama pelaksanaan Pilkada dan Pemilu yang pernah berlangsung di Indonesia, persoalan yang terpenting dalam menyikapi faktor etnis di sini adalah bagaimana melakukan pengelolaan secara etis. Pengelolaan secara etis di sini terkait dengan perkembangan budaya politik di masing-masing daerah dan perilaku para elit politik yang terlibat dalam kontestasi demokrasi. Pengelolaan secara etis ini melibatkan aspek yang sangat kompleks mulai dari pola pendidikan politik terhadap para pemilih, budaya politik elit, partai politik
Pendapat seperti ini misalnya dikemukakan oleh Ireng Maulana. Lihat Ireng Maulana, “Politisasi Etnik Dalam Jabatan Politik” , Pontianak Post, 26 Agustus 2006. Pendapat seperti ini misalnya yang dikemukakan oleh Syarief Ibrahim Alqadrie yang melihat, faktor etnis masih menentukan. Syarif Ibrahim Alqadrie mengutip sejumlah hasil penelitian kontemporer tentang konflik komunal di Indonesia yang menunjukkan bahwa akar masalah (root factor) konflik kekerasan lebih disebabkan oleh ketidakadilan dan kesenjangan dalam bidang ekonomi dan politik yang dibungkus rapih ke dalam faktor pemicu (triger factors) yaitu faktor sosial budaya antara lain etnisitas dan religiusitas. Syarif Ibrahim Alqadrie berpendapat bahwa identitas etnis (etnic identity), seperti di Aceh, Ambon, Poso, Papua dan Kalimantan Barat, masih menjadi faktor pemicu yang tidak saja menimbulkan pertikaian tetapi juga mengancam integrasi sosial dan nasional. Rasa kehilangan identitas yang dirasakan sebagai konsekuensi dari proses keterpinggirkan para anggota suatu kelompok etnis tertentu dalam bidang ekonomi dan politik cenderung menciptakan kesadaran etnis (ethnic consciousness)Lebih lanjut lihat Syarief Ibrahim Alqadrie, “Pilgub : Kesadaran Etnis dan Professionalisme”, Pontianak Post, 4 September, 2006 Lihat “Pilkada Gubsu Rawan Konflik”, Sum ut Pos, 28 Februari, 2007 Misalnya Sekjen DPP Pujakesuma, Choking Susilo Sakeh, menyebutkan, beberapa modal yang dimiliki etnis Jawa dalam memanfaatkan momen tersebut. Pertam a, etnis Jawa-Pujakesuma merupakan etnis mayoritas di Sumut. Berdasarkan sensus tahun 2006, dari 11.506.808 jiwa penduduk Sumut, 33,40% atau 3.843.602 jiwa adalah etnis Jawa. Mereka tersebar merata terutama di Deliserdang/ Serdang Bedagai, Medan, Langkat, Asahan, Simalungun, Labuhanbatu dan beberapa kabupaten/kota lainnya. Lihat “Sebagai Etnis Mayoritas, Idealnya Pujakesuma Tentukan Arah Pembangunan di Sumut”, Medan Bisnis, 27 Februari, 2007 Syamsuddin Harris, “Mengelola Potensi Konflik Pilkada”, Kompas, 10 Mei, 2005.
31
KAJ IAN BULANAN
dan kandidat, karakter sos io-grafik, geo-politik dan demografik masyarakat dan juga berbagai kebijakan publik yang berlangsung pada masing-masing wilayah. Te rm asuk di sini juga me mo ri so sial dan sejarah masyarakat berbagai etnis di masing-masing wilayah. Pengelolaan secara etis diperlukan, sebab dari beberapa riset yang berkembang menunjukkan bahwa ada kecenderungan dimana kalangan elit politik menggunakan sentimen etnis dalam meningkatkan dukungan politiknya. Penggunaan sentimen etnis secara umum membahayakan bagi perkembangan budaya politik dan demokrasi. Namun pengelolaan isu-isu etnis secara etis dalam arena demokrasi dapat saja dilakukan dalam berbagai peristiwa demokrasi di Indonesia. Ada perbed aan antara pe nggunaan sentimen e tnis dengan pengelolaan isu-isu etnis secara etis dalam menarik dukungan pemilih. Pertama, pada aspek penggunaan sentimen etnis, para kandidat, partai politik dan elit politik seringkali hanya sekadar menggunakan patronase etnis semata-mata untuk melakukan mobilisasi dalam arena pemilihan. Kedua, dalam pengelolaan isu-isu etnis, para kandidat, partai politik dan elit politik merespons aspirasi masing-masing e tnis deng an program dan kebijakan publik yang menarik dan relevan bagi mereka. Pengelolaan secara etis terhadap persoalan etnisitas dan politik identitas di sini dipengaruhi oleh bagaimana sistem demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara dan bagaimana reg im politik yang terbentuk di mas ingmasing negara. Selain itu, pola pengelolaan secara etis di sini juga tergantung pada sejauh mana perkembangan budaya politik dari kalangan partai politik, elit politik, kandidat dan para pemilih di berbagai daerah di Indonesia. Kondisi ini tentu saja akan terus menjadi tantangan jangka panjang bagi perkembangan demokrasi pada level lokal (local politics) dan nasional di Indonesia.
Daft ar Pustaka
Bates, Robert, “Ethnic Competition and Modernization in Contemporary Afri ca”, Comparative Politic al Studies , January, 1974. Brass, P.R. , Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison, New Delhi, Sage, 1991. Dickson, Erich and Kenneth Scheve, Social Identity, Political Speech and Electoral Competition, Working Paper, New York University, 2004. Handley, Lisa, Voting Patterns By Race/Ethnicity in Arizona Congressional and Legislative Elections, 1996-2000, Frontier International Electoral Consulting, LCC, 2001. Hill, Kevin A., dan Dario V. Moreno, Language as a Variable : English Spanish, Ethnicty and Political Opinion Polling in South Florida, Working Paper, Department of Political Science, Florida International University, 1999. Horowitz, Donald , Ethnic Groups in Conflict. Berkeley, University of California Press, 1985. Horowitz, Jeremy dan James D.Long, Democratic Survival in Multi-Ethnic Countries, Working Paper. Department of Political Science, University of California, California, 2006. Lijphart, Arend, “The Wave of Power-Sharing Democracy” dalam Andrew Reynolds (ed), The Architecture of Democracy . Oxford: Oxford University Press, 2002. Markakis, John , “Nationalism and Ethnicity : A Theoretical Perspective”, dalam Juma Okuku Anthony (ed), Ethnicity, State Power and The Democratisation Process in Uganda, IGD Occational Paper No.33, Bramfortein, South Africa : Institute for Global Dialogue, 2002. Marsh, Chistopher and James W. Warhola, “Ethnicity, Ethnoterritoriality and the Political Geography of Putin’s Electoral Support”, dalam Post-Soviet Geography and Economic, Vol. 42, No.4, 2001. Oyugi, Walter O., “Ethnicity In The Election Process: The 1992 General Election in Kenya”, African Association of Political Science, 1997. Pinderhuges, Dianne M. , “Racial and Ethnic Politics in America”, Paper Conference on Comparative Ethnicity University of California, Los Angeles. Institute for Social Science Research, 1998. Pippa Norris dan Robert Mattes, Does Ethnicity Determines Support for the Governing Party : The Structural and Attitudinal Basis of Partisan Identification in 12 African Nations, Cambridge, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, 2003. Posner, Daniel N., Institution and Ethnic Politics in Africa, New York, Cambridge University Press, 2005. Sulaiman, Y. Pendekatan Teoritis Dalam Pemahaman Konflik Etnis, dalam psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ysulaimn/ My_articles/20010830.doc.
32
LINGKARAN SUR VEI INDONESIA
PEMIMPIN UMUM
Denny JA REDAKSI
Eriyanto (Ketua) Widdi Aswindi Eka Kusmayadi Sukanta Arman Salam Setia Dharma Redaktur Tamu: Bagus Sartono & Ahmad Nyarwi
LINGKARAN SURVEI INDONESIA ( LSI)
Jl. Raya Venesia EB 1, Kompleks Bukit Gading Mediterania Kelapa Gading, Jakarta Utara Telp (021) 4514701, 4514704, Fax (021) 45858035, 4587336 www.lsi .co. id
Kajian bu lanan ini dit er bit kan t iap awal bula n, ber isi t ent ang analisis fenomena sosial polit ik di Indonesia berdasar kan dat abase dan survei yang dilakukan oleh Lingkar an Survei Indonesia. Diperbolehkan memper banyak at au mengutip bagian dari kajian bulanan ini, dengan menyebut sumber tulisan. Untuk permint aan berlangganan ( gr at is) kajian bulanan ini, bisa menghubungi Ika Pr at iwi ( email: pr at iwiika@ ya hoo.com) . Lingkar an Sur vei Indonesia ( LSI) adalah per usahaan pr ofesional yang mengkhususkan dir i pada kegiat an riset opini publik—baik survei polit ik ( nasional, lokal) maupun sur vei untuk kalangan bisnis. Selain r iset , LSI juga konsultan politik bagi kepala daer ah, par tai polit ik ataupun politisi.